Anda di halaman 1dari 13

BLOK HARD TISSUE SURGERY

SELF LEARNING REPORT


CASE STUDY-4
FRAKTUR DENTOALVEOLAR

Dosen Pembimbing
drg.

Disusun Oleh

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

Fraktur Dentoalveolar
Seorang pasien laki-laki berumur 11 tahun datang bersama orang tua ke RSGMP
UNSOED dengan keluhan sakit gigi dan tidak nyaman setelah terbentur ketika
berenang 30 menit yang lalu gigi yang mengalami trauma adalah gigi anterior
rahang atas. Pemeriksaan klinis intraoral ditemukan gigi 11 mengalami luksasi,
gigi tersebut lebih panjang 1 mm dari gigi tetangganya dan mengalami luksasi
drajat 2, terdapat darah yang keliar dari ligamen periodontal dan pasien merasakan
sakit ketika gigi tersebut beroklusi. Palpasi (+) tes vitalitas (+), dan perkusi (+),
tidak ada displacement mandibular. Pasien tidak menderita riwayat sistemik.
Dokter gigi meminta untuk dilakukan pemeriksaan foto rontgen periapikal. Hasil
foto periapikal seperti dibawah ini :

A. Klasifikasi Trauma Jarigan Keras Gigi dan Pulpa, Pada Jaringan


Penyangga dan Tulang Alveolar
Sistem klasifikasi WHO yang diterapkan pada gigi permanen
meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak
rongga mulut. Klasifikasi WHO yang telah dimodifikasi oleh Andreasen
melibatkan cedera jaringan keras gigi, pulpa, struktur pendukungnya, dan
tulang alveolar (Welbury, 2005) :

Cedera jaringan keras gigi dan pulpa.


1.

Crown Infraction (keretakan mahkota) adalah fraktur atau retaknya


enamel tanpa disertai kehilangan substansi gigi.

2.

Enamel infraction adalah jenis fraktur tidak sempurna dan hanya


berupa retakan tanpa hilangnya substansi gigi.

3.

Uncomplicated crown fracture (fraktur mahkota tidak komplit)


merupakan fraktur yang terbatas pada enamel atau melibatkan
enamel dan dentin tanpa disertai terbukanya pulpa.

4.

Complicated crown fracture (fraktur mahkota komplit) adalah


fraktur yang melibatkan enamel dan dentin disertai terbukanya
pulpa.

5.

Uncomplicated crown-root fracture (fraktur mahkota dan akar tidak


komplit) merupakan fraktur yang melibatkan enamel, dentin dan
sementum tanpa disertai terbukanya pulpa.

6.

Complicated crown-root fracture (fraktur mahkota dan akar


komplit) adalah fraktur yang melibatkan enamel, dentin, dan
sementum yang disertai dengan terbukanya ruang pulpa.

7.

Root fracture merupakan fraktur yang melibatkan dentin,


sementum dan pulpa.

Gambar 1. Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca, 2005)

Cedera pada jaringan periodontal.

1.

Concussion (sensitif).
Merupakan cedera pada struktur pendukung gigi tanpa adanya
kehilangan yang abnormal atau pergeseran gigi, tetapi ditandai
dengan adanya reaksi sensitif terhadap perkusi.

2.

Subluksasi (kegoyangan gigi).


Cedera pada struktur pendukung gigi tanpa kehilangan abnormal
tetapi tanpa pergeseran gigi.

3.

Intrusif luxation (central dislocation).


Pergeseran gigi ke dalam tulang alveolar tanpa disertai hancurnya
atau fraktur soket alveolar.

4.

Extrusif luxation (peripheral dislocation, partial avultion)


Pergeseran sebagian gigi keluar dari soket alveolar.

5.

Lateral luxation
Pergeseran gigi ke arah lateral yang disertai hancur atau fraktur
soket alveolar.

6.

Exarticulation (complete avultion)


Pergeseran gigi yang komplit keluar dari soket alveolar.

(1)

(5)

(2)

(6)

(3)

(7)

(4)

(8)

Gambar 2. Cedera jaringan periodontal. (1) Concussion. (2) Subluksasi. (3) Intrusif luksatioin.
(4) Extrusif luxation. (5) dan (6) Lateral luxation. (7) Retained root. (8)
Exarticulation (Fonseca, 2005)

Cedera pada tulang pendukung.

1.

Comminution alveolar socket.


Fraktur atau remuknya soket alveolar mandibula atau maksila.
Keadaan ini biasanya ditemukan bersama-sama dengan luksasi
intrusi dan luksasi lateral.

2.

Fracture of the alveolar socket wall Fraktur dinding alveolar soket


yang ditahan oleh dinding soket fasial atau lingual.

3.

Fracture of alveolar process (fraktur prosesus alveolaris).


Fraktur prosesus alveolaris yang dapat atau tidak melibatkan soket
alveolar.

4.

Fraktur maksila atau mandibula.


Fraktur ini mengenai mandibula atau maksilla, dan dapat mengenai
prosesus alveolaris atau mungkin juga dengan atau tidak mengenai
soket alveolar gigi.

(1)

(4)

(2)

(5)

(6)

(3)

(7)

Gambar 3. Cedera tulang alveolar. (1) Comminution alveolar process. (2) dan (3)
Fracture of the alveolar socket wall. (4) dan (5 ) fracture of the alveolar
process. (6) dan (7 ) Fraktur mandibula atau maksila (Fonseca, 2005).

Klasifikasi menurut Ellis :


1.

Klas I : Tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau

2.

tanpa memakai perubahab tempat.


Klas II : Fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa

3.

dengan atau tanpa memakai perubahan tempat.


Klas III : Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dengan atau tanpa

4.

perubahan tempat.
Klas IV : Gigi mengalami trauma sehingga gigi menjadi non vital

5.
6.

dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota.


Klas V : Hilangnya gigi sebagai akibat trauma.
Klas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa hilangnya struktur

7.

mahkota.
Klas VII : Perpindahan gigi atau tanpa fraktur mahkota atau akar

8.
9.

gigi.
Klas VIII : Fraktur mahkota sampai akar.
Klas IX : Fraktur pada gigi desidui.

B. Klasifikasi Trauma Pada Skenario


Keluhan utama pasien adalah sakit gigi dan tidak nyaman setelah
terbentur ketika berenang 30 menit yang lalu. Gigi yang mengalami
trauma adalah gigi anterior rahang atas. Pemeriksaaan klinis intraoral
ditemukan gigi 11 mengalami luksasi derajat 2 dan gigi tersebut lebih
panjang 1 mm dari gigi tetangganya hal ini termasuk kedalam klasifikasi
cedera jaringan periodontal luksasi ekstrusif. Terdapat darah yang keluar
dari ligamen periodontal dan pasien merasakan sakit ketika gigi tersebut
beroklusi. Pada tes palpasi (+), tes vitalitas (+), dan perkusi (+).
C. Pemeriksaan pada Kasus Trauma Dentoalveolar
1.

2.

Pemeriksaan Umum
Tanda Vital

: Normal

Kesadaran

: Compos mentis

GCS

: Tidak ada Keterangan

Pemeriksaan Subjektif
Nama

: Tidak ada keterangan

Usia

: 11 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Chief Complaint

: Sakit gigi depan dan tidak nyaman setelah


terbentur ketika berenang 30 menit yang
lalu.

Present Illness

: darah keluar dari ligamen

periodontal

dan pasien merasakan sakit ketika gigi


beroklusi
Past Dental History

: Tidak ada keterangan

Family History

: Tidak ada keterangan

Past Medical History : Tidak memiliki riwayat penyakit sistemik


Social History
3.

: Tidak ada keterangan

Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan Ekstra Oral

4.

Muka

: Tidak ada keterangan

Dagu

: Tidak ada keterangan

Mata : Mata, pupil

: Tidak ada keterangan

Mata, sklera

: Tidak ada keterangan

Mata, konjungtiva

: Tidak ada keterangan

Bibir

: Tidak ada keterangan

Kelenjar Limfe

: Tidak ada keterangan

TMJ

: Tidak ada keterangan

Pemeriksaan Intraoral
Berdasarkan pemeriksaan intraoral, ditemukan bahwa gigi 11
luksasi derajat 2 serta lebih panjang 1mm dari gigi sebelahnya. tes
perkusi (+), tes vitalitas (+) dan tes palpasi (+).

5.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiografi tampak adanya area radiolusen
berbatas tegas pada sekitar apeks ligamen periodontal gigi 11.

6.

Diagnosis
Diagnosis

pada

skenario

tersebut

adalah

cedera

jaringan

periodontal luksasi ekstrusif (partial avulsion) et causa trauma.

D. Prosedur Perawatan pada Pasien


Kasus luksasi ekstrusif (partial avulsion) umumnya memiliki
gambaran klinis seperti gigi berpindah posisi sebagian keluar dari
soketnya, gigi tampak lebih panjang dan soket sangat longgar, ada
perdarahan di sulkus gingiva, gambaran raiografis gigi tampak dislokasi
dengan bagian apikal soket radiolusen. Rencana perawatan yang dapat
dilakukan adalah (Pedersen, 2012) :
1.

Anestesi infiltrasi, dapat berupa anestesi supraperiosteal maksila


pada nervus alveolaris superior anterior, nervus nasopalatina

2.

Reposisi gigi secara lembut dengan tekanan jari pada insisal edge

3.

Ketika gigi sudah direposisi, periksa oklusi

4.

Stabilisasi gigi selama 2 minggu dengan teknik splint Eyelet Ivy

5.

Foto radiografi untuk mengevaluasi posisi gigi dengan benar

6.

Setelah 2-4 minggu periksa kondisi pulpa secara radiografi dan


klinis

7.

Lepaskan splint setelah 2 minggu jika tidak terdapat perubahan


jaringan keras seperti resoprsi, kehilangan tulang

8.

Pada gigi dengan apeks terbuka, perlu follow up termasuk


pemeriksaan radiografik tes stabilitas, pada gigi dengan apeks
terutup kemungkinan

9.

Revaskularisasi sangat kecil sehingga bisa dilakukan PSA sebelum


pelepasan splint

10.

Kontrol berkala 6-8 minggu, 6 bulan, 1 tahun, dan setiap tahun


selama 5 tahun (Andreasen, 2007).

E. Alat dan Bahan yang Digunakan Untuk Prosedur Splinting Gigi


Alat dan bahan yang digunakan antara lain (Pedersen, 2012):
1.

Bahan anestesi lokal, lidokain 2%

2.

Needler holder

3.

Kawat steinless stell 0.3 atau 0.4 mm

4.

Tang Potong kawat

5.

Lidah ular

F. Syarat splinting yang baik


Alat stabilisasi atau alat stabilisasi secara umum harus memenuhi
persyaratan berikut ini (Andreasen, 2007) :
1.
Aplikasi pada intraoral secara langsung.
2.
Mudah dipasang dengan material yang tersedia di ruang praktik
3.
4.
5.
6.

dokter gigi.
Tidak meningkatkan cedera periodontal dan memicu karies.
Tidak mengiritasi jaringan lunak sekitar, hygienis dan estetis
Bersifat pasif, yaitu tidak menyebabkan tekanan pada gigi.
Dapat digunakan sebagai alat stabilisasi rigid, semi-rigid, atau

7.

fleksibel.
Mudah untuk dilepas dan memiliki risiko minimal atau bahkan

8.

tidak ada bahaya secara pemanen pada gigi.


Memungkinkan dilakukannya tes pulpa dan perawatan endodontik
Tipe Trauma

Waktu Alat Stabilisasing

Subluksasi

2 minggu

Ekstrusi

2 minggu

Avulsi

2 minggu

Luksasi Lateral

4 minggu

Fraktur Alveolar

4 minggu

Fraktur Akar (tengah-sepertiga apikal)

4 minggu

Fraktur Akar (sepertitiga servikal)

4 bulan

Tabel 1. Waktu Pemakaian Alat Stabilisasi

G. Teknik splinting eyelet ivy, earns, dan essig


Fiksasi merupakan suatu tindakan pemasangan alat berupa
splinting yang digunakan untuk menstabilkan satu gigi atau lebih dengan
mengikat atau menggabungkan gigi goyah atau berubah letak ke gigi
sebelahnya yang masih kokoh melalui kawat, band atau splin dari logam
cor, plastik, atau akrilik. Teknik splinting terbuka terdiri dari :
1.

Eyelet Ivy
Teknik splinting ini menggunakan kawat yang dibengkokan satu
sama lain untuk membentuk loop. Kedua ujung kawat dilewatkan

ruang interproksimal, dengan loop tetap di sebelah bukal. Satu


ujung dari kawat dilewatkan di sebelah distal dari gigi distal dan
kembalinya di bawah atau melalui loop, sedangkan ujung yang lain
ditelusupkan pada celah inerproksimal mesial dari gigi mesial.
Kedua ujung dipilin satu sama lain, dipotong dan dilipat pada aspek
mesial gigi mesial. Akhirnya loop di kencangkan dengan jalan
memilinnya (Cameron dan Widmer, 2008).

Gambar 4. Teknik Eyelet Ivy

2.

Earns
Prosedur teknik splinting Earns (Kruger, Schilli, 2008) yaitu:
a.

Anestesi pada daerah sekitar gigi yang akan dilakukan fiksasi

b.

Siapkan wire 0,4 mm dengan panjang 15 cm

c.

Fiksasi daerah gigi yang frakur dengan menggunakan dua


gigi tetangganya sebagai pegangan.

d.

Masukkan wire pada sisi interdental bagian distal gigi dari


arah depan ke belakang kemudian ujung wire yang berada di
bukal/labial

dimasukkan

ke

interdental

mesial

gigi.

Kemudian ujung wire yang berada di distal dimasukan ke


distal gigi sebelahnya lalu diteruskan kearah depan melewati
interdental. Setelah itu dipilin untuk mengencangkan gigi
yang akan di fiksasi tersebut.
e.

Potong kawat menyisakan 0,5 cm lalu dimasukan ke


interdental menggunakan lidah ular.

3.

Essig
Teknik splinting essig melalui beberapa langkah yaitu (Cameron
dan Widmer, 2008):
a.

Siapkan ligature wire ukuran 0,12 mm, burnisher, needle


holder, alkohol

b.

Potong kawat ukuran 0,12 mm sepanjang 20 cm sebagai


kawat primer, dan kawat ukuran 10 cm sebagai kawat
sekunder kemudian masukkan ke alkohol 70%

c.

Masukkan kawat primer dari permukaan labial gigi pegangan


sebelah distal dan masukkan kawat yang dimasukkan tersebut
melalui ujung distal gigi pegangan lainnya sehingga

mengelilingi beberapa permukaan gigi. Adaptasi kawat


sehingga berada pada 1/3 tengah gigi.
d.

Kedua ujung disimpul lalu potong dengan gunting tapi untuk


sementara jangan terlalu diketatkan

e.

Potong kawat sekunder yang 10 cm tadi menjadi 2 cm lalu


masukkan salah satu ujung dari permukaan labial ke lingual
lalu kembalikan ke permukaan labial lagi melalui kawat
sekunder, tarik kawat dengan menggunakan pinset

f.

Putar searah jarum jam sampai ketat lalu potong dan tekan
kearah insisal dengan burnisher

g.

lakukan hal yang sama pada gigi yang lain

h.

Ujung yang paling distal yang belum diketatkan plintir searah


jarum jam dengan needle holder kemudia potong kawat
dengan gunting kemudiaan tekan sisa kawat ke arah insisal

i.

Instruksi pasien: makan makanan yang lunak, datang 1


minggu kemudian untuk kontrol

DAFTAR PUSTAKA

Andreasen, J. O., Andreasen F. M., Andersson L., 2007, Textbook and


Color Atlas of Traumatic Injuries to The Teeth, Denmark:
Blackwell Publishing Company.
Cameron A.C., Widmer, R.P., 2008, Trauma Management In Cameron A.C.,
Widner, R.P., Handbook of Pediatric Dentistry, 3rd Ed.
Mossy : London
Fonseca RJ., 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St. Louis:;
Elsevier Saunders
Kruger E., Schilli W., 2008, Oral and Maxilofacial Traumatology, vol,
Quintessence Publishing : Chicago
Pedersen, G.W., 2012, Buku ajar praktis bedah mulut, EGC, Jakarta.
Welbury RR, Duggal MS, Hosey MT., 2005, Pediatric dentistry. 3 rd ed.,
New York: Oxford University Press

Anda mungkin juga menyukai