Sofiyan djainuddin
R014191030
CI LAHAN CI INSTITUSI
B. Etiologi
Penyebab fraktur menurut Mickel,2016 yaitu :
1. Traumatik. Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang
dengan kekuatan yang besar. Tulang tidak mampu menahan trauma
tersebut sehingga terjadi fraktur.
2. Patologis atau gangguan tulang. Disebabkan oleh kelemahan tulang
sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur
patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
karena tumor atau proses patologis lainnya. Tulang seringkali
menunjukkan penurunan densitas. Penyebab paling sering dari fraktur-
fraktur semacam ini adalah tumor, baik primer maupun metastasis.
3. Cedera stress. Disebabkan oleh trauma yang terus menerus pada suatu
tempat tertentu, seperti yang terjadi pada kaki pemain basket dan
tulang kering pada pelari
C. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit ( Black & Hawks, 2014).
(Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah
fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang
dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan
sindrom compartment (Smeltzer & Bare, 2013)
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah (Yusmara, Nursilawat, & Arafat, 2016) .Pasien
yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara
lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang
perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan perawatan diri (Pelawi & Purba, 2019). Reduksi
terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan
dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma
pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera
mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi
(Melati , 2015)
D. Klasifikasi
Menurut Kristanto, 2016 ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar dibagi menjadi 2 antara lain:
1. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh)
tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang
berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
2. Fraktur terbuka (open atau compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan atau potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman
dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka :
a. Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
b. Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
c. Derajat III
Luka lebar, rusak hebat atau hilang jaringan sekitar.
Luka lebar, rusak hebat atau hilang jaringan sekitar.
Menurut Price, S. A., & Wilson, 2015 derajat kerusakan tulang dibagi
menjadi 2 yaitu:
1. Patah tulang lengkap (complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
2. Patah tulang tidak lengkap (incomplete fraktur)
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu
sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green
stick.
Menurut Price, S. A., & Wilson, 2015 kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada
fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.
Menurut Kowal & Wesh, (2011 ) jumlah garis patahan ada 3 antara
lain:
1. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
Klasifikasi fraktur antebrachii :
1. Fraktur antebrachii, yaitu fraktur pada kedua tulang radius dan ulna
2. Fraktur ulna (nightstick fractur), yaitu fraktur hanya pada tulang ulna
3. Fraktur Montegia, yaitu fraktur ulna proksimal yang disertai dengan dislokasi
sendi radioulna proksimal
E. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran
fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias diketahui
dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
(Smeltzer & Bare, 2013)
F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Kozier, Erb, Berman, & Snyder, (2011) ada beberapa
pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
Gambar : pneumotoraks
G. Penatalaksanaan
Menurut Tantri et al., (2019) konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari
patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar
tulang tetap menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan
memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya
memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang biasanya kuat
dan kembali berfungsi (Hadi, 2013).
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai
akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi atau reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya.
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi
tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Kristanto, 2016)
3. Debridement
merupakan suatu tindakan eksisi yang bertujuan untuk membuang
jaringan nekrosis maupun debris yang mengahalangi proses penyembuhan
luka dan potensial terjadi atau berkembangnya infeksi sehingga
merupakan tindakan pemutus rantai respon inflamasi sistemik dan maupun
sepsis. Tindakan ini dilakukan sejak awal mungkin, dan dapat dilakukan
tindakan ulangan sesuai kebutuhan (Black & Hawks, 2014)
4. Open Reduksi Internal Fiksasi (ORIF)
Sebuah prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu pada
operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk
beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan
piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Kozier et al.,
2011) .
ORIF (Fiksasi Interna dgn plate & Screw) Fiksasi dengan plate
adalah tindakan primer untuk fraktur yang tidak stabil dari volar dan
medial kolum dari distal radius. Distal radius plate dikategorikan
berdasarkan lokasi dan tipe dari plate. Lokasinya bisa dorsal medial, volar
medial dan radial styloid. Prinsip dari penanganan radius distal adalah
mengembalikan fungsi dari sendi pergelangan tangan (wrist joint). Plate
yang konvensional dapat digunakan buttress ataupun neutralization plate,
plate dengan locking screw juga kini sering digunakan, umumnya untuk
tulang yang sudah mengalami pengeroposan (osteoporosis) (Pelawi &
Purba, 2019).
6. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atrofi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus
segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan
kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi ( Black & Hawks, 2014)
H. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Kozier et al., 2011 antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bisa
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstrasel
ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks,
pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia
yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan
yang menjerat ataupun peningkatan isi kompartement otot karena
edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah
(misalnya : iskemi dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak ada nadi,
CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan
plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali
dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer & Bare, 2013).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan non union.
a. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
c. Non union
Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Non union di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang (Price dan
Wilson, 2016).
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas / istirahat
Gejala :
a. kelemahan, kelelahan, terdapat masalah pada mobilitas
b. Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri)
c. Kelemahan dari ekstremitas yang terkena
d. Penurunan ROM
2. Sirkulasi
Tanda :
a. Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respons terhadap
nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
b. Takhikardia (respons stress, hipovolemia)
c. Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cidera: pengisian
kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena
d. Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cidera
3. Neurosensori
Gejala :
a. Hilang gerakan/sensasi, spasme otot
b. Kebas/kesemutan (parastesis)
c. Deformitas lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi
(bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilang fungsi
d. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain
4. Eliminasi
Tanda :
a. Hematuria
b. Sedimen urine
c. Perubahan output-GGA dengan kerusakan muskuloskletal
5. Nyeri/kenyamanan
a. Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan /kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi)
b. Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
6. Keamanan
Tanda :
a. Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna
b. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)
C Rencana/Intervensi Keperawatan
(Moorhead, S., 2013) & (Bulechek, G. M., 2013)
Diagnosa Tujuan Intervensi
keperawatan
Nyeri akut b.d NOC : NIC :
agen injuri Pain Level, Lakukan pengkajian
fisik, spasme pain control, nyeri secara
otot, gerakan comfort level komprehensif termasuk
fragmen tulang, Kriteria hasil: lokasi, karakteristik,
edema, cedera Mampu mengontrol nyeri (tahu durasi, frekuensi,
jaringan lunak, penyebab nyeri, mampu kualitas dan faktor
pemasangan menggunakan tehnik presipitasi
traksi. nonfarmakologi untuk Observasi reaksi
mengurangi nyeri, mencari nonverbal dari
bantuan) ketidaknyamanan
Melaporkan bahwa nyeri Bantu pasien dan
berkurang dengan menggunakan keluarga untuk mencari
manajemen nyeri dan menemukan
Mampu mengenali nyeri (skala, dukungan
intensitas, frekuensi dan tanda Kontrol lingkungan
nyeri) yang dapat
normal kebisingan
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G. M., & et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC).
PhiladelphiaElsevier.: Elsevier
.
Hadi, S. A. (2013). Distal radius morphometry of Indonesian population, 22(3),
173–177. https://doi.org/10.13181/mji.v22i3.587
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2011). Buku ajar: Fundamental
Keperawatan Konsep,Proses, & Praktik. (S. K. Ns. Dwi Widiarti, S.Kep, Ns.
Anastasya Onny Tampubullon, S.Kep , & Nike Budhi Subekti, Ed.) (Edisi 7).
Jakarta: EGC.
Pelawi, A., & Purba, J. S. (2019). Teknik Pemeriksaan Fraktur Wrist Join Dengan
Fraktur Sepertiga Medial TertutuP Instalasi, 7(1), 22–27.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar : Keperawatan medikal bedah.
(S. K. Monica Ester, Ed.) (8th ed., Vol. 3). Jakarta: EGC.
Tantri, I. N., Asmara, A. A. G. Y., Roy, A., & Hariantana, R. (2019). Gambaran
karakteristik fraktur radius distal di RSUP Sanglah Tahun 2013-2017, 10(3),
468–472. https://doi.org/10.15562/ism.v10i3.416
Nyeri Akut
Kerusakan
Integritas Kulit
Ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer
Hambatan
Risiko Infeksi
Mobilitas Fisik
Risiko Trauma