Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah.
Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah sepertiga
atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk
sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis.
Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer
termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian
sepertiga bawah wajah.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan
keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi
jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang
kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang
maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan
lunak adalah:
Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh
kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang
paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang
paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan
kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering
melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka.
Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah
tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus
rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per
tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling
banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat
dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan:
Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.
Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu
tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan
beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru
yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa
terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan
tulang dan jaringan lunak.
Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang,
seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis
sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan
dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan
kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan
didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak
parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk
menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula
(simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan
rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma
dan tulang hidung.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagiananterior dan /
atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika
dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang
terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang
pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak
bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam
sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang
menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang
ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau
saluran nasofrontal.
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat
mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari
trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal,
zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis
fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata
serentak yang umum.
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang
dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma
langsung.
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung
atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau
rahang bawah
6. Pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis
(disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi
iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan
glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan
glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan
PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan
intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi
dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2
yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intracranial.
a. Bedrest total
b. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
c. Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
d. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
e. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa
40%, atau gliserol 10%.
f. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
g. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan
apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
h. Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama
(2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8
jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah
maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian
protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
8. Komplikasi
1. Perdarahan ulang
2. Kebocoran cairan otak
3. Infeksi pada luka atau sepsis
4. Timbulnya edema serebri
5. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
6. Nyeri kepala setelah penderita sadar
7. Konvuls
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan.
Jakarta:EGC