Anda di halaman 1dari 8

Ameloblastoma Multikistik pada Rahang Bawah Kiri

Rachmadiani Noor Farida1, Nur Faizah Ulfa1, Anggita Rizky Rizali Noor1, Rahma Isnani Surya Asri1, Fadli Ashar2

1) Mahasiswa Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah
2) Bagian Bedah Mulut, Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto,
Jawa Tengah

Alamat email: faizahulfa999@gmail.com

Abstrak
Pendahuluan. Ameloblastoma adalah neoplasma jinak epitel odontogenik yang mencakup sekitar 10% dari
keseluruhan tumor odontogenik. Ameloblastoma multilokular dengan tampakan seperti sarang tawon, gelembung
sabun, atau bilokular, namun terkadang dapat dijumpai dalam bentuk unilokular. Terjadi pada pasien berusia 30-70
tahun. Tujuan. Laporan ini bertujuan untuk memaparkan ameloblastoma multikistik pada rahang bawah kiri. Laporan
kasus. Pasien wanita berusia 62 tahun mengeluhkan adanya pembesaran tumor pada rahang bawah kiri. Pemeriksaan
klinis terlihat adanya tumor berbentuk oval dengan ukuran 5x3 cm, palpasi teraba keras tidak bergerak dan
asimptomatik. Pemeriksaan radiografi orthopantomogram menunjukkan adanya gambaran radiolusen unikistik yang luas
di area siphisis dan parasimphisis rahang bawah kiri. Didukung dengan radiografi Multislice computed tomography
(MSCT) menunjukkan pembentukan tumor di rahang bawah kiri dengan kerusakan jaringan meluas dari bukal ke lingual
dan ekspansi ke dasar mulut. Pembahasan. Ameloblastoma merupakan suatu tumor yang agresif dan invasif lokal
yang muncul dari epitelium odontogenik. Ameloblastoma dapat menyerang baik wanita ataupun pria. Ameloblastoma
multilokular dengan tampakan seperti sarang tawon, gelembung sabun, atau bilokular, namun terkadang dapat dijumpai
dalam bentuk unilokular. Penyebab dari ameloblastoma tidak diketahui. Ameloblastoma intraoseus multikistik biasanya
asimptomatik dan terlihat lebih kecil saat pemeriksaan radiografi. Prognosis ameloblastoma dikaitkan dengan metode
perawatannya. Rencana perawatan untuk ameloblastoma harus berdasarkan hasil radiografi untuk menentukan luasnya
lesi dan lokasinya. Dapat diberikan pilihan diantaranya adalah perawatan konservatif atau bisa juga dengan radikal.
Simpulan. Ameloblastoma merupakan neoplasma jinak yang berasal dari sel odontogenik. Lebih sering terjadi pada
mandibula dan jarang mengalami metatase. Ameloblastoma memiliki tingkat rekurensi tinggi dan dapat dirawat dengan
cara konservatif dan pembedahan.

Keywords
Neoplasma, ameloblastoma multikistik, reseksi, radiografi panoramik, histopatologi, odontogenik

Pendahuluan

Ameloblastoma adalah neoplasma jinak epitel odontogenik yang mencakup sekitar 10% dari keseluruhan tumor
odontogenik. Istilah odontogenik berarti tumor berasal dari struktur pembentuk gigi. Neoplasma ini berasal dari sel
pembentuk enamel dari epitel odontogenik yang gagal mengalami regresi selama perkembangan embrional. Sumber
lain yang mungkin adalah epitel permukaan gingiva dan tepi kista odontogenik.[1,2,3].
Penyebab ameloblastoma belum diketahui secara jelas, namun terdapat faktor kausatif yang diperkirakan
menjadi penyebab gangguan histodifferensiasi sehingga mengakibatkan ameloblastoma, yaitu; faktor iritatif non spesifik
(tindakan ekstraksi, karies, trauma, infeksi, inflamasi, atau erupsi gigi), kelainan defisit nutrisi, dan patogenesis viral.
Ameloblastoma lebih sering terjadi pada mandibula dibandingkan dengan maksila, terutama pada mandibula posterior,
terutama pada regio gigi molar ketiga, dan berhubungan dengan kista folikular atau gigi impaksi. Area angulus ramus
molar lebih sering terkena 3 kali lipat daripada area premolar dan anterior.[3] Ameloblastoma dapat terjadi pada anak-
anak maupun dewasa, namun puncak insidensi tertinggi terjadi pada dekade ketiga dan keempat.[2]
Ameloblastoma ditandai dengan pola pertumbuhan yang lambat, asimtomatik (kecuali ada penekanan pada
saraf atau terjadi komplikasi infeksi sekunder), dan tumbuh menjadi sangat besar sehingga menyebabkan deformitas
fasial berat, namun biasanya tidak menyebabkan perubahan fungsi nervus sensorik. Secara histologis, ameloblastoma
merupakan neoplasma jinak dan jarang mengalami metastasis, namun secara klinis bersifat malignan karena mudah
menginfiltrasi dan menghancurkan jaringan sekitar tulang.[3,4]
Ameloblastoma dapat dibagi menjadi 3 kelompok secara klinis dan radiologis, yaitu; solid atau multikistik,
unikistik, dan periferal. Ameloblastoma tipe solid meliputi sekitar 86% kasus ameloblastoma. Tipe ini cenderung untuk
menjadi lebih agresif daripada tipe lain dan mempunyai insidensi rekurensi tinggi. Ameloblastoma tipe unikistik
mempunyai kavitas kistik yang besar dengan proliferasi sel ameloblastik luminal, intra luminal, atau mural, sehingga
sering juga disebut sebagai luminal ameloblastoma (ameloblastoma berkembang kedalam lumen dan tidak menganggu
dinding kista), mural ameloblastoma (amelobalstoma di dinding kista dan masih dibatasi oleh dinding kista) dan
ameloblastoma dari kista dentigerus. Tipe ini kurang agresif dan dan kecepatan rekurensi rendah, namun pada lesi
dengan invasi mural sebagai pengecualian dan harus diterapi lebih agresif. Ameloblastoma tipe periferal secara
histologis serupa dengan ameloblastoma solid. Tipe ini sangat jarang terjadi dan biasanya nampak sebagai lesi yang
tidak terlalu nyeri, non ulcerated sessile atau lesi gingiva pedunculated pada ridge alveolar. Tipe solid dan unikistik
merupakan amelobastoma intraossesus, sedangkan tipe periferal terjadi pada jaringan lunak/extraosseus. Pembagian
seperti ini penting karena terapi lesi unikistik dapat lebih konservatif, karena kurang agresif dan ukurannya yang lebih
kecil daripada tipe solid atau multikistik.[5,6,7,8,9]
Gambaran radiografi panoramaik merupakan langkah pertama dalam mendiagnosis ameloblastoma. Gambaran
ameloblastoma multikistik yang paling sering yaitu lesi multilokular, yang sering dideskripsikan sebagai gambaran soap
bubbles bila lesi besar dan gambaran sarang lebah bila lesi kecil. Sering didapati ekspansi oral dan cortical lingual dan
resorpsi akar gigi yang berdekatan dengan tumor. Sedangkan ameloblastoma unikistik tampak sebagai lesi lusen
unilokular berbatas tegas disekeliling mahkota gigi yang tidak erupsi.[9] Pemeriksaan CT disarankan bila pembengkakan
keras dan terfiksir ke jaringan di sekitarnya, sedangkan pemeriksaan MRI penting dalam menentukan perluasan
ameloblastoma maksilar sehingga menentukan prognosis untuk pembedahan.[5]
Berdasarkan histopatologisnya ameloblastoma dapat dibedakan menjadi tipe follicular, plexiform,
acanthomatous, granular cell, basal cell, desmoplastic, unicystic, peripheral, dan varian lain yang lebih jarang seperti
clear cell variant serta papilliferous keratoameloblastoma. Bentuk desmoplastic merupakan ameloblastoma yang paling
agresif ditandai dengan kolagen stroma yang ekstrim atau desmoplasia. Bentuk follicular memiliki tingkat rekurensi lebih
tinggi secara signifikan daripada plexiform.[5, 10]
Perawatan ameloblastoma tergantung pada tipenya. Sebagian besar ameloblastoma pada mandibula memiliki
tingkat rekurensi tinggi apabila dilakukan terapi selain reseksi mandibula, kecuali kasus unikistik terbatas pada lesi
berukuran kecil yang dapat dirawat dengan enukleasi. Sebagian peneliti menyetujui tindakan perawatan konservatif
terhadap lesi kecil awal yang terjadi antara usia kelahiran sampai 9-10 tahun, namun pendapat lain menyatakan bahwa
perawatan yang bersifat konservatif seperti enukleasi dan kuretase memperlihatkan adanya nilai rata-rata kekambuhan
90% pada mandibula dan 100% pada maksila.[11,12]
Eksisi ameloblastoma harus meliputi jaringan sehat yang berada di sekitar tumor. Perawatan yang paling banyak
untuk mencegah rekurensi adalah dengan melakukan reseksi komplit pada daerah tulang yang terlibat tumor dan
kemudian dilakukan bone graft. Kemungkinan untuk terjadi rekurensi tetap ada dan pasien harus diinstruksikan untuk
mengikuti pemeriksaan secara berkala sampai bertahun-tahun setelah operasi. Iradiasi paska operasi disarankan untuk
mengurangi insidensi rekurensi dan harus dilakukan secara rutin.[12]
Neoplasma ameloblastoma yang jinak dapat menjadi maligna dan mengalami metastasis, meskipun
presentasinya hanya 1%. Metastasis yang paling banyak ditemukan di kelenjar limfe leher. (13)

Laporan Kasus
Pasien wanita berusia 62 tahun datang ke Klinik untuk dilakukan bedah maksilofasial. Hasil anamnesis yang
dilakukan kepada pasien terdapat tumor yang tidak sakit di segmen anterior rahang bawah berkembang sejak tiga tahun
terakhir. Pertumbuhan dan perkembangan tumor yang berkembang ini tidak ada hubungan dengan gejala yang timbul.
pasien juga sedang menjalani pengobatan penyakit diabetes millitus tipe II secara jangka panjang dan mengidap arteri
kronik hipertensi.
Selama pemeriksaan intraoral di area simphisis dan parasimphisis rahang bawah sisi kiri, terdapat tumor
berbentuk oval dengan ukuran 5x3 cm, palpasi menunjukkan keras, tidak sakit dan tidak bergerak (Gambar 1).
Pemeriksaan leher normal tanpa ada pembesaran kelenjar getah bening.
Gambar 1. Tumor di regio rahang bawah kiri di area simphisis dan parasimphisis.

Pemeriksaan radiografi orthopantomogram (OPG) menunjukkan adanya gambaran radiolusen unikistik yang luas
di area simphisis dan parasimphisis rahang bawah (Gambar 2).

.
Gambar 2. Orthopantomogram menunjukkan adanya gambaran radiolusen unikistik yang mengekspansi di
segmen simphisis dan parasimphisis rahang bawah.

Multislice computed tomography (MSCT) dari oro-, hyopharyux dan leher menunjukkan suatu pembentukan tumor
pada jaringan lunak di segmen anterior rahang bawah, ditandai dengan kerusakan jaringan tulang dari korteks bukal dan
lingual rahang bawah. Proses ekspansi tumor ke arah dasar mulut tanpa adanya infiltrai (Gambar 3).

Gambar 3. Multiscle computed tomography dari oro- dan hyopharyux dan leher menunjukkan suatu
pembentukan tumor ekstensif pada jaringan lunak yang mengalami pemadatan di segmen anterior
rahang bawah, ditandai dengan kerusakan jaringan tulang dari korteks bukal dan lingual rahang
bawah.
Tindakan yang dilakukan yaitu eksisi biopsi. Histopatologi menunjukkan ameloblastoma multikistik
pada rahang bawah dengan variasi follicular. Odontogenik neoplastik epitel dalam pengaturan palisade
dikelilingi reticulum stellata. Metaplasia skuamosa juga terlihat jelas. Di pinggiran, sisa-sisa
jaringan tulang terlihat (Gambar 4).

Gambar 4. Hematoxylin- eosin staining A. x10 ; B.x20 ; C. x20 ; D. x40.

Rencana perawatan pasien dilakukan anastesi endotrakeal, dilakukan reseksi marginal rahang bawah
di area simphisis dan parasimphisis, memanjang 1,5 cm ke dalam jaringan sehat, dan menyisakan pangkal
rahang bawah. Dilakukan ekstraksi gigi 35, 41 dan 42. Operasi dengan menggunakan teknik flap mukosa.
Dilakukan follow up rutin setiap tiga bulan sekali selama dua tahun. Hasil yang didapatkan tidak adanya
rekurensi tumor paska operasi. Pasien menolak bedah rekontruksi mereseksi bagian rahang bawah.

Pembahasan
Ameloblastoma merupakan suatu tumor yang agresif dan invasif lokal yang muncul dari epitelium odontogenik.
Ameloblastoma dapat menyerang baik wanita ataupun pria. Ameloblastoma biasanya multilokular dengan tampakan
seperti sarang tawon, gelembung sabun, atau bilokular, namun terkadang dapat dijumpai dalam bentuk unilokular.
Ameloblastoma dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu, ameloblastoma intraoseus multikistik (sekitar 86% dari seluruh
kasus), unikistik (13%), dan peripheral atau ekstraoseus (1%). Ameloblastoma multikistik biasanya terlihat pada pasien
berusia 30-70 tahun. Kejadian lesi ini jarang ditemui pada pasien anak-anak. Sekitar 85% ameloblastoma multikistik
terjadi pada regio molar mandibula sampai ke daerah ramus. Tumor ini memiliki ciri khas berupa pembengkakan yang
tidak terasa sakit dan berkembang dalam kurun waktu yang cukup lambat.[14,15]

Penyebab dari ameloblastoma tidak diketahui. Ada kemungkinan lesi ini berkaitan dengan kode suatu gen yang
terlibat pada saat pembentukan gigi yang tidak dapat diterjemahkan dengan tepat (Cawson dan Odell, 2008). Beberapa
peneliti mempertimbangkan bahwa ameloblastoma berasal dari beberapa variasi kemungkinan, walaupun stimulus yang
menginisiasi proses sampai berkembang menjadi ameloblastoma masih belum diketahui. Tumor ini kemungkinan
berasal dari: 1. Sel-sel dari organ enamel, baik sisa-sisa dari lamina dental atau sisa selubung Hertwig maupun sisa
epitel Malassez; 2. Epitel kista odontogeik, terutama kista dentigerous dan odontoma; 3. Gangguan pada perkembangan
organ enamel; 4. Sel basal dari epitel permukaan pada rahang; 5. Epitel heterotopik dari bagian lain pada tubuh,
terutama kelenjar pituitari.[16]

Para peneliti sebelumnya menemukan kemiripan antara aparatus odontogenik dan ameloblastoma dan
menduga bahwa neoplasmanya merupakan turunan dari aparatus atau sel-sel yang memiliki potensi dalam membentuk
jaringan gigi. Malassez menjelaskan bahwa neoplasma dapat diproduksi oleh proliferasi dari sekelompok kecil sel-sel
epitel yang berdekatan dengan akar gigi di ligamen periodontal.[16] Tumor ini muncul setelah terjadi mutasi-mutasi pada
sel normal yang disebabkan oleh zat-zat karsinogen. Karsinogenesisnya terbagi menjadi 3 tahap, yaitu: 1. Tahap
pertama merupakan inisiasi, yaitu kontak pertama sel normal dengan zat karsinogen yang dapat memancing sel normal
berubah menjadi ganas; 2. Tahap kedua yaitu promosi, sel yang telah terpancing untuk menjadi ganas tersebut
membentuk sebuah klon melalui proses poliferasi; 3. Tahap terakhir yaitu progresi, sel yang telah mengalami poliferasi
mendapatkan satu atau lebih karakteristik menjadi neoplasma ganas.[17]

Ameloblastoma intraoseus multikistik biasanya asimptomatik dan terlihat lebih kecil saat pemeriksaan
radiografi. Lesi ini berkembang secara lambat. Pasien biasanya mengalami pembengkakan yang menyebabkan
asimetris wajah. Keluhan nyeri dan paresthesia jarang terjadi walaupun pada tampakan tumor yang cukup besar, namun
apabila terdapat penekanan saraf atau terjadi komplikasi infeksi sekunder biasanya pasien merasakan nyeri. Lesi ini
biasanya ditemukan dengan melibatkan perluasan bukal atau lingual korteks pada kejadian lesi yang besar dan terdapat
kemungkinan terjadinya perforasi. Terkadang pasien membiarkan ameloblastoma bertahan selama beberapa tahun
tanpa perawatan sehingga pada tahap lanjut ukurannya bertambah besar sehingga dapat menyebabkan gangguan
penguyahan dan penelanan.[14, 15, 18]

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa ameloblastoma antara lain; 1) anamnesis
lengkap berkaitan dengan gejala dan riwayat penyakit, 2) pemeriksaan klinis, umumnya pasien datang ketika menyadari
adanya pebengkakan, biasanya pada bagian bukal mandibula dan dapat mengalami perluasan ke lingual atau adanya
deformitas wajah, biasanya pasien tidak menunjukkan rasa sakit begitu pula ketika dilakukan palpasi, serta
pembengkakannya tertutup oleh mukosa normal 3) radiografi panoramik atau CT Scan atau MRI, yang menghasilkan
gambaran perluasan lesi ameloblastoma, namun gambaran radiografi ini tidak dapat membedakan tipe ameloblastoma,
dan 4) pemeriksaan histopatologi.[19] Radiografi konvensional cukup baik untuk melihat lesi kecil di mandibular, namun
untuk melihat perluasan lesi dan lesi pada maksila membutuhkan radiografi CT Scan dan MRI.[20] Pemeriksaan
radiografi ameloblastoma terlihat ada dua macam, yaitu unilokular dan multilokular.[21] Kasus terbanyak dari
ameloblastoma yang diperiksa menunjukkan radiolusensi multilokular dengan gambaran berbatas tegas dan scalloped
atau bergerigi yang digambarkan sebagai honeycomb atau soap bubble appearance. Pada ameloblastoma tipe unikistik
tampak sebagai radiolusensi yang unilokular berisi gigi impaksi.[22]. Namun, radiografi konvensional masih dirasa kurang
sensitif dan kurang spesifik untuk melihat perluasan tulang dan keterlibatan jaringan lunak. CT Scan termasuk alat
pencitraan diagnostik yang sangat baik untuk menunjukkan perluasan lesi uni/multilokular, mengevaluasi destruksi
tulang kortikal dan perluasan jaringan lunak yang terlibat, serta mengidentifikasi perluasan tumor untuk mendukung
rencana perawatan pembedahan. MRI menyediakan informasi yang lebih lengkap daripada CT Scan untuk melihat
perluasan jaringan lunak dan perluasan rongga di tulang yang terkena. MRI juga sangat berguna untuk ameloblastoma
pada maksila, membantu melihat perluasan ke orbita, sinus paranasal, dan basis cranial. Namun, pada ameloblastoma
desmoplastik penggunaan MRI harus dipertimbangkan karena ameloblastoma desmoplastik memiliki batas jaringan
lunak yang tidak jelas dan sering salah didiagnosis sebagai lesi fibro-osseous.[23] Gambaran pencitraan yang telah
disebutkan baik untuk menunjang pemeriksaan namun untuk menentukan diagnosis perlu dilihat secara histopatologi.
Secara histopatologi, ameloblastoma menyerupai epitel enamel/odontogenik normal dan ektomesenkim. Pola
mikroskopik ameloblastoma meliputi folikuler, pleksiform, akantomatous, spindle, basal cell-like, desmoplastik, dan sel
granular. Pola-pola tersebut dapat uniform ataupun campuran. Ameloblastoma solid/multikistik gambaran
histopatologinya berupa tipe folikular dan pleksiform. Ameloblastoma pleksiform berisi sel-sel basal yang tersusun dalam
helai anastomosing dengan reticulum stelata yang tidak begitu mencolok. Bagian stroma biasanya halus sering disertai
degenerasi yang menyerupai kista. Ameloblastoma unikistik memiliki dua macam gambaran histopatologi, yaitu
gambaran luminal, intraluminal, dan gambaran mural. Ameloblastoma extraosseous atau periferal menunjukkan
gambaran histopatologi tipe sel dan pola seperti yang terlihat pada tipe solid/multikistik. Pada ameloblastoma
desmoplastik, terlihat pulau-pulau kecil dan benang-benang epitel odontogenik di dalam stroma yang terkolagenisasi
penuh. (20) Petanda molekuler keganasan penderita ameloblastoma dapat dicapai dengan pemeriksaan imunohistokimia
(IHC), yaitu menggunakan proliferating cell nuclear antigen (PCNA), Ki-67 antigen, topoisomerase IIα, p53, p21. (24)
Selain itu juga bisa menggunakan teknik pemeriksaan Polymerase Chain Reaction – Single Strand Polymorphisme
(PCR-SSCP) untuk memeriksa adanya mutasi p53 tumor DNA pada ekson 5-8 yang mudah dan relatif cepat aplikasinya
dibandingkan dengan pemeriksaan biomolekuler lainnya.[24]
Prognosis ameloblastoma dikaitkan dengan metode perawatannya. Perawatan dengan pembedahan pada
pasien memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perawatan konservatif. Dalam kata lain, perawatan yang
baik untuk ameloblastoma adalah dengan reseksi tumor mencakup area yang luas. Banyak faktor yang mempengaruhi
prognosis perawatan ameloblastoma. Beberapa jurnal dikatakan bahwa pembedahan merupakan perawatan yang baik
untuk kasus ameloblastoma multikistik dan dapat mencegah rekurensi.[25]
Differen diagnosis ameloblastoma multikistik yaitu ameloblastoma maligna, karsinoma ameloblastoma, fibroma
ameloblastik, adenomatoid odontogenik tumor, tumor odontogenik skuamosa, karsinoma intraoseus primer rahang,
adenokarsinoma, Scc, fibroma ameloblastik, fibro-odontoma ameloblastik.[26]
Rencana perawatan untuk ameloblastoma harus berdasarkan hasil radiografi untuk menentukan luasnya lesi
dan lokasinya. Radiografi konvensional tidak cukup untuk memberikan informasi sehingga perlu radiografi pendukung
seperti CT scan. Dapat diberikan pilihan diantaranya adalah perawatan konservatif atau bisa juga dengan radikal.
Perawatan konservatif meliputi kuretase dan enukleasi. Perawatan radikal dengan cara pembedahan mengangkat
setidaknya 1,5-2 cm tulang yang sehat di luar batas tumor (reseksi).[27] Radioterapi jarang digunakan sebagai
pengobatan utama, dikarenakan perawatan radioterapi digunakan untuk kasus yang tidak bisa dilakukan pembedahan.
Sehingga untuk menghindari terjadinya kekambuhan atau metatasis maka perawatan yang akan dilakukan dengan
pembedahan teknik reseksi tulang.[26] Prevalensi tingkat kekambuhan untuk perawatan konservatif sekitar 60%
dibandingkan dengan perawatan radikal sekitar 13% tingkat kekambuhannya.[27]

Prosedur perawatan untuk kasus ameloblastoma multikistik yaitu pertama dilakukan pemeriksaan pra operasi
yang mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dengan batuan radiografi dan histopatologi, dan
informed consent. Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan bahan yang akan digunakan, pemberian antibiotik
profilaksis minimal 6 jam sebelum oprasi dimulai.[28] Tahapan oprasi diantaranya sebagai berikut:

1. Atur posisi pasien pemasangan intubasi nasotrakheal, selang intubasi di fiksasi ke dahi penderita.
2. Insisi dengan dengan membelah bibir bawah pada garis tengah diteruskan melewati dagu lalu dibelokkan ke
lateral, horizontal ke belakang sampai pada regio submandibula membelok ke atas pada angulus mandibula
sampai anterior prosesus mastoideus. Insisi horizontal dibuat sesuai garis lipatan kulit dan berjarak dua jari (4
cm) di bawah batas mandibula untuk mencegah cedera ramus mandibula dan nervus fasialis.
3. Dengan insisi tipe visor flap, pada alternatif ini tidak dilakukan insisi membelah bibir. Insisi kulit kemudian
diperdalam lapis demi lapis dengan memotong m. platisma dan fasia servikalis pada garis yang sama.
Kemudian dibuat flap ke atas melewati batas bawah mandibula dengan mempreservasi ramus mandibula n.
fasialis. Arteri dan vena fasialis anterior diligasi dan dipotong sedekat mungkin dengan kapsul kelenjar
submaksilaris. Langkah ini bertujuan mempreservasi ramus mandibula n. fasialis karena syaraf tersebut terletak
di superfisial menyilang pembuluh darah tersebut. Sisi lateral mandibula diekspose dengan memisahkan
tempat melekatnya m. masseter pada angulus mandibula. Setelah m. masseter dipotong, otot dapat dipisahkan
dari tulang dengan menggunakan periosteal elevator. Langkah ini juga akan mengangkat jaringan lunak pada
wajah termasuk di dalamnya kelenjar parotis dan cabang–cabang n. fasialis. Full thickness cheek flap
disisihkan ke lateral dengan cara memotong mukosa sulkus ginggivobukalis ke belakang sampai fossa
retromolar dan ke depan sampai 2 cm melewati batas tumor. Batas tulang normal yang akan dipotong
tergantung pada sifat dari lesi. Pada ameloblastoma jarak 1 cm dari batas lesi secara radiologis cukup aman
untuk dilakukan reseksi. Tulang mandibula dipotong dengan menggunakan gergaji Gigi. Evaluasi secara
makroskopis apakah masih terdapat lesi ameloblastomanya, apabila ada maka reseksi harus ditambah lagi.
Hemostasis dilakukan, perdarahan permukaan tulang yang dipotong dihentikan dengan bone wax. Bagian
mandibula beserta tumor diangkat dengan cara menginsisi mukosa sisi lingual, memotong origo m. milohioid
pada sisi medial mandibula sepanjang linea milohioid. Hemostasis dengan ligasi dan diatermi. Selanjutnya
dilanjutkan dengan rekonstruksi.
4. Rekontruksi tulang
Adalah prosedur yang dirancang untuk mengembalikan fungsi mengunyah, menelan dan berbicara. Beberapa
prinsip dasar rekonstruksi diantaranya teknik rekonstruksi yang digunakan tidak boleh mempengaruhi atau
membatasi operasi pengangkatan tumor, harus sedapat mungkin secepatnya menengembalikan bentuk dan
fungsi, tidak boleh menambah morbiditas dan mortalitas operasi, tidak boleh menimbulkan deformitas sekunder
kecuali tidak ada pilihan lain, rekonstruksi dikerjakan secepat dan sesederhana mungkin terutama bila
kekambuhannya diragukan, prosedur rekonstruksi yang lama sebaiknya tidak dilakukan bila dapat diganti
dengan prostese dengan hasil yang memuaskan.[28,29]
Paska pembedahan dilakukan pemberian cairan intravena harus adekuat, kalau perlu transfusi pemberian
antibiotika harus diteruskan sampai tiga hari paska bedah. Diet cair dengan sonde lambung dimulai setelah 24 jam
paska operasi selama 7- 10 hari. Pada hari ke 10 dicoba untuk minum air dan apakah ada kebocoran dari luka operasi.
Apabila tidak ada kebocoran, sonde lambung dapat dilepas dan penderita dapat mulai diet cair peroral pakai sedotan.
Kumur dengan larutan antiseptik setelah makan. Drain divakum dan dipertahankan sampai < 10 cc /24 jam. Jahitan
pada kulit diangkat pada hari ke tujuh. Jika sebelumnya dilakukan trakeostomi, perawatan trakeostomi harus rutin
dikerjakan yaitu nebulizing dan suctioning. Jika setelah tiga hari penderita makan peroral tidak ditemukan masalah
infeksi atau kebocoran maka penderita diperbolehkan keluar rumah sakit. Dilakukan follow up 3 bulan sekali, 4 bulan
sekali, 6 bulan sekali, 1 tahun sekali dan dievaluasi untuk melihat apakah ada rekurensi atau tidak.[29]
Komplikasi yang dapat timbul paska oprasi adanya gangguan jalan nafas bisa terjadi pada reseksi mandibula
sentral bila insersi m. genioglosus tidak ditautkan ke depan lagi sehingga lidah akan jatuh ke posterior dan akan
menimbulkan obstruksi jalan nafas. Edema yang hebat terutama pada struktur di sekitar epiglotis yang menyebabkan
pasien tidak bisa mengontrol jalan nafasnya. Perdarahan dapat menyebabkan syok hipovolemik pada pembedahan
kepala leher. Hemostasis dengan melakukan ligasi baik arteri maupun vena, jangan hanya dengan koagulasi listrik saja.
Perdarahan dapat terjadi pada daerah yang direseksi maupun pada tempat yang direkonstruksi. Pasang redon drain.
Infeksi, diminimalkan dengan menghindari penumpukan cairan, dengan pemasangan vakum drain. Perencanaan
operasi dan teknik pembedahan yang baik juga memegang peranan dalam mengontrol infeksi di samping penggunaan
antibiotika. Hematoma, akan meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan dehisensi luka. Kontrol perdarahan yang baik
dan pemasangan drain akan mengurangi resiko terjadinya hematoma Fistula, lakukan penjahitan yang rapat pada
mukosa terutama pada tempat ujung–ujung reseksi mandibula, nekrosis flap Komplikasi lanjut paska operasi,
kebanyakan merupakan kelanjutan dari komplikasi dini. Pada reseksi mandibula komplikasi ini terutama berkaitan
dengan masalah bicara dan menelan. Problem psikologikal dapat terjadi pada pasien–pasien ini karena
ketidakmampuannya berkomunikasi dengan baik. Kesulitan makan adalah salah satu masalah pada pasien dengan
reseksi mandibula. Rekonstruksi mandibula di sini semata tidak hanya ditujukan untuk memperbaiki jaringan yang
direseksi tetapi juga aspek rehabilitasi fungsinya.[29]

Alternatif perawatan bisa dilakukan dengan pendekatan konservatif dengan mengunakan metode dredging.
Suatu metode pengerukan jaringan parut dan tulang yang hakekatnya merupakan operasi ulang terhadap rekurensi
yang terjadi setelah enukleasi. Namun bisa juga dilakukan bersinambungan dengan interval waktu tertentu yaitu sekitar
2-3 bulan. Keberhasilan enukleasi dan kuretase tulang dengan presentase lebih dari 60%. Tujuan dilakukan dredging
adalah untuk mengambil sisa-sisa sel tumor dan meransang pertumbuhan tulang baru. Tahapan metode ini yaitu
dilakukan deflasi, enukleasi, dan dredging. Deflasi suatu tindakan pengangkatan dinding kistik, tulang dan
mukoperiosteum yang menutupi tulang dengan tujuan menghilangkan tekanan intra kistik dan memudahkan
pertumbuhan tulang sehat. Enukleasi adalah tindakan pengankatan tumor secara keseluruan sampai tulang yang sehat.
[30]

Kesimpulan
Ameloblastoma merupakan neoplasma jinak yang berasal dari sel pembentuk enamel dari epitel odontogenik
yang gagal mengalami regresi selama perkembangan embrional, dan lebih sering terjadi pada mandibula dibandingkan
dengan maksila. Secara histologis, ameloblastoma merupakan neoplasma jinak dan jarang mengalami metastasis,
namun secara klinis bersifat malignan karena mudah menginfiltrasi dan menghancurkan jaringan sekitar tulang.
Pemeriksaan klinis, radiografis, dan histopatologi biasanya dapat menentukan dignosis ameloblastoma dan tipenya
sehingga membantu dalam menentukan perawatan yang tepat. Sebagian besar ameloblastoma pada mandibula
memiliki tingkat rekurensi tinggi apabila dilakukan terapi selain reseksi mandibula, kecuali kasus unikistik terbatas pada
lesi berukuran kecil yang dapat dirawat dengan enukleasi, meskipun masih terdapat perdebatan mengenai efektivitas
perawatan enukleasi terhadap ameloblastoma.

Daftar Pustaka
1. Scholl, R.J., Kellett, H.M., Neumann, D.P., Lurie, A.G., 1999, Cysts and cystic lesions of the mandible: clinical
and radiologic-histopathologic review, Radiographics,19(5):1107–1124.
2. Chung, W., Cox, D., Ochs, M., 2006, Odontogenic Cysts, Tumors, and Related Jaw Lesions: Head and Neck
Surgery—Otolaryngology, edisi 4, Lippincott Williams & Wilkins Inc: Philadelphia, hal. 1570–1584.
3. Dunfee. B.L., Sakai, O., Pistey, R., Gohel, A., 2006, Radiologic and pathologic characteristics of benign and
malignant lesions of the mandible, Radiographics, 26(6):1751–1768.
4. Tjiptono, T.P., Harahap, S., Arnus, S., Osmani, S., 1989, Ilmu Bedah Mulut, edisi 3, Percetakan Cahaya
Sukma: Medan, h: 145 – 259.
5. Gumgum, S. dan Hosgoren B, 2005, Clinical and radiologic behaviour of ameloblastoma in 4 cases, Journal
Canadian Dental Association, 71(7):481.
6. Navarro, C.M., Principi, S., Massucato, E.M.S., Sposto, M., 2004, Maxillary unicystic ameloblastoma,
Dentomaxillofacial Radiology, 33(1):60–62.
7. Medeiros, M., Porto, G.G., Laureano Filho, J.R., Portela, L., 2008, Vasconcellos RH. Ameloblastoma in the
mandible, Revista Brasileira de Otorrinolaringologia, 74(3):478–478.
8. Bachmann, A.M. dan Linfesty, R.L., 2009, Ameloblastoma, solid/multicystic type, Head And Neck Pathology,
3(4):307.
9. Pitak-Arnnop, P., Chaine, A., Dhanuthai, K., Bertrand, J.C., Bertolus, C., 2010, Unicystic ameloblastoma of the
maxillary sinus: Pitfalls of diagnosis and management, Hippokratia, 14(3):217.
10. Hong, J., Yun, P.Y., Chung, I.H., 2007, Long term follow up on recurrence of 305 ameloblastoma cases,
International Journal of Oral Maxillofacial Surgery, 36: 283-288.
11. Curi, M.M., Dib, L.L., Pinto, D.S., 1997, Management of solid ameloblastoma of the jaws with liquid nitrogen
spray cryosurgery, Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology, and Endodontology,
84(4):339–344.
12. Kahairi, A., Ahmad, R.L., Wan, I.L., Norra, H., 2008, Management of large mandibular ameloblastoma - a
case report and literature reviews, Archives of Orofacial Sciences, 3(2):52-55.
13. Harahap, S., 2001, Gigi impaksi, hubungannya dengan kista dan ameloblastoma, Dentika Dental Journal,
6(1): 212 – 6.
14. Neville, B., Damm, D., Allen, C., Bouquot, J., 2002, Oral and Maxillofacial Pathology, W.B Saunders Company,
Philadelphia.
15. Langlais, R., Miller, C., Nield-Gehrig, J., 2013, Color Atlas of Common Oral Disease, EGC, Jakarta.
16. Shafer, W.G., Hine, M.K., Levy, B.M., 2012, Shafer’s Textbook of Oral Pathology, Elsevier, New Delhi.
17. Price, S.A., Wilson, L.M., 2006, Patofisiologi, EGC, Jakarta.
18. Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I., Setiowulan, W., 2001, Kapita Selekta Kedokteran, Media
Aesculapius, Jakarta.
19. Jeddy, N., Jeyapradha T., Ananthalakshmi R., Jeeva S., Saikrishna., Lakshmipathy P., 2013, The Molecular
and Genetic Aspects in the Pathogenesis and Treatment of Ameloblastoma, Journal of Dr. NTR University of
Health Sciences, 2(3): 157-161.
20. Hertog, D., Bloemena, E., Aartman, I.H.A., van der Waal I., 2012, Histopathology of Ameloblastoma of the
Jaws; Some Critical Observations Based on a 40 years Single Institution Experience, Journal Section: Oral
Medicine and Pathology, 17(1): 76-82.
21. Fulco, G.M., Nonaka, C.F., Souza, L.B., Miguel, M.C., Pinto, L.P., 2010, Solid Ameloblastomas – Retrospective
Clinical and Histopathologic Study of 54 Cases, Braz J Otorhinolaryngol, 76(2): 172-7.
22. Angadi, P.V., Krishnapillai, R., 2010, A Clinical, Radiographic, and Histologic Reviewof 73 Cases of
Ameloblastoma in an Indian Population, Quintessence Int, 41(5): 90-100.
23. McClary, A.C., West, R.B., McClary, A.C., Pollack, J.R., Fischbein, N.J., Holsinger, C.F., Sunwoo, J., Colevas,
A.D., Sirjani, D., 2015, Ameloblastoma: A Clinical Review and Trends in Management, Eur Arch
Otorhinolaryngol, 72(8): 67-80.
24. Hirayama T., Hamada T., Hasui, K., Semba, I., Murata, F., Sugihara, K., 2004, Immunohistochemical Analysis
of Cell Proliferation and Suppression of Ameloblastoma with Special Reference to Plexiform and Follicular, Acta
Ameloblastoma Histochemica Et Cytochemica, 37(6): 391-398.
25. Li, Y., Han, B., Li, L., 2012, Prognostic and Proliferative Evaluation of Ameloblastoma Based on Radiographic
Boundary, Int J Oral Sci, 4(1): 30-33.
26. Mallick, J. A., 2003, Ameloblastoma-Management and Review of Literature, Article, Ziauddin Cancer Hospital,
Medical University, Karachi.
27. Aramanadka, c., Kamath, A. T., Kudva, A., 2018, Recurrent Ameloblastoma: A Surgical Challege, Article,
Departement of Oral and Maxillofacial Surgery, Manipal College of Dental Sciences, Manipal, Karnataka, India:
1-6.
28. O’Brien, C. J., Adams, J. R., McNeil, E. B., 2003, Influence of Bone Invasion and Extend of Mandibular
Resection on Local Control of Cancer of the Oral Cavity and Oropharynx, International Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery, 32(5):492-497.
29. Peterson, L. J., 1992, Principles of Oral and Maxillofacial Surgery, JB Lippincott Company, Philadelphia, 755-
808.
30. Gunadi, H., Roesli, A., 2003, Perawatan Ameloblastoma dengan Metode Dredging, Jurnal Kedokteran Gigi,
10(1): 7-11.

Anda mungkin juga menyukai