PERITONITIS
OLEH :
Faisal Ravif
NIM:41161096100030
Pembimbing
dr. Ramadhana, Sp.B
i
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul Peritonitis yang diajukan oleh Faisal Ravif (NIM :
41161096100030), telah diterima dan disetujui oleh pembimbing. Sebagai salah
satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu bedah di RSUP
Fatmawati periode Maret - Mei 2018.
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Peritonitis”. Referat ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase Bedah Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini,
terutama kepada :
1. dr. Ramadhana, Sp.B selaku pembimbing referat ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Bedah Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Bedah Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun guna
penyempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.
Demikian, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bisa
membuka wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama dalam bidang bedah.
Faisal Ravif
41161096100030
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUTAKA
2.1. ANATOMI
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari
kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastric
5
inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal
maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding
perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.(3)
6
2.1.1. Peritonium
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesotial di atas dasar fibroelastik.
Terbagi menjadi visceral, menutupi usus dan mesenterium, dan bagian parietal
yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fascia muscular.
Pasokan darah datang dari struktur di bawahnya. Persarafan lebih spesifik , hanya
berespons terhadap traksi atau regangan. Peritoneum parietale mempunyai
komponen somatik dan visceral dan memungkinkan lokalisasi stimulus yang
berbahaya dan menimbulkan defans muscular dan nyeri lepas (3).
7
dikembangkan intraperitoneal namun kehilangan mesenterium dan dengan
demikian menjadi retroperitoneal.
Organ yang ada pada Intraperitoneum adalah meliputi, Hati, Limpa, ekor
pancreas.Dan pada wanita, Uterus, saluran telur, ovarium Gonad pembuluh darah.
Sedangkan organ yang ada pada Retroperitoneum adalah meliputi, Pankreas
(kecuali ekor),Ginjal, kelenjar adrenal, ureter proksimal, kapal ginjal, Gonad
pembuluh darah, Inferior vena cava, Aorta.
2.2. DEFINISI
8
c. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus
alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi,
radang, trauma
Menurut agens
o Peritonitis kimia,
o Peritonitis septik,
merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena
ada perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke
peritonium dan menimbulkan peradangan.
o Peritonitis primer
`Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari
penyebaran secara hematogen. Sering disebut juga sebagai
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk yang
paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau nekrose
(infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi
bakterial pada rongga peritoneum.
9
*Spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya
kuman tuberkulosa.
* Non- spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik,
misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.
o Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama,
diantaranya adalah:
10
tanpa disertai kelainan dari organ visera akibat infeksi intra-
abdomen
cara operatif
dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ
visera akibat infeksi intra abdomen Komplikasi yang dapat
terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah syok septik,
abses, perlengketan intraperitoneal.
o Peritonitis tersier
biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise.
Organisme penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu
coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus, gram negative
bacili, dan candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah
dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi
abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan
dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang
pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe kuman yang didapat
pada tes laboratorium.
Malignancy
Iatrogenic*
11
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma,
Iatrogenic*
Iatrogenic*
Malignancy
Iatrogenic*
Iatrogenic*
Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
12
Large bowel and Ischemic bowel
appendix
Diverticulitis
Malignancy
Appendicitis
Colonic volvulus
Iatrogenic
Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)
2.4. PATOFISIOLOGI
13
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat menimbulkan terjadinya obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan), sehingga terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat menyebabkan siswa kembali.7
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis hingga sepsis bila mengenai organ yang
14
berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi
dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan
kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling
lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka
akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak
terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang
biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritonium. 3,6,11
2.5.1 Gejala
- Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan
pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian
abdomen. Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,
15
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai
gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan
peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan
adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari
peritonitis.13
- Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat
diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa
seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul.
Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38oC sampai 40oC.13
- Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong,
kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat. 11 Penderita dengan
peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre
terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di
fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen.13
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat
kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.11
- Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.
Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke
lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.11
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram
negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok.
Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian
diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan
sindrom atau gejalagejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada
manusia.11
16
2.5.2. Tanda
- Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat
dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai
mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi,
berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat
menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera
diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan
bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang
lebih buruk.
- Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada
awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda
distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi
kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.11
- Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal
sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan
ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop
lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba
hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus
yang mengalami strangulasi.
- Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal
ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal
17
dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal
dari peritonitis.11
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga,
udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga
akan ditemukan pekak hepar yang menghilang.13
- Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang
kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai
terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat
langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna.
Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita
yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit
untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari
satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya
didapatkan spasme otot abdomen secara involunter.
Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah,
tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan
perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu
proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan
perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat.
Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke
titik peradangan yang maksimal. Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot
dinding perut melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme
pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti
papan.
18
hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita
yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh
tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.11
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya
peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang
nyata.13 Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes
fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.12
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya
mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto
thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang
menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak
difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya
udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos
abdomen.11
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus
dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi.
Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi
berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada
tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi
dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.
19
Gambar 2.3 Foto Polos Abdomen 3 posisi
20
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG abdomen,
CT scan, dan MRI.
2.6. TERAPI
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan
pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra
abdomen adalah:
1. mengkontrol sumber infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi
21
o Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk
mengontrol infeksi, perawatan intensif mempertahankan
hemodinamik tubuh misalnya pemberian cairan intravena untuk
mencegah dehidrasi, pengawasan nutrisi dan keadaan metabolik,
pengobatan terhadap komplikasi dari peritonitis (misalnya insufisiensi
respiratorik atau ginjal), serta terapi terhadap inflamasi yang terjadi.
o Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses
percutaneus dan percutaneus and endoscopic stent placement.
o Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi
sumber infeksi, misalnya apendisitis, ruptur organ intra-abomen
TERAPI ANTIBIOTIK
Pada SBP (Spontaneus Bacterial Peritonitis), pemberian antibiotik
terutama adalah dengan Sefalosporin gen-3, kemudian diberikan antibiotik sesuai
dengan hasil kultur. Penggunaan aminolikosida sebaiknya dihindarkan terutama
pada pasien dengan gangguan ginjal kronik karena efeknya yang nefrotoksik.
Lama pemberian terapi biasanya 5-10 hari.
Pada peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik sistemik ada pada
urutan ke-dua. Untuk infeksi yang berkepanjangan, antibiotik sistemik tidak
efektif lagi, namun lebih berguna pada infeksi akut.
Pada infeksi inta-abdominal berat, pemberian imipenem,
piperacilin/tazobactam dan kombinasi metronidazol dengan aminoglikosida.
INTERVENSI NON-OPERATIF
Dapat dilakukan drainase percutaneus abses abdominal dan
ekstraperitoneal. Keefektifan teknik ini dapat menunda pembedahan sampai
proses akut dan sepsis telah teratasi, sehingga pembedahan dapat dilakukan secara
22
elektif. Hal-hal yang menjadi alasan ketidakberhasilan intervensi non-operatif ini
antara lain fistula enteris, keterlibatan pankreas, abses multipel. Terapi intervensi
non-operatif ini umumnya berhasil pada pasien dengan abses peritoneal yang
disebabkan perforasi usus (misalnya apendisitis, divertikulitis).
Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila suatu abses dapat di akses
melalui drainase percutaneus dan tidak ada gangguan patologis dari organ
intraabdomen lain yang memerlukan pembedahan, maka drainase perkutaneus ini
dapat digunakan dengan aman dan efektif sebagai terapi utama. Komplikasi yang
dapat terjadi antara lain perdarahan, luka dan erosi, fistula.
TERAPI OPERATIF
Cara ini adalah yang paling efektif. Pembedahan dilakukan dengan dua
cara, pertama, bedah terbuka, dan kedua, laparoskopi. Indikasi operasi pada
pasien peritonitis antara lain peritonitis yang disebabkan oleh kolitis iskemik,
ruptur apendiks, pankreatitis ataupun divertikulitis. Tujuan dari operasi adalah
untuk menghilangkan proses patologi yang menyebabkan peritonitis, mengurangi
kontaminasi bakteri, menyediakan drainase yang adekuat serta mencegah
terjadinya sepsis. Terapi operatif adalah yang paling efektif. Operasi dilakukan
dengan dua cara, laparotomi atau laparoskopi.
23
Gambar 2.4 Alur Diagnosis dan Terapi Peritonitis
24
Pasien dengan tanda dan gejala yang mengarah ke peritonitis berupa nyeri
pada abdomen dengan atau tanpa disertai tahanan perut, demam, leukositosis dan
tanda-tanda sepsis berupa hipotensi, takikardi daln lain-lain, harus dicari apakah
mengarah ke peritonitis difus atau peritonitis terlokalisir. Selain itu perlu
diwaspadai pada kondisi-kondisi yang menyebabkan tanda dan gejala peritonitis
tidak jelas atau samar, seperti pada pasien dengan diabetes atau kondisi penurunan
imunitas tubuh, pasien usia lanjut, pasien dengan asites (sirosis atau sindrom
nefrotik), pasien dengan dialisis peritonium dan pada pasien dalam pengobatan
kortikosteroid harus dicari apakah mengarah ke peritonitis difus atau peritonitis
terlokalisir.
Pada peritonitis yang difus, maka perlu dicari apakah terdapat kelainan
patologi pada saluran cerna dan potensial terjadinya peritonitis sekunder. Jika dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya patologi saluran cerna, maka
peritonitis difus yang terjadi adalah kemungkinan peritonitis sekunder, sama
halnya dengan peritonitis lokal yang digolongkan sebagai peritonitis sekunder.
Namun jika tidak, maka dipertimbangkan peritonitis primer.
Pada peitonitis primer dapat diakibatkan oleh dialisis peritoneumm atau
asites. Pada dialisis peritoneum maka dilakukan drainase cairan peritoneum dan
irigasi 2-3 kali. Pada pasien dengan asites dilakukan parasentesia cairan dan
dilakukan pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram, diff count dan pemeriksaan
pH. Pasien mulai dirawat dan mendapatkan terapi antibiotik berdasarkan patogen
yang paling mungkin. Jika hasil kultur atau pewarnaan hanya ditemukan 1
mikroba maka sesuaikan antibiotik dan teruskan pengobatan selama 7 hari.
Namun jika ditemukan lebih dari 2 bakteri pada pemeriksaan kultur dan
pewarnaaan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroba pada feses dan empedu.
Pada dugaan peritonitis sekunder, perlu dilakukan foto polos abdomen 3
posisi untuk menilai ada tidaknya udara bebas. Jika terdapat udara, maka pasien
tersebut terbukti mengalami peritonitis sekunder. Namun jika tidak terbukti
adanya udara pada pemeriksaan radiologi tersebut maka perlu dipikirkan
diagnosis lain seperti kolesistitis, pankreatitis, divertikulitis, kolitis, pelvic
inflamatory disease (PID), penyebab kelainan ginekologi atau saluran cerna
lainnya. Selain pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi, perlu dilakukan
25
pemeriksaan lanjutan lainnya seperti CT-scan, USG abdomen, pemeriksaan
laboratorium: amilase serum, lipase, bilirubin dan lainnya. Sementara menunggu
hasil dari pemeriksaan tersebut, dapat dimulai terapi suportif ataupun pemberian
antibiotik empiris pada pasien.
Kemudian setelah didapatkan hasil dari pemeriksaan penunjang tersebut,
maka pasien harus diputuskan perlu atau tidaknya dilakukan operasi dan ada
tidaknya abses peritoneal. Jika terdapat abses peritoneal maka dapat dilakukan
drainase pada abses tersebut. Teknik drainase absces pertaneus bergantung pada
lokasi terkumpulnya cairan yang menyebabkan pasien mengalami infeksi.
Pemasangan drainase absces pertaneus dimulai dengan standard aseptik dan
anestesi lokal dengan lidokain. Selanjutnya dilakukan aspirasi diagnostik dengan
menggunakan spuit, lalu diikuti dengan pemasangan kateter jika cairannya
purulen, atau juga dapat menggunakan trokar. Abses yang hanya berukuran <5 cm
dapat dilakukan aspirasi saja.
Indikasi operasi pada pasien peritonitis antara lain peritonitis yang
disebabkan oleh kolitis iskemik, ruptur apendiks, pankreatitis ataupun
divertikulitis. Tujuan dari operasi adalah untuk menghilangkan proses patologi
yang menyebabkan peritonitis, mengurangi kontaminasi bakteri, menyediakan
drainase yang adekuat serta mencegah terjadinya sepsis. Terapi operatif adalah
yang paling efektif. Operasi dilakukan dengan dua cara, laparotomi atau
laparoskopi.
Laparotomi biasanya dilakukan melalui upper atau lower middle incision
(bergantung pada dugaan lokasi patologis). Laparatomi diindikasikan pada pasien
yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya sindrom kompertemen abdominal
(contohnya: pasien dengan distensi intestinal maupun pada edema organ intra
abdomen), membuktikan penyebab peritonitis, mengontrol sumber sepsis dengan
membuang organ yang meradang atau iskemik (atau menutup organ yang bocor),
melakukan pencucian kavum peritoneum yang efektif.5,15
Laparaskopi dapat dilakukan pada pasien peritonitis dengan etiologi yang
belum jelas. Laparoskopi dapat untuk penanganan apendisitis akut dan peritonitis
lain yang bersifat lokal.
26
setelah itu terapi konservatif dan antibiotik dilanjutkan hingga gejala-
gejala mereda, terjadi demam 48 jam dan jumlah leukosit normal. Jika kondisi
pasien tidak membaik maka kemungkinan terjadi proses penyakit menetap atau
dapat juga terjadi abses/peritonitis tersier, maka harus diobservasi lagi dan
tentukan apakah ada indikasi untuk operasi lagi atau hanya dengan pengobatan
antibiotik.
Pemilihan antibiotik empiris pada tatalaksana peritonitis harus dibedakan
pada peritonitis primer dan sekunder. Pada peritonitis primer yang disebabkan
oleh SBP, pilihan antibiotik empirisnya adalah ceftriaxon 2 x 1 gr IV. Jika pada
pasien dengan alergi penicillin dapat diberikan moxifloxacin 400 mg IV atau oral
dalam 24 jam. Pemberian terapi ini diberikan sealam 5 hari. Sedangkan untuk
profilaksis SBP pada pasien sirosis hepatis dengan hematemesis-melena dapat
diberikan ciprofloxacin 2 x 500 mg PO selama 7 hari, atau ceftriaxone 1 x 1 gr IV
jika pasien masih dipuasakan, lalu dapat dilanjutkan ciprofloxacin 2 x 500 mg PO
jika perdarahan sudah terkontrol. Pada sirosis dengan asites, dapat diberikan
profilaksis dengan trimetropimsulfametoxazol 1x1 PO, atau jika ada alergi sulfa,
dapat diberikan ciprofloxacin 1 x 500 mg PO.14
Peritonitis sekunder akibat esofagus, gaster, usus halus, appendiks,
maupun kolon diberika terapi empiris berupa ertapenem 1 x 1 gr, atau jika
terdapat alergi penicillin, dapat diberikan ciprofloxacin 2 x 400 mg IV +
metronidazole 3 x 500 mg. Jika pasien dalam kondisi berat atau imunokompromis
dapat diberikan piperacillin/tazobactam 4 x 3,375 gr IV, atau jika alergi penicillin
(non-severe), berikan cefepime 3 x 1 gr IV plus metronidazole 3 x 500 mg IV,
atau jika alergi penicillin berat, berikan vancomycin + Aztreonam 3 x 1 gr IV atau
Ciprofloxacin 3 x 400 mg IV + Metronidazole 3 x 500 mg IV. Pemberian
antifungi pada terapi peritonitis tidak diindikasikan kecuali pasien memiliki faktor
risiko sebagai berikut: perforasi esofagus, imunosupresi, terapi jangka panjang
antasida atau antibiotik, perawatan lama di rumah sakit, dan kebocoran saluran
pencernaan persisten. Pemberian Fluconazole 1 x 400 800 mg IV/PO
direkomendasikan dengan kondisi klinis stabil dan tidak mendapat terapi azole
jangka panjang. Sedangkan Micafungin 1 x 100 mg IV direkomendasikan pada
27
pasien dengan kondisi klinis tidak stabil atau telah mendapat terapi azole jangka
panjang.14
2.7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis bakterial dapat dibagi menjadi
komplikasi dini dan lanjut, yaitu : 2,16,17
Komplikasi dini
Septikemia dan syok septik
Syok hipovolemik
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan
multi sistem
Abses residual intraperitoneal
Portal pyemia (misal abses hepar)
Komplikasi lanjut
Adhesi
Obstruksi intestinal rekuren
28
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel
sel, dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum. Berdasarkan penyebabnya, peritonitis dibedakan
menjadi peritonitis primer, sekunder dan tersier.
Peritonitis primer yang paling sering adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Penyebab peritonitis sekunder
paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus
duodenale, serta perforasi kolon. Peritonitis tersier biasanya terjadi pada pasien
dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien
imunokompromise. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil,
bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri
abdomen yang hebat, dinding perut akan teras tegang karena iritasi
peritoneum.
Tatalaksana meliputi bedah maupun non bedah. Pembedahan
meliputi laparatomi ataupun laparaskopi. Pada peritonitis primer, tatalakasana yg
diberikan berupa pengobatan antibiotik empiris berdasarkan profil patogen yang
paling memungkinkan sebelum ada hasil kultur. Pada peritonitis sekunder, terapi
pembedahan berupa laparotomi atau laparoskopi. Laparatomi diindikasikan pada
pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya sindrom kompertemen
abdominal, membuktikan penyebab peritonitis, mengontrol sumber sepsis dengan
membuang organ yang meradang atau iskemik, dan melakukan pencucian kavum
peritoneum yang efektif, seperti pada peritonitis umum. Laparoskopi dapat
dilakukan pada keadaan tertentu, seperti saat etiologi peritonitis masih belum
jelas, penanganan apendisitis akut, dan pada peritonitis yg bersifat lokal. Pada
peritonitis tersier pengobatan diberikan dengan antibiotika IV atau ke dalam
peritoneum.
29
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain
tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel
sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.
30
Daftar Pustaka
31
13. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
14. Adkinson Franklin, et al. Antibiotic Guidelines 2015-2016 Treatment
Recommendations For Adult Inpatients. Johns Hopkins Medicine
15. 14. Abd Elaal MM, et al. Evaluation of different therapeutic approaches
for spontaneus bacterial peritonitis. Arab J Gastroenterol. 2012 Jun.13(2):
6570.
16. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-
abdomen dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr.
Widjaja Kusuma, Binarupa Aksara, Jakarta
17. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article,
http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css
32