Oleh :
NIM. 40221003
1. Definisi Tetraparese
Tetraparese adalah kelumpuhan/ kelemahan yang disebabkan oleh
penyakit atau trauma pada manusia yang menyebabkan hilangannya
sebagian fungsi motorik pada keempat anggota gerak, dengan
kelumpuhan/ kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan
dengan tungkai. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak,
kerusakan tulang belakang pada tingkat tinggi (khususnya pada vertebra
cervikalis), kerusakan system saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau
penyakit otot.K erusakan diketahui karena adanya lesi yang menyebabkan
hilangnya fungsi motorik pada keempat anggota gerak, yaitu lengan dan
tungkai (Baehr, 2010).
Pada tetraparese kadang terjadi kerusakan atau kehilangan
kemampuan dalam mengontrol sistem pencernaan, fungsi seksual,
pengosongan saluran kemih dan rektum, sistem pernafasan atau fungsi
otonom. Selanjutnya, dapat terjadi penurunan/kehilangan fungsi
sensorik.Walaupun pada tetraparese itu terjadi kelumpuhan pada keempat
anggota gerak tapi terkadang tungkai dan lengan masih dapat digunakan
atau jari-jari tangan yang tidak dapat memegang kuat suatu benda tapi
jari-jari tersebut masih bisa digerakkan, atau tidak bisa menggerakkan
tangan tapi lengannya masih bisa digerakkan. Hal ini semua tergantung
dari luas tidaknyanya kerusakan (Armon, Camel. 2011))
2. Klasifikasi Tetraparese
Pembagian tetraparese menurut Mardjono (2006) dibagi menjadi dua
berdasarkan kerusakan topisnya, yaitu:
a. Tetraparese spastic
Tetraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper
motor neuron (UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot
atau hipertoni.
b. Tetraparese flaksid
Tetraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower
motor neuron (LMN),sehingga menyebabkan penurunan tonus otot
atau hipotoni.
3. Etiologi Tetraparese
Penyebab penyakit tetraparese menurut Mardjono (2006) :
1. Tabrakan mobil/ motor dan jatuh (sport injury)
2. Polio
3. Spina bifida
4. Polio
4. Manifestasi Klinis Tetraparese
a. Kelumpuhan UMN Dicirikan oleh tanda-tanda kelumpuhan UMN,
yakni sebagai berikut (Harsono, 2010) :
1) Tonus otot meninggi atau hipertonia
Gejala tersebut terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks
motorik tambahan terhadap inti-inti intrinsik medulla spinalis.
Hipertonia merupakan ciri khas dari disfungsi komponen
ekstrapiramidal susunan UMN. Hipertonia yang mengiringi
kelumpuhan UMN tidak melibatkan semua otot skeletal,
tergantung pada jumlah serabut penghantar impuls pyramidal dan
ekstrapiramidal yang terkena.
2) Hiperefleksia
Hiperefleksia merupakan keadaan setelah impuls inhibisi dari
susunan pyramidal dan ektrapiramidal tidak dapat disampaikan ke
motoneuron.
3) Klonus
Tanda ini adalah gerak otot reflektorik, yang bangkit secara
berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung.
4) Refleks patologi
Pada kerusakan UMN sering ditemukan reflex patologik, yang
tidak ditemukan pada orang normal.
5) Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh
Rusaknya motoneuron dapat menyebabkan rusaknya serabut-
serabut otot yang tercakup dalam kesatuan motorik sehingga otot-
otot yang terkena menjadi kecil (atrofi). Dalam hal kerusakan
serabut-serabut otot penghantar impuls motorik UMN, tidak
melibatkan motoneuron.
Tanda-tanda kelumpuhan UMN dapat ditemukan sebagian
atau seluruhnya setelah terjadinya lesi UMN.
b. Kelumpuhan LMN Lesi paralitik di susunan LMN merupakan suatu
lesi yang merusak mptoneuron, akson, motor end plate, atau otot
skeletal, sehingga tidak terdapat gerakan apapun, walaupun impuls
motorik tiba di motoneuron. Adapun tanda-tanda kelumpuhan LMN
yakni :
1) Seluruh gerakan, baik yang voluntar maupun yang reflector tidak
dapat dibangkitkan. Ini berarti bahwa kelumpuhan disertai oleh
hilangnya reflex tendon dan tidak adanya reflex patologis
2) Tonus otot menghilang
3) Atrofi otot cepat terjadi.
5. Patofisiologi Tetraparese
Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor
Neuron (UMN) atau kerusakan Lower Motor Neuron (LMN).
Kelumpuhan/ kelemahan yang terjadi pada kerusakan Upper Motor
Neuron (UMN) disebabkan karena adanya lesi di medula
spinalis.Kerusakannya bisa dalam bentuk jaringan scar, atau kerusakan
karena tekanan dari vertebra atau diskus intervetebralis. Hal ini berbeda
dengan lesi pada LMN yang berpengaruh pada serabut saraf yang berjalan
dari horn anterior medula spinalis sampai ke otot. Pada columna
vertebralis terdapat nervus spinalis, yaitu nervus servikal, thorakal, lumbal,
dan sakral. Kelumpuhan berpengaruh pada nervus spinalis dari servikal
dan lumbo sakral dapat menyebabkan kelemahan/ kelumpuhan pada
keempat anggota gerak. Wilayah ini penting, jika terjadi kerusakan pada
daerah ini maka akan berpengaruh pada otot, organ, dan sensorik yang
dipersarafannya.
Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit
dapat menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari
bagian dibawah lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi
kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau mungkin kerusakan sensorik.
Lesi pada UMN dapat menyebabkan parese spastic sedangkan lesi pada
LMN menyebabkan parese flaksid (Baehr, 2010).
6. Komplikasi Tetraparese
Komplikasi yang dapat terjadi pada tetraparese adalah:
a. Masalah pernapasan seperti hipersekresi, bronkospasme, edema paru
dan pneumonia
b. Terjadi trombo emboli paru atau lainnya (pembekuan darah)
c. Infeksi saluran kencing dan paru
d. Dekubitus
e. Hilangnya kontrol kandung kemih dan peristaltic usus
f. Nyeri (Baehr, 2010).
7. Pemeriksaan Penunjang Tetraparese
a. Pemeriksaan laboraturium
Pada pemeriksaan darah rutin dapat dilihat nilai dari jumlah leukosit
yang dapat menunjukan adanya tanda-tanda infeksi yang merupakan
petanda adanya lesi akibat infeksi. Pemeriksaan kimia darah untuk
mengetahui elektrolit tubuh juga merupakan pemeriksaan yang
penting untuk menilai lesi. Kelumpuhan keempat anggota gerak yang
bersifat LMN, mutlak motorik dianggap kelumpuhan miogenik.
Patofisiologi nya masih kurang jelas, tetapi secara klinis terbukti
mempunyai hubungan yang erat dengan ion kalium. Dikenal 3 macam
paralisis periodic. Yang pertama ialah paralisis periodik hipokalemik
familial, kedua yaitu paralisis periodic hiperkalemik familial dan yang
ketiga adalah paralisis periodik normokalemik. Perbedaan yang
ditonjolkan oleh klasifikasi tersebut berdasarkan kadar kalium dalam
serum. Pada jenis hipokalemik familial, paralisis bangkit pada waktu
pagi hari atau setelah beristirahat atau setelah bekerja, atau setelah
makan makanan tinggi karbohidrat. Paralisis dapat berlangsung
beberapa jam bahkan sampai beberapa hari. Kadar kalium dibawah 3
mEq/L . pada jenis hiperkalemik, kelumpuhan keempat anggota gerak
bangkit selalu setelah bekerja. Sebagian dengan miotonia atau
sebagian tidak, paralisis biasanya tidak berlangsung lama dan kadar
kalium dalam serum lebih dari 4,2 mEq/L. Jenis normokalemik sering
menimbulkan kesukaran, baik dalam diagnosis maupun terapi.
Serangan paralisis nya sering bersifat total dan berlangsung lama.
Pemberian kalium dapat memperburuk keadaan.
b. Pemeriksaan Radiologis
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium
yang mengarahkan ke diagnosis tetraparese tipe lower maupun upper
motor neuron, maka diperlukan pemeriksaan radiologi untuk
menyingkirkan penyebab yang lain. Pemeriksaan rontgen thoraco-
lumbal juga dapat membantu menegakkan diagnosis (Lumbantobing,
2010).
8. Penatalaksanaan Tetraparese
a. Terapi Farmakologi
Tujuan pengobatan adalah mengobati gejala simptom dan
memperbaiki keadaan umum penderita. Pencegahan sebaiknya
disesuaikan dengan faktor pencetusnya, Bila faktor pencetusnya
karena gangguan elektrolit, maka pemberian cairan elektrolit yang
sesuai selama serangan dapat mengurangi gejala. Pengobatan yang
dianjurkan adalah pemberian kalium per oral, jika keadaan berat
mungkin dibutuhkan pemberian kalium intra vena. Penderita
mendapat pengobatan pencegahan dengan menghindari faktor-faktor
pencetus dan pemberian preparat kalium peroral.
b. Terapi non farmakologi
Rehabilitasi secara komprehensif dengan melakukan fisioterapi yang
dilakukan setelah onset terbukti meningkatkan fungsi saraf motorik
dengan tetraparese (Harsono, 2010).
9. WOC
Trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh, atau sport injury), cedera medula spinalis atau karena penyakit reaksi autoimun dan infeksi (seperti mielitis
transversal, polio, atau spina bifida).
Kelemahan/ paralisis
Kelumpuhan
CO2 menurun
Mobilitas lama Bising usus menurun Paralisis Sfingter uretra Refleks menelan
terganggu menurun
Penurunan Sirkulasi darah
Luka dekubitus Sendi kaku Kontraktilitas ke tubuh mnurun
fungsi sendi Retensi urin Penurunan
usus menurun
intake nutrisi
Gg. Integritas Gg. Mobilitas Gg. Mobilitas Kebutuhan O2
kulit Fisik Konstipasi Fisik dalam paru
Risiko Defisit berkurang
Sesak napas
Kolaborasi
n. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA