S ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN TRAUMA MAXILOFASIAL DI INSTALASI
BEDAH SENTRAL
RSUD DR MOEWARDI
Disusun Oleh :
ANDREYANI LUTHFI
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.3 Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang
ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr. Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang
lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%.
Penderita fraktur maksilofacial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif, yaitu usia 21-30 tahun, sekitar
64,38% disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%.
Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor. 3
2.4 Etiologi
3
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah
raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat
membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya
terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.6
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit
dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian
oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).6
2.5 Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan
trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada
kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian. 8
a. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.Trauma pada
jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 6,8
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek(vulnus laceratum) , luka tusuk (vulnus punctum)
c. Luka bakar (combustio)
d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
a. Skin Avulsion & Skin Loss
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.(Gambar 1)
Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara
kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut
(Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987:226)
4. Berdasarkan Derajat Kontaminasi
a. Luka Bersih.
Luka Sayat Elektif.
Steril Potensial Terinfeksi.
Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius, dan traktur
genitourinarius.
b. Luka Bersih Tercemar.
Luka sayat elektif.
Potensial terinfeksi : Spillage minimal, Flora normal.
Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius, dan traktur
genitourinarius.
Proses penyembuhan lebih lama.
c. Luka Tercemar.
Potensi terinfeksi Spillage traktur elementarius, dan traktur genitourinarius dan kandung
empedu.
Luka trauma baru : laserasi,fraktur terbuka dan luka penetrasi.
d. Luka Kotor.
Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
Perforasi viscera,abses dan trauma lama.
5. Klasifikasi Lain.
a. Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).
b. Luka Tusukan (puncture).
c. Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara langsung.
4
Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G.
Simfisis H. Parasimfisis (Banks P. Fraktur mandibula (Killeys Fractures of the mandible). Alih bahasa, Lilian Yuwono,
Jakarta: Hipokrates, 1990:2).
Gambar 3. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B Stabilisasi fraktur pada sutura
zygomaticofrontalis (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut (Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno.
Jakarta:EGC, 1996:255)
Gambar 4. (A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan
sagital) (London PS. The anatomy of injury and its surgical implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5)
5
Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada
7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial
akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.7
6
Terletak di regio mandibular.
7
Gambar 13. Facial danger zone 7
b. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
b. luka tembus.
c. Asimetris atau tidak.
d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
e. Otorrhea / Rhinorrhea
f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
g. Cedera kelopak mata.
h. Ecchymosis, epistaksis
i. defisit pendengaran.
j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan
perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, Krepitasi, dan mati langkah, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan
infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal,
temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak
mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi
terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
8
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara
bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.
10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan"
tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan
dan Krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau
dislokasi, dan Rhinorrhea cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani,
hemotympanum, perforasi, atau ecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula,
dan memeriksa tanda-tanda Krepitasi atau mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan
hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingiva dan pendarahan intraoral, air mata,
atau adanya krepitasi.
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak
dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
18. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk,
atau ecchymosis.
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien
membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu meliputi :
1. Periksa Kesadaran pasien.
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :
Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
3. Apakah ada Hematoma :
a. Fraktur Zygomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat sebagai permukaan yang
bersambungan secara seragam.
Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri
tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.
b. Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial.
c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?
Apakah sejajar atau bergeser ?
Apakah pasien bisa melihat ?
Apakah dijumpai diplopia ?
9
Hal ini karena :
o Pergeseran orbita
o Pergeseran bola mata
o Paralisis saraf ke VI
o Edema
e. Cedera saraf
Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas).
f. Cedera gigi
Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga disekitarnya. 24
Gambaran CT-scan
Gambar 14. (A) Gambaran CT-scan koronal, (B) CT scan 3D, (C) CT scan aksial
10
Gambar 16. CBCT-scan 3D
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa: 8
a. Aspirasi.
b. Gangguan Airway.
c. Scars.
d. Deformitas wajah sekunder permanen akibat pengobatan yang tidak tepat.
e. Kerusakan saraf yang mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah, bau, rasa.
f. Kronis sinusitis.
g. Infeksi.
h. Gizi Buruk & Penurunan Berat badan.
i. Fraktur non union atau mal union.
j. Mal oklusi.
k. Perdarahan.8
DAFTAR PUSTAKA
1. Fahrev. 2009, Penanganan Kegawat daruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial. Skripsi. Departemen Bedah
Mulut Dan Maksilofasial. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan. Di unduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16287/6/Abstract.pdf.
2. Apley AG. 1995, Apley’sistem of orthopeadicsed fractures. Alih Bahasa Edi Nugroho.7th ed. Jakarta : Widya
Medika
3. Kateren E A. 2000, Penangan Awal Dokter Gigi Pada Trauma Orofacial. Medan: Dentika dental Journal.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Anastesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2000, Advance Life Support Course Sub –
Committee of the Resuscitation Council (UK). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
5. Syaiful Saanin. 2010, Cedera Kepala. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sumatra Barat. Diakses dari:
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Penyerta.html.
6. Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakara: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Facial danger zone, 2010, Facial Anatomy. Diakses dari : http://www.avshalom-
shalom.com/interns/face%20lift/facial%20anatomy.pdf.
8. Tania Parsa,MD. 2010, Initial Evaluation and Management of Maxillofacial Injuries. Attending Physician, Eastern
Maine Medical Center.E medicine Journal
9. Pedersen GW. 1987, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (oral Surgery). Alih Bahasa. Purwanto,Basoeseno. Jakarta :
EGC
10. Ballinger WF,Rutherford RB, 1968, Zeidema GD.The Management Of Trauma. London : WB Sounders Company.
11. Annonimous. 2010, Fraktur Mandibula. Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/33453545/fraktur-mandibula.
12. Annonimous. 2010, Maxillofacial Trauma. Diakses dari : http://www.healthofchildren.com/M/Maxillofacial-
Trauma.html.
13. Annonimous. 2010, Cidera Wajah dan Rahang Atas. Diakses dari: www.hsp-prs.org.
14. Eliastam M,Sternbach GL,Blesler MJ. 1998, Penuntun Kedaruratan Medis. Alih Bahasa Humardja Santasa.5th ed..
Jakarta : EGC.
15. Pusponegoro AD. 2000, Organisasi dan Manajemen Multidisiplin Pada Trauma. Hal: 7 - 20
16. Sumawinata N. 2003, Senari Istilah kedokteran Gigi Inggris – Indonesia. Editor,Lilian yuwono. Jakarta : EGC.
11
17. Soepardi EA, Iskandar N. 2003, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,Hidung,Tenggorokan Kepala Leher. Jakarta :
Balai penerbit FK Universitas Indonesia
18. J.N Aston. 1994, Kapita Selekta Traumatologik Dan Ortopedik. Alih Bahasa Petrus Adrianto 3th ed.Jakarta: EGC.
19. Nealon TF, Nealon WH. 1996, Ketrampilan Pokok Ilmu Bedah. Alih Bahasa.Irene Winata.Brahm U Pendt. 4th
ed.EGC: 114 -24.Jakarta
20. Buchari Kasim. 1992, Trauma Wajah, Luka Bakar dan Luka Avulsi. Cermin Dunia Kedokteran. Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera. Medan
21. David B. Powers, DMD, MD. 2005, Maxillofacial Trauma Treatment Protocol. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am
17 341 – 355
22. Cowley RA. Trauma Care Vol I Surgical Management. 1987. Philadelphia : J B Lippincort Company. 62 – 3
23. Woodruff M,Berry HE. 1966, Surgery For Dental Student.4th ed. Newyork : Blackwell Scientific Publication.
Hal:156 -68
24. Annonimous. 2010, Perawatan Trauma Maxillofacial. Diakses dari : http://www.fotosearch.com/M/Cidera
Maxillofacial-Trauma.html.
12