Anda di halaman 1dari 31

i

BAGIAN BEDAH MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Refarat

Penatalaksanaan Fraktur Dentoalveolar di Bidang Bedah Mulut

Oleh
Nama : Maya Masyita Atlanta
NIM : J014172022
Pembimbing : drg. M. Irfan Rasul, Sp.BM

BAGIAN BEDAH MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
0
1
c

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Trauma sering terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Trauma dapat mengenai

pada bagian tubuh manusia, salah satunya adalah rongga mulut. Salah satu trauma yang

menjadi masalah paling serius dibidang kedokteran gigi adalah fraktur dentoalveolar.1

Trauma dentoalveolar meliputi gigi, jaringan pendukung, dan tulang alveolar. Kejadian

ini lebih sering terjadi pada anak-anak dan remaja, dengan angka terjadinya kejadian

ini lebih banyak pada laki-laki.2 Fraktur dentoalveolar merupakan salah satu trauma

yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti kekerasan, kecelakaan dan jatuh. Fraktur

dentoalveolar biasanya terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat

bermain, berolahraga atau iatrogenic.3 Persentase penyebab terjadinya fraktur

dentoalveolar oleh karena jatuh (31%), bermain (8%), kecelakaan saat berolahraga

(7%), kekerasan (5%), kecelakaan kerja (4%), dan kebakaran (4%).4 Trauma

dentoalveolar biasanya dapat menyebabkan trauma pada gigi insisif sentral maksila

karena berhubungan dengan posisinya yang terekspos. Tujuan perawatan fraktur

dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi organ pengunyahan senormal

mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar


1 dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia

pasien serta kompleksitas fraktur.5


2

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah penatalaksanaan fraktur dentoalveolar di bidang bedah mulut?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui penatalaksanaan fraktur dentoalveolar di bidang bedah mulut.
3
c

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definsi fraktur dentoalveolar
Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian

terutama tulang. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan

tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma. Berdasarkan

definisi-definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar adalah kerusakan atau

putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan

trauma.6

2.2 Etiologi fraktur dentoalveolar

Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma

langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio

anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke

rahang atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar

dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi

hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena

impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi.7

2.3 Klasifikasi fraktur dentoalveolar

Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa kejadian.

Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan yang tepat
4

untuk setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang baik

selama perawatan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan

informasi yang komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai

tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang mendeskripsikan

mengenai fraktur dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak dijadikan pedoman

dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut World Health

Organization (WHO). Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health

Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi

jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut.

Pada pembahasan ini klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang

mengakibatkan fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan

pulpa, jaringan periodontal, dan tulang pendukung:2

2.3.1 Cedera pada jaringan keras dan pulpa

1) Infraksi Email: fraktur yang tidak menyeluruh pada email tanpa hilangnya

substansi gigi (retak).

2) Fraktur email (uncomplicated fraktur mahkota)/ fraktur klas I Ellis : Fraktur

dengan adanya kehilangan substansi gigi pada email, tanpa melibatkan dentin.

3) Fraktur email-dentin (uncomplicated fraktur mahkota)/ fraktur klas II Ellis:

Fraktur dengan adanya kehilangan substansi gigi dengan melibatkan email dan

dentin, namun tidak melibatkan pulpa.


5

4) Complicated fraktur mahkota/ fraktur klas III Ellis: Fraktur yang melibatkan

email dan dentin, dan menyebabkan tereksposnya pulpa.

5) Fraktur akar: Fraktur yang melibatkan email, dentin, dan pulpa. Fraktur akar

dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan berpindahnya bagian koronal gigi.

6) Uncomplicated fraktur akar-mahkota: Fraktur yang melibatkan email, dentin,

dan sementum namun tidak menyebabkan tereksposnya pulpa.

7) Complicated fraktur akar-mahkota: Fraktur yang melibatkan email, dentin,

sementum, dan juga menyebabkan tereksposnya pulpa.8

Gambar 1. Jenis cedera pada jaringan keras dan pulpa

Sumber : Oral and maxillofacial trauma Fonseca et al, 2005.

2.3.2 Cedera pada jaringan periodontal

1) Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.

2) Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.


6

3) Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket.

4) Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar.

5) Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket

alveolar.

6) Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

Gambar 2 Cedera pada Jaringan Periodontal.


Sumber : Oral and maxillofacial trauma Fonseca et al, 2005.

2.3.3 Cedera pada tulang pendukung

1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya

soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi.

2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas

pada fasial atau lingual/palatal dinding soket.

3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar

yang dapat melibatkan soket gigi.

4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

Gambar 3 Cedera pada Tulang Pendukung.


Sumber : Oral and maxillofacial trauma Fonseca et al, 2005.
7

2.4 Pemeriksaan dan diagnosis fraktur dentoalveolar

Pada saat pasien datang dengan trauma akut, biasanya rongga mulut mengalami

suatu kontaminasi. Oleh karena itu, tahap pertama dari prosedur pemeriksaan adalah

membersihkan wajah pasien. Setelah itu dilakukan anamnesa pada pasien dengan

memberikan suatu pertanyaan guna untuk menegakkan diagnose dan menentukan

rencana perawatan.

2.4.1 Anamnesis

- Kapan fraktur tersebut terjadi?

Waktu merupakan salah satu faktor yang penting dalam menegakkan diagnosis suatu

trauma, khususnya pada gigi yang mengalami avulsi atau perubahan letak.

- Dimana fraktur tersebut terjadi?

Tempat merupakan informasi penting yang harus dicatat dalam rekam medik, serta

dapat untuk keperluan asuransi kecelakaan


8

- Bagaimana fraktur tersebut terjadi?

Jawaban dari pertanyaan ini akan merujuk pada tingkat keparahan fraktur contohnya,

suatu pukulan pada dagu kemungkinan trauma akan menjalar sampai ke kondil

mandibular

- Apakah pasien kehilangan kesadaran?

Jika pasien tersebut kehilangan kesadaran, maka kegawatdarurataan tersebut harus

cepat ditangani secara medis.

- Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami trauma pada gigi?

Pada beberapa anak dan aktivis olahraga pernah mengalami suatu trauma gigi, hal ini

akan mempengaruhi penentuan rencana perawatan

- Apakah ada perubahan oklusi?

perubahan oklusi pada injuri dentoalveolar dapat mengindikasikan terjadinya luksasi,

fraktur tulang alveolar atau rahang.

- Apakah ada peningkatan sensibilitas gigi pada perubahan suhu?

Hal ini biasa terjadi pada gigi yang mengalami fraktur mahkota dengan dentin terbuka

- Riwayat medis pasien

Apabila pasien memiliki suatu kelainan sistemik atau alergi, maka riwayat medis

sangatlah penting untuk menentukan penggunaan obat atau terapi yang sesuai dengan

kondisi fisiologisnya.9
9

2.4.2 Pemeriksaan Ekstraoral

Pemeriksaan luka ekstraoral dilakukan dengan cara palpasi pada bagian-bagian sekitar

wajah. Palpasi juga dilakukan pada alveolus dan gigi. Pembuatan foto periapikal

ataupun panoramik sangat diperlukan untuk menegakkan diagnose.9

2.4.3 Pemeriksaan Intraoral

Backland dan Andersen menjelaskan bahwa perlu dilakukan pemeriksaan intraoral

Berikut adalah pemeriksaan intra oral yang harus dilakukan dokter gigi pada pasien

fraktur dentoalveolar:9

1. Tes kegoyangan gigi perlu dilakukan pada setiap gigi (luksasi gigi) atau

kegoyangan pada suatu grup gigi (kemungkinan terjadi fraktur tulang alveolar).

Derajat kegoyangan harus ditentukan

0 = tidak ada kehilangan perlekatan

1 = kehilangan perlekatan horizontal 1mm

2 = kehilangan perlekatan horizontal > 1 mm

3 = kehilangan perlekatan secara vertical

2. Tes perkusi dilakukan dengan cara mengetuk permukaan insisal atau oklusal

dengan ujung kaca mulut untuk mengetahui kerusakan ligamen periodontal

3. Tes sensibilitas pulpa merupakan tes yang digunakan untuk mengetahui tingkat

sensitivitas dan vitalitas saraf dalam pulpa pada gigi yang mengalami trauma.

Tes vitalitas dapat tes termal Electric Pulp Tester (EPT).


10

2.4.3 Pemeriksaan Radiografi

Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis kelainan

akibat trauma dengan tepat dan benar. Pemeriksaan radiografi dapat menunjukkan

kondisi yang tidak dapat terlihat secara klinis. Pada usia anak pemeriksaan ini agak

sulit dilakukan karena ketakutan atau kurang kooperatifnya anak tersebut,

sehingga diperlukan bantuan dari orang tua saat proses pengambilan foto rontgen

(Andreasen, 2007).9

Terdapat macam-macam teknik foto rontgen yang biasa dilakukan oleh dokter gigi

untuk melengkapi informasi dalam upaya penegakkan diagnosis pada kasus

trauma, berikut adalah macam-macamnya:9

1. Periapikal, dapat memberikan gambaran terperinci pada trauma alveolar dan

gigi.

2. Foto oklusal, memberikan gambaran lebih mendetail fraktur prosesus alveolaris

dan gigi.

3. Panoramik, dapat memberikan informasi gambaran fraktur mandibula

keseluruhan. Foto panoramik juga dapat memberikan informasi mengenai keadaan

nasal, septum nasi, dan periorbital bawah.

4. Posteroanterior, dapat menujukkan pergeseran medial atau lateral fragmen

fraktur, angulus, korpus, simfisis, orbita, dan sinus maksilaris.


11

2.5 Terapi dan Manajemen

Perawatan fraktur dentoalveolar terbagi menjadi 2 tahap, yaitu perawatan segera

setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan perawatan terhadap bagian

dentoalveolar yang terkena trauma (perawatan definitif).9

2.5.1 Perawatan Darurat

Perawatan darurat fraktur dentoalveolar pada anak adalah tindakan yang sangat

penting dan sebaiknya dilakukan segera oleh orang tua pasien, namun banyak dari

orang tua kekurangan informasi tentang cara penatalaksanaan kegawatdaruratan

jika terjadi trauma sehingga ketika datang ke dokter gigi, pasien dalam kondisi

yang cukup buruk. Langkah perawatan darurat ini pun berpengaruh terhadap

prognosis pasien tersebut. Rekomendasi bagi dokter gigi dalam menangani pasien

fraktur dentoalveolar pada anak sebagai pertolongan pertama adalah sebagai

berikut:10

1. Tetap tenang dan fokus

2. Lakukan pembersihan pada luka dengan air

3. Hentikan perdarahan dengan mengompres dengan kain atau kapas selama 5

menit

4. Lakukan perawatan darurat


12

2.5.2 Perawatan Definitif

Perawatan definitif bertujuan mengembalikan anatomi dan fungsi gigi, tulang, dan

gingiva seperti semula. Tindakan ini dapat dilakukan ketika kondisi umum pasien

sudah baik. Faktor yang harus dipertimbangkan pada perawatan definitif trauma

dentoalveolar adalah sebagai berikut:11

1. Usia dan tingkat kooperatif pasien

2. Durasi antara trauma dan perawatan

3. Lokasi atau tingkat cedera

4. Cedera pada gigi sulung atau gigi permanen

5. Tahap perkembangan akar

6. Ada atau tidaknya fraktur tulang pendukung

7. Kesehatan periodontal dari gigi yang tersisa

Trauma yang terjadi pada anak memiliki risiko terhadap gigi penggantinya, maka

dari itu ada perbedaan antara pilihan perawatan fraktur dentoalveolar yang terjadi

pada gigi sulung dan gigi permanen pada pasien anak. Jarak yang sangat dekat

antara akar gigi sulung dengan benih gigi permanen dapat mengakibatkan suatu

komplikasi. Malformasi gigi, gigi impakasi, dan gangguan erupsi pada

perkembangan gigi permanen adalah beberapa konsekuensi yang dapat terjadi jika

terjadi keparahan trauma pada gigi sulung atau tulang alveolarnya, maka dari itu

pilihan perawatan harus sangat mempertimbangkan kemungkinan risiko tersebut


13

agar komplikasi terhadap benih gigi permanen dapat dihindari.10 Prinsip umum

penatalaksanaan pada trauma dentoalveolar anak adalah restorasi dengan dan

tanpa perawatan pulpa, ekstraksi, dan reposisi-replantasi. Pilihan ini berdasarkan

tingkat keparahan trauma dan jumlah jaringan yang terlibat.

Kasus fraktur dentoalveolar yang mengenai pasien anak lebih banyak

menyebabkan cedera luksasi daripada fraktur jaringan keras gigi karena struktur

jaringan pendukungnya yang masih elastis. Perawatan fraktur dentoalveolar pada

anak yang akan diuraikan di bawah ini membahas mengenai trauma yang berakibat

terjadinya pergeseran posisi dan membutuhkan tindakan reposisi dan stabilisasi.

Beberapa kasus yang memerlukan tindakan tersebut di antaranya adalah:

1. Perawatan Trauma yang Mengenai Jaringan Keras Gigi

Insidensi fraktur akar terjadi sekitar 6% dari semua trauma dental, 7,7% pada gigi

permanen, dan 3,8% pada gigi sulung.12 Penanganan fraktur akar gigi sulung

dengan fraktur akar gigi permanen berbeda, jika pada gigi sulung fragmen

mahkota diekstraksi dan fragmen akarnya dibiarkan teresorpsi secara fisiologis

(Welbury, 2005), berbeda pada gigi permanen. Penanganan pada gigi permanen

dapat dilihat dari lokasi frakturnya, jika fraktur berada di sepertiga apikal dan tidak

ada kegoyangan prognosisnya baik dan membutuhkan penanganan minimal

(Fonseca, 2005).
14

Fraktur akar yang menyebabkan perubahan posisi di fragmen koronal dapat

dilakukan reposisi sesegera mungkin dengan manipulasi digital. Posisi setelah

tindakan tersebut harus dievaluasi dengan pemeriksaan radiografi untuk

mengetahui penyembuhan di jaringan kerasnya, terutama bagian pulpa. Tindakan

reposisi ini dilanjutkan dengan pemasangan alat stabilisasi selama 4 minggu oleh

alat stabilisasi semi-rigid atau alat stabilisasi fungsional (Welbury, 2005).

Tindakan lain yang harus dilakukan adalah evaluasi kondisi pulpa selama 1 tahun,

jika terdapat nekrosis maka perlu dilakukan perawatan saluran akar (Flores, et.al.,

2007).

2. Perawatan Trauma yang Mengenai Jaringan Periodontal

Trauma yang mengenai jaringan periodontal pada anak adalah kasus trauma yang

paling sering terjadi. Trauma ini biasa disebut dengan cedera luksasi dan biasa

ditandai dengan adanya perubahan posisi gigi. Tujuan predominan perawatan

untuk kasus luksasi pada gigi sulung adalah menjaga ligamen periodontal dan

pulpa dari infeksi bakteri. Pencegahan terhadap rusaknya benih gigi permanen

adalah hasil yang paling utama dan harus selalu dipertimbangkan, maka dari itu

pilihan perawatan yang sering dipilih pada gigi sulung adalah menghilangkan

gangguan terhadap benih gigi permanen biasanya dengan ekstraksi (Dummet,

2000), namun tidak semua tindakan berupa ekstraksi. Rincian rencana perawatan
15

pada trauma dentoalveolar yang mengenai jaringan periodontal pada anak adalah

sebagai berikut:

1) Concussion

Gigi yang mengalami concussion tidak terdapat kegoyangan maupun perpindahan

posisi dan juga tidak mengalami perdarahan di gusi. Pemeriksaan klinis

menunjukkan ketidaknyamanan saat perkusi dikarenakan adanya edema dan

hemoragi di ligamen periodontal (Welbury, 2005). Beberapa kasus disertai

inflamasi dan dokter gigi dapat memberikan medikasi berupa analgetik jika

diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri (Universitas Chicago, 2012). Penanganan

yang dilakukan hanya evaluasi kondisi pulpa selama 1 tahun untuk memastikan

tidak adanya komplikasi berupa jejas pada pulpa (Flores, et. al., 2007). Diet lunak

pun dapat direkomendasikan oleh dokter gigi pada kasus ini untung mengurangi

keluhan nyeri saat mengunyah (Universitas Chicago, 2012).

2) Subluksasi

Pada kasus ini informasi yang diberikan oleh foto rontgen tidak ada kondisi yang

abnormal pada ligamen periodontal (Flores, et.al., 2007). Perawatan yang dapat

dilakukan ada beberapa pilihan, di antaranya adalah:

(1) Observasi kondisi pulpa (American Academy of Pediatric Dentistry, 2010)

(2) Pemakaian alat stabilisasi wire-orthodonti dengan acid-etch resin selama

7-10 hari (Dummet, 2000). International Association Dental Trauma pada


16

tahun 2007 mengatakan bahwa pilihan perawatan dapat juga dengan alat

stabilisasi fleksibel selama 2 minggu. Pemakaian alat stabilisasi ini dilakukan

ketika adanya gangguan oklusal.

(3) Diet lunak selama 1 minggu (Cameron and Widmer, 2008; Welbury, 2005).

(4) Berkumur dengan klorheksidin 0,2% 2 kali sehari (Welbury, 2005).

3) Intrusi

Intrusi gigi sulung ditemukan oleh Soporowski dan rekan sebagai korelasi paling

erat terjadinya gangguan hipoplastik terhadap benih gigi permanen sekitar 17,4%

jika dibandingkan dengan kasus luksasi lateral (7,1%) dan avulsi (5,7%) (Dummet,

2000). Pemeriksaan klinis menunjukkan adanya bunyi metalik saat diperkusi,

perdarahan pada gingiva, dan kadang bibir atas bengkak karena edema dan

hemoragi (Holan and McTigue, 2005). Ada dua keadaan pada kasus intrusi, yaitu

perpindahan gigi ke arah aksial tulang labial dan perpindahan gigi yang

mendorong benih gigi permanen (Flores, et.al., 2007). Gigi intrusi yang

mendorong gigi permanen sebaiknya dilakukan ekstraksi untuk mencegah terjadi

dampak buruk terhadap benih gigi permanen (Flores, et.al., 2007; Cameron and

Widmer, 2008: Holan and McTigue, 2005). Penanganan lainnya adalah

membiarkan gigi tersebut mengalami erupsi kembali selama 2-3 minggu dan

dievaluasi selama 6 bulan (Holan and McTigue, 2005). Intrusi pada gigi permanen

dibedakan sesuai dengan perkembangan akarnya, jika formasi akarnya belum


17

lengkap, penanganannya adalah reposisi spontan selama 3 minggu, bila tidak ada

perubahan maka dapat dilakukan tindakan penarikan dengan alat orthodonti.

Intrusi pada gigi permanen dengan akar lengkap dilakukan dengan tindakan

orthodonti atau bedah sesegera mungkin. Kondisi pulpa harus menjadi perhatian

ketika dilakukan penanganan tersebut agar dapat dievaluasi jika terjadi nekrosis

pulpa (Flores, et.al., 2007). Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya

komplikasi berupa ankylosis dan meminimalisir tekanan nekrosis pada ligamen

periodontal (Cameron and Widmer, 2008).

Prognosis gigi permanen dengan akar lengkap yang mengalami intrusi tidak baik

karena adanya kemungkinan terjadi nekrosis pulpa dengan persentase 96%,

resorpsi akar dan menurunnya tulang alveolar, jika terjadi kerusakan pada pulpa

maka harus dilakukan tindakan ekstirpasi dan pengaplikasian kalsium hidroksida

di kanal akarnya (Holan and McTigue, 2005; Cameron and Widmer, 2008).

3) Ekstrusi

Gigi ekstrusi terlihat mengalami elongasi dengan penambahan jarak ligamen

periodontal di daerah apikal (Flores, et.al., 2007). Tindakan ekstraksi pada gigi

sulung dipilih ketika perpindahan gigi lebih dari 2-3 mm untuk mencegah potensi

infeksi periradikular yang persisten yang dapat menyebabkan efek terhadap gigi

permanen (Dummet, 2000; American Academy of Pediatric Dentistry, 2010;

Flores, et.al., 2007). Perpindahan kurang dari 3mm pada ekstrusi gigi sulung dan
18

pada ekstrusi gigi permanen dilakukan perawatan reposisi dengan perlahan,

lakukan penjahitan jika terjadi laserasi, dan stabilisasi selama 2 minggu

menggunakan alat stabilisasi dengan komposit resin, wire, atau alat orthodonti

(Cameron and Widmer, 2008) dengan evaluasi keadaan pulpa (Flores, et.al.,

2007). Medikasi antibiotik, profilaksis tetanus, dan klorheksidin glukonat 0,2%

dapat diberikan untuk menjaga kebersihan oral (Cameron and Widmer, 2008).

Prognosis dipengaruhi oleh tingkat perubahan posisi dan perkembangan apikal dan

penyembuhan pada gigi immature. Nekrosis pulpa dapat terjadi 15-85% dari

semua kasus dan ini terjadi terutama pada gigi dengan apeks tertutup (Cameron

and Widmer, 2008)

4) Luksasi Lateral

Luksasi lateral dapat menyebabkan gangguan oklusi pada beberapa kasus.

Tindakan pertama yang dapat dilakukan adalah pemberian anestesi lokal

kemudian reposisi dengan manipulasi digital berupa kombinasi tekanan pada

labial dan palatal.

Gambar 4. Tindakan Reposisi dengan Manipulasi Digital


1. Jari telunjuk mendorong ke arah palatal
2. Ibu jari mendorong ke arah bukal
Sumber : Operative compared with nonoperative treatment of displaced
intra-articular calcaneal fractures : a prospective, randomized, controlled
multicenter trial, Bucley 2002)
19

Kondisi open bite pada oklusi cukup menguntungkan karena penanganan kasus ini

dapat dilakukan dengan reposisi spontan, namun jika tidak ada kondisi open bite

dapat dilakukan preparasi di incisal edge atau penambahan komposit di bagian gigi

posterior untuk membuat open bite artifisial (Andreasen, 2007). Alat stabilisasi

dilakukan setelah reposisi selama 4 minggu dengan disertai evaluasi kondisi pulpa

(Flores, et.al., 2007). Kasus luksasi lateral pada gigi permanen diberikan tindakan

berupa reposisi dengan manipulasi digital secara perlahan, jika terdapat jaringan

sekitar gigi mengalami fraktur alveolar, dokter gigi dapat memberikan anestesi

lokal. Pemakaian alat stabilisasi fungsional non-rigid dipasang selama 2-3 minggu.

Medikasi berupa antibiotik diberikan dengan dosis 250 mg 3 kali sehari selama 5

hari (kurang dari 10 tahun 125 mg). Kebersihan mulut harus dijaga dan dokter gigi

dapat memberikan klorheksidin 0,2% 2 kali sehari selama alat stabilisasi terpasang

di mulut. Diet lunak dianjurkan selama perawatan ini (Welbury, 2005; Holan and

McTigue, 2005).

5) Avulsi

Pendapat banyak ahli mengatakan bahwa jika terjadi avulsi pada gigi sulung

sebaiknya tidak dilakukan replantasi karena dapat menyebabkan dampak buruk


20

terhadap benih gigi permanen berupa infeksi kronis dan perubahan distrofi pada

benih gigi permanen. Replantasi pada gigi sulung dapat menyebabkan perubahan

posisi koagulum ke arah folikel gigi permanen. Inflamasi periapikal akan

menyebabkan nekrosis pulpa yang berakibat pada gangguan mineralisasi gigi

permanen (Andreasen, 2007).

Penanganan avulsi pada gigi permanen adalah dengan replantasi sesegera mungkin

dan menstabilisasi gigi tersebut sesuai dengan lokasi anatominya. Hal ini

dilakukan untuk mengoptimasi penyembuhan ligamen periodontal dan suplai

neurovaskular selama pemeliharaan estetik dan fungsinya. Replantasi menjadi

tindakan yang kontraindikasi ketika masih dalam tahap perkembangan dental pada

anak (risiko ankylosis saat pertumbuhan alveolar), kondisi medical compromise,

membahayakan integritas gigi avulsi atau jaringan pendukung. Prognosis pada gigi

permanen bergantung pada formasi perkembangan akar dan lamanya gigi berada

di luar (extraoral dry time). Gigi dapat disimpan dalam sebuah media jika lebih

dari 5 menit berada di luar soket. Risiko ankylosis dapat terjadi apabila extraoral

dry time-nya lebih dari 15 menit. (American Academy of Pediatric Dentistry,

2010).

Vitalitas ligamen periodontal dan sementum sangat penting dalam keberhasilan

replantasi dalam jangka waktu yang lama. Media penyimpanan yang tersedia harus

dapat mempertahankan atau meningkatkan vitalitas sel ketika gigi di luar soket
21

alveolar. Perendaman gigi yang baik dapat mengurangi risiko ankylosis dan

membantu debridemen sel nekrotik, benda asing, dan bakteri. Media penyimpanan

ini tersedia dalam berbagai jenis, berikut adalah media penyimpanan yang bisa

digunakan orang tua ketika gigi mengalami avulsi (Holan and McTigue, 2005) :

1. Viaspan TM

2. HBSS (Hank’s Balanced Salt Solution)

3. Susu

4. Saline

5. Saliva

6. Air

3. Perawatan Trauma yang Mengenai Tulang Pendukung

1) Fraktur Tulang Alveolar

Trauma yang mengenai tulang alveolar biasanya disertai juga dengan lateral

luksasi atau intrusi (Fonseca, 2005) dan juga gangguan pada oklusi (Flores, et.al.,

2007). Manipulasi digital dan reposisi gigi yang mengalami perubahan posisi

dapat dilakukan untuk mengurangi fraktur tulang alveolar dengan anestesi.

Keadaan pulpa dan kemungkinan adanya ankylosis harus menjadi perhatian

selama evaluasi setelah perawatan (Fonseca, 2005). Stabilisasi yang dilakukan

selama 4 minggu (Flores, et.al., 2007).

2) Fraktur Dinding Soket Alveolar


22

Fraktur pada dinding soket sering berhubungan dengan dislokasi gigi dengan

kegoyangan pada tulang di bagian bukal dan kontusio mukosa. Reduksi pada

fraktur ini dapat dilakukan dengan manipulasi digital di area apikal dan aspek

lingual pada mahkota, jika ada laserasi dilakukan penjahitan. Langkah reposisi ini

juga harus memperhatikan oklusi (Fonseca, 2005). Fraktur ini biasanya melibatkan

beberapa gigi dan trauma lain berupa luksasi. Stabilisasi dipasang selama 4

minggu untuk penyembuhan tulang, kecuali pada anak, durasi fiksasi dapat lebih

cepat karena proses penyembuhan tulang berjalan relatif lebih cepat. Terapi

tambahan pada pasien anak adalah diet lunak selama 2 minggu (Fonseca, 2005).

3) Fraktur Prosesus Alveolar

Fraktur prosesus alveolaris bisanya terisolasi dan erat kaitannya dengan trauma

dental dan trauma wajah dengan tingkatan laserasi pada mukosa dan gingiva yang

bermacam-macam. Tulang yang terkena fraktur pada banyak keadaan melibatkan

satu atau lebih gigi. Trauma ini sering terjadi di regio anterior dan premolar pada

anak dan remaja (Fonseca, 2005).

Penanganan yang baik pada kasus ini adalah reduksi dan reposisi dengan teknik

tertutup atau terbuka diikuti dengan stabilisasi yang kuat untuk mendukung

penyembuhan tulang. Teknik tertutup dapat dilakukan dengan manipulasi digital


23

di segmen dental. Stabilisasi dipasang selama 4 minggu setelah proses reposisi

tersebut (Fonseca, 2005). Teknik terbuka dilakukan dengan flap menggunakan

elevator periosteal. Teknik ini dilakukan ketika terdapat segmen fraktur yang sulit

direposisi pada teknik tertutup. Penanganan tambahan lainnya pada kasus ini

adalah pemberian obat anti tetanus, antibiotik berupa penisilin atau klindamisin,

dan klorheksidin untuk menjaga kebersihan mulut pasien. Evaluasi pulpa

dilakukan pasca perawatan reposisi dan stabilisasi untuk melihat perkembangan

penyembuhan dan kemungkinan adanya komplikasi (Fonseca, 2005).

Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus dilakukan

penutupan segera dengan flap bukal. Pasien diberi obat tetes hidung ephedrine 0,5

persen untuk membantu drainase antral, dan antibiotik untuk mencegah timbulnya

fistula oroantral (Sirait, 2008).

BAB 3
PEMBAHASAN
24

Fraktur dentoalveolar dapat berdiri sendiri atau terjadi bersamaan dengan fraktur

pada wajah dan bagian tubuh lainnya. Perawatan komprehensif dilakukan setelah

perbaikan keadaan umum pasien tercapai, bersama dengan disiplin ilmu yang

terkait. Diagnosis fraktur dentoalveolar ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik ekstra oral dapat ditemukan asimetri wajah berupa bengkak di

bibir, hematoma, abrasi, dan laserasi. Pemeriksaan intra oral meliputi jaringan

lunak dan jaringan keras. Pada gigi dapat terjadi fraktur mahkota, dengan atau

tanpa terbukanya kamar pulpa, dengan perkusi yang positif. Gigi dapat goyang,

bergeser ke segala arah, ekstrusi, intrusi dan bahkan avulsi. Perubahan tersebut

dapat menimbulkan maloklusi. Gigi yang tidak tampak bergeser tetapi goyang

dicurigai telah mengalami fraktur akar, baik vertikal maupun horisontal. Fraktur

yang paling sulit dideteksi adalah fraktur akar yang stabil dan retak vertikal

mahkota gigi posterior. Dalam keadaan itu harus dilakukan sondasi, perkusi dan

tekan. Bila ada gigi yang tampak hilang, perlu dipastikan bahwa tidak ada akar

gigi yang tertinggal. Trauma pada gigi posterior dapat disebabkan benturan rahang

atas oleh rahang bawah sehingga gigi dapat terbelah secara vertical. Pemeriksaan

radiografis yang paling sering digunakan untuk evaluasi fraktur dentoalveolar

adalah foto dental dan panoramik.

Penatalaksanaan fraktur dentoalveolar pada gigi sulung tidak berbeda jauh dengan

gigi tetap. Setiap struktur yang terlibat sebaiknya diperiksa dengan seksama.
25

Vitalitas, warna dan kegoyangan gigi harus dimonitor untuk mengetahui perlu

tidaknya perawatan lebih lanjut. Gigi yang tidak terlalu bergeser dan tidak

menyebabkan gangguan oklusi dapat diobservasi saja. Fraktur dentoalveolar yang

kompleks pada gigi sulung jarang terjadi karena elastisitas tulang alveolar.

Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia pasien

serta kompleksitas fraktur.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perawatan fraktur dentoalveolar dapat dilakukan secara efektif untuk

menstabilkan keadaan umum pasien terlebih dahulu kemudian dilakukan pemeriksaan

terhadap pasien meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terdiri atas keadaan

umum, kondisi ekstra oral dan intra oral. Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya
26

dilakukan sesegera mungkin, karena penundaan perawatan akan mempengaruhi

prognosis gigi geligi.

4.2 Saran

Menyadari penulis masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran

yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan kedepannya.

Semoga ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca secara umum.


27

DAFTAR PUSTAKA

1. Dale, R.A. 2000. Dentoalveolar trauma. Emergency Med Clin North Am vol.

18(03):521-38

2. MacLeod, S.P., Ruddb T.C. 2012. Update on the management of dentoalveolar

trauma. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg, 20:318–324

3. Banks P, Brown A. Fractures of the faciaskeleton. Wright; 2001.p.40-2,72-9

4. Mustahq, M., dan Bhazkan, D. 2010. Age, gender distribution and etiology of

detoalveolar fractures. Pakistan Oral and Dental Journal, vol 30(2): 303-306

5. Sirait T, Rahayu S, Sibarani M, Raizal Y, Birgitta G. Penatalaksanaan Fraktur

Dentoalveolar. Majalah Kedokteran FK UKI. 2008;26(2)

6. Zimmermann, C.E., Troulis, M. J., dan Kaban, L.B., 2006, Pediatric Facial

Fractures, Recent Advances in Prevention, Diagnosis, and Management, Int J.

Oral Maxillofacial Surg, 35: 2-13.

7. Das, U.M., Nagarathna, C., Viswanath, D., Keerthi, R., dan Gadicherla, P.,

2006, Management of Facial Trauma in Children: A Case Report, Journal of

Indian Society of Pedodontics and Preventive Dentistry, 24: (3): 161-3.

8. Abu Samra FM (2014) Dentoalveolar Injuries Classification-Management-

Biological Consequences. J Dent Health Oral Disord Ther 1(4): 1-6

9. Andreasen JO, Andreasen FM, Andersson L. Textbook and Colour Atlas of

Traumatic Injuries to the Teeth 4th edn. Oxford: Wiley-Blackwell, 2007.


28

10. Flores MT. Traumatic injuries in the primary dentition. Dent Traumatol

2002;18:603-611

11. Buckley R, Tough S, MCormack R, Pate G, Leighton R, Petrie D, et al.

Operative compared with nonoperative treatment of displaced intra-articular

calcaneal fractures : a prospective, randomized, controlled multicenter trial. J

Bone Joint Surg (Am) 2002;84 (10):1733-44

12. Fonseca RJ, Walker RV. Oral and maxillofacial trauma.Volume 1. 2nd edition.

WB Saunder, Philadelphia 2005

13. Djemal S, Singh P, Polycarpou N, Tomson R, Kelleher M. Dental Trauma 2-

Acute Management of Fracture Injuries. 2016. 43(10):916-8, 920-2, 924-6

Anda mungkin juga menyukai