Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DEGAN

DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR MANDIBULA

DI RUANG OBSERVASI INTENSIF

RSUD DR. SOETOMO

SURABAYA

OLEH :

SRI YULI HANDAYANI

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERAWAT ANESTESI

SMF ANESTESI DAN REANIMASI

RSUD DR. SOETOMO

SURABAYA

2014

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini telah disetujui pada

Hari :

Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

Mengetahui

Kepala Perawat Anestesi dan Reanimasi

Boewang Santoso, Amd Kep

NIP. 196804181989031009

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau

tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik bersifat total ataupun parsial.

Sedangkan fraktur mandibula merupakan rusaknya kontinuitas tulang

mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau

tidak langsung. Fraktur mandibula dapat terjadi pada bagian korpus, angulus,

ramus maupun kondilus

Penderita trauma yang datang ke rumah sakit tak jarang dijumpai

dengan trauma wajah dan sebagian besar melibatkan mandibula. Trauma yang

melibatkan mandibula disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecelakaan

kerja, olahragawan dan penganiayaan yang menyebabkan gangguan fungsi

bicara, gangguan mengunyah dan deformitas wajah.

Klinis fraktur mandibula berupa maloklusi gigi atau pergerakan

abnormal dari bagian-bagian mandibula pada saat buka mulut. Fraktur

mandibula dua kali lebih banyak pada kecelakaan lalu lintas.

Penanganan trauma wajah serius sering terlambat oleh karena

menunggu stabilnya jalan napas dan hemodinamik, penanganan trauma serius

lainnya seperti trauma kepala, dada dan skeletal. Hal-hal tersebut masih

merupakan masalah dalam penanganan trauma wajah tepat waktu. Salah satu

tindakan yang dilakukan untuk menangani fraktur mandibula adalah dengan

1
plating mandibula dengan tujuan untuk memberi tahanan pada daerah fraktur,

sehingga dapat menyatukan bagian yang fraktur.

1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan Umum

1.2.1.1 Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui

asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa plating

mandibula.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Mengetahui pengertian fraktur mandibula.

1.2.2.2 Mengetahui penyebab dan faktor pada klien dengan diagnosa

fraktur mandibula.

1.2.2.3 Mengetahui tindakan plating mandibula pada kasus fraktur

mandibula.

1.2.2.4 Mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada klien

dengan plating mandibula.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN

2.1.1 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai

jenis dan luasnya (Smeltzer dan Bare. 2001).

2.1.2 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, biasanya

disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik, kekuatan dan sudut dari

tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang

akan manentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak

lengkap (Price,Silvia, 2005. Hal : 1365).

2.1.3 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai

jenis dan luasnya (Brunner & Suddarth, 2001).

2.1.4 Mandibula adalah tulang rahang bawah, tulang yang tidak teratur

dan merupakan satu-satunya tulang kepala yang dapat bergerak

(Watson,2002).

2.1.5 Fraktur mandibula adalah rusaknya kontinuitas tulang mandibular

yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak

langsung. Fraktur mandibula dapat terjadi pada bagian korpus,

angulus, ramus maupun kondilus (emedicine,2011)

3
2.2 KLASIFIKASI

2.2.1 Berdasarkan klasifikasi klinis

a. Fraktur dahan patah (green stick fradure) : terjadi pada anak-anak,

tulang patah dibawah lapisan periosteum yang elastin dan tebal

(lapisan perlosteum sendiri tidak rusak).

b. Fisura frakture : patah tulang yang tidak disertai perubahan letak

yang berarti dengan terpisahnya bagian-bagian tulang.

c. Frakture yang lengkap (complete fraktur) : patah tulang yang

disertai dengan terpisahnya bagian-bagian tulang.

d. Communitad frakture : tulang patah menjadi fragmen.

e. Fraktur tekan (stres frakturre) : kerusakan tulang karena

kelemahan yang terjadi sesudah berulang-ulang ada tekanan

berlebihan yang tidak lazim.

f. Impacted frakture : fragmen-fragmen tulang terdorong masuk

kearah dalam tulang satu sama lain, sehingga tidak dapat terjadi

gerakan-gerakan diantara fragmen itu.

2.2.2 Berdasarkan hubungan tulang yaitu antara ujung tulang yang

mengalami fraktur dengan jaringan-jaringan disekitarnya.

a. Fraktur tertutup (fraktur simplex) : patahan tulang tidak

mempunyai hubungan dengan udara luar.

b. Fraktur terbuka (open frakture), terbagi menjadi 3derajat yaitu :

1) Derajat I

 Luka < 1 cm

 Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda remuk

4
 Fraktur sederhana, transversal, oblik atau komunitif ringan

 Kontaminasi minimal

2) Derajat II

 Laserasi > 1 cm

 Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ovulsi

 Fraktur komunitif sedang, kontaminasi sedang

3) Derajat III

 Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi

struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi

derajat yang tinggi.

c. Fraktur komplikata : persendian, syaraf, pembuluh darah, atau

organ visera juga ikut terkena, fraktur seperti ini dapat berbentuk

fraktur tertutup atau fraktur terbuka.

d. Fraktur patologis : karena adanya penyakit lokal pada tulang

maka kekerasan yang ringan saja pada bagian tersebut sudah

dapat menyebabkan fraktur.

2.2.3 Berdasarkan lokasi fraktur mandibula

a. Menunjukkan regio-regio pada mandibula

b. Menunjukkan frekuensi fraktur di masing-msing regio tersebu

c. Berdasarkan ada tidaknya gigi

Klasifikasi berdasarkan gigi pasien penting diketahui karena akan

menentukan jenis terapi yang akan kita ambil. Dengan adanya

gigi, penyatuan fraktur dapat dilakukan dengan jalan pengikatan

gigi dengan menggunakan kawat.

5
d. Frekuensi terjadinya fraktur pada mandibula adalah : 2% pada

regio koronoid, 30% pada regio kondilus, 3% pada regio ramus,

25% pada regio angulus, 25% pada regio korpus, 15% pada regio

simfisis.

Gambar 1.1

Penjelasan gambar tentang klasifikasi fraktur di atas :

1) Fraktur kelas 1 : gigi terdapat di 2 sisi fraktur, penanganan

pada fraktur kelas 1 ini dapat melalui interdental wiring

(memasang kawat pada gigi)

2) Fraktur kelas 2 : gigi hanya terdapat di salah satu fraktur

3) Fraktur kelas 3 : tidak terdapat gigi di kedua sisi fraktur, pada

keadaan ini dilakukn melalui open reduction, kemudian

dipasangkan plate and screw, atau bisa juga dengan cara

intermaxillary fixation.

e. Berdasarkan cara perawatan

1) Fraktur Unilateral

6
Fraktur ini biasanya hanya tunggal, tetapi kadang terjadi

lebih dari satu fraktur yang dapat dijumpai pada satu sisi

mandibula dan bila hal ini terjadi, sering didapatkan

pemindahan frakmen secara nyata. Suatu fraktur korpus

mandibula unilateral sering terjadi

2) Fraktur Bilateral

Fraktur bilateral sering terjadi dari suatu kombinasi antara

kecelakaan langsung dan tidak langsung. Fraktur ini

umumnya akibat mekanisme yang menyangkut angulus dan

bagian leher kondilar yang berlawanan atau daerah gigi

kanius dan angulus yang berlawanan.

3) Fraktur Multipel

Gabungan yang sempurna dari kecelakaan langsungdan tidak

langsung dapat menimbulkan terjadinya fraktur multipel.

Pada umumnya fraktur ini terjadi karena trauma tepat

mengenai titik tengah dagu yang mengakibatkan fraktur pada

simpisis dan kedua kondilus.

4) Fraktur Berkeping-keping (Comminuted)

Fraktur ini hampir selalu diakibatkan oleh kecelakaan

langsung yang cukup keras pada daerah fraktur, seperti pada

kasus kecelakaan terkena peluru saat perang. Dalam sehari-

hari, fraktur ini sering terjadi pada simfisis dan parasimfisis.

Fraktur yang disebabkan oleh kontraksi muskulus yang

berlebihan. Kadang fraktur pada prosesus koronoid terjadi

7
karena adanya kontraksi refleks yang datang sekonyong-

konyong mungkin juga menjadi penyebab terjadinya fraktur

pada leherkondilar

f. Berdasarkan tipe

1) Single fraktur

Pada kasus single fraktur, tulang hanya mengalami fraktur

pada satu daerah. Fraktur semacam ini bersifat unilateral.

Pada mandibula, kasus ini paling sering terjadi dibeberapa

lokasi berikut :

 Angulus, khususnya jika ada gigi molar ke-3 yang tidak

bererupsi.

 Foramen mentale, dan

 Leher kondilus.

2) Multiple fraktur

Pada multiple farktur, tulang mengalami fraktur pada dua

daerah atau lebih. Multiple fraktur biasanya bilateral. Tipe

fraktur inilah yang paling sering terjadi pada mandibula.

Multiple fraktur dapat pula bersifat unilateral, dimana tulang

yang mengalami fraktur terbagi menjadi beberapa bagian

pada salah satu sisi.

3) Simple fraktur

Simple fraktur adalah fraktur ang tidak berhubungan dengan

lingkungan luar intraoral maupun ekstraoral. Fraktur

8
semacam ini dapat terjadi dimana saja pada ramus mandibula,

mulai dari kondilus hingga angulus.

4) Compound fraktur

Compound fraktur merupakan fraktur yang memiliki

hubungan dengan lingkungan luar karena disertai dengan

pembentukan luka terbuka. Fraktur ini paling sering terjadi

disebelah anterior angulus.

5) Comminuted fraktur

Comminuted fraktur paling sering terjadi didaerah simfisis

mandibula. Pada kasus fraktur ini tulang terbagi menjadi

beberapa bagian atau hancur.

6) Complicated fraktur

Fraktur yang sekaligus terjadi pada maxilla dan mandibula,

juga fraktur yang terjadi pada keadaan dimana maxilla atau

mandibula mengalami edentulisem, digolongkan dalam

complicated fraktur.

g. Berdasarkan lokasi

1) Fraktur dento-alveolar

Fraktur dento-alveolar terdiri dari afusi, subluksasi atau

fraktur gigi dengan maupun tanpa disertai fraktur alveolar.

Fraktur ini dapat saja ditemukan sebagai satu-satunya fraktur

yang terjadi pada mandibula, dapat pula berkombinasi atau

berhubungan dengan fraktur dibagian lain pada mandibula.

9
2) Fraktur Kondilus

Fraktur condilus dapat terjadi secara intracapsul, tetapi lebih

sering terjadi secara ekstracapsul, dengan atau tanpa dislokasi

kepala kondilus. Fraktur pada daerah ini biasanya gagal

terdeteksi melalui pemeriksaan sederhana.

3) Fraktur processus koronoid

Fraktur processus koronoid jarang terjadi, dan biasanya

ditemukan saaat dilakukannya operasi kista besar. Fraktur ini

sulit terdiagnosis secara pasti pada pemeriksaan klinis.

4) Fraktur ramus

Otot pterygiomasseter menghasilkan efek splinting yang kuat

sehingga fraktur pada daerah ramus jarang terjadi.

5) Fraktur angulus

Daerah ini umumnya mengalami karena tulang pada daerah

ini lebih tipis jika dibandingkan dengan tulang pada daerah

korpus. Relative tingginya insiden impaksi molar ke tiga

menyebabkan daerah ini menjadi lemah.

6) Fraktur korpus

Keberadaan gigi kaninus pada kasus fraktur korpus

menyebabkan daerah ini menjadi lemah. Tidak bererupsi gigi

molar ketiga juga berhubungan dengan kejadian fraktur ini.

7) Fraktur simfisis dan parasimfisis

Fraktur pada daerah simfisis dan parasimfisis jarang terjadi.

Ketebalan mandibula pada daerah ini menjamin bahwa

10
fraktur pada daerah simfisis dan para simfisis hanyalah

berupa keretakan halus. Keadaan ini akan menghilang jika

posisi tulang tetap stabil dan oklusi tidak terganggu.

2.3 PENYEBAB

2.3.1 Trauma

Langsung (kecelakaan lalulintas)

Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk)

2.3.2 Patologis

Metastase dari tulang

2.3.3 Degenerasi

2.3.4 Spontan

Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.

2.4 TANDA DAN GEJALA

2.4.1 Riwayat trauma

2.4.2 Nyeri : pembengkakan dan nyeri tekan pada daerah fraktur

(tenderness)

2.4.3 Perubahan bentuk (deformitas)

2.4.4 Hilangnya fungsi anggota badan dan persendian-persendian yang

terdekat

2.4.5 Gerakan-gerakan yang abnormal

2.4.6 Krepitasi (gerakan yang menimbulkan derik)

2.4.7 Edema setempat (dalam beberapa jam)

11
2.4.8 Syok disebabkan rasa nyeri yang hebat, kehilangan darah dan

jaringan yang rusak

2.4.9 Tanda dan gejala yang mengarahkan pada diagnosa fraktur

mandibula termasuk (Sjamsuhidrajat, 1997; Munir, 2002):

a. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi kulit mandibula

b. Nyeri atau anestesi oleh karena kerusakan nervus alveolaris

inferior

c. Nyeri saat mengunyah

d. Maloklusi geligi

e. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi

f. Malfungsi berupa trismus, nyeri saat mengunyah

g. Gangguan jalan nafas

h. Deformitas tulang

i. Asimetris

j. Palpasi teraba garis fraktur

k. Mati rasa bibir bawah akibat kerusakan pada n. Mandibularis

12
2.5 WOC (Web Of Caution)

lokasi mandibula

perdarahan di mulut

sesak

obstruksi partial

bersihan jalan nafas

tidak efektif

13
2.6 PEMERIKSAAN PENUNUJANG

2.6.1 Sinar – X

Menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi dan perubahan

hubungan tulang. Pada kasus fragtur mandibula bila perlu dilakukan

foto waters. Untuk pencitraan wajah digunakan proyeksi Waters

sehingga bayangan bagian wajah tidak terganggu atau disamarkan

oleh struktur tulang dasar tengkorak olah struktur tulang dasar

tengkorak dan tulang servikal. Identitas penderita dan tanggal

pemeriksaan dengan sinar penting dikerjakan sesudah tindakan atau

pada tindak lanjut (folow up) penderita guna menentukan apakah

sudah terlihat kalus, posisi fragmen dan sebagainya.

2.6.2 Computed fotografhy (CT scan)

Mengidentifikasi lokasi dan panjang patah tuang yang sulit

dievaluasi (misal asetabulum)

2.6.3 Magnetic Resonance Imoging (MRI)

Merupakan teknik pencitraan khusus, non invasif yang

menggunakan medan magnet, gel radio dan komputer untuk

memperlihatkan abnormalitas jaringan lunak sepertio otot, tendon,

dan tulang rawan.

2.6.4 Angiografi

Pemeriksaan struktur vaskuler, arteriografi yaitu pemeriksaan sistem

arteri untuk mengkaji perfusi arteri dan bisa digunakan untuk tingkat

amputasi yang akan dilakukan, pasien dibiarkan berbaringselama 12

–24 jam untuk mencegah perdarahan tempat penusukan arteri.

14
2.6.5 Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah lengkap meliputi HB, leukosit, pembekuan

darah.

b. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk renal

clearance.

c. Kadar enzim serum kreatinin kinase (ck) dan SGOT meningkat

pada kerusakan otot

d. Kadar kalsium urine meningkat pada destruksi tulang

e. Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,

transfusi multipel atau cidera hati.

2.7 PENATALAKSANAAN

2.7.1 Terapi konservatif terdiri dari

a. Proteksi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan gips pada

fraktur collum chirurgicum humeri dengan kedukan

baik.Mobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan gips

pada fraktur inkomplet dan fraktur dengan kedukan baik.

b. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips misalnya pada fraktur

supra kondilus, fraktur calles, fraktur smith, reposisi dapat dalam

anasthesi umum atau lokal.

c. Traksi untuk reposisi secara perlahan pada anak dipakai traksi

kulit (traksi hamilton russel, traksi bryant) traksi kulit terbatas

untuk 4 minggu dengan beban < 5 kg untuk traksi dewasa / traksi

definitif harus traksi skeletal berupa balanced traction.

15
2.7.2 Terapi operatif terdiri dari

a. Reposisi terbuka, fiksasi interna

b. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi

eksterna

Tetapi operatif dengan reposisi anatomis diikuti dengan

fiksasi interna (open reduction dan internal fixation), ortroplastik

eksional, eksisi fragmen, dan pemasangan endoprotesis.Tindakan

pada fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin. Penundaan

waktu dapat mengakibatkan komplikasi infeksi. Waktu optimal

untuk bertindak sebelum 6 – 7 jam (golden period) beri toksoid, anti

tetanus serum (ATS) atau tetanus human globulin. Berikan antibiotik

untuk kuman gram positif dan negatif dengan dosisi tinggi. Lakukan

pemeriksaan kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur

terbuka.

2.7.3 Bila terjadi komplikasi

a. Syok : mempertahankan volume darah, mengurangi nyeri yang

diderita pasien, memasang pembebat yang memadai, melindungi

pasien dari cidera lebih lanjut.

b. Sindrom emboli lemak : imobilisasi segera fraktur, manipulasi

fraktur minimal, penyangga fraktur yang memadai saat

pemindahan dan mengubah posisi.

c. Sindrom kompartemen : mengontrol edema yang dapat dicapai

dengan meninggikan extremitas yang cedera setinggi jantung dan

memberi kompres es setelah cedera sesuai resep.

16
d. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan : dengan graft

tulang yang kemudian dipasang imobilisasi rigid.

e. Nekrosis araskuler tulang : mengembalikan vitaliras tulang

dengan graft tulang, penggantian prostesis atau artodesis

(penyatuan sendi).

f. Reaksi terhadap alat diksasi interna : remodeling tulang yang

akan mengembalikan kekuatan struktural tulang.

2.7.4 Pada kasus fraktur mandibula dapat dilakukan :

a. Tahap 1 :

Prinsip penanganan fraktur rahang pada langkah awal penanganan

pada hal yang bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway),

pernafasan (breathing), sirkulasi darah termasuk penanganan syok

(circulaation), penaganana luka jaringan lunak dan imobilisasi

sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak.

b. Tahap 2 :

1) Fraktur yang tidak ter-displace dapat ditangani dengan jalan

reduksi tertutup dan fiksasi intermaxilla. Namun pada

prakteknya, reduksi terbuka lebih disukai pada kebanyakan

fraktur.

2) Fraktur dikembalikan ke posisi yang sebenarnya dengan jalan

reduksi tertutup dan arch bar dipasang ke mandibula dan

maxilla.

3) Kawat dapat dipasang pada gigi di kedua sisi fraktur untuk

menyatukan fraktur

17
4) Fraktur yang hanya ditangani dengan jalan reduksi tertutup

dipertahankan selama 4-6 minggu dalam posisi fraktur

intermaxilla.

5) Kepada pasien dapat tidak dilakukan fiksasi intermaxilla

apabila dilakukan reduksi terbuka, kemudian dipasangkan

plat and screw.

2.8 TINDAKAN PLATING MANDIBULA

2.8.1 Plating mandibula merupakan tindakan operasi dengan melakukan

reposisi dan fiksasi dengan menggunakan plat mini – sekrup pada

patah tulang mandibula.

2.8.2 Ruang lingkup

Fraktur tulang mandibula yang disertai displacement, bilamana

direposisi dan fiksasi maka fragmen tulang menjadi stabil.

2.8.3 Indikasi dan kontra indikasi

a. Indikasi dilakukan operasi plating mandibula adalah apabila

terjadi patah tulang mandibula dengan

deformitas/maloklusi/trismus.

b. Kontra indikasi adalah Ko-Morbiditas berat

2.8.4 Tehnik operasi

a. Menjelang operasi

Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai

tindakan operasi yang akan dijalani serta resiko

komplikasidisertai dengan tandatangan persetujuan dan

18
permohonan dari penderita untuk dilakukan operasi. (Informed

consent).

b. Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan

operasi.

c. Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi.

d. Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau Clindamycin kombinasi

dengan Garamycin, dosis menyesuaikan untuk profilaksis.

e. Tahapan operasi

1) Reposisi terbuka bila reposisi tertutup gagal atau ada

kontraindikasi pemasangan fiksasi intermaksila.

2) Pertama kali dikerjakan koreksi oklusi. Oklusi yang telah

dikoreksi dipertahankan dengan fiksasi intermaksila.

3) Pasang interdental wiring di premolar maksila dan

mandibula sisi kanan dan kiri, selanjutkan kawat diikatkan

pada pasangannya atas dan bawah sisi kanan maupun sisi

kiri.

4)

Gambar 1.2

Gambar diatas adalah penanganan dari fraktur mandibula

dengan pemasangan plat pada batas inferior garis fraktur,

19
pemasangan plat ini bertujuan untuk memberi tahanan pada

daerah fraktur, sehingga dapat menyatukan bagian fraktur

dengan alveolus superior. Setelah plat tepasang, maka tidak

dibutuhkan lagi fiksasi maksila. Dengan catatan

pemasangan screw pada plat tidak dengan penekanan yang

terlalu kuat. Karena dengan pemasangan screw yang terlalu

kuat akan mengkibatkan terjadinya kesulitan pada saat

pelepasan, oleh karena itu, pemasangan dengan tekhnik

yang tidak terlalu menekan lebih di pilih dalam pemasangan

plat pada fraktur mandibula.

2.8.5 Komplikasi yang mungkin terjadi setelah tindakan operasi

a. Infeksi

b. Kerusakan saraf

c. Gigi yang berpindah tempat

d. Komplikasi pada daerah ginggival dan periodontal

e. Reaksi terhadap obat

20
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

Pengumpulan data pada pasien dan keluarga dilakukan dengan cara

anamnesa, pemeriksaan fisik dan melalui pemeriksaan penunjang

3.1.1 Biodata

Meliputi : nama, tanggal lahir, usia,nomor rekam medis,alamat,jenis

kelamin, status perkawinan, pekerjaan, dan pendidikan terakhir.

3.1.2 Keluhan Utama

Pasien datang biasanya dengan keluhan nyeri dan adanya luka di

daerah mandibula.

3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak kapan timbul keluhan, apakah ada riwayat trauma. Timbulnya

gejala mendadak atau perlahan serta timbul untuk pertama kalinya

atau berulang. Perlu ditanyakan pula tentang ada tidaknya gangguan

pada sistem lainnya. Masalah-masalah saat ini, kaji klien untuk

mengungkapkan alasan klien memeriksakan diri/mengunjungi

fasilitas kesehatan. Keluhan utama nyeri, deformitas, kelainan fungsi

atau pengurangan gerakan atau faktor-faktor lain.

3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Data ini meliputi kondisi kesehatan individu. Data tentang adanya

efek langsung terhadap muskuloskeletal, misalnya riwayat

trauma/kerusakan tulang rawan, artritis, osteomielitis.

21
Riwayat pengobatan berikut efek sampingnya, misal kortikosteroid

dapat menimbulkan kelemahan otot.

3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluarga untuk menentukan hubungan genetik perlu

identifikasi misalnya adanya predisposisi, seperti artitis, spondilitis

ankilosis, gout/pirai, DM, hipertensi.

3.1.6 Pemeriksaan Fisik

a. B1 (Breathing)

- Adakah sumbatan jalan nafas karena adanya perdarahan di

mulut dan snoring (+), gurgling (+).

- Auskultasi suara nafas mungkin ada tanda stridor.

- Catat jumlah dan irama nafas

- Tanda-tanda distres nafas (RR : > 20x/m, retraksi +, sesak,

nafas + abdominal +, flare +)

b. B2 (Bood)

- Lihat perfusinya DBP menandakan syok

- Lihat CRT normal bila < 2 detik

- TD dapat menurun apabila terjadi syok hipovolemik karena

perdarahan hebat di mulut.

- Nadi dapat meningkat bila terjadi nyeri dan syok.

- Peningkatan suhu bila terjadi infeksi

c. B3 (Brain)

- Dilihat tingkat kesadaran, Umumnya pasien dengan fraktur

tidak mengalami penurunan kesadaran

22
d. B4 (Bladder)

- Pada daerah kelamin dapat tidak dilakukan kecuali bila ada

kelainan ditambah keluhan pada pasien.

- Perlu dipaang folley catheter bila terjadi syok untuk

mengetahui intake dan output cairan.

e. B5 (Bowel)

- Bentuk abdomen tidak mengalami perubahan, tidak adanya

benjolan massa.

- Periksa bising usus/peristaltik usus dan pada penderita fraktur

dapat mengalami penurunan karena efek imobilisasi.

f. B6 (Bone)

- Didapatkan nyeri tekan pada daeah fraktur dan sekitarya.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

3.2.1 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya

perdarahan di mulut.

3.2.2 Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen

tulang, diskontinuitas jaringan muskuloskeletal.

3.2.3 Risiko cedera berhubungan dengan gangguan integritas tulang.

3.2.4 Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan

penurnan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan

trombus).

3.2.5 Kerusakan pertukatan gas berhubungan dengan perubahan aliran

darah, embolo, perubahan membran alveolar/kapiler.

23
3.2.6 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka

neuromuskuler nyeri, terapi neftriktif (imobilisasi).

3.2.7 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,

pemasangan traksi (penkawat, skrup)

3.2.8 Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan

primer (kerusakan kulit trauma, jaringan lunak, prosedur

ibvasif/traksi tulang).

3.2.9 Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis

dan kebutuhan pengobatan.

3.3 RENCANA KEPERAWATAN

3.3.1 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya

perdarahan di mulut.

a. Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x30 menit bersihan

jalan nafas efektif

b. Kriteria Hasil :

 Tidak terjadi sumbatan jalan nafas,

 Ronchi -/-, Wheezing -/-

 Tidak ada tanda-tanda distres nafas (sesak, retraksi, flare,

tracheal tag)

 TD : 110-140/60-90 mmHg

 N : 60-100x/m

 RR : 14-20x/mmHg

24
 Nilai BGA :

pO2 : 80 - 100 mmHg

pH : 7.35 - 7.45

pCO2 : 35 - 45 mmHg

B.E :-2-+2

HCO3 : 21 - 25 mMol/L

c. Intervensi

1) Berikan oksigen sesuai dengan indikasi

R/ Memperbaiki dan pemenuhan kebutuhan oksigenasi

2) Auskultasi bunyi nafas sebelum dan setelah suction

R/ Memantau keefektifan jalan nafas

3) Lakukan suction jika terdengar ronchi sampai bersih.

R/ Pengisapan lender dilakukan untuk mengurangi adanya

penumpukkan secret dan durasinya dapat dikurangi untuk

mencegah bahaya hipoksia.

4) Pantau tanda-tanda vital sebelum dan setelah tindakan

R/ Deteksi ini untuk mengetahui adanya kelainan monitor

status hidrasi klien

5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian

bronkodilator, fisiotherapi nafas dan pemeriksaan BGA.

R/ Mengatur ventilasi dan melepaskan secret karena

relaksasi otot brokosposme dan menunjukkan tingkat

keberhasilan dalam pemberian oksigenasi

25
3.3.2 Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,

diskontinuitas jaringan muskuloskeletal

a. Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 1x24 jam nyeri

berkurang

b. Kriteria hasil :

 Klien mengatakan nyeri berkurang dengan skala 1-3

 Tekanan darah : 110-140/60-90 mmHg

 Nadi : 60-100x/menit

 Suhu : 36 ºC

 RR : 14-20x/menit

c. Intervensi

1) Pertahankan tirah baring dan imobilisasi bagian yang sakit

R/ Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi

2) Tinggikan posisi extremitas yang terkena

R/ Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi

edema/nyeri.

3) Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif

R/ Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan

sirkulasi vaskuler.

4) Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan

(massage, perubahan posisi)

R/ Meningkatkan sirkulasi umum, menuruinkan area

tekanan loikal dan kelelahan otot.

26
5) Ajarkan teknik manajemen nyeri (latihan nafas dalam,

imajinasi visual)

R/ Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan

kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.

6) Lakukan kompres dingin selama fase akiut (24-48 jam

pertama) sesuai keperluan.

R/ Menurunkan edema, mengurangi nyeri

7) Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi

R/ Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan

rangsang nyeri baik secara sentral/perifer.

3.3.3 Risiko cedera berhubungan dengan gangguan integritas tulang.

a. Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawata dalam 1x30 menit pasien

tidak mengalami cidera.

b. Kriteria hasil :

 Klien mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur.

 Klien menunjukkan pembentukan kalus/mulai penyatuan

fraktur dengan tepat.

c. Intervensi :

6) Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi

R/ Meningkatkan stabilitas, meminimalkan gangguan akibat

perubahan posisi

27
7) Bila terpasang gips/bebat, sokong fraktur dengan bantal

atau gulungan selimut untuk mempertahankan posisi yang

netral.

R/ Mencegah gerakan tak perlu akibat perubahan posisi

8) Evaluasi pembebat terhadap resolusi edema.

R/ Penilaian kembali pembebat perlu dilakukan seiring

dengan berkurangnya edema.

9) Bila terpasang traksi pertahankan posisi traksi

R/ Traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur

tulang dan mengatasi tegangan otot untuk mempercepat

penyatuan fragmen tulang.

10) Yakinkan semua klem, dan tali berfungsi baik

R/ Menghindari hambatan penyambungan fraktur.

11) Pertahankan integritas fiksasi eksternal.

R/ Keketatan kurang/berlebihan dari traksi eksternal

merubah tegangan traksi dan mengakibatkan kesalahan

posisi.

12) Kolaborasi pelaksanaan kontrol foto.

R/ Menilai proses penyembuhan tulang

3.3.4 Kerusakan pertukatan gas berhubungan dengan perubahan aliran

darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler.

a. Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 1x30 menit

pertukaran gas dapat kembali normal.

28
b. Kriteria hasil :

 Mempertahankan fungsi pernapasan adekuat.

 Dispneu (-)

 GDA dalam batas normal

 RR : 14-20x/menit

c. Intervensi :

1) Instruksikan/bantu latihan nafas dalam dan latihan batuk

efektif

R/ Meningkatkan vetilasi alveolar dan perfusi

2) Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai

keadaan klien

R/ Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan

kongesti pada area paru dependen.

3) Kolaborasi pemberian obat antikoagulan dan kortikosterciel

sesuai indikasi.

R/ Mencegah terjadinya pembentukan darah pada keadaan

tromboemboli kortikesteroid telah menunjukkan

keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.

4) Analisis pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak

dan trombosit

R/ Penirunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan g3

pertukaran gas. Anemia, hipoakemia, peningkatan LED dan

kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering

berhubungan dengan emboli lemak..

29
5) Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernafas,

perhatiaklan adanya stridor, penggunaan otot aksesosi

pernafasan.

R/ Adanya takipnea, dispnea, dan perubahan mental

merupakan tanda dini insufiensi pernapasan, mungkin

menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal

3.3.5 Gangguan Integritsa Kuli b.d Trauma Mekanis pada Kulit/Jaringan

a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam

Integritas kulit bisa dipertahankan

b. Kriteria hasil :

 Mampu mencapai penyembuhan luka

 Mampu mendemonstrasikan tingkah laku/teknik untuk

meningkatkan kesembuhan dan untuk mencegah komplikasi.

c. Intervensi :

1) Beri penguatan pad balutan awal/penggantian sesuai

indikasi dan gunakan teknik aseptik.

R/Melindungi luka dari perlukaan mekanis dan kontaminasi

2) Secara hati-hati lepaskan parekat (sesuai arah pertumbuhan

rambut) dan pembalut pada waktu mengganti.

R/ Mengurangi resiko trauma dan gangguan pada luka

3) Periksa luka secara teratur, catat karakteristik dan integritas

kulit.

30
R/ Pengenalan akan adanya kegagalan proses penyembuhan

luka/berkembangnya komplikasi secara dini dapat menceah

terjadinya kondisi yang lebih serius.

4) Kaji jumlah dan krakteristik cairan luka.

R/ Menurnnya cairan menandakan adanya evolusi dari

proses penyembuhan apabila pengeluaran cairan terus

menerus aau adanya aksudat yang baru menunjukkan

terjadinya komplikasi.

5) Bersihkan permukaan kulit dengan hidrogen peroksida atau

dengan air yang mengalir dan sabun lunak setelah daerah

insisi ditutup.

R/ Menurunkan kontaminasi kulit, membantu dalam

membersihkan exudat.

3.3.6 Infeksi d.b Ketidakadequatan Tahanan Perifer/Primer

a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 1x24

jam infeksi tidak terjadi.

b. Kriteria hasil :

 Mampu mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.

 Kemerahan pada kulit (-)

 Suhu : 36ºC

 RR : 20x/menit

 Nadi : 60-100x/menit

 TD : 120/80 mmHg

c. Intervensi:

31
1) Lakukan perawatan steril dan perawatan luka sesuai

protokol

R/ Mencegah infeksi sekunder dan mempercepat

penyembuhan luka

2) Ajarkan untuk mempertahankan sterilitas

R/ Meminimalkan kontaminasi

3) Observasi TTV dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka

R/ Mengevaluasi perkembangan masalah

4) Kolaborasi pemberian antibiotik

R/ Antibiotik spektrum luas atau spesifik dapat digunakna

secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi.

5) Kolaborasi laboratorium kultur dan sensitivitas luka tulang

R/ Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi anemia

dan peningkatan LED dapat terjadi pada oesteomielitis.

Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.

32
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, E. Marylin. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakrta : EGC.

FKUI, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakrta : Media Aesculapius.

Sylvia, A. Price, Etc. 1995. Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Suddart, Brunner. 2001. Buku Ajar Keperwatan Medikal Bedah Edisi 8.

Jakarta : EGC

Sjaiffoellah, N. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta :

FKUI

Watson, R. (2002). Anatomi dan fisiologi: untuk perawat. Jakarta: EGC.

33

Anda mungkin juga menyukai