Anda di halaman 1dari 49

Laporan Kasus

GIZI BURUK

Disusun oleh:
dr. Faisal Ravif Indaryaputra

Pembimbing:
dr. Tuty Susilowaty Kusika

PROGRAM DOKTER INTERNSIP KEMENTRIAN KESEHATAN


PUSKESMAS BIAK – RSUD LUWUK BANGGAI
KAB. BANGGAI SULAWESI TENGAH
2023

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

GIZI BURUK

Oleh:
Dr. Faisal Ravif Indaryaputra

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program Dokter
Internship di Puskesmas Biak – RSUD Luwuk Banggai, Kabupaten Banggai,
Sulawesi Tengah periode 9 Februari – 8 Agustus 2023.

Luwuk, 1 Juli 2023


Pembimbing,

dr. Tuty Susilowaty Kusika

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Gizi Buruk”.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mengikuti Program dokter Internsip pada Puskesmas Biak, Kabupaten Banggai,
Sulawesi Tengah. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada dr. Tuty Susilowaty Kusika atas bimbingan yang telah diberikan.
Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis
pada khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.

Luwuk, 1 Juli 2023

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 23
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................43
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 47

v
BAB I
PENDAHULUAN

Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang


sangat pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian,
karena merupakan kelompok yang rawan mengalami kekurangan gizi. 1 Tidak ada
kesepakatan mutlak di antara masyarakat tentang definisi malnutrisi, tetapi elemen
yang sering digunakan dalam mendefinisikan malnutrisi adalah kekurangan
energi, protein, dan penurunan massa bebas lemak.2
Gizi buruk, atau malnutrisi berat (severe malnutrition), atau disebut juga
dengan kurang energi dan protein (KEP), merupakan salah satu dari 4 masalah
gizi utama di Indonesia, selain gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI),
anemia defisiensi besi, serta defisiensi vitamin A. Gizi buruk dapat terjadi akibat
kekurangan kalori baik energi maupun protein dalam jangka waktu lama, yang
disebabkan oleh berbagai macam faktor.3 Menurut World Health Organization
(WHO), gizi buruk ditentukan berdasarkan indikator antropometri berat badan
menurut tinggi badan atau panjang badan (BB/TB atau BB/PB) dengan skor-z <-3
SD disertai ada atau tidak adanya edema (minimal pada kedua punggung kaki).
Bentuk dari gizi buruk sendiri antara lain adalah marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus-kwashiorkor. Gizi buruk rentan mengenai anak dengan usia di bawah 5
tahun (balita).4
Situasi status gizi kurang (wasting) dan gizi buruk (severe wasting) pada
balita di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik pada tahun 2014 masih jauh dari
harapan. Indonesia menempati urutan kedua tertinggi untuk prevalensi wasting di
antara 17 negara di wilayah tersebut, yaitu 12,1%. Hasil utama Riskesdas 2018,
menunjukkan bahwa proporsi status gizi buruk (severe wasting atau “sangat
kurus”) pada balita telah menurun dari 6,2% (2007) menjadi 5,3% (2013) dan
3,5% (2018); sedangkan status gizi kurang (wasting atau “kurus”) dari 7,4%
(2007) menjadi 6,8% (2013) dan 6,7% (2018). Selanjutnya Riskesdas 2018 juga
memberikan gambaran proporsi status gizi “sangat kurus” (gizi buruk) dan
“kurus” (gizi kurang) pada balita menurut provinsi pada tahun 2018. Secara
berurutan berikut ini provinsi

1
dengan angka sangat tinggi diantaranya NTB (14,4%), diikuti oleh Gorontalo,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Tengah dan NTT. Sedangkan provinsi dengan proporsi terendah diantaranya
Kalimantan Utara (4,6% pada tahun 2018), diikuti oleh Bali, Kalimantan Timur,
Bengkulu, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan
proporsi di bawah 10%. Menurut kriteria WHO, provinsi-provinsi di Indonesia
termasuk dalam kategori “serius” (prevalensi 10-14%), “buruk” (5-9%) dan
“dapat diterima” (kurang dari 5%).5
Balita dengan gizi buruk mempunyai dampak jangka pendek dan panjang,
berupa gangguan tumbuh kembang, termasuk gangguan fungsi kognitif, kesakitan,
risiko penyakit degeneratif di kemudian hari dan kematian. 5 Sekitar 45% kematian
pada anak di bawah usia 5 tahun terkait dengan kekurangan gizi. Ini sebagian
besar terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.6
Masih rendahnya cakupan pelayanan gizi buruk pada balita merupakan
tantangan yang sangat besar dalam upaya menurunkan prevalensi gizi buruk pada
balita. Tingginya prevalensi serta angka kematian bayi dan anak terkait dengan
gizi kurang dan gizi buruk menyebabkan masalah gizi buruk perlu ditangani
secara cepat dan tepat. Penulis berharap laporan kasus ini dapat memberikan
informasi mengenai diagnosis, tatalaksana, pencegahan, serta edukasi mengenai
gizi buruk sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dari gizi buruk.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : An. MN
b. Umur : 12 Januari 2018 (5 tahun 3 bulan)
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Nama Ayah : Tn. R
e. Nama Ibu : Ny. Y
f. Bangsa : Indonesia
g. Alamat : Kilongan
h. Waktu Kunjungan : 05 Maret 2023
i. No. Rekmed : M.01056

II. ANAMNESIS
Tanggal: 05/05/2023
Diberikan oleh: Ibu kandung
(Autoanamneis dan alloanamnesis dengan Ibu kandung pada tanggal 05 Mei
2023)
Keluhan utama : berat badan yang tidak naik-naik
Keluhan tambahan :-
Riwayat Perjalanan Penyakit

Ibu pasien mengatakan anaknya tampak kurus, nafsu makan


berkurang, pasien makan lebih sedikit dari sebelumnya, pasien tidak mau
makan nasi, hanya makan roti dan minum sedikit. Ibu pasien mengatakan
berat

3
badan pasien turun 6 kg, dari 14 kg menjadi 8 kg. Lemas ada, pasien tidak
aktif bermain. Keluhan batuk dan pilek tidak ada. BAK dan BAB tidak ada
kelainan.
Keluhan pasien saat ini, terdapat batuk (+), pilek (-), dan demam (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan serupa disangkal.

Riwayat Pengobatan
- Tidak ada minum obat – obatan rutin.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga dan Lingkungan Sekitar


Keluhan yang sama pada keluarga dan orang di lingkungan sekitar disangkal

Riwayat Higienitas dan Lingkungan


Pasien tinggal bersama orangtuanya dengan kamar mandi pribadi dan ventilasi
yang baik.

Riwayat Sosial Ekonomi


Orang tua hanya tamatan SMP. Ayah pasien bekerja sebagai buruh harian.
Pekerjaan ibu pasien adalah ibu rumah tangga. Pasien anak terakhir dari dua
bersaudara.
Kesan: sosial ekonomi menengah ke bawah.

4
Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Perawatan Antenatal : 3 kali di bidan
Penyakit Kehamilan : Tidak ada
Masa kehamilan : Cukup bulan
Cara persalinan : Spontan, pervaginam
Ditolong oleh : Bidan
Partus : P2A0
Tempat : Rumah
Tanggal : 12/01/2018
BBL : 3,8 kg
PBL : Ibu pasien lupa
Lingkar kepala : Ibu pasien lupa
Keadaan saat lahir : Langsung menangis

Riwayat Makanan
- Pasien hanya diberikan ASI hingga usia 1 tahun.
- Sejak ± 6 bulan yang lalu, pasien tidak mau makan nasi, hanya makan roti dan
minum. Makan 3 x sehari. Pasien memakan beberapa potong roti atau biskuit.
Keluarga pasien masih memberikan nasi dan lauk pauk tetapi terkadang hanya
makan 2 sendok dan makanan masih bersisa banyak. Pasien makan di jam
08.00, 14.00, dan 17.00. Pasien makan snack di jam 10.00.
Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR ULANGAN
Usia Usia Usia Usia Usia
BCG -
Hepatitis -
B0
DPT 1 -
Hepatitis -
B1
HiB 1 -

5
Polio 1 -
Campak 9 bulan -
Kesan : Riwayat imunisasi dasar PPI tidak lengkap

Riwayat Perkembangan
Gigi pertama : 6 bulan
Berbalik : 3 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Merangkak : 7 bulan
Duduk : 8 bulan
Berbicara : 12 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 1 tahun 4 bulan
Kesan: status perkembangan anak sesuai dengan usia

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal pemeriksaan: 5 Mei 2023 pukul 09.20 WITA
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sangat kurus
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5
TD : 100/60 mmHg
HR : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,8oC
SpO2 : 99%
Data Antropometri
Berat badan : 9 kg
Panjang badan : 91 cm
IMT : 10,86 kg/m2
Lingkar Kepala : 46,5 cm

6
LILA : 10,6 cm

Status Gizi:
BB/U : Z < -3 SD (severely underweight)
TB/U : -2 < Z < 0 SD (normal)
BB/TB : Z < - 3 SD (severely wasted)
LK/U : Z < -2 SD (microcephali)
BMI/U : Z < - 3 SD (severely wasted)
LILA/U : Z < - 3 SD (severely wasted)
Status gizi : Gizi buruk dengan perawakan normal

BB/U: 9 kg/ 3thn 3bln


(Z < -3 SD)
Severely Underweight

Gambar 1. Plot Kurva WHO BB/U

7
TB/U: 91 cm/ 3thn 3bln
(-2 < Z < 0 SD)
Normal

Gambar 2. Plot Kurva WHO TB/U

BB/TB: 9 kg/ 91cm


(Z < -3SD)
Gizi Buruk

Gambar 3. Plot Kurva WHO BB/TB

8
LK/U: 46,5cm/ 3thn 3bln
(Z < -2 SD)
Microcephali

Gambar 4. Plot Kurva WHO LK/U

BMI/U: 10,86/ 3thn 3bln


(Z < -3SD)
Gizi Buruk

Gambar 5. Plot Kurva WHO BMI/U

9
LILA/U: 10,6cm/ 3thn 3bln
(Z < -3SD)
Gizi Buruk

Gambar 6. Plot Kurva WHO LILA/U

Gambar 7. Usia tinggi ± 2 tahun 5 bulan

10
Gambar 8. BB Ideal Sesuai Usia Tinggi ± 13 kg

Keadaan Spesifik
Kepala dan Leher
Bentuk : microcephali
Rambut : hitam, tidak rontok dan tidak mudah dicabut
Wajah : dismorfik (-)
Mata : pupil bulat, ditengah, diameter 3 mm, isokor, reflex cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), mata cekung (+/+)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Telinga : lapang, sekret (-)
Mulut : mukosa bibir kering (-), pucat (-), hipertropi gingiva (-), atrofi
papil lidah (-), sianosis (-), faring tidak hiperemis, tonsil T1 -T1
Leher : pembesaran KGB (-), perbesaran tiroid (-)

11
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : stem fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I dan II normal, irama regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, scar (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : lemas, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-), turgor baik <2
detik
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Lipat paha : Pembesaran KGB (-), benjolan (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3 detik, pucat (-), sianosis (-), memar (-),
petekie (-), purpura (-), ekimosis (-).
Genitalia : Tampak scar di skrotum kiri (+)

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Status Lengan Tungkai


neurologis
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan luas luas luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus normal normal normal normal
Klonus - -
Refleks normal normal normal normal
fisiologis

12
Refleks - - - -
patologis
GRM Kaku kuduk (-), Kernig sign (-)

STATUS DERMATOLOGIKUS
Tidak ada kelainan

IV. DAFTAR MASALAH


1. Gizi buruk perawakan normal
2. Anemia
3. Microcephali

V. DIAGNOSIS BANDING
1) Gizi Buruk Perawakan Normal + Anemia
2) Gizi Buruk Perawakan Pendek + Anemia

VI. DIAGNOSIS KERJA


Gizi Buruk Perawakan Normal + Anemia

VII. TATALAKSANA
a. Non-farmakologi
- Rujuk ke dokter spesialis anak di RSUD Luwuk Banggai
b. Diet
- Nasi Biasa 3 x 1 porsi/ hari
- F100 5 x 110ml dengan mineral mix @2ml
- Snack 2 x 1 porsi/ hari

13
Kebutuhan Diet Berdasarkan BB Ideal Kebutuhan Diet Berdasarkan BB Aktual

Kalori = RDA x BB ideal = 110 x 13 kg = Kalori = RDA x BB aktual = 110 x 9 kg =

1.430 kkal/hari 990 kkal/hari

- Karbohidrat - Karbohidrat

55% x kalori = 55% x 1.430 kkal/hari = 786,5 55% x kalori = 55% x 990 kkal/hari = 544,5

kkal/hari kkal/hari

- Protein - Protein

20% x kalori = 20% x 1.430 kkal/hari = 286 20% x kalori = 20% x 990 kkal/hari = 198

kkal/hari kkal/hari

- Lemak - Lemak

25% x kalori = 25% x 1.430 kkal/hari = 357,5 25% x kalori = 25% x 990 kkal/hari = 247,5

kkal/hari kkal/hari

a. Fase Stabilisasi (1-2 hari)


Energi: 80-100 kkal/kgBB/hari x 9 kg = 720-900 kkal/hari
Protein: 1-1,5 g/kgBB/hari x 9 kg = 9-13,5 kkal/hari
Cairan: 130 ml/kgBB/hari x 9 kg =1.170 ml/hari
 Mencegah dan mengatasi hipoglikemia Semua anak gizi buruk
dianggap menderita hipoglikemia  50 ml glukosa/larutan gula
pasri 10% melalui oral atau NGT (1 sendok teh munjung gula pasir
dalam 50 ml air).
 Mencegah dan mengatasi hipotermia Suhu anak tidak hipotermia
sehingga kita melakukan pencegahan hipotermia dengan memberi
edukasi pada orang tua berupa:
- Letakkan tempat tidur di area yang hangat, pastikan anak selalu
tertutup pakaian/selimut
- Ganti pakaian dan sprei yang basah, jaga agar anak dan tempat
tidur tetap kering  Hindarkan anak dari suasana dingin
- Biarkan anak tidur dipeluk orang tuanya agar tetap hangat,
terutama di malam hari  Beri makan F-75 setiap 2 jam
sesegera mungkin, sepanjang hari/siang-malam
 Mencegah dan mengatasi dehidrasi

14
Pada pasien tidak tampak tanda dan gejala dehidrasi pada pasien.
Diare dan muntah tidak ada.
 Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit
Tidak tampak gangguan keseimbangan elektrolit pada pasien.
 Mengobati infeksi
Mengobati infeksi dengan pemberian amoxicillin
 Memperbaiki kekurangan zat gizi mikro
- Vitamin A 1x200.000 IU
- Vitamin B komplek 1x1 tab
- Vitamin C 1x50 mg
- Asam folat 1x5mg
 Pemberian F75
- Kebutuhan kalori = (720-900 kkal/hari)/(75 kkal/100 ml)= 960 -
1.200 ml
- F75 diminum 12 kali. 1 x minum = 80 - 100 ml
- Untuk 2 jam pertama = F75 ¼ dosis setiap 30 menit = ¼ x 110
= 27,5 ml
- Berikutnya, 1 kali minum 100 ml setiap 2 jam
- Pastikan bayi menghabiskan F75 dengan jumlah yang
ditentukan dan diberikan sampai masa transisi
- Bila anak masih ASI, berikan ASI antara pemberian F75
- Peningkatan jumlah frekuensi pemberian F75 bertahap bila
makanan dapat dihabiskan dan tidak ada reaksi muntah atau
diare.

Pemantauan
Pemantauan dilakukan dengan mencatat setiap hari:
- Apakah pasien menerima pemberian formula dengan baik?
- Apakah formula dihaniskan?
- Apakah ada efek samping yang terjadi setelah pemberian
makanan (muntah, diare, alergi)?

15
- Apakah ada peningkatan berat badan per hari?
b. Fase transisi (3-5 hari)
Kebutuhan kalori
Energi = 100-150 kkal/kgBB/hari x 9 kg = 900-1.350 kkal/hari
Protein = 2-3 gr/kgBB/hari x 9 kg = 18-27 gr/hari
Cairan = 150 ml/kgBB/hari x 9 kg = 1.350 ml/hari
Jenis diet
- Kondisi stabil dengan tanda komplikasi medis teratasi, tidak
ada hipoglikemia, nafsu makan pulih, edema berkurang.
Gunakan F100 dalam jumlah cukup untuk meningkatkan berat
badan dan kesembuhan, lalu dinaikkan secara bertahap
- F75 diganti dengan formula tumbuh kejar F100 yang
mengandung 100 kkal/100 ml setiap 4 jam selama 2 hari.
- Dosis F100= (900-1.350 kkal/hari)/(100 kkal/100 ml) = 900-
1.350 ml/hari
- Diberikan 6 kali sehari setiap 4 jam= 150-225 ml → Pada
pasien pemberian F100 dengan frekuensi 5 x 110 ml/hari
- Peralihan fase, berikan F100 dengan dosis yang sama dengan
F75, lalu sesuai diteruskan dengan dosis F100 yang ditentukan
- F100 mulai ditambahkan sampai batas minimum 150
kkal/kgBB/hari. Fase transisi selesai
- Berikan ASI/susu formula antara pemberian F100

c. Fase rehabilitasi (minggu ke 2-ke 6)


Kebutuhan Kalori
Energi = 150-220 kkal/kgBB/hari x 9 kg = 1.350-1.980 kkal/hari
Protein = 4-6 gr/kgBB/hari x 9 kg = 36-54 gr/hari
Cairan = 150-200 ml/kgBB/hari x 9 kg = 1.350-1.800 ml/hari
Jenis diet

16
- F100 terus dinaikkan 10-15 ml setiap hari, sampai anak tidak
mampu menghabiskan, tetapi tidak melebihi volume
maksimum 220 kkal/kgBB/hari
- Jumlah F100 yang tidak mampu dihabiskan → jumlah
kebutuhan energi untuk tumbuh kejar anak.
- Pemberian diteruskan sampai tercapai BB/TB-PB ≥ -2 SD
(kriteria sembuh)
c. Monitoring

- Keadaan umum, tanda-tanda vital


- Akseptabilitas, toleransi dan efikasi
- Peningkatan berat badan dan nafsu makan.

d. Farmakologi
- Paracetamol syr 3x1 cth
- Ambroxol syr 3x1 cth
- Domperidone 3 tab mf pulv dtd no. X S 3 dd pulv 1
- Antasida 3 tab mf pulv dtd no. X S 3 dd pulv 1
- Stimuno syr 3x1 cth

VIII. EDUKASI
 Beri tahu keadaan anak kepada orang tua.
 Pastikan orang tua untuk memberikan diet sesuai terapi yang telah
direncanakan dengan cara memberikan contoh menu dan kebutuhan energi
dan protein sehari anak dan cara menghitungnya.
 Sarankan untuk memberikan makanan dengan porsi kecil dan sering,
sesuai dengan umur anak, membawa anaknya kembali untuk kontrol secara
teratur (bulan I : 1x/minggu, bulan II: 1x/2 minnggu, bulan III-IV:
1x/bulan), dan ingatkan ibu untuk mengejar pemberian imunisasi dasar dan
ulangan pemberian vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali (dosis
sesuai umur).

17
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Gizi Buruk menurut World Health Organization (WHO) adalah keadaan gizi balita
yang ditandai dengan kondisi sangat kurus, disertai atau tidak edema pada kedua punggung
kaki, berat badan menurut panjang badan atau berat badan dibanding tinggi badan kurang
dari -3 standar deviasi dan/atau lingkar lengan atas kurang dari 11,5 cm pada anak usia 6-
59 bulan. Bentuk dari gizi buruk sendiri antara lain adalah marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus-kwashiorkor. Gizi buruk rentan mengenai anak dengan usia di bawah 5 tahun
(balita).7
Malnutrisi protein-energi berlaku untuk sekelompok gangguan yang berhubungan
seperti marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor. Marasmus berhubungan
dengan asupan yang tidak memadai protein dan kalori dan ditandai oleh kekurusan. Edema
adalah karakteristik dari kwashiorkor namun tidak ada dalam marasmus. Marasmus-
Kwashiorkor adalah salah satu kondisi dari kurang gizi berat yang gejala klinisnya
merupakan gabungan dari marasmus, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya
asupan energi, dan kwashiorkor, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya asupan
protein sehingga gejalanya disertai edema.1

3.2 Epidemiologi
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016 didapatkan hasil persentase
gizi buruk sebesar 3,4% menurut indeks BB/U pada balita 0-59 bulan. Angka tersebut
tidak jauh berbeda dengan hasil tahun 2015, yaitu sebesar 3,9%. Sedangkan hasil
penimbangan status gizi pada balita 0-23 bulan menurut indeks BB/U tahun 2016 adalah
3,1% gizi buruk, hasil ini relatif sama dengan hasil tahun 2015 yaitu 3,2%.8

3.3 Etiologi
Gizi buruk pada balita merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kompleks.
Akar masalahnya terkait dengan ketahanan pangan dan gizi, kemiskinan, pendidikan,
keamanan, ketersediaan air bersih, higiene dan sanitasi lingkungan, serta terkait dengan
situasi darurat atau bencana. Berbagai kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap daya
beli,
19
akses pangan, kerentanan terhadap penyakit, akses informasi dan akses terhadap pelayanan
yang mendasari terjadinya penyebab langsung dan tidak langsung masalah kekurangan

gizi.7

Gambar 9. Kerangka hubungan antara faktor penyebab kekurangan gizi pada ibu dan anak anak

3.4. Patofisiologi

Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan


makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan
pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan
melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) makakebutuhan akan
protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relatif,
kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka

20
terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut/”decompensated malnutrition”). Pada kondisi

21
ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada
saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan terjadilah marasmus-kwashiorkor. Kalau
kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan
terjadilah marasmus (malnutrisikronik/ compensated malnutrition). Dengan demikian
pada KEP dapat terjadi: gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin
serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai
sintesa enzim.9

Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara


penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita
demikian, di samping menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal,
memperlihatkan tanda- tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan
kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP terdapat perubahan nyata
dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan
protein, terutama protein otot.9,10

Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam


amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi
hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering
menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan
mengalihakan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang semakin
memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran jaringan akan
semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis glukosa dan
metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori dalam diet akan
meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Hal ini akan menyebabkan
atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada awalnya, kelainan ini
merupakan proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup, jaringan tubuh memerlukan
energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yangdiberikan, jika hal ini tidak terpenuhi
maka harus didapat dari tubuh sendiri sehingga cadangan protein digunakan juga untuk
memenuhi kebutuhan energi. Tubuh akan mengandung lebih banyak cairan sebagai
akibat menghilangnya lemak dan otot sehingga tampak edema.

22
Gambar 10. Patofisiologi Marasmus-Kwashiorkor

3.5. Manifestasi Klinis


Terdapat beberapa manifestasi klinis pada gizi buruk, diantaranya:
Wajah : Wajah bulan (kwashiorkor), wajah simian (marasmus)
Mata : Mata kering, konjungtiva pucat, Bintik bitot (vitamin A),
edema periorbital
Mulut : Stomatitis angularis, cheilitis, glossitis, gusi berdarah seperti
spons (vitamin C), pembesaran parotis
Gigi : bintik-bintik pada email, erupsi gigi tertunda
Rambut : Rambut kusam, jarang, rapuh, hipopigmentasi, tanda bendera
(pita warna terang dan normal bergantian), bulu mata sapu,
alopecia
Kulit : Longgar dan berkerut (marasmus), mengkilat dan edematous
(kwashiorkor), kering, hiperkeratosis folikel, hiper dan

23
hipopigmentasi tidak merata (patch paving atau dermatosis cat
terkelupas), erosi, penyembuhan luka yang buruk
Kuku : koilonychia, lempeng kuku tipis dan lunak, bercelah, atau
bertonjolan
Otot : pengecilan otot, terutama bokong dan paha; Tanda Chvostek
atau Trousseau (hipokalsemia)
Skeletal : kelainan bentuk, biasanya akibat kekurangan kalsium,
vitamin D, atau vitamin C
Abdomen :distensi: hepatomegali dengan perlemakan hati; asites
mungkin ada
Kardiovaskular : bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung, vaskulopati
pembuluh darah kecil
Neurologis : keterlambatan perkembangan global, hilangnya refleks lutut
dan pergelangan kaki, gangguan memori
Hematologi : pucat, petechiae, diatesis berdarah
Perilaku : lesu, apatis, mudah tersinggung dalam penanganan

Dampak kekurangan gizi pada balita sebagai berikut.


a. Jangka pendek: meningkatkan angka kesakitan, kematian dan disabilitas.
b. Jangka panjang: dapat berpengaruh tidak tercapainya potensi yang ada ketika
dewasa; perawakan pendek, mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, menurunkan
kecerdasan, produktivitas kerja dan fungsi reproduksi; serta meningkatkan risiko
(pada usia dewasa) untuk mengalami obesitas, menderita diabetes, hipertensi,
penyakit jantung, keganasan dan penyakit generatif lainnya.

24
Gambar 11. Dampak kekurangan gizi pada balita

3.6. Penegakan Diagnosis

Gizi buruk ditegakkan berdasarkan pengukuran status gizi dengan


parameter tinggi badan atau panjang badan, berat badan, IMT, dan
manifestasi klinis gizi buruk. Interpretasi parameter tersebut
menggunakan kurva WHO 2006 dan CDC 2000. Kurva WHO 2006
digunakan untuk anak berusia 0 sampai 5 tahun, sedangkan kurva CDC
2000 digunakan untuk anak berusia diatas 5 sampai 18 tahun. Dalam
keadaan tertentu dimana berat badan dan panjang/tinggi badan tidak dapat
dinilai secara akurat, misalnya terdapat organomegali, edema anasarka,
spondilitis atau kelainan tulang, dan sindrom tertentu maka status gizi
ditentukan dengan menggunakan parameter lain misalnya lingkar lengan
atas, knee height, arm span dan lain lain akan dijelaskan dalam
rekomendasi tersendiri.11

25
Tabel 5. Interpretasi Status Gizi

Berikut Kriteria Anak Gizi Buruk menurut KEMENKES.7


1. Gizi Buruk Tanpa Komplikasi
a. BB/TB : < -3SD dan atau;
b. Terlihat sangat Kurus dan atau
c. Adanya edema dan atau
d. LILA <11,5 cm untuk anak 6 – 59 bulan
2. Gizi Buruk dengan komplikasi
Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah
satu ataulebih dari tanda komplikasi medis berikut :
a. Anoreksia
b. Pneumonia berat
c. Anemia berat
d. Dehidrasi berat
e. Demam sangat tinggi
f. Penurunan kesadaran

Alur penapisan balita gizi buruk/kurang dan layanan yang diperlukan


ditunjukkandalam bagan berikut.7

26
Gambar 12. Alur Penapisan Balita Gizi Buruk/Kurang dan Layanan yang
diperlukan

3.7 Tatalaksana12
1. Mencegah dan mengatasi hipoglikemi12
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula darah < 3
mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus diberi makan atau
larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk rumah sakit.
Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah,
maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera
ditangani sesuai panduan.
Tatalaksana
- Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya
memungkinkan.

27
- Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml larutan
glukosa atau gula 10% (1 sendok teh gula dalam 50 ml air) secara oral atau
melalui NGT.
- Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2–3 jam, siang dan malam selama minimal
dua hari.
- Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian
F- 75.
- Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara intravena
(bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml
dengan NGT.
- Beri antibiotik.

Pemantauan
- Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah
setelah 30 menit.
- Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian
larutan glukosa atau gula 10%.
- Jika suhu rektal < 35.5° C atau bila kesadaran memburuk, mungkin
hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula
darah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia).

Pencegahan
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu,
lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang
malam.

2. Mencegah dan mengatasi hipotermia12


Diagnosis
Suhu aksilar < 35.5° C
Tatalaksana
- Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).

28
- Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut
hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada anak) atau
lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau perut ibunya
(dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan lampu listrik,
letakkan lampu pijar 60 W dengan jarak 60 cm dari tubuh anak.
- Beri antibiotik sesuai pedoman.

Pemantauan
- Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36.5° C
atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan
pemanasan bila suhu mencapai 36.5° C
- Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada
malam hari
- Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia

Pencegahan
- Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas angin
- dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut
- Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap
kering
- Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan setelah mandi,
atau selama pemeriksaan medis)
- Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama
di malam hari
- Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin,
sepanjang hari, siang dan malam.

3. Mencegah dan mengatasi dehidrasi12


Diagnosis
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang
berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini
disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada anak

29
dengan gizi buruk, hanya dengan menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi buruk
dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi ringan.

Tatalaksana
- Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat
dengan syok.
- Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
disbanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
- Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
- Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan
F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
- Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang
keluar dan apakah anak muntah.
- Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam
- Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100ml
setiap buang air besar, usia ≥ 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar.

4. Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit12


Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap
setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya.
Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bisa
mengakibatkan gagal jantung dan kematian.

Periksalah:
- frekuensi napas
- frekuensi nadi
- frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
- frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai ada
diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah cekung mata dan fontanel berkurang

30
serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi
buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh
telah terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit dan
frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian cairan/ReSoMal segera dan
lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.

Pencegahan
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan
pada anak dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai
pengganti larutan oralit standar.
- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
- Pemberian F-75 sesegera mungkin
- Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.

Tatalaksana
- Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium,
yang sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan ke
dalam F-75, F-100 atau ReSoMal
- Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
- Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).

5. Mengobati infeksi12
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam,
seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi.
Oleh karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat
mereka datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia
dan hipotermia merupakan tanda infeksi berat.

31
Tatalaksana
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
- Antibiotik spektrum luas
- Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi
vaksin sebelum berumur 9 bulan.
- Tunda imunisasi jika anak syok.

Pilihan antibiotik spektrum luas


- Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri Kotrimoksazol per
oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam selama 5 hari
- Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis atau
tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:
- Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan dengan
Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari) ATAU, jika tidak
tersedia amoksisilin, beri Ampisilin per oral (50 mg/kgBB setiap 6 jam selama
5 hari) sehingga total selama 7 hari

Ditambah:
- Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
- Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan obati
dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari
- Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (seperti pneumonia, tuberkulosis,
malaria, disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak), beri antibiotik yang sesuai.
- Beri obat antimalaria bila pada apusan darah tepi ditemukan parasit malaria.
- Walaupun tuberkulosis merupakan penyakit yang umum terdapat, obat anti
tuberkulosis hanya diberikan bila anak terbukti atau sangat diduga menderita
tuberkulosis.

Pemantauan
Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik di atas, lanjutkan
pengobatan sampai seluruhnya 10 hari penuh. Jika nafsu makan belum membaik,
lakukan penilaian ulang menyeluruh pada anak.

32
6. Memperbaiki kekurangan zat gizi mikro12
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi
tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah
berat adannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat
besi dapat memperparah infeksi.

Tatalaksana
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:
- Multivitamin
- Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
- Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
- Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
- Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi)
- Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan
sebelum dirujuk)

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan
terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.

7. Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi12


Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-
hati sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh.
Tatalaksana
Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah:
- Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun
rendah laktosa
- Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
- Energi: 100 kkal/kgBB/hari
- Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
- Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)

33
- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah
- F-75 yang ditentukan harus dipenuhi.

Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas
dapatdipercepat menjadi 2-3 hari. Jika jumlah petugas terbatas, beri prioritas
untuk pemberian makan setiap 2 jam hanya pada kasus yang keadaan klinisnya
paling berat, dan bila terpaksa upayakan paling tidak tiap 3 jam pada fase
permulaan. Libatkan dan ajari orang tua atau penunggu pasien.
Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak tidak terlalu
lama tanpa pemberian makan (puasa dapat meningkatkan risiko kematian).
Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal tidak mencapai kebutuhan
minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan sisanya melalui NGT. Jangan melebihi 100
kkal/kgBB/hari pada fase awal ini.
Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak maka anak
perlu mendapat ekstra air/cairan.

Pemantauan
Pantau dan catat setiap hari:
- Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan
- Muntah
- Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
- Berat badan.

8. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar12


Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah:
• Kembalinya nafsu makan
• Edema minimal atau hilang.

Tatalaksana
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuh-
kejar (F-100) (fase transisi):

34
• Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75
selama 2 hari berturutan.
• Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian
sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal ini
terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari.
• Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang
dimodifikasi sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-
100.
• Setelah transisi bertahap, beri anak:
- pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai
kemampuan anak)
- energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
- protein: 4-6 g/kgBB/hari.

Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan
anak sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung
cukup energi untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-terapeutik-siap-saji
(ready to use therapeutic food = RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500
kkal/sachet 92g dapat digunakan pada fase rehabilitasi.

Pemantauan
Hindari terjadinya gagal jantung.
Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat dan napas cepat). Jika nadi
maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik 5x/menit dan nadi naik
25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4
jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda bahaya (cari penyebabnya).
Lakukan segera:
- kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam
- kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
- 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya
- 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya
- selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml sebagaimana
dijelaskan sebelumnya.
35
- atasi penyebab

Penilaian kemajuan
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah taha
ptransisi dan mendapat F-100:
· Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
· Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari
· Jika kenaikan berat badan:
- kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap
- sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau
mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.
- baik (> 10 g/kgBB/hari)

9. Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang12


- ungkapan kasih sayang
- lingkungan yang ceria
- terapi bermain terstruktur selama 15–30 menit per hari
- aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
- keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi makan,
memandikan, bermain).

10. Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah12


Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan >80%) dapat dianggap
anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak
berperawakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap
dilanjutkan di rumah.
Berikan contoh kepada orang tua:
- Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta frekuensi
pemberian makan yang sering.
- Terapi bermain yang terstruktur

36
Sarankan:
- Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
- Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)

Pemulangan sebelum sembuh total


Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh.
Waktu untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko.
Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan lanjutan
melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk mencegah
kekambuhan.

Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil:


Anak seharusnya:
• telah menyelesaikan pengobatan antibiotik
• mempunyai nafsu makan baik
• menunjukkan kenaikan berat badan yang baik
• edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang.

Ibu atau pengasuh seharusnya:


• mempunyai waktu untuk mengasuh anak
• memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis, jumlah
dan frekuensi)
• mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak mungkin,
nasihati tentang dukungan yang tersedia.
- Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebelum sembuh
- Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak lanjut sampai
anak sembuh:
• Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan local untuk
melakukan supervisi dan pendampingan.

37
• Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan
kenaikan berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi
penurunan berat badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit.

3.8 Komplikasi
Keadaan malnutrisi marasmus dapat menyebabkan anak mendapatkan
penyakit penyerta yang terkadang tidak ringan apabila penatalaksanaan marasmus
tidak segera dilakukan. Beberapa keadaan tersebut ialah:13,14,15
1. Noma
Noma merupakan penyakit yang kadang-kadang menyertai malnutrisi tipe
marasmus-kwashiokor. Noma atau stomatitis gangraenosa merupakan
pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga dapat menembus
pipi. Noma terjadi pada malnutrisi berat karena adanya penurunan daya tahan
tubuh. Penyakit ini mempunyai bau yang khas dan tercium dari jarak
beberapa meter. Noma dapat sembuh tetapi menimbulkan bekas luka yang
tidak dapat hilang seperti lenyapnya hidung atau tidak dapat menutupnya
mata karena proses fibrosis.

2. Xeroftalmia
Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada
tipe marasmus-kwashiokor. Pada kasus malnutrisi ini vitamin A serum
sangat rendah sehingga dapat menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu setiap
anak dengan malnutrisi sebaiknya diberikan vitamin A baik secara parenteral
maupun oral, ditambah dengan diet yang cukup mengandung vitamin A.
3. Tuberkulosis
Pada anak dengan keadaan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan
kekebalan tubuh yang akan berdampak mudahnya terinfeksi kuman. Salah
satunya adalah mudahnya anak dengan malnutrisi berat terinfeksi kuman
mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan penyakit tuberkulosis.
4. Sirosis hepatis

38
Sirosis hepatis terjadi karena timbulnya perlemakan dan penimbunan
lemak pada saluran portal hingga seluruh parenkim hepar tertimbun
lemak. Penimbunan lemak ini juga disertai adanya infeksi pada hepar seperti
hepatitis yang menimbulkan penyakit sirosis hepatis pada anak dengan
malnutrisi berat.

3.9 Prognosis
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian
dari penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi
prognosisnya dapat dikatakan baik apabila malnutrisi tipe marasmus ini ditangani
secara cepat dan tepat. Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan
penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis atau hepatitis yang menyebabkan
terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada anak yang mendapatkan malnutrisi
pada usia yang lebih muda, akan terjadi penurunan tingkat kecerdasan yang lebih
besar dan irreversibel dibanding dengan anak yang mendapat keadaan malnutrisi
pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding terbalik dengan psikomotor anak
yang mendapat penanganan malnutrisi lebih cepat menurut umurnya, anak yang
lebih muda saat mendapat perbaikan keadaan gizinya akan cenderung
mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih sempurna dibandingkan dengan
anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama. Hanya
saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi
marasmus ini cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal
pertumbuhan tinggi badan anak dan pertambahan berat anak, walaupun jika dilihat
secara ratio berat dan tinggi anak berada dalam batas yang normal.7

39
BAB IV
ANALISIS KASUS

An. MN, laki-laki, 5 tahun 3 bulan, datang ke Poli Umum Puskesmas Biak
dengan keluhan muntah 3x sejak pagi tadi dan berat badan dirasa tidak naik.
Ibu pasien mengatakan anaknya tampak kurus, nafsu makan berkurang. Ibu
pasien mengatakan berat badan pasien dari 14 kg turun menjadi 8 kg.
Sejak lahir, pasien hanya diberikan ASI hingga usia 1 tahun. Seharunya
mulai diberikan MPASI sejak usia 6 bulan untuk memenuhi kebutuhan energinya.

Sejak ± 6 bulan yang lalu, pasien tidak mau makan nasi, hanya makan roti
dan minum. Makan 3 x sehari. Pasien memakan beberapa potong roti atau biskuit.
Keluarga pasien masih memberikan nasi dan lauk pauk tetapi terkadang hanya
makan 2 sendok dan makanan masih bersisa banyak. Hal ini menandakan asupan
makan pasien tidak mencukupi kebutuhan energi pasien. Riwayat imunisasi dasar
PPI tidak lengkap. Hal ini menjadi salah satu faktor resiko terjadinya gizi buruk,
karena pola asuh, ketersediaan pangan, sanitasi lingkungan dan pelayanan
keseatan yang meliputi akses imunisasi dapat menyebabkan gizi buruk.
Perkembangan anak sesuai dengan usia.

40
Dari pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum tampak sangat
kurus dan lemas dikarenakan penghancuran jaringan yang terjadi semakin lama
untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis glukosa dan metabolit
essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori dalam diet akan
meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Hal ini akan
menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Dari
pemeriksaan fisik khusus juga didapatkan microchepali dan konjungtiva anemis.
Dari data antropometri didapatkan status gizi buruk dengan perawakan normal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, maka dapat ditegakkan diagnosis gizi buruk perawakan
normal. Diagnosis gizi buruk ditegakkan karena memenuhi kreteria gizi buruk
tanpa komplikasi, yaitu BB/TB < -3SD, tampak sangat kurus dan LiLA <11,5 cm.
Terjadinya anemia pada anak. Selain kurangnya asupan zat gizi, anemia
yang terjadi pada anak bisa disebabkan oleh hal lain misalnya karena adanya
penyakit akut, penyakit kronik atau adanya kegagalan sumsum tulang dalam
memproduksi sel darah merah.terjadinya anemia pada anak. Selain kurangnya
asupan zat gizi, anemia yang terjadi pada anak bisa disebabkan oleh hal lain
misalnya karena adanya penyakit akut, penyakit kronik atau adanya kegagalan
sumsum tulang dalam memproduksi sel darah merah. Karena asupan zat besi yang
kurang memadai dan pasien menderita penyakit kronis, sehingga menyebabkan
anemia.

41
Gizi buruk merupakan suatu keadaan kekurangan gizi kronis yang sering
terjadi pada balita, disebabkan oleh banyak faktor. Pada kasus didapatkan kondisi
sosial ekonomi keluarga berada pada tingkat menengah ke bawah. Secara tidak
langsung, tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan
untuk konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pada kasus ini juga
didapatkan tingkat pengetahuan serta kesadaran orang tua mengenai gizi dan
kesehatan anak rendah, ditandai dengan kualitas dan kuantitas makanan yang
kurang, sehingga orang tuanya tidak mampu menyusun menu yang baik untuk
dikonsumsi. Pasien hanya diberikan ASI hingga usia 1 tahun. Terdapat pula
gangguan pola makan yang diidentifikasi dari kebiasaan pasien hanya makan
beberapa potong roti dan biskuit serta hanya sesekali makan nasi dan lauk pauk
tetapi masih bersisa banyak.
Pada pasien dapat diterapkan tatalaksana gizi buruk sesuai dengan kondisi,
yang terdiri dari 10 langkah tatalaksana (mencegah dan mengatasi hipoglikemia,
mencegah dan mengatasi hipotermia, mencegah dan mengatasi dehidrasi,
memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit, mengobati infeksi, memperbaiki
kekurangan zat gizi mikro, memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi,
memberikan makanan untuk tumbuh kejar, memberikan stimulasi untuk tumbuh
kembang, serta mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah). Pasien diberikan
infus D5 1/4 NS dan PRC 100cc/24 jam. Pasien diberikan nasi biasa per 8 jam,
F100 sebanyak 110 ml dengan frekuensi 5 kali sehari dan mineral mix sebanyak 2
ml, serta diberikan juga snack sebanyak 2 kali yang sesuai dengan kebutuhan
kalori pasien. Karena pasien menderita yolk sac tumor, pasien membutuhkan
kemoterapi VCR Bleomicin. Untuk tatalaksana batuk pada pasien diberikan n-
acetyl cystein 50 mg per 13 jam per oral. Pasien juga diberikan injeksi
ondansetron 2 mg per 8 jam. Terapi gizi buruk harus ditatalaksana sebaik
mungkin, karena dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak
adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan
perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan
skor tes IQ, penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori,
gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu
saja merosotnya prestasi anak. Terapi gizi

42
buruk yang tidak di follow up dengan baik akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan. Selama terapi, harus diperhatikan kondisi klinis
pasien (keadaan umum, tanda-tanda vital, keadaan spesifik) serta peningkatan
berat badan pasien.
Keluarga pasien harus diedukasikan untuk memberikan makanan dengan
porsi kecil dan sering, sesuai dengan usia anak, membawa anaknya kembali untuk
kontrol secara teratur (bulan I : 1x/minggu, bulan II: 1x/2 minggu, bulan III-IV:
1x/bulan), dan ingatkan ibu untuk mengejar pemberian ulangan (booster), serta
pemberian vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali (dosis sesuai usia).
Terapi gizi buruk harus ditatalaksana sebaik mungkin, karena dampak
jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi
apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain.
Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan
perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan
perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya
prestasi anak. Terapi gizi buruk yang tidak di follow up dengan baik akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Selama terapi, harus
diperhatikan kondisi klinis pasien (keadaan umum, tanda-tanda vital, keadaan
spesifik) serta peningkatan berat badan pasien.
Keluarga pasien harus diedukasikan untuk memberikan makanan dengan
porsi kecil dan sering, sesuai dengan usia anak, membawa anaknya kembali untuk
kontrol secara teratur (bulan I : 1x/minggu, bulan II: 1x/2 minnggu, bulan III-IV:
1x/bulan), dan ingatkan ibu untuk mengejar pemberian ulangan (booster), serta
pemberian vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali (dosis sesuai usia).

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar


Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Dirjen Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak. Kemenkes RI. 2011.
2. Kabashneh, S., Alkassis, S., Shanah, L., & Ali, H. (2020). A Complete Guide
to Identify and Manage Malnutrition in Hospitalized Patients. Cureus, 12(6),
e8486.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Anak
Gizi Buruk. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
4. World Health Organization. 2010. WHO Child Growth Standards and The
Identification of Severe Acute Malnutrition in Infants and Children.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jakarta. 2019. Pedoman
Pencegahan dan Tatalaksana Gizi Buruk pada Balita. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.
6. World Health Organization. 2021. Malnutrition. Diakses 25 November 2021
pada: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/malnutrition

7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jakarta. 2019. Pedoman


Pencegahan dan Tatalaksana Gizi Buruk pada Balita. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.

8. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. 2017. Profil Kesehatan


Provinsi Sumatera Selatan 2017.
9. Oktavia S, dkk. 2017. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Buruk pada Balita di Kota Semarang Tahun 2017 (Studi di Rumah
Pemulihan Gizi Banyumanik Kota Semarang). Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal) 5 (3), 186-192.

44
10. Ilmiati, dkk. 2020. Pengendalian Kualitas Kesehatan dalam Upaya
Penanggulangan Gizi Buruk pada Balita: Literatur Review. Dinamika
Kesehatan: Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan 11 (1), 272-280.
11. Lenters L, et al. 2016. Management of Severe and Moderate Acute
Malnutrition in Children. In: Black RE, Laxminarayan R, Temmerman M,
et al., Penyunting. Reproductive, Maternal, Newborn, and Child Health:
Disease Control Priorities, Third Edition (Volume 2). Washington (DC):
The International Bank for Reconstruction and Development / The World
Bank.
12. Nurhayati, soetjiningsih, Suandi IKG. Relationship Between Protein Energy
Malnutrition and Social Maturity in Children Aged 1-2 Years in Paediatrica
Indonesiana, 42th volume, December, 2012
13. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi
Klinis pada Anak edisi keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2005
14. Behrman RE, RM Kliegman, HB Jenson. Marasmus in Nelson Textbook of
Pediatric 18th edition, 2004
15. Deterding RR, WW. Hay Jr, Mj. Levin, JM Sondheimer. Marasmus in Current
Pediatric Diagnosis & Treatment. 2012

45

Anda mungkin juga menyukai