Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

SINDROM STEVENS - JOHNSON (SSJ)

Disusun Oleh:
RENO RAMALIA
1110104000021

PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Stephen-Johnson didefinisikan sebagai reaksi alergi sistemik dengan
karakteristik berupa rash atau kemerahan yang mengenai kulit dan selaput lendir, termasuk
selaput lendir mulut. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat
atau virus tertentu.
Sindrom Stephen-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium,
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain: sindrom de Friessinger-Rendu,
eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneookular, dermatostomatitis, dll.
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa
demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk
mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang.

BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Sindrom Steven Johnson
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura.
Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, ada angapan bahwa sindrom ini merupakan
eritema multiforme yang berat dan disebut eritema multifome mayor. Salah satu penyebabnya
ialah alergi obat secara sistemik. Obat-obatan yang disangka sebagai penyebabnya antara lain
penisilin dan semisintetiknya, streptomisin, sulfonamida, tetrasiklin, antipiretik/analgetik,
(misal : derivate salisil / pirazolon, metamizol, metapiron, dan parasetamol) klorpromasin,
karbamasepin, kinin antipirin, tegretol, dan jamu. Selain itu dapat juga disebabkan infeksi
(bakteri,virus, jamur, parasit) neoplasma, pasca vaksinasi, radiasi dan makanan.
Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson
Infeksi virus, Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia
jamur, dan

koksidioidomikosis, histoplasma

bakteri

streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis,

Obat

salmonella, malaria
salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,

Makanan
Fisik
Lain-lain

kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik


Coklat
udara dingin, sinar matahari, sinar X
penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai
oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan
keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan
sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang
dapat diidentifikasi. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi

hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen
antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang
1. Reaksi Hipersensitif tipe III.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan
kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa
kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan
degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya
rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang
rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan
waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa
demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
1. Kelainan Kulit

Kelainan kulit terdiri atas eritema ( kemerahan pada kulit ), vesikel (gelembung berisi
cairan) dan bula (seperti vesikel namun ukurannya lebih besar). Vesikel dan bula kemudian
pecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk
yang berat kelainan terjadi di seluruh tubuh..
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium Yang tersering adalah di selaput lendir mulut
(100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%), di lubang hidung dan
anus jarang. Vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.
Juga dapat membentuk pseudomembran. Kelainan yang tampak di bibir adalah krusta
berwarna hitam yang tebal. Kelainan dapat juga menyerang saluran pencernaan bagian atas
(faring dan esofagus) dan saluran nafas atas. Keadaan ini dapat menyebabkan penderita
sukar/tidak dapat menelan dan juga sukar bernafas.

3. Kelainan Mata
Kelainan mata Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering
adalah konjungtivitis kataralis (radang konjungtiva). Dan yang terparah menyebabkan
kebutaan. Disamping kelainan tersebut terdapat juga kelainan lain seperti radang ginjal, dan
kelainan pada kuku.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka


penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.

Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi


sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis
dan edema intrasel di epidermis.

Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta
terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang
normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.

Determine renal function and evaluate urine for blood.

Pemeriksaan elektrolit

Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.

Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi


dapat dilakukan

Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, kehilangan cairan / darah,
gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena
gangguan lakrimal.
Kompilikasi lain adalah:
-

Oftalmologi; ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan

Gastroenterologi; Esophageal Strictures

Genitourinaria; nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, panile scarring, vagina

Pulmonari; pneumonia

Kutaneus; timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder

Infeksi sistemik, sepsis

Kehilangan cairan tubuh, shock

Penatalaksanaan
Penanganan terhadap penderita Sindrom Stevens-Johnson memerlukan tindakan yang
tepat dan cepat.penderita biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit. Penanganan yang
perlu dilakukan meliputi:
1. Kortikosteroid
Penggunaan obat Kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada Sindrom
StevensJohnson yang ringan cukup diobati dengan Prednison dengan dosis 30-40 mg/hari.
Pada bentuk yangberat, ditandai dengan kesadaran yangmenurun dan kelainan yang
menyeluruh,digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6 x 5mg/hari.Setelah
beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan (masa kritis telah teratasi),ditandai
dengan keadaan umum yang membaik,lesi kulit yang baru tidak timbul sedangkan lesi yang
lama mengalami Involusi. Pada saat ini dosis Dexametason diturunkan secara cepat, setiap
hari diturunkan sebanyak 5mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet
Prednison yang diberikan pada keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari. Pada hari
berikutnya dosis diturunkan menjadi 10 mg, kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
2. Antibiotika
Penggunaan Antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat
efek Imunosupresif Kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinggi. Antibiotika yang dipilih

hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakterisidal. Di
RS Cipto mangunkusumo dahulu biasa digunakan Gentamisin dengan dosis 2 x 60-80
mg/hari. Sekarang dipakai Netilmisin Sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari,dosis dibagi dua.
Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap
Gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan Gentamisin.
3. Menjaga Keseimbangan Cairan,
Elektrolit dan Nutrisi. Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami
kesukaran atau bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan serta
kesadaran yang menurun. Untuk ini dapat diberikan infuse berupa Glukosa 5% atau larutan
Darrow. Pada pemberian Kortikosteroid terjadi retensi Natrium, kehilangan Kalium dan efek
Katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendah
garam, KCl 3 x 500 mg/ hari dan obat-obat Anabolik. Untuk mencegah penekanan korteks
kelenjar Adrenal diberikan ACTH (Synacthen depot) dengan dosis 1 mg/hari setiap minggu
dimulai setelah pemberian Kortikosteroid.
4. Transfusi Darah
Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3 hari, maka
dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300-500 cc setiap hari selama 2 hari berturut-turut.
Tujuan pemberian darah ini untuk memperbaiki keadaan umum dan menggantikan
kehilangan darah pada kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus Purpura yang luas dapat
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-obat Hemostatik.
5. Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosive dapat diberikan Sofratulle yang bersifat sebagai protektif
dan antiseptic atau Krem Sulfadiazin Perak. Sedangkan untuk lesi dimulut/bibir dapat diolesi
dengan Kenalog in Orabase. Selain pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi pada
beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada kelainan di
Faring,karena kadang-kadang terbentuk pseudomembran yang dapat menyulitkan penderita
bernafas dan sebagaian penyakit dalam. Pemeriksaan sinar X Thoraks perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah ada kelainan pada paru, misalnya tuberculosis atau Bronchopneumonia
Aspesifik.

Konsep Asuhan Keperawatan


Pengkajian
1.

Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan,
pekerjaan, alamat, dan nomor register.

2.

Riwayat Kesehatan
-

Keluhan Utama

Riwayat Kesehatan Sekarang

Riwayat Kesehatan Dahulu


Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat
penyakit yang sebelumnya dialami klien.

Riwayat Kesehatan Keluarga

Riwayat Psikososial

3. Pola Fungsional Gordon


4.

Pola persepsi kesehatan - manajemen kesehatan


Pola nutrisi - metabolik
Pola eliminasi
Pola aktivitas - latihan
Pola kognitif - persepsi
Pola persepsi diri - konsep diri
Pola peran - hubungan
Pola reproduksi dan seksualitas
Pola koping dan toleransi stress
Pola nilai dan kepercayaan

Pemeriksaan Fisik
Inspeksi: Warna, suhu, kelembapan, kekeringan
Palpasi: Turgor kulit, edema
-

Data fokus:
DS: gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandangan kabur, aktifitas menurun
DO: kemerah-merahan, memegang tenggorokan, tampak gelisah, tampak lemas dalam
beraktifitas.

5.

Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang

Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia

Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di
epidermis.

Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG,
IgM, IgA.

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Masalah
Kolaborasi
Hipertermia
Berhubungan dengan :
- penyakit/ trauma
- peningkatan metabolisme
- aktivitas yang berlebih
- dehidrasi
DO/DS:
kenaikan suhu tubuh diatas
rentang normal
serangan atau konvulsi (kejang)
kulit kemerahan
pertambahan RR
takikardi
Kulit teraba panas/ hangat

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC:
Thermoregulasi
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama..pasien
menunjukkan :
Suhu tubuh dalam batas normal
dengan kreiteria hasil:
Suhu 36 37C
Nadi dan RR dalam rentang
normal
Tidak ada perubahan warna kulit
dan tidak ada pusing, merasa
nyaman

Intervensi
NIC :
Monitor suhu sesering mungkin
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Monitor penurunan tingkat kesadaran
Monitor WBC, Hb, dan Hct
Monitor intake dan output
Berikan anti piretik:
Kelola Antibiotik:..
Selimuti pasien
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
Tingkatkan sirkulasi udara
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban
membran mukosa)

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi
Kerusakan integritas kulit
Berhubungan dengan :
Eksternal :
Hipertermia atau hipotermia
Substansi kimia
Kelembaban
Faktor mekanik (misalnya :
alat yang dapat menimbulkan luka,
tekanan, restraint)
Immobilitas fisik
Radiasi
Usia yang ekstrim
Kelembaban kulit
Obat-obatan
Internal :
Perubahan status metabolik
Tonjolan tulang
Defisit imunologi
Berhubungan dengan dengan
perkembangan
Perubahan sensasi
Perubahan status nutrisi
(obesitas, kekurusan)
Perubahan status cairan
Perubahan pigmentasi
Perubahan sirkulasi
Perubahan turgor (elastisitas

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC :
Tissue Integrity : Skin and Mucous
Membranes
Wound Healing : primer dan sekunder
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama.. kerusakan
integritas kulit pasien teratasi dengan
kriteria hasil:
Integritas kulit yang baik bisa
dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi, pigmentasi)
Tidak ada luka/lesi pada kulit
Perfusi jaringan baik
Menunjukkan pemahaman dalam
proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya sedera
berulang
Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami
Menunjukkan terjadinya proses
penyembuhan luka

Intervensi
NIC : Pressure Management
Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
longgar
Hindari kerutan pada tempat tidur
Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam
sekali
Monitor kulit akan adanya kemerahan
Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang
tertekan
Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
Monitor status nutrisi pasien
Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan
tekanan
Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka,
karakteristik,warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi lokal, formasi traktus
Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka
Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin
Cegah kontaminasi feses dan urin
Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril
Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka

kulit)
DO:
Gangguan pada bagian tubuh
Kerusakan lapisa kulit (dermis)
Gangguan permukaan kulit
(epidermis)

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi
Defisit Volume Cairan
Berhubungan dengan:
-

Kehilangan volume cairan


secara aktif
Kegagalan mekanisme
pengaturan
DS :
-

Haus

DO:
Penurunan turgor kulit/lidah
Membran mukosa/kulit kering
Peningkatan denyut nadi,
penurunan tekanan darah,
penurunan volume/tekanan nadi
Pengisian vena menurun
Perubahan status mental
Konsentrasi urine meningkat

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

NOC:
NIC :
Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
Fluid balance
Monitor status hidrasi ( kelembaban membran
Hydration
mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika
Nutritional Status : Food and Fluid
diperlukan
Intake
Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan
Setelah dilakukan tindakan
(BUN , Ht , osmolalitas urin, albumin, total protein )
keperawatan selama.. defisit volume
Monitor vital sign setiap 15menit 1 jam
cairan teratasi dengan kriteria hasil:
Kolaborasi pemberian cairan IV
Mempertahankan urine output
Monitor status nutrisi
sesuai dengan usia dan BB, BJ
Berikan cairan oral
urine normal,
Berikan penggantian nasogatrik sesuai output (50
Tekanan darah, nadi, suhu tubuh
100cc/jam)
dalam batas normal
Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
Tidak ada tanda tanda dehidrasi,
Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul
Elastisitas turgor kulit baik,
meburuk
membran mukosa lembab, tidak
Atur kemungkinan tranfusi
ada rasa haus yang berlebihan
Persiapan untuk tranfusi
Orientasi terhadap waktu dan
Pasang kateter jika perlu
tempat baik
Monitor intake dan urin output setiap 8 jam
Jumlah dan irama pernapasan

Temperatur tubuh meningkat


Kehilangan berat badan secara
tiba-tiba
Penurunan urine output
HMT meningkat
Kelemahan

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi
Risiko infeksi
Faktor-faktor risiko :
Prosedur Infasif
Kerusakan jaringan dan
peningkatan paparan lingkungan
Malnutrisi
Peningkatan paparan
lingkungan patogen
Imonusupresi
Tidak adekuat pertahanan
sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan respon
inflamasi)
Penyakit kronik
Imunosupresi
Malnutrisi
Pertahan primer tidak adekuat
(kerusakan kulit, trauma jaringan,
gangguan peristaltik)

dalam batas normal


Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas
normal
pH urin dalam batas normal
Intake oral dan intravena adekuat

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC :
Immune Status
Knowledge : Infection control
Risk control
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama pasien tidak
mengalami infeksi dengan kriteria
hasil:
Klien bebas dari tanda dan gejala
infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi
Jumlah leukosit dalam batas
normal
Menunjukkan perilaku hidup sehat
Status imun, gastrointestinal,
genitourinaria dalam batas normal

Intervensi
NIC :
Pertahankan teknik aseptif
Batasi pengunjung bila perlu
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
Tingkatkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotik:.................................
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Pertahankan teknik isolasi k/p
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
Monitor adanya luka
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi
Nyeri akut berhubungan dengan:
Agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis), kerusakan jaringan
DS:
- Laporan secara verbal
DO:
- Posisi untuk menahan nyeri
- Tingkah laku berhati-hati
- Gangguan tidur (mata sayu, tampak
capek, sulit atau gerakan kacau,
menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit (penurunan
persepsi waktu, kerusakan proses

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC :

Pain Level,

pain control,

comfort level
Setelah dilakukan tinfakan
keperawatan selama . Pasien tidak
mengalami nyeri, dengan kriteria
hasil:

Mampu mengontrol nyeri (tahu


penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri, mencari
bantuan)

Melaporkan bahwa nyeri


berkurang dengan menggunakan

Intervensi
NIC :
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala,
relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ...
Tingkatkan istirahat

berpikir, penurunan interaksi dengan


orang dan lingkungan)
Tingkah laku distraksi, contoh :
jalan-jalan, menemui orang lain
dan/atau aktivitas, aktivitas
berulang-ulang)
Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan tekanan
darah, perubahan nafas, nadi dan
dilatasi pupil)
Perubahan autonomic dalam tonus
otot (mungkin dalam rentang dari
lemah ke kaku)
Tingkah laku ekspresif (contoh :
gelisah, merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
Perubahan dalam nafsu makan dan
minum

manajemen nyeri
Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri,

Mampu mengenali nyeri


berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi
(skala, intensitas, frekuensi dan tanda ketidaknyamanan dari prosedur
nyeri)
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian

Menyatakan rasa nyaman


analgesik pertama kali
setelah nyeri berkurang

Tanda vital dalam rentang


normal

Tidak mengalami gangguan


tidur

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/sindrom-steven-johnson/, diakses
tanggal 20 September 2011.

Anda mungkin juga menyukai