Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KASUS FRAKTUR MAXILLA

DI RSUD KAB. INDRAMAYU

Disusun Oleh :

Tania Febriyanti

21149011041

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKes YPIB Majalengka

Tahun Ajaran 2021/2022


LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR MAXILLA

A. Pengertian
Fraktur maksila merupakan bagian dari trauma maxilofasial. Fraktur maxilofasial atau
fraktur wajah adalah putusnyakontinuitas tulang, tulang epifisis atau tulang rawan sendi.
MenurutReksoprodjo (1995), fraktur adalah suatu keadaan dimana tulang retak, pecahatau
patah, baik tulang maupun tulang rawan. Bentuk dari patah tulangbisa hanya retakan
saja atau bisa juga sampai hancur berkeping-keping.
Fraktur maksila adalah kerusakan pada tulang maxilla yang seringkali terjadi akibat
adanya trauma, periodontitis maupun neoplasia.
Secara anatomis maksila atau rahang atas merupakan tulang berpasangan. Maksila
memiliki sepasang rongga berupa sinus maksilaris, ke atas berhubungan dengan tulang
frontal dan tulang nasal, ke lateral dengan tulang zygoma dan inferior – medial pada prosesus
frontalis maksila. Maksila merupakan tulang yang tipis, pada bagian lateral lebih tebal dan
padat, pada bagian ini disangga olehzygomatimaksilari(Stack & Ruggiero, 2006)
Maxila dibentuk oleh tulang maksila dan palatum, merupakan tulang terbesar setelah
mandibula (Moe, 2013). Masing-masing maxila mempunyai bagian :
1. Corpus : yang berbentuk pyramid dengan empat permukaan dinding
a. Facies orbitalis yang ikut membentuk dasar kavum orbita
b. Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasi
c. Facies infra temporalis yang menghadappostero-lateral
d. Facies anterior
2. Processus, terdiri dari empat, yaitu :
a. Processus frontalisyang bersendi pada os frontal, nasal dan lakrimalis
b. Processus zygomaticus yang bersendi pada os zygomatikus
c. Processus alveolaris yang ditempati akar gigi
d. Processus palatinus yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris
Corpus maksilaris merupakan bangunanberongga, berdinding tipis, terutama pada
facies nasalis. Rongga ini disebut  sinus maksilaris, yang merupakan salah satu danyang
terbesar dari empat sinus paranasalis yang ada. Besar sinus bervariasi tergantung usia dan
perluasan processus. Dibawah mukosanya, pada dinding anteriordan posterior terdapat
anyaman syaraf yang dibentuk oleh cabang nervus maxilaris yang masuk melalui kanalis
alveolaris dan kanalis infraorbita bersama dengan  vasanya untuk mensyarafi gigi rahang atas.
Akar gigi yang tumbuh pada processus alveolaris kadang dapat menembus sinus

Terdapat otot-otot kecil  dan tipis yang melekat pada maksila dan termasuk dalam
golongan otot mimik yang mendapat persyarafan motorik dari N VIII.

B. Etiologi
Penyebab fraktur fasiomaksila adalah trauma, misalnya yangdiakibatkan oleh kecelakaan
lalu lintas,jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cederaolahraga, kecelakaan akibat
peperangan, dan tindakan kekerasan (Fonseca &Walker, 2005) sertafraktur patologis.
Penyebab fraktur terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas (Bailey,1992). Hal ini terjadi
dikarenakan kurangnya perhatianterhadap keselamatan jiwa pada saat berkendaraan, seperti
tidak menggunakan pelindung kepala/ helm,kecepatan dan rendahnya kesadaran tentang
etika berlalu-lintas (Devadiga &Prasad, 2007).
Trauma maxillofacialcukup sering terjadi. Hampir semua dokter, baik itu dokter
umummaupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien trauma wajah selama praktiknya.
Dokterbedah plastik yang memiliki keahlian khusus dalam anatomi wajah, latar belakang
estetika, dankeahlian dalam penyembuhan luka sering kali mendapatkan rujukan untuk
menangani pasientrauma wajah.(Tiwana Paul, et al, 2006).
Fraktur maksila juga dapat terjadi pada anak-anak, dengan peningkatan prevalensi
seiringdengan meningkatnya usia anak terkait dengan peningkatan aktivitas fisik. Fraktur
maksila padaanak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan orang dewasa baik itu dari
segi pola,maupun treatment. Dengan demikian, adanya fraktur maxillofacialharus dapat
didiagnosis danditangani dengan tepat dan akurat untuk menghindari gangguan pertumbuhan
dan perkembanganselanjutnya, mengingat adanya gangguan fungsional dan masalah estetika
yang mungkin terjadi (Andrea et al, 2008)
C. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur maxila dikembangkan pertama kali oleh Rene Le Fort (1869-1951),
ahli bedah dari Lilie, dan Martin Wassmun (1892-1956), ahli bedah mulut dan maksilofasial
dari Berlin (Budiharja & Rahmat, 2012).dengan melaporkan penelitian pada jenazah yang
mengalami trauma tumpul pada wajah. Disimpulkan terdapat pola prediksi fraktur
berdasarkan kekuatan dan arah trauma  (Thornton,Talavera&Garza, 2006) Dibagi kedalam 3
tipe yaitu :
1. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I terjadi di atas level gigiyang menyentuh palatum, meliputi
keseluruhan prosesus alveolar dari maksila, kubah palatum dan prosesus pterigoid.
Fraktur membentang secara horizontal menyeberangibasis sinus maksila (Fraioli, 2008).
Dengan demikian dindingmaksilari transversal bawah akan bergeserterhadap tulang
wajah lainnya maupun kranium (Hopper Richard A, 2006)
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggalatau bergabung dengan
fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Fraktur Le Fort I inisering disebut sebagai fraktur
transmaksilari/ Guerin(Budiharja & Rahmat, 2012).
2. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secaraklinis mirip dengan fraktur
hidung. Bila fraktur horizontal biasanyaberkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur
pyramidalmelibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dannasofrontalis
merupakan sutura yang sering terkenaSeperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya
lengkung rahangatas, bisa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saatpemeriksaan.
Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibandingfraktur Le Fort I, begitu juga
dengan gangguan oklusinya, tidak separah padaLe Fort I (Baumann, Troulis &Kaban,
2004)
3. Fraktur Le Fort III (craniofacial disjunction)
Fraktur jenis ini merupakan cedera yangterparah. Bagian tengah wajah benar-benar
terpisah dari tempatperlekatannya yakni basis kranii (Fraioli, 2008)
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral,di mana bagian yang
terkena trauma dan besarnya tekanan yang dihasilkandapat mengakibatkan pemisahan
tersebut, cukup kuatuntuk mengakibatkan trauma intracranial (Suardi, 2012).
D. Manifestasi Klinis
Rahang yang patah biasanya menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan rahang, dan
kebanyakan orang sering merasa bahwa gigi mereka sakit biasa. Seringkali, mulut tidak dapat
dibuka lebar, atau bergeser ke satu sisi saat membuka atau menutup. Fraktur maxilla sering
menyebabkan pembengkakan dan deformitas wajah. Pembengkakan jarang menjadi cukup
berat untuk menyebabkan seeorang mengalami gangguan pada saluran pernapasan. Gejala
fraktur maxilla yang dapat terjadi :
a. Mimisan;
b. Memar di sekitar mata dan hidung;
c. Bengkak pada pipi;
d. Bentuk di sekitar hidung tidak beraturan;
e. Mengalami kesulitan dalam penglihatan;
f. Memiliki penglihatan ganda;
g. Terjadi mati rasa di daerah rahang atas;
h. Mengalami kesulitan mengunyah, berbicara atau makan;
i. Saat mengunyah, berbicara, atau makan akan terasa sakit di bibir
j. Terdapat gigi yang patah
E. Tanda dan Gejala
1) Fraktur Le fort I : tidak terdapat edema wajah, tidak ada ekimosis sirkumorbital dan
subkonjungtiva,maksila dapat turun kebawah atau kearah lateral, pada intra orbital
terjadi maloklusi dan ekimosis, pada palpasi terlihat mobilitasmaxila.
2) Fraktur Le Fort II dan III: terjadi ekimosis dan perdarahan subkonjungtiva,
perdarahan hidung dan naso faring, pendataran atau pemanjangan profil muka, ada
kemungkinan terjadi parestesi daerah infra orbita dan cerebrocranial fluid rhinorrhea.
Pada trauma yang berat bagian tengah wajah akan terdesak kearah posteroinferior,
sehingga palatum bertemu denganlidah, edema, perdarahan dan pada akhirnya akan
menyumbat jalan nafas.
Secara umum, gejala klinis yang muncul diantaranya:
a) Nyeri ketika mulut dibuka dan daerah yang fraktur dipegang
b) Bentuk infra orbita asimetris
c) Edema
d) Hidung atau mulut mengeluarkan darah.
e) Terjadikerusakan pada bagian hidung.
F. Patofisiologi
Pathofisiologi pada fraktur maxilofasial (mandibula, maxila dan orbita) seringkali
disebabkan olehadanya trauma kepala yang disertai dengan luka serius sehingga
menyebabkan kerusakanpada os mandibula, maksilla, system pernafasan atas, system syaraf
pusat, pneumothorax,kontusio pulmoner dan miocarditis traumatic. Sedangkan kerusakan
yang terjadi secara tidak langsung misalnya adanyapencabutan gigi dengan disertai
periododental atau disertai dengan gangguan metabolismeyang menyebabkan osteoporosis.
Ketidaknormalan ini sering terjadi secara akut sehinggadibutuhkan penanganan yang cepat
dan tepat. Jika perawatan yang diberikan kurang tepatakan menyebabkan abnormalitas
permanen pada bentuk tulang yang dapat berdampakpada menurunya fungsi sebenarnya.
Penanganan sebaiknya dilakukan sebelum tulang yangtelah mengalami kelainan atau
abnormal bertaut atau membentuk jaringan ikat antaratulang-tulang abnormal. Seringkali
kasus fraktur mandibula diawali dengan hilangnya tulangakibat periodontitis.

G. Pathway
Trauma Langsung Trauma tidak langsung kondisi patologi

Fraktur
Diskontinuitas tulang pergeseran frag tulang Nyeri
Peruh jaringan sekitar kerusakan frag tulang susah tidur
Pergeseran fragmen tulang tek ssm tulang>tinggi dari kapiler
Gangguan
Deformitas reaksi stress klien pola tidur
Gangguan fungsi melepaskan katekolanim

Gangguan
mobilisasi Memobisasi asam lemak
Kelemahan bergabung dengan trombosit emboli

Nutrisi kurang Gangguan


dari kebutuhan perfusi jaringan

Intregritas kulit
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan klinis dilakukan berbeda pada masing-masing Le Fort :
1. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni
secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas
dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi
terdapat rasa nyeri.
2. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni
secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan
dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama
tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang
hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan
selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah
anterolateral, foto wajah polos dan Computed Tomography (CT) scan.
3. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi
dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral.
Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran
seluruh bagian atas wajah.Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan
dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada fraktur maksila tahap awal meliputi pembebasanjalan nafas, kontrol
pendarahan,penutupan luka pada soft tissue, dan menempatkan segmen tulang yang fraktur
sesuai denganposisinya melalui fiksasi intermaksilari (Fraioli, 2008).
Jika pada awal kejadian  jalan nafas mengalami  perdarahan dan obstruksi maka harus
segera dilakukan tindakan,  kadang diperlukan tracheostomy, dilanjutkan dengan reduksi dan
fixasi jika memungkinkan.
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar,fiksasimaksilomandibular,
dan suspensi kraniomandibular yangdidapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila
segmen frakturmengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan denganmenggunakan tang
pengungkit, atau secara tidak langsung denganmenggunakan tekanan pada splint/arch
bar (Fraioli, 2008).
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa denganfraktur Le Fort I. Hanya
perbedaannya adalah perlu dilakukanperawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur
nasal biasanyadireduksi dengan menggunakan molding digital dan
splinting (Baumann, Troulis& Kaban, 2004)
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat denganmenggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, pengawatanlangsung bilateral, atau pemasangan pelat pada
suturazigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessuszigomatikus ossis
frontalis (Fitriana  dan Syamsudin, 2013)
Manajemen pasca operasi terdiri dari perawatan secara umum pada pasien seperti
kebesihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, danantibiotik selama periode perioperasi
J. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien lengkap meliputi nama umur tanggal lahir agama alamat nomer
register, tanggal masuk rumah sakit
b. Keluhan utama: adanya rasa nyeri dan keterbatasan gerak atau kehiangan fungsi
pada bagian tulang yang mengalami fraktur
c. Riwayat penyakit sekarang: mengkaji kronologi terkait penyakit yang dialami
serta upaya pengobatan yang sudah dilakukan sebelum masuk rumah sakit
bersangkutan.
d. Riwayat penyakit dahulu: mengkaji adanya penyakit dahulu seperti riwayat
hipertensi, riwayat DM dsb.
e. Riwayat penyakit keluarga: mengkaji adanya keluarga yang memiliki penyakit
yang sama seperti pasien atau adanya riwayat penyakit menurun seperti DM.
f. Pola kebiasaan
1) Pola nutrisi: pasien dengan fraktur maxilla umumnya intake
nutrisinya akan terganggu dan biasanya diberikan diet cair.
2) Pola eliminasi: pasien biasanya tidak mengalami masalah pada pola
eliminasi

3) Pola istirahat: pada pola isirahat dapat muncul gangguan tidur yang
diakibatkan oleh nyeri yang dirasakan pasien
4) Pola aktivitas: pasien akan mengalami keterbatasan gerak atau
kehilangan fungsi pada daerah fraktur.
5) Personal hygiene: pasien masih mampu melakukan personal hygiene
namun harus dibantu.
6) Riwayat psikologis: pasien biasanya akan mengalami rasa takut,
cemas ketika akan dilakukan pembedahan atau operasi
7) Riwayat sosial: umumnya hubungan sosial pasien tidak terganggu.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada daerah fraktur, terjadi
peningkatan temperature, kesadaran composmentis, dapat ditemukan hipertensi,
takikardi, pembekakan pada daerah fraktur, gangguan penglihatan juga dapat
ditemukan pada pasien dengan fraktur maxilla.
Pengkajian nyeri didapatkan
P : akibat trauma langsung, trauma tidak langsung, atau patologis
Q : nyeri seperti tertusuk-tusuk
R : daerah wajah
S : nyeri sedang sampai berat
T : terus menerus dan semakin nyeri saat digerakan
3. Diagnosa Keperawatan

a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik


b) Gangguan pola tidur berhubungan dengan persaan tidaknyaman
c) Resiko infeksi berhubungan dengan port de entry akibat pembedahan.
d) Gangguan mobilisasi berhubungan dengan gangguan muskoleskeletal
e) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan post operasi drainase
f)Ansietas berhubungan dengan perubahanstatus kesehatan
g) Resiko syok berhubungan dengan perdarahan
Rencana Perawatan
Kode (SDKI)/ Diagnosis Keperawatan
SLKI SIKI
D.0077 Setelah dilakukan tindakan Utama:
Nyeri akut berhubungan dengan agen selama 1x24 jam Diharapakan: - Manajemen nyeri
pencederaan fisik Utama: - Pemberian analgesik
Yang ditandai dengan : - Tingkat nyeri Pendukung:
 Tanda mayor Tambahan: - Dukungan pengungkapan
- Tampak meringis - Fungsi gastrointestinal kebutuhan
- Bersikap protektif (mis. Waspada, - Kontrol nyeri - Edukasi efek samping obat
posisi menghindar nyeri) - Mobilitas fisik - Edukasi manajemen nyeri
- Gelisah - Penyembuhan luka - Edukasi proses penyakit
- Frekuensi nadi meningkat - Perfusi miokard - Edukasi teknik napas
- Sulit tidur - Perfusi perifer - Kompres dingin
 Tanda minor - Pola tidur - Kompres panas
- Nafsu makan berubah - Status kenyamanan - Konsultasi
- Tekanan darah meningkat - Latihan pernapasan
- Pola nafas berubah - Manajemen efek samping obat
- Proses berfikir terganggu - Manajemen kenyamanan
- Menrik diri lingkungan
- Berfokus pada diri sendiri - Manajemen medikasi
- diaforesisi - Pemantauan nyeri
- Pemberian obat
- Pemberian obat intravena
- Pemberian obat oral
- Pemberian obat topical
- Pengaturan posisi
- Perawatan amputasi
- Perawatan kenyamanan
- Terapi relaksasi

Rencana Perawatan
Kode (SDKI)/ Diagnosis Keperawatan
SLKI SIKI
D.0054 Setelah dilakukan tindakan Utama:
Gangguan mobilitas fisik berhubungan selama 1x24 jam Diharapakan: - Dukungan ambulasi
dengan keusakan muskoleskeletal Utama: - Dukungan mobilisasi
Yang ditandai dengan : - Mobilitas fisik Pendukung:
 Tanda mayor Tambahan: - Dukungan kepatuhan program
- Mengeluh sulit tidur - Berat badan pengobatan
- Mengeluh sering terjaga - Fungsi sensorik - Dukungan perawatan diri
4. Inte

Kode (SDKI)/ Diagnosis Rencana Perawatan


Keperawatan SLKI SIKI
D.0129 Setelah dilakukan tindakan
Utama:
Gangguan integritas kulit selama 1x24 jam Diharapakan: - perawatan integri
berhubungan dengan Utama: Pendukung:
kerusakan sirkulasi dan - integritas kulit dan jaringan - dukungan keperaw
penurunan sensasi ditandai Tambahan: - edukasi edema
dengan oleh terdapat luka. - pemulihan pascabedah - edukasi kemoterap
Yang ditandai dengan : - penyembuhan luka - edukasi pencegaha
 Tanda mayor - perfusi perifer - edukasi perawatan
- Kerusakan jaringan/ - respon alergi lokal - edukasi program p
lapisan kulit - status nutrisi - edukasi reaksi aler
 Tanda minor - status sirkulasi - manajemen kemot
- Nyeri - termolegulasi - manajemen reaksi
- Perdarahan - pemantauan nutris
- Kemerahan - pemberian obat ku
- Hematoma - pemberian obat tro
- pencegahan infeks
- pencegahan luka t
- pengambilan spec
- pengaturan posisi
- penggunan terapi
- pengontolan infek
- perawatan kaki
- perawatan kulit pr
- perawatan sirkulas
- perawatan tirah ba
- perawatan traksi
- promosi keberisha

Kode (SDKI)/ Diagnosis Rencana Perawatan


Keperawatan SLKI SIKI
D.0142 Setelah dilakukan
Utama:
Risiko infeksi berhubungan tindakan - Manajemen imunisasi atau
dengan luka pasca-bedah.. selama...Diharapakan: vaksinasi
Utama: - Pencegahan infeksi
- Tikat infeksi Pendukung:
Tambahan: - Dukungan pemeliharaan
- Integritas kulit dan rumah
jaringan - Dukungan perawatan diri
- Kontrol resiko mandi
- Status imun - Edukasi pencegahan luka
- Status nutrisi tekan
- Edukasi seksualitas
- Induksi persalinan
- Latihan batuk efektif
- Menejemen jalan nafas
- Menejemen imunisasi atau
vaksinasi
- Menejemen lingkungan
- Menejemen medikasi
- Pemantauan elektrolit
- Pemantauan nutrisi
- Pemantauan tanda-tanda vital
- Pemeberian obat intravena
- Pemberian obat oral
- Pencegahan luka tekan
- Pengaturan posisi
- Perawatan amputasi
- Perawatan area insisi
- Perawatan kehamilan resiko
tinggi
- Perawtan lungka
- Perawtan luka bakar
- Perawatan luka tekan
- Perawatan paska persalinan
- Perawatan perineum
- Perawatan persalinan
- Perawatan persalinan resiko
tinggi
- Perawatan selang
- Perawatan selang dada
- Perawatan selang
gastointestinal
- Perawatan selang umbilikal
- Perawatan sirkumsisi
- Perawatana skingraft
- Perawatan terminas
kehamilan

Kode (SDKI)/ Diagnosis Rencana Perawatan


N
Keperawatan SLKI SIKI
D.0080 Setelah dilakukan Utama:
Ansietas berhubungan kuang tindakan selama... - Reduksi ansietas
terpapar informasi Diharapkan : - Terapi relaksasi
Tanda mayor Utama : Pendukung:
Subjektif - Tingkat ansietas - Bantuan kontrol marah
- Merasa bingung Luaran tambahan : - Biblioterapi
- Merasa khawatir dengan - Dukungan sosial - Dukungan emosi
akibat dari kondisi yang - Harga diri - Dukungan hipnosis diri
dihadapi - Kesadaran diri - Dukungan kelompok
- Sulit berkonsentrasi - Kontrol diri - Dukungan keyakinan
Objektif - Proses informasi - Dukungan manfaat
- Tampak gelisah - Status kognitif - Dukungan pelaksaan
- Tampak tegang - Tingkat agitas ibadah
- Sulit tidur - Tingkat pengetahuan - Dukungan pengungkapan
Tanda minor kebutuhan
Subjektif - Dukungan proses berduka
- Mengeluh pusing - Intervensi krisis
- Anoreksia - Konseling
- Palpitasi - Manajemen demensia
- Merasa tidak berdaya - Persiapan pembedahan
Objektif - Teknik distraksi
- Frekuensi nafas - Terapi hipnosis
meningkat - Teknik imajinasi
- Frekuensi nadi terbimbing
meningkat - Teknik menenangkan
- Tekanan darah - Terapi musik
meningkat - Terapi blofecdback
- Diaforesi - Terapi diversional
- Tremor - Terapi seni
- Muka pucat
- Suara bergetar
- Kontak mata buruk
- Sering berkemih
- Berorientasi pada masa
lalu

Kode (SDKI)/ Diagnosis Rencana Perawatan


Keperawatan SLKI SIKI
D.0109 Setelah dilakukan
Utama:
Defisit perawatan diri tindakan - Dukungan perawatan diri
berhubungan dengan selama...Diharapakan: - Dukungan perawatan diri
gangguan neuromuscular Utama: BAB/BAK
- Perawatan diri - Dukungan perawatan diri
Tambahan: berhias
- Fungsi sensori - Dukungan perawatan diri
- Koordinasi pergerakan berpakaian
- Mobilitas fisik - Dukungan perawatan dir
- Motivasi makan/minum
- Status kognitif - Dukungan perawatan diri
- Status neurologi mandi
- Tingkat derilium Pendukung:
- Tingkat demensia - Dukungan pemeliharaan
- Tingkat keletihan rumah
- Tingkat kenyamaan - Dukungan perawatan diri
- Tingkat nyeri mandi
- Edukasi pencegahan luka
tekan
DAFTAR PUSTAKA

Ajike S.O., Adebayo E.T., Amanyiewe E.U., 2005, An epidemiologic survey of


maxillofacial fractures and concomitant injuries in kaduna, nigeria, Nigerian J of Surgical
research: 251- 55.
Arosarena Oneida A, MD, et al. Maxillofacial Injuries and Violence Against Women. Arch
Facial Plast Surgery. 2009; 11(1):48-25.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Kasiati dan Rosmalawati, N. W. D. . Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan: Kebutuhan
Dasar Manusia I. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/moduk-bahan-ajar-tenaga-kesehatan/.

Moorhead et. al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). Oxford:

Elsevier Nanda Internasional. 2018. Diagnosis Keperawatan 2018-2020.

Jakarta: EGC

Perry & Potter. 2006. Buku ajar fundal mental keperawatan konsep, proses

dan praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Price, S. A. 2005. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.

Jakarta: EGC

Risnanto dan Insani, U. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah:

Sistem Muskuloskaletal. Yogyakarta: Deepublish

Anda mungkin juga menyukai