Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

PERITONITIS

OLEH :
Faisal Ravif
NIM:41161096100030

Pembimbing
dr. Ramadhana, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH RSUP FATMAWATI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Peritonitis” yang diajukan oleh Faisal Ravif (NIM :
41161096100030), telah diterima dan disetujui oleh pembimbing. Sebagai salah
satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu bedah di RSUP
Fatmawati periode Maret - Mei 2018.

Jakarta, April 2018

dr. Ramadhana, Sp.B

2
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Peritonitis”. Referat ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase Bedah Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini,
terutama kepada :
1. dr. Ramadhana, Sp.B selaku pembimbing referat ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Bedah Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Bedah Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun guna
penyempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.
Demikian, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bisa
membuka wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama dalam bidang bedah.

Jakarta, April 2018

Faisal Ravif

41161096100030

3
BAB I
PENDAHULUAN

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di


rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan
utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa
tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi,
obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga
terjadilah peritonitis.1.3
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel –
sel, dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan
pada abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum(1) Peritonitis merupakan komplikasi
berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ
abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal),
ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka
tembus abdomen.
Peritonitis merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, perforasi
ulkus gastroduodenal), ruptur saluran cerna, sirosis hepatis, komplikasi post
operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.2
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah pada kejadian peritonitis
harus segera diambil karena dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien.
Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Oleh karena itu, keterampilan dalam melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat harus
dimiliki seoran dokter untuk mendiagnosis kejadian peritonitis

4
BAB II

TINJAUAN PUTAKA

2.1. ANATOMI

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.


Dibagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada
igadan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas
beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan
subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga
otot dinding perut m.oblikus abdominis eksternus, m.oblikus abdominis internus,
dan m.tranversus abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan peritoneum.
Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya
yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.(3)

Gambar 2.1 Dinding Abdomen

Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari
kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastric

5
inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal
maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding
perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.(3)

Rongga (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis


mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga
abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan
peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan
peritoneum viscerale.

Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang


membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya,
serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian
peritoneum sekitar masing-masing organ diberi nama-nama khusus.

Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya


seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang
mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang
membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya
yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan
mesokolon.

Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti


celemek di atas depan usus bernama olentum majus. Bangunan ini memanjang
dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian
melipat kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang
lebih kecil bernama omentum minus yang terentang antara lambung dan liver.2

6
2.1.1. Peritonium

Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesotial di atas dasar fibroelastik.
Terbagi menjadi visceral, menutupi usus dan mesenterium, dan bagian parietal
yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fascia muscular.
Pasokan darah datang dari struktur di bawahnya. Persarafan lebih spesifik , hanya
berespons terhadap traksi atau regangan. Peritoneum parietale mempunyai
komponen somatik dan visceral dan memungkinkan lokalisasi stimulus yang
berbahaya dan menimbulkan defans muscular dan nyeri lepas (3).

Gambar 2.2 Peritoneum

2.1.2. Struktur Perut

Struktur di perut diklasifikasikan sebagai intraperitoneal, retroperitoneal


atau infraperitoneal tergantung pada apakah mereka ditutupi dengan peritoneum
visceral danapakah mereka dilengkapi dengan polip (mensentery, mesokolon).
Struktur yang Intraperitoneal umumnya bergerak, sementara mereka yang
retroperitoneal relatif tetap dilokasi mereka. Beberapa struktur, seperti ginjal,
adalah "terutama retroperitoneal",sementara yang lain seperti mayoritas
duodenum, adalah "sekunder retroperitoneal", yang berarti struktur yang

7
dikembangkan intraperitoneal namun kehilangan mesenterium dan dengan
demikian menjadi retroperitoneal.

Organ yang ada pada Intraperitoneum adalah meliputi, Hati, Limpa, ekor
pancreas.Dan pada wanita, Uterus, saluran telur, ovarium Gonad pembuluh darah.
Sedangkan organ yang ada pada Retroperitoneum adalah meliputi, Pankreas
(kecuali ekor),Ginjal, kelenjar adrenal, ureter proksimal, kapal ginjal, Gonad
pembuluh darah, Inferior vena cava, Aorta.

2.2. DEFINISI

Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau


seluruh selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen.
Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
dan kronis, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan biasanya disebabkan oleh infeksi
pada peritoneum. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang berasal dari
organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ
lambung, colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga menyebar dari
organ lain yang menjalar melalui darah.

Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel –


sel, dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum.3

2.3. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI

Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara


lain:

a. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan


ektopik terganggu

b. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab


obstruksi vena porta pada sirosis hati, malignitas.

8
c. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus
alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi,
radang, trauma

d. Radang, yaitu pada peritonitis Peritonitis diklasifikasikan menjadi:

 Menurut agens

o Peritonitis kimia,

misalnya yang disebabkan karena asam lambung, cairan empedu, cairan


pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.

o Peritonitis septik,
merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena
ada perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke
peritonium dan menimbulkan peradangan.

 Menurut sumber kuman

o Peritonitis primer
`Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari
penyebaran secara hematogen. Sering disebut juga sebagai
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk yang
paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau nekrose
(infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi
bakterial pada rongga peritoneum.

Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh


bakteri gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas,
proteus) , bakteri gram positif ( streptococcus pneumonia,
staphylococcus).

Peritonitis dibedakan menjadi:

9
*Spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya
kuman tuberkulosa.

* Non- spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik,
misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.

o Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama,
diantaranya adalah:

a. Bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau


traktus genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya
pada : perforasi appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon oleh
divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.

b. Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke


peritoneum saat terjadi pankreatitis, atau keluarnya asam
empedu akibat trauma pada traktus biliaris.

c. Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters

Terapi dilakukan dengan pembedahan untuk menghilangkan


penyebab infeksi (usus, appendiks, abses), antibiotik, analgetik
untuk menghilangkan rasa nyeri, dan cairan intravena untuk
mengganti kehilangan cairan.

Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun


non operatif

 secara non operatif


dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan
dengan efektif sebagai terapi, bila suatu abses dapat dikeringkan

10
tanpa disertai kelainan dari organ visera akibat infeksi intra-
abdomen

 cara operatif
dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ
visera akibat infeksi intra abdomen Komplikasi yang dapat
terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah syok septik,
abses, perlengketan intraperitoneal.

o Peritonitis tersier
biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise.
Organisme penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu
coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus, gram negative
bacili, dan candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah
dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi
abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan
dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang
pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe kuman yang didapat
pada tes laboratorium.

Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis


berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini
sebaiknya kateter dialisis dilepaskan.

Regio Asal Penyebab

Esofagus Boerhaave syndrome

Malignancy

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Stomach Peptic ulcer perforation

11
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma,

gastrointestinal stromal tumor)

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Duodenum Peptic ulcer perforation

Trauma (blunt and penetrating)

Iatrogenic*

Billiary track Cholecystitis

Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone


ileus) or common duct

Malignancy

Choledochal cyst (rare)

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Pankreas Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)

Trauma (blunt and penetrating)

Iatrogenic*

Small bowel Ischemic bowel

Incarcerated hernia (internal and external)

Crohn disease

Malignancy (rare)

Meckel diverticulum

Trauma (mostly penetrating)

12
Large bowel and Ischemic bowel
appendix
Diverticulitis

Malignancy

Ulcerative colitis and Crohn disease

Appendicitis

Colonic volvulus

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic

Uterus, salpinx and Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-


ovaries
oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)

Malignancy (rare)

Trauma (uncommon)

Tabel 2.1 Penyebab Peritonitis Sekunder

2.4. PATOFISIOLOGI

Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-


organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal
peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa,
kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.

Jika bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum


atau bila infeksi menyebar akan menimbulkan peritonitis generalisata sehingga
aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian
menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus,
menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan syok.

13
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat menimbulkan terjadinya obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan), sehingga terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat menyebabkan siswa kembali.7

Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam


rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma,
atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bacterial. Terjadi edema jaringan, dan
dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal
menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler,
dan darah. Respon segera dari saluran usus adalah hipomotilitas, diikuti oleh ileus
paralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus.

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen


apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema. Selanjutnya akan terjadi diapedesis bakteri,ulserasi
mukosa, dan obstruksi vena sehingga edema bertambah kemudian aliran arteri
terganggu sehingga terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis
dan ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. 3,7

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis hingga sepsis bila mengenai organ yang

14
berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi
dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan
kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling
lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka
akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak
terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang
biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritonium. 3,6,11

2.5. MANIFESTASI KLINIS


Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di
dalam rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor
yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan
kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara
umum.
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal
dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal
meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi,
adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang
merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus.
Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat,
takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat
menjadi syok.12

2.5.1 Gejala
- Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan
pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian
abdomen. Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,

15
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai
gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan
peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan
adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari
peritonitis.13
- Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat
diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa
seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul.
Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38oC sampai 40oC.13
- Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong,
kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat. 11 Penderita dengan
peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre
terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di
fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen.13
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat
kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.11
- Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.
Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke
lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.11
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram
negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok.
Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian
diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan
sindrom atau gejalagejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada
manusia.11

16
2.5.2. Tanda
- Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat
dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai
mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi,
berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat
menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera
diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan
bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang
lebih buruk.
- Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada
awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda
distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi
kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.11
- Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal
sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan
ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop
lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba
hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus
yang mengalami strangulasi.
- Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal
ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal

17
dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal
dari peritonitis.11
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga,
udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga
akan ditemukan pekak hepar yang menghilang.13
- Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang
kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai
terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat
langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna.
Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita
yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit
untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari
satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya
didapatkan spasme otot abdomen secara involunter.
Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah,
tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan
perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu
proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan
perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat.
Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke
titik peradangan yang maksimal. Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot
dinding perut melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme
pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti
papan.

2.5.2. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara
riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana
dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis

18
hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita
yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh
tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.11
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya
peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang
nyata.13 Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes
fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.12
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya
mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto
thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang
menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak
difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya
udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos
abdomen.11
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus
dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi.
Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi
berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada
tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi
dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.

19
Gambar 2.3 Foto Polos Abdomen 3 posisi

Pada pemeriksaan laboratorium didapat:


o lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/...L ) dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis. Pada pasien dengan sepsis berat, pasien
imunokompromais dapat terjadi Lekopenia.
o Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.
Pada foto polos abdomen didapatkan:
o Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang
o Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata, berbeda dengan
gambaran ileus obstruksi
o Penebalan dinding usus akibat edema
o Tampak gambaran udara bebas
o Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga pasien perlu
dikoreksi cairan, elektrolit, dan asam basanya agar tidak terjadi syok
hipovolemik

20
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG abdomen,
CT scan, dan MRI.

Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)


Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera intra
abdomen setelah trauma tumpul yang disertai dengan kondisi:
Hilangnya kesadaran, intoksikasi alkohol, perubahan sensori, misalnya
pada cedera medula spinalis, cedera pada costae atau processus transversus
vertebra. Tehnik ini adalah suatu tindakan melakukan bilasan rongga perut dengan
memasukkan cairan garam fisiologis sampai 1.000 ml melalui kanul, setelah
sebelumnya pada pengisapan tidak ditemukan darah atau cairan. Pada DPL
dilakukan analisis cairan kualitatif dan kuantitatif, hal-hal yang perlu dianalisis
antara lain: kadar pH, glukosa, protein, LDH, hitung sel, gram stain, serta kultur
kuman aerob dan anaerob. Pada peritonitis bakterialis, cairan peritonealnya
menunjukkan kadar pH = 7 dan glukosa kurang dari 50 mg/dL dengan kadar
protein dan LDH yang meningkat.
Teknik ini dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas, koagulopati dan
hematom yang signifikan dengan dinding abdomen.

2.6. TERAPI
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan
pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra
abdomen adalah:
1. mengkontrol sumber infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi

Terapi terbagi menjadi:

21
o Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk
mengontrol infeksi, perawatan intensif mempertahankan
hemodinamik tubuh misalnya pemberian cairan intravena untuk
mencegah dehidrasi, pengawasan nutrisi dan keadaan metabolik,
pengobatan terhadap komplikasi dari peritonitis (misalnya insufisiensi
respiratorik atau ginjal), serta terapi terhadap inflamasi yang terjadi.
o Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses
percutaneus dan percutaneus and endoscopic stent placement.
o Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi
sumber infeksi, misalnya apendisitis, ruptur organ intra-abomen

Bila semua langkah-langkah terapi di atas telah dilaksanakan, pemberian


suplemen, antara lain glutamine, arginine, asam lemak omega-3 dan omega-6,
vitamin A, E dan C, Zinc dapat digunakan sebagai tambahan untuk mempercepat
proses penyembuhan.

TERAPI ANTIBIOTIK
Pada SBP (Spontaneus Bacterial Peritonitis), pemberian antibiotik
terutama adalah dengan Sefalosporin gen-3, kemudian diberikan antibiotik sesuai
dengan hasil kultur. Penggunaan aminolikosida sebaiknya dihindarkan terutama
pada pasien dengan gangguan ginjal kronik karena efeknya yang nefrotoksik.
Lama pemberian terapi biasanya 5-10 hari.
Pada peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik sistemik ada pada
urutan ke-dua. Untuk infeksi yang berkepanjangan, antibiotik sistemik tidak
efektif lagi, namun lebih berguna pada infeksi akut.
Pada infeksi inta-abdominal berat, pemberian imipenem,
piperacilin/tazobactam dan kombinasi metronidazol dengan aminoglikosida.

INTERVENSI NON-OPERATIF
Dapat dilakukan drainase percutaneus abses abdominal dan
ekstraperitoneal. Keefektifan teknik ini dapat menunda pembedahan sampai
proses akut dan sepsis telah teratasi, sehingga pembedahan dapat dilakukan secara

22
elektif. Hal-hal yang menjadi alasan ketidakberhasilan intervensi non-operatif ini
antara lain fistula enteris, keterlibatan pankreas, abses multipel. Terapi intervensi
non-operatif ini umumnya berhasil pada pasien dengan abses peritoneal yang
disebabkan perforasi usus (misalnya apendisitis, divertikulitis).
Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila suatu abses dapat di akses
melalui drainase percutaneus dan tidak ada gangguan patologis dari organ
intraabdomen lain yang memerlukan pembedahan, maka drainase perkutaneus ini
dapat digunakan dengan aman dan efektif sebagai terapi utama. Komplikasi yang
dapat terjadi antara lain perdarahan, luka dan erosi, fistula.

TERAPI OPERATIF
Cara ini adalah yang paling efektif. Pembedahan dilakukan dengan dua
cara, pertama, bedah terbuka, dan kedua, laparoskopi. Indikasi operasi pada
pasien peritonitis antara lain peritonitis yang disebabkan oleh kolitis iskemik,
ruptur apendiks, pankreatitis ataupun divertikulitis. Tujuan dari operasi adalah
untuk menghilangkan proses patologi yang menyebabkan peritonitis, mengurangi
kontaminasi bakteri, menyediakan drainase yang adekuat serta mencegah
terjadinya sepsis. Terapi operatif adalah yang paling efektif. Operasi dilakukan
dengan dua cara, laparotomi atau laparoskopi.

23
Gambar 2.4 Alur Diagnosis dan Terapi Peritonitis

24
Pasien dengan tanda dan gejala yang mengarah ke peritonitis berupa nyeri
pada abdomen dengan atau tanpa disertai tahanan perut, demam, leukositosis dan
tanda-tanda sepsis berupa hipotensi, takikardi daln lain-lain, harus dicari apakah
mengarah ke peritonitis difus atau peritonitis terlokalisir. Selain itu perlu
diwaspadai pada kondisi-kondisi yang menyebabkan tanda dan gejala peritonitis
tidak jelas atau samar, seperti pada pasien dengan diabetes atau kondisi penurunan
imunitas tubuh, pasien usia lanjut, pasien dengan asites (sirosis atau sindrom
nefrotik), pasien dengan dialisis peritonium dan pada pasien dalam pengobatan
kortikosteroid harus dicari apakah mengarah ke peritonitis difus atau peritonitis
terlokalisir.
Pada peritonitis yang difus, maka perlu dicari apakah terdapat kelainan
patologi pada saluran cerna dan potensial terjadinya peritonitis sekunder. Jika dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya patologi saluran cerna, maka
peritonitis difus yang terjadi adalah kemungkinan peritonitis sekunder, sama
halnya dengan peritonitis lokal yang digolongkan sebagai peritonitis sekunder.
Namun jika tidak, maka dipertimbangkan peritonitis primer.
Pada peitonitis primer dapat diakibatkan oleh dialisis peritoneumm atau
asites. Pada dialisis peritoneum maka dilakukan drainase cairan peritoneum dan
irigasi 2-3 kali. Pada pasien dengan asites dilakukan parasentesia cairan dan
dilakukan pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram, diff count dan pemeriksaan
pH. Pasien mulai dirawat dan mendapatkan terapi antibiotik berdasarkan patogen
yang paling mungkin. Jika hasil kultur atau pewarnaan hanya ditemukan 1
mikroba maka sesuaikan antibiotik dan teruskan pengobatan selama 7 hari.
Namun jika ditemukan lebih dari 2 bakteri pada pemeriksaan kultur dan
pewarnaaan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroba pada feses dan empedu.
Pada dugaan peritonitis sekunder, perlu dilakukan foto polos abdomen 3
posisi untuk menilai ada tidaknya udara bebas. Jika terdapat udara, maka pasien
tersebut terbukti mengalami peritonitis sekunder. Namun jika tidak terbukti
adanya udara pada pemeriksaan radiologi tersebut maka perlu dipikirkan
diagnosis lain seperti kolesistitis, pankreatitis, divertikulitis, kolitis, pelvic
inflamatory disease (PID), penyebab kelainan ginekologi atau saluran cerna
lainnya. Selain pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi, perlu dilakukan

25
pemeriksaan lanjutan lainnya seperti CT-scan, USG abdomen, pemeriksaan
laboratorium: amilase serum, lipase, bilirubin dan lainnya. Sementara menunggu
hasil dari pemeriksaan tersebut, dapat dimulai terapi suportif ataupun pemberian
antibiotik empiris pada pasien.
Kemudian setelah didapatkan hasil dari pemeriksaan penunjang tersebut,
maka pasien harus diputuskan perlu atau tidaknya dilakukan operasi dan ada
tidaknya abses peritoneal. Jika terdapat abses peritoneal maka dapat dilakukan
drainase pada abses tersebut. Teknik drainase absces pertaneus bergantung pada
lokasi terkumpulnya cairan yang menyebabkan pasien mengalami infeksi.
Pemasangan drainase absces pertaneus dimulai dengan standard aseptik dan
anestesi lokal dengan lidokain. Selanjutnya dilakukan aspirasi diagnostik dengan
menggunakan spuit, lalu diikuti dengan pemasangan kateter jika cairannya
purulen, atau juga dapat menggunakan trokar. Abses yang hanya berukuran <5 cm
dapat dilakukan aspirasi saja.
Indikasi operasi pada pasien peritonitis antara lain peritonitis yang
disebabkan oleh kolitis iskemik, ruptur apendiks, pankreatitis ataupun
divertikulitis. Tujuan dari operasi adalah untuk menghilangkan proses patologi
yang menyebabkan peritonitis, mengurangi kontaminasi bakteri, menyediakan
drainase yang adekuat serta mencegah terjadinya sepsis. Terapi operatif adalah
yang paling efektif. Operasi dilakukan dengan dua cara, laparotomi atau
laparoskopi.
Laparotomi biasanya dilakukan melalui upper atau lower middle incision
(bergantung pada dugaan lokasi patologis). Laparatomi diindikasikan pada pasien
yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya sindrom kompertemen abdominal
(contohnya: pasien dengan distensi intestinal maupun pada edema organ intra
abdomen), membuktikan penyebab peritonitis, mengontrol sumber sepsis dengan
membuang organ yang meradang atau iskemik (atau menutup organ yang bocor),
melakukan pencucian kavum peritoneum yang efektif.5,15
Laparaskopi dapat dilakukan pada pasien peritonitis dengan etiologi yang
belum jelas. Laparoskopi dapat untuk penanganan apendisitis akut dan peritonitis
lain yang bersifat lokal.

26
setelah itu terapi konservatif dan antibiotik dilanjutkan hingga gejala-
gejala mereda, terjadi demam 48 jam dan jumlah leukosit normal. Jika kondisi
pasien tidak membaik maka kemungkinan terjadi proses penyakit menetap atau
dapat juga terjadi abses/peritonitis tersier, maka harus diobservasi lagi dan
tentukan apakah ada indikasi untuk operasi lagi atau hanya dengan pengobatan
antibiotik.
Pemilihan antibiotik empiris pada tatalaksana peritonitis harus dibedakan
pada peritonitis primer dan sekunder. Pada peritonitis primer yang disebabkan
oleh SBP, pilihan antibiotik empirisnya adalah ceftriaxon 2 x 1 gr IV. Jika pada
pasien dengan alergi penicillin dapat diberikan moxifloxacin 400 mg IV atau oral
dalam 24 jam. Pemberian terapi ini diberikan sealam 5 hari. Sedangkan untuk
profilaksis SBP pada pasien sirosis hepatis dengan hematemesis-melena dapat
diberikan ciprofloxacin 2 x 500 mg PO selama 7 hari, atau ceftriaxone 1 x 1 gr IV
jika pasien masih dipuasakan, lalu dapat dilanjutkan ciprofloxacin 2 x 500 mg PO
jika perdarahan sudah terkontrol. Pada sirosis dengan asites, dapat diberikan
profilaksis dengan trimetropimsulfametoxazol 1x1 PO, atau jika ada alergi sulfa,
dapat diberikan ciprofloxacin 1 x 500 mg PO.14
Peritonitis sekunder akibat esofagus, gaster, usus halus, appendiks,
maupun kolon diberika terapi empiris berupa ertapenem 1 x 1 gr, atau jika
terdapat alergi penicillin, dapat diberikan ciprofloxacin 2 x 400 mg IV +
metronidazole 3 x 500 mg. Jika pasien dalam kondisi berat atau imunokompromis
dapat diberikan piperacillin/tazobactam 4 x 3,375 gr IV, atau jika alergi penicillin
(non-severe), berikan cefepime 3 x 1 gr IV plus metronidazole 3 x 500 mg IV,
atau jika alergi penicillin berat, berikan vancomycin + Aztreonam 3 x 1 gr IV atau
Ciprofloxacin 3 x 400 mg IV + Metronidazole 3 x 500 mg IV. Pemberian
antifungi pada terapi peritonitis tidak diindikasikan kecuali pasien memiliki faktor
risiko sebagai berikut: perforasi esofagus, imunosupresi, terapi jangka panjang
antasida atau antibiotik, perawatan lama di rumah sakit, dan kebocoran saluran
pencernaan persisten. Pemberian Fluconazole 1 x 400 – 800 mg IV/PO
direkomendasikan dengan kondisi klinis stabil dan tidak mendapat terapi azole
jangka panjang. Sedangkan Micafungin 1 x 100 mg IV direkomendasikan pada

27
pasien dengan kondisi klinis tidak stabil atau telah mendapat terapi azole jangka
panjang.14

2.7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis bakterial dapat dibagi menjadi
komplikasi dini dan lanjut, yaitu : 2,16,17
 Komplikasi dini
Septikemia dan syok septik
Syok hipovolemik
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan
multi sistem
Abses residual intraperitoneal
Portal pyemia (misal abses hepar)

 Komplikasi lanjut
Adhesi
Obstruksi intestinal rekuren

28
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel –
sel, dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum. Berdasarkan penyebabnya, peritonitis dibedakan
menjadi peritonitis primer, sekunder dan tersier.
Peritonitis primer yang paling sering adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Penyebab peritonitis sekunder
paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus
duodenale, serta perforasi kolon. Peritonitis tersier biasanya terjadi pada pasien
dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien
imunokompromise. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil,
bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri
abdomen yang hebat, dinding perut akan teras tegang karena iritasi
peritoneum.
Tatalaksana meliputi bedah maupun non bedah. Pembedahan
meliputi laparatomi ataupun laparaskopi. Pada peritonitis primer, tatalakasana yg
diberikan berupa pengobatan antibiotik empiris berdasarkan profil patogen yang
paling memungkinkan sebelum ada hasil kultur. Pada peritonitis sekunder, terapi
pembedahan berupa laparotomi atau laparoskopi. Laparatomi diindikasikan pada
pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya sindrom kompertemen
abdominal, membuktikan penyebab peritonitis, mengontrol sumber sepsis dengan
membuang organ yang meradang atau iskemik, dan melakukan pencucian kavum
peritoneum yang efektif, seperti pada peritonitis umum. Laparoskopi dapat
dilakukan pada keadaan tertentu, seperti saat etiologi peritonitis masih belum
jelas, penanganan apendisitis akut, dan pada peritonitis yg bersifat lokal. Pada
peritonitis tersier pengobatan diberikan dengan antibiotika IV atau ke dalam
peritoneum.

29
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain
tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel
sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

30
Daftar Pustaka

1. Mattson Carol Porth, Matfin Glen. Patophysiology Concepts of Altered


Health Disease, 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2009
2. Schwartz et al. 2000. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore:
Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467
3. Wim de jong, Sjamsuhidajat R, Lambung dan Duodenum-bab 31, Buku
Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2,EGC, Jakarta: 2011,
4. Carol Matson Porth, Structure and Function of the Gastrointestinal Tract,
Essential of Pathophisiology, Lippincott Williams & Wilkins, Wiskonsin:
2004,
5. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
6. Doherty, Gerrad. Peritoneal cavity in current surgical diagnosis &
treatment. 12th ed. US: Mc Graw Hill Inc; 2006
7. Price Wilson, Peritonitis, patofisiologi saluran cerna, PATOFISIOLOGI
(Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit), Jilid 1, ed: 8. Alih Bahasa: Peter
Anugrah, EGC, Jakarta: 1995,
8. Iwan Ekayuda (editor), Kelainan Saluran cerna Bagian Distal, Radiologi
Diagnostik, ed: 2. Divisi Radiologi Diagnostik, Departemen Radiologi FK
– UI, Jakarta: 2005
9. Sabatine S Marc. Pocket Medicine, 6th ed. Wolters Kluwer. 2015
10. J.A.Lee, Division Of Surgery, San Francisco, Peritonitis – secondary,
http://www.medlineplus/ency/encyclopedia-Ah-Ap/peritonitis-
secondary00312.html
11. Haskin – Teplick, disease of the digestive system, Roentgenologic
Diagnosis, W.B. Saunders Company, United States of America
12. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition.
AppeltonCentury Corp, Hal784-795

31
13. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
14. Adkinson Franklin, et al. Antibiotic Guidelines 2015-2016 Treatment
Recommendations For Adult Inpatients. Johns Hopkins Medicine
15. 14. Abd Elaal MM, et al. Evaluation of different therapeutic approaches
for spontaneus bacterial peritonitis. Arab J Gastroenterol. 2012 Jun.13(2):
6570.
16. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-
abdomen dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr.
Widjaja Kusuma, Binarupa Aksara, Jakarta
17. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article,
http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css

32

Anda mungkin juga menyukai