TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
SJS didefinisikan sebagai pelepasan kulit kurang dari 10% luas
permukaan tubuh Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang
mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas dan
memisahkan dari dermis. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas
kompleks yang mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Stevens Johnson
Syndrome adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan
pada kulit berupa eritema, vesikel, bula dapat disertai purpura 6.
2.2 ETIOLOGI
Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit langka dan tidak dapat
diprediksi. Penyedia layanan kesehatan mungkin tidak dapat mengidentifikasi
penyebab pastinya, tetapi biasanya kondisi tersebut dipicu oleh pengobatan,
infeksi, atau keduanya. Obat-obatan yang dapat menyebabkan sindrom
Stevens-Johnson meliputi 1:
Obat anti asam urat, seperti allopurinol
Obat untuk mengobati kejang dan penyakit mental (antikonvulsan dan
antipsikotik)
Sulfonamid antibakteri (termasuk sulfasalazine)
Nevirapine (Viramune, Viramune XR)
Pereda nyeri, seperti acetaminophen (Tylenol, lainnya), ibuprofen
(Advil, Motrin IB, lainnya) dan naproxen sodium (Aleve)
2.3 EPIDEMIOLOGI
Keseluruhan insidensi SJS diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta
orang per tahun. SJS dan dapat terjadi pada semua usia tapi insidensinya
bertambah di atas dekade ke-4 dan sering terjadi pada wanita, menunjukkan
rasio jenis kelamin 0,6. Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada
insidensi, yaitu pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan
populasi umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada
populasi HIV positif.
2.4 PATOFISIOLOGI
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang
dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan
keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat
terbentuknya komplek antigen antibodi yang mikro presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi
yang bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau
jaringan Sindrom Stevens-Johnson dapat berupa interaksi/pengikatan antigen
atau metabolit terkait obat dengan kompleks histokompatibilitas utama
(MHC) tipe 1 atau peptida seluler untuk membentuk senyawa imunogenik.
Mekanisme yang tepat adalah spekulatif 19.
Sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik dimediasi oleh
sel-T. Sel CD8+ hadir dalam cairan lepuh dan dapat menginduksi apoptosis
keratinosit. Sel-sel lain dari sistem kekebalan bawaan berperan. Sel ligan
CD40 juga hadir dan dapat menginduksi pelepasan TNF-alfa, dinitrogen
oksida, interleukin 8 (IL-8), dan antibodi sel adhesi. TNF-alpha juga
menginduksi apoptosis. Baik sitokin Th1 dan Th2 juga berperan. Sel lain yang
terlibat dalam sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik meliputi
makrofag, neutrofil, dan sel pembunuh alami (NK).Interaksi farmakologis
obat dengan sistem kekebalan dapat mengakibatkan pengikatan obat yang
bertanggung jawab ke MHC-1 dan reseptor sel T. Teori alternatif adalah
konsep pro-hapten, di mana metabolit obat menjadi imunogenik dan
merangsang sistem kekebalan tubuh 19.
2.6 DIAGNOSIS
Semua kasus dugaan SJS dan TEN harus dikonfirmasi oleh biopsi
kulit untuk histologis dan pemeriksaan imunofluoresensi. Sejumlah kondisi
penting duga SJS karenanya bukti histologis penting 12:
1. Erythema multiforme major
2. Staphylococcal scalded skin syndrome
3. Purpura fulminant
4. Disseminated intravascular coagulation with skin necrosis
5. Acute generalised exanthematous pustulosis
6. Generalised bullous fixed drug eruption
7. Chemical toxicity (methotrexate, colchicines etc)
8. Burns
9. Graft-versus-host disease
10. Pemphigus
Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah
langkah pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala
perubahan harus diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level gas
darah arteri.
Tingkat keparahan sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal
toksik dinilai menggunakan SCORTEN. Satu poin dicetak untuk masing-
masing dari tujuh kriteria berikut saat masuk12.
Usia lebih tua dari 40 tahun
Adanya keganasan
Detak jantung lebih dari 120 bpm
Persentase awal pelepasan epidermal lebih besar dari 10%
Kadar ureum serum lebih besar dari 10 mmol/L
Kadar glukosa serum lebih besar dari 14 mmol/L
Kadar bikarbonat serum kurang dari 20 mmol/L
Risiko kematian akibat sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal
toksik tergantung pada skor. Angka kematian lebih dari 40 kali lebih tinggi
pada mereka yang memiliki kadar bikarbonat kurang dari 20 mmol/L
dibandingkan dengan mereka yang memiliki kadar lebih tinggi. Rentang
SCORTEN dengan mortalitas yang terkait (dalam %) adalah sebagai berikut:
skor 0-1 (3,2%), skor 2 (12,1%), skor 3 (35,3%), skor 4 (58,3%), dan skor 5
(> 90%) 16.
2.8 KOMPLIKASI
Pada fase akut, sepsis adalah risiko serius yang paling umum dari
sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik. Kegagalan organ dapat
terjadi, termasuk sistem paru, hati, dan ginjal. Komplikasi jangka panjang
yang paling umum dari sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik
adalah okular (termasuk kebutaan), kulit (perubahan pigmen dan jaringan
parut), dan ginjal. Keterlibatan mukosa dengan lepuh dan erosi dapat
menyebabkan striktur dan jaringan parut 10.
2.9 PENATALAKSANAAN
Menurut pedoman Inggris untuk pengelolaan SJS/TEN, penarikan obat
penyebab dan perawatan suportif multidisiplin harus diprioritaskan daripada
sistemik pengobatan karena kurangnya bukti kemanjuran pengobatan. Namun,
Pedoman Jepang untuk SJS/TEN merekomendasikan kortikosteroid sistemik
dini, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan siklosporin sebagai
pengobatan lini pertama 3.
a. Identifikasi dan Penarikan obat
Identifikasi dan penarikan obat dari pelakunya adalah bagian
yang paling penting dari pengelolaan. Obat penyebab telah dilaporkan
diidentifikasi pada 85% kasus SJS. Beberapa tes telah digunakan
untuk mengidentifikasi obat pelakunya. Tes provokasi oral dengan
obat pelakunya umumnya dianggap sebagai "standar emas" untuk
sebagian besar obat reaksi, tetapi tidak dianjurkan untuk reaksi yang
parah dan berbahaya seperti SJS/TEN 17.
Uji tempel telah digunakan untuk mengidentifikasi obat
penyebab reaksi merugikan kulit seperti pustulosis eksantema
generalisata akut (AGEP), eksantema makulopapular, atau ruam obat
dengan eosinofilia dan gejala sistemik (DRESS) 17.
b. Terapi Suportif
Perawatan suportif untuk pasien SJS/TEN mirip dengan
manajemen yang parah pada pasien luka bakar. Ini mencakup
melindungi dan memulihkan fungsi kulit, menjaga keseimbangan
cairan, melindungi jalan napas, dan mengobati infeksi. Pemantauan
dan penggantian cairan dan elektrolit sangat penting. Dukungan nutrisi
juga penting karena keadaan katabolik tinggi. Selanjutnya,
termoregulasi dan analgesia yang memadai biasanya dibutuhkan.
Debridement dilakukan dengan pemberian analgetik dengan derivat
morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan antiseptic yang ringan
dan solusio 13.
c. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik adalah salah satu pengobatan pertama
yang diakui untuk SJS/TEN. Beberapa studi menemukan bahwa
pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit bila
diberikan pada fase awal 11.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah
onset untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan
selama 3-5 hari diikuti penurunan secara bertahap (tapering off). Dosis
yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat digunakan
deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg
sehari 11.
d. Immunoglobulin Intravena (IVIG)
IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur
apoptosis yang diperantarai oleh FasL dan reseptor. Secara teoritis,
yang paling baik pemberian IVIG pada awal (24-72 jam setelah
munculnya bulla pertama), IVIG tidak disarankan sebagai pengobatan
rutin. Namun jika diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan
penyakit berat diberikan dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari
berturut – turut ) pada fase awal penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam
dari onset gejala.Efek samping IVIG termasuk ginjal , hematologi dan
komplikasi trombotik. Resiko komplikasi yang serius meningkat pada
pasien usia tua yang menerima dosis tinggi IVIG serta pada penderita
gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolysis berat dan
nefropati pada pasien SJS/NET yang diobati dengan IVIG 20.
e. Siklosporin A
Siklosporin A, penghambat kalsineurin, telah menarik
perhatian dalam beberapa tahun terakhir. CsA menghambat aktivasi
sel T CD4+ dan CD8+ dan selanjutnya menghambat pelepasan protein
sitotoksik seperti granzyme B, perforin, dan granulysin, yang berperan
penting peran kematian keratinosit di SJS / TEN. Selain itu, ia
memiliki efek anti-apoptosis. Karena itu, CsA secara teoritis dapat
menguntungkan pasien dengan SJS/TEN 8.
f. Agen TNF-α
Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal
5 mg/kgbb TNF- α menghentikan perluasan dan perkembangan dari
SJS/NET dan memicu epitelisasi. Pemberian etanercept 50 mg inj
subkutan telah berhasil digunakan dalam sejumlah kecil pasien 20.
2.10 PROGNOSIS
Sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik berpotensi
sangat serius dengan mortalitas tinggi, diprediksi oleh luas dan tingkat
keparahan saat presentasi (lihat SCORTEN) Dengan penanganan yang tepat
dan cepat maka prognosis Sindrom Stevens-Johnson sangat baik. Dalam ke
pustaka anangka kematian berkisar antara 5-15 %. Dibagian kulit dan kelamin
RS Cipto mangunkusumo angka kematian hanya sekitar 3,5%. Kematian
biasanya terjadi akibat sekunder infeksi 4.