Oleh
Nama : Maya Masyita Atlanta
NIM : J014172022
Pembimbing : drg. M. Irfan Rasul, Sp.BM
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma sering terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Trauma dapat mengenai
pada bagian tubuh manusia, salah satunya adalah rongga mulut. Salah satu trauma yang
menjadi masalah paling serius dibidang kedokteran gigi adalah fraktur dentoalveolar.1
Trauma dentoalveolar meliputi gigi, jaringan pendukung, dan tulang alveolar. Kejadian
ini lebih sering terjadi pada anak-anak dan remaja, dengan angka terjadinya kejadian
ini lebih banyak pada laki-laki.2 Fraktur dentoalveolar merupakan salah satu trauma
yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti kekerasan, kecelakaan dan jatuh. Fraktur
dentoalveolar biasanya terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat
dentoalveolar oleh karena jatuh (31%), bermain (8%), kecelakaan saat berolahraga
(7%), kekerasan (5%), kecelakaan kerja (4%), dan kebakaran (4%).4 Trauma
dentoalveolar biasanya dapat menyebabkan trauma pada gigi insisif sentral maksila
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui penatalaksanaan fraktur dentoalveolar di bidang bedah mulut.
3
c
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definsi fraktur dentoalveolar
Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian
terutama tulang. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma. Berdasarkan
putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan
trauma.6
Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma
langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio
anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke
rahang atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar
dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi
hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena
impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi.7
Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan yang tepat
4
Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi
jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut.
Pada pembahasan ini klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang
mengakibatkan fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan
1) Infraksi Email: fraktur yang tidak menyeluruh pada email tanpa hilangnya
dengan adanya kehilangan substansi gigi pada email, tanpa melibatkan dentin.
Fraktur dengan adanya kehilangan substansi gigi dengan melibatkan email dan
4) Complicated fraktur mahkota/ fraktur klas III Ellis: Fraktur yang melibatkan
5) Fraktur akar: Fraktur yang melibatkan email, dentin, dan pulpa. Fraktur akar
1) Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.
alveolar.
1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya
2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas
4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.
Pada saat pasien datang dengan trauma akut, biasanya rongga mulut mengalami
suatu kontaminasi. Oleh karena itu, tahap pertama dari prosedur pemeriksaan adalah
membersihkan wajah pasien. Setelah itu dilakukan anamnesa pada pasien dengan
rencana perawatan.
2.4.1 Anamnesis
Waktu merupakan salah satu faktor yang penting dalam menegakkan diagnosis suatu
trauma, khususnya pada gigi yang mengalami avulsi atau perubahan letak.
Tempat merupakan informasi penting yang harus dicatat dalam rekam medik, serta
Jawaban dari pertanyaan ini akan merujuk pada tingkat keparahan fraktur contohnya,
suatu pukulan pada dagu kemungkinan trauma akan menjalar sampai ke kondil
mandibular
Pada beberapa anak dan aktivis olahraga pernah mengalami suatu trauma gigi, hal ini
Hal ini biasa terjadi pada gigi yang mengalami fraktur mahkota dengan dentin terbuka
Apabila pasien memiliki suatu kelainan sistemik atau alergi, maka riwayat medis
sangatlah penting untuk menentukan penggunaan obat atau terapi yang sesuai dengan
kondisi fisiologisnya.9
9
Pemeriksaan luka ekstraoral dilakukan dengan cara palpasi pada bagian-bagian sekitar
wajah. Palpasi juga dilakukan pada alveolus dan gigi. Pembuatan foto periapikal
Berikut adalah pemeriksaan intra oral yang harus dilakukan dokter gigi pada pasien
fraktur dentoalveolar:9
1. Tes kegoyangan gigi perlu dilakukan pada setiap gigi (luksasi gigi) atau
kegoyangan pada suatu grup gigi (kemungkinan terjadi fraktur tulang alveolar).
2. Tes perkusi dilakukan dengan cara mengetuk permukaan insisal atau oklusal
3. Tes sensibilitas pulpa merupakan tes yang digunakan untuk mengetahui tingkat
sensitivitas dan vitalitas saraf dalam pulpa pada gigi yang mengalami trauma.
akibat trauma dengan tepat dan benar. Pemeriksaan radiografi dapat menunjukkan
kondisi yang tidak dapat terlihat secara klinis. Pada usia anak pemeriksaan ini agak
sehingga diperlukan bantuan dari orang tua saat proses pengambilan foto rontgen
(Andreasen, 2007).9
Terdapat macam-macam teknik foto rontgen yang biasa dilakukan oleh dokter gigi
gigi.
dan gigi.
Perawatan darurat fraktur dentoalveolar pada anak adalah tindakan yang sangat
penting dan sebaiknya dilakukan segera oleh orang tua pasien, namun banyak dari
jika terjadi trauma sehingga ketika datang ke dokter gigi, pasien dalam kondisi
yang cukup buruk. Langkah perawatan darurat ini pun berpengaruh terhadap
prognosis pasien tersebut. Rekomendasi bagi dokter gigi dalam menangani pasien
berikut:10
menit
Perawatan definitif bertujuan mengembalikan anatomi dan fungsi gigi, tulang, dan
gingiva seperti semula. Tindakan ini dapat dilakukan ketika kondisi umum pasien
sudah baik. Faktor yang harus dipertimbangkan pada perawatan definitif trauma
Trauma yang terjadi pada anak memiliki risiko terhadap gigi penggantinya, maka
dari itu ada perbedaan antara pilihan perawatan fraktur dentoalveolar yang terjadi
pada gigi sulung dan gigi permanen pada pasien anak. Jarak yang sangat dekat
antara akar gigi sulung dengan benih gigi permanen dapat mengakibatkan suatu
perkembangan gigi permanen adalah beberapa konsekuensi yang dapat terjadi jika
terjadi keparahan trauma pada gigi sulung atau tulang alveolarnya, maka dari itu
agar komplikasi terhadap benih gigi permanen dapat dihindari.10 Prinsip umum
menyebabkan cedera luksasi daripada fraktur jaringan keras gigi karena struktur
anak yang akan diuraikan di bawah ini membahas mengenai trauma yang berakibat
Insidensi fraktur akar terjadi sekitar 6% dari semua trauma dental, 7,7% pada gigi
permanen, dan 3,8% pada gigi sulung.12 Penanganan fraktur akar gigi sulung
dengan fraktur akar gigi permanen berbeda, jika pada gigi sulung fragmen
(Welbury, 2005), berbeda pada gigi permanen. Penanganan pada gigi permanen
dapat dilihat dari lokasi frakturnya, jika fraktur berada di sepertiga apikal dan tidak
(Fonseca, 2005).
14
reposisi ini dilanjutkan dengan pemasangan alat stabilisasi selama 4 minggu oleh
Tindakan lain yang harus dilakukan adalah evaluasi kondisi pulpa selama 1 tahun,
jika terdapat nekrosis maka perlu dilakukan perawatan saluran akar (Flores, et.al.,
2007).
Trauma yang mengenai jaringan periodontal pada anak adalah kasus trauma yang
paling sering terjadi. Trauma ini biasa disebut dengan cedera luksasi dan biasa
untuk kasus luksasi pada gigi sulung adalah menjaga ligamen periodontal dan
pulpa dari infeksi bakteri. Pencegahan terhadap rusaknya benih gigi permanen
adalah hasil yang paling utama dan harus selalu dipertimbangkan, maka dari itu
pilihan perawatan yang sering dipilih pada gigi sulung adalah menghilangkan
2000), namun tidak semua tindakan berupa ekstraksi. Rincian rencana perawatan
15
pada trauma dentoalveolar yang mengenai jaringan periodontal pada anak adalah
sebagai berikut:
1) Concussion
inflamasi dan dokter gigi dapat memberikan medikasi berupa analgetik jika
yang dilakukan hanya evaluasi kondisi pulpa selama 1 tahun untuk memastikan
tidak adanya komplikasi berupa jejas pada pulpa (Flores, et. al., 2007). Diet lunak
pun dapat direkomendasikan oleh dokter gigi pada kasus ini untung mengurangi
2) Subluksasi
Pada kasus ini informasi yang diberikan oleh foto rontgen tidak ada kondisi yang
abnormal pada ligamen periodontal (Flores, et.al., 2007). Perawatan yang dapat
tahun 2007 mengatakan bahwa pilihan perawatan dapat juga dengan alat
(3) Diet lunak selama 1 minggu (Cameron and Widmer, 2008; Welbury, 2005).
3) Intrusi
Intrusi gigi sulung ditemukan oleh Soporowski dan rekan sebagai korelasi paling
erat terjadinya gangguan hipoplastik terhadap benih gigi permanen sekitar 17,4%
jika dibandingkan dengan kasus luksasi lateral (7,1%) dan avulsi (5,7%) (Dummet,
perdarahan pada gingiva, dan kadang bibir atas bengkak karena edema dan
hemoragi (Holan and McTigue, 2005). Ada dua keadaan pada kasus intrusi, yaitu
perpindahan gigi ke arah aksial tulang labial dan perpindahan gigi yang
mendorong benih gigi permanen (Flores, et.al., 2007). Gigi intrusi yang
dampak buruk terhadap benih gigi permanen (Flores, et.al., 2007; Cameron and
membiarkan gigi tersebut mengalami erupsi kembali selama 2-3 minggu dan
dievaluasi selama 6 bulan (Holan and McTigue, 2005). Intrusi pada gigi permanen
lengkap, penanganannya adalah reposisi spontan selama 3 minggu, bila tidak ada
Intrusi pada gigi permanen dengan akar lengkap dilakukan dengan tindakan
orthodonti atau bedah sesegera mungkin. Kondisi pulpa harus menjadi perhatian
ketika dilakukan penanganan tersebut agar dapat dievaluasi jika terjadi nekrosis
pulpa (Flores, et.al., 2007). Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
Prognosis gigi permanen dengan akar lengkap yang mengalami intrusi tidak baik
resorpsi akar dan menurunnya tulang alveolar, jika terjadi kerusakan pada pulpa
di kanal akarnya (Holan and McTigue, 2005; Cameron and Widmer, 2008).
3) Ekstrusi
periodontal di daerah apikal (Flores, et.al., 2007). Tindakan ekstraksi pada gigi
sulung dipilih ketika perpindahan gigi lebih dari 2-3 mm untuk mencegah potensi
infeksi periradikular yang persisten yang dapat menyebabkan efek terhadap gigi
Flores, et.al., 2007). Perpindahan kurang dari 3mm pada ekstrusi gigi sulung dan
18
menggunakan alat stabilisasi dengan komposit resin, wire, atau alat orthodonti
(Cameron and Widmer, 2008) dengan evaluasi keadaan pulpa (Flores, et.al.,
dapat diberikan untuk menjaga kebersihan oral (Cameron and Widmer, 2008).
Prognosis dipengaruhi oleh tingkat perubahan posisi dan perkembangan apikal dan
penyembuhan pada gigi immature. Nekrosis pulpa dapat terjadi 15-85% dari
semua kasus dan ini terjadi terutama pada gigi dengan apeks tertutup (Cameron
4) Luksasi Lateral
Kondisi open bite pada oklusi cukup menguntungkan karena penanganan kasus ini
dapat dilakukan dengan reposisi spontan, namun jika tidak ada kondisi open bite
dapat dilakukan preparasi di incisal edge atau penambahan komposit di bagian gigi
posterior untuk membuat open bite artifisial (Andreasen, 2007). Alat stabilisasi
dilakukan setelah reposisi selama 4 minggu dengan disertai evaluasi kondisi pulpa
(Flores, et.al., 2007). Kasus luksasi lateral pada gigi permanen diberikan tindakan
berupa reposisi dengan manipulasi digital secara perlahan, jika terdapat jaringan
sekitar gigi mengalami fraktur alveolar, dokter gigi dapat memberikan anestesi
lokal. Pemakaian alat stabilisasi fungsional non-rigid dipasang selama 2-3 minggu.
Medikasi berupa antibiotik diberikan dengan dosis 250 mg 3 kali sehari selama 5
hari (kurang dari 10 tahun 125 mg). Kebersihan mulut harus dijaga dan dokter gigi
dapat memberikan klorheksidin 0,2% 2 kali sehari selama alat stabilisasi terpasang
di mulut. Diet lunak dianjurkan selama perawatan ini (Welbury, 2005; Holan and
McTigue, 2005).
5) Avulsi
Pendapat banyak ahli mengatakan bahwa jika terjadi avulsi pada gigi sulung
terhadap benih gigi permanen berupa infeksi kronis dan perubahan distrofi pada
benih gigi permanen. Replantasi pada gigi sulung dapat menyebabkan perubahan
Penanganan avulsi pada gigi permanen adalah dengan replantasi sesegera mungkin
dan menstabilisasi gigi tersebut sesuai dengan lokasi anatominya. Hal ini
tindakan yang kontraindikasi ketika masih dalam tahap perkembangan dental pada
membahayakan integritas gigi avulsi atau jaringan pendukung. Prognosis pada gigi
permanen bergantung pada formasi perkembangan akar dan lamanya gigi berada
di luar (extraoral dry time). Gigi dapat disimpan dalam sebuah media jika lebih
dari 5 menit berada di luar soket. Risiko ankylosis dapat terjadi apabila extraoral
2010).
replantasi dalam jangka waktu yang lama. Media penyimpanan yang tersedia harus
dapat mempertahankan atau meningkatkan vitalitas sel ketika gigi di luar soket
21
alveolar. Perendaman gigi yang baik dapat mengurangi risiko ankylosis dan
membantu debridemen sel nekrotik, benda asing, dan bakteri. Media penyimpanan
ini tersedia dalam berbagai jenis, berikut adalah media penyimpanan yang bisa
digunakan orang tua ketika gigi mengalami avulsi (Holan and McTigue, 2005) :
1. Viaspan TM
3. Susu
4. Saline
5. Saliva
6. Air
Trauma yang mengenai tulang alveolar biasanya disertai juga dengan lateral
luksasi atau intrusi (Fonseca, 2005) dan juga gangguan pada oklusi (Flores, et.al.,
2007). Manipulasi digital dan reposisi gigi yang mengalami perubahan posisi
Fraktur pada dinding soket sering berhubungan dengan dislokasi gigi dengan
kegoyangan pada tulang di bagian bukal dan kontusio mukosa. Reduksi pada
fraktur ini dapat dilakukan dengan manipulasi digital di area apikal dan aspek
lingual pada mahkota, jika ada laserasi dilakukan penjahitan. Langkah reposisi ini
juga harus memperhatikan oklusi (Fonseca, 2005). Fraktur ini biasanya melibatkan
beberapa gigi dan trauma lain berupa luksasi. Stabilisasi dipasang selama 4
minggu untuk penyembuhan tulang, kecuali pada anak, durasi fiksasi dapat lebih
cepat karena proses penyembuhan tulang berjalan relatif lebih cepat. Terapi
tambahan pada pasien anak adalah diet lunak selama 2 minggu (Fonseca, 2005).
Fraktur prosesus alveolaris bisanya terisolasi dan erat kaitannya dengan trauma
dental dan trauma wajah dengan tingkatan laserasi pada mukosa dan gingiva yang
satu atau lebih gigi. Trauma ini sering terjadi di regio anterior dan premolar pada
Penanganan yang baik pada kasus ini adalah reduksi dan reposisi dengan teknik
tertutup atau terbuka diikuti dengan stabilisasi yang kuat untuk mendukung
elevator periosteal. Teknik ini dilakukan ketika terdapat segmen fraktur yang sulit
direposisi pada teknik tertutup. Penanganan tambahan lainnya pada kasus ini
adalah pemberian obat anti tetanus, antibiotik berupa penisilin atau klindamisin,
Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus dilakukan
penutupan segera dengan flap bukal. Pasien diberi obat tetes hidung ephedrine 0,5
persen untuk membantu drainase antral, dan antibiotik untuk mencegah timbulnya
BAB 3
PEMBAHASAN
24
Fraktur dentoalveolar dapat berdiri sendiri atau terjadi bersamaan dengan fraktur
pada wajah dan bagian tubuh lainnya. Perawatan komprehensif dilakukan setelah
perbaikan keadaan umum pasien tercapai, bersama dengan disiplin ilmu yang
pemeriksaan fisik ekstra oral dapat ditemukan asimetri wajah berupa bengkak di
bibir, hematoma, abrasi, dan laserasi. Pemeriksaan intra oral meliputi jaringan
lunak dan jaringan keras. Pada gigi dapat terjadi fraktur mahkota, dengan atau
tanpa terbukanya kamar pulpa, dengan perkusi yang positif. Gigi dapat goyang,
bergeser ke segala arah, ekstrusi, intrusi dan bahkan avulsi. Perubahan tersebut
dapat menimbulkan maloklusi. Gigi yang tidak tampak bergeser tetapi goyang
dicurigai telah mengalami fraktur akar, baik vertikal maupun horisontal. Fraktur
yang paling sulit dideteksi adalah fraktur akar yang stabil dan retak vertikal
mahkota gigi posterior. Dalam keadaan itu harus dilakukan sondasi, perkusi dan
tekan. Bila ada gigi yang tampak hilang, perlu dipastikan bahwa tidak ada akar
gigi yang tertinggal. Trauma pada gigi posterior dapat disebabkan benturan rahang
atas oleh rahang bawah sehingga gigi dapat terbelah secara vertical. Pemeriksaan
Penatalaksanaan fraktur dentoalveolar pada gigi sulung tidak berbeda jauh dengan
gigi tetap. Setiap struktur yang terlibat sebaiknya diperiksa dengan seksama.
25
Vitalitas, warna dan kegoyangan gigi harus dimonitor untuk mengetahui perlu
tidaknya perawatan lebih lanjut. Gigi yang tidak terlalu bergeser dan tidak
kompleks pada gigi sulung jarang terjadi karena elastisitas tulang alveolar.
Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia pasien
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perawatan fraktur dentoalveolar dapat dilakukan secara efektif untuk
terhadap pasien meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terdiri atas keadaan
umum, kondisi ekstra oral dan intra oral. Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya
26
4.2 Saran
Menyadari penulis masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dale, R.A. 2000. Dentoalveolar trauma. Emergency Med Clin North Am vol.
18(03):521-38
4. Mustahq, M., dan Bhazkan, D. 2010. Age, gender distribution and etiology of
detoalveolar fractures. Pakistan Oral and Dental Journal, vol 30(2): 303-306
6. Zimmermann, C.E., Troulis, M. J., dan Kaban, L.B., 2006, Pediatric Facial
7. Das, U.M., Nagarathna, C., Viswanath, D., Keerthi, R., dan Gadicherla, P.,
10. Flores MT. Traumatic injuries in the primary dentition. Dent Traumatol
2002;18:603-611
12. Fonseca RJ, Walker RV. Oral and maxillofacial trauma.Volume 1. 2nd edition.