Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

STEVEN JOHNSON SYNDROME

1.1 Pengertian

Sindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-

Johnson sindrom (SJS) adalah suatu kumpulan gejala klinis erupsi

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,

mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya

antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum

multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,

dermatostomatitis, dll. Selain nama sindrom Steven Johnson, ada TEN

(Toksic Epidermal Necrolisys) dimana ketika lesi kulit kurang dari 10%

total dari tubuh disebut Sindrom Stevens Johnsons, 10-30% kerusakan

kulit disebut transisi, sementara jika lebih dari 30% disebut TEN.

Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang

mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah

dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas

yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada

kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui

adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. (Amin Huda

Nurarif 2015).

Sindrom Stevens- Johnsons merupakan sindrom yang mengenai

kulit, selaput lendir diorifisium, dan mata dengan keadaan umum

bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema,

vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Arif Muttaqin, 2012).


1.2 Etiologi

Beberapa penyebab Sindrom Stevens Johnson :

1) Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes

simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-

Barr, atau sejenisnya).

2) Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole,

valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin,

azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide,

carbamazepin).

3) Keganasan (karsinoma dan limfoma).

4) Faktor idiopatik (hingga 50%).

5) Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai

efek samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung

ginseng. Sindrom Steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh

karena penggunaan kokain.

6) Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau

reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya

karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang

secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis,

sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya

sulfanomide (antibiotik), penisilin (antibiotic), berbiturate (sedative),

lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan).

Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari

terjadinya SJS.
1.3 Klasifikasi

Terdapat 3 derajat klasifikasi Sindrom Stevens Johnsons :

1) Derajat1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%.

2) Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%.

3) Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

1.4 Patofisiologi

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan

endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam

sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier

yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk

kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor

penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk

yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau

jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses

metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan

mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen

dan reaksi inflamasi yang terjadi.

Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta

mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai

kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik

akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi

imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya

menyebabkan kerusakan epidermis.


1.6.Manifestasi Klinis

Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

1) Kelainan kulit

Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema

berbentuk cincin (pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi)

yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler berbentuk target

dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Vesikel kecil

dan bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas.

2) Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa

mulut/bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat

genetalia (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-

masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis dengan

vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal stomatitis

merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini kemudian

menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel dan bulla sehingga

terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan berbentuk krusta

kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan

yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanya

stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar menelan. Kelainan di

mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorius bagian atas

dan esophagus. Terbentuknya pseudomembran di faring dapat

memberikan keluhan sukar bernafas dan penderita tidak dapat makan

dan minum.
3) Kelainan mata

Kelainan pada mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang

sering terjadi ialah conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi

conjunctivities purulen, pendarahan, simblefaron, ulcus kornea,

iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga

dikenal trias yaitu stomatitis, conjunctivities, balantis uretritis.

1.7.Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium : biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila

disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.

2. Histopatologi : kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan

ekstravasasi sel darah merah, degenarasi lapisan basalis. Nekrosis sel

epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

3. Imunologi : dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal

superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM,

IgA.

1.8.Penatalaksanaan

1. Kortikosteroid

Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving.

Pada sindrom stevens johnson yang ringan cukup diobati dengan

prednison dengan dosis 30 - 40 mg/hariAntibiotika

2. Antibiotik

Penggunaan antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya

infeksi akibat efek imunosupresif kortikosteroid yang dipakai pada dosis

tinnggi. Antibiotika yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan


alergi, berspektrum luas dan bersifat bakterisidal. Dahulu biasa digunakan

gentamisin dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari.

3. Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi

Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran

atau bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan ditenggorokan

serta kesadaran yang menurun. Untuk ini dapat diberikan infus yang

berupa glukosa 5% atau larutan darrow.

4. Transfusi Darah

Bila dengan terapi di atas belum tampak tanda-tanda perbaikan

dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300-500 cc

setiap hari selama 2 hari berturut-turut. Tujuan pemberian darah ini untuk

memperbaiki keadaan umum dan menggantikan kehilangan darah pada

kasus dengan purpura yang luas.

5. Perawatan Topikal

Untuk lesi kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle yang bersifat

sebagai protektif dan antiseptic atau krem sulfadiazin perak. Sedangkan

untuk lesi dimulut/bibir dapat diolesi dengan kenalog in obrase. Selain

pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi pada beberapa bagian yaitu

ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada kelainan difaring, karena

kadang-kadang terbentuk pseudomembran yang dapat menyulitkan

penderita bernafas.
1.9 Komplikasi

Sindrom Steven Johnsons sering sering menimbulkan komplikasi, antara

lain :

a. Kehilangan cairan dan darah.

b. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock.

c. Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis,

kebutaan.

d. Gastroenterologi – Esophageal strictures.

e. Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring,

stenosis vagina.

f. Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia.

g. Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen,

infeksi kulit sekunder.

h. Infeksi sitemik, sepsis


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian

a. Biodata Pasien

b. Anamnesa Pra Assasment

c. Pengkajian Pola Aktivitas Sehari-hari/Activity Daily Live (ADL)

1. Pola Aktivitas di Rumah Sakit

d. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Dasar (TTV Dasar)

1) GCS

2) Kesadaran

3) Tekanan Darah

4) Nadi

5) Suhu

6) RR

2. Pemeriksaan Mukulus

3. Pemeriksaan Abdomen, thorax

4. Pemeriksaan kulit

5. Permeriksaan kelamin dan ketiak

2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi lokal.


2. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan
3. Nyeri akut
4. Resiko infeksi
2.3 Intervensi Keperawatan

No Tanggal Diagnosa Keperawatan NOC dan Indikator Serta Skor Awal dan Uraian Aktivitas Rencana Nama &
Ditegakkan / Kode Skor Target Tindakan (NIC) TTD
Diagnosa Keperawatan Perawat
1 Nyeri akut Tujuan : 1. Manajemen Nyeri Ira sofia
Setelah dilakukan asuhan keperawatan ninghayati
1. Lakukan pengkajian nyeri
selama 3 kali 24 jam hambatan mobilitas
fisik teratasi komprehensif
Kriteria Hasil:
2. Berikan informasi mengenai
1) Tingkat Nyeri (2102)
nyeri
kode indikator S.A S.T
210201 Nyeri yang 3 5 3. Gunakan teknik relaksasi
dilaporkan
untuk mengurangi nyeri
210206 Eskpresi 3 4
wajah 4. Ajarkan prinsip – prinsip
210208 Tidak bisa 3 5 manajemen nyeri
istirahat
Keterangan 5. Kolaborasi dengan doktor
1= berat untuk pemberian obat dan
2 = sangat berat
3 = sedang terapi selanjutnya
4 = ringan
5 =tidak ada
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC).

Indonesia : Elsevier Global Rights

Keliat, Anna Budi, dkk. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi

Klasifikasi 2018-2020. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Moorhead, Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Indonesia :

Elsevier Global Rights

Nurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa

Medis & Nanda (North American Nursing Diagnosis Association) Nic-Noc,

Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional Jilid 3. Yogyakarta

: MediaAction

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem

Integumen. Jakarta : Salemba Medika

Syaifuddin. 2011. Anatomi Fisiologi Edisi 4. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai