BAB I
PENDAHULUAN
Wajah merupakan pusat perhatian utama dari seorang individu. Trauma atau
cedera pada wajah tidak hanya akan mengganggu penampilan, namun juga dapat
menyebabkan gangguan beberapa fungsi luhur oleh karena di daerah wajah juga
banyak terdapat struktur penting, seperti indera penglihatan, bicara, menelan, jalan
nafas, sampai cedera otak. Cedera wajah dapat melibatkan kerusakan kulit, jaringan
lunak sampai jaringan tulang, serta perlu diperhatikan secara khusus terutama pada
cedera muka yang mengenai saraf sensorik maupun motorik, kelenjar dan saluran air
liur. Dampak jangka panjang dari trauma maksilofasial seperti retraksi bekas luka
pada bibir, hidung, dan kelopak mata serta aspek kosmetik juga penting sekali
diperhatikan pada pengelolaan luka wajah. Cedera maksilofasial lebih sering terjadi
sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan
kekerasan.
Begitu banyak struktur penting di daerah wajah inilah maka penatalaksanaan
trauma maksilofacial perlu terus dikembangkan guna mencapai hasil yang
memuaskan baik dari segi kosmetik maupun perbaikan fungsi. Penatalaksanaan
dengan pembedahan bertujuan mengatasi mobiditas yang terjadi.
BAB II
A. ANATOMI MAKSILOFASIAL
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama
dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada
anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa.
Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam
membentuk wajah manusia.
Cranium dibagi menjadi 2 bagian, sebagai berikut :
1. NEUROCRANIUM
2. VISCEROCRANIUM (= SPLANCHNOCRANIUM)
Neurocranium membentuk cavitas cranii, yang ditempati oleh
encephalon, dan dibagi menjadi bagian yang membentuk basis cranii dan
calvaria cranii. Tulang-tulang yang membentuk neurocranium adalah os
frontale, os ethmoidale, os sphenoidale, os nasale, os lacrimale, os temporale
dan os parietale. Dua tulang yang tersebut terakhir ini berpasangan.Masih ada
tulang-tulang lainnya yang berada di bagian profunda, yaitu sebuah os vomer,
sepasang os palatinum, sepasang os concha nasalis inferior.
BAB III
A. DEFINISI
Fraktur maksilofasial atau fraktur wajah adalah pecah atau patah atau
terputusnya kontinuitas tulang tulang di daerah wajah. Fraktur merupakan
salah satu bentuk trauma yang dapat terjadi pada maksilofasial.Fraktur adalah
suatu keadaan dimana tulang retak, pecah, atau patah, baik tulang maupun
tulang rawan. Bentuk dari patah tulang bisa hanya retakan saja, sampai hancur
berkeping-keping.
Trauma oromaksilofasial merupakan trauma yang menyebabkan
wwbncedera pada jaringan lunak serta jaringan keras di daerah wajah, mulut,
dan dentoalveolar. Cedera pada jaringan lunak antara lain: abrasi, kontusio,
luka bakar dan laserasi. Cedera dentoalveolar berupa trauma tulang alveolar,
trauma pada gigi geligi yang dapat disertai dengan kegoyangan gigi,
pergeseran letak gigi dan avulsi.
Cedera pada jaringan keras yaitu berupa fraktur. Pada fraktur
maksilofasial, setiap bagian wajah mungkin dapat terpengaruh. Gigi dapat
lepas atau goyang. Mata dengan otot-otot, saraf, dan pembuluh darahnya
mungkin mengalami cedera sehingga dapat menyebabkan gangguan
penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola mata dan juga seperti halnya
rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang kuat. Fraktur juga salah satu
bentuk trauma yang dapat menyebabkan cedera pada rongga mata sehingga
mengakibatkan seseorang melihat ganda suatu objek (diplopia).
B. ETIOLOGI
Trauma tumpul yang cukup keras merupakan etiologi dari trauma
tersebut. Trauma merupakan urutan keempat penyebab kematianKecelakaan
lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma oromaksilofasial.
Beberapa literatur bahasa Inggris melaporkan bahwa terdapat hubungan antara
posisi duduk pengemudi atau penggunaan sistem penahan terhadap keparahan
dari cedera oromaksilofasial yang dialami pasien kecelakaan lalulintas.
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial
itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan
akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari t
indakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.
C. EPIDEMIOLOGI
Trauma fasial disebut juga trauma maksilofacial adalah trauma akibat
ruda paksa terhadap wajah. Trauma maksilofacial terjadi sekitar 6% dari
seluruh trauma. Lebih dari 3 juta trauma fasial terjadi di Amerika Serikat
setiap tahun. Trauma fasial menyebabkan fraktur fasial yang banyak terjadi.
Pada
2001,
sebanyak
24.298
penderita
memerlukan
pembedahan
10
trauma
fasial
akibat
penyerangan
bersaing
dengan
11
E. KLASIFIKASI
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan
lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada
kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.
12
13
14
15
rusak pada cedera. Tanda-tanda fraktur yang lazim adalah (1) depresi
atau pergeseran tulang-tulang hidung , (2) edema hidung, (3)
epistaksis, (4) fraktur dari kartilago septum disertai pergeseran
ataupun dapat digerakkan.
1. Fraktur hidung sederhana
Jikahanya fraktur hidung saja, dapat dilakukan reposisi
dengan
bantuan
cunam
Walsham.
Pada
16
17
18
sesuai, tidak
nervus
infraa
orbita
sangat
mungkin
c. Fraktur Zygoma
Fraktur Zygoma
19
20
21
ekstra
oral,
pemeriksaan
dilakukan
dengan
sutura-sutura.
Sutura
zigomatikomaksilaris
dan
22
pemeriksaan
ekstra
oral,
pemeriksaan
dilakukan
dengan
pemisahan
tersebut,
cukup
kuat
untuk
23
Pemeriksaan
padaLefraktur
Fort III
dilakukan
secara
Gambar 8. Fraktur
Le Fortklinis
I, Fraktur
Fort II,LeFraktur
Le Fort
III
ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan
dengan
visualisasi.
Secara
visualisasi
dapat
terlihat
24
pada
fraktur
Le
Fort
III
dirawat
dengan
bilateral
zigomatikofrontalis
atau
pemasangan
dan
suspensi
pelat
pada
kraniomandibular
sutura
pada
25
Gambar 9.(A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B).Le Fort I, Le
Fort II, Le Fort III (proyeksi sagital)
e.
Fra
26
tempat.
Undisplacement, bisa terjadi berupa :
- Angulasi / bersudut.
- Distraksi.
- Kontraksi.
- Rotasi / berputar.
- Impaksi / tertanam.
F. DIAGNOSIS
Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila.
Namun, kurangdari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas
27
28
29
30
bars serta kawat interdental pada arkus dental atas dan bawah. Prosedur ini
memerlukan anestesi umum yang diberikan melalui nasotracheal tube. Untuk
ahli bedah yang sudah berpengalaman dapat pula diberikan melalui oral
endotracheal tube yang ditempatkan pada gigi molar terakhir. Tracheostomy
biasanya dihindari kecuali terjadi perdarahan masif dan cedera pada kedua
rahang, karena pemakaian fiksasi rigid akan memerlukan operasi selanjutnya
untuk membukannya.
b.
Akses Fiksasi.
Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-tempat tertentu
dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan untuk mencapainya.
Untuk mencapai maksila anterior dilakukan insisi pada sulkus gingivobuccal,
rima infraorbital, lantai orbital, dan maksila atas melalui blepharoplasty (insisi
subsiliari). Daerah zygomaticofrontal dicapai melalui batas lateral insisi
blepharoplasty. Untuk daerah frontal, nasoethmoidal, orbita lateral, arkus
zygomatic dilakukan melalui insisi koronal bila diperlukan.
c.
Reduksi Fraktur.
Segmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara anatomis. Tergantung
pada kompleksitas fraktur, stabilisasi awal sering dilakukan dengan kawat
interosseous. CT scan atau visualisasi langsung pada fraktur membantu
menentukan yang mana dari keempat pilar/buttress yang paling sedikit
mengalami fraktur harus direduksi terlebih dahulu sebagai petunjuk restorasi
yang tepat dari panjang wajah. Sedangkan fiksasi maksilomandibular
dilakukan untuk memperbaiki lebar dan proyeksi wajah.
d.
Stabilisasi Plat dan Sekrup.
31
Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih disukai. Pada Le Fort I, plat mini
ditempatkan pada tiap buttress nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada
Le Fort II, fiksasi tambahan dilakukan pada nasofrontal junction dan rima
infraorbital. Pada Le Fort III, plat mini ditempatkan pada artikulasi
zygomaticofrontal untuk stabilisasi. Plat mini yang menggunakan sekrup
berukuran 2 mm dipakai untuk stabilisasi buttress maksila. Ukuran yang
sedemikian kecil dipakai agar plat tidak terlihat dan teraba. Kompresi seperti
pada metode yang dijukan oleh Adam tidak dilakukan kecuali pada daerah
zygomaticofrontal. Sebagai gantinyamaka dipakailah plat mini agar dapat
beradaptasi secara pasif menjadi kontur rangka yang diinginkan. Pengeboran
untuk memasang sekrup dilakukan dengan gurdi bor yang tajam dengan
diameter yang tepat. Sebelumnya sekrup didinginkan untuk menghindari
terjadinya nekrosis dermal tulang serta dilakukan dengan kecepatan
pengeboran yang rendah. Fiksasi maksilomandibular dengan traksi elastis saja
dapat dilakukan pada fraktur Le Fort tanpa mobilitas. Namun, apabila dalam
beberapa hari oklusi tidak membaik, maka dilakukan reduksi terbuka dan
fiksasi internal
e.
Cangkok Tulang Primer.
Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur harus diganti saat
rekonstruksi awal. Bila Gap yang terbentuk lebih dari 5 mm maka harus
digantikan dengan cangkok tulang. Cangkok tulang diambil dari kranium
karena aksesibilitasnya (terutama jika diakukan insisi koronal), morbiditas
32
tempat donor diambil minimal, dan memiliki densitas kortikal tinggi dengan
volum yang berlimpah. Pemasangan cangkokan juga dilakukan dengan plat
mini dan sekrup. Penggantian defek dinding antral lebih dari 1.5 cm bertujuan
untuk mencegah prolaps soft tissue dan kelainan pada kontur pipi.
f.
Pelepasan Fiksasi Maksilomandibular.
Setelah reduksi dan fiksasi semua fraktur dilakukan,
fiksasi
33
H. KOMPLIKASI
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif
serta gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema,
dan pembengkakan soft tissue.Infeksi pada luka maksilari lebih jarang
dibandingkan pada luka fraktur mandibula.Padahal luka terkontaminasi saat
tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur.
Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali
terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform
dapat pula
mengalami
rhinorrhea
cairan
lakrimal,
anestesia/hipoestesia
infraorbita,
devitalisasi
darahnya
mungkin
mengalami
cedera
sehingga
dapat
34
I. PROGNOSIS
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah
satu yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan
sesegera mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah
akibat fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini
dapat membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan
belakang, sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan
fraktur yang baru akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana
sudah mengalami penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk
direduksi tanpa full open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit
untuk direduksi.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. H. Abd. Razak Datu, Ph.D., P.A.K. Diktat Anatomi Osteologi. Bagian
Anatomi Fakultas Kedoteran Universitas Hasanuddin. Makassar.
2. Kairupan, Christo, A. Monoarfa, J. Ngantung. Angka Kejadian Penderita
Fraktur Tulang Fasial Di Smf Bedah Blu Rsu Prof. R.D. Kandou Periode
Januari 2012 Desember 2012. Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 2,
Juli 2014.
3. Komang Tri Adriantin, Ni, Kuswan Ambar Pamungkas , Miftah Azrin. Angka
Kejadian Diplopia Pada Pasien Fraktur Maksilofasial Di Bangsal Bedah
Rsud Arifin Achmad Propinsi Riau
36
37