PENDAHULUAN
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan
keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi
jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang
kepala yang terdiri dari :Tulang hidung, Tulang arkus zigomatikus, Tulang mandibula, Tulang
maksila, Tulang rongga mata Gigi dan Tulang alveolus .
Penyebab terbanyak dari fraktur maksilofasial adalah kecelakaan lalu lintas.
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu prioritas penanggulangan penyakit tidak menular
berdasarkan Kepmenkes 116/Menkes/SK/VIII/2003. Kecelakaan lalu lintas menempati
urutan ke 9 pada DALY (Disability Adjusted Life Year) dan diperkirakan akan menjadi
peringkat ke-3 di tahun 2020, sedangkan di negara berkembang menempati urutan ke-2.
Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur
kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur dento-alveolar,
fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.
Gejala klinis yang dapat di timbulkan akibat adanya fraktur maksilofacial adalah
pembekakan wajah yang luas , maloklusi pada gigi , kebocoran cairan cerebrospinal akibat
secondary fraktur pada tulang ethmoidalis, penglihatan ganda (diplopia) dapat terjadi akibat
kerusakan dinding orbita. Pathofisiologi fraktur pada maxilari dan mandibular seringkali
disebabkan oleh adanya trauma kepala yang disertai dengan luka serius sehingga
1
menyebabkan kerusakan pada os maxilla. Ketidaknormalan ini sering terjadi secara akut
sehingga dibutuhkan penanganan yang cepat dan tepat.
Diagnosis Fraktur ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.Anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma . Pemeriksaan fisik dengan adanya
deformitas , maloklusi, atau pun penglihatan ganda . Pemeriksaan penunjang terdiri atas foto
skull ap/lat, waters ,panoramic dan ct-scan.
Tujuan utama perawatan fraktur maksilofasial adalah rehabilitasi penderita secara
maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi pengunyahan,
perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi estetis serta
memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya mobilitas segmen tulang Jika
treatment yang diberikan kurang tepat akan menyebabkan abnormalitas permanen pada
bentuk tulang yang dapat berdampak pada menurunya fungsi sebenarnya. Penanganan
sebaiknya dilakukan sebelum tulang yang telah mengalami kelainan atau abnormal bertaut
atau membentuk jaringan ikat antara tulang-tulang abnormal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
DEFINISI
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu
ETIOLOGI
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas
adalah penyebab utama trauma maksilobasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan
pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi
pada pria dengan batas usia 21-30 tahun. Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering
terjadi pada pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang
keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya, seperti tidak
menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan rendahnya kesadaran tentang beretika
lalu lintas. Sosin, Sak dan Holmgreen (1990), dalam studi mortalitas Pusat Nasional Statistik
Kesehatan data dari 1979-1986, menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda
motor yang tidak menggunakan helm meninggal karena cidera kepala yang mereka alami.
II.3
KLASIFIKASI
Cedera oromaksilofasial diklasifikasikan menjadi tiga klasifikasi (Yokoyoma dkk,
2006), yaitu:
1)
Fraktur kerangka wajah (meliputi fraktur mandibula, fraktur maksila, fraktur tulang
3)
regio maksilofasial. Fraktur yang melibatkan tulang maksilofasial yang kompleks yang
meliputi sepertiga wajah bagian atas, tengah dan bawah disebut juga dengan fraktur
Panfasial. Tulang tulang yang biasanya terlibat dalam fraktur panfasial yaitu: os frontale,
kompleks zygomaticomaxillary, kompleks naso-ethmoid, os maksila, dan os mandibula.
II.4 ANATOMI MAKSILOFASIAL
Secara
dua bagian
yaitu
Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan berbeda. Tulang
dengan struktur yang tebal disebut sebagai 'buttress' yang menopang/penyangga proporsi
kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan proyeksi antero-posterior. Buttress pada maksila
meliputi tulang nasomaksilaris pada medial, tulang zigomatikomaksilaris pada lateral dan tulang
pterygomaksilaris pada posterior. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem penyangga unitunit fungsi pada oral, nasal dan orbital.
Pemeriksaan Kepala
Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial dan jaringan lunak
disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua darah dan benda asing secara hati-hati.
7
Seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak sebaiknya dicatat pada saat ini, begitu juga
dengan cedera yang mengenai tulang. Trauma pada jaringan lunak dapat dikarakteristikan
menjadi abrasi, kontusio, luka bakar, avulsi, dan laserasi. Seluruh luka laserasi dan avulsi
harus dicatat kedalaman dan keterkaitannya dengan struktur vital, seperti saraf, glandula
parotis dan sebagainya .
Rangka
kraniofasial
terdiri
dari
pertautan
dan
penonjolan
tulang,
maka
pemeriksaannya harus meliputi ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas, pergeseran,
dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hati terhadap kranium,
sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital kompleks, artikulasi zygomatik, dan
mandibula (Marciani dkk, 2009).
2.
maksila sebagai struktur maksila itu sendiri atau hubungannya dengan zygoma atau tulang
nasal. Untuk memeriksa adanya mobilitas maksila, kepala pasien harus distabilisasikan
dengan cara menekan kening pasien cukup kuat dengan satu tangan. Dengan ibu jari dan
telunjuk tangan lainnya mencengkram maksila pada satu sisi, dan digerakkan dengan tekanan
yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas maksila.
Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah dengan mempalpasi dimulai
dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa pasien yang mengalami fisik dari arah
belakang apabila memungkinkan. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial dari cincin
supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan saluran nasofrontalis dipalpasi secara
bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang cincin
supraorbital menuju sutura zygomatikofrontalis. Jaringan lunak yang menutupinya digeser
dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari
medial ke lateral untuk mengevaluasi sutura zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian yang
mengalami nyeri tekan, dan baal juga dicatat, karena hal ini menunjukkan adanya fraktur atau
cedera pada saraf. Arcus zygomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tandatanda asimetri, dari aspek posterior atau superior. Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa
terjadi pergeseran septum, dan adanya perdarahan atau cairan .
Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih dahulu, karena trauma
dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan. Hampir 40% fraktur tengah wajah mengenai
daerah mata. Pemeriksaan yang akurat sulit dilakukan pada pasien yang mengalami cedera
neurologis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan hitungan jari, deteksi
gerakan, atau penggunaan.
Hematoma aurikuler telinga harus segera didiagnosa dan dilakukan terapi. Mastoid
harus diperiksa dari kemungkinan adanya ekimosis yang disertai dengan hemotimpanum dan
otorrhea, karena merupakan indikasi terjadinya fraktur basis tulang kranial. Adanya laserasi
dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda waspada terhadap kemungkinan cedera pada
kondil mandibula.
Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat. Adanya fraktur septum hidung
dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi hidung. Hematoma septum hidung harus
didiagnosa dan dievakuasi segera untuk menghindari terjadinya nekrosis tulang rawan septum
hidung yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan bentuk hidung .
Tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk kemungkinan terjadinya anestesi
atau parestesi. Saraf kranialis ketiga, empat, lima, enam dan tujuh dites untuk mengetahui
apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien mengangkat alisnya dan meretraksi sudut mulut?
Apakah bola mata bisa bergerak bebas, dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar dan
berakomodasi?
3.
Pemeriksaan Mandibula
Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah, terjadi
pergeseran lateral, atau inferior. Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan jalan
memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada penyimpangan
juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah dan jarak interinsisal dicatat. Apabila
ada meatus akustikus eksternus penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat
dimasukkan dengan telapak mengarah ke bawah dan ke depan untuk melakukan palpasi
endaural terhadap caput condilus pada saat istirahat dan bergerak. Pada fraktur subcondilus
tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang Amat sangat atau caput mandibula tidak
terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari prosesus kondilaris
sampai ke simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dan kelainan kontinuitas
harus dicatat.
Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi, yaitu kondilar,
ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah prossessus koronoid (gambar 5). Selain
itu fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe frakturnya, yaitu fraktur
greenstick, simpel, kominuted, dan kompon (gambar 6).
10
4.
seperti biasanya? Dataran oklusal dari maksila dan mandibula diperiksa kontinuitasnya, dan
adanya step deformitas. Bagian yang giginya mengalami pergeseran karena trauma atau
alveoli yang kosong karena gigi avulsi, juga dicatat. Apabila pasien menggunakan protesa,
maka protesa tersebut harus dilepas dan diperiksa apakah ada rusak atau tidak. Jaringan lunak
mulut diperiksa dalam kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi, ekimosis, dan hematom.
Lidah disisihkan, sementara itu dasar mulut dan orofaring diperiksa, apakah terdapat
serpihan-serpihan gigi, restorasi, dan beku darah. Arcus zygomatikus dan basisnya dipalpasi
bilateral. Maksila harus dicoba degerakkan dengan memberikan tekanan pada prosesus
alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Akhirnya gigi-gigi dan prosesus
alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri tekan atau mobilitas .
Pemeriksaan ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi yang hilang. Adanya
gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan melakukan radiografi pada dada dan
perut. Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkan tersumbatnya jalan pernapasan.
Adanya step dan pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur dentoalveolar
ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open bite lateral) juga dapat mengindikasikan
11
adanya fraktur mandibula atau gangguan TMJ. Sedangkan gigitan terbuka anterior (open bite
anterior) mengindikasikan adanya fraktur Le Fort (I, II, ataupun III) .
12
Rontgen yang paling baik untuk fraktur wajah bagian tengah adalah proyeksi Waters,
proyeksi wajah lateral, proyeksi wajah posteroanterior, dan proyeksi submental verteks
(Hupp dkk, 2008). Fraktur pada arkus zygomatikus ditunjukkan dengan baik oleh proyeksi
submentoverteks (gambar 8).
13
Gambar 8.Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur wajah bagian tengah
Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan kemungkinan
keterlibatan struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan, maka bisa dilakukan CT Scan
. CT scan mempunyai keunggulan dalam hal tidak adanya gambaran yang tumpang tindih
dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak. Kedua sifat tersebut merupakan penunjang
yang sangat penting dalam melakukan diagnosis yang akurat dari fraktur fasial. Melakukan
14
CT-scan pada kepala merupakan prosedur penyaringan standar untuk menentukan adanya
fraktur kepala dan dapat menunjukkan adanya trauma intrakranial, misalnya hematom intraatau extra-serebral, daerah kontusio, dan edema cerebral .
16
Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan
fraktur fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis
fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai
sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini
memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah
sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur
transmaksilari. Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai dengan
bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur guerin. Kerusakan yang mungkin :
a
Prosesus arteroralis
Palatum durum
17
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara
ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan
ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa
nyeri.Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan
proyeksi wajah anterolateral
Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur
hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur
piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan
18
sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas,
bisa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering
tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah
pada Le Fort I . Garis fraktur melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar
orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga kea rah
lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine. Disebut juga fraktur pyramid. Fraktur
ini dapat merusak system lakrimalis, karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga
fraktur ini sebagai floating maxilla (maksila yang melayang)
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni
secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi,
ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak
bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus
infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya
lengkung rahang atas
19
Prosedur Diagnosis
Diagnosis fraktur maksilla dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran
klinis. Konfirmasi radiologis dengan cara foto waters dan panoramic untuk mengetahuai
apakah ada fraktur lain selain fraktur maksilla ,Evaluasi radiografi harus mencakup semua
struktur dari batas inferior mandibula sampai superior dari sinus frontalis. CT-scan dapat
digunakan pada pada penderita yang mengalami trauma secara luas.
Pemeriksaan Penunjang
21
Pemeriksaan standar untuk fraktur maksila adalah CT Scan slide tipis dengan
potongan koronal dan sagital. Foto polos biasanya tidak terlalu digunakan. Pemeriksaan 3
dimensi diperlukan untuk memudahkan penatalaksanaan, namun tidak terlalu dibutuhkan
untuk mendiagnosisnya.
Penatalaksanaan
Pengelolaan Darurat
Pengelolaan fraktur maksilla terutama ditujukan pada perawatan jalan nafas dan
menghentikan perdarahan,
1. Perawatan jalan nafas
Adanuya pergeseran dan pecahnya tulang akibat fraktur maksila,seta jaringa lunak ,
bekuan darah , gigi / patahan gigi atau benda asing lain akan menyebabkan sumbatan
jalan nafas . jalan nafas dharus dipastikan bersih dari benda asing dan dilakukan
perawatan perdarahan pada nasal danoral . jika terjadi edema pharing atau terjadi
gangguan jalan nafas dan terjadi obstruksi perlu dilakukan trakeostomi.
2. Perawatan perdarahan
Pada umumnya fraktur maksila akan disertai dengan laserasi mukosa oral dan kulit
sehingga timbul perdarah hebat. A.palatina mayor datau a.maksilaris interna dapat
mengalami ruptur akibat gaya geseran dari segmen maksilla . perdarahan dapat diatasi
dengan melakukan penekanan pada pharing posterior jika perdarahan yang terjadi
tidak dapat dihentikan , dapat pula dilakukan ligasi a. Karotis eksterna .
Tindakan operatif
Tindakan berupa reposisi fragmen tulang dan gigi pada kedudukan se
anatomis mungkin metode yang dipilih tergantung dari derajat fragmentasi dan ada
tidaknya gigi pada maksilla dan mandibula tidnakan dapat berupa reposisi dan fiksasi
interna (plate-screw atau wire ) dan inter maksilary wiring .
Pengelolaan fraktur lefort I
22
Bila tidak terjadi infeksi , maka fraktur lefort satu akan sembuh cepat . fraktur
lefort I dengan oklusi yan baik dapat dikelola dengan melakukan fiksasi ntermaksila
dengan menggunakan arch bar dan rubber band , bila tidak didapatkan rubber band
dapat digunakan wire . pergeseran maksila dapat kearah belakang , samping atau
berputar pada sumbu vertikal . segmen fraktur dapat terlepas dan hanya bergantung
oleh jaringa ikat atau mengalami impaksi . reposisi dapat dilakukan dengan mudah
pada fase awal , tetapi apabila terjadi impaksi atau fraktur maksila dengan pergeseran
yang telah lama terjadi , maka reposisi akan memerlukan manipulasi ynag luas atau
traksi anterior.
Tujuan utam pengelolaan fraktur lefort I adalah mengembalikan fungsi oklusi
gigi, dan tindakan ini harus dilakukan sebelum melakukan tindakan fiksasi maksila .
Dilakukan manipulasi maksila pada posisi dimana gigi geligi dalam posisi oklusi
yang baik dan dilakukan traksi ke atas . penekanan mandibula terhadap maksila akan
mereposisi fragmen fraktur dan mempertahankan fragmen pada posisinya sampai
timbul proses penyembuhan. Fiksasi didapat dengan mengantungkan maksila pada
struktur tulang ynag kokoh diatas garis fraktur . pada lefort I dapat menggunakan tepi
bawah orbita , zigoma atau os piriformis sebagai penggantung .selain cara tersebut
diatas dapat pula digunakan plate screw
Fiksasi internal wire pada lefort I
Dengan menggunakan mandibula dan oklusi dental sebagai petunjuk untuk
mereposisi maksila , dilakukan fiksasi infraorbita melalui insisi tepat dibawah tepi
tulang orbita sebelah bwah kelopak mata . ujung kawat 24-25 g , dimasukan melalui
lubang pada tepi infra orbita dan dilakukan diatas tepi infra orbita , kemudian kedua
ujung kawat dengan bantuan jarum diarahkan ke oral , dan dikaitkan pada tepi atas
arch bar . geligi-geligi dipertahankan pada posisi oklusi dengan menggunakan traksi
intermaksillary rubber band sementara itu asisten melakukan tekanan ringan kearah
23
cranio posterior terhadapt tulang pipi untuk mereposisi fraktur maksila kemudian
kawat diuntir melingkar bagian archbar .
Dengan cara ini maksilla dikembalikan pada posisinya dengan oklusi sebagai patokan
terhadap mandibula dan digantungkan oleh kawat dari tepi infra orbital ke bagian atas
arch bar dilanjutkan dengan aprosimasi periosteum dan penutupan kulit.
Pengelolaan pada lefort II
Seperti halnya pada fraktur lefort II , pergeseran fragmen fraktur tergantung
pada derajat , arah gaya penyebab fraktur. Jika fragmen fraktur bergeser kebelakang ,
maka dilakukan reposisi dengantraksi kearah depan sampai didapatkan oklusi yang
baik , dengan patokan mandibula yang intak . setelah dilakukan reposisi dilanjutkan
dengan fiksasi intermaksillary rubber band
Dapat pula dilakukan fiksasi dengan jalan interosseous wiring pada daerah
infra orbital denganserat tidak didapatkan adanya fraktur pada tepi os orbital dan
zygoma . fiksasi dengan kawat penggantung craio maksiller dari proc.zigomatikus os
frontalis , turun melalui jaringan lunak sebelah medial os zigoma ke vestibulum pada
daerah pre molar . kawat pada masing masing sisi berjalan disebelah medial dan
lateral arch bar mandibula . asisten melakukan traksi kearah depan untuk menarik
maksilla pada posisinya sementara operator mempererat kawat penggantung arch bar .
Pengelolaan le fort III
Pada umumnya fraktur lefort III disertai dengan fraktur zygoma dan Hidung /
pengelolaaan fraktur lefort III merupakan pengelolaan fraktur multipel dari wajah.
Metode fiksasi dan reduksi pada multipel wajah dapat dilakukan denganm metode
wiring dan fiksasi metal . kebanyakan fraktur facial multipel dapat dikelola denggan
menggunakan kombinsi fiksasi inter maksiler dan fiksasi internal dengan wire.
II.7.
Prognosis
1. Perdarahan
24
Dapat terjadi pendarahan masif oleh karena trauma akut akibat robekan jaringan
lunak , pembuluh darah yang disebabkan oleh fragmen fraktur . apabila
perdarahan tidak diatasi dapat mengakibatkan ancaman jiwa.
2. Sumbatan jalan nafas
Garis fraktur diatas gigi, kavum nasal ,dan sinus maksilaris akan menyebabkan
sumbatan jalan nafas akibat adanya bekuan darah fragmen tulang dan lepas gigi.
Jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing tersebut , apabila perlu dapat
digunakan nasopharingeal tube atau tracheotomi.
3. Infeksi
Pada fraktur maksila dapat terjadi komplikasi infeksi oleh karena adanya gigi
yang terlepas robekan jaringan lunak pada umumnya akan terjadi infeksi pada
sinus maksilaris jaringan lunak, tindakan yang dilakukan adalah dengan
melakukan dranase dan mengeluarkan benda asing serta pemberian antibiotik
yang adekuat .
4. Komplikasi lambat
Dapat terjadi malunion , obstruksi nasal , chronik sinusitis , maloklusi , deformitas
, gangguan funsi , kelenjar lakrimalis hilangnya fungsi penciuman dan anastesi
II.8 FRAKTUR MANDIBULA
Fraktur mandibula adalah rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat
disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung. Fraktur mandibula dapat
terjadi pada bagian korpus, angulus, ramus maupun kondilus.
Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia dan berfungsi sebagai tempat
menempelnya gigi geligi rahang bawah. Mandibula berhubungan dengan basis kranii dengan
adanya temporo-mandibular joint dan disangga oleh otot otot mengunyah.
25
Mandibula dipersarafi oleh saraf mandibular, alveolar inferior, pleksus dental inferior
dan nervus mentalis. Sistem vaskularisasi pada mandibula dilakukan oleh arteri maksilari
interna, arteri alveolar inferior, dan arteri mentalis.
Menurut R. Dingman dan P.Natvig pada tahun 1969 fraktur pada mandibula dibagi
menjadi beberapa kategori, yakni :
A. Menurut arah fraktur (horizontal/vertikal) dan apakah lebih menguntungkan dalam
perawatan atau tidak
B. Menurut derajat keparahan fraktur (simpel/tertutup/mengarah ke rongga mulut atau
kulit).
C. Menurut lokasi (regio simfisis, regio kaninus, regio korpus, angulus, ramus, prosesus
kondilus, prosesus koronoid)
menghilangkan nyeri. Setelah itu cobalah ketahui mekanisme cedera dan jenis fraktur pada
pasien berdasarkan klasifikasi oleh Dingman dan Natvig.
Bila fraktur pada pasien adalah fraktur tertutup dan tidak disertai adanya dislokasi
atau ada dislokasi kondilus yang minimal, maka dapat ditangani dengan pemberian analgetik,
diet cair dan pengawasan ketat. Pasien dengan fraktur prosesus koronoid dapat ditangani
dengan cara yang sama. Pada pasien ini juga perlu diberikan latihan mandibula untuk
mencegah terjadinya trismus.
Kunci utama untuk penanganan fraktur mandibula adalah reduksi dan stabilisasi. Pada
pasien dengan fraktur stabil cukup dengan melakukan wiring untuk menyatukan gigi atas dan
bawah. Untuk metode ini dapat dilakukan berbagai tindakan. Yang paling banyak dilakukan
adalah dengan menggunakan wire dengan Ivy loops dan dilakukan MMF (maxillomandibular
fixation).
Dapat juga dipasang archbar dan dilakukan IMF (intermaxillary fixation), dilakukan
fiksasi eksternal, dipasang screw, pemasangan Gunning splint juga banyak dilakukan karena
bisa memfiksasi namun pasien tetap dapat menerima asupan makanan. Pada fraktur
kominutiva maupun fraktur fraktur yang tidak stabil atau fraktur dengan dislokasi segmen
ditangani dengan pembedahan dengan ORIF (open reduction internal fixation) baik yang
rigid maupun non rigid.
II.9FRAKTUR ZYGOMA
Fraktur zigoma merupakan merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi.
Tingginya insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih
menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan perempuan.
Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah dikarenakan kecelakaan kendaraan
bermotor. Bilateral fraktur zigoma jarang terjadi, hanya sekitar 4 % dari 2067 kasus yang
diteliti oleh Ellis et al. Zigoma mempunyai peran yang penting dalam membentuk struktur
wajah, dan disrupsi dari posisi zigoma dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh
karena itu trauma pada zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat.
Klasifikasi fraktur komplek zigomatikus adalah:
Fraktur stable after elevation: (a) hanya arkus(pergeseran ke medial), (b) rotasi
pada sumbu vertikal, bisa ke medial atau ke lateral.
27
Fraktur unstable after elevation: (a) hanya arkus (pergeseran ke medial); (b)
rotasi pada sumbuvertikal, medial atau lateral; (c) dislokasi en loc, inferior,
medial, posterior, atau lateral; (d)comminuted fracture.
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan dari arah
frontal, lateral,superior, dan inferior. Diperhatikan simetri dan ketinggian pupil yang
merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita dan aspek lateral orbita, adanya
ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva, abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan
enoptalmus; yang merupakan gejala yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap
jaringan lunak sekitarnya. Tanda yang khas dan jelas pada trauma zigoma adalah hilangnya
tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang
normal pada daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus. Deformitas pada
tepi orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada tepiorbital lateral dan
infraorbita. Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk dibawah margin infraorbita,sepanjang
zigoma, menekan ke dalam jaringan yang oedem untuk palpasi secara simultan dan
mengurangi efek visual dari oedem saat melakukan pemeriksaan ini.
Penatalaksanaan fraktur zigoma
zygomatiko maxilary dan maxilary serta titanium mesh pada dasar orbita yang berguna untuk
reduksi dan menstabilisasi tulang zigoma, maksilla dan dasar orbita .
28
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas pasien
Nama
: Tn. EDN
Usia
: 24 tahun
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Alamat
Agama
: Islam
Bangsa / Suku
: Jawa
Tanggal MRS
: 27 Desember 2014
: 2 Januari 2015
29
Pasien tidak pernah menderita gejala penyakit serupa sebelumnya. Riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, alergi disangkal.
: Cukup
2. Kesadaran
: Compos mentis
3. Vital Sign
Tekanan Darah
: 130/80 mmHg
Nadi
: 90 x/menit
RR
: 24 x/menit
Suhu
: 36,5 C
B. Pemeriksaan Khusus
1. Kulit
2. Kepala
a. Mata
Konjungtiva
Sklera
: ikterus -/-
Palpebra
: oedem +/-
Pupil
b. Telinga
30
Lubang telinga
Bentuk
: Normal/Normal
Lubang
: Normal/Normal
Pendengaran
: Normal/Normal
c. Hidung
Sekret (-), perdarahan (+), massa (-), deformitas (+), krepitasi (+).
d. Mulut
Bibir
Lidah
e. Leher
KGB
Tiroid
f. Thorax
Paru
Inspeksi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: redup
Auskultasi
g. Abdomen
31
Inspeksi
Auskultasi
: BU (+) Normal
Palpasi
: Soepel
Perkusi
: Tympani
h. Ekstremitas
Akral Hangat
Oedem -
i. Status Lokalis
Regio maksilofacial :
Look: Deformitas (+), Edema (+), Vulnus Abrasi Regio Buccal Dextra (+)
Feel : Krepitasi (+), Nyeri tekan (+), Floating Maksilla (+)
Move : Maloklusi (+), Palpasi bimanual mandibula (+), ROM Terbatas
32
33
34
3.7 Diagnosa
Close Fraktur Maksila Le Fort III + Close Fraktur Zygoma Dextra + Close Fraktur
Parasimfisis Mandibulla Dextra
3.9 Penatalaksanaan
Pro archbar + suspensi wiring + trakeostomi
Infus RL:D5=2:1 (1500cc/24jam)
Injeksi Antrain 3 x 1000 mg
35
: Lemah
Kesadaran
: Compos mentis
Vital Sign
Tekanan Darah
: 150/70 mmHg
Nadi
: 84 x/menit
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 36,8 C
Konjungtiva
Sklera
: ikterus -/-
Palpebra
: oedem +/-
Kepala
Leher
KGB
Tiroid
Thoraks
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: redup
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
: BU (+) Normal
Palpasi
: Soepel
Perkusi
: Tympani
Ekstremitas
Akral Hangat
Oedem -
Status Lokalis:
37
Regio Maksilo-facial
Look: Deformitas (-), Edema (+), Vulnus Abrasi Regio Buccal Dextra (+), Tampon
Regio Colli
Kanul trakeostomi (+)
Foto Rontgen Skul AP / Lat Post Op (5 Januari 2015)
38
39
Laporan Operasi
40
41
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis dengan Close Fraktur Maksila Le Fort III + Close
Fraktur Zygoma Dextra + Close Fraktur Parasimfisis Mandibulla Dextra
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis yang
dilakukan. Dari anamnesis didapatkan riwayat trauma pada wajah. Pasien merasa
nyeri dan oedem pada wajah. Pasien juga merasa kesulitan membuka mulut dan
mempertemukan antara gigi graham atas dan bawah. Dari pemeriksaan fisik
terlihat ada nya oedem dan deformitas wajah kanan dan kiri, krepitasi di bagian
nasal, nyeri tekan, floating maksila (+), palpasi bimanual mandibula (+) dan pada
pemeriksaan lefort ditemukan lefort III (+)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Fonseca R.J. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis: Elsevier
Saunders. 2005.
2. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery.
Ed. Ke-5. Mosby Elsevier. St. Louis. 2008.
42
3. Hiatt James L.& Gartner Leslie P. Textbook of Head and Neck Anatomy, 4th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2010.
4. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. Oral and Maxillofacial Surgery Volume
II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis. 2009.
5. Michael Miloro. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. BC
Decker Inc. Hamilton. London. 2004
6. Mitchell
BJ.
Maxillofacial
Trauma.
2006.
WD.
Buku
Ajar
Ilmu
Bedah.
Penerjemah.
R.Sjamsuhidayat.
EGC.Jakarta. 1997.
43