Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK PROFESI NERS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


DENGAN DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR MAKSILA FASIALIS
DI RUANG FLAMBOYAN 10 RSUD DR MOEWARDI

Disusun untuk memenuhi tugas praktik klinik keperawatan profesi ners


Dosen Pembimbing : Ririn Afrian Sulistyowati, S.Kep., Ns., M.Kep

Oleh :
Tri Wulan Dari
SN211144

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang,
dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.(Cynthia,dkk. 2017)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Fraktur adalah setiap retak atau patah tulang yang
utuh. Fraktur maxilla adalah kerusakan pada tulang maxilla yang
seringkali terjadi akibat adanya trauma, periodonitis (reaksi peradangan
pada jaringan sekitar gigi yang terkadang berasal dari peradangan
gingivitis di dalam periodontium) maupun neoplasia.(Wijaya & Putri
YM,2013)
2. Etiologi
Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses
patologis
a. Traumatic Fracture
Fraktur yang disebabkan oleh pukulan saat :
1) Perkelahian
2) Kecelakaan
3) Tembakan
b. Pathologic Fracture
Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang
dalam keadaan sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada
trauma ringan seperti berbicara, makan dan mengunyah dapat
terjadi fraktur. Terjadi karena :
1) Penyakit tulang setempat
a) Kista
b) Tumor tulang jinak atau ganas
c) Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali
sehingga dengan atau tanpa trauma dapat terjadi
fraktur, misalnya pada osteomyelitis
2) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang
mudah patah
a) Osteomalacia
b) Osteoporosis
c) Atrofi tulang secara umum
(Suardi & Asmara Jaya,2012)
3. Manifestasi Klinis
a. Nyeri pembengkakan
b. Tidak dapat menggunakan dagu bawah
c. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,
penganiayaan, tertimpa benda berat, trauma olah raga)
d. Deformitas
e. Kelainan gerak
f. Krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain
(Cynthia,dkk. 2017)
4. Komplikasi
Komplikasi terbagi dua pada saat kecelakaan atau luka dan setelah
penatalaksanaan atau operasi. Pada saat kecelakaan komplikasi yang
terjadi syok dan tekanan pada saraf, ligament, tendon, otot, pembuluh
darah atau jaringan sekitarnya.
Komplikasi post operatif berhubungan dengan penatalaksanaan
fraktur rahang termasuk maloklusi, osteomyelitis, sequester tulang,
penundaan union, non union, deformitas wajah, fistula oronasal dan
berbagai macam abnormalitas bentuk gigi.
(Wijaya & Putri, 2013)
5. Patofisiologi
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari
massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik
saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera.
Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai
besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak
parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang
dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda
regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang
frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah
dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak
zygoma dan tulang hidung.
a. Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat  dari pukulan
berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal
mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi
jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering
terganggu.
b. Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan
trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan
kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran
nasofrontal.
c. Patah Tulang  Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini
menyebabkan patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan
memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan
zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis
fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan
lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
d. Fraktur maksila : Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder
dengan bentuk U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering
terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.
(Suardi & Asmara Jaya,2012)

6. Klasifikasi Fraktur
a. Single Fracture
Fraktur dengan satu garis fraktur
b. Multiple Fracture
Terdapat dua atau lebih garis fraktur yang tidak berhubungan satu
sama lain.
Unilateral = jika kedua garis fraktur terletak pada satu sisi
Bilateral = jika satu garis fraktur pada satu sisi dan garis fraktur lain
pada sisi lain
c. Communited Fracture
Tulang hancur atau remuk menjadi beberapa fragmen kecil 1 atau
berkeping-keping, misalnya symphis mandibularis dan di daerah
anterior maxilla
d. Complicated Fracture
Terjadi suatu dislokasi/displacement dari tulang sehingga
mengakibatkan kerusakan tulang-tulang yang berdekatan, gigi dan
jaringan lunak yang berdekatan
e. Complete Fracture
Tulang patah semua secara lengkap menjadi dua bagian atau lebih
f. Incomplete Fracture
Tulang tidak patah sama sekali, tetapi hanya retak juga penyatuan
tulang tidak terganggu. Dalam keadaan seperti ini, lakukan dengan
bandage dan rahang diistirahatkan 1-3 minggu
g. Depressed Fracture
Bagian tulang yang fraktur masuk ke dalam satu rongga. Sering pada
fraktur maxilla yaitu pada permukaan fasial dimana fraktur tulang
terdorong masuk ke sinus maxillaris
h. Impacted Fracture
Dimana fraktur yang satu didorong masuk kef ragmen tulang lain.
Sering pada tulang zygomaticus

7. Pembagian Area Fraktur pada Rahang


a. Rahang Atas Maxilla (Killey)
1) Dento Alveolar Fracture
Suatu fraktur di daerah prosessus maxillaries yang belum
mencapai daerah Le Fort I dan dapat terjadi unilateral maupun
bilateral. Fraktur ini meliputi processus alveolaris dan gigi-gigi.
Gejala Klinik :
Extra Oral :
a) Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi
pada bibir sering disertai perdarahan, kadang-kadang
terdapat patahan gigi dalam bibir yang luka tersebut
b) Bibir bengkak
c) Echymosis dan hematoma pada muka
Intra Oral :
a) Luka laserasi pada gingival daerah fraktur dan sering
disertai perdarahan
b) Adanya subluxatio pada gigi, sehingga gigi tersebut
bergerak, kadang-kadang berpindah tempat
c) Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang
alveolusnya
d) Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya kamar
pulpa
2) Le Fort I
Pada fraktur ini, garis fraktur berada diantara dasar dari sinus
maxillaris dan dasar dari orbita. Pada Le Fort ini seluruh
processus alveolaris rahang atas, palatum durum, septum nasalis
terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang dapat
digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh
jaringan lunak saja, maka terlihat seperti tulang rahang tersebut
mengapung (floating fracture). Fraktur dapat terjadi unilateral
atau bilateral. Suatu tambahan fraktur pada palatal dapat terjadi,
dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.
Gejala Klinik :
Extra Oral :
a) Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum
b) Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris
c) Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena
fraktur, kadang-kadang terdapat infraorbital echymosis
dan subkonjunctival echymosis
d) Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior
rahang atas dan rahang bawah telah kontak lebih dulu
Intra Oral :
a) Echymosis pacta mucobucal rahang atas
b) Vulnus laceratum, pembengkakan gingival, kadang-
kadang disertai goyangnya gigi dan lepasnya gigi
c) Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi
yang luka, gigi fraktur atau lepas
d) Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah
3) Le Fort II
Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis,
ethmoid, sphlenoid dan sering tulang vomer dan septum nasalis
terkena juga
Gejala Klinik :
Extra Oral :
a) Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah
tersebut terasa sakit
b) Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas
hidung
c) Bilateral circum echymosis, subkonjungtival echymosis
d) Perdarahan dari hidung yang disertai cairan cerebrospinal
Intra Oral :
a) Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke
depan
b) Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar
mengunyah
c) Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum
lidah tertekan sehingga imbul kesulitan bernapas
d) Terdapat kelainan gigi berupa fraktur
e) Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan,
pada bagian hidung terasa adanya step atau bagian yang
tajam dan terasa sakit
4) Le Fort III
Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang
nasalis, maxillaries, orbita, ethmoid, sphlenoid dan zygomaticus
arch. Sepertiga bagian tengah muka terdesak ke belakang
sehingga terlihat muka rata yang disebut “Dish Shape Face”.
Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah
belakang dari M. Ptergoideus dimana otot ini melekat pada
sayap terbesar tulang sphlenoid dan tuberositas maxillary.
Gejala Klinik :
Extra Oral :
a) Pembengkakan hebat pada muka dan hidung
b) Perdarahan pada palatum, faring, sinus maxillaries, hidung
dan telinga
c) Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan
N.opticus dan saraf motoris dari mata yang menyebabkan
diplopia, kebutaan dan paralisis bola mata yang temporer
d) Deformitas hidung, sehingga muka terlihat rata
e) Adanya cerebrospinal rhinotthea dan umumnya bercampur
darah
f) Paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen
yang menyebabkan Bell’s Palsy
Intra Oral :
a) Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang
berat
b) Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan
c) Perdarahan pada palatum dan faring
d) Pernapasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah
(Rasjad Chairuddin, 2015)

8. Penatalaksanaan Medik
Menurut, konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
penanganan fraktur yaitu: rekognisi, reduksi, retensi dan rehabilitasi.
a. Rekognisi (pengenalan). Riwayat kecelakaan derajat keparahan harus
jelas untuk menentukan diagnosa keperawatan dan tindakan
selanjutnya. Frktur tungkai akan terasa nyeri dan bengkak. Kelainan
bentuk nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi (manipulasi). Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk
memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin
kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi
fragmen tulang sehingga kembali seperti semula. Reduksi fraktur
dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi atau reduksi terbuka.
Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
pendarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi frktur menjadi semakin
sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
c. Retensi (immobilisasi). Upaya yang dilakukan untuk menahan
fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optiomal.
Setelah fraktur reduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran tulang sampai penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin dan teknik gips atau fiksator eksterna. Implan logam
dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai
untuk mengimobilisasi fraktur.

Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan di luar kulit untuk


menstabilkan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin
metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal
dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain
dengan mengggunakan eksternal bars. terbuka harus dilakukan secepat
mungkin. Penundaan waktu dapat menngakibatkan komplikasi. Waktu
yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam (golden period).
(Rasjad Chairuddin, 2015).
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Kaji identitas pasien : nama, TTL, usia, alamat, agama,nama
penanggung jawab,pekerjaan penanggung jawab.
b. Kaji keluhan utama pasien : apakah pasien mengalami nyeri atau
adanya penurunan kesadaran
c. Riwayat
1) Riwayat Kesehatan Sekarang.
Gejala saat ini dan durasinya : adanya sesak nafas atau
kesulitan bernafas, nyeri dada dan kaitan nyeri dengan
pernapasan: batuk, produktif atau tidak produktif, warna,
konsistensi sputum,: gejala lain: kesakitan pernapasan atas saat
ini atau kesakitan akut lain; penyakit kronik seperti DM,
PPOK, atau penyakit jantung; medikasi saat ini; alergi obat.
2) Riwayat kesehatan dahulu.
Dengan riwayat penyakit yang diderita klien yang berhubungan
dengan penyakit saat ini atau penyakit yang mungkin dapat
dipengaruhi atau memengaruhi penyakit yang diderita klien
saat ini
3) Riwayat Kesehatan keluarga.
Riwayat kesehatan keluarga dihubungkan dengan kemungkinan
adanya penyakit keturunan,kecenderungan alergi dalam satu
keluarga,penyakit yang menular akibat kontak langsung antara
anggota keluarga.
d. Pola Gordon
1) Pola Persepsi dan Pemeliharaan
Pemahaman kesehatan pada diri sendiri
2) Pola Nutrisi
Terjadi mual, muntah serta penurunan nafsu makan.
3) Pola Eliminasi
Terjadi inkontinensia urine dan kesulitan BAB.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan sampai terjadi
Penurunan kesadaran
5) Pola Istirahat dan Tidur
Gangguan pola tidur dapat berupa kesulitan tidur akibat rasa
pusing atau terjadi penurunan kesadaran
6) Pola Kognitif dan Konseptual
Adanya gangguan berbicara,melihat bahkan pendengaran
7) Pola Konsep Diri
Masalah dengan tubuhnya dan kurangnya percaya diri
8) Pola Koping
Managemen diri terhadap masalah
9) Pola Seksual Reproduksi
Fungsi reproduksi
10) Pola peran Hubungan
Hubungan dengan keluarga dan masyarakat sekitar
11) Pola Nilai dan Kepercayaan
Akan terjadi keterbatasan dalam beribadah karena cedera yang
dialami terutama saat terjadi penurunan kesadaran.
e. Pemeriksaan Fisik
Tampilan, distress nyata, tingkat kesadaran : tanda-tanda vital,
antara lain suhu; warna aksesorius, pernapasan; suara paru.
Pemeriksaan fisik dengan pendekatan persistem dimulai dari
kepala Sampai ujung kaki dapat lebih mudah. Dalam melakukan
pemeriksaan fisik perlu dibekali kemampuan dalam melakukan
pemeriksaan fisik secara sistematis dan rasional. Teknik
pemeriksaan fisik perlu modalitas dasar yang digunakan meliputi:
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

1) Penampilan umum yaitu penampilan klien dimulai pada saat


mempersiapkan klien untuk pemeriksaan.
2) Kesadaran. Status kesadaran dilakukan dengan dua penilaian
yaitu kualitatif dan kuantitatif, secara kualitatif dapat dinilai
antara lain yaitu composmentis mempunyai arti mengalami
kesadaran penuh dengan memberikan respon yang cukup
terhadap stimulus yang diberikan, apatis yaitu mengalami
acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya, samnolen yaitu
mengalami kesadaran yang lebih rendah dengan ditandai
tampak mengantuk bahwa untuk, sopor mempunyai arti
bahwa klien memberikan respon dengan rangsangan yang
kuat dan refleks pupil terhadap cahaya tidak ada. sedangkan
penilaian kesadaran terhadap kuantitatif dapat diukur melalui
penilaian (GCS) Glasgow Coma Scale dengan aspek
membuka mata yaitu, 4 respon verbal yaitu 5 dan respons
motorik yaitu nilai 6.
3) Tanda-Tanda Vital Tanda-tanda vital merupakan pemeriksaan
fisik yang rutin dilakukan dalam berbagai kondisi klien.
Pengukuran yang paling sering dilakukan adalah pengukuran
suhu, dan frekuensi pernafasan.Pada pasien pneumonia
biasanya mengalami demam suhu diatas 37oC, pernapasan
cepat (Tachypnea).
a) Kepala.
- Rambut Kulit kepala tampak bersih, tidak ada luka,
ketombe tidak ada, pertumbuhan rambut jarang, warna
rambut hitam, kekuatan rambut: mudah dicabu atau
tidak, dan tidak ada pembengkakan atau tidak ada nyeri
tekan.
- Mata Kebersihan mata: mata tanpak bersih, gangguan
pada mata: mata berfungsi dengan baik, pemeriksaan
konjungtiva: anemis atau ananemis, sclera biasanya
putih, pupil: isokor atau anisokor dan kesimetrisan
mata: mata simetris kiri dan kanan dan ada atau
tidaknya massa atau nyeri tekan pada mata.
- Telinga Fungsi pendengaran: biasanya berfungsi
dengan baik, bentuk telinga simetris kiri dan kanan,
kebersihan telinga.
- Hidung Kesimetrisan hidung: biasnya simetris,
kebersihan hidung, nyeri sinus, polip, fungsi pembauan
dan apakah menggunakan otot bantu pernapasan.
- Mulut dan Gigi Kemampuan bicara, adanya batuk atau
tidak, adanya sputum saat batuk atau tidak, keadaan
bibir, keadaan platum, kelengkapan gigi, dan
kebersihan gigi.
b) Leher. Biasanya simetris kiri dan kanan, gerakan leher;
terbatas atau tidak, ada atau tidak pembesaran kelenjer
thyroid, ada atau tidaknya pembesaran vena juguralis dan
kelenjer getah bening.
c) Thorak
- Paru-paru
Inspeksi : Perhatikan kesimetrisan gerakan dada,
frekuensi napas cepat (tachipnea), irama, kedalamannya
pernapasan cuping hidung
Palpasi : Adanya nyeri tekan, fremitus traktil bergetar
kiri dan kanan.
Auskultasi : Suara napas ronchi (nada rendah dan
sangat kasar terdengar baik saat inspirasi maupun saat
ekspirasi).
Perkusi : Terdengar bunyi redup (Dullnes) adanya
jaringan yang lebih padat atau konsolidasi paruparu
seperti pneumonia.
- Jantung
Inspeksi : Perhatikan kesimetrisan dada, Ictus cordis
tampak atau tidak.
Palpasi : Ictus cordis teraba, tidak ada massa
(pembengkakan) dan ada atau tidaknya nyeri tekan.
Perkusi : Perkusi jantung pekak (adanya suara perkusi
jaringan yang padat seperti pada daerah jantung).
Auskultasi : Terdengan Suara jantung I dan suara
jantung II (terdengar bunyi lub dub lub dub) dalam
rentang normal.
d) Abdomen
Inspeksi : Bentuk abdomen, kesimetrisan abdomen, ada
atau tidaknya lesi, ada atau tidaknya stretch mark.
Auskultasi : Mendengarkan bising usus (normal 5- 30 x/
menit).
Perkusi : Terdengar suara tympany (suara berisi cairan).
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pemberasan
hepar.
e) Punggung : tidak ada kelainan bentuk punggung, tidak ada
terdapat luka pada punggung.
f) Estremitas Atas : terpasang infuse, apa ada kelemahan atau
tidak pada ekstremitas atas. Bawah: ada atau tidaknya
gangguna terhadap ekstremitas bawah seperti : kelemahan.
Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang
umumnya dipakai untuk memeriksa penderita yang
mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa status
kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada
kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan atau
sebaliknya apakah terjadiperburukan pada penderita.
Penilaian tersebut meliputi :
- Nilai 0: Paralisis total atau tidak ditemukan adanya
kontraksi pada otot
- Nilai 1: Kontaksi otot yang terjadi hanya berupa
perubahan dari tonus otot, dapat diketahui dengan
palpasi dan tidak dapat menggerakan sendi
- Nilai 2: O tot hanya mampu mengerakkan persendian
tetapi kekuatannya tidak dapat melawan pengaruh
gravitasi
- Nilai 3: Dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat
melawan pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap
tahanan yang diberikan pemeriksa
- Nilai 4: Kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai
dengan kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan,
- Nilai 5: Kekuatan otot normal.
g) Genetalia Terpasang kateter atau tidak.
h) Integument. Turgor kulit baik atau tidak, kulit kering.
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Rontgen : Menentukan lokasi/luasnya
fraktur/trauma.
2) Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI : Memperlihatkan
fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak
3) Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vascular dicurigai
4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan
jumlah SDP adalah respons stress normal setelah trauma
5) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klien ginjal
6) Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfuse multiple atau cedera hati

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut
b. Gangguan integritas kulit
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Risiko infeksi
e. Defisit pengetahuan
3. Nursing Care Plan

TUJUAN DAN KRITERIA


NO DX KEP INTERVENSI
HASIL
1 Nyeri akut KH : Tingkat Nyeri Managemen nyeri
a. Keluhan nyeri menurun Observasi
b. Gelisah menurun
a. Identifikasi local,
c. Meringis menurun karakteristik,durasi,fre

d. Kesulitan tidur menurun kuensi, kualitas,


intensitas nyeri,.
e. Pola tidur membaik
b. Identifikasi nyeri.
Kontrol Nyeri
c. Identifikasi respon
a. Kemampuan nyeri non verbal.
mengunakan
teknik non- d. Identifikasi factor

farmakologis yang memperberat

meningkat dan memperingan


nyeri.
b. Dukungan orang
terdekat Terapeutik

meningkat a. Berikan teknik

c. Pengunaan nonfarmakologis untuk

analgetik mengurangi rasa nyeri

menurun (mis.tarik napas dalam,

analgetik kompres
hanagat/dingin).
menurun (5) b. Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri .
teknik non-
c. Fasilitasi istirahat dan
farmakologis
tidur.
meningkat (5)
d. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalampemilihan
strategy meredakan
nyeri.
Edukasi
e. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri.
f. Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
g. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri.
h. Anjurkan mengunakan
analgetik secara tepat.
i. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
analgetik .jika perlu

2 Gangguan KH : Integritas Kulit dan Observasi


Integritas Jaringan a. Monitor karakteristik luka
Kulit/Jaring a. Perfusi jaringan (dranase, warna, ukuran,
an meningkat bau)
b. Kerusakan b. Monitor tanda-tanda
jaringan menurun infeksi.
c. Kerusakan lapisan Terapeutik
kulit menurun a. Lepaskan balutan dan
d. Nyeri menurun plaster secara perlahan.
e. Pedarahan menurun b. Cukur rambut di sekitar
f. Kemerahan luka,jika perlu
menurun c. Bersihkan dengan NACL
g. Nekrosis menurun atau pembersih nontoksik,
h. Suhu kulit membaik sesuai kebutuhan
Penyembuhan luka. d. Bersihkan jaringan Berikan
a. Penyatuan kulit salep yang sesuai dengan
meningkat luka / lesi, jika perlu
b. Penyatuan tepi e. Bersihkan jaringan
luka meningkat nekrotik.
c. Pembentukan jaringan f. Pasang balutan sesuai jenis
parut menurun luka.
d. Edema pada sisi luka g. Pertahankan teknik steril
menurun saat perawatan luka.
h. Ganti balutan sesuai
dengan jumlah eksudat dan
drenase.
i. Jadwalkan perubahan
posisi setiap 2 jam atau
sesuai dengan kondisi
pasien.
Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi.
b. Anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi kalori dan
protein.
c. Ajarkan perawatan luka
secara mandiri.
Kolaborasi
d. Kolaborasi prosedur
debridement
(mis,enzimatik, biologis,
mekanis)
e. Kolaborasi pemberian anti
biotik,jika perlu.
3 Gangguan KH : Dukungan
Mobilitas a. Pergerakan Ambulasi
Fisik eksremitas (I.06171)
meningkat Observasi
b. Nyeri menurun a. Identifikasi
c. Kecemasan menurun adanya nyeri atau
d. Gerakan terbatas keluhan fisik
menurun lainnya
b. Identifikasi
toleransi fisik
melakukan
ambulasi c.
Monitor frekuensi
jantung dan
tekanan darah
sebelum memulai
ambulasi
d. Monitor kondisi
umum selama
melakukan
ambulasi
Terapeutik
a. Fasilitasi
aktivitas ambulasi
dengan alat bantu
(mis. tongkat,
kruk) b. Fasilitasi
melakukan
mobilisasi fisik,
jika perlu c.
Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi
a. Jelaskan tujuan
dan prosedur
ambulasi
b. Anjurkan
melakukan
ambulasi dini
c. Ajarkan
ambulasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis. berjalan dari
tempat tidur ke
kursi roda,
berjalan dari
tempat tidur ke
kamar mandi,
berjalan sesuai
toleransi)

4 Deficit KH : Tingkat Pengetahuan Observasi


pengetahua a. Prilaku sesuai a. Identifikasi kesiapan dan
n anjuran meningkat kemampuan
b. Kemampuan menerima informasi.
menjelaskan tentang b. Identifikasi factor-
suatu topik faktor yang dapat
meningkat meningkatkan dan
c. Menjalani menurunkan motifasi
pemeriksaan yang prilaku hidup bersih dan
tidak tepat menurun sehat.
d. Prilaku membaik
Terapeutik

a. Sediakan materi dan


media pendidikan
kesehatan.
b. Jadwalkan pendidikan
kesehatan.
c. Berikan kesempatan
untuk bertanya.
Edukasi
a. Jelaskan factor resiko
yang dapat
mempengaruhi
kesehtan.
b. Ajarkan perilaku hidup
sehat dan bersih.
c. Ajarkan strategi yang
dapat di gunakan untuk
meningkatkan perilaku
hidup sehat dan bersih.

5 Resiko KH : Tingkat Infeksi Observasi


Infeksi a. Nyeri menurun
a. Monitor tanda dan
b. Kemerahan
gejala infeksi local
menurun
dan sistemik.
c. Bengkak menurun
Terapeutik
d. Demam menurun
b. Batasi jumlah pengunjung.
c. Berikan perawatan kulit
pada area edema.
d. Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan
pasien.
e. Pemberian teknik
aseptik pada pasien
beresiko tinggi.

Edukasi

a. Jelaskan tanda dan gejala


infeksi.
b. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar.

c. Ajarkan etika batuk.

d. Ajarkan cara memeriksa


kondisi luka atau luka
operasi.

e. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi.

f. Anjurkan meningkatkan
asupan cairan.

Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu.

DAFTAR PUSTAKA

Mndagi A.F. Cynthia, Bidjuni Hendro, Hamel S. Rivelino. 2017. Karakteristik


yang berhubungan dengan tingkat nyeri pada pasien fraktur di ruang bedah
rumah sakit umum GMIM BETHESDA TOMOHON. Yogyakarta: e-
journal Keperawatan (e-ke) Vo.5, No.1
Muttaqin Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Rasjad Chairuddin. 2015. Pengantar Ilmu Bedah ORTOPEDI. Makasar: Yarsif
Watampone.
Suardi, NPEP & AA GN Asmara Jaya. 2012. Fraktur pada Tulang Maksila.
Bagian Ilmu Bedah RSUP Sanglah : Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi III. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi
II. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Triono Puji dan Murinto.2015. Aplikasi Pengolahan Citra Untuk Mendeteksi


Fraktur Tulang Dengan Metode Deteksi Terapi Canny. Jurnal informatika
Vol.9, No. 2
Wijaya AS dan Putri YM. 2013. KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah
(Keperawatan Dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai