Anda di halaman 1dari 11

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

S ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN TRAUMA MAXILOFASIAL DI INSTALASI
BEDAH SENTRAL

RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Profesi Ners ( Ns )

Disusun Oleh :

ANDREYANI LUTHFI

J 230 113 033

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH


SURAKARTA 2012

2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Anatomi Maksilofasial


Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan
kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada
anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium
dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.4

Gambar 1. Anatomi Tulang Maksilofasial 4


Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah
terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata
(orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian: 4
a. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di sudut mata. Os Nasal (tulang
hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam
rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang
tegak.
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yang terdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os
Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang
bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari
mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot.
2.2 Definisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada
jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah
adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah
tulang kepala.6 :

Trauma Jaringan lunak


1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.
2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.
3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.
4. Cedera kelopak mata.
5. Cedera telinga.
6. Cedera hidung.

Trauma Jaringan keras


1. Fraktura sepertiga atas muka.
2. Fraktura sepertiga tengah muka.
a. Fraktura hidung (os nasale).
b. Fraktura maksila(os maxilla).
c. Fraktur zigomatikum(os zygomaticum dan arcus zygomaticus).
d. Fraktur orbital (os orbita).

3. Fraktura sepertiga bawah muka.


a. Fraktura mandibula (os mandibula).
b. Gigi (dens).
c. Tulang alveolus (os alveolaris).5

2.3 Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang
ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr. Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang
lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%.
Penderita fraktur maksilofacial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif, yaitu usia 21-30 tahun, sekitar
64,38% disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%.
Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor. 3

2.4 Etiologi

3
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah
raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat
membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya
terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.6
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit
dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian
oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).6

2.5 Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan
trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada
kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian. 8
a. Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.Trauma pada
jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 6,8
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek(vulnus laceratum) , luka tusuk (vulnus punctum)
c. Luka bakar (combustio)
d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
a. Skin Avulsion & Skin Loss
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.(Gambar 1)

Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara
kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut
(Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987:226)
4. Berdasarkan Derajat Kontaminasi
a. Luka Bersih.
 Luka Sayat Elektif.
 Steril Potensial Terinfeksi.
 Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius, dan traktur
genitourinarius.
b. Luka Bersih Tercemar.
 Luka sayat elektif.
 Potensial terinfeksi : Spillage minimal, Flora normal.
 Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius, dan traktur
genitourinarius.
 Proses penyembuhan lebih lama.
c. Luka Tercemar.
 Potensi terinfeksi Spillage traktur elementarius, dan traktur genitourinarius dan kandung
empedu.
 Luka trauma baru : laserasi,fraktur terbuka dan luka penetrasi.
d. Luka Kotor.
 Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
 Perforasi viscera,abses dan trauma lama.
5. Klasifikasi Lain.
a. Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).
b. Luka Tusukan (puncture).
c. Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara langsung.

b. Trauma Jaringan Keras Wajah


Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada
klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya Trauma pada jarinagan keras wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan : 6

1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.


a. Berdiri Sendiri : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan
alveolus.
b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula.

4
Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G.
Simfisis H. Parasimfisis (Banks P. Fraktur mandibula (Killeys Fractures of the mandible). Alih bahasa, Lilian Yuwono,
Jakarta: Hipokrates, 1990:2).

Gambar 3. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B Stabilisasi fraktur pada sutura
zygomaticofrontalis (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut (Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno.
Jakarta:EGC, 1996:255)

2. Dibedakan berdasarkan kekhususan.


a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita).
b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III.
c. Fraktur segmental mandibula.

Gambar 4. (A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan
sagital) (London PS. The anatomy of injury and its surgical implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5)

3. Berdasarkan Tipe fraktur.


a. Fraktur simple.
 Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus,
korpus dan mandibula yang tidak bergigi.
 Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu
keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
b. Fraktur kompoun.
 Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.
 Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur
kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang
parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
c. Fraktur komunisi.
 Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang
mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.
 Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang
dan jaringan lunak.
d. Fraktur patologis.
 Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti
Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat
menyebabkan fraktur spontan.
4. Perluasan tulang yang terlibat.
a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk ).
5. Konfigurasi ( garis fraktur ).
a. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
b. Oblique ( miring ).
c. Spiral (berputar).
d. Comuniti (remuk).
6. Hubungan antar Fragmen.
 Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat.
 Undisplacement, bisa terjadi berupa :
o Angulasi / bersudut.
o Distraksi.
o Kontraksi.
o Rotasi / berputar.
o Impaksi / tertanam.
2.5.1 Facial danger zones (Zona bahaya wajah)

5
Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada
7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial
akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.7

Gambar 5. Facial danger zone

Berikut pengklasifikasian dari facial danger zone :


1. Facial danger zone 1 ( N. Auricularis ).
 N. Auricularis, terletak 6,5 cm dibawah meatus acusticus eksternus.
 Terletak di posterior SMAS ( Superficial musculoaponeurotic system ).

Gambar 6. Facial danger zone 1

Gambar 7. Superficial Muscular Aponeurotic System (SMAS)

2. Facial danger zone 2 ( cabang dari n.VII ).


 Terletak 1,5 cm di sisi lateral dari alis mata.

Gambar 8. Facial danger zone 2

3. Facial danger zone 3 ( cabang marginal mandibular dari n.VII ).

6
 Terletak di regio mandibular.

Gambar 9. Facial danger zone 3

4. facial danger zone 4 (cabang buccal & zygomaticus dari n.VII)


 Terletak di daerah buccal & zygomaticus.

Gambar 10. Facial danger zone 4

5. facial danger zone 5 ( nn.Supraorbita & nn.Supratrochlearis ).

Gambar 11. Facial danger zone 5

6. Facial danger zone 6 ( n.infra orbita )


 Terletak tepat dibawah mata.

Gambar 12. Facial danger zone 6

7. Facial danger zone 7 (n. Mentalis).


 Terletak di mandibula, 1,5 cm dibawah bibir.

7
Gambar 13. Facial danger zone 7

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
1. Dislokasi,berupa perubahan posisi yg menyebabkan mal oklusi terutama pada fraktur mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah nervus alveolaris.
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan
penurunan visus. 1,1
2.7 Diagnosis
Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan fraktur Maksilofasial, dapat dilakukan hal-hal
sebagai berikut :
a. Anamnesa
Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang lain yang melihat langsung kejadian.
Yang harus ditanyakan adalah :1
 Penyebab pasien mengalami trauma :
 kecelakaan lalu lintas.
 Trauma tumpul.
 Trauma benda keras.
 Terjatuh.
 Kecelakaan olah raga.
 Berkelahi.
 Dimana kejadiannya.
 Sudah berapa lama sejak saat kejadian sampai tiba di rumah sakit.
 Apakah setelah kejadian pasien sadar atau tidak, jika tidak sadar, berapa lama pasien tidak sadarkan diri.

b. Pemeriksaan fisik
 Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
b. luka tembus.
c. Asimetris atau tidak.
d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
e. Otorrhea / Rhinorrhea
f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
g. Cedera kelopak mata.
h. Ecchymosis, epistaksis
i. defisit pendengaran.
j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.

 Palpasi

1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan
perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, Krepitasi, dan mati langkah, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan
infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal,
temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak
mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi
terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.

8
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara
bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.
10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan"
tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan
dan Krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau
dislokasi, dan Rhinorrhea cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani,
hemotympanum, perforasi, atau ecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula,
dan memeriksa tanda-tanda Krepitasi atau mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan
hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingiva dan pendarahan intraoral, air mata,
atau adanya krepitasi.
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak
dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
18. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk,
atau ecchymosis.
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien
membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.

Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut :


a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya.
b. Adanya Krepitasi.
c. Fraktur.
d. Deformitas, kelainan bentuk.
e. Trismus (tonik kontraksi rahang)
f. Edema.
g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.1

 Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II - VIII


1. N. Opticus (II), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya.
2. N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek motorik tungkai, reflek cahaya
langsung dan tak langsung, ptosis.
3. N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI), diplopia.
4. N. Trigeminal (V)
1. tes sensorik, Sentuh di dahi, bibir atas, dan dagu di garis tengah, Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk
membuktikan adanya defisit sensorik.
2. tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral.
5. N. Facial (VII)
1. area Temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.
2. area Zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat.
3. area Buccal, mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi.
4. area Marjinal mandibula, mengerutkan bibir.
5. area Cervical, menarik leher (saraf otot platysma, Namun, fungsi ini tidak terlalu penting peranannya dalam
kehidupan sehari-hari).
6. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, Gosok jari atau berbisik di samping setiap
telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif, akan terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu meliputi :
1. Periksa Kesadaran pasien.
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :
 Apakah asimetris atau tidak.
 Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
3. Apakah ada Hematoma :
a. Fraktur Zygomatikus
 Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat sebagai permukaan yang
bersambungan secara seragam.
 Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri
tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.
b. Fraktur nasal
 Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial.
c. Fraktur Orbita
 Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?
 Apakah sejajar atau bergeser ?
 Apakah pasien bisa melihat ?
 Apakah dijumpai diplopia ?

9
Hal ini karena :
o Pergeseran orbita
o Pergeseran bola mata
o Paralisis saraf ke VI
o Edema

d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.


 Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas, iregularitas dan
krepitasi.
 Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung, pada fraktur Le Fort tipe II
atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika
rahang tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.

e. Cedera saraf
 Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas).

f. Cedera gigi
 Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga disekitarnya. 24

2.10 Pemeriksaan Penunjang


 Wajah Bagian Atas :
 CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
 CT-scan aksial koronal.
 Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala.
 Wajah Bagian Tengah :
 CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
 CT scan aksial koronal.
 Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior
(Caldwell’s), Submentovertek (Jughandle’s).
 Wajah Bagian Bawah :
 CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
 Panoramic X-ray.
 Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :
 Posteroanterior (Caldwell’s).
 posisi lateral (Schedell).
 posisi towne.8

 Gambaran CT-scan

Gambar 14. (A) Gambaran CT-scan koronal, (B) CT scan 3D, (C) CT scan aksial

 Gambaran CBCT-scan 3D.

Gambar 15. CBCT-scan 3D

10
Gambar 16. CBCT-scan 3D

 Gambaran Panoramic X-ray

Gambar 17. Panoramic X-ray

2.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa: 8
a. Aspirasi.
b. Gangguan Airway.
c. Scars.
d. Deformitas wajah sekunder permanen akibat pengobatan yang tidak tepat.
e. Kerusakan saraf yang mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah, bau, rasa.
f. Kronis sinusitis.
g. Infeksi.
h. Gizi Buruk & Penurunan Berat badan.
i. Fraktur non union atau mal union.
j. Mal oklusi.
k. Perdarahan.8

DAFTAR PUSTAKA

1. Fahrev. 2009, Penanganan Kegawat daruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial. Skripsi. Departemen Bedah
Mulut Dan Maksilofasial. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan. Di unduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16287/6/Abstract.pdf.
2. Apley AG. 1995, Apley’sistem of orthopeadicsed fractures. Alih Bahasa Edi Nugroho.7th ed. Jakarta : Widya
Medika
3. Kateren E A. 2000, Penangan Awal Dokter Gigi Pada Trauma Orofacial. Medan: Dentika dental Journal.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Anastesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2000, Advance Life Support Course Sub –
Committee of the Resuscitation Council (UK). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
5. Syaiful Saanin. 2010, Cedera Kepala. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sumatra Barat. Diakses dari:
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Penyerta.html.
6. Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakara: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Facial danger zone, 2010, Facial Anatomy. Diakses dari : http://www.avshalom-
shalom.com/interns/face%20lift/facial%20anatomy.pdf.
8. Tania Parsa,MD. 2010, Initial Evaluation and Management of Maxillofacial Injuries. Attending Physician, Eastern
Maine Medical Center.E medicine Journal
9. Pedersen GW. 1987, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (oral Surgery). Alih Bahasa. Purwanto,Basoeseno. Jakarta :
EGC
10. Ballinger WF,Rutherford RB, 1968, Zeidema GD.The Management Of Trauma. London : WB Sounders Company.
11. Annonimous. 2010, Fraktur Mandibula. Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/33453545/fraktur-mandibula.
12. Annonimous. 2010, Maxillofacial Trauma. Diakses dari : http://www.healthofchildren.com/M/Maxillofacial-
Trauma.html.
13. Annonimous. 2010, Cidera Wajah dan Rahang Atas. Diakses dari: www.hsp-prs.org.
14. Eliastam M,Sternbach GL,Blesler MJ. 1998, Penuntun Kedaruratan Medis. Alih Bahasa Humardja Santasa.5th ed..
Jakarta : EGC.
15. Pusponegoro AD. 2000, Organisasi dan Manajemen Multidisiplin Pada Trauma. Hal: 7 - 20
16. Sumawinata N. 2003, Senari Istilah kedokteran Gigi Inggris – Indonesia. Editor,Lilian yuwono. Jakarta : EGC.

11
17. Soepardi EA, Iskandar N. 2003, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,Hidung,Tenggorokan Kepala Leher. Jakarta :
Balai penerbit FK Universitas Indonesia
18. J.N Aston. 1994, Kapita Selekta Traumatologik Dan Ortopedik. Alih Bahasa Petrus Adrianto 3th ed.Jakarta: EGC.
19. Nealon TF, Nealon WH. 1996, Ketrampilan Pokok Ilmu Bedah. Alih Bahasa.Irene Winata.Brahm U Pendt. 4th
ed.EGC: 114 -24.Jakarta
20. Buchari Kasim. 1992, Trauma Wajah, Luka Bakar dan Luka Avulsi. Cermin Dunia Kedokteran. Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera. Medan
21. David B. Powers, DMD, MD. 2005, Maxillofacial Trauma Treatment Protocol. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am
17 341 – 355
22. Cowley RA. Trauma Care Vol I Surgical Management. 1987. Philadelphia : J B Lippincort Company. 62 – 3
23. Woodruff M,Berry HE. 1966, Surgery For Dental Student.4th ed. Newyork : Blackwell Scientific Publication.
Hal:156 -68
24. Annonimous. 2010, Perawatan Trauma Maxillofacial. Diakses dari : http://www.fotosearch.com/M/Cidera
Maxillofacial-Trauma.html.

12

Anda mungkin juga menyukai