Anda di halaman 1dari 37

TRAUMA MAKSILOFASIAL

BAB I
PENDAHULUAN

Wajah merupakan pusat perhatian utama dari seorang individu. Trauma atau
cedera pada wajah tidak hanya akan mengganggu penampilan, namun juga dapat
menyebabkan gangguan beberapa fungsi luhur oleh karena di daerah wajah juga
banyak terdapat struktur penting, seperti indera penglihatan, bicara, menelan, jalan
nafas, sampai cedera otak. Cedera wajah dapat melibatkan kerusakan kulit, jaringan
lunak sampai jaringan tulang, serta perlu diperhatikan secara khusus terutama pada
cedera muka yang mengenai saraf sensorik maupun motorik, kelenjar dan saluran air
liur. Dampak jangka panjang dari trauma maksilofasial seperti retraksi bekas luka
pada bibir, hidung, dan kelopak mata serta aspek kosmetik juga penting sekali
diperhatikan pada pengelolaan luka wajah. Cedera maksilofasial lebih sering terjadi
sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan
kekerasan.
Begitu banyak struktur penting di daerah wajah inilah maka penatalaksanaan
trauma maksilofacial perlu terus dikembangkan guna mencapai hasil yang
memuaskan baik dari segi kosmetik maupun perbaikan fungsi. Penatalaksanaan
dengan pembedahan bertujuan mengatasi mobiditas yang terjadi.

BAB II
A. ANATOMI MAKSILOFASIAL
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama
dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada
anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa.
Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam
membentuk wajah manusia.
Cranium dibagi menjadi 2 bagian, sebagai berikut :
1. NEUROCRANIUM
2. VISCEROCRANIUM (= SPLANCHNOCRANIUM)
Neurocranium membentuk cavitas cranii, yang ditempati oleh
encephalon, dan dibagi menjadi bagian yang membentuk basis cranii dan
calvaria cranii. Tulang-tulang yang membentuk neurocranium adalah os
frontale, os ethmoidale, os sphenoidale, os nasale, os lacrimale, os temporale
dan os parietale. Dua tulang yang tersebut terakhir ini berpasangan.Masih ada
tulang-tulang lainnya yang berada di bagian profunda, yaitu sebuah os vomer,
sepasang os palatinum, sepasang os concha nasalis inferior.

Gambar 1. cranium bagian lateral

Pada viscerocranium terdapat rongga-rongga yang ditempati oleh


organum visuale, organum vestibulocochleare, organum olfactus, organus
gustatus. Juga terdapat lubang-lubang yang berfungsi sebagai pintu masuk
(dan keluar) untuk makanan dan udara respirasi. Selain itu terdapat dentes
pada maxilla dan mandibula, yang berperan dalam mastikasi.

Gambar 2. Anatomi Tulang Maksilofasial

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari


tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang
membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan
rongga mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian:
a. Bagian hidung terdiri atas:
Os Lacrimal letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di
sudut mata. Os Nasal yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan
konka nasal, letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat.
Septum nasi adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak.

b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :

Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yang


terdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit,
terdiri dari dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang
rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang
kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula
terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot.

B. VASKULARISASI DAN INNERVASI MAKSILOFASIAL


Vaskularisasi daerah muka terutama berasal dari arteri karotis eksterna
yang menyediakan suplai darah ke wajah. Percabangan yang penting antara
lain arteri dan vena lingualis, arteri dan vena fasialis, arteri maksilaris interna,
dan arteri dan vena temporalis superfisial.

Gambar 3. Vaskularisasi Maksilofasial

Sementara persarafan pada area maksilofasial terdiri dari: 5


1) Nervus optalmikus
Percabangan pertama dari n. trigeminus berfungsi menghantarkan
rangsangan sensorik dari kulit dahi, bulu mata atas, dan konjungtiva.
2) Nervus maksilaris
Cabang kedua dari n. trigeminus mempersarafi bagian sensorik bagian
belakang sisi hidung, bulu mata bawah, pipi, dan bibir atas.
3) Nervus mandibularis
Cabang ketiga dari n. trigeminus, mempersarafi bagian motorik dan
sensorik otot-otot mastifikasi, kulit dari bibir bawah, dagu, region
temporal, dan bagian aurikula.

4) Nervus fasialis mempersarafi semua otot-otot ekspresi wajah


5) Nervus aurikularis mayor.

Gambar 4. Innervasi Maksilofasial

BAB III

A. DEFINISI
Fraktur maksilofasial atau fraktur wajah adalah pecah atau patah atau
terputusnya kontinuitas tulang tulang di daerah wajah. Fraktur merupakan
salah satu bentuk trauma yang dapat terjadi pada maksilofasial.Fraktur adalah
suatu keadaan dimana tulang retak, pecah, atau patah, baik tulang maupun
tulang rawan. Bentuk dari patah tulang bisa hanya retakan saja, sampai hancur
berkeping-keping.
Trauma oromaksilofasial merupakan trauma yang menyebabkan
wwbncedera pada jaringan lunak serta jaringan keras di daerah wajah, mulut,
dan dentoalveolar. Cedera pada jaringan lunak antara lain: abrasi, kontusio,
luka bakar dan laserasi. Cedera dentoalveolar berupa trauma tulang alveolar,
trauma pada gigi geligi yang dapat disertai dengan kegoyangan gigi,
pergeseran letak gigi dan avulsi.
Cedera pada jaringan keras yaitu berupa fraktur. Pada fraktur
maksilofasial, setiap bagian wajah mungkin dapat terpengaruh. Gigi dapat
lepas atau goyang. Mata dengan otot-otot, saraf, dan pembuluh darahnya
mungkin mengalami cedera sehingga dapat menyebabkan gangguan
penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola mata dan juga seperti halnya
rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang kuat. Fraktur juga salah satu

bentuk trauma yang dapat menyebabkan cedera pada rongga mata sehingga
mengakibatkan seseorang melihat ganda suatu objek (diplopia).

B. ETIOLOGI
Trauma tumpul yang cukup keras merupakan etiologi dari trauma
tersebut. Trauma merupakan urutan keempat penyebab kematianKecelakaan
lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma oromaksilofasial.
Beberapa literatur bahasa Inggris melaporkan bahwa terdapat hubungan antara
posisi duduk pengemudi atau penggunaan sistem penahan terhadap keparahan
dari cedera oromaksilofasial yang dialami pasien kecelakaan lalulintas.
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial
itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan
akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari t
indakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.

C. EPIDEMIOLOGI
Trauma fasial disebut juga trauma maksilofacial adalah trauma akibat
ruda paksa terhadap wajah. Trauma maksilofacial terjadi sekitar 6% dari
seluruh trauma. Lebih dari 3 juta trauma fasial terjadi di Amerika Serikat
setiap tahun. Trauma fasial menyebabkan fraktur fasial yang banyak terjadi.
Pada

2001,

sebanyak

24.298

penderita

memerlukan

pembedahan

maksilofacial untuk trauma pada wajah dan rahang. Trauma maksilofacial

10

pada tahun 2011 di Royal Brisbane Hospital (Queensland) meningkat 28%


pada periode 10 bulan yang sama dibandingkan pada tahun 2010. Rasio pria
dibanding wanita 3:1 untuk dewasa, tetapi rasio ini berkurang pada pasien
anak-anak 3:2.
Fraktur tulang fasial terjadi karena beban trauma yang lebih besar dari
tahanan tulang fasial. Fraktur fasial dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu
fraktur tulang hidung, fraktur zigoma dan arkus zigoma, fraktur maksila,
fraktur orbita dan fraktur mandibula. Tulang hidung adalah struktur fasial
yang paling sering mengalami fraktur, dilaporkan kira-kira 40% dari tulang
yang mengalami fraktur pada trauma fasial. Pada waktu penyerangan, tulang
hidung,tulang mandibula dan tulang zigoma adalah tulang yang paling umum
mengalami fraktur.
D. FAKTOR RISIKO
Kecelakaan kendaraan bermotor bertanggung jawab untuk 60% fraktur
fasial, serta sisanya adalah penyerangan 24%, jatuh 9%, kecelakaan industri
4%, olahraga 2%, dan tembakan senjata 2%. Tergantung pada pusat trauma,
jumlahpenderita

trauma

fasial

akibat

penyerangan

bersaing

dengan

kecelakaan kendaraan bermotor. Diantara trauma akibat olahraga tinju yang


terutama dihubungkan dengan trauma fasial yang insidensnya tinggi. Dalam
rangkaian lebih dari 200 fraktur fasial yang terlihat di pusat trauma perkotaan,
penyerangan dilaporkan hamper 50%.

11

E. KLASIFIKASI
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan
lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada
kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.

a. Trauma Jaringan Lunak Wajah


Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena
trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan :
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
Ekskoriasi
Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka tusuk
(vulnus punctum)
Luka bakar (combustio)
Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
Skin Avulsion & Skin Loss
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis
Langer.

12

Gambar 5. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan


mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. (B) Insisi fasial
ditempatkan sejajar dengan garis Langer.
4. Berdasarkan Derajat Kontaminasi
a. Luka Bersih.
Luka sayat elektif.
Steril potensial terinfeksi.
Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius,
traktur elementarius, dan traktur genitourinarius.
b. Luka Bersih Tercemar.
Luka sayat elektif.
Potensial terinfeksi: Spillage minimal, Flora normal.

13

Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktus

elementarius, dan traktus digestifus.


Proses penyembuhan lebih lama.
c. Luka Tercemar.
Potensi terinfeksi Spillage traktus elementarius.
Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka dan luka penetrasi.
d. Luka Kotor.
Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
Perforasi viscera, abses dan trauma lama.
e. Klasifikasi Lain.
Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).
Luka Tusukan (puncture).
Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara
langsung.

b. Trauma Jaringan Keras wajah


Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif. Secara umum
dilihat dari terminologinya trauma pada jaringan keras wajah dapat
diklasifikasikan berdasarkan :
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomis dan estetik.
a. Bersifat single : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,
mandibula, gigi dan alveolus.
b. Bersifat multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur
kompleks mandibula.

14

Gambar 6. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus


E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis

Gambar 7. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B


Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis

2. Dibedakan berdasarkan kekhususan


a. Fraktur tulang hidung
Pada trauma wajah paling sering terjadi fraktur hidung. Perlu diingat
bahwa hidung tidak hanya disusun oleh tulang belaka, tetapi juga
tulang rawan dan jaringan lunak, dan jaringan-jaringan ini juga dapat

15

rusak pada cedera. Tanda-tanda fraktur yang lazim adalah (1) depresi
atau pergeseran tulang-tulang hidung , (2) edema hidung, (3)
epistaksis, (4) fraktur dari kartilago septum disertai pergeseran
ataupun dapat digerakkan.
1. Fraktur hidung sederhana
Jikahanya fraktur hidung saja, dapat dilakukan reposisi

fraktur tersebut dalam analgesia lokal. Akan tetapi pada


anak-anak yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan
anestesi umum.
Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat memberikan
hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang
hidung. Jika tindakan reduksi tidak sempurna maka fraktur
tulang hidung tetap saja pada posisi tidak normal.
Tindakan reduksi ini dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma,
dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi mungkin
sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara
lokal masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah
trauma.
Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur, dapat
direposisi dengan tindakan yang sederhana. Reposisi
dilakukan

dengan

bantuan

cunam

Walsham.

Pada

penggunaan cunam Walsham ini, satu sisinya dimasukkan


ke dalam cavum nasi sedangkan sisi lain di luar hidung di

16

atas kulit yang dilindungi dengan karet. Tindakan


manipulasi dilakukan dengan control palpasi jari.
Jika terdapat deviasi pyramid hidung karena dislokasi
tulang hidung, cunam Asch digunakan dengan cara
memasukkan masing-masing bilah (blade) ke dalam kedua
rongga hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi
forsep.sesudah fraktur hidung dikembalikan pada keadaan
semula dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga
hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah dengan
antibiotika.
2. Fraktur hidung terbuka
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan
tempat dari tulang hidung tersebut yang juga disertai
laserasi pada kulit atau mukoperiosteum ringga hidung.
Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan
untuk diperbaiki atau direkonstruksi pada saat tindakan
3. Fraktur tulang nasoorbitemoid kompleks
Jika nasal pyramid rusak karena tekanan atau pukulan
dengan beban berat akan menimbulkan fraktur hebat pada
tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan frontal.
Tulang hidung bersambungan dengan prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal. Bagian dari nasal
pyramid yang terletak antara dua bola mata akan terdorong
ke belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur

17

nasomaksila dan fraktur nasoorbita. Fraktur ini dapat


menimbulkan komplikasi atau sekuele di lain hari.
Komplikasi yang terjadi adalah :
a) Komplikasi neurologic
a. Robeknya duramater
b. Keluarnya cairan serebrospinal dengan
kemungkinan timbulnya meningitis
c. Pneumosefalus
d. Laserasi otak
e. Afulsi dari nervus olfaktorius
f. Hematoma epidural dan subidural
g. Kontusio otak dan nekrosis jaringan otak
b) Komplikasi pada mata\
a. Telekantur traumatika
b. Hematoma pada mata
c. Kerusakan nervus optikus yang mungkin
menyebabkan kebutaan
d. Epifora
e. Ptosis
f. Kerusakan bola mata
c) Komplikasi pada hidung
a. Perubahan bentuk hidung
b. Obstruksi rongga hidung
c. Gangguan penciuman
d. Epistaksis posterior
e. Kerusakan duktus nasofrontalis
b. Fraktur Dinding Orbita
Fraktur maksila sangaat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur
orbita terutama pada penderita yaang menaiki kendaran bermototr.
Akhir-akhir ini fraktur tulang orbitaa dan fraaktur maksila sangaat
sering terjadi akibat ketidak hati-hatiaan di dalam mengendarai
kendaraan. Penggunan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan yang

18

sesuai, tidak

meminum alkohol atau obaat yang mengganggu

kesadaran sangat penting untuk dihindarkan.


Fraktur orbitaa ini memberikan gejala-gejala :
Enoftalmos
Exoftalmos
Diplopia
Ketiga kelainan bentuk mataa tersebut harus diperiksa dengan
teliti dan dilaakukan rekonstruksi dari tulang yang fraktur. Hal

ini biasanyaa dikerjaakan oleh dokter spesialis mata.


Asimetri pda muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada penderita dengan
blowout fracture dari dasar orbita. Kelainan ini sangat
spesifik, terdapat paada fraktur yang meliputi pinggir orbita

inferior atau fraktur yang menyebabkan ddislokasi zigoma.


Gaangguan saraf sensoris
Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra
orbitalis berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat padaa
dasar orbita. Bila pada fraktur timbul kelainan ini, sangat
mungkin sudah mengeenai kanalis infraorrbitalis. Selanjutnya
gangguan

nervus

infraa

orbita

sangat

mungkin

disebabkaanoleh timbulnya kerusakan pada rimaorbita. Bila


timbul anestesia untuk waktu yang lama harus dilakukan
oksplorasi dan dekompresi nervus infra orbitaalis.

c. Fraktur Zygoma
Fraktur Zygoma

19

Tulang zygoma dibentuk oleh bagian yang berasal dari tulang


temporal, tulang frontal, tulang sphenoid dan tulang maksila. Bagianbagian dari tulang yang membentuk zygoma ini memberikan sebuah
penonjolan pada pipi di bawah mata sedikit ke arah lateral. Gejala
fraktur zygoma, antara lain :
a) Pipi menjadi lebih rata\
b) Diplopia atau terbatasnya gerakan bola mata
c) Edema periorbita dan ekimosis
d) Pendarahan subkonjungtiva
e) Enoftalmus
f) Ptosis
g) Hipestesia atau anesthesia
h) Terbatasnya gerakan mandibula
i) Emfisema subkutis
j) Epistaksis
Penanganan bisa dilakukan dengan reduksi, baik reduksi tidak
langsung maupun reduksi terbuka. Reduksi tidak langsung dari
fraktur zygoma (oleh Keen dan Goldthwaite) dilakukan melalui
sulkus gingivobukalis/ dibuat sayatan kecil pada mukosa bukal di
belakang tuberositas maksila. Refuksi terbuka dari tulang zygoma
yang patah tidak bisa diikat dengan kawat baja dari Kirschner, namun
dengan menggunakan kawat atau mini plate.
Fraktur arkus zygoma
Fraktur ini tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa
nyeri pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul
trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari
arkus zygoma terhadap prosesus koronoid dan otot temporal. Frakur

20

arkus zygoma yang tertekan atai terdepresi dapat dengan mudah


dikenal dengan palpasi.
Pada tindakan reduksi pada fraktur arcus zygoma kadang-kadang
diperlukan reduksi terbuka, selanjutnya dipasang kawat baja atau
miniplate pada arcus zygoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi
terbuka dilakukan di atas arcus zygoma, diteruskan ke bawah sampai
ke bagian zygoma di periaurikuler.
d. Fraktur Maksilla
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan
untuk mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik.
Tujuan tindakan penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi
normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan memperoleh
kontur wajah yang baik.
Mathog menggunakan pembagian klasifikasi fraktur maksila Le Fort
dalam 3 kategori yaitu ; Fraktur Le FortI, Le Fort II, dan Le Fort III.
1) Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau
bergabung dengan fraktur fraktur Le Fort II dan III. Pada
Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transversus
rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas
lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan
pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum
durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai

21

sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering


disebut sebagai fraktur transmaksilari.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan

ekstra

oral,

pemeriksaan

dilakukan

dengan

visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya


edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi
terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan
intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.
Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya
pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen
dengan proyeksi wajah anterolateral.
2) Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis
mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya
berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal
melibatkan

sutura-sutura.

Sutura

zigomatikomaksilaris

dan

nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.


Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas,
biasa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.
Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort
I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada

22

pemeriksaan

ekstra

oral,

pemeriksaan

dilakukan

dengan

visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil


cenderung sama tinggi, ekimosis dan edema periorbital.
Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak
bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak
separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan
secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan
foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan
CT scan.
3) Fraktur Le Fort III
Le Fort III adalah Fraktur kraniofasial disjunction, merupakan
cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari
tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya
disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang
terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa
mengakibatkan

pemisahan

tersebut,

cukup

kuat

untuk

mengakibatkan trauma intrakranial.

23

Pemeriksaan
padaLefraktur
Fort III
dilakukan
secara
Gambar 8. Fraktur
Le Fortklinis
I, Fraktur
Fort II,LeFraktur
Le Fort
III
ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan
dengan

visualisasi.

Secara

visualisasi

dapat

terlihat

pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital


bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan
mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT
scan.Perawatan Fraktur Maksila.
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda
satu sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per
satu pada masing-masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum
perawatan defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali

24

dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa


pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan
singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien,
maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu
perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi
analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah
penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka
perawatan defenitif dapat dilakukan.
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar,
fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang
didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen
fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan
menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan
menggunakan tekanan pada splint/arch bar.
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan
fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan
perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal
biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan
splinting.
Selanjutnya,

pada

fraktur

Le

Fort

III

dirawat

dengan

menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan


langsung

bilateral

zigomatikofrontalis

atau

pemasangan

dan

suspensi

pelat

pada

kraniomandibular

sutura
pada

prosessus zigomatikus ossis frontalis.

25

Gambar 9.(A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B).Le Fort I, Le
Fort II, Le Fort III (proyeksi sagital)
e.

Fra

ktur Segmental Mandibula


1) Berdasarkan Tipe fraktur.
Fraktur simpel.
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup
misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan
mandibula yang tidak bergigi.
Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga
mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak

tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.


Fraktur Compound
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan
jaringan lunak.
Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung
gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompound meluas dari
membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa

luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.


Fraktur kominutif.

26

Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek


yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang
menjadi bagian yang kecil atau remuk.
Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur

kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.


Fraktur patologis.
Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit
penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista
yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat

menyebabkan fraktur spontan.


2) Perluasan tulang yang terlibat.
Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan
kropresi (lekuk).
3) Konfigurasi (garis fraktur).
Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
Oblique (miring).
Spiral (berputar).
Comunitif (remuk).
4) Hubungan antar Fragmen.
Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan

tempat.
Undisplacement, bisa terjadi berupa :
- Angulasi / bersudut.
- Distraksi.
- Kontraksi.
- Rotasi / berputar.
- Impaksi / tertanam.

F. DIAGNOSIS
Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila.
Namun, kurangdari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas

27

maksila.Gangguan oklusal biasanya bersifat subtle, ekimosis kelopak mata


bilateral biasanya merupakan satu-satunya temuan fisik.Hal ini dapat terjadi
pada Le Fort II dan III dimana disrupsi periosteum tidak cukup
untukmenimbulkan mobilitas maksila.
a. Anamnesis
Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan sebelum
pasien tiba di departemen emergency. Pengetahuan tentang mekanisme
cedera memungkinkan dokter untuk mencurigai cedera yang terkait selain
cedera primer. Waktu diantara cedera atau penemuan korban dan inisiasi
treatment merupakan informasi yang amat berharga yang mempengaruhi
resusitasi pasien.
b. Inspeksi
Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema, dan
hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah
dan belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian
posterior.
c. Palpasi
Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura
zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.
d. Manipulasi Digital
Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang dengan kuat
bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat jari lainnya,
sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak
bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan terdengar suara krepitasi
jika terjadi fraktur.

28

e. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea


Cairan serebrospinal dapat mengalamikebocoran dari fossa kranial tengah
atau anterior (pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal hidung
ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya
terjadi pada cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui
pemeriksaaan fisik dan radiografi.
f. Maloklusi Gigi
Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuatke
arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal
gigi sebelumnya akan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini.
Pada Le Fort III pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika
maksila berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang dan bawah
akan terjadi maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak
satu sama lain.
g. Pemeriksaan Radiologi
Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis,pemeriksaan
radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan
radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan pilihan
untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada foto polos
diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view.
G. PENATALAKSANAAN
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan
penegakan airway (oleh The American College of Surgenons dalam Advance
Trauma Life Support adalah mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka),

29

control pendarahan, penutupan luka pada soft tissue, dan menempatkan


segmen tulang yang fraktur sesuai dengan posisinya melalu fiksasi
intermaksilari, untuk mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang
baik. Tujuan tindakan penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi
normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur
wajah yang baik.Harus diperhatikan juga prophylaxis kemungkinan
terjadinya infeksi.
Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan nafas sehingga
mungkin dilakukan tindakan trakeostomi.Pendarahan hebatyang berasal dari
arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat pada
fraktur maksila dan harus segera diatasi.Jika tidak berhasil, dilakukan
pengikatan arteri maksilaris interna atau arteri karotis eksterna atau arteri
ethmoidalis anterior.
Jika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi
fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakannya pada
tulang sangat hebat atau terdapatnya infeksi.Reduksi fraktur maksila
mengalami kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat
hebat yang disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya kelainan pada
kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa dan
dilakukan fiksasi.
Urutan penatalaksanaan pada trauma maksiofasialis :
a.
Fiksasi Maksilomandibular.
Teknik ini merupakan langkah pertama dalam treatmentfraktur maksila untuk
memungkinkan restorasi hubungan oklusal yang tepat dengan aplikasi arch

30

bars serta kawat interdental pada arkus dental atas dan bawah. Prosedur ini
memerlukan anestesi umum yang diberikan melalui nasotracheal tube. Untuk
ahli bedah yang sudah berpengalaman dapat pula diberikan melalui oral
endotracheal tube yang ditempatkan pada gigi molar terakhir. Tracheostomy
biasanya dihindari kecuali terjadi perdarahan masif dan cedera pada kedua
rahang, karena pemakaian fiksasi rigid akan memerlukan operasi selanjutnya
untuk membukannya.
b.
Akses Fiksasi.
Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-tempat tertentu
dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan untuk mencapainya.
Untuk mencapai maksila anterior dilakukan insisi pada sulkus gingivobuccal,
rima infraorbital, lantai orbital, dan maksila atas melalui blepharoplasty (insisi
subsiliari). Daerah zygomaticofrontal dicapai melalui batas lateral insisi
blepharoplasty. Untuk daerah frontal, nasoethmoidal, orbita lateral, arkus
zygomatic dilakukan melalui insisi koronal bila diperlukan.
c.
Reduksi Fraktur.
Segmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara anatomis. Tergantung
pada kompleksitas fraktur, stabilisasi awal sering dilakukan dengan kawat
interosseous. CT scan atau visualisasi langsung pada fraktur membantu
menentukan yang mana dari keempat pilar/buttress yang paling sedikit
mengalami fraktur harus direduksi terlebih dahulu sebagai petunjuk restorasi
yang tepat dari panjang wajah. Sedangkan fiksasi maksilomandibular
dilakukan untuk memperbaiki lebar dan proyeksi wajah.
d.
Stabilisasi Plat dan Sekrup.

31

Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih disukai. Pada Le Fort I, plat mini
ditempatkan pada tiap buttress nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada
Le Fort II, fiksasi tambahan dilakukan pada nasofrontal junction dan rima
infraorbital. Pada Le Fort III, plat mini ditempatkan pada artikulasi
zygomaticofrontal untuk stabilisasi. Plat mini yang menggunakan sekrup
berukuran 2 mm dipakai untuk stabilisasi buttress maksila. Ukuran yang
sedemikian kecil dipakai agar plat tidak terlihat dan teraba. Kompresi seperti
pada metode yang dijukan oleh Adam tidak dilakukan kecuali pada daerah
zygomaticofrontal. Sebagai gantinyamaka dipakailah plat mini agar dapat
beradaptasi secara pasif menjadi kontur rangka yang diinginkan. Pengeboran
untuk memasang sekrup dilakukan dengan gurdi bor yang tajam dengan
diameter yang tepat. Sebelumnya sekrup didinginkan untuk menghindari
terjadinya nekrosis dermal tulang serta dilakukan dengan kecepatan
pengeboran yang rendah. Fiksasi maksilomandibular dengan traksi elastis saja
dapat dilakukan pada fraktur Le Fort tanpa mobilitas. Namun, apabila dalam
beberapa hari oklusi tidak membaik, maka dilakukan reduksi terbuka dan
fiksasi internal
e.
Cangkok Tulang Primer.
Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur harus diganti saat
rekonstruksi awal. Bila Gap yang terbentuk lebih dari 5 mm maka harus
digantikan dengan cangkok tulang. Cangkok tulang diambil dari kranium
karena aksesibilitasnya (terutama jika diakukan insisi koronal), morbiditas

32

tempat donor diambil minimal, dan memiliki densitas kortikal tinggi dengan
volum yang berlimpah. Pemasangan cangkokan juga dilakukan dengan plat
mini dan sekrup. Penggantian defek dinding antral lebih dari 1.5 cm bertujuan
untuk mencegah prolaps soft tissue dan kelainan pada kontur pipi.
f.
Pelepasan Fiksasi Maksilomandibular.
Setelah reduksi dan fiksasi semua fraktur dilakukan,

fiksasi

maksilomandibular dilepaskan, oklusi diperiksa kembali. Apabila terjadi


gangguan oklusi pada saat itu, berarti fiksasi rigid harus dilepas, MMF
dipasang kembali, reduksi dan fiksasi diulang
g.
Resuspensi Soft tissue.
Pada saat menutup luka, soft tissue yang telah terpisah dari rangka
dibawahnya ditempelkan kembali. Untuk menghindari dystopia lateral kantal,
displacement massa pipi malar ke inferior, dan kenampakan skleral yang
menonjol, dilakukan canthoplexy lateral dan penempelan kembali massa soft
tissue pipi pada rima infraorbita.
h.
Fraktur Sagital dan Alveolar Maksila.
Pada fraktur ini dapat terjadi rotasi pada segmen alveolar denta, dan merubah
lebar wajah. Sebagian besar terjadi mendekati garis tengah pada palatum dan
keluar di anterior diantara gigi-gigi kuspid. Fraktur sagital dan juga tuberosity
dapat distabilkan setelah fiksasi maksilomandibular dengan fiksasi sekrup dan
plat pada tiap buttress nasomaksilari dan zygomaticomaxillary.
i.
Perawatan Postoperative Fraktur Maksila.
Manajemen pasca operasi terdiri dari perawatan secara umum pada pasien
seperti kebesihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, antibiotik selama
periode perioperasi, antinyeri dan rawat luka.

33

H. KOMPLIKASI
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif
serta gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema,
dan pembengkakan soft tissue.Infeksi pada luka maksilari lebih jarang
dibandingkan pada luka fraktur mandibula.Padahal luka terkontaminasi saat
tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur.
Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali
terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform
dapat pula

mengalami

fraktur, sehingga terjadi

rhinorrhea

cairan

serebrospinal.Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi akibat pendarahan dalam


selubung dural nervus optikus.Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan
penyatuan tulang yang mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi
sistem

lakrimal,

anestesia/hipoestesia

infraorbita,

devitalisasi

gigi.Kenampakan wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi).


Pada fraktur maksilofasial, setiap bagian wajah mungkin dapat
terpengaruh.Gigi dapat lepas atau goyang. Mata dengan otot-otot, saraf, dan
pembuluh

darahnya

mungkin

mengalami

cedera

sehingga

dapat

menyebabkan gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola


mata dan juga seperti halnya rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang
kuat.2 Fraktur juga salah satu bentuk trauma yang dapat menyebabkan cedera
pada rongga mata sehingga mengakibatkan seseorang melihat ganda suatu
objek (diplopia).

34

I. PROGNOSIS
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah
satu yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan
sesegera mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah
akibat fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini
dapat membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan
belakang, sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan
fraktur yang baru akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana
sudah mengalami penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk
direduksi tanpa full open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit
untuk direduksi.

35

DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. H. Abd. Razak Datu, Ph.D., P.A.K. Diktat Anatomi Osteologi. Bagian
Anatomi Fakultas Kedoteran Universitas Hasanuddin. Makassar.
2. Kairupan, Christo, A. Monoarfa, J. Ngantung. Angka Kejadian Penderita
Fraktur Tulang Fasial Di Smf Bedah Blu Rsu Prof. R.D. Kandou Periode
Januari 2012 Desember 2012. Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 2,
Juli 2014.
3. Komang Tri Adriantin, Ni, Kuswan Ambar Pamungkas , Miftah Azrin. Angka
Kejadian Diplopia Pada Pasien Fraktur Maksilofasial Di Bangsal Bedah
Rsud Arifin Achmad Propinsi Riau

Periode Januari 2011 Desember

2013.JOM FK Volume 1 No. 2 Oktober2015.


4. Emmy Pramesthi D.S., Muhtarum Yusuf. Penatalaksanaan Fraktur
Maksilofasial Dengan Menggunakan Mini Plat (Laporan Dua Kasus).
Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo.
Surabaya.
5. Frank H.Netter ,MD. Atlas Anatomi Manusia edisi 5.Ellsevier.
6. Nurul Namirah K. Prevalensi Fraktur Maksilofasial Pada Kasus Kecelakaan
Lalu Lintas Di Rsud Andi Makkasau Kota Pare-Pare Tahun 2013 Universitas
Hasanuddin. Makassar.
7. Putri Enny Pratiwi Suardi, Ni, AA GN Asmara Jaya, Sri Maliawan, Siki
Kawiyana. Fraktur pada Tulang Maksila. SMF/Bagian Ilmu Bedah RSUP
Sangiah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
8. Sudjud, Reza Widianto, Suwarman, Meilani Patrianingrum. Tata Laksana
Jalan Napas pada Pasien Traum Maksilofasial, Cedera Kepala Ringan,

36

Fraktur Tulang Servikal, Fraktur Depressed Terbuka dan Fraktur Basis


Cranii. Depaertemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, Juli 2015
9. Soepardi.E.A., Iskandar.N., Bashiruddin.J., Restuti.R.D. 2011. Trauma Muka
dan Leher : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala
& Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ed.6. Badan Penerbit
FKUI. Jakarta.
10. Adams., Boies., Higler. 2012. Trauma Rahang-Wajah : BOIES. Ed.6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

37

Anda mungkin juga menyukai