PENDAHULUAN
Dari semua pembengkakan yang terjadi pada rongga mulut, 9% merupakan tumor
odontogenik dan kira-kira 1% dari lesi tersebut merupakan ameloblastoma. Ameloblastoma
terjadi pada maksila sekitar 20% kasus, paling sering terjadi pada region kaninus dan antral.
Ameloblastoma terjadi pada mandibula sekitar 80% kasus. Yang mana 70% terjadi di daerah
molar atau pada ramus asendens, 20% pada regio premolar dan 10% di regio anterior.
Ameloblastoma biasanya didiagnosa pada pasien yang umurnya antara dekade empat dan
dekade lima, kecuali pada kasus tipe unikistik yang biasanya terjadi pada pasien yang berusia
antara 20 sampai 30 tahun dengan tidak ada predileksi jenis kelamin. Sekitar 10-15% tumor
ini terjadi berhubungan dengan gigi yang tidak erupsi.2
Kerugian dari reseksi rahang adalah terjadinya deformitas wajah dan kehilangan
fungsi apabila tidak direkonstruksi dengan tepat.3 Defek pada mendibula dapat dilakukan
rekonstruksi segera atau ditunda. Defek pada maksila dapat diatasi dengan dua cara: yang
1
pertama dengan bedah apabila defek tidak luas dapat ditutup dengan mukosa bukal dan
palatal, sedangkan defek yang sangat luas atau pasien yang memiliki resiko tinggi melakukan
operasi dapat menggunakan protesa obturator.4 Berdasarkan beberapa literatur, tumor
odontogenik menunjukkan adanya variasi geografi dalam distribusi dan frekuensinya.
Beberapa studi dari berbagai belahan dunia yang berbeda menunjukan adanya perbedaan
yang relatif terjadinya tumor odontogenik.6
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari ameloblastoma.
2. Untuk mengetahui etiologi dan pathogenesis dari ameloblastoma.
3. Untuk mengetahui tipe-tipe ameloblastoma
4. Untuk mengetahui gambaran histopatologi dari ameloblastoma
5. Untuk mengetahui gambaran radiografi dari ameloblastoma
6. Untuk mengetahui cara penegakan diagnosis dari ameloblastoma
7. Untuk mengetahui diagnose banding dari ameloblastoma
8. Untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada ameloblastoma
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari ameloblastoma
10. Untuk mengetahui rekontruksi pasca bedah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ameloblastoma ialah tumor yang berasal dari jaringan organ enamel yang tidak
mengalami diferensiasi membentuk enamel. Tumor ini merupakan tumor jinak odontogenik
yang pertumbuhanya lambat, bersifat lokal dan destruktif, sehingga seringkali tidak disadari
oleh pasien sampai ditemukan adanya pembengkakan pada rahang. Sebagian besar dari tumor
ini bersifat jinak. Hal ini telah dijelaskan sangat tepat oleh Robinson bahwa tumor ini
biasanya unisentrik, nonfungsional, pertumbuhannya bersifat intermiten, secara anatomis
jinak dan secara klinis bersifat persisten.1,2
Pada saat ini sebagian penulis mempertimbangkan bahwa tumor ini tumbuh dari
berbagai asal, walaupun rangsangan awal dari proses pembentukan tumor ini belum
diketahui.
Tumor ini dapat berasal dari :
Sisa sel dari enamel organ atau sisa-sisa dental lamina. Struktur mikroskopis
dari beberapa spesimen dijumpai pada area epitelial sel yang terlihat pada
perifer berbentuk kolumnar dan berhubungan dengan ameloblast yang pada
bagian tengah mengalami degenerasi serta menyerupai retikulum stelata
Sisa-sisa dari epitel Malassez. Terlihat sisa-sisa epitel yang biasanya terdapat
pada membran periodontal dan kadang-kadang dapat terlihat pada tulang
spongiosa yang mungkin menyebabkan pergeseran gigi dan menstimulasi
terbentuknya kista odontogenik
Epitelium dari kista odontogenik, terutama kista dentigerous dan odontoma.
Pada kasus yang dilaporkan oleh Cahn (1933), Ivy (1958), Hodson (1957)
mengenai ameloblastoma yang berkembang dari kista periodontal atau kista
dentigerous tapi hal ini sangat jarang terjadi. Setelah perawatan dari kista
odontogenik, terjadi perkembangan dan rekurensi menjadi ameloblastoma.
3
Basal sel dari epitelium permukaan dari tulang rahang. Siegmund dan Weber
(1926) pada beberapa kasus ameloblastoma menemukan adanya hubungan
dengan epiteluim oral.1,3
Ada tiga tipe subtipe secara klinis untuk tujuan perawatan antara lain tipe
solid/multikistik (92%), tipe unikistik (6%), dan tipe ekstraosseus/periferal (2%).1
Tumor ini tumbuh invasif secara lokal dan memiliki angka rekurensi yang
tinggi. Tumor ini menyerang pasien pada seluruh lapisan umur. Tidak ada predileksi
jenis kelamin yang signifikan mengenai jenis kelamin. Tumor ini jarang terjadi pada
anak yang usianya lebih kecil dari 10 tahun dan relatif jarang terjadi pada usia 10
sampai 19 tahun. Tumor ini menunjukan angka prevalensi yang sama pada usia
dekade ketiga sampai dekade ketujuh. Sekitar 85% tumor ini terjadi pada mandibula,
paling sering pada daerah molar di sekitar ramus asendens. Sekitar 15% tumor ini
terjadi pada maksila biasanya pada regio posterior. Gambaran klinis yang sering
muncul adalah pembengkakan atau ekspansi rahang yang tidak terasa sakit. Jika tidak
dirawat, lesi akan tumbuh lambat membentuk massa yang masif. Rasa sakit dan
parastesia jarang terjadi bahkan pada tumor yang besar.2
Tumor ini muncul dengan berbagai macam gambaran histologis antara lain
variasi dalam bentuk folikular, pleksiform dan sel granular. Walaupun terdapat
bermacam tipe histologis tapi hal ini tidak memperngaruhi perawatan maupun
prognosis.4
Tipe solid atau multikistik tumbuh invasif secara lokal memiliki angka
kejadian rekurensi yang tinggi bila tidak diangkat secara tepat tapi dari sisi lain tumor
ini memiliki kecenderungan yang rendah untuk bermetastasis.5 Ameloblastoma tipe
solid/multikistik ini ditandai dengan angka terjadi rekurensi sampai 50% selama 5
tahun pasca perawatan. Oleh karena itu, ameloblastoma tipe solid atau multikistik
harus dirawat secara radikal (reseksi dengan margin jaringan normal disekeliling
tumor). Pemeriksaan rutin jangka panjang bahkan seumur hidup diindikasikan untuk
tipe ini.4
4
Gambar 1. Adanya Tampilan Multilokular Ameloblastoma besar pada sudut
mandibula, dengan ekspansi ekstensif (panah solid) dan resorpsi gigi yang
bersebelahan panah terbuka).
(Sumber: Whaites E. Essentials of Dental Radiography and Radiology. 4 ed. United
Kingdom: Elsevier Health Sciences; 2006)
Ameloblastoma unikistik sering terjadi pada pasien muda, 50% dari tumor ini
ditemukan pada pasien yang berada pada dekade kedua. Lebih dari 90%
ameloblastoma unikisik ditemukan pada mandibula pada regio posterior.2
5
rekurensi yang tinggi yaitu sekitar 60%. Dengan demikian enukleasi simple
merupakan perawatan yang tidak sesuai untuk lesi ini dan perawatan yang lebih
radikal dengan osteotomi periferal atau terapi krio dengan cairan nitrogen atau
keduanya lebih sesuai untuk tumor ini.4
6
neoplasma dan tumor ini biasanya bersifat jinak, tidak mengalami rekurensi setelah
eksisi simpel komplit.4,5
7
Gambar 4. Ameloblastoma tipe follikular (www. pathologyOutlines.com)
8
2.4.3 Tipe Acanthomatous
Gambar 6. Tipe Acanthomatous (Sapp JP, Eversole LR, Wysocki GP. Contemporary
Oral and Maxillofacial Pathology. 2nd ed. Missouri : Mosby, 1997: 140.)
Pada ameloblatoma tipe sel granular ditandai dengan adanya transformasi dari
sitoplasma biasanya berbentuk seperti sel retikulum stelata, sehingga memberikan
gambaran yang sangat kasar, granular dan eosinofilik. Tipe ini sering melibatkan
periferal sel kolumnar dan kuboidal. Hartman melaporkan 20 kasus dari
ameloblastoma tipe sel granular dan menekankan bahwa tipe sel granular ini
cenderung merupakan lesi agresif ditandai dengan kecenderungan untuk rekurensi
bila tidak dilakukan tindakan bedah yang tepat pada saat operasi pertama. Sebagai
tambahan, beberapa kasus dari tumor ini dilaporkan pernah terjadi metastasis.7
9
Gambar 7. Tipe Sel Granular (Sapp JP, Eversole LR, Wysocki GP. Contemporary
Oral and Maxillofacial Pathology. 2nd ed. Missouri : Mosby, 1997: 140.)
Ameloblastoma tipe sel basal ini mirip karsinoma sel basal pada kulit. Sel
epithelial (basaloid) tumor lebih primitif dan kurang kolumnar (kuboid) dan biasanya
tersusun dalam lembaran-lembaran atau jalinan tipis tanpa retikulum stelata. Tipe
basal ini jarang terjadi dibandingkan tipe lainya.7
Gambar 8. Tipe Sel Basal (Sapp JP, Eversole LR, Wysocki GP. Contemporary Oral
and Maxillofacial Pathology. 2nd ed. Missouri : Mosby, 1997: 140.)
10
2.5.1 Multiokular
(a) (b)
Gambar 10 (a) Gambaran Ameloblastoma multilokular dengan Panoramik Foto,
memperlihatkan kelainan di regio caninus pada pasien anak. (b) Ameloblastoma pada regio
molar rahang bawah .(5)
11
2.5.2 Uniokular
Pada banyak pasien lesi ini muncul sebagai suatu radiolusensi yang
mengelilingi mahkota M3, yang tidak erupi, batas jelas dengan betuk beraturan atau
tidak. Persentasi kejadianya 5-15% dari seluruh ameloblastoma. Biasanya tidak
tampak adanya karakteristik atau gambaran yang patologis. Bagian periferal dari lesi
biasanya licin walaupun keteraturan ini tidak dijumpai pada waktu operasi. Pada lesi
lanjut akan mengakibatkan pembesaran rahang dan penebalan tulang kortikal dapat
dilihat dari gambaran roentgen.1
Gambar 12. (a).Lesi unilokuler di Regio Caninus meluas ke premolar. (b) Hasil
CTs, lesi berada pada lokasi gigi caninus meluas sampai premolar satu dan kedua. (1)
12
2.6 Diagnosis
2.6.2. Radiologis
Pada pasien dengan pembengkakan di rahang, langkah pertama dalam diagnosis
adalah radiografi panoramik. Tampak radiolusen unilokular atau multilokular dengan tepi
berbatas tegas. Tulang yang terlibat digantikan oleh berbagai daerah radiolusen yang berbatas
jelas dan lesi memberi suatu bentuk seperti sarang lebah atau gelembung sabun. Namun, jika
pembengkakan yang keras dan fixed dengan jaringan yang berdekatan, CT-scan disarankan.
Meskipun dosis radiasi jauh lebih tinggi di CT-scan, perlunya mengidentifikasi kontur lesi,
isinya dan ekstensinya ke dalam, membuatnya lebih dipilih untuk diagnosis. Foto polos tidak
menunjukkan interfaces antara tumor dan soft tissues yang normal, hanya interface antara
tumor dan tulang yang normal yang dapat dilihat. Aksial viewdalam gambar CT-scan dengan
kontras dan koronal juga aksial viewdalam magnetic resonance imaging (MRI) jelas
menunjukkan kedua jenis interface. Meskipun tidak ada perbedaan yang cukup antara MRI
dan CT untuk mendeteksi komponen kistik tumor, untuk memvisualisasikan proyeksi papiler
ke dalam rongga kistik, MRI sedikit lebih unggul. MRI sangat penting untuk mengetahui
gambaran yang tepat dari suatu ameloblastoma maksilaris yang advanced dan dengan
demikian dapat menentukan prognosis dari operasi.6
13
2.6.3 Pemeriksaan patologi anatomi
i. Insisi Biopsi
Insisi biops idiindikasikan pada lesi yang lebih besar dari 1-2 cm dan untuk lesi besar
yang berkapsul atau neoplasma yang berpotensi keganasan. Dengan insisi biopsi karakteristik
dari suatu neoplasma dapa tditentukan dengan baik, seperti diferensasi dan kemampuan
invasi.Teknik insisi biopsi meliputi anestesi lokal terlebih dahulu, kemudian bagian wedge-
shaped dari bagian yang paling reprentatif dari lesi diambil,umumnya dari perifer lesi yang
meluas ke jaringan normal.14
ii. Fine-Needle Aspiration Biopsi (FNAB)
Merupakan metode untuk mengevaluasi lesi subkutan atau yang terletaklebih dalam
lagi. Prosedur ini paling banyak dipakai dalam menentukan sifat massa pada kelenjar saliva
dan leher.13.
14
2.8 Komplikasi
Harus diperhatikan kecenderungan neoplasma yang dapat menyerang tulang/jaringan
yang berdekatan, sehingga terjadi perluasan kejaringan atau organ penting pada daerah
wajah dan leher. Dengan CT dan MRI, dapat menentukan tingkat tumor secara akurat.7
Ameloblastoma yang besar dapat membuat hilangnya fungsi rahang dan kesulitan menelan
makanan. Selanjutnya, kurangnya nutrisi dapat menyebabkan hipoproteinemi. Pasien juga
berisiko perdarahan karena ulserasi dan dapat menunjukkan gejala anemia.2
Dua faktor yang diasumsikan menjadi penyebab hipoproteinemi pada ameloblastoma
kistik yang besar: dinding kista bertindak sebagai membran semipermeabel; dan kebocoran
cairan intrakistik secara langsung melalui lubang pada dinding kista. Beberapa penulis
mengemukakan bahwa kista odontogenik berkualitas membran semipermeabel dan memiliki
kemampuan untuk mentransfer protein secara positif. Kadar albumin cairan kista
odontogenik hampir sama dengan serum albumin. Hal ini mungkin berdasarkan berat
molekul albumin yang lebih kecil dari globulin; sehingga mudah berpindah melalui
membran. Ameloblastoma bersifat odontogenik juga dan formasi kista sering ditemukan pada
pasien dengan kelainan tersebut. Dalam kondisi ini, mungkin protein diserap melalui dinding
kista dan ditransfer ke dalam rongga kista. 2
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tumor ini beragam mulai dari kuretase sampai reseksi tulang yang
luas, dengan atau tanpa rekonstruksi. Radioterapi tidak diindikasikan karena lesi ini
radioresisten. Pada beberapa literatur juga ditemukan indikasi untuk dielektrokauterisasi,
bedah krio dan penggunaan agen sklorosan sebagai pilihan perawatan. Pemeriksaan kembali
(follow up pasca operasi) penting karena hampir 50% kasus rekurensi terjadi pada lima tahun
pertama pasca operasi.3
Penatalaksanaan untuk tumor ini harus dieksisi dan harus meliputi neoplasma sampai
jaringan sehat yang berada di bawah tumor. Setelah itu, harus dilanjutkan dengan
elektrodesikasi atau dengan dirawat lukanya dengan larutan Karnoy. Kemungkinan untuk
terjadi rekurensi ada dan pasien harus diinstruksikan untuk mengikuti pemeriksaan secara
berkala sampai bertahun-tahun setelah operasi. Rad iasi pasca operasi ditujukan untuk
mengurangi insidensi rekurensi dan harus dilakukan secara rutin.8
15
Kebanyakan ahli bedah melakukan reseksi komplit pada daerah tulang yang terlibat
tumor dan kemudian dilakukan bone graft. Tumor ini tidak bersifat radiosensitif tapi Andra
(1949) melaporkan bahwa terapi dengan X-ray dan Radium mempunyai efek dalam
menghambat pertumbuhan lesi ini.9
Waldron dan Worman (1931) melakukan enukleasi pada ameloblastoma yang kecil,
sementara sebagian penulis merekomendasikan reseksi total maupun reseksi sebagian untuk
kasus yang lebih besar. Bagaimanapun, ahli bedah yang pertama kali melakukan operasi
kasus ameloblastoma memiliki kesempatan terbaik untuk mengobati pasien. Byars dan Sarnat
(1945) menyimpulkan bahwa ameloblastoma harus dienukleasi bila uniokular, dikauterisasi
dengan panas atau bahan kimia dan jika multiokular direseksi dengan mengikutkan sedikit
tulang yang normal jika ekstensif. Rankow dan Hickey (1954) meninjau ulang 29 kasus
ameloblastoma dan menemukan bahwa insidensi terjadi rekurensi sebanyak 91% jika
dilakukan kuretase lokal, sementara tidak terjadi rekurensi jika dilakukan reseksi (18 kasus).5
2.9.1 Enukleasi
Enukleasi merupakan prosedur yang kurang aman untuk dilakukan. Weder (1950)
pada suatu diskusi menyatakan walaupun popular, kuretase merupakan prosedur yang paling
tidak efisien untuk dilakukan. Enukleasi menyebabkan kasus rekurensi hampir tidak dapat
dielakkan, walaupun sebuah periode laten dari pengobatan yang berbeda mungkin
memberikan hasil yang salah. Kuretase tumor dapat meninggalkan tulang yang sudah diinvasi
oleh sel tumor.5
16
2.9.2 Cryosurgery
Adalah pembedahan yang dilakukan dengan cara memaparkan temperatur dingin
yang ekstrem ke jaringan yang telah diseleksi menggunakan alat yang mengandung nitrogen
cair. Tujuan cryosurgery adalah untuk mengeliminasisel-sel yang abnormal.11 Efek
pendinginan yang ekstrem: konsentrasi cairan intraseluler meningkat, kadar air intraseluler
berkurang, sel mengkerut, membran sel rusak, terbentuk kristal es di intraseluler maupun di
ekstraseluler.11
Aparatus terdiri atas sebuah kontainer yang terisi dengan gas cairbertekanan tinggi.
Gas cair dapat berupa gas nitrogen dengan temperatur-1960C; atau gas karbondioksida, gas
N2O2, dan gas freon dengan suhu yangberkisar antara -200C sampai -900C. Probe terhubung
dengan kontainermelalui tabung. Probe diarahkan ke jaringan abnormal. Waktu
yangdibutuhkan untuk merusak jaringan abnormal tergantung dengan suhu,ukuran lesi, dan
tipe jaringan.11
17
Gambar 2.22 Eksisi Blok (Thoma KH, Vanderveen JL. Oral Surgery. 5th Ed.Saint
Louis;The C.V. Mosby Company,1969: 993)
2.9.4 Hemimandibulektomi
Merupakan pola yang sama dengan eksisi blok yang diperluas yang mungkin saja
melibatkan pembuangan angulus, ramus atau bahkan pada beberapa kasus dilakukan
pembuangan kondilus. Pembuangan bagian anterior mandibula sampai ke regio simfisis tanpa
menyisakan border bawah mandibula akan mengakibatkan perubahan bentuk wajah yang
dinamakan Andy Gump Deformity.10
Reseksi mandibula dilakukan setelah trakeostomi dan diseksi leher radikal (bila
diperlukan) telah dilakukan. Akses biasanya diperoleh dengan insisi splitting bibir bawah.11
Bibir bawah dipisahkan dan sebuah insisi vertikal dibuat sampai ke dagu. Insisi itu kemudian
dibelokkan secara horizontal sekitar inchi dibawah border bawah mandibula. Kemudian
insisi diperluas mengikuti angulus mandibula sampai mastoid. Setelah akses diperoleh, di
dekat foramen mentale mungkin saja dapat terjadi pendarahan karena adanya neurovascular.
18
Bagian margin dari defek bedah harus dibiopsi untuk pemeriksaan untuk menentukan
apakah reseksi yang dilakukan cukup atau tidak. Jika bagian itu bebas dari tumor, bagian
ramus dan kondilus mandibula harus dipertahankan untuk digunakan pada rekonstruksi yang
akan datang. Ramus paling baik dipotong secara vertikal. Ketika mandibula disartikulasi,
maka ada resiko pendarahan karena insersi temporalis dan otot pterygoid lateral dipisahkan.
Hal ini dapat dihindari dengan membiarkan kondilus dan prosessus koronoid berada tetap in
situ. Setelah hemimandibulektomi, penutupan luka intraoral biasanya dilakukan dengan
penjahitan langsung.10
Gambar 2.23 Pola Insisi pada Hemimandibulektomi (Keith DA. Atlas of Oral and
Maxillofacial Surgery.Philadelphia;W.B.Saunder Company, 1992: 243).
19
prosessus koronoid berada tetap in situ.Setelah hemimandibulektomi, penutupan luka
intraoral biasanya dilakukan dengan penjahitan langsung.9
Gambar 2.24 Tipe Umum dari Reseksi Mandibula A. Dengan keterlibatan kondilus B.Tanpa
pembuangan kondilus (Keith DA. Atlas of Oral and Maxillofacial Surgery. Philadelphia;
W.B. Saunders Company, 1992: 244)
2.9.5. Hemimaksilektomi
Akses ke maksila biasnya diperoleh dengan insisi Weber Fergusson. Pemisahan bibir
melalui philtrum rim dan pengangkatan pipi dengan insisi paranasal dan infraorbital
menyediakan eksposure yang luas dari wajah dan aspek lateral dari maksila dan dari ethmoid.
Setelah diperoleh eksposure yang cukup, dilakukan pemotongan jaringan lunak dan
ekstraksi gigi yang diperlukan. Kemudian dilakukan pemotongan dengan oscillating saw dari
lateral dinding maksila ke infraorbital rim kemudian menuju kavitas nasal melalui fossa
lakrimalis. Dari kavitas nasal dipotong menuju alveolar ridge. Setelah itu, dilakukan
pemotongan pada palatum keras. Kemudian pemotongan lateral dinding nasal yang
menghubungkan lakrimal dipotong ke nasofaring dengan mengunakan chisel dan gunting
Mayo dan kemudian dilakukan pemotongan posterior. Pembuangan spesimen dan packing
kavitas maksilektomi yang tepat diperlukan untuk mengkontrol pendarahan.10
Setelah hemostasis terjadi, manajemen maksilektomi yang tepat dapat membantu ahli
prostodonsia untuk merehabilitasi pasien. Semua bagian tulang yang tajam dihaluskan.
Prosesus koronoid harus diangkat, karena dekat dengan margin lateral defek yang akan
menyebabkan penutup protesa lepas ketika mulut dibuka. Flap yang ada pada mukosa
dikembalikan menutupi margin medial tulang. Skin graft kemudian dijahit ke tepi luka, lebih
baik hanya lembaran tunggal. Permukaan dibawah flap pipi, tulang, otot periorbita dan
20
bahkan dura semuanya ditutup. Graft dipertahankan dengan packing iodoform gauze yang
diisi benzoin tincture. Packing yang cukup digunakan untuk mengisi kembali kontur pipi.
Obturator bedah yang sudah dibuat oleh ahli prostodonsi direline dengan soft denture reliner
sehingga dapat mendukung packing dan menutup defek. Obturator dapat dipasangkan ke
gigi-gigi secara fixed atau tidak, tergantung kondisi individual pasien. Flap pipi kemudian
dikembalikan dan menutup lapisan.10
Pasien yang menjalani reseksi maksila akan direhabilitasi dalam tiga fase
masng-masing fase memerlukan protesa obturator yang akan mendukung kesembuhan
pasien. Ketiga obturator protesa ini adalah obturator bedah, obturator interim, dan
obturator definitif.13
a. Obturator Bedah
Rehabilitasi prostodontik dimulai dengan obturator bedah yang mana
dimasukkan pada waktu bedah untuk membantu mempertahankan packing,
mencegah kontaminasi oral dari luka bedah dan skin graft dan
memungkinkan pasien untuk berbicara dan menelan selama periode
postoperasi inisial.11 Protesa ini akan digunakan kira-kira 5 sampai 10
hari.13
b. Obturator Interim
Obturator bedah akan dikonversi menjadi obturator interim dengan
penambahan bahan-bahan lining untuk adaptasi terhadap defek. Protesa
interim ini secara periodik akan direadaptasi dan direline kembali untuk
menyesuaikan terhadap perubahan dimensional selama proses
penyembuhan jaringan defek. Proses ini akan meningkatkan kenyamanan
21
dan fungsional pasien.21 Tujuan dari obturator ini adalah mengembalikan
fungsi bicara dengan mengembalikan kontur palatal. Protesa ini akan
digunakan sekitar dua sampai enam bulan.13
c. Obturator Defenitif
Obturator defenitif akan dibuat ketika penyembuhan jaringan dan
kontraksi telah selesai. Pembuatan protesa defenitif sebelum kontur
jaringan stabil memerlukan penyesuaian termasuk perubahan posisi gigi
atau penyesuaian terhadap bagian perifer protesa.13
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Gorlin, RJ, Goldman HM. Thomas Oral Pathology. 6th ed. Vol.1. St. Louis: The CV
Mosby Co; p. 481-500.
2. Regezi, Joseph A, Sciubba, James J, Jordan, Richard CK. Oral Pathology, Clinical
Pathology Correlation. 4th ed. USA: W.B. Saunders Co; 2003: p. 267-74, 284-6.
3. Soamers, JV, Southam JC. Oral Pathology. 2nd ed. USA: Oxford University Press Inc;
1993: p.263-6.
4. Ritchie, AC. Boyds Text Book of Pathology. 9th ed. UK: Lea & Febiger Ltd; 1990:
p.982-3.
5. Tjiptono TP, Harahap S, Arnus S, Osmani S. Ilmu Bedah Mulut. Edisi 3, Medan:
Percetakan Cahaya Sukma. 1989 : 145 6. 258 9.
6. Ernawati MG. Hubungan gigi Impaksi Dengan Ameloblastoma. KPPIKG X. FKG UI.
Jakarta, Oktober 1994 : 29 32.
7. Archer WH. Oral dan Maxillofacial Surgery. Vol I; 5th ed. Philadelpia : W B.
Saunders Co. 1975 : 273, 735 9.
8. Cheraskin E, Langley LL. Dynamic of Oral Diagnosis. 1st ed. Chicago : The Year
Book Publisher Inc. 1956 : 119 22.
9. Harahap S. Gigi Impaksi, Hubungannya dengan Kista dan Ameloblastoma. Dentika
Dental Journal. Vol 6. No. 1. FKG USU. Medan, 2001 : 212 6.
10. Kissane, JM. Andersons Pathology. 8th ed. Vol. 2. Saint Lois: The CV Mosby Co;
1985 : p. 1025.
11. Eversole, LR. Clinical Outline of Oral Pathology Diagnosis and Treatment. 3th ed.
USA: Leaand Febiger; 1992: p.120, 256, 267-8.
12. Laskin, DM. Oral and Maxillofacial Surgery. Vol.2. saint Lois:The CV Mosby
Company; 1985: p.625-50, 667-70.
13. Kruger, GO. Text Book of Oral Surgery. 4th ed. Saint Lois: The CV Mosby Co; 1974:
p. 568-70.
14. Pharoah, White. Oral Radiology, Principles and Interpretation. 5th ed. India: Mosby;
2000: p.419-22.
24