ABSTRAK
Lesi pigmentasi biasa ditemukan di dalam mulut. Lesi tersebut mewakili berbagai entitas
klinis, mulai dari perubahan fisiologis (misalnya pigmentasi ras) sampai manifestasi dari
penyakit sistemik (Misalnya penyakit Addison) dan neoplasma ganas (Misalnya melanoma dan
sarkoma kaposi). Oleh karena itu makalah ini disusun untuk memberikan pemahaman tentang
kelainan atau penyakit sistem stomatognatik dengan karakteristik lesi perubahan warna ditinjau
dari pengertian, jenis-jenisnya, etiologi/patogenitas, malignasi, penatalaksanaan pencegahan dan
pemeriksaan penunjang serta prosedur dan strategi penegakkan diagnosis dan diagnosis banding.
Lesi pigmentasi dapat terjadi karena adanya pigmen eksogen dan endogen. Kasus yang terdapat
pada skenario terjadi karena deposisi pigmen endogen yang dibuktikan dengan pemeriksaan
Warthin-starry dan pengecatan Perls. Warna biru keabu-abuan pada skenario dapat terjadi karena
hemochromatosis, konsumsi obat anti malaria yaitu atabrine yang digunakan untuk mengatasi
masalah sensitivitas pasien terhadap cahaya matahari serta porfiria cutanea tarda. Dari hasil
diskusi kelompok dapat disimpulkan bahwa diagnosis diferensial kasus tersebut adalah Porfiria
cutanea tarda, drug induced pigmentation dan hemochromatosis. Untuk mendapatkan hasil yang
lebih pasti diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan fisik, pengukuran UROD pada
plasma darah, air kemih dan tinja terhadap kemungkinan adanya porfirin, dan biopsi kulit. Terapi
yang dapat dianjurkan yaitu pembatasan meminum alkohol, menghindari konsumsi suplemen
yang mengandung besi, serta manajemen tanda dan gejala.
Kata kunci : lesi pigmentasi, Porfiria Cutanea Tarda, Drugs Induced Pigmentation,
Hemochromatosis
BAB I
PENDAHULUAN
Lesi pigmentasi biasa ditemukan di dalam mulut. Lesi tersebut mewakili berbagai entitas
klinis, mulai dari perubahan fisiologis (misalnya pigmentasi ras) sampai manifestasi dari
penyakit sistemik (Misalnya penyakit Addison) dan neoplasma ganas (Misalnya melanoma dan
sarkoma kaposi). Oleh karena itu, sebuah pemahaman tentang penyebab pigmentasi mukosa dan
di muka, kulit dan bibir perioral harus diketahui (Kauzman, et al, 2004). Lesi pigmentasi secara
umum dapat disebabkan oleh
ekstrinsik (misalnya, tato campuran), proses hiperplastik atau neoplastik (misalnya, melanoma),
dan pigmentasi oral iatrogenik misalnya melanosis perokok (Najjar and Dorfman, 2008).
Pigmentasi eksogen terjadi karena implantasi benda asing pada mukosa oral. Pigmen endogen
dapat berupa melanin, hemoglobin, hemosiderin dan karotin. Melanin diproduksi oleh melanosit
di lapisan basal epitel dan sel nevus yang merupakan turunan dari krista neural dan ditemukan
pada kulit dan mukosa. Lesi pigmentasi yang disebabkan oleh peningkatan produksi melanin
dapat berwarna coklat, biru, abu-abu atau hitam tergantung pada jumlah dan lokasi melanin
dalam jaringan (Greenberg and Glick, 2003).
Makalah ini akan membahas sebuah kasus mengenai lesi berwarna biru keabu-abuan pada
palatum durum bersifat asimtomatik dan tidak berubah warna saat ditekan yang dialami oleh
seorang petani pria berusia 35 tahun. Pembahasan dalam makalah ini mencakup pengertian dan
macam-macam kelainan atau penyakit sistem stomatognatik dengan karakteristik lesi perubahan
warna, kondisi patologis dan sindroma yang menyebabkan lesi perubahan warna, prosedur dan
strategi penegakkan diagnosis dan diagnosis banding, konsep dasar penatalaksanaan
kelainan/penyakit lesi perubahan warna, lesi prekanker dan kanker rongga mulut, serta prinsip
dasar pencegahan dan pemeriksaan penunjang diagnostik.
Beberapa penyakit/kelainan yang memiliki karakteristik lesi pigmentasi diantaranya adalah
Porfiria Cutanea Tarda yang merupakan salah satu dari banyak tipe porfiria, dipicu oleh
defisiensi enzim yang disebut uroporfirinogen dekarboksilase (UROD); Drug Induced
Pigmentation karena konsumsi atabrine yang merupakan terapi supresif terhadap malaria dan
berefek samping timbulnya suatu hiperpigmentasi mukokutaneus biru-hitam (Pinborg, 2009);
serta hemochromatosis yaitu gangguan umum di mana terdapat akumulasi tinggi dari besi dalam
jaringan dan organ dalam tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI LESI PERUBAHAN WARNA
1. LESI PUTIH
Lesi putih merupakan suatu istilah non spesifik yang digunakan untuk menunjuk
suatu daerah abnormal dari mukosa mulut yang pada pemeriksaan klinis tampak lebih putih
daripada jaringan di sekelilingnya dan biasanya agak lebih tinggi dari sekitarnya, lebih kasar,
atau memiliki tekstur yang berbeda dari jaringan normal di dekatnya (Lynch, 1992).
Lesi putih terjadi akibat berbagai macam perubahan patologis dan memiliki etiologi
yang bermacam-macam pula. Pada pemeriksaan yang lebih teliti, beberapa diantaranya,
dapat dikategorikan lebih jauh, berdasarkan gambaran klinis khususnya seperti riwayat,
lokasi, tekstur, dan kemudahan lesi itu untuk diangkat dari mukosa (Lynch, 1992).
Secara klinis terdapat suatu perbedaan pada lesi:
a. Lesi Nonkeratotik
Adalah lesi yang mudah diangkat, dan seringkali meninggalkan suatu daerah yang
kasar atau sedikit kemerahan dari mukosa bisa hanya dari debris atau suatu peradangan
pseudomembranous.
b. Lesi Keratotik
Adalah lesi yang sulit atau tidak bisa diangkat dengan gosokan dan kerokan
dianggap sudah melibatkan penebalan epitel mukosa dan mungkin sebagai akibat dari
meningkatnya ketebalan lapisan yang berkeratinisasi.
(Lynch, 1992).
Penyebab timbulnya daerah keputihan pada mukosa ini, seperti peningkatan ketebalan
epidermis yang ditutupi dengan peningkatan produksi keratin (hiperkeratosis), atau produksi
keratin yang abnormal dan imbibisi cairan oleh lapisan atas mukosa. Umumnya, lesi putih
4
terjadi akibat trauma atau luka pada mukosa atau yang merupakan akibat dari kerakteristik
ras atau karakteristik yang ditetapkan oleh genetik lainnya dari mukosa (Lynch, 1992).
Sama seperti pada kulit, warna pada mukosa oral bergantung pada hubungan suplai
aliran darah pada permukaan dan jumlah keratin pada permukaan. Jika epithelium ditutupi
oleh eschar atau pengelupasan kulit, lapisan permukaan sakitarnya akan berwarna putih
(Bricker Et Al, 1994).
2. LESI MERAH
Lesi merah terbukti memiliki potensi pre-kanker yang jauh lebih besar dibanding
dengan lesi putih. Lesi merah dalam konteks ini mengacu pada suatu daerah dari mukosa
yang memerah, mungkin licin dan kelihatan atrofi atau menunjukkan suatu tekstur yang
beludru dan granuler. Lesi seperti ini terjadi sebagai suatu lesi tunggal atau disertai dengan
daerah hiperkeratosis dan umumnya hanya ditemukan melalui pemeriksaan yang lebih teliti
daripada yang dibutuhkan untuk mendeteksi sebagian besar lesi putih. Mayoritas lesi merah
tidak bergejala.
3. LESI PIGMENTASI
Mungkin seperti lesi yang terlokalisasi, umum, atau disebabkan oleh kimia atau
logam berat (Bricker Et Al, 1994). Jaringan mulut dapat dianggap variasi pada diskolorisasi.
Proses penyakit dapat mencapai puncaknya pada bentuk pseudomembran, peningkatan
keratinisasi (lesi putih), atau peningkatan vaskularisasi (lesi merah). Diskolorisasi Biru,
coklat, dan hitam membentuk lesi berpigment pada mukosa mulut, dan seperti perubahan
warna dapat dianggap deposisi pada pigment endogen atau eksogen. Meskipun banyak
kandungan biokimia dan produk metabolik yang dipigmenkan, hanya sedikit yang terdeposit
di mukosa mulut meskipun beberapa terakumulasi pada perkembangan dentin selama
5
hemosiderin, dan melanin. Hemoglobin memberikan warna biru atau merah pada mukosa
dan memperlihatkan kembali pigmen yang berhubungan dengan lesi vaskular. Pewarnaan
disebabkan oleh eritrosit mengalir meskipun pembuluh terlindungi. Hemosiderin berwarna
coklat dan didepositkan sebagai akibat dari ekstravasasi darah, yang terjadi karena
mekanisme trauma atau kelemahan di hemostatik(Greenberg dan Glick, 2003).
Lesi pigmentasi terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Pigmentasi terlokalisasi
b. Generalized pigmentation
c. Pigmentasi bahan kimia dan logam berat
Jarang terjadi pada jaman modern. Biasanya kuku, rambut, dan mukosa mulut
terpengaruhi. Warna dapat berubah karena presipitasi pada partikel silver (Bricker
dkk., 1994).
2. INFEKSI
a. HIV/AIDS-Associated Melanosis
1) Tanda dan gejala
Pasien yang mempunyai HIV akan menunjukkan gejala hiperpigmentasi pada
kulit, kuku dan membrane mukosa.
2) Perangai Klinis
Pigementasi kelihatan seperti pigmentasi yang berlaku pada kebanyakan
melanosis yang berdifusi. HIV-associated pigmentasi ini secara mikroskopos
memiliki karakterisasi pigmen melanin basal dengan perluasan ke dalan lapisan
mukosa.
3) Etiologi
7
Destruksi Adrenocarticoid
virulen.
4) Pemeriksaan
Korelasi yang ketara pada mucocutaneos pigment dan CD4 count
cellc/L<200.
b. Acute Pseudomembranous Candidiasis
1) Etiologi
Candidiasis disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dari Candida albicans,
Mirip dengan organisme yang memproduksi pigmen cokelat atau hitam,
bertanggungjawab pada black hairy tongue.
2) Perangai Klinis
Keadaan ini dapat dicirikan dengan area putih pada mukosa oral yang dapat
diseka, dan meninggalkan daerah perlukaan merah.
3) Terapi
Terapi harus bertujuan untuk member kontak pada agen anti jamur dengan
area yang terinfeksi. Pada hal ini, menyikat dorsum lidah dengan campuran antara
pasta gigi, pumice, dan mouthwash, selain untuk berkontak dengan antifungal
lozenges, biasanya membawa resolusi. Terapi terbaik untuk candidiasis adalah dengan
penggunaan nystatin vaginal tablet sebagai lozenges. Untuk kasus yang sulit
disembuhkan tablet amphotericin B 10 mg dan tablet clotrimazole vaginal sangat
berguna sebagai lozenges.
4) Pemeriksaan
Diagnosis pada candidiasis dapat dibuat oleh biopsi atau smear atau
mengkultur organisme (Bricker dkk., 1994). Pada kasus berulang atau yang sulit
ditangani, penyakit-penyakit sistemik seperti diabetes, endocrinopathies, kelainan
autoimun, dan penggunaan obat cytotoxic harus dicurigai keterkaitannya.
8
telah diidentifikasi ada di dalam sel-sel epitel yang terjangkit. Dinamakan Hairy
Leukoplakia karena kupasan seperti rambut dari lapisan permukaan parakeratotik.
2) Tanda dan Gejala
Lesi ini adalah asimptomatik tetapi akan menunjukkan simptom apabila
diinfeksi dengan candida albicans. Tanda dan gejala menunjukkan terdapat lesi
HL ini adalah characteristic gross appearance (dengan atau tanpa respon pada
antifungal terapi). Jarang terjadi pada pasien dengan imun sistem yang normal.
3) Gambaran Klinis
Hairy Leukoplakia menimbulkan lipatan-lipatan tegak vertikal yang putih
pada sisi lateral lidah. Lesi ini dapat dilihat putih dan kadang-kala elevated plaque
yang tidak dapat dibersihkan. Pada mulanya lesi lesi tersebut mempunyai lipatanlipatan agak putih dan lekuk-lekuk merah muda disekitarnya yang saling
bergantian. Sehingga membuatnya tampak bak cuci dengan lirik putih vertikal
yang khas. Lesi-lesi besar biasanya tidak mempunyai gejala, tepi-tepinya tidak
berbatas jelas dan tidak hilang dengan gosokan. Lesi ini telah tercatat dijumpai di
palatum dan mukosa pipi.
4) Diagnosis
Terlihat bercak putih atau coklat di lidah atau mukosa pipi dan tidak sakit
bila mengenai tepi lateral lidah.
5) Pengobatan
Obat antivirus seperti Aciclovir, akan menghalang replikasi EBV, dapat
mengurangi ukuran lesi tetapi kurang membantu dalam mengubah proses infeksi
HIV.
6) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Pada pemeriksaan histologis menunjukkan hiperkeratosis, koilositosis,
akantosis, dan terdapat nuclear bonding dan chromatin margination. Koilositosis
dengan edemous epithelial cell dan pyknotic nuclei merupakan characteristic
patofisiologisnya.
10
(Laskaris, 2006)
b. Dyskeratosis Congenital
Dikenal dengan nama lain ZinsserEngmanCole syndrome, penyakit yang jarang
terjadi (Laskaris, 2006). Biasanya terjadi dari campuran 3 ras yaitu kulit putih, Indian dan
afrika-amerika di kota Halifaxm, North Carolina (Regezy et al, 2003).
11
1) Perangai Klinis
Terjadi hiperpigmentasi, daerah tesebut atropik, telangiaktasia, kuku
membesar, bulla pada kulit dan mukosa, blepharitis, dan ectropiom, anemia, dan
bermanifestasi di oral. Lesi oral terdapat luka melempuh yang berulang, epitel atropi,
dan leukoplakia. Mungkin bisa terjadi karsinoma sel skuamous (Laskaris, 2006).
2) Etiologi
Genetik, mungkin berhubungan denga autosomal resesif dan ikatan kromosom
X (Laskaris, 2006). Kromosom 4q35 waktu pembelahan tahap telofase (Regezy et al,
2003)
3) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Hampir mirip antara mukosa oral dan konjungtiva. Epitel mengalami
hiperplasi dan akantosis dengan edema interselular. Pembesaran keratinosis hialin
pada separuh sel epotel. Sel infiltrate inflamasi sedikit di lamina propia, dan jaringan
ikat dan epitel masih dapat dibedakan dengan jelas. (Regezy et al, 2003)
4) Diferensial Diagnosis
Leukoplakia, linken planus, epidermosis bulosa, pachyonychia congenital
(Laskaris, 2006).
5) Treatment
Supportif (Laskaris, 2006).
c. White Sponge Nevus
Dikenal dengan nama lain penyakit cannon, merupakan genodermatosis yang
jarang terjadi
1) Perangai Klinis
Terdapat lesi simetris dengan banyak kerutan dan tekstur seperti sponge. Lesi
sudah terlihat sejak lahir, atau di masa kanak-kanak. Sering tejadi di mukosa bukal
12
dan ventral lidah, meskipun luka juga bias berkembang di berbagai tempat di mukosa
mulut bahkan di mukosa genitalia dan rectal (Laskaris, 2006). Ditemukan secara
bilateral pada mukosa bukal, tetapi dapat juga pada mukosa labial, palatum lunak,
gingival dan area lain. Kulit tidak terpengaruhi. Biasanya tebal, terdapat area putih
yang tidak memiliki signifikansi klinis (Bricker dkk., 1994).
2) Etiologi
Genetik, berhubungan dengan autosomal dominan pada jenis yang luas dan
berpenetrasi tinggi yang biasanya terlihat pada saat kelahiran tetapi terus bertahan
selama hidup (Bricker dkk., 1994; Laskaris, 2006).
3) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Secara mikroskopis terjadi penebalan epitel, ditandai dengan spongious,
akanthosis, dan parakeratosis. Di dalam stratum spinosum, terjadi hidropik dan
perubahan sel, diawali di region parabasal dan meluas hingga permukaan. Terdapat
sitoplasma perinuklear yang bersifat eosinophilik seperti duri, terlihat sel parenkim
dari spinosum ke permukaan (Regezy et al, 2003).
4) Tretament
Tidak memerlukan treatment (Laskaris, 2006).
5) Pemeriksaan
Biopsy adalah diagnostic, dan pertanyaan tentang anggota keluarga dapat
menolong (Bricker dkk., 1994).
d. Pachyonychia Congenita
Dikenal
dengan
JadassohnLewandowski
syndrome,
adalah
penyakit
13
1) Perangai Klinis
Terlihat adanya penebalan kuku secara simetris, palmolantar hyperkeratosis,
hiperhidrosis, melempuh, keratosis folikular, dan lesi di oral. Lesi di oral telah terlihat
sejak lahir dan tampak seperti plak tebal yang berwarna putih atau putih keabu-abuan,
biasanya di mukosa bukal, lidah, dan gingival. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
riwayat dan penampakan klinis,
2) Etiologi
Genetik, berhubungan dengan autosomal dominan
3) Diferensial Diagnosis
Dyskeratosis congenita, leukoplakia, lichen planus, white sponge nevus, dan
focal palmoplantar dan oral mucosa hyperkeratosis sindrom.
(Laskaris, 2006)
e. Folikular Keratosis (Darter's disease, Darier-White disease)
15
4) Diferensional Diagnosis
CREST syndrome, varicosities, Maffucci syndrome, multiple hemangiomas
5) Treatment
Supportif (Laskaris, 2006). Terapi hati-hati ketika dilakukan pembedahan,
obat emobilisasi daan sclerosant, terapi leser (Regezy et al, 2003).
g. Normal Pigmentasi
Meningkatnya produksi melanin di ukosa oral yang sering terjadi secara
fisiologis, khususnya pada individu dengan kulit hitan
1) Perangai Klinis
Pigmentasi ini bersifat persisten dan simetris, asimtomatis, adanya area hitam
atau coklat dengan ukuran yang bervariasi. Sering terkadi di gingival, lalu di mukosa
bukal, palatal, dan lidah. Pigmentasi akan lebih sering di daerah yang terkena tekanan
atau gesekan, dan akan meningkat pigmentasinya seiring bertambahnya umur
2) Etiologi
Pada individu dengan kulit hitam
3) Differential Diagnosis
Addison disease, smokers melanosis, drug-induced pigmentation, pigmented
nevi, melanoma, amalgam tattoo.
4) Treatment
Tidak memerlukan treatment (Laskaris, 2006).
h. Makula Cafe-au-lait (neurofibromatosis)
Merupakan suatu pigmentasi yang terjadi pada kulit secara ireguler dan berwarna
coklat. Terlihat pada waktu lahir dan juga terdapat pada anak yang normal
16
1) Etiologi
Gangguan autosomal-dominant, terdapat dua jenis yaitu neuro-fibromatosis 1
(NF1; yang dulunya dikenal von Reck-Unghausen's disease) dan neurofibromatosis 2
(NF2; acoustic neurofibromatosis). NF1 lebih sering biasanya terjadi pada 1 dari
3000 individu.
2) Klinis
Neurofibroma terjadi pada kulit, mukosa oral, nervus, sistem syaraf pusat, dan
rahang. Terdapat tanda bintik-bintik (Crowe's sign) yang pathogonomanic
3) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Tidak dapat ditandai secara khusus, menunjukkan adanya melanin pada
keratinosit di basal dan makrofag, melanosit tampak normal dan kadang juga
meningkat.
(Regezy et al, 2003)
i. Keratosis follicularis
Adalah penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan, yang memiliki
predileksi pada pria. Disebut juga Darier disease dan Darier-White disease. Penyakit
Darier dikarakteristikkan oleh hiperkeratosis coklat kekuningan crusted papule termasuk
muka, badan dan ekstrimitas. Lesi pada oral adalah multiple small, papul keratosis putih
yang biasanya menjadi cobblestone (batu kerikil) disekitarnya (Bricker Et Al, 1994).
1) Etiologi
Penyakit ini jarang ditemui tetapi dapat timbul sebagai akibat hiposekresi
hormon adreno kortikotropik (ACTH) dari kelenjar hipofisis atau karena rusaknya
korteks adrenal, yang membuat hormon yang menstimulasi melanosit (MSH) dan
pengendapan melanin dalam kulit, sebagai akibat dari penyakit tuberkolosis, beberapa
infeksi parasit yang kronis atau keganasan. Akhir-akhir ini penyakit addison
diasosiasikan dengan penyakit HIV. Dewasa ini sebagian besar kasusnya tidak
diketahui penyebabnya.
2) Tanda dan Gejala
Penderita mengalami rasa lelah, letargi, menurunnya berat badan, mual,
muntah, tekanan darah rendah, dan hiperpigmentasi kulit.
3) Gambaran Klinis
Pigmentasi abnormal dari kulit dan membran mukosa merupakan salah satu
tanda-tanda paling dini dari penyakit Addison. Pigmentasi abnormal ini memiliki
tendensi untuk timbul dalam jaringan parut dan lipatan-lipatan kulit. keadaan ini juga
dapat timbul pada mukosa mulut dimana keadaannya tampak menyerupai bintikbintik ungu kebiruan yang kelihatannya seperti menempel pada mukosa mulut. Dalam
penyakit Addison yang khas dan sudah berkembang nyata, kulit pasien mungkin
berwarna merah tua.
Hiperpigmentasi pada penderita penyakit ini, kulit akan menjadi coklat
perunggu. Warna ini menetap setelah terpapar matahari. Proses menjadi hitam,
awalnya terlihat pada buku-buku jari, siku, lipatan telapak tangan, dan mukosa intra
oral.
Secara intra oral, ditandai oleh hipermelanosis yang penampakannya sama
dengan melanoplakia. Polanya tidak unik dan dapat terdiri atas bercak-bercak biru
hitam multipel atau biru hitam menyeluruh, coret-coret difus dari pigmentasi coklat
tua. Biasanya terjadi di mukosa pipi dan gusi, tetapi pigmentasi dapat meluas ke lidah
dan bibir.
18
4) Diagnosis
Pada umumnya terjadi pada penderita hipotensi. Pemeriksaan serologis
menunjukkan adanya penurunan kadar natrium bersamaan dengan meningkatnya
kalium. Fungsi adrenal dapat dilihat dari respon terhadap ACTH sintetis (tes
sinakden).
5) Pengobatan
Glukokortikoid dan mineralokortikoid yang diberikan secara sistemik bisa
memperbaiki defisiensi ini. Terapi penggantian dengan kortikosteroid akan
mengurangi hiperpigmentasi sedikit demi sedikit.
6) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Penyakit ini sering disertai dengan suatu eusinofilia yang mana bisa sampai
80-90%. Biasanya daerah-daerah yang berpigmen bentuknya mapula, tidak
menimbul, coklat, dan bentuknya bervariasi.
7). Pemeriksaan
Sederetan prosedur-prosedur laboratorium yang canggih akan memungkinkan
dokter untuk menegakkan diagnosa dari penyakit ini yang meliputi pemeriksaan air
seni 24 jam untuk penetapan 17-ketosteroid atau 7-hidroksikortikosteroid. Penyakit
ini biasanya memberikan respon yang baik terhadap terapi dalam bentuk penggantian
hormon yang sesuai. Dokter gigi yang teliti mungkin dapat menjadi orang pertama
yang mencurigai penyakit ini karena adanya pigmentasi yang karakteristik dari
mukosa mulut dan gejala umum seperti malaise, yang disertai dengan tekanan darah
rendah.
2. PIGMEN EKSOGEN
a. Melanosis Perokok (Pigmentasi Berkaitan dengan Tembakau)
1) Tanda Dan Gejala
Bercak coklat pada mukosa, palatum, lidah, dasar mulut dan pipi
19
2) Perangai Klinis
Derajat pigmentasi berkisar dari coklat muda sampai tua dan tampak langsung
berhubungan dengan banyaknya tembakau yang dihisap. Biasanya kita menjumpai
focus coklat tua yang tersebar asimetris sebagai bercak tidak jelas yang coklat muda.
3) Etiologi
Melanosis perokok mengenai orang-orang lebih tua yang perokok berat.
Tampak sebagai bercak coklat difus yang ukurannya beberapa sentimeter. Gusi
anterior mendibula dan mukosa pipi adalah daerah yang peling sering terkena.
Daerah-daerah rawan lain termasuk mukosa bibir, palatum, lidah, dasar mulut, dan
bibir. Melanosis perokok bukan permulaan keganasan, tetapi klinisharus diperhatikan
dengan cermat jaringan-jaringan di sekitarnya untuk lesi-lesi lain akibat tembakau.
4) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Merokok memberi perubahan warna yang khas pada permukaan mukosa yang
disebut melanosis perokok. Hubungan antara melanosis perokok dan perubahanperubahan radang yang diakibatkan panas, mengisap asap dan absorbs pigmenpigmen eksogen belum bisa dipastikan. Keadaan tersebut bukanlah proses fisiologis
ayng normal, tetapi terutama lebih diakibatkan dari pengendapan melanin dalam
lapisan sel basal dari mukosanya.
c. Tatto
Tatto disebabkan karena kesengajaan atau tidak sengaja pada pigmen eksogen di
mukosa. Tipe yang paling umum adalah amalgam tattoo, yang biasanya berwarna agak
20
kehitam-hitaman. Paling sering terlihat pada area gingival edentulous dan dihasilkan dari
pengisian amalgam ke dalam soket gigi selama ekstraksi. Amalgam tattoo dapat terlihat
di daerah palatum, mukosa bukal, dan dasar mulut. Memiliki variasi millimeter pada
diameternya (Bricker Et Al, 1994).
d. Ephelis
Ephelis adalah bintik-bintik yang muncul pada bibir dan kulit seperti bercahaya
atau macula coklat gelap. Predileksi untuk ephelis adalah orang-orang dengan lightskinned atau red-headed (Bricker Et Al, 1994).
e. Nevus
Nevus atau tahi lalat lebih umum terlihat pada kulit dibanding dengan mulut.
Prevalensi Nevus berwarna biru 36%, intramukosa nevus 55%, nevus campuran 6%,
junctional nevus 3%. Semuanya termasuk benigna. Paling sering terjadi pada faring,
palatum, dan mukosa bukal. Intraoral nevus bisa datar atau timbul, nonpigmented atau
pigmented. Pigment bervariasi warnanya, dari pink, coklat, abu-abu, biru, atau hitam.
Nevus ini biasanya terlihat papula kecil atau makula dan terjadi pada palatal (38%) dan
mukosa bukal (19%) (Bricker Et Al, 1994).
21
3. MEDIKAMENTOSA
a. Antimalarial Pigmentation
1) Tanda Dan Gejala
a) Timbul hiperpigmentasi biru keabu-abuan di bawah kuku, di palatum durum
(Pinborg, 2009), serta di konjungtiva (Neville, 2003).
b) Hiperpigmentasi berwarna kekuningan juga ditemukan di kulit (Neville, 2003).
2) Perangai Klinis
Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat antimalaria terjadi di kulit, mukosa,
subungual, jarang di lempeng kuku. Jaringan dari wajah, subngual, dan pretibial yang
paling sering terkena. Mukosa mulut terdapat pigmentasi dari palatum keras dengan
suatu batas yang jelas antara palatum keras dan palatum lunak sebagai bercak-bercak
yang tidak teratur atau garis-garis pigmen pada satu atau kedua sisi garis tengah,
akhirnya bersatu dengan makin lamanya terapi supresif. Pigmentasi pada palatum
durum berwarna kelabu kebiru-biruan hingga hampir hitam (Burket, 2008; Pindborg,
2009).
3) Etiologi
Akibat terapai supresif terhadap malaria dengan pemberian quinacrine
(Atabrine), amodiaquine (Camoquin) atau hydroxychloroquine (Ercoquin) paling
sedikit 4 bulan dapat menimbulkan pigmentasi bila dilanjutkan selama 2 tahun atau
lebih, 66% penderita akan memperlihatkan adanya pigmentasi oral, tampak seperti
melanin.telah terbukti dapat menimbulkan suatu hiperpigmentasi mukokutaneus biruhitam (Pinborg, 2009). Umumnya pigmentasi ini menghilang bila peggunaan obat
dihentikan (Burket, Et Al, 2008).
Kasus pernah ditemukan pada pasukan-pasukan Perang Dunia II yang
berperang selama 6 bulan yang mendapatkan terapi supresif terhadap malaria dengan
22
penggunaan quinacrine (atabrine). Kemudian ada juga penelitian dari papua nugini,
pigmentasi disebabkan oleh obat anti malaria amodiaquine (Camoquin)
Chloroquine juga memiliki efek samping menyebabkan rambut berwarna
kelabu, merusak sel-sel otot, dan menurunkan jumlah darah. Bila penggunaan dalam
jangka waktu yang panjang bisa menyebabkan penumpukan pigmen kulit warna
merah atau biru (Wallace, 2007).
Klorokuin dan hidroksiklorokuin menyebabkan warna biru keabu-abuan, biruhitam. Kuinakrin menimbulkan warna kekuningan (Murniati, dkk., 1992).
4) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Dimulai dengan pigmentasi pada palatum sebagai bercak-bercak yang tidak
teratur atau garis-garis pigmen pada satu atau kedua sisi garis tengah, akhirnya
bersatu dengan makin lamanya terapi supersif yang diberikan. Beberapa peneliti
menyebutkan lesi ini akan menghilang sesudah akhir terapi, sedangkan yang lainnya
mengatakan tidak terjadi penghilangan lesi sesudah akhir terapi (Pinborg, 2009).
e. Pemeriksaan
Pemeriksaan histologis dari spesimen biopsi yang diambil dari kulit pasien ini
menunjukkan suatu granula kekuningan sampai coklat tua yang menyerupai melanin,
sekalipun komposisi yang pasti tidak diketahui.
1) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Hiperpigmentasi mukokutaneous biru-hitam. Kulit pasien menunjukkan suatu
granula kekuniangan sampai coklat tua menyerupai melanin.
b
Smokers Melanosis
1) Tanda dan Gejala
Hiperpigmentasi di mukosa oral.
2) Perangai Klinis
a) Lesi pigmentasi dapat berwarna terang sampai gelap.
23
b. Hemokromatosis
1) Etiologi
Penyakit endogenik ini terjadi akibat deposisi zat besi dan juga melanin dalam
jumlah abnormal dalam jaringan tubuh. Keadaan ini menunjukkan adanya gangguan
metabolisme zat besi dan dapat terjadi akibat meningkatnya masukan zat besi seharihari, Tranfusi yang berlebihan atau obat-obat yang mengandung zat besi lainnya
secara parental atau peningkatan absorbsi zat besi di dalam usus. Pigmentasi ini telah
dilaporkan terjadi dalam 90-97% dari kasusnya dan lebih sering disebabkan oleh
melanin daripada zat besi atau kombinasi dari keduanya. Pigmentasi di kulit mirip
dengan yang ditemukan dalam penyakit Addison.
2) Tanda dan Gejala
Memiliki 4 gejala klasik berupa: sirosis hati, diabetes, gagal jantung, dan kulit
yang berwarna tengguli terjadi dalam 82% dari kasusnya, keadaan ini jarang
ditemukan pada pasien muda, dan mulai timbul keadannya biasanya terjadi antara
usia 40-60 tahun.
Penyakit ini dapat didiagnosa dengan teknik pewarnaan khusus pada spesimen
biopsi dan dalam laboratorium berdasarkan peningkatan konsentrasi zat besi dalam
plasma.
3) Perangai Klinis
Kombinasi dengan pigmentasi zat besi dan melanin menghasilkan warna
merah tua yang merupakan suatu gambaran klinis yang penting dari penyakit ini.
Pigmentasi di kulit mirip dengan yang ditemukan dalam penyakit Addison. Gejala
dalam mulutnya terdiri dari: pigmentasi biru keabu-abuan pada palatum durum
dengan derajat yang lebih ringan pada jaringan gingiva yang melekat. Terjadinya
pigmentasi dalam jaringan tersebut dapat menimbulkan kecurigaan terhadap penyakit
ini dalam diri dokter gigi atau ahli periodontologi. Sedikitnya, 15-20%
hemakromatosis ini memiliki pigmentasi di mulut.
25
3) Histopatologi
Terdapat pigmentasi melanin yang abnormal dari daerah di sekeliling dan di
daerah interdigital tangan. Polikosis dari uterus dan fossa nasalis mungkin disertai
dengan pigmentasi abnormal serupa. Daerah-daerah pigmentasi ini tidak memberikan
gambaran yang khas untuk dibedakan dari daerah pigmentasi yang dijumpai dalam
penyakit Addison.
4) Patofisiologis
Sindroma ini yang disertai dengan pigmentasi dari jaringan mulut dan juga
poliposis intestinal, baik kecil maupun besar, merupakan suatu kondisi yang
diwariskan dan terjadi dalam frekuensi yang sama besarnya baik pada pria maupun
wanita.
28
Akurasi suatu diagnosis itu akan tercapai tergantung pada anamnesis dan pemeriksaan
data yang dikumpul dan berdasarkan pengetahuan operator dan kemampuan untuk mencocokkan
data klinis dengan representasi konseptual proses berlaku suatu penyakit itu.
Operator yang bb
fisiologi manusia, etiologi penyakit dan pengetahuan yang luas dapat menghasilkan diagnosis
yang baik.
Untuk perawatan yang efektif, apabila terdapat lebih dari satu masalah kesehatan,
diagnosis untuk keluhan utama disenaraikan dulu dan diikuti dengan subsidiary diagnosis.
Kondisi yang didiagnosis terlebih dahulu harus diperhatikan. Diagnosis final tidak boleh
ditentukan sebelum melakukan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan laboratorium (Greenberg,
2008). Menurut Wood (1997), operator harus menimbangkan faktor usia, jenis kelamin, ras,
negara asal, dan lokasi anatomi dalam menentukan diagnosis.
Setelah didapatkan hasil pemeriksaan lesi, dilakukan diagnosis pada lesi tersebut, dibuat
daftar diagnosis banding untuk kemudian dibuat peringkat berdasarkan persamaan dengan
penyakit/lesi. Diagnosis banding yang paling mirip dengan lesi yang diperiksa diletakkan pada
peringkat teratas sedangkan diagnosis banding yang paling tidak mirip diletakkan di peringkat
terbawah.
Tahapan-tahapan diagnosis diferensial meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
29
30
Palatum mole dapat dilihat dengan menggunakan kaca mulut, pantulan cahaya,
depressing pada lidah, dan pasien menyebut ahh. Palatum mole dipalpasi dengan
menggunakan index finger dan menekannnya ke arah atas.
f. Orofaring dan Nasofaring
Daerah orofaring diperiksa dengan meletakkan kaca mulut pada dorsum lidah
pasien kemudian menekan menggunakan tongue blade, kaca diletakkan orofaring dekat
dengan dinding post
erior faring. Kaca mulut itu kemudian dirotasikan untuk melihat nasofarink.
g.
Tongue
Lidah dilihat dengan keadaan mulut pasien terbuka luas. Tremor yang luar biasa,
bentuk, saiz, corak fissural, panjang papila, perubahan pada corak retensi keratin,
perubahan warna, elevasi, depression, dan bentuk batas diperhatikan. Untuk melihat
semua permukaan, spons kasa digunakan untuk meretraksi lidah ke depan, kiri, kanan,
bawah, dan ke atas. Radix lidah dapat dipalpasi dengan penggunaan topical anestesi
untuk kontrol gerak reflex.
h. Dasar mulut
Dasar mulut dapat dilihat dengan mengarahkan pasien mengangkat lidah ke atap
mulut. Cahaya dipantulkan menggunakan kaca mulut ke bagian anterior lidah. Caruncula
dikeringkan dan fungsi kalenjar mandibular dievaluasi dengan menekan kalenjar. Saliva
akan keluar melalui pembukaan duktus. Dasar mulut posterior dan tepi lingual alveolar
ridges dapat diamati dengan retraksi lateral tepi lidah dengan kaca mulut. Palpasi secara
manual adalah dengan meletakkan jari pada mulut pasien dan ujung jari tangan satu lagi
pada area submandibular. Apabila lidah pasien relaks dan mulut pasien tertutup sedikit,
dasar lidah lebih mudah untuk dipalpasi.
i. Muskulus mastikasi
Temporalis muskulus di palpasi dengan menyuruh pasien clenched gigi pasien.
Muskulus Masseter dapat dipalpasi dengan mengkatup rahang pasien secara paksa. Pada
31
muskulis internal pterygpid, bagian posterior muskulus ini tidak dapat dipalpasi. Bagian
anterior muskulus ini dipalpasi dengan meletakkan jari dengan sudut 45 dari dasar mulut
pasien. Muskulus pterugoideus eksternal pasien dideteksi dengan menggunakan jari pada
lateral tuberositas maksila dan medial pada prosesus coronoideus. Jari menekan area itu
kemudian perubahan abnormalitas dievaluasi.
j. Periodontium
Pemeriksaan pada daerah periodontium dilakukan dengan teknik vision, palpasi
dan probing.
lingual. Perubahan dari warna coral pink, ketajaman sudut gingiva tepi, bentuk papila
interdental yang berkait dengan lokasi dan lengkung gigi, kehadiran dan derajat inflamasi
gingival, kehadiran plak diperhatikan.Gingival yang merah, berdarah apabila di palpasi
atau diprob, menunjukkan terjadi inflamasi di gingival.
2. Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan klinis merupakan suatu proses untuk mendapatkan informasi supaya
diagnosis dapat dilakukan. Teknik untuk mendapatkan informasi beda dari setiap dokter gigi.
Inspeksi visual dan palpasi merupakan teknik pemeriksaan yang sering digunakan. Daerah
yang diinspeksi harus diamati perubahan pada ukuran, tekstur, bentuk, warna, dan bentuk.
Daerah yang basah harus dikeringkan menggunakan spon untuk mengurangi jumlah cahaya
yang terpantul. Tujuan dari pemeriksaan klinis ini adalah untuk mendapatkan gambaran
umum fisikal status pasien. Pemeriksa harus memerhatikan gaya jalan pasien, status nutrisi
pasien, stature, posture, dan bentuk muka. Stature merujuk kepada tinggi dan berat badan.
Status nutrisi adalah evaluasi tingkat obesitas. Dokter gigi harus menentukan ukuran, tinggi,
berat badan, dan status nutrisi adalah normal untuk individu. Tinggi dan berat diperlukan
untuk mengevaluasi status nutrisi. Pemeriksaan ekstraoral meliputi posture dan gaya jalan
pasien, ekstremitas superior, lengan, tangan, kuku, dan vital signs.
a. Postur dan gaya jalan pasien
Gaya jalan dapat digunakan untuk menentukan diagnosis dan rencana perawatan.
Pasien dengan gaya jalan yang hati-hati memerlukan cara yang berbeda dengan pasien
32
yang mempunyai langkah yang energetik. Pasien dengan mobilitas yang terbatas dapat
disediakan fasilitas yang dapat membantu pasien tersebut bergerak. Postur merujuk
kepada posisi tubuh. Posture tubuh yang berbeda dari normal harus diperiksa sebab
berlaku postur tubuh itu.
b. Ektremitas superior
Pemeriksaan pada ekstremitas superior terbatas pada inspeksi visual tangan, kuku,
dan jari. Obyektif dari inspeksi itu adalah untuk melihat perubahan pada kulit,
deformitas atau perubahan fungsi tangan, kuku, dan jari. Perubahan dapat digunakan
untuk menentukan kesehatan sistemik pasien. Kulit tangan dapat berhubungan dengan
lichen planus, erythema multiforme, atau vesiculobullous lesions. Kulit dapat mengalami
memar yang berlebihan, kehilangan pigmentasi, penyakit kuning atau sianosis. Tulang
sendi jari dapat digunakan untuk inspeksi kemerahan, pembesaran, dan limitasi pada
fungsi.
c. Jari
Warna dan kehadiran hemophages pada kuku harus diperhatikan. Walaupun kuku
dapat digunakan untuk menentukan kondisi sistemik pasien tapi perubahan itu tidak
pathognomonik untuk penyakit yang spesifik.
d. Vital signs
Vital signs ini meliputi tekanan darah, tekanan nadi, kadar respirasi, dan suhu
oral. Tekanan darah diambil dengan menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop.
Tekanan nadi ditentukan menggunakan jari. Kadar respirasi adalah jumlah inspirasi yang
dicatat selama 1 menit. Suhu oral pasien pula diambil dengan menggunakan termometer
oral. Infeksi dan keadaan hipermetabolik seperti hipertiroidisme dapat menyebabkan
peningkatan suhu. Penurunan suhu atau hipotermia dikaitkan pula dengan keadaan
hipometabolik seperti miksoedema.
e. Pemeriksaan pada kepala
33
Sinus frontalis terletak pada midline di atas mata. Daerah ini dapat dipalpasi dan
diperkusi dengan jari akan menimbulkan rasa sakit apabila terjadi inflamasi di sinus.
Frontal sinus dapat ditransluminasi dengan menggunakan sumber cahaya yang kecil dan
terang pada kamar yang digelapkan. Cahaya diletakkan di dalam canthus mata dan
jumlah cahaya yang melewati sinus itu dibandingkan. Sinus yang dipenuhi dengan massa
atau cairan tidak akan memiarkan cahaya melewatinya.
Sinus maksila dipalapasi dengan dengan meletakkan index finger dan jari tengah
pada setiap sisi hidung di bawah rima orbita. Sekiranya pada tekanan yang lembut tidak
menghasilkan sakit, sinus diperkusi. Walaupun pada ketiadaan rasa sakit pada perkusi
tersebut, kemungkinan sinusitis masih bisa terjadi. Transluminasi sinus maxilla dapat
tercapai dengan meletakkan sumber cahaya dalam mulut dan meletakkan diantara lateral
dan anterior aspek hard palate dengan keadaan bibir pasien tutup. Jumlah cahaya yang
terlihat pada sinus diperhatikan.
o. Pemeriksaan pada leher
Struktur pada leher yang diinspeksi untuk melihat pembengkakan yang abnormal,
perubahan kulit, muskulus yang tidak berfungsi, dan distention pada pembuluh darah.
Muskulus pada leher dapat mengindikasikan abnormalitas. Muskulus yang bersifat
tenderness pada muskular atau pada torigin muscular adalah disebabkan stresss atau
disfungsi myofacial.
Secara sistemik, obat yang paling berguna untuk mengendalikan respon limfosit yang
rusak adalah prednisone. Biasanya 40 sampai 80 mg per hari mengurangi tanda-tanda dan gejala.
Efek samping yang paling umum jangka pendek dari pemberian prednisone adalah insomnia,
perubahan mood, dan retensi cairan (kembung) (Silverman, 2001).
Perawatan juga harus diambil pada pasien dengan penyakit sistemik tertentu. Prednisone
mengubah glikogen hati dan otot menjadi glukosa, dengan demikian menempatkan pasien
diabetes pada risiko dari hiperglikemia. Karena retensi cairan dari eliminasi natrium menurun,
hipertensi dapat membuat masalah. Dieresis potassium merupakan masalah ringan, tetapi dapat
ditekankan pada pasien yang memakai diuretik. Hal ini dapat mengganggu fungsi otot. Perhatian
khusus juga harus dilakukan pada pasien dengan riwayat lesi gastrointestinal, untuk menghindari
kemungkinan meningkatkan perdarahan ulkus. Karena kemungkinan perubahan dalam tekanan
okular, pasien dengan glaukoma harus bersih sebelum pemakaian. Pemberian jangka panjang
dari prednisone dapat memperparah osteoporosis, karena hilangnya kalsium dari tulang dan
kurangnya pembantukan kembali (Silverman, 2001).
Kadang-kadang, menggabungkan sitotoksik (antimetabolit) obat azathioprine (Imuran)
dengan rednison sinergis meningkatkan efek anti-inflamasi. Biasanya dosis tambahan efektif
harian saat dibutuhkan bervariasi antara 50 mg dan 100 mg per hari. Pada saat-saat, ketika pasien
tidak toleran dengan dosis prednison yang diperlukan untuk mengontrol tanda dan gejala, dosis
prednison yang lebih rendah dapat dibuat efektif dengan menambahkan azathioprine. Kombinasi
ini juga dipertimbangkan pada pasien dengan tanda dan gejala inflamasi akut parah (Silverman,
2001).
Agen topikal dapat digunakan bila ada alasan medis tidak menggunakan obat sistemik
atau jika pasien memiliki alasan tersendiri. Selain itu, pemberian agen secara topikal
dimungkinkan untuk pasien dengan penyakit ringan (Silverman, 2001).
1. Leukoplakia
1) Etiologi
Beberapa zat berikut merupakan etiologi leukoplakia: tembakau, alkohol dan
iritasi lokal, sifilis, defisiensi vitamin, ketidakseimbangan hormon, galvanisme, gesekan
kronis, dam kandidiasis. Beberapa bentuk pada leukoplakia disebabkan karena trauma
kronis seperti pada bibir dan gigitan bibir. Bentuk lain pada leukoplakia timbul dari
penggunaan tembakau dan termasuk cigarette keratosis. Lesi putih yang lain terlihat pada
kedua bibir dari merokok yang terlalu pendek (Bricker Et Al, 1994).
2) Perangai Klinis
Secara klinis leukoplakia dapat dibagi atas 4 grade yaitu:
Grade I
Grade II
Grade III
keabuan.
: bercak putih kebiruan berbatas tegas,tanpa indurasi
: bercak keputihan berbatas tegas dengan indurasi, mungkin ada kerutan
Grade IV
: bercak
mengalami
indurasi,
ada
fisura,
erosi,
kadang-kadang
1) Perangai Klinis
Kelainan ini jarang terjadi pada usia tua. Masih diperdebatkan apakah merupakan
kelainan pre-malignan atau memang suatu karsinoma superficial yang sangat dini.
Kelainan ini berupa mukosa yang sedikit meninggi dan menebal berwarnamerah mirip
jaringan granulasi dengan tumpukan keratin diatas permukaan. Tepi lesi biasanya
berbatas jelas.
2) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Merahnya lesi adalah akibat dari atrofi mukosa yang menutupi submukosa yang
banyak vaskularisasinya.
3) Predisposisi
39
Eritroplakia dapat terjadi di setiap tempat di dalam mulut, tetapi paling sering
dalam lipatan mukobukal mandibula, orofaring dan dasar mulut. Lokasi yang paling
sering ialah dasar mulut, palatum molle dan trigunum retromolar.
4) Pemeriksaan
Bila ditemui kelainan ini maka penangananya dianggap sebagai karsinoma rongga
mulut. Pada hasil biopsi ditemukan lebih dari 80% menjadi displasia. Pada studi
asymtomatik kanker mulut, 60% merupakan campuran leukoplakia dan erytroplakia.
Resiko menjadi ganas 4 sampai 7 kali dibanding leukoplakia (Epstein, 1994).
3. Melanoma
Melanoma adalah malignasi neoplasma yang terjadi pada kavitas mulut dan mirip
benigna, termasuk nevus, fibromas, dan papilloma. Pigmen bervariasi dari pink, coklat,
abu-abu, biru atau hitam. Tandanya pada inflamasi, termasuk zona periferal pada eritema.
Sisi yang paling umum adalah maxillary alveolar ridge, palatum dan anterior gingiva.
Prognosis pada intraoral melanoma adalah buruk (Bricker Et Al, 1994).
Pencegahan penyakit sangat penting dilakukan oleh setiap orang. Sebaiknya, kegiatan ini
diterapkan sejak dini atau saat tubuh masih sehat sehingga penyakit enggan menjangkiti tubuh
kita, kesehatan tubuh pun terjaga. Dengan tubuh sehat dan prima, kita dapat beraktivitas dengan
aman dan nyaman.
Enam pola untuk mencegah penyakit
Beberapa pola dibawah ini, jika dilakukan dengan rutin dan sungguh-sungguh dapat
membantu agar tubuh tidak mudah terserang penyakit.
1.
2.
3.
4.
5.
Pola makan yang seimbang dalam kandungan gizinya. Menerapkan pola food
combaining yang secara efektif dapat mencegah berbagai macam penyakit.
Perawatan pencegahan mangacu pada langkah yang diambil untuk mencegah timbulnya
suatu penyakit. Pencegahan penyakit ini memiliki empat tingkatan, diantaranya yaitu:
1. Pencegahan primer
Pencegahan yang bertujuan untuk menghindari pertumbuhan penyakit kearah yang lebih
parah.
2. Pencegahan sekunder
Kegiatan ini bertujuan untuk mendeteksi secara dini dari tanda dan gejala suatu penyakit,
dengan demikian dapat meningkatkan peluang untuk mencegah perkembangan dari suatu
penyakit.
3. Pencegahan tersier
41
Proses ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari penyakit yang sudah muncul
dengan cara mengembalikan fungsi dan mengurangi komplikasi yang berhubungan dengan
penyakit
4. Pencegahan kuartener
Merupakan serangkaian kegiatan kesehatan yang mengurangi atau menghindari konsekuensi
dari intervensi yang berlebihan dalam sistem kesehatan.
Contoh sederhana dari kegiatan pencegahan penyakit antara lain adalah mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan, atau imunisasi balita. Untuk seseorang yang yang memiiki riwayat
penyakit menurun di keluarganya, dapat melakukan screening atau general check up pada usia
yang lebih dini dan atau lebih sering dari pada seseorang yang tidah memiliki riwayat penyakit
menurun.
42
BAB III
PERMASALAHAN
Seorang petani laki-laki 35 tahun dating untuk mencabutkan gigi geraham bawah. Pemeriksaan
klinis menunjukkan gigi 38 karies dan nekrosis pulpa, setempat di palatum durum tampak biru
keabu-abuan, asimtomatik dan tidak berubah warna pada saat ditekan. Keadaan ini telah
berlangsung 3 tahun. Pada dasar kuku, kulit cuping hidung juga tampak biru keabu-abuan.
Sebelumnya pasien adalah perokok berat tetapi sejak 9 bulan lalu telah berhenti. Dikeluhkan
adanya nafas pendek, terkadang gangguan perut berupa konstipasi, namun BAB tidak ada
kelainan. Pemeriksaan fisik dan laboratories dalam batas normal. 10 tahun terakhir ini pasien
menggunakan atabrine untuk mengatasi sensitifitasnya terhadap paparan sinar matahari. Hasil
biopsy pada mukosa palatal menunjukkan adanya permukaan sediaan tertutup epitel skuamus
kompleks. Jaringan fibrokolagenus di bawahnya berisi lemak dan kelenjar ludah minor. Pada
bagian dalam dari kelenjar mukosa terdapat sebukan limfosit sedang. Pada jaringan ikat yang
berbatasan dengan epitel tampak menyebar makrofag bulat dan spindle. Pengecatan dengan
Warthin-Starry pH 3,5 terlihat adanya melanin di dalam sel makrofag, pengecatan Perls terlihat
banyak sel positif untuk ferric ion.
43
BAB IV
DISKUSI
A. PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
1. Chief Complain
Pasien datang untuk mencabutkan gigi geraham bawah.
2. Present Illness
Nafas pendek, terkadang mengalami gangguan perut berupa konstipasi namun BAB
tidak ada kelainan.
Napas pendek atau sesak nafas adalah perasaan sulit bernapas yang terjadi ketika
melakukan aktivitas fisik. Sesak napas merupakan gejala dari beberapa penyakit dan dapat
bersifat akut atau kronis. Sesak napas dikenal juga dengan istilah Shortness Of Breath.
Penyakit tersebut pada umumnya muncul secara mendadak, dan merupakan gejala penyakit
yang membutuhkan perhatian dokter. Sesak napas dapat disebabkan oleh beberapa penyakit,
seperti asma, penggumpalan darah pada paru-paru sampai pneumonia. Sesak napas juga
dapat disebabkan karena kehamilan. Dalam bentuk kronisnya, sesak napas merupakan suatu
gejala penyakit-penyakit seperti asma, emfisema, beberapa penyakit paru-paru lain.
Dalam kasus ini kemungkinan napas pendek atau sesak napas diakibatkan oleh karena
pasien dahulu memiliki kebiasaan merokok, sehingga walaupun kebiasaan tersebut telah
dihentikan, namun telah terjadi kelainan pada paru-paru pasien.
Konstipasi atau sering disebut sembelit adalah kelainan pada sistem pencernaan yang
membuat seorang manusia mengalami pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga
sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada
penderitanya. Penyebab umum konstipasi atau sembelit yang berada disekitar kita antara lain
karena sedang menjalankan ibadah puasa, kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi,
menderita panas dalam, stres dalam pekerjaan, aktivitas yang padat, pengaruh hormon dalam
tubuh, sedang dalam masa kehamilan, kelainan anatomis pada sistem pencernaan, gaya
hidup yang buruk, efek samping akibat meminum obat tertentu (misalnya obat antidiare,
44
B. PEMERIKSAAN OBJEKTIF
1. Intraoral
Pada kasus ini, pemeriksaan intraoral dilakukan dari hasil pemeriksaan intraoral
ditemukan kelainan pada gigi dan palatum durum. Gigi 38 karies dan nekrosis pulpa,
setempat di palatum durum nampak biru keabu-abuan, asimptomatik, dan tidak berubah
warna saat ditekan.
45
Gigi diinspeksi secara visual dan apabila terlihat ada kelainan, dapat digunakan alat
diagnostik seperti kaca mulut, sonde, tes CE, dan lain sebagainya sesuai keperluan
diagnostik. Kelainan yang paling sering dijumpai pada gigi adalah karies gigi. Dalam
pemeriksaan karies gigi, diperlukan pencahayaan yang baik dan gigi harus dalam kondisi
kering dan bersih. Untuk daerah yang sukar dilihat dapat digunakan alat bantu berupa kaca
mulut. Sonde dapat digunakan untuk mencari adanya karies di email. Pada karies yang telah
mencapai dentin, sondasi dapat dilakukan untuk menilai sensitivitas gigi. Pada beberapa
lokasi, diperlukan bantuan X-ray untuk mendiagnosis adanya karies (Susanto, 2009).
Karies gigi diawali dengan destruksi enamel oleh mikroorganisme. Karies dapat
berjalan cepat maupun lambat. Karies yang dibiarkan lama kelamaan akan berkembang dan
merusak struktur yang lebih dalam. Tubulus dentinalis menjadi jalur masuk utama bagi
bakteri dan produk toksiknya. Ketika kerusakan sudah cukup dalam dan mensensitisasi
pulpa, maka akan terjadi respon inflamasi oleh pulpa untuk melawan infeksi tersebut. Hingga
akhirnya apabila pulpa tidak dapat melawan lagi infeksi yang ada, pulpa akan mengalami
kematian. Pulpa akan menjadi sarang bakteri dan dapat menjadi fokal infeksi. Melalui
foramen apikal, bakteri dan produk toksiknya dapat menyebar ke jaringan periodontal dan
menyebabkan kerusakan yang lebih hebat (Slootweg, 2007).
Pada pemeriksaan gigi didapatkan bahwa gigi 38 karies dan nekrosis pulpa. Hal ini
menunjukkan bahwa proses perjalanan penyakit karies sudah kronis dan tidak dirawat
46
dengan baik hingga pulpa menjadi mati. Kondisi ini apabila dibiarkan akan menjadi fokal
infeksi.
Palatum durum diinspeksi secara visual langsung atau dengan penggunaan kaca
mulut. Palatum durum yang sehat akan terlihat berwarna pale pink (Bricker, 1994). Pada
pemeriksaan intraoral, palatum durum nampak biru keabu-abuan. Kondisi ini menunjukkan
bahwa adanya kelainan pada palatum durum. Warna biru, abu-abu, dan hitam pada mukosa
menunjukkan suatu lesi pigmentasi (Silverman, 2001). Lesi pigmentasi biasanya bersifat
asimptomatik. Ketika dilakukan penekanan, tidak terjadi perubahan warna. Hal ini berarti
perubahan warna disebabkan karena deposit pigmen tertentu di jaringan submukosa.
Pigmentasi dapat disebabkan oleh pigmen endogen maupun pigmen eksogen. Pigmen
endogen lebih banyak disebabkan karena adanya deposit hemoglobin, hemosiderin, atau
melanin yang berlebihan di jaringan. Pigmen eksogen biasanya langsung terdeposit secara
traumatik ke jaringan submukosa. Meski demikian, beberapa pigmen eksogen dapat berasal
dari sesuatu yang masuk dalam tubuh, diserap, dan didistribusikan ke jaringan. Warna, lokasi,
jumlah, ukuran, konfigurasi, dan distribusi dari lesi pigmentasi merupakan hal penting yang
perlu diperhatikan untuk menentukan diagnosis differensial (Greenberg, 2003).
2. Ekstraoral
Pada kasus ditemukan dasar kuku dan cuping hidung mengalami perubahan warna
menjadi biru-keabuan. Pigmentasi dasar kuku dapat menggambarkan proses patologis kuku
yang merupakan petunjuk beberapa penyakit sistemik, penyakit kulit atau suatu diagnosis
spesifik. Perubahan warna dapat disebabkan oleh endapan zat dan warna yang timbul
tergantung tempat dan sifat zat yang diendapkan. Jeanmougin membuat klasifikasi perubahan
warna kuku berdasarkan etiologi yaitu:
a.
b.
c.
d.
Agen eksterna
Obat sistemik
Penyakit kulit
Penyakit sistemik
e. Agen fisik
47
Beberapa kondisi yang menyebabkan perubahan warna pada dasar kuku dan mukosa
cuping hidung di antaranya adalah:
Antimalaria
Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat antimalaria terjadi di kulit, mukosa, dasar
kuku, jarang di lempeng kuku. Klorokuin hidroksiklorokuin menyebabkan warna biru keabuabuan, biru-hitam. Kuinakrin menimbulkan warna kekuningan
Cutanea porfiria tarda
Merupakan kondisi metabolik dimana terjadi penumpukan porfirin di kulit yang
membuatnya
sensitif
terhadap
cahaya
akibat
kelebihan
enzim
uroporphyrinogen
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
49
utama
adalah
melahap
partikel
dan
mencernakannya
oleh
lisozom
dan mengalarkan sederetan substansi yang berperan dalam fungsi pertahanan dan
perbaikan.
2. Dalam system imun tubuh sel ini berperan serta dalam mempengaruhi aktivitas dari
respon imun, mereka menelan, memproses dan menyimpan antigen dan menyampaikan
informasi pada sel-sel berdekatan secara imunologis compoten (limposit dan sel plasma)
3. Macrofag yang aktif juga merupakan sel sektori yang dapat mengeluarkan beberapa
substansi penting, termasuk enzim-enzim, lisozim, elastase, kolagenase, dua protein dari
sistim komplemen dan gen anti virus penting, interveron (Efendi, 2003).
Morfologi makrofag tidak selalu sama baik pada makrofag diberbagai jaringan
maupun antara makrofag normal dengan yang dalam keadaan patologik, Namuin kebanyakan
makrofag adalah suatu sel yang besar, intinya bulat atau berlekuk, aparat golgi yang
sempurna, vakuola endositik, lisosom dan fagolisosom, dan suatu membran plasma yang
ditutupi oleh mikrovili atau kerutan-kerutan (Sumawinata, 2010).
Sel-sel kunci dalam respon antigen-antibodi adalah sel limfosit. Terdapat dua jenis
limfosit yang berperan, yaitu limfosit Bdan T. Keduanya berasal dari sel tiang yang sama
dalam sumsum tulang. Pendewasaan limfosit B terjadi di Bursa Fabriciuspada unggas,
sedangkan pada mamalia terjadi di hati fetus, tonsil, usus buntu dan jaringan limfoid dalam
dinding usus.Pendewasaan limfosit T terjadi di organ timus.Sistim kebal atau imun terdiri
dari dua macam, yaitu sistim kebal humoral dan seluler. Limfosit B bertanggung jawab
terhadapsistim kebal humoral. Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh, maka limfosit B
berubah menjadi sel plasma danmenghasilkan antibodi humoral. Antibodi humoral yang
terbentuk di lepas ke darah sebagai bagian dari fraksi g- globulin.
Antibodi humoral ini memerangi bakteri dan virus di dalam darah. Sistem humoral
merupakan sekelompok protein yang dikenal sebagai imunoglobulin (Ig) atau antibodi (Ab).
Limfosit T bertanggung jawab terhadap kekebalan seluler. Apabila ada antigen di dalam
tubuh, misalnya sel kanker atau jaringan asing,maka limfosit T akan berubah menjadi
limfoblast yang menghasilkan limphokin (semacam antibodi), namun tidak dilepaskanke
51
dalam darah melainkan langsung bereaksi dengan antigen di jaringan. Sistim kekebalan
seluler disebut juga respon yangdiperantarai sel.Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh
ternak maka tubuh akan terangsang dan memunculkan suatu respon awal yangdisebut
sebagai respon imun primer.
Respon ini memerlukan waktu lebih lama untuk memperbanyak limfosit dan
membentukingatan imunologik berupa sel-sel limfosit yang lebih peka terhadap antigen.
Kalau antigen yang sama memasuki tubuhkembali maka respon yang muncul dari tubuh
berupa respon imun sekunder. Respon ini muncul lebih cepat , lebih kuat danberlangsung
lebih lama daripada respon imun primer.
2. Pengecatan Warthin-Starry Ph 3,5
Pewarnaan perak agrofilik Warthin-Starry agrophilic silver stain dengan pH 3.2
adalah metode yang paling efektif untuk menunjukkan melanin pada jaringan. Delapan puluh
lima persen tumor melanostik telah diteliti menggunakan prosedur Warthin-Starry dan
Fontana-Masson. Teknik Warthin-Starry mewarnai sel tumor hingga 68% tanpa kehilangan
detail sel. Dua puluh tiga persen tumor yang terlihat amelanotik pada pewarnaan
hematoxilin-eosin terbukti positif dengan pewarnaan Warthin-Starry namun negatif dengan
teknik Fontana-Masson. Pewarnaan Warthin-Starry lebih sensitif dan spesifik untuk melanin
daripada prosedur Fontana-Masson (Warkel, Luna and Helwig, 1980).
Tidak seperti metode Fontana-Masson, teknik pewarnaan Warthin-Starry tidak
mereduksi melokul lain termasuk formalin, besi dan lipofuscin (Taborda, Taborda &
McGinnis, 1999)
3. Pemeriksaan Perls
Pewarnaan perls iron adalah metode klasik untuk menunjukkan besi dalam jaringan.
Bagian ini ditreatmen dengan asam klorida encer untuk melepaskan ion besi dari protein
pengikat. Ion ini kemudian direaksikan dengan potassium ferrocyanide untuk memproduksi
senyawa biru larut (reaksi Prussian blue)
Hemosiderin dapat muncul pada area perdarahan lama atau dapat terdeposit dalam
jaringan dengan kelebihan besi (hemosiderosis adalah istilah yang digunakan jika besi itu
52
tidak mengganggu fungsi organ; hemochromatosis mengacu pada kondisi beban besi yang
terkait dengan kegagalan organ).
D. DIAGNOSIS DIFERRENTIAL
1. Porfiria Cutanea Tarda (PCT)
a. Gambaran Umum
Asam amino merupakan prekursor dari banyak senyawa komplek nitrogen yang
penting dalam fungsi fisiologis. Porfirin salah satu dari komplek tersebut, adalah senyawa
siklik yang membentuk heme dan klorofil. Sebagai gugus prostetik dari banyak protein,
heme membentuk sejumlah hemeprotein yang secara terus menerus mengalami proses
sintesa dan degradasi. Sebagai contoh, 6 sampai 7 gram hemoglobin disintesa setiap hari
untuk menggantikan heme yang hilang dalam proses katabolismenya. Pembentukan dan
pemecahan komponen porfirin dari hemoglobin berperan dalam menjaga keseimbangan
nitrogen tubuh.
Porfirin adalah kompleks molekul dalam tubuh yang bergabung dengan zat besi
untuk memproduksi heme, yang bertanggungjawab dalam memberi warna merah pada
darah. Porfirin sangat penting pada pembuatan hemoglobin didalam sel darah merah,
untuk mengangkut oksigen keseluruh tubuh. Heme bergabung dengan globin untuk
membentuk hemoglobin.
Heme adalah kompleks senyawa protoporfirin IX dengan logam besi yang
merupakan gugus prostetik berbagai protein seperti hemoglobin, mioglobin, katalase,
peroksidase, sitokrom C dan triptophan pirolase. Kemampuan hemoglobin dan mioglobin
mengikat oksigen tergantung pada gugus prostetik ini yang sekaligus memberi warna
khas pada kedua hemeprotein tersebut.
Sejumlah kelainan dapat terjadi selama proses sintesa porfirin dan hasil
penguraian senyawa porfirin akan membentuk pigmen empedu yaitu bilirubin. Gangguan
53
dalam metabolisme bilirubin selanjutnya akan memunculkan keadaan klinis yang sering
dijumpai yaitu ikterus.
Porfiria adalah nama dari kelompok penyakit yang disebabkan oleh ekses porfirin
dalam darah. Porfiria cutanea tarda adalah bentuk porfiria yang paling sering ditemukan
dan merupakan satu-satunya porfiria yang bukan herediter (keturunan).
b. Etiologi
PCT dapat disebabkan atau dipicu oleh hemokromatosis (akumulasi zat besi
dalam hati), penggunaan alkohol yang berat, estrogen (kontrasepsi oral dan perawatan
kanker prostat), dan infeksi virus (HIV dan HCV), dan kemungkinan merokok. Hepatitis
C merupakan infeksi yang umum berhubungan dengan infeksi virus. Dalam faktanya,
beberapa studi menemukan bahwa orang dengan PCT yang dapat dilacak dengan infeksi
virus, lebih dari 50% berasal dari infeksi virus hepatitis C. Defisiensi UROD yang
diturunkan bertanggungjawab dalam sekitar 20% kasus PCT. PCT dapat terjadi baik pada
laki-laki maupun perempuan dan biasanya menyerang usia dewasa dan dapat menyerang
ras atau kelompok etnis apapun.
Penyakit ini diturunkan secara autosomonal resesif atau bisa berupa penyakit yang
didapat yang disebabkan oleh defisiensi salah satu enzim pada jalur biosintesa heme dan
mengakibatkan penumpukan dan peningkatan porfirin atau prazatnya dijaringan atau
didalam urine. Kelainan ini jarang dijumpai tapi perlu dipikirkan dalam keadaan tertentu
misalnya sebagai diagnosa banding pada penyakit dengan gejala klinis nyeri abdomen,
fotosensitivitas dan gangguan psikiatri.
c. Tanda dan Gejala
Gejala klinis yang dapat muncul dapat dikelompokkan dalam dua patogenesa
yaitu bila kelainan enzim sintesa heme menyebabkan penumpukan asam amino levulenat
dan porfobilinogen disel atau cairan tubuh akan menghambat kerja ATP-ase dan meracuni
neuron sehingga menimbulkan gejala-gejala neuro-psikiatri sedangkan bila kelainan
enzym sintesa heme menyebabkan penumpukan porfirinogen dikulit dan dijaringan lain
akan teroksidasi spontan membentuk porfirin yang apabila terpapar dengan cahaya,
54
porfirin akan bereaksi dengan O2 molekuler membentuk suatu radikal bebas yang sangat
reaktif dan merusak jaringan atau kulit dimana porfirin terdeposisi, peristiwa ini
memunculkan gejala-gejala fotosensitivitas.
d. Patofisiologi dan Histopatogenesis
Penyakit ini terjadi bila uroporfirinogen dekarboksilase (salah satu enzim di hati
yang penting untuk pembentukan heme) menjadi tidak aktif sehingga terjadi penumpukan
porfirin di kulit dan membuat sensitif terhadap cahaya. Walaupun penyakit ini tidak
diturunkan, kadang-kadang kekurangan enzim uroporfirinogen dekarboksilase yang
bersifat parsial, diwariskan oleh salah satu dari kedua tuanya dan menjadikan seseorang
mudah menderita penyakit ini. Kasus seperti ini sering disebut Porfiria Cutanea Tarda
Familial. Porfiria cutanea tarda (PCT) adalah salah satu dari banyak tipe porfiria, dipicu
oleh defisiensi enzim yang disebut uroporfirinogen dekarboksilase (UROD). Aktivitas
UROD yang berkurang menyebabkan overproduksi dan pertambahan banyak dari protein
uroporfirinogen dalam darah dan urin pasien. Ini menyebabkan produksi abnormal dari
heme, bahan yang ditemukan pada seluruh jaringan tubuh dan terutama pada hati,
sumsum tulang, dan sel darah merah. Keadaan ini memunculkan fenomena berupa
eritrosit yang berumur pendek, urine pasien merah karena ekskresi uroporfirin I dalam
jumlah besar, gigi yang berfluoresensi merah karena deposisi porfirin dan kulit yang
hipersensitif terhadap sinar karena porfirin yang diaktifkan cahaya bersifat sangat reaktif .
e. Perangai klinis
Gejala dari PCT biasanya terbatas pada kulit. Lesi atau lepuh kulit lebih banyak
terlihat pada tangan, lengan bawah, leher bagian belakang dan wajah, dan area yang
terekspos matahari. Kulit dapat menjadi merah, melepuh dan mengelupas setelah paparan
langsung dengan matahari atau trauma minor. PCT juga dapat menyebabkan kulit
menjadi lebih gelap atau lebih terang, meningkatkan rambut wajah, jaringan parut,
alopecia (rambut rontok), penebalan kulit, rasa sakit dan penuaan kulit premature. Setelah
itu akan terbentuk keropeng atau jaringan parut yang memerlukan waktu lama untuk
proses penyembuhannya.
55
Pada kasus yang berat, kalsium dapat terdeposit pada kulit menyebabkan ulser
yang tidak sembuh-sembuh. Kerusakan kulit tersebut disebabkan oleh porfirin yang
dihasilkan di hati dipindahkan oleh plasma darah ke kulit. Fungsi enzim hati dapat
abnormal meskipun enzim biasanya hanya sedikit meningkat. Biopsi hati menunjukkan
adanya penumpukan zat besi.
f. Pemeriksaan
Diagnosis porfiria cutanea tarda diperlukan pemeriksaan fisik, pengukuran
UROD pada plasma darah, air kemih dan tinja terhadap kemungkinan adanya porfirin,
dan biopsi kulit. Pada orang penderita PCT maka kadar porfirin dalam plasma darah akan
tinggi. Pada urin akan terlihat peningkatan uroporfirin, sementara pada tinja terjadi
peningkatan coproporfirin dan uroporfirin. Selain itu bisa juga dengan pemeriksaan urin
menggunakan Woods lamp, akan terlihat colar pink fluorescence yang disebabkan karena
kelebihan porfirin.
g. Terapi
Terapi yang dapat diberikan hanyalah bersifat simptomatik karena terapi kausal
yang bersifat genetik masih sulit dikerjakan. Tanda dan gejala dari PCT dapat
dimanajemen, tetapi tidak ada pengobatannya. Manajemen yang biasa dilakukan:
1) Phlebotomies (pembersihan darah) untuk mereduksi zat besi pada hati, sekitar 0,5 L
darah diambil setiap 1-2 minggu. Biasanya phlebotomi dilakukan hanya 5-6
kali; anemia akan terjadi bila terlalu sering dilakukan phlebotomi. Phlebotomi akan
membuat penderita mengalami kekurangan zat besi yang ringan. Phlebotomies
diberikan hingga level ferritin dalam serum berkurang sekitar 20ng/ml. Phlebotomies
juga dapat mereduksi porfirin hingga level normal pada darah. Kadar porfirin di hati
dan plasma darah akan turun secara bertahap, kulit akan membaik dan pada akhirnya
menjadi normal kembali. Jika penyakit ini kambuh, mungkin perlu dilakukan
phlebotomi tambahan. Sekali level ferritin dan porfirin dalam darah normal, PCT
tidak akan timbul lagi.
2) Menghindari matahari jika memungkinkan, menggunakan sunscreen dan baju
pelindung seperti sarung tangan, topi, celana, dan baju lengan panjang ketika diluar.
56
3) Dosis rendah dari chloroquine dan hydroxychloroquine (obat yang biasa digunakan
untuk merawat malaria). Obat-obatan tersebut mengeluarkan porfirin yang berlebihan
dari hati. Tetapi dosis yang telalu tinggi menyebabkan pengeluaran porfirin yang
terlalu cepat, sehingga untuk sementara waktu dapat memperburuk keadaan pofiria
kutanea tarda dan merusak hati.
4) Larangan makanan yang mengandung zat besi
5) Perawatan dari penyakit yang mendasari (HCV) dengan interferon plus ribavirin telah
diketemukan dapat mengurangi lesi kulit dan jumlah UROD yang ditemui pada urin.
6) Menghindari faktor predisposisi hindari preparat atau obat yang merangsang aktifitas
sitokrom P- 450 seperti obat anestesia, alkohol, steroid dan lain-lain.
7) Pemberian zat-zat seperti glukosa dan hematin yang menekan kerja ALA sintase
untuk menghambat pembentukan pra zat porfirin.
8) Pemberian anti oksidan seperti karoten, vitamin E, dan C
(Franciscus, 2007; Mardiani, 2004)
b. Perangai Klinis
Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat antimalaria terjadi di kulit, mukosa,
subungual, jarang di lempeng kuku. Jaringan dari wajah, subngual, dan pretibial yang
paling sering terkena. Mukosa mulut terdapat pigmentasi dari palatum keras dengan suatu
batas yang jelas antara palatum keras dan palatum lunak. Pigmentasi pada palatum durum
berwarna kelabu kebiru-biruan hingga hampir hitam (Burket, 2008; Pindborg, 2009).
c. Etiologi
Akibat terapai supresif terhadap malaria dengan pemberian quinacrine (Atabrine),
amodiaquine (Camoquin) atau hydroxychloroquine (Ercoquin) telah terbukti dapat
menimbulkan suatu hiperpigmentasi mukokutaneus biru-hitam (Pinborg, 2009). Pasien
harus minum obat paling sedikit selama empat bulan, untuk bisa timbulnya pigmentasi
tersebut. Umumnya pigmentasi ini menghilang bila peggunaan obat dihentikan (Burket,
Et Al, 2008).
Chloroquine juga memiliki efek samping menyebabkan rambut berwarna kelabu,
merusak sel-sel otot, dan menurunkan jumlah darah. Bila penggunaan dalam jangka
waktu yang panjang bisa menyebabkan penumpukan pigmen kulit warna merah atau biru
(Wallace, 2007).
Klorokuin dan hidroksiklorokuin menyebabkan warna biru keabu-abuan, biruhitam. Kuinakrin menimbulkan warna kekuningan (Murniati, dkk., 1992).
d. Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Dimulai dengan pigmentasi pada palatum sebagai bercak-bercak yang tidak
teratur atau garis-garis pigmen pada satu atau kedua sisi garis tengah, akhirnya bersatu
dengan makin lamanya terapi supersif yang diberikan. Beberapa peneliti menyebutkan
lesi ini akan menghilang sesudah akhir terapi, sedangkan yang lainnya mengatakan tidak
terjadi penghilangan lesi sesudah akhir terapi (Pinborg, 2009).
e. Pemeriksaan
58
Pemeriksaan histologis dari spesimen biopsi yang diambil dari kulit pasien ini
menunjukkan suatu granula kekuningan sampai coklat tua yang menyerupai melanin,
sekalipun komposisi yang pasti tidak diketahui.
3. Hemokromatosis
a. Definisi
Hemokromatosis merupakan penyakit kelebihan zat besi yang diturunkan, yang bisa
berakibat fatal tetapi mudah diobati, dimana terlalu banyak zat besi yang diserap, Penyakit
ini menyerang lebih dari 1 juta orang di AS (Sujono, 1982). Pigmentasi endogenik yang
terjadi akibat seposit zat besi dan juga melanin dalam jumlah abnormal di jaringan tubuh
(Lynch et al, 1993). Memiliki beberapa sinonim antara lain Bronze diabetes, iron deposition
disease, hereditary hemochromatosis; genetic hemochromatosis; primary hemochromatosis
(Powel, 2002).
b. Tanda Dan Gejala
Adanya gangguan metabolisme zat besi dan mengakibatkan peningkatan
masukkan zat besi sehari-hari (Lynch et al, 1993). Hal tersebut mengakibatkan terjadi
akumulasi zat besi dalam organ parenkimal dan berpengaruh pada toksisitas organ
(Powel, 2002).
Biasanya gejala-gejalanya tidak timbul sampai usia pertengahan dan berkembang
secara tersembunyi, berupa: kulit menjadi berwarna merah tembaga, sirosis, kanker hati,
diabetes, gagal jantung yang bisa berkembang menyebabkan kematian mendadak. Gejalagejala lainnya adalah: arthritis, impotensi, kemandulan, hipotiroid, kelelahan menahun
(Sujono, 1982).
c. Perangai Klinis
Kombinasi dari pigmentasi zat besi dan dengan melanin menghasilkan warna
merah tua. Pigmentasi ini mirip dengan penyakit adisson. Empat gejala klasik berupa
serosis hati, diabetes, gagal jantung, dan kulit yang berwarna tenguli tejadi dalam 82%
dari kasusnya. Keadaan ini lebih pada pasien tua antara 40-60 tahun. Pigmentasi biru
59
keabu-abuan pada palatum keras dengan derajat yang ringan pada gingiva cekat (Lynch et
al, 1993). Selain itu, juga terjadi kulit atropi; ichthyosis; koilonychia; partial alopecia;
hepatomegaly; splenomegaly; arthritis; amenorrhea; kehilangan nafsu seksual; impoten;
hipotiroidisme (Powel, 2002).
d. Etiologi
Transfusi yang berlebihan atau obat-obatan yang mengandung zat besi lainnya
secara parenteral, atau peningkatan absorbsi zat besi di dalam usus. Pigmnetasi ini
dilaporkan terjadi dalam 90-97% dari kasus dan lebih sering diakibatakan karena melanin
daripada zat besi atau kombinasi keduanya (Lynch et al, 1993). Berhubugan dengan
autosomal resesif, mutasi dari 2 gen HFE, terganggunya metabolisme besi dengan
karakteristik adanya absorbsi makanan yang mengandung besi dan tertumpuk di dalam
jaringan, adanya ion besi bebas yang mampu merusak metabolisme oksigen, menganggu
sintesis DNA, mengganggu proliferasi dan integritas sel sehingga dapat menimbulkan
injuri dan fibrosis (Powel, 2002).
e. Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Dengan pewarnaan khusus pada spisimen biopsi dan uji peningkatan konsentrasi
zat besi dalam plasma. Keadaan ini menunjukkan adanya gangguan metabolism zat besi
dan dapat terjadi akibat meningkatnya masukan zat besi sehari-hari, tansfusi yang
berlebihan atau obat-obat yang mengandung zat besi lainnya secara parenteral, atau
peningkatan absorbsi zat besi di dalam usus kombinasi dari pigmentasi zat besi dengan
melanin menghasilkan warna merah tua yang merupakan suatu gambaran klinis yang
penting dari penyakit ini (Lynch et al, 1993).
f. Diferensial Diagnosis
Penyakit
Addison;
polymorphous
light
eruption;
post-inflammatory
60
akibat anemia sinderoblastis, thalesemia alpha dan beta yang parah, sindrom
myeodysplastik (Powel, 2002).
g. Terapi
Pembatasan
meminum
alkohol,
menghindari
konsumsi
suplemen
yang
Primaquine
fosfat
dan
quinacrine
hydrochloride
merupakan
agen
61
BAB V
MAPPING CONCEPT
62
BAB VI
KESIMPULAN
Dari hasil diskusi kelompok dapat disimpulkan bahwa diagnosis diferensial kasus tersebut
adalah Porfiria cutanea tarda, drug induced pigmentation dan hemochromatosis. Untuk
mendapatkan hasil yang lebih pasti diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan fisik,
pengukuran UROD pada plasma darah, air kemih dan tinja terhadap kemungkinan adanya
porfirin, dan biopsi kulit. Terapi yang dapat dianjurkan yaitu pembatasan meminum alkohol,
menghindari konsumsi suplemen yang mengandung besi, serta manajemen tanda dan gejala.
63
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
http://anneahira.com/pencegahan-penyakit
http://dermis.net/dermisroot/en/42633/diagnose.htm
http://dermnetnz.org/systemic/porphyria-cutanea-tarda.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Preventive_medicine
http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/quinacrine
http://hemochromatosis.org/Internal.asp?Page=Signs%20and%20Symptoms
http://id.wikipedia.org/wiki/Makrofaga
http://library.usu.ac.id/download/fk/histologi-zukesti1.pdf
http://my.opera.com/greatranika/blog/?id=4526502
http://medicastore.com/penyakit/752/Porfiria_Kutanea_Tarda.html
http://totalkesehatananda.com/liver2.html
Anonym.
2009.
Special
Stains
in
Histology.
http://library.med.utah.edu/WebPath/HISTHTML/ STAINS/STAINS.html. (diunduh
tanggal 22 Maret 2010)
Adiana M, Untung SP, Mochtar H. 1992. Kelainan Lempeng Kuku. Cermin Dunia Kedokteran
No. 76, 5.
Bricker, dkk. 1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment Planning, 2nd ed.
Philadelphia: Lea and Febiger.
Wood NK and Paul WG. 1994. Differential diagnosis of Oral and Maxillofacial Lesions.
Epstein J. 1994. Oral Cancer in Burket`s : Oral Medicine Diagnosis and Treatment, 9th edition.
Philadelphia: J.B. Lippincott Company.
Franciscus A. 2007. Extrahepatic Manifestation: Porphyria Cutanea Tarda (PCT). www.
hcvadvocate.org/hepatitis/factsheets_pdf/PCT.pdf (diunduh pada tanggal 27 Maret 2010).
Fawcett DW. 1994. Bloom and Fawcett: A Textbook of Histology. New York: Chapman & Hall.
Greenberg MS, Glick M. 2003. Burkets Oral Medicine: Diagnosis and Treatment. New Jersey:
BC Decker Inc.
Gorlin Robert J dan Goldman Henry M. 1970. Thomas Oral Pathology: 6th edition.St Louis.
Langlais RP, Miller CS. 2009. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut Yang Lazim. Jakarta:
Hipokrates
Laskaris G. 2006. Pocket Atlas of Oral Diseases. Stutggart: Thieme Verlag,
64
Lewis MAO, Lamey PJ. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta: Widya Medika.
Lynch MA, Brightman VJ, Greenberg MS. 1992. Ilmu Penyakit Mulut Burkets: Diagnosis dan
Terapi, Edisi Kedelapan, Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Kauzman A, Marisa P, Nick B, Grace B. 2004. Pigmented Lesions of the Oral Cavity: Review,
Differential Diagnosis, and Case Presentations. J Can Dent Assoc 2004; 70 (10): 6823.
Mardiani TH. 2004. Metabolisme Heme. USU Didital Library.
Murniati. 1992. Kelainan Lempeng Kuku. Cermin Dunia Kedokteran. No. 76.
Najjar T, Brian JD. 2008. Disorders of Oral Pigmentation. eMedicine: http://emedicine.
medscape.com/article/1078143-overview. (diunduh tanggal 24 Mei 2010).
Neville BW, Doughlas DD, Dean HW. 2003. Color Atlas of Clinical Oral Pathology. Hamilton:
BC Decker Inc.
Pinborg JJ. 2009. Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher
Powell LW. 2002. Hereditary Hemochromatosis and Iron Overload Diseases. Journal of
Gastroenterology & Hepatology. 17;191195
Sujono ID. 1982. Masalah gangguan keseimbangan besi pada sirosis hepatis dan
hemokromatosis. Universitas Indonesia: Jakarta
Regezy JA, Scuibba JJ, Jordan RCK. Oral Pathology Clinical Pathologic Corelations. 4th
Edition. St Louis: Sounders.
Ruslan G. 1996. Efek Merokok terhadap Rongga Mulut. Cermin Dunia Kedokteran. No. 113.
Rumsfeld Et Al. 1952. Effects of Atabrine and of Certain Related Substances on the
Development of Liver Tumors Due to Azo Dyes. Cancer Research.
Scully C. 2004. Oral and Maxillofacial Medicine.China: Elsevier Publisher.
Silverman S, Eversole LR, Truelove EL. 2001. Essentials of Oral Medicine. London: BC Decker
Inc.
Slootweg PJ. 2007. Dental Pathology: A Practical Introduction. Berlin: Springer.
Susanto AJ. 2009. Dental Caries. repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/2542.pdf (diunduh pada
tanggal 21 Maret 2010).
Sumawinata N. 2010. Senarai Istilah Kedokteran Gigi Inggris-Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Taborda VBA, Taborda PRO, McGinnis MR. 1999. Constitutive Melanin In The Cell Wall Of
The Etiologic Agent Of Lobo's Disease. Rev. Inst. Med. trop. S. Paulo vol.41 n.1 So
Paulo Jan./Feb. 1999.
Takaya R, Fukaya T, Sasano H, Suzuki T, Tamura M, Yajima A. 1997. Macrophages in Normal
Cycling Human Ovaries: Immunohistochemical Localization and Characterization.
Human Reproduction, 12(7): 1508-12.
Warkel RL, Luna LG, Helwig EB. 1980. A modified Warthin-Starry Procedure at Low pH for
Melanin. Am J Clin Pathol. 1980 Jun;73(6):812-5
65
Wallace DJ. 2007. The Lupus Book Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus dan Keluarganya.
Penerbit B-First. Yogyakarta.
Wood NK, Paul WG. 1994. Differential diagnosis of Oral and Maxillofacial Lesions.
Young B, Heath JW. 2000. Wheaters Functional Histology, 4th ed. Sydney: Churchill
Livingstone.
66