Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

OPEN FRAKTUR ½ MIDDLE LEFT RADIUS


OPEN FRAKTIR ½ PROXIMAL LEFT ULNA
LONTARA 2 BAWAH BELAKANG (BEDAH ORTHO)
RS. DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
TAHUN 2018

Sofiyan djainuddin

R014191030

CI LAHAN CI INSTITUSI

[ ] [Titi Iswanti Afelya,S. Kep.,Ns.,M.Kep.Sp.KMB]

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Fraktur adalah kerusakan kontinuitas tulang, yang bisa bersifat komplet
(inkapiler diseluruh tulang, dengan dua ujung tulang terpisah) atau (patah
sebagian atau pecah) dan biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
(Mickel, 2016).
Menurut Black & Hawks (2014) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder
terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang
patologi
Tantri et,al ( 2019) mengemukakan Fraktur radius distal adalah salah satu
dari macam fraktur yang biasa terjadi pada pergelangan tangan. Umumnya
sering terjadi karena jatuh dalam keadaan tangan menumpu dan biasanya
terjadi pada anak-anak dan lanjut usia
Fraktur radius ulna adalah terputusnya kontinuitas tulang radius ulna,
Radius Adalah tulang lengan bawah yang menyambung dengan humerus
danmembentuk sendi siku. Radius merupakan os longum yang terdiri atas
epiphysis.proximalis, diaphysis, dan epiphysis distalis. Epiphysis proximalis
terdapat caput radii berbentuk concave dan bagian superiornya terdapat fovea
articularis bertemu dengan capitulum humeri membentuk articulatio
humeroradialis. Pada caput radii terdapat circumferentia articularis (radii)
bertemu dengan incisura radialis (ulna) membentuk artic radioulnaris
proximalis. Caput radii ke distal membentuk collum radii dan corpus radii.
Bagian proximal corpus bagian anterior terdapat tuberositas radii untuk
insertio m. biceps Brachii. Bagian distal sisi ulnar terdapat margo nterossea.
Epiphysis distalis lebar dan tebal. Bagian sisi ulna terdapat lekukan yang
disebut incisura ulnaris bertemu circumferential articularis (ulna) membentuk
articulatio radioulnaris distalis. Bagian distal terdapat dataran sendi segi tiga
disebut facies articularis carpalis bersendi dengan carpalia proximal yaitu
articulation radiocarpalis. Ujung epiphysis distalis bagian lateral menonjol
disebut processus styloideus (radii) (Price, S. A., & Wilson, 2015b).

B. Etiologi
Penyebab fraktur menurut Mickel,2016 yaitu :
1. Traumatik. Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang
dengan kekuatan yang besar. Tulang tidak mampu menahan trauma
tersebut sehingga terjadi fraktur.
2. Patologis atau gangguan tulang. Disebabkan oleh kelemahan tulang
sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur
patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
karena tumor atau proses patologis lainnya. Tulang seringkali
menunjukkan penurunan densitas. Penyebab paling sering dari fraktur-
fraktur semacam ini adalah tumor, baik primer maupun metastasis.
3. Cedera stress. Disebabkan oleh trauma yang terus menerus pada suatu
tempat tertentu, seperti yang terjadi pada kaki pemain basket dan
tulang kering pada pelari

C. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit ( Black & Hawks, 2014).
(Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah
fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang
dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan
sindrom compartment (Smeltzer & Bare, 2013)
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah (Yusmara, Nursilawat, & Arafat, 2016) .Pasien
yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara
lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang
perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan perawatan diri (Pelawi & Purba, 2019). Reduksi
terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan
dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma
pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera
mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi
(Melati , 2015)
D. Klasifikasi
Menurut Kristanto, 2016 ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar dibagi menjadi 2 antara lain:
1. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh)
tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang
berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
2. Fraktur terbuka (open atau compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan atau potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman
dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka :
a. Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
b. Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
c. Derajat III
Luka lebar, rusak hebat atau hilang jaringan sekitar.
Luka lebar, rusak hebat atau hilang jaringan sekitar.
Menurut Price, S. A., & Wilson, 2015 derajat kerusakan tulang dibagi
menjadi 2 yaitu:
1. Patah tulang lengkap (complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
2. Patah tulang tidak lengkap (incomplete fraktur)
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu
sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green
stick.
Menurut Price, S. A., & Wilson, 2015 kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada
fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.

Klasifikasi fraktur terbuka menurut Stanley (2011) meliputi:


 Grade I
- Luka kecil kurang dan 1 cm
- terdapat sedikit kerusakan jaringan
- tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak
bersifat simpel tranversal oblik pendek atau komunitif.
 Grade II
- Laserasi kulit melebihi 1 cm
- tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit.
Terdapat kerusakan yang sedang dan jaringan.
 Grade III
- Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot.
kulit dan struktur neovaskuler dengan .Dibagi dalam 3 sub tipe:
 tipe IIIA yaitu jaringan lunak cukup menutup tulang yang
patah,
 tipe IIIB disertai dengan kerusakan dan kehilangan jaringan
lunak, tulang tidak dapat di cover soft tissue,
 tipe IIIC disertai cidera arteri yang memerlukan repair segera.

Menurut Pelawi & Purba (2019) bentuk garis patah dan


hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
1. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
3. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya spiral yang di sebabkan
oleh trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kearah permukaan lain.
5. Fraktur Avulsi : fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya.

Menurut Kowal & Wesh, (2011 ) jumlah garis patahan ada 3 antara
lain:
1. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
Klasifikasi fraktur antebrachii :
1. Fraktur antebrachii, yaitu fraktur pada kedua tulang radius dan ulna
2. Fraktur ulna (nightstick fractur), yaitu fraktur hanya pada tulang ulna

3. Fraktur Montegia, yaitu fraktur ulna proksimal yang disertai dengan dislokasi
sendi radioulna proksimal

4. Fraktur radius, yaitu fraktur hanya pada tulang radius


5. Fraktur Galeazzi, yaitu fraktur radius distal disertai dengan dislokasi sendi
radioulna distal

E. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran
fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias diketahui
dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
(Smeltzer & Bare, 2013)
F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Kozier, Erb, Berman, & Snyder, (2011) ada beberapa
pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur

Gambar : foto antebraci AP lateral dan foto Manus .


2. Scan tulang, tomogram, CT- scan atau MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap : hematokrit mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur
atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih
adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple, atau cedera hati.
6. Foto thorax guna mengetahui trauma seperti pneumotorak akibat
benturan

Gambar : pneumotoraks
G. Penatalaksanaan
Menurut Tantri et al., (2019) konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari
patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar
tulang tetap menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan
memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya
memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang biasanya kuat
dan kembali berfungsi (Hadi, 2013).
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai
akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi atau reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya.
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi
tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Kristanto, 2016)
3. Debridement
merupakan suatu tindakan eksisi yang bertujuan untuk membuang
jaringan nekrosis maupun debris yang mengahalangi proses penyembuhan
luka dan potensial terjadi atau berkembangnya infeksi sehingga
merupakan tindakan pemutus rantai respon inflamasi sistemik dan maupun
sepsis. Tindakan ini dilakukan sejak awal mungkin, dan dapat dilakukan
tindakan ulangan sesuai kebutuhan (Black & Hawks, 2014)
4. Open Reduksi Internal Fiksasi (ORIF)
Sebuah prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu pada
operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk
beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan
piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Kozier et al.,
2011) .
ORIF (Fiksasi Interna dgn plate & Screw) Fiksasi dengan plate
adalah tindakan primer untuk fraktur yang tidak stabil dari volar dan
medial kolum dari distal radius. Distal radius plate dikategorikan
berdasarkan lokasi dan tipe dari plate. Lokasinya bisa dorsal medial, volar
medial dan radial styloid. Prinsip dari penanganan radius distal adalah
mengembalikan fungsi dari sendi pergelangan tangan (wrist joint). Plate
yang konvensional dapat digunakan buttress ataupun neutralization plate,
plate dengan locking screw juga kini sering digunakan, umumnya untuk
tulang yang sudah mengalami pengeroposan (osteoporosis) (Pelawi &
Purba, 2019).

Foto : Tindakan ORIF dengan plate & Screw pada carpal


Foto : tindakan ORIF dengan plate & Screw pada tulang Ulna .
Menurut (Price, S. A., & Wilson, (2015) terdapat lima metode
fiksasi internal yang digunakan, antara lain: sekrup kompresi antar
fragmen, plat dan sekrup paling sesuai untuk lengan bawah, paku
intermedula untuk tulang panjang yang lebih besar, paku pengikat
sambungan dan sekrup ideal untuk femur dan tibia, sekrup kompresi
dinamis dan plat ideal untuk ujung proksimal dan distal femur
5. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan,
gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna
adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen
tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan
pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal
bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada
tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan
pelvis (Tantri et al., 2019).
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment
berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak

6. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atrofi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus
segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan
kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi ( Black & Hawks, 2014)
H. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Kozier et al., 2011 antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bisa
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstrasel
ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks,
pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia
yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan
yang menjerat ataupun peningkatan isi kompartement otot karena
edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah
(misalnya : iskemi dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak ada nadi,
CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan
plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali
dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer & Bare, 2013).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan non union.
a. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.

c. Non union
Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Non union di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang (Price dan
Wilson, 2016).

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas / istirahat
Gejala :
a. kelemahan, kelelahan, terdapat masalah pada mobilitas
b. Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri)
c. Kelemahan dari ekstremitas yang terkena
d. Penurunan ROM
2. Sirkulasi
Tanda :
a. Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respons terhadap
nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
b. Takhikardia (respons stress, hipovolemia)
c. Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cidera: pengisian
kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena
d. Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cidera
3. Neurosensori
Gejala :
a. Hilang gerakan/sensasi, spasme otot
b. Kebas/kesemutan (parastesis)
c. Deformitas lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi
(bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilang fungsi
d. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain
4. Eliminasi
Tanda :
a. Hematuria
b. Sedimen urine
c. Perubahan output-GGA dengan kerusakan muskuloskletal
5. Nyeri/kenyamanan
a. Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan /kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi)
b. Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
6. Keamanan
Tanda :
a. Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna
b. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)

B. Diagnose Keperawatan (NANDA, 2015) &(NANDA, 2018)


1. Nyeri akut b.d agen injuri fisik, spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan suplai darah ke
jaringan.
3. Kerusakkan integritas kulit b.d pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup).
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakkan rangka neuromuscular, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi).
5. Resiko infeksi.
6. Resiko trauma.

C Rencana/Intervensi Keperawatan
(Moorhead, S., 2013) & (Bulechek, G. M., 2013)
Diagnosa Tujuan Intervensi
keperawatan
Nyeri akut b.d NOC : NIC :
agen injuri  Pain Level,  Lakukan pengkajian
fisik, spasme  pain control, nyeri secara
otot, gerakan  comfort level komprehensif termasuk
fragmen tulang, Kriteria hasil: lokasi, karakteristik,
edema, cedera  Mampu mengontrol nyeri (tahu durasi, frekuensi,
jaringan lunak, penyebab nyeri, mampu kualitas dan faktor
pemasangan menggunakan tehnik presipitasi
traksi. nonfarmakologi untuk  Observasi reaksi
mengurangi nyeri, mencari nonverbal dari
bantuan) ketidaknyamanan
 Melaporkan bahwa nyeri  Bantu pasien dan
berkurang dengan menggunakan keluarga untuk mencari
manajemen nyeri dan menemukan
 Mampu mengenali nyeri (skala, dukungan
intensitas, frekuensi dan tanda  Kontrol lingkungan
nyeri) yang dapat

 Menyatakan rasa nyaman mempengaruhi nyeri

setelah nyeri berkurang seperti suhu ruangan,

 Tanda vital dalam rentang pencahayaan dan

normal kebisingan

 Tidak mengalami gangguan  Kurangi faktor

tidur presipitasi nyeri


 Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi
 Ajarkan tentang teknik
non farmakologi: napas
dala, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
 Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri:
……...
 Tingkatkan istirahat
 Berikan informasi
tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
Ketidakefektifa NOC : NIC :
n perfusi  Circulation status Peripheral Sensation
jaringan perifer  Tissue Perfusion: cerebral Management
b.d penurunan
Kriteria hasil: (Manajement sensasi
suplai darah ke
Mendemonstrasikan status perifer)
jaringan.
sirkulasi yang ditandai dengan:  Monitor adanya daerah
 Tekan sistol dan diastol dalam tertentu yang hanya peka
rentang yang diharapkan. terhadap
 Tidak ada ortostatik hipertensi. panas/dingin/tajam/tump
 Tidak ada tanda-tanda ul.
peningkatan tekanan intrakranial  Monitor adanya pretese
(tdak lebih dari 15 mmHg)  Instruksikan keluarga
Mendemonstrasikankemampua untuk mengobservasi
n kognitif yang ditandai kulit jika ada isi atau
dengan: laserasi.
 Berkomunikasi dengan jelas dan  Gunakan sarung tangan
sesuai dengan kemampuan . untuk proteksi.
 Menunjukkan perhatian,  Batasi gerakkan pada
konsentrasi, dan orientasi. kepala, leher, dan
 Memproses informasi. punggung.

 Membuat keputusan yang benar.  Monitor kemampuan

 Menunjukkan fungsi sensori BAB.


motorik cranial yang utuh:  Kolaborasi pemberian

tingkat kesadaran membaik, analgetik.


tidak ada gerakkan involunter.  Monitor adanya
tromboplebitis.
 Diskusikan mengenai
adanya perubahan
sensasi.

Kerusakan NOC : NIC : Pressure


integritas kulit  Tissue Integrity : Skin and Management
b.d pemasangan Mucous Membranes Anjurkan pasien untuk
 Wound healing: primary and
traksi (pen, menggunakan pakaian
secondary intention.
kawat, sekrup). yang longgar
kriteria hasil:
Hindari kerutan pada
 Integritas kulit yang baik bisa
tempat tidur
dipertahankan (sensasi,
Jaga kebersihan kulit
elastisitas, temperatur,
agar tetap bersih dan
hidrasi, pigmentasi)
kering
 Tidak ada luka/lesi pada kulit
Mobilisasi pasien (ubah
 Perfusi jaringan baik
 Menunjukkan pemahaman posisi pasien) setiap dua
dalam proses perbaikan kulit jam sekali
dan mencegah terjadinya Monitor kulit akan
sedera berulang adanya kemerahan
 Mampu melindungi kulit dan Oleskan lotion atau
mempertahankan kelembaban minyak/baby oil pada
kulit dan perawatan alami derah yang tertekan
 Menunjukkan terjadinya Monitor aktivitas dan
proses penyembuhan luka mobilisasi pasien
Monitor status nutrisi
pasien
Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat
Kaji lingkungan dan
peralatan yang
menyebabkan tekanan
Observasi luka : lokasi,
dimensi, kedalaman
luka,
karakteristik,warna
cairan, granulasi,
jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi
lokal, formasi traktus
Ajarkan pada keluarga
tentang luka dan
perawatan luka
Kolaburasi ahli gizi
pemberian diae TKTP,
vitamin
Cegah kontaminasi
feses dan urin
Lakukan tehnik
perawatan luka dengan
steril
Berikan posisi yang
mengurangi tekanan
pada luka

Hambatan NOC : NIC :


mobilitas fisik  Joint movement: active. Exercise therapy:
 Mobility level
b.d kerusakkan  Selft care: ADLs ambulation
rangka  Transfer performance Monitoring vital sign
neuromuscular, kriteria hasil: sebelum/sesudah latihan
nyeri, terapi  Klien meningkat dalam dan lihat respon pasien
restriktif aktivitas fisik saat latihan.
(imobilisasi).  Mengerti tujuan dan Konsultasikan dengan
peningkatan mobilisasi. terapi fisik tentang
 Memverbalisasikan perasaan rencana ambulasi sesuai
dalam meningkatkan dengan kebutuhan.
kekuatan dan kemampuan Bantu klien untuk
berpindah. mengangkat tongkat
 Memperagakan penggunaan saat berjalan dan cegah
alat. terhadap cedera.
 Bantu untuk mobilisasi. Kaji kemampuan pasien
tentang mobilisasi
Latih klien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan.
Dampingi dan bantu
pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien.
Berikan alat bantu jika
klien memerlukan.
Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G. M., & et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC).
PhiladelphiaElsevier.: Elsevier
.
Hadi, S. A. (2013). Distal radius morphometry of Indonesian population, 22(3),
173–177. https://doi.org/10.13181/mji.v22i3.587

Kowal, Wesh, & M. (2011). Buku ajar patofisiologi. Jakarta: EGC.

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2011). Buku ajar: Fundamental
Keperawatan Konsep,Proses, & Praktik. (S. K. Ns. Dwi Widiarti, S.Kep, Ns.
Anastasya Onny Tampubullon, S.Kep , & Nike Budhi Subekti, Ed.) (Edisi 7).
Jakarta: EGC.

Kristanto, A. (2016). Efektifitas Penggunaan Cold Pack Dibandingkan Relaksasi


Nafas Dalam untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open Reduction Internal Fixation
( ORIF ), 1(1), 68–76.
M, Black, J., & Hawks, H. J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajeman
Klinis untuk Hasil yang diharapkan (8 buku 2). Singapore: Elsevierr.

Melati, r. (2015). Penatalaksanaan Terapi latihan pada Pasien Paska Operasi


Pemasangan Plate and Screw pada Frakture Antebrachii 1/3 Proximal.

Mickel, H. (2016). Keperawatan medikal-bedah (1st ed.). Jakarta: EGC.

Moorhead, S., & et al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC).


Philadelphia: Elsevier: : Elsevier.

NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi ((10). Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

NANDA. (2018). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi (11th ed.).


jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Pelawi, A., & Purba, J. S. (2019). Teknik Pemeriksaan Fraktur Wrist Join Dengan
Fraktur Sepertiga Medial TertutuP Instalasi, 7(1), 22–27.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2015a). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


(6 ed., Vol, pp. 1105–1126). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2015b). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit ((6 ed., Vo). jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar : Keperawatan medikal bedah.
(S. K. Monica Ester, Ed.) (8th ed., Vol. 3). Jakarta: EGC.

Tantri, I. N., Asmara, A. A. G. Y., Roy, A., & Hariantana, R. (2019). Gambaran
karakteristik fraktur radius distal di RSUP Sanglah Tahun 2013-2017, 10(3),
468–472. https://doi.org/10.15562/ism.v10i3.416

Yusmara, D., Nursilawat, & Arafat, R. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan


Medikal Bedah : Diagnosis NANDA-1 Intervensi NIC Hasil NOC. (S. K. M.
Yasmara, Deni , Kep., Ns., M.Kep., S. K. nursilawati, S.kep., Ners, M.Kep.,
& S. K. Arafat, Rosyidah, S.Kep., Ns., M.Kep., Eds.). Jakarta: EGC.
WEB OF CAUTION

Nyeri Akut

Kerusakan
Integritas Kulit

Ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer

Hambatan
Risiko Infeksi
Mobilitas Fisik

Risiko Trauma

Anda mungkin juga menyukai