Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

PENATALAKSANAAN OPERASI SPLIT THICKNESS SKIN GRAFT (STSG) a/i


TRAUMA MAKSILOFASIAL

DISUSUN OLEH :
MITA KURNIAWATI

DIKLAT BEDAH RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA


TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
PENATALAKSANAAN OPERASI SPLIT THICKNESS SKIN GRAFT (STSG) a/i
TRAUMA MAKSILOFASIAL

A. Definisi Trauma Maksilofasial


Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk
wajah. Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian,
ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian
yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita
dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior,
dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula
termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan
keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi
jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah
tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang
mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud
dengan trauma jaringan lunak adalah:
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato
2. Cedera saraf, cedera saraf fasial
3. Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen
4. Cedera kelopak mata
5. Cedera telinga
6. Cedera hidung
(Smeltzer, 2010)

B. Anatomi Maksilofasial
Menurut Smeltzer (2010) pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun
pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak
usia 4-5 tahun, besar cranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial
tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah
manusia. Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah
bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah
midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas
adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana
patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit
terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana
patah
Penyebab pada orang dewasa Persentase (%)
Kecelakaan lalu lintas 40-45 tulang
yang
Penganiayaan / berkelahi 10-15
Olahraga 5-10
Jatuh 5
Lain-lain 5-10
terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris),
dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata(orbita).
1. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut
mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os
Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya
berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis
yang tegak.
2. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua
tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah
tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua
bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu.
Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.

C. Etiologi Trauma Maksilofasial


Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti
oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang
yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat
yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan
dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang
sering melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman
mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan
dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena
harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan
orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma
maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).
Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial (Muttaqin, 2011) :

Penyebab pada orang anak Persentase (%)


Kecelakaan lalu lintas 10-15

Penganiayaan / berkelahi 5-10


Olahraga (termasuk naik 50-65
sepeda)
Jatuh 5-10

D. Klasifikasi Trauma Maksilofasial


Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma
jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya
disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau
pisau dan golok pada perkelahian.
1. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari
luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a. Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
1) Ekskoriasi
2) Luka sayat, luka robek , luka bacok
3) Luka bakar
4) Luka tembak
b. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
1) Dikaitkan dengan unit estetik
2. Trauma jaringan keras wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi
dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika
1) Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,
mandibulla, gigi dan alveolus
2) Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks
mandibular
b. Berdasarkan Tipe fraktur :
c. Fraktur simple
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus,
koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai
bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan
retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
d. Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak. Biasanya
pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe
fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan
beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
e. Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru
yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa
terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan
tulang dan jaringan lunak.
f. Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang,
seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang
sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

E. Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial


a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah :
1) Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka
keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.
2) Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar
termasuk kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan
dengan patahnya tulang.
3) Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.
4) Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi
lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
5) Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang
dikarenakan adanya penyakit tulang.
6) Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang
sama tidak berhubungan satu sama lain.
7) Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian
lainnya.
8) Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya
tulang, biasanya pada tulang mandibula orang tua.
9) Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.
10) Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan
dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.
Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya:
1) Midline : fraktur diantara incisal sentral
2) Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar
yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3)
3) Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus
4) Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga
perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3)
5) Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis
apikal pada sigmoid notch
6) Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus
7) Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibula hingga
regio ramus
8) Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.
b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang
palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga
rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital.
Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan
perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah
ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur.
Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :
1) Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)
Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan
menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini
menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw.
Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.
2) Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi
dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis,
yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus
infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju
perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang
berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya
deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya
cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini.

Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2009)


3) Fraktur Le Fort III
Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III menggambarkan
adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah
remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks,
disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis
periorbital.

Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2009)


c. Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita
dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressedke dalam atau
hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.

F. Patofisiologi Trauma Maksilofasial


Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa
dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi
menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-
dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi.
Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang
dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi
supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan
tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang
diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagiananterior
dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat
terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang
terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan
menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini
kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita.
Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera
okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke
tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial,
aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic
dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang
dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal,
zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid.
Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit.
Cedera mata serentak yang umum.
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-
rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari
lokasi trauma langsung.
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi
langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang
atas atau rahang bawah
Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan
cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.

G. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur
mandibular
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah
nervus alveolaris
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Wajah Bagian Atas :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
b. CT-scan aksial koronal
c. Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala
2. Wajah Bagian Tengah :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
b. CT scan aksial koronal
c. Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan
posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles)
3. Wajah Bagian Bawah :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D
b. Panoramic X-ray
c. Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:
1) Posteroanterior (Caldwells)
2) Posisi lateral (Schedell)
3) Posisi towne

I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian
oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan
oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO 2 ini yakin
dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis.
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah
terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah
peningkatan tekanan intracranial.

Penatalaksanaan konservatif meliputi :


1. Bedrest total
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
3. Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
4. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
5. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa
40%, atau gliserol 10%.
6. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
7. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan
apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
8. Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama
(2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8
jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah
maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian
protein tergantung dari nilai urenitrogennya.

J. Komplikasi
1. Perdarahan ulang
2. Kebocoran cairan otak
3. Infeksi pada luka atau sepsis
4. Timbulnya edema serebri
5. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
6. Nyeri kepala setelah penderita sadar
7. Konvulsi

K. Teknik Instrumentasi Pada Operasi


1. Alat-Alat Steril
Set Dasar (Basic Instrument Set)
a. Desinfeksi klem (sponge holding forceps)
b. Doek klem 4 ( empat ) (towel forceps)

c. Pincet chirurgie 2 ( dua )

d. Pincet anatomie 2 ( dua )

e. Gunting benang 1 (satu )

f. Gunting jaringan 1 ( satu )


g. Nald voerder 1 ( satu )

h. Mesin dermatom beserta mes d42 dan meser

2. Set Linen Dan Bahan Penunjang Operasi / Bahan Habis Pakai


a. Linen set
b. Sarung tangan ukuran 6,5, 7, dan 7,5
c. Desinfektan betadin, NaCl dan NaCl + Adrenalin
d. Sufratulle
e. Perforator
f. Jelly
g. Kasa gulung, potongan kasa kecil-kecil ( plafy )
h. Kom kecil dan kom besar
i. Benang T-Lene monofilament non-absorbable 3-0 cutting
3. Alat Tidak Steril
a. Plester lebar/hipafix
b. Underpat
c. Lampu operasi
d. Meja operasi
e. Meja mayo
f. Standar infus
g. Tempat sampah

L. Persiapan Pasien
1. Persetujuan operasi.
2. Alat-alat dan obat-obatan.
3. Puasa
4. Lavement

M. Setelah Pasien Dilakukan Anesthesi


1. Memasang folley catheter
2. Mengatur posisi tengkurap (pronasi)

N. Prosedur Jalannya Operasi


1. Perawat instrumen cuci tangan
2. Operator dan asisten cuci tangan
3. Perawat instrumen memakai baju steril dan sarung tangan steril
4. Beri dan pakaikan baju operasi, sarung tangan pada asisten dan operator
5. Atur instrumen di meja mayo sesuai kebutuhan
6. Berikan sponge holding forceps dan deper desinfektan untuk desinfeksi lapangan
operasi
7. Siapkan duk besar 1 biji, duk sedang 1 biji, duk kecil 3 biji, dan duk klem 4 buah
untuk draping.
8. Memberitahu operator bahwa instrurnen siap dipergunakan
9. Bersihkan luka dengan debridement menggunakan gunting jaringan
10. Setelah dibersihkan lalu kompres dengan menggunakan NaCl + adrenalin
11. Desinfektan daerah donor menggunakan kasa NaCl + betadin
12. Beri jelly pada daerah donor
13. Ambil kulit menggunakan dermatom ukuran 0,2 mm dan ambil menggunakan pinset
anatomis.
14. Tutup bekas donor menggunakan kasa basah NaCl + adrenalin 1 lembar
15. Masukkan kulit dikom yang berisi cairan NaCl
16. Ambil kulit dari kom dan letakkan di perforator dengan posisi bagian dalam kulit
menempel perforator
17. Kulit yang sudah di perforator dicetak menggunakan messer dengan diambil dan
diletakkan pada bagian dalam kertas sufratule.
18. Setelah dicetak, kulit ditempelkan pada daerah resipien
19. Rapikan dan jahit dengan benang monofilament non absorbable T-Lene 3-0 cutting
dengan jahitan tie over.
20. Setelah dijahit, berikan sufratulle sesuai kebutuhan dan juga kassa lembab 1 lembar di
lebarkan.
21. Berikan potongan kasa kecil-kecil ( plafy ) di daerah resipien untuk memberikan
tekanan yang rata dan membantu perlengketan lalu jahitan tie over di ikat.
22. Setelah itu, ditutup penggunakan kasa lembaran dan di hipavix dengan rapi
23. Untuk bagian donor, dibersihkan menggunakan kasa basah NaCl + adrenalin
24. Berikan sufratulle pada bagian donor
25. Tutup menggunakan kasa lembaran dan tansokrep
26. Inventaris alat dan kasa
27. Cuci tangan, cuci instrumen dan setting kembali instrument

O. Evaluasi
1. Kelengkapan instrument
2. Proses operasi
3. Bahan pemeriksaan
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana


Asuhan. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai