Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

GANGGUAN SISTIM PENGINDRAAN


“FRAKTUR WAJAH”

SRIWENTI BANNE ALIK


B0217007

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
2020
A. Definisi Trauma Maksilofasial
Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah.
Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah sepertiga
atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk sepertiga
atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila,
zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke
dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah
wajah.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras.
Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan
keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang
terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang
rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak adalah:
- Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato
- Cedera saraf, cedera saraf fasial
- Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen
- Cedera kelopak mata
- Cedera telinga
- Cedera hidung
B. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir
dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar cranium sudah
mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun
secara baik dalam membentuk wajah manusia. Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian.
Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus.
Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para
midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di
mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit
terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah
tulang yang terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam
tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung
(cavum nasi) dan rongga mata(orbita).
a. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata.
Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os Konka
nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-
lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak.
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua
tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah
tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian
yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan
dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.
C. Facial danger zones (Zona bahaya wajah)
Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa
lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau
kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut
disebut dengan facial danger zone.
D. Epidemiologi
Dari data penelitian menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh
trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan
maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul
fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak
pada laki-laki usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat
lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%.
Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda
motor.
E. Etiologi Trauma Maksilofasial
Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh
kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang paling
umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang paling sering
adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi.
Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface,
terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari
trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-
anak dan orang tua
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di
rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).

Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :

Penyebab pada orang dewasa Persentase (%)


Kecelakaan lalu lintas 40-45

Penganiayaan / berkelahi 10-15


Olahraga 5-10
Jatuh 5
Lain-lain 5-10

Penyebab pada orang anak Persentase (%)


Kecelakaan lalu lintas 10-15

Penganiayaan / berkelahi 5-10


Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-65
Jatuh 5-10

F. Klasifikasi Trauma Maksilofasial


Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras
wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma
benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada
perkelahian.
a. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari
luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :
Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
- Ekskoriasi
- Luka sayat, luka robek , luka bacok
- Luka bakar
- Luka tembak
Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
- Dikaitkan dengan unit estetik
b. Trauma jaringan keras wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan
dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya,
trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika
- Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla,
gigi dan alveolus
- Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks
mandibular
Berdasarkan Tipe fraktur :
- Fraktur simple
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus,
koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai
bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan retak
tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
- Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak. Biasanya
pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur
kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka
yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
- Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang
mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas
atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan
jaringan lunak.
- Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti
Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga
dapat menyebabkan fraktur spontan.
G. Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial
a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah :
- Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar
baik melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.
- Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk
kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya
tulang.
- Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.
- Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi
lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
- Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang
dikarenakan adanya penyakit tulang.
- Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang
sama tidak berhubungan satu sama lain.
- Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian
lainnya.
- Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang,
biasanya pada tulang mandibula orang tua.
- Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.
- Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan
jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya:

- Midline : fraktur diantara incisal sentral


- Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang
berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3)
- Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus
- Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga
perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3)
- Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis apikal
pada sigmoid notch
- Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus
- Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibula hingga
regio ramus
- Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.
b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan
tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama
wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah
sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang
dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat
rentan terkena fraktur.
Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :
- Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)
Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan
menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini
menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw.
Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.
- Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari
fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang
terlihat seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus
infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju
perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan
dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat
palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan
epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini.
- Fraktur Le Fort III
Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6)
menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur
ini ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila
kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis
periorbital.
c. Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan
sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressedke dalam atau hanya
mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
H. Patofisiologi Trauma Maksilofasial
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan
kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang
mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai
besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang
dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang
wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal
memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah
semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagiananterior dan /
atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi
jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi
atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital,
tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-
bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus
maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan
kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang
ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau
saluran nasofrontal.
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat
mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari
trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal,
zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis
fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata
serentak yang umum.
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan
leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma
langsung.
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau
dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang
bawah
Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera
pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah
I. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
- Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur
mandibular
- Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
- Rasa nyeri pada sisi fraktur
- Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas
- Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur
- Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
- Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
- Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
- Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus
alveolaris
- Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola
mata dan penurunan visus
J. Pemeriksaan Penunjang
a. Wajah Bagian Atas :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
- CT-scan aksial koronal
- Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala
b. b.Wajah Bagian Tengah :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
- CT scan aksial koronal
- Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan
posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles)
c. Wajah Bagian Bawah :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D
- Panoramic X-ray
- Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:
 Posteroanterior (Caldwells)
 Posisi lateral (Schedell)
 Posisi towne
K. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis
(disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia
serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun
pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan
PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO 2 ini yakin dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi dilakukan
sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
- Bedrest total
- Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
- Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
- Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
- Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%,
atau gliserol 10%.
- Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
- Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-
apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
- Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-
3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam
kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka
makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian protein
tergantung dari nilai urenitrogennya.
L. Komplikasi
a) Perdarahan ulang
b) Kebocoran cairan otak
c) Infeksi pada luka atau sepsis
d) Timbulnya edema serebri
e) Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
f) Nyeri kepala setelah penderita sadar
g) Konvulsi
M. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan mungkin
di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
1. Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tidak
tegap, masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan tonus otot.
2. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
3. Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi
4. Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
5. Makanan/cairan
Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah,gangguan menelan
6. Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan
dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman lemah
tidak seimbang, kehilangan sensasi sebagian tubuh
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, nyeri yang
hebat,merintih
8. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi
9. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
10. Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya aliran
cairan dari telinga atau hidun
11. Gangguan kognitif
Gangguan rentang gerak
Demam
b. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
3. Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum,
peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan,
adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
4. Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder.
5. Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi,
nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
c. Rencana Keperawatan
DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik
bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma.

Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.

Kriteria hasil: klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan
muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.

INTERVENSI RASIONALISASI

Mandiri

Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi,
individu/penyebab koma/penurunan mengkaji status neurologis/ tanda-tanda
perfusi jaringan dan kemungkinan kegagalan untuk menentukan perawatan
penyebab peningkatan TIK. kegawatan atau tindakan pembedahan.

Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai
dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari
autoregulator kebanyakan merupakan
tanda penurunan difusi local vaskularisasi
darah serebral. Dengan peningkatan tekanan
darah (diastolic) maka dibarengi dengan
peningkatan tekanan darah intrakrinial. Adanya
peningkatan tekanan darah, bradikardi,
disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK.

Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola
dan reaksi terhadap cahaya. mata merupakan tanda dari gangguan
nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi
pupil diatur oleh saraf III cranial
(okulomotorik) yang menunjukkan
keseimbangan antara parasimpatis dan
simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan
kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.

Monitor temperatur dan pengaturan suhu Panas merupakan refleks dari hipotalamus.
lingkungan. Peningkatan kebutuhan metabolism dan
O2 akan menunjang peningkatan TIK/ ICP
(Intracranial Pressure).
Pertahankan kepala/ leher pada posisi Perubahan kepala pada satu sisi dapat
yang netral, usahakan dengan sedikit menimbulkan penekanan pada vena jugularis
bantal. Hindari penggunaan bantal yang dan menghambat aliran darah otak
tinggi pada kepala. (menghambat drainase pada vena serebral),
untuk itu dapat meningkatkan TIK
Berikan periode istirahat antara tindakan Tindakan yang terus-menerus dapat
perawatan dan batasi lamanya prosedur. meningkatkan TIK oleh efek rangsangan
kumulatif.
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan Memberikan suasana yang tenang (colming
rasa nyaman seperti masase punggung, effect) dapat mengurangi respons psikologis dan
lingkungan yang tenang. Sentuhan yang memberikan istirahat untuk mempertahankan
ramah, dan suasana / pembicaraan yang TIK yang rendah.
tidak gaduh.
Cegah/hindarkan terjadinya valsava Mengurangi tekanan intratorakal dan
maneuver intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
Bantu klien jika batuk, muntah Aktivitas ini dapat meningkatkan
intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan
tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini
dapat meningkatkan tekanan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkat Tingkah nonverbal ini dapat merupakan
laku. indikasi peningkatan TIK atau memberikan
refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri
yang tidak menurun dapat meningkatkan TIK.
Palpasi pada pembesaran/pelebaran Dapat meningkatkan repons otomatis yang
bladder, pertahankan drainase urine potensial menaikkan TIK.
secara paten jika di gunakan dan juga
monitor terdapatnya konstipasi.
Berikan penjelasan pada klien (jika Meningkatkan kerja sama dalam
sadar) dan keluarga tentang sebab-sebab meningakatkan perawatan klien dan
TIK meningkat. mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan
GCS.
Kolaborasi
Pemberian O2 sesuai indikasi. Mengurangi hipoksemia, dimana dapat
meningkatkan vasodilatasi serebral, volume
darah, dan menaikkan TIK.
Kolaborasi untuk tindakan operatif Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah
evakuasi darah dari dalam intracranial. dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-
tanda deficit neurologis yang menandakan
peningkatan ntrakranial.
Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk
mengurangi edema serebral, peningkatan
minimum pada pembuluh darah, tekanan darah
dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic contohnya Diuretic mungkin digunakan pada fase akut
: manitol, furoscide. untuk mengalirkan air dari sel otak dan
mengurangi edema serebral dan TIK.
Berikan steroid contohnya : Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan
dexamethason, methyl prenidsolon. mengurangi edema jaringan.
Berikan analgesic narkotik contoh : Mungkin di indikasikan untuk mengurangi
kodein. nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK
tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk
mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.
Berikan antipiretik contohnya : Mengurangi/mengontrol hari dan pada
asetaminofen metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.
Monitor hasil laboratorium sesuai dengan Membantu memberikan informasi tentang
indikasi seperti prothrombin, LED. efektifitas pemberian obat.

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat


pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas
kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.

Intervensi Rasionalisasi

Mandiri

Berikan posisi yang nyaman, Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan


biasanya dengan peninggian kepala ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
tempat tidur. Balik kesisi yang
sakit. Dorong klien untuk duduk
sebanyak mungkin.

Observasi fungsi pernapasan, Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital
dispnea, atau perubahan tanda- dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri
tanda vital. atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan
dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
tersebut dilakukan untuk menjamin mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
keamanan. terapeutik.

Jelaskan pada klien tentang Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi
etiologi/factor pencetus adanya ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien
sesak atau kolaps paru-paru. terhadap rencana terapeutik.

Pertahankan perilaku tenang, bantu Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia,
klien untuk control diri dengan yang dapat dimanifestasikan sebagai
menggunakan pernapasan lebih ketakutan/ansietas.
lambat dan dalam.
Periksalah alarm pada ventilator Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat dan
sebelum difungsikan. Jangan didengar misalnya alarm kadar oksigen,
mematikan alarm. tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
Tarulah kantung resusitasi Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna
disamping tempat tidur dan manual untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi
ventilasi untuk sewaktu-waktu gangguan pada alat ventilator secara mendadak.
dapat digunakan.
Bantulah klien untuk mengontrol Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas
pernapasan jika ventilator tiba-tiba dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi,
berhenti. dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan
fungsi dan system pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai
ventilator secara rutin. kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada
Pengecekan konsentrasi oksigen, penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan
memeriksa tekanan oksigen dalam menyediakan sebagai cadangan.
tabung, monitor manometer untuk
menganalisis batas/kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15
ml/kg). periksa fungsi spirometer.
Kolaborasi
Kolaborasi dengan tim kesehatan Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
lain : mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
Dengan dokter, radiologi, dan pengembangan parunya.
fisioterapi
Pemberian antibiotik.
Pemberian analgesic.
Fisioterapi dada
Konsul foto thoraks.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan
ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas
sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan
sekret di saluran pernapasan.

Intervensi Rasionalisasi

Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi
sekret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme,
dan/atau posisi dari endotracheal/tracheostomy tube
yang berubah.

Evaluasi pergerakan dada dan Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas
auskultasi suara napas pada kedua yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas
paru (bilateral). tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah
tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis
akan menimbulkan perubahan suara napas seperti
ronkhi atau wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam
tube. Beri tanda batas bibir. bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas
Lekatkan tube secara hati-hati ke paru-paru kanan dan mengakibatkan klien
dengan memakai perekat khusus. mengalami pneumothoraks.
Mohon bantuan perawat lain
ketika memasang dan mengatur
posisi tube.

Catat adanya batuk, bertambahnya Selama intubasiklien mengalami refleks batuk yang
sesak napas, suara alarm dari tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan
ventilator karena tekanan yang otot-otot pernapasan (neuromuscular/neurosensorik),
tinggi, pengeluaran sekret melalui keterlambatan untuk batuk. Semua klien tergantung
endotracheal/tracheostomy tube, dari alternatif yang dilakukan seperti mengisap lender
bertambahnya bunyi ronkhi. dari jalan napas.
Lakukan penghisapan lender jika Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan terus-
diperlukan, batasi durasi menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk
pengisapan dengan 15 detik atau mencegah bahaya hipoksia.
lebih. Gunakan kateter pengisap Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih dari 50%
yang sesuai, cairan fisiologis steril. diameter endotracheal/tracheostomy tube untuk
Berikan oksigen 100% sebelum mencegah hipoksia.
dilakukan pengisapan dengan Dengan membuat hiperventilasi melalui pemberian
ambu bag (hiperventilasi). oksigen 100% dapat mencegah terjadinya atelektasis
dan mengurangi terjadinya hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari
batuk selama pengisapan seperti saluran napas.
waktu bernapas panjang, batuk
kuat, bersin jika ada indikasi.
Atur/ubah posisi klien secara Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen
teratur (tiap 2jam). paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.
Berikan minum hangat jika Membantu pengenceran sekret, mempermudah
keadaan memungkinkan. pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang Pengetahuan yang diharapkan akan membantu
kegunaan batuk efektif dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
mengapa terdapat penumpukan terapeutik.
sekret di saluran pernapasan.
Ajarkan klien tentang metode yang Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan
tepat untuk pengontrolan batuk. tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
duduk setegak mungkin.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas
dan meningkatkan ventilasi alveolar
Tahap napas selama 3-5 detik Meningkatkan volume udara dalam paru,
kemudian secara perlahan-lahan, mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
dikeluarkan sebanyak mungkin
melalui mulut.
Lakukan napas kedua, tahan, dan Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan
batukkan dari dada dengan upaya batuk klien.
melakukan 2 batuk pendek dan
kuat.
Auskultasi paru sebelum dan Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan dapat
sesudah klien batuk. menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah pada
atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk Untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mosa
menurunkan viskositas sekresi. : pada saluran napas pada bagian atas.
mempertahankan hidrasi yang
adekuat; meningkatkan masukan
cairan 1000-1500 cc/hari bila tidak
ada kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan Higine mulut yang baik meningkatkan rasa
mulut yang baik setelah batuk. kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan dokter, Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir
radiologi, dan fisioterapi. dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
Pemberian ekspektoran. pengembangan parunya.
Pemberian antibiotic.
Fisioterapi dada.
Konsul foto thoraks
Lakukan fisioterapi dada sesuai Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran
indikasi seperti postural drainage, sekret.
perkusi/penepukan.
Berikan obat-obat bronchodilator Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena
sesuai indikasi seperti relaksasi muscle/bronchospasme
aminophilin, meta-proterenol
sulfat (alupent), adoetharine
hydrochloride (bronkosol).

DX : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.

Kriteria hasil: Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri,
klien tidak gelisah.

Intervensi Rasionalisasi

Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
pereda nyeri nonfarmakologi dan non- nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan
invasif. keefektifan dalam mengurangi nyeri.

Ajarkan relaksasi : Akan melansarkan peredaran darah sehingga


Teknik-teknik untuk menurunkan kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan
ketegangan otot rangka, yang dapat akan mengurangi nyerinya.
menurunkan intensitas nyeri dan juga
tingkatkan relaksasi masase.

Ajarkan metode distraksi selama nyeri Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal


akut yang menyenangkan.

Berikan kesempatan waktu istirahat bala Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan
terasa nyeri dan berikan posisi yang sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
nyaman misalnya ketika tidur,
belakangnya dipasang bantal kecil.
Tingkatkan pengetahuan tentang Pengkajian yang optimal akan memberikan
penyebab nyeri dan respons motorik klien, perawat data yang objektif untuk mencegah
30 menit setelah pemberian obat analgesic kemungkinan komplikasi dan melakukan
untuk mengkaji efektivitasnya serta setiap intervensi yang tepat.
1-2 jam setelah tindakan perawatan
selama 1-2 hari.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga
analgetik. nyeri akan berkurang.

DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran


darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik /
hipoksia.

Tujuan Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis
dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif
dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak
ada tanda-tanda peningktan TIK,
INTERVENSI RASIONALISASI

Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat


klien dan status relirologis klien kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan
dan perkembangankerusakan ssp.

Monitor tekanan darah, catat adanya Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti
hipertensi sistolik secara teratur dan penurunan tekanan darah distolik (nadi yang
tekanan nadi yang makin berat, obs, ht, membesar) merupakan tanda terjadinya
pada klien yang mengalami trauma peningkatan TIK, juga diikuti ( yang
multiple. berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang
berhubungan dengan trauma multiples) dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.

Monitor Heart Rate, catat adanya Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia)
bradikardi, takikardi atau bentuk dan disritmia dapat timbul yang encerminkan
disritmia lainya. adanya depresi / trauma pada batang otak pada
pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung
sebelumnya.

Monitor pernafasan meliputi pola dan Nafas tidak teratur menunjukkan adanya
ritme, seperti periode apnea setelah gangguan
hiperventilasi serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan
(pernafasan cheyne – stokes). intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.

Kaji perubahan pada penglihatan ( Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh


penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang kerusakan mikroskopik pada otak,
menyempit dan kedalaman persepsi. merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan
juga akan mempngaruhi pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan
tengah/ pada posisi netral. Sokong vena jugularis dan menghambat aliran darah lain
dengan handuk kecil / yang selanjutnya akan
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal meningkat TIK.
besar pada kepala
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 Meningkatkan aliran balik vena dari kepala,
– 450 sesuai indikasi / yang dapat sehingga mengurangi kongesti dan edema
ditoleransi. / resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan Menurunkan hipoksemia yang mana dapat
sesuai indikasi menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral
yang meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai Untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan
indikasi : edema otak TIK.
- Diuretik Menurunkan inflasi, yang
- Steroid selanjutnya menurunkan edema jaringan.
- Analgetik sedang Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat Θ pada
- Sedatif TIK tetapi harus digunakan dengan hasil untuk
mencegah gangguan
pernafasan
Untuk mengendalikan kegelisahan agitas
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan.
Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai