DISUSUN OLEH :
MITA KURNIAWATI
B. Anatomi Maksilofasial
Menurut Smeltzer (2010) pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun
pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak
usia 4-5 tahun, besar cranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial
tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah
manusia. Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah
bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah
midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas
adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana
patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit
terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana
patah
Penyebab pada orang dewasa Persentase (%)
Kecelakaan lalu lintas 40-45 tulang
yang
Penganiayaan / berkelahi 10-15
Olahraga 5-10
Jatuh 5
Lain-lain 5-10
terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris),
dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata(orbita).
1. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut
mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os
Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya
berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis
yang tegak.
2. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua
tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah
tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua
bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu.
Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.
G. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur
mandibular
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah
nervus alveolaris
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Wajah Bagian Atas :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
b. CT-scan aksial koronal
c. Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala
2. Wajah Bagian Tengah :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
b. CT scan aksial koronal
c. Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan
posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles)
3. Wajah Bagian Bawah :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D
b. Panoramic X-ray
c. Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:
1) Posteroanterior (Caldwells)
2) Posisi lateral (Schedell)
3) Posisi towne
I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian
oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan
oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO 2 ini yakin
dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis.
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah
terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah
peningkatan tekanan intracranial.
J. Komplikasi
1. Perdarahan ulang
2. Kebocoran cairan otak
3. Infeksi pada luka atau sepsis
4. Timbulnya edema serebri
5. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
6. Nyeri kepala setelah penderita sadar
7. Konvulsi
L. Persiapan Pasien
1. Persetujuan operasi.
2. Alat-alat dan obat-obatan.
3. Puasa
4. Lavement
O. Evaluasi
1. Kelengkapan instrument
2. Proses operasi
3. Bahan pemeriksaan
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika