Anda di halaman 1dari 66

ORAL COLOR CHANGE LESION

ABSTRAK
Lesi pigmentasi biasa ditemukan di dalam mulut. Lesi tersebut mewakili berbagai entitas
klinis, mulai dari perubahan fisiologis (misalnya pigmentasi ras) sampai manifestasi dari
penyakit sistemik (Misalnya penyakit Addison) dan neoplasma ganas (Misalnya melanoma dan
sarkoma kaposi). Oleh karena itu makalah ini disusun untuk memberikan pemahaman tentang
kelainan atau penyakit sistem stomatognatik dengan karakteristik lesi perubahan warna ditinjau
dari pengertian, jenis-jenisnya, etiologi/patogenitas, malignasi, penatalaksanaan pencegahan dan
pemeriksaan penunjang serta prosedur dan strategi penegakkan diagnosis dan diagnosis banding.
Lesi pigmentasi dapat terjadi karena adanya pigmen eksogen dan endogen. Kasus yang terdapat
pada skenario terjadi karena deposisi pigmen endogen yang dibuktikan dengan pemeriksaan
Warthin-starry dan pengecatan Perls. Warna biru keabu-abuan pada skenario dapat terjadi karena
hemochromatosis, konsumsi obat anti malaria yaitu atabrine yang digunakan untuk mengatasi
masalah sensitivitas pasien terhadap cahaya matahari serta porfiria cutanea tarda. Dari hasil
diskusi kelompok dapat disimpulkan bahwa diagnosis diferensial kasus tersebut adalah Porfiria
cutanea tarda, drug induced pigmentation dan hemochromatosis. Untuk mendapatkan hasil yang
lebih pasti diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan fisik, pengukuran UROD pada
plasma darah, air kemih dan tinja terhadap kemungkinan adanya porfirin, dan biopsi kulit. Terapi
yang dapat dianjurkan yaitu pembatasan meminum alkohol, menghindari konsumsi suplemen
yang mengandung besi, serta manajemen tanda dan gejala.
Kata kunci : lesi pigmentasi, Porfiria Cutanea Tarda, Drugs Induced Pigmentation,
Hemochromatosis

BAB I
PENDAHULUAN
Lesi pigmentasi biasa ditemukan di dalam mulut. Lesi tersebut mewakili berbagai entitas
klinis, mulai dari perubahan fisiologis (misalnya pigmentasi ras) sampai manifestasi dari
penyakit sistemik (Misalnya penyakit Addison) dan neoplasma ganas (Misalnya melanoma dan
sarkoma kaposi). Oleh karena itu, sebuah pemahaman tentang penyebab pigmentasi mukosa dan
di muka, kulit dan bibir perioral harus diketahui (Kauzman, et al, 2004). Lesi pigmentasi secara
umum dapat disebabkan oleh

proses intrinsik (misalnya, Peutz-Jeghers sindrom), proses

ekstrinsik (misalnya, tato campuran), proses hiperplastik atau neoplastik (misalnya, melanoma),
dan pigmentasi oral iatrogenik misalnya melanosis perokok (Najjar and Dorfman, 2008).
Pigmentasi eksogen terjadi karena implantasi benda asing pada mukosa oral. Pigmen endogen
dapat berupa melanin, hemoglobin, hemosiderin dan karotin. Melanin diproduksi oleh melanosit
di lapisan basal epitel dan sel nevus yang merupakan turunan dari krista neural dan ditemukan
pada kulit dan mukosa. Lesi pigmentasi yang disebabkan oleh peningkatan produksi melanin
dapat berwarna coklat, biru, abu-abu atau hitam tergantung pada jumlah dan lokasi melanin
dalam jaringan (Greenberg and Glick, 2003).
Makalah ini akan membahas sebuah kasus mengenai lesi berwarna biru keabu-abuan pada
palatum durum bersifat asimtomatik dan tidak berubah warna saat ditekan yang dialami oleh
seorang petani pria berusia 35 tahun. Pembahasan dalam makalah ini mencakup pengertian dan
macam-macam kelainan atau penyakit sistem stomatognatik dengan karakteristik lesi perubahan
warna, kondisi patologis dan sindroma yang menyebabkan lesi perubahan warna, prosedur dan
strategi penegakkan diagnosis dan diagnosis banding, konsep dasar penatalaksanaan
kelainan/penyakit lesi perubahan warna, lesi prekanker dan kanker rongga mulut, serta prinsip
dasar pencegahan dan pemeriksaan penunjang diagnostik.
Beberapa penyakit/kelainan yang memiliki karakteristik lesi pigmentasi diantaranya adalah
Porfiria Cutanea Tarda yang merupakan salah satu dari banyak tipe porfiria, dipicu oleh
defisiensi enzim yang disebut uroporfirinogen dekarboksilase (UROD); Drug Induced
Pigmentation karena konsumsi atabrine yang merupakan terapi supresif terhadap malaria dan
berefek samping timbulnya suatu hiperpigmentasi mukokutaneus biru-hitam (Pinborg, 2009);

serta hemochromatosis yaitu gangguan umum di mana terdapat akumulasi tinggi dari besi dalam
jaringan dan organ dalam tubuh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI LESI PERUBAHAN WARNA
1. LESI PUTIH
Lesi putih merupakan suatu istilah non spesifik yang digunakan untuk menunjuk
suatu daerah abnormal dari mukosa mulut yang pada pemeriksaan klinis tampak lebih putih
daripada jaringan di sekelilingnya dan biasanya agak lebih tinggi dari sekitarnya, lebih kasar,
atau memiliki tekstur yang berbeda dari jaringan normal di dekatnya (Lynch, 1992).
Lesi putih terjadi akibat berbagai macam perubahan patologis dan memiliki etiologi
yang bermacam-macam pula. Pada pemeriksaan yang lebih teliti, beberapa diantaranya,
dapat dikategorikan lebih jauh, berdasarkan gambaran klinis khususnya seperti riwayat,
lokasi, tekstur, dan kemudahan lesi itu untuk diangkat dari mukosa (Lynch, 1992).
Secara klinis terdapat suatu perbedaan pada lesi:
a. Lesi Nonkeratotik
Adalah lesi yang mudah diangkat, dan seringkali meninggalkan suatu daerah yang
kasar atau sedikit kemerahan dari mukosa bisa hanya dari debris atau suatu peradangan
pseudomembranous.
b. Lesi Keratotik
Adalah lesi yang sulit atau tidak bisa diangkat dengan gosokan dan kerokan
dianggap sudah melibatkan penebalan epitel mukosa dan mungkin sebagai akibat dari
meningkatnya ketebalan lapisan yang berkeratinisasi.
(Lynch, 1992).
Penyebab timbulnya daerah keputihan pada mukosa ini, seperti peningkatan ketebalan
epidermis yang ditutupi dengan peningkatan produksi keratin (hiperkeratosis), atau produksi
keratin yang abnormal dan imbibisi cairan oleh lapisan atas mukosa. Umumnya, lesi putih
4

terjadi akibat trauma atau luka pada mukosa atau yang merupakan akibat dari kerakteristik
ras atau karakteristik yang ditetapkan oleh genetik lainnya dari mukosa (Lynch, 1992).

Sama seperti pada kulit, warna pada mukosa oral bergantung pada hubungan suplai
aliran darah pada permukaan dan jumlah keratin pada permukaan. Jika epithelium ditutupi
oleh eschar atau pengelupasan kulit, lapisan permukaan sakitarnya akan berwarna putih
(Bricker Et Al, 1994).
2. LESI MERAH
Lesi merah terbukti memiliki potensi pre-kanker yang jauh lebih besar dibanding
dengan lesi putih. Lesi merah dalam konteks ini mengacu pada suatu daerah dari mukosa
yang memerah, mungkin licin dan kelihatan atrofi atau menunjukkan suatu tekstur yang
beludru dan granuler. Lesi seperti ini terjadi sebagai suatu lesi tunggal atau disertai dengan
daerah hiperkeratosis dan umumnya hanya ditemukan melalui pemeriksaan yang lebih teliti
daripada yang dibutuhkan untuk mendeteksi sebagian besar lesi putih. Mayoritas lesi merah
tidak bergejala.
3. LESI PIGMENTASI
Mungkin seperti lesi yang terlokalisasi, umum, atau disebabkan oleh kimia atau
logam berat (Bricker Et Al, 1994). Jaringan mulut dapat dianggap variasi pada diskolorisasi.
Proses penyakit dapat mencapai puncaknya pada bentuk pseudomembran, peningkatan
keratinisasi (lesi putih), atau peningkatan vaskularisasi (lesi merah). Diskolorisasi Biru,
coklat, dan hitam membentuk lesi berpigment pada mukosa mulut, dan seperti perubahan
warna dapat dianggap deposisi pada pigment endogen atau eksogen. Meskipun banyak
kandungan biokimia dan produk metabolik yang dipigmenkan, hanya sedikit yang terdeposit
di mukosa mulut meskipun beberapa terakumulasi pada perkembangan dentin selama
5

odontogenesis (sebagai contoh pigmen bilirubin, porphyrin, dan hemosiderin). Pigmen


endogen

pada mukosa mulut paling sering digambarkan oleh adanya hemoglobin,

hemosiderin, dan melanin. Hemoglobin memberikan warna biru atau merah pada mukosa
dan memperlihatkan kembali pigmen yang berhubungan dengan lesi vaskular. Pewarnaan
disebabkan oleh eritrosit mengalir meskipun pembuluh terlindungi. Hemosiderin berwarna
coklat dan didepositkan sebagai akibat dari ekstravasasi darah, yang terjadi karena
mekanisme trauma atau kelemahan di hemostatik(Greenberg dan Glick, 2003).
Lesi pigmentasi terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Pigmentasi terlokalisasi
b. Generalized pigmentation
c. Pigmentasi bahan kimia dan logam berat

B. MACAM KELAINAN/PENYAKIT SISTEM STOMATOGNATIK DENGAN


PERUBAHAN WARNA BERDASARKAN KAUSANYA
1. JEJAS KIMIA/FISIK
a. Acute trauma and chemical burn
Lesi putih karena trauma akut, seperti episode tunggal pada gigitan lidah atau
gigitan pipi, menghasilkan formasi pada bintik kecil putih yang sering dibebaskan setelah
3-4 hari. Chemical burn dapat diproduksi oleh penempatan aspirin pada mukosa ketika
sakit gigi. Area yang paling sering terkena adalah mukosa bukal dan gingival (Bricker
dkk., 1994).
b. Oral Melanotic macule
Oral melanotic macule paling sering disebabkan oleh post-traumatic atau
peradangan pigmentasi. Sisi yang paling sering mengalami oral melanotic pigmentation
adalah bibir bawah dan gingival, tetapi lesi terlihat pada mukosa bukal dan palatal.
Makula biasanya diameter kurang dari 1 cm dan berwarna abu-abu, biru, coklat atau
hitam (Bricker Et Al, 1994).
6

d. Pigmentasi bahan kimia dan logam berat


1) Plumbum (keracunan timah)

Manifestasi klinik adalah nyeri abdominal, gangguan gastrointestinal, gejala


psikologis. Terjadi perubahan pada kulit yang disebut lead hue, terdiri dari area
bintik kecil atau pucat dan erithema (Bricker dkk., 1994).
2) Keracunan bismuth

Keracunan bismuth dapat terjadi karena penggunaan bismuth yang berlebihan


pada obat. Area pigmentasi dapat terjadi pada bibir, mukosa bukal, dan lidah (Bricker
dkk., 1994).
3) Argyria

Jarang terjadi pada jaman modern. Biasanya kuku, rambut, dan mukosa mulut
terpengaruhi. Warna dapat berubah karena presipitasi pada partikel silver (Bricker
dkk., 1994).
2. INFEKSI
a. HIV/AIDS-Associated Melanosis
1) Tanda dan gejala
Pasien yang mempunyai HIV akan menunjukkan gejala hiperpigmentasi pada
kulit, kuku dan membrane mukosa.
2) Perangai Klinis
Pigementasi kelihatan seperti pigmentasi yang berlaku pada kebanyakan
melanosis yang berdifusi. HIV-associated pigmentasi ini secara mikroskopos
memiliki karakterisasi pigmen melanin basal dengan perluasan ke dalan lapisan
mukosa.
3) Etiologi
7

Destruksi Adrenocarticoid

yang disebabkan oleh infeksi organisma yang

virulen.
4) Pemeriksaan
Korelasi yang ketara pada mucocutaneos pigment dan CD4 count
cellc/L<200.
b. Acute Pseudomembranous Candidiasis
1) Etiologi
Candidiasis disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dari Candida albicans,
Mirip dengan organisme yang memproduksi pigmen cokelat atau hitam,
bertanggungjawab pada black hairy tongue.
2) Perangai Klinis
Keadaan ini dapat dicirikan dengan area putih pada mukosa oral yang dapat
diseka, dan meninggalkan daerah perlukaan merah.
3) Terapi
Terapi harus bertujuan untuk member kontak pada agen anti jamur dengan
area yang terinfeksi. Pada hal ini, menyikat dorsum lidah dengan campuran antara
pasta gigi, pumice, dan mouthwash, selain untuk berkontak dengan antifungal
lozenges, biasanya membawa resolusi. Terapi terbaik untuk candidiasis adalah dengan
penggunaan nystatin vaginal tablet sebagai lozenges. Untuk kasus yang sulit
disembuhkan tablet amphotericin B 10 mg dan tablet clotrimazole vaginal sangat
berguna sebagai lozenges.
4) Pemeriksaan
Diagnosis pada candidiasis dapat dibuat oleh biopsi atau smear atau
mengkultur organisme (Bricker dkk., 1994). Pada kasus berulang atau yang sulit
ditangani, penyakit-penyakit sistemik seperti diabetes, endocrinopathies, kelainan
autoimun, dan penggunaan obat cytotoxic harus dicurigai keterkaitannya.
8

c. Chronic Keratotic (Hyperplatic) Candidiasis


1) Perangai Klinis
Bentuk candidiasis ini mungkin pertama kali muncul dalam bentuk
leukoplakia.
2) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Organisme di dalam lapisan permukaan epithelium menstimulasi sebuah
respon hiperplastik, memproduksi eksesif keratinisasi. Pada bentuk kronisnya white
patch tidak dapat dikupas.
3) Pemeriksaan
Diagnosis harus dibuat dengan biopsy. Organisme dapat diidentifikasi dengan
pengecatan Hematosin dan Eosin, kadang-kadang ditambahkan dengan pengecatan
periodic acid-Schiff (PAS).
4) Terapi
White patch biasanya diatasi dengan aplikasi topical nystatin troches, enam
kali sehari selama minimal 14 hari. Pada beberapa kasus, surgical stripping mungkin
diperlukan, dan dapat kambuh kembali. Pasien seperti ini harus ditindaklanjuti secara
lebih, karena bentuk ini dapat dihubungkan dengan speckled eryhtoplakia, dan
kebanyakan lesi ini adalah premaligna atau bahkan lebih buruk.
3. GANGGUAN TEKAIT IMUNOLOGIS
a. Hairy Leukoplakia
Hairy Leukoplakia adalah suatu temuan benar-benar mirip leukoplakia yang
menunjukkan infeksi dan imuno supresi dari HIV (HIV;HTLV-III).
1) Etiologi
Lesi ini sering terjadi pada pasien yang immunecompromised. Penyakit ini
berasal dari virus karena virus Epstein Barr dengan konsentrasi CD4+ T limfosit
9

telah diidentifikasi ada di dalam sel-sel epitel yang terjangkit. Dinamakan Hairy
Leukoplakia karena kupasan seperti rambut dari lapisan permukaan parakeratotik.
2) Tanda dan Gejala
Lesi ini adalah asimptomatik tetapi akan menunjukkan simptom apabila
diinfeksi dengan candida albicans. Tanda dan gejala menunjukkan terdapat lesi
HL ini adalah characteristic gross appearance (dengan atau tanpa respon pada
antifungal terapi). Jarang terjadi pada pasien dengan imun sistem yang normal.
3) Gambaran Klinis
Hairy Leukoplakia menimbulkan lipatan-lipatan tegak vertikal yang putih
pada sisi lateral lidah. Lesi ini dapat dilihat putih dan kadang-kala elevated plaque
yang tidak dapat dibersihkan. Pada mulanya lesi lesi tersebut mempunyai lipatanlipatan agak putih dan lekuk-lekuk merah muda disekitarnya yang saling
bergantian. Sehingga membuatnya tampak bak cuci dengan lirik putih vertikal
yang khas. Lesi-lesi besar biasanya tidak mempunyai gejala, tepi-tepinya tidak
berbatas jelas dan tidak hilang dengan gosokan. Lesi ini telah tercatat dijumpai di
palatum dan mukosa pipi.
4) Diagnosis
Terlihat bercak putih atau coklat di lidah atau mukosa pipi dan tidak sakit
bila mengenai tepi lateral lidah.
5) Pengobatan
Obat antivirus seperti Aciclovir, akan menghalang replikasi EBV, dapat
mengurangi ukuran lesi tetapi kurang membantu dalam mengubah proses infeksi
HIV.
6) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Pada pemeriksaan histologis menunjukkan hiperkeratosis, koilositosis,
akantosis, dan terdapat nuclear bonding dan chromatin margination. Koilositosis
dengan edemous epithelial cell dan pyknotic nuclei merupakan characteristic
patofisiologisnya.
10

Pada pemeriksaan hybridization of histologis atau cytologic specimens


menunjukkan posif apabila distain untuk melihat EBV DNA atau pada pemeriksaan
dengan electron microscopy of histologis or cytology menunjukkan terdapat
herpesvirus- like particle.
4. GENODERMATOSI
a. Geographic Tongue
Dikenal dengan istilah lain eritema migarans, merupakan suatu kondisi benigna,
sering berada di lidah dan jarang terjadi ditempat lain (geographic stomatitis)
1) Perangai Klinis
Keadaan ini ada lesi multiple, terdemakrasi, eritema, mengelompok kecilkecil, dikelilingi garis putih yang lebih tinggi, berada di punggung lidah, asimtomatik,
biasanya disertai dengan fissure tongue. Diagnosis ditegakkan secara klinis.
2) Etiologi
Masih belum diketahui tetapi mungkin genetik
3) Differensial Diagnosis
Candidiasis, linken planus, reiter syndrome, patch dari shipilis di mukosa
4) Treatment
Supportif

(Laskaris, 2006)

b. Dyskeratosis Congenital
Dikenal dengan nama lain ZinsserEngmanCole syndrome, penyakit yang jarang
terjadi (Laskaris, 2006). Biasanya terjadi dari campuran 3 ras yaitu kulit putih, Indian dan
afrika-amerika di kota Halifaxm, North Carolina (Regezy et al, 2003).

11

1) Perangai Klinis
Terjadi hiperpigmentasi, daerah tesebut atropik, telangiaktasia, kuku
membesar, bulla pada kulit dan mukosa, blepharitis, dan ectropiom, anemia, dan
bermanifestasi di oral. Lesi oral terdapat luka melempuh yang berulang, epitel atropi,
dan leukoplakia. Mungkin bisa terjadi karsinoma sel skuamous (Laskaris, 2006).
2) Etiologi
Genetik, mungkin berhubungan denga autosomal resesif dan ikatan kromosom
X (Laskaris, 2006). Kromosom 4q35 waktu pembelahan tahap telofase (Regezy et al,
2003)
3) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Hampir mirip antara mukosa oral dan konjungtiva. Epitel mengalami
hiperplasi dan akantosis dengan edema interselular. Pembesaran keratinosis hialin
pada separuh sel epotel. Sel infiltrate inflamasi sedikit di lamina propia, dan jaringan
ikat dan epitel masih dapat dibedakan dengan jelas. (Regezy et al, 2003)
4) Diferensial Diagnosis
Leukoplakia, linken planus, epidermosis bulosa, pachyonychia congenital
(Laskaris, 2006).
5) Treatment
Supportif (Laskaris, 2006).
c. White Sponge Nevus
Dikenal dengan nama lain penyakit cannon, merupakan genodermatosis yang
jarang terjadi
1) Perangai Klinis
Terdapat lesi simetris dengan banyak kerutan dan tekstur seperti sponge. Lesi
sudah terlihat sejak lahir, atau di masa kanak-kanak. Sering tejadi di mukosa bukal
12

dan ventral lidah, meskipun luka juga bias berkembang di berbagai tempat di mukosa
mulut bahkan di mukosa genitalia dan rectal (Laskaris, 2006). Ditemukan secara
bilateral pada mukosa bukal, tetapi dapat juga pada mukosa labial, palatum lunak,
gingival dan area lain. Kulit tidak terpengaruhi. Biasanya tebal, terdapat area putih
yang tidak memiliki signifikansi klinis (Bricker dkk., 1994).
2) Etiologi
Genetik, berhubungan dengan autosomal dominan pada jenis yang luas dan
berpenetrasi tinggi yang biasanya terlihat pada saat kelahiran tetapi terus bertahan
selama hidup (Bricker dkk., 1994; Laskaris, 2006).
3) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Secara mikroskopis terjadi penebalan epitel, ditandai dengan spongious,
akanthosis, dan parakeratosis. Di dalam stratum spinosum, terjadi hidropik dan
perubahan sel, diawali di region parabasal dan meluas hingga permukaan. Terdapat
sitoplasma perinuklear yang bersifat eosinophilik seperti duri, terlihat sel parenkim
dari spinosum ke permukaan (Regezy et al, 2003).
4) Tretament
Tidak memerlukan treatment (Laskaris, 2006).
5) Pemeriksaan
Biopsy adalah diagnostic, dan pertanyaan tentang anggota keluarga dapat
menolong (Bricker dkk., 1994).
d. Pachyonychia Congenita
Dikenal

dengan

JadassohnLewandowski

syndrome,

adalah

penyakit

genodermatosis yang jarang terjadi

13

1) Perangai Klinis
Terlihat adanya penebalan kuku secara simetris, palmolantar hyperkeratosis,
hiperhidrosis, melempuh, keratosis folikular, dan lesi di oral. Lesi di oral telah terlihat
sejak lahir dan tampak seperti plak tebal yang berwarna putih atau putih keabu-abuan,
biasanya di mukosa bukal, lidah, dan gingival. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
riwayat dan penampakan klinis,
2) Etiologi
Genetik, berhubungan dengan autosomal dominan
3) Diferensial Diagnosis
Dyskeratosis congenita, leukoplakia, lichen planus, white sponge nevus, dan
focal palmoplantar dan oral mucosa hyperkeratosis sindrom.
(Laskaris, 2006)
e. Folikular Keratosis (Darter's disease, Darier-White disease)

Tumor benigna dan tidak bersesiki terjadinya malignasi


1) Penampakan Klinis
Predileksi di kulit, tetapi 13% pasien terdapatpada mukosa oral. Cirinya lesi
terdapat di seluruh muka dan badan secara simetris. Lesi tampak menyatu dan terasa
berminyak karena adanya produksi keratin. Jarang terjadi penebalan pada telapak
tangan dan kaki. Jari kuku dapat untuk menegakkan diagnosis karena rapuh dan
menyerpih. Pada mukosa oral sering terjadi di gingival dan palatum lunak seperti batu
bulat dengan diameter 2-3 mm dan dapat meluas ke oropharing dan pharing.
2) Etiologi
Gangguan autosomal dominan, atau mutasi baru pada gen ATP2A2, yang
mengkode sarkoplasmik / reticulum endoplasma calcium-adenosinetriphosphatase
(Ca2+-ATPase) isoform
14

3) Patofisiologis Dan Histopatogenesis


Merupakan lesi kutaneus, dengan penamapakan adanya akantolisis sel epitel
dengan formasi celah suprabasal, proliferasi lapisan basal dengan cepat, formasi celah
vertical yang menunjukkan adanya sel parakeratosis dan dyskeratosis, dan adanya sel
spesifik diskeratosis benigna seperti butiran padi.
4) Treatement
Vitamin A artau retinoid, tapi tidak untuk terapi yang lama

(Regezy et al, 2003).

f. Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia


Nama lainnya adalah OslerRenduWeber disease, merupakan gangguan
mukokutaneus yang jarang terjadi dengan karakteristik adanya gangguan pembuluh darah
kapiler.
1) Perangai Klinis
Biasanya di daerah mukosa rongga mulut dan luka tampak adanyan papula
merak cerah yang multipel, ukuran 1-2 mm yang akan hilang ketika ditekan, juga
terlihat adanya lesi noduler atau seperti sarang laba-laba. Sering terjadi hemoragi
ketika terjadi kerusakan mekanis yang ringan. Lesi berada di bibir, lidah, mukosa
bukal, dan palatal. Terjadi epistaksis dan perdarahan gastrointestinal ( Laskaris,
2006).
2) Etiologi
Berhubungan dengan autosomal dominan (Laskaris, 2006).
3) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Secara mikroskopis tapak hemangioma kapiler atau karvenosa, tergantung
ukuran kapiler. Ruangan vascular hanya dikelilingi oleh endotel tanpa otot yang
menyokongnya (Regezy et al, 2003).

15

4) Diferensional Diagnosis
CREST syndrome, varicosities, Maffucci syndrome, multiple hemangiomas
5) Treatment
Supportif (Laskaris, 2006). Terapi hati-hati ketika dilakukan pembedahan,
obat emobilisasi daan sclerosant, terapi leser (Regezy et al, 2003).
g. Normal Pigmentasi
Meningkatnya produksi melanin di ukosa oral yang sering terjadi secara
fisiologis, khususnya pada individu dengan kulit hitan
1) Perangai Klinis
Pigmentasi ini bersifat persisten dan simetris, asimtomatis, adanya area hitam
atau coklat dengan ukuran yang bervariasi. Sering terkadi di gingival, lalu di mukosa
bukal, palatal, dan lidah. Pigmentasi akan lebih sering di daerah yang terkena tekanan
atau gesekan, dan akan meningkat pigmentasinya seiring bertambahnya umur
2) Etiologi
Pada individu dengan kulit hitam
3) Differential Diagnosis
Addison disease, smokers melanosis, drug-induced pigmentation, pigmented
nevi, melanoma, amalgam tattoo.
4) Treatment
Tidak memerlukan treatment (Laskaris, 2006).
h. Makula Cafe-au-lait (neurofibromatosis)
Merupakan suatu pigmentasi yang terjadi pada kulit secara ireguler dan berwarna
coklat. Terlihat pada waktu lahir dan juga terdapat pada anak yang normal
16

1) Etiologi
Gangguan autosomal-dominant, terdapat dua jenis yaitu neuro-fibromatosis 1
(NF1; yang dulunya dikenal von Reck-Unghausen's disease) dan neurofibromatosis 2
(NF2; acoustic neurofibromatosis). NF1 lebih sering biasanya terjadi pada 1 dari
3000 individu.
2) Klinis
Neurofibroma terjadi pada kulit, mukosa oral, nervus, sistem syaraf pusat, dan
rahang. Terdapat tanda bintik-bintik (Crowe's sign) yang pathogonomanic
3) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Tidak dapat ditandai secara khusus, menunjukkan adanya melanin pada
keratinosit di basal dan makrofag, melanosit tampak normal dan kadang juga
meningkat.
(Regezy et al, 2003)
i. Keratosis follicularis
Adalah penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan, yang memiliki
predileksi pada pria. Disebut juga Darier disease dan Darier-White disease. Penyakit
Darier dikarakteristikkan oleh hiperkeratosis coklat kekuningan crusted papule termasuk
muka, badan dan ekstrimitas. Lesi pada oral adalah multiple small, papul keratosis putih
yang biasanya menjadi cobblestone (batu kerikil) disekitarnya (Bricker Et Al, 1994).

C. KONDISI PATOLOGIS YANG MENYEBABKAN LESI PERUBAHAN WARNA


1. PENYAKIT SISTEMIK
a. Penyakit Addison (Insufiensi Kortikal Adrenal)
Karakteristik penyakit ini adalah menurunnya sekresi glukokortikoid serta mineral
lokortikoid.
17

1) Etiologi
Penyakit ini jarang ditemui tetapi dapat timbul sebagai akibat hiposekresi
hormon adreno kortikotropik (ACTH) dari kelenjar hipofisis atau karena rusaknya
korteks adrenal, yang membuat hormon yang menstimulasi melanosit (MSH) dan
pengendapan melanin dalam kulit, sebagai akibat dari penyakit tuberkolosis, beberapa
infeksi parasit yang kronis atau keganasan. Akhir-akhir ini penyakit addison
diasosiasikan dengan penyakit HIV. Dewasa ini sebagian besar kasusnya tidak
diketahui penyebabnya.
2) Tanda dan Gejala
Penderita mengalami rasa lelah, letargi, menurunnya berat badan, mual,
muntah, tekanan darah rendah, dan hiperpigmentasi kulit.
3) Gambaran Klinis
Pigmentasi abnormal dari kulit dan membran mukosa merupakan salah satu
tanda-tanda paling dini dari penyakit Addison. Pigmentasi abnormal ini memiliki
tendensi untuk timbul dalam jaringan parut dan lipatan-lipatan kulit. keadaan ini juga
dapat timbul pada mukosa mulut dimana keadaannya tampak menyerupai bintikbintik ungu kebiruan yang kelihatannya seperti menempel pada mukosa mulut. Dalam
penyakit Addison yang khas dan sudah berkembang nyata, kulit pasien mungkin
berwarna merah tua.
Hiperpigmentasi pada penderita penyakit ini, kulit akan menjadi coklat
perunggu. Warna ini menetap setelah terpapar matahari. Proses menjadi hitam,
awalnya terlihat pada buku-buku jari, siku, lipatan telapak tangan, dan mukosa intra
oral.
Secara intra oral, ditandai oleh hipermelanosis yang penampakannya sama
dengan melanoplakia. Polanya tidak unik dan dapat terdiri atas bercak-bercak biru
hitam multipel atau biru hitam menyeluruh, coret-coret difus dari pigmentasi coklat
tua. Biasanya terjadi di mukosa pipi dan gusi, tetapi pigmentasi dapat meluas ke lidah
dan bibir.
18

4) Diagnosis
Pada umumnya terjadi pada penderita hipotensi. Pemeriksaan serologis
menunjukkan adanya penurunan kadar natrium bersamaan dengan meningkatnya
kalium. Fungsi adrenal dapat dilihat dari respon terhadap ACTH sintetis (tes
sinakden).
5) Pengobatan
Glukokortikoid dan mineralokortikoid yang diberikan secara sistemik bisa
memperbaiki defisiensi ini. Terapi penggantian dengan kortikosteroid akan
mengurangi hiperpigmentasi sedikit demi sedikit.
6) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Penyakit ini sering disertai dengan suatu eusinofilia yang mana bisa sampai
80-90%. Biasanya daerah-daerah yang berpigmen bentuknya mapula, tidak
menimbul, coklat, dan bentuknya bervariasi.
7). Pemeriksaan
Sederetan prosedur-prosedur laboratorium yang canggih akan memungkinkan
dokter untuk menegakkan diagnosa dari penyakit ini yang meliputi pemeriksaan air
seni 24 jam untuk penetapan 17-ketosteroid atau 7-hidroksikortikosteroid. Penyakit
ini biasanya memberikan respon yang baik terhadap terapi dalam bentuk penggantian
hormon yang sesuai. Dokter gigi yang teliti mungkin dapat menjadi orang pertama
yang mencurigai penyakit ini karena adanya pigmentasi yang karakteristik dari
mukosa mulut dan gejala umum seperti malaise, yang disertai dengan tekanan darah
rendah.
2. PIGMEN EKSOGEN
a. Melanosis Perokok (Pigmentasi Berkaitan dengan Tembakau)
1) Tanda Dan Gejala
Bercak coklat pada mukosa, palatum, lidah, dasar mulut dan pipi
19

2) Perangai Klinis
Derajat pigmentasi berkisar dari coklat muda sampai tua dan tampak langsung
berhubungan dengan banyaknya tembakau yang dihisap. Biasanya kita menjumpai
focus coklat tua yang tersebar asimetris sebagai bercak tidak jelas yang coklat muda.
3) Etiologi
Melanosis perokok mengenai orang-orang lebih tua yang perokok berat.
Tampak sebagai bercak coklat difus yang ukurannya beberapa sentimeter. Gusi
anterior mendibula dan mukosa pipi adalah daerah yang peling sering terkena.
Daerah-daerah rawan lain termasuk mukosa bibir, palatum, lidah, dasar mulut, dan
bibir. Melanosis perokok bukan permulaan keganasan, tetapi klinisharus diperhatikan
dengan cermat jaringan-jaringan di sekitarnya untuk lesi-lesi lain akibat tembakau.
4) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Merokok memberi perubahan warna yang khas pada permukaan mukosa yang
disebut melanosis perokok. Hubungan antara melanosis perokok dan perubahanperubahan radang yang diakibatkan panas, mengisap asap dan absorbs pigmenpigmen eksogen belum bisa dipastikan. Keadaan tersebut bukanlah proses fisiologis
ayng normal, tetapi terutama lebih diakibatkan dari pengendapan melanin dalam
lapisan sel basal dari mukosanya.
c. Tatto

Tatto disebabkan karena kesengajaan atau tidak sengaja pada pigmen eksogen di
mukosa. Tipe yang paling umum adalah amalgam tattoo, yang biasanya berwarna agak
20

kehitam-hitaman. Paling sering terlihat pada area gingival edentulous dan dihasilkan dari
pengisian amalgam ke dalam soket gigi selama ekstraksi. Amalgam tattoo dapat terlihat
di daerah palatum, mukosa bukal, dan dasar mulut. Memiliki variasi millimeter pada
diameternya (Bricker Et Al, 1994).
d. Ephelis

Ephelis adalah bintik-bintik yang muncul pada bibir dan kulit seperti bercahaya
atau macula coklat gelap. Predileksi untuk ephelis adalah orang-orang dengan lightskinned atau red-headed (Bricker Et Al, 1994).
e. Nevus

Nevus atau tahi lalat lebih umum terlihat pada kulit dibanding dengan mulut.
Prevalensi Nevus berwarna biru 36%, intramukosa nevus 55%, nevus campuran 6%,
junctional nevus 3%. Semuanya termasuk benigna. Paling sering terjadi pada faring,
palatum, dan mukosa bukal. Intraoral nevus bisa datar atau timbul, nonpigmented atau
pigmented. Pigment bervariasi warnanya, dari pink, coklat, abu-abu, biru, atau hitam.
Nevus ini biasanya terlihat papula kecil atau makula dan terjadi pada palatal (38%) dan
mukosa bukal (19%) (Bricker Et Al, 1994).
21

3. MEDIKAMENTOSA
a. Antimalarial Pigmentation
1) Tanda Dan Gejala
a) Timbul hiperpigmentasi biru keabu-abuan di bawah kuku, di palatum durum
(Pinborg, 2009), serta di konjungtiva (Neville, 2003).
b) Hiperpigmentasi berwarna kekuningan juga ditemukan di kulit (Neville, 2003).
2) Perangai Klinis
Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat antimalaria terjadi di kulit, mukosa,
subungual, jarang di lempeng kuku. Jaringan dari wajah, subngual, dan pretibial yang
paling sering terkena. Mukosa mulut terdapat pigmentasi dari palatum keras dengan
suatu batas yang jelas antara palatum keras dan palatum lunak sebagai bercak-bercak
yang tidak teratur atau garis-garis pigmen pada satu atau kedua sisi garis tengah,
akhirnya bersatu dengan makin lamanya terapi supresif. Pigmentasi pada palatum
durum berwarna kelabu kebiru-biruan hingga hampir hitam (Burket, 2008; Pindborg,
2009).
3) Etiologi
Akibat terapai supresif terhadap malaria dengan pemberian quinacrine
(Atabrine), amodiaquine (Camoquin) atau hydroxychloroquine (Ercoquin) paling
sedikit 4 bulan dapat menimbulkan pigmentasi bila dilanjutkan selama 2 tahun atau
lebih, 66% penderita akan memperlihatkan adanya pigmentasi oral, tampak seperti
melanin.telah terbukti dapat menimbulkan suatu hiperpigmentasi mukokutaneus biruhitam (Pinborg, 2009). Umumnya pigmentasi ini menghilang bila peggunaan obat
dihentikan (Burket, Et Al, 2008).
Kasus pernah ditemukan pada pasukan-pasukan Perang Dunia II yang
berperang selama 6 bulan yang mendapatkan terapi supresif terhadap malaria dengan

22

penggunaan quinacrine (atabrine). Kemudian ada juga penelitian dari papua nugini,
pigmentasi disebabkan oleh obat anti malaria amodiaquine (Camoquin)
Chloroquine juga memiliki efek samping menyebabkan rambut berwarna
kelabu, merusak sel-sel otot, dan menurunkan jumlah darah. Bila penggunaan dalam
jangka waktu yang panjang bisa menyebabkan penumpukan pigmen kulit warna
merah atau biru (Wallace, 2007).
Klorokuin dan hidroksiklorokuin menyebabkan warna biru keabu-abuan, biruhitam. Kuinakrin menimbulkan warna kekuningan (Murniati, dkk., 1992).
4) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Dimulai dengan pigmentasi pada palatum sebagai bercak-bercak yang tidak
teratur atau garis-garis pigmen pada satu atau kedua sisi garis tengah, akhirnya
bersatu dengan makin lamanya terapi supersif yang diberikan. Beberapa peneliti
menyebutkan lesi ini akan menghilang sesudah akhir terapi, sedangkan yang lainnya
mengatakan tidak terjadi penghilangan lesi sesudah akhir terapi (Pinborg, 2009).
e. Pemeriksaan
Pemeriksaan histologis dari spesimen biopsi yang diambil dari kulit pasien ini
menunjukkan suatu granula kekuningan sampai coklat tua yang menyerupai melanin,
sekalipun komposisi yang pasti tidak diketahui.
1) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Hiperpigmentasi mukokutaneous biru-hitam. Kulit pasien menunjukkan suatu
granula kekuniangan sampai coklat tua menyerupai melanin.
b

Smokers Melanosis
1) Tanda dan Gejala
Hiperpigmentasi di mukosa oral.
2) Perangai Klinis
a) Lesi pigmentasi dapat berwarna terang sampai gelap.
23

b) Lesi bisa menyebar bisa juga berkumpul.


3) Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh merokok.
4) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Lesi yang terjadi tergantung dari berapa banyak konsumsi rokok perhari. Lesi
dapat hilang setelah 3 tahun berhenti merokok. Biopsy sebaiknya dilakukan pada
daerah-daerah yang jarang terjadi seperti palatum durum, dan bila terdapat
penampakan yang tidak biasa (Neville, 2003).
4. VASKULER
a. Submucosal Hemorrage
1) Tanda Dan Gejala
Asimptomatik.
2) Perangai Klinis
a) Lesi berwarna merah sampai keunguan, kadang juga dapat berwarna biru sampai
abu-abu kehitaman.
b) Tidak berwarna putih saat ditekan.
c) Lesi dapat membesar.
d) Biasanya daerah hemorrhage akan dijumpai jaringan granulasi.
3) Etiologi
Akibat pecahnya pembuluh darah yang diakibatkan oleh trauma, operasi,
Penyakit ini biasanya merupakan tanda dari adanya kelainan pada darah, seperti
penyakit hemophilia, leukemia, trombositopenia, atau terapi antikoagulan.
4) Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Pembuluh darah yang pecah mengakibatkan darah keluar ke jaringan ikat
lunak. Di area hemorrhage sering terjadi jaringan granulasi.
24

b. Hemokromatosis
1) Etiologi
Penyakit endogenik ini terjadi akibat deposisi zat besi dan juga melanin dalam
jumlah abnormal dalam jaringan tubuh. Keadaan ini menunjukkan adanya gangguan
metabolisme zat besi dan dapat terjadi akibat meningkatnya masukan zat besi seharihari, Tranfusi yang berlebihan atau obat-obat yang mengandung zat besi lainnya
secara parental atau peningkatan absorbsi zat besi di dalam usus. Pigmentasi ini telah
dilaporkan terjadi dalam 90-97% dari kasusnya dan lebih sering disebabkan oleh
melanin daripada zat besi atau kombinasi dari keduanya. Pigmentasi di kulit mirip
dengan yang ditemukan dalam penyakit Addison.
2) Tanda dan Gejala
Memiliki 4 gejala klasik berupa: sirosis hati, diabetes, gagal jantung, dan kulit
yang berwarna tengguli terjadi dalam 82% dari kasusnya, keadaan ini jarang
ditemukan pada pasien muda, dan mulai timbul keadannya biasanya terjadi antara
usia 40-60 tahun.
Penyakit ini dapat didiagnosa dengan teknik pewarnaan khusus pada spesimen
biopsi dan dalam laboratorium berdasarkan peningkatan konsentrasi zat besi dalam
plasma.
3) Perangai Klinis
Kombinasi dengan pigmentasi zat besi dan melanin menghasilkan warna
merah tua yang merupakan suatu gambaran klinis yang penting dari penyakit ini.
Pigmentasi di kulit mirip dengan yang ditemukan dalam penyakit Addison. Gejala
dalam mulutnya terdiri dari: pigmentasi biru keabu-abuan pada palatum durum
dengan derajat yang lebih ringan pada jaringan gingiva yang melekat. Terjadinya
pigmentasi dalam jaringan tersebut dapat menimbulkan kecurigaan terhadap penyakit
ini dalam diri dokter gigi atau ahli periodontologi. Sedikitnya, 15-20%
hemakromatosis ini memiliki pigmentasi di mulut.
25

4) Patofisiologis dan Histopatogenesis


Pigmentasi endogenik ini terjadi akibat deposit zat besi dan juga melanin
dalam jumlah abnormal di dalam jaringan tubuh.
c. Petechiae
1) Tanda dan gejala
Terdapat pada palatum mole dan asimptomatik.
2) Perangai klinis
Berupa titik atau bulatan pada mukosa atau submukosa mulut. Tidak berwarna
putih ketika ditekan. Capillary hemorrhages akan kelihatan merah pada mulanya dan
kemudian akan menjadi coklat dalam beberapa hari dan akan degradasi ke
hemosiderin. Beda oral purpura dan peteschia adalah oral purpura kelihatan pinpoint
sedangkan peteschia kelihatan multiple.
3) Etiologi
Terjadi disebabkan oleh infeksi virus, trauma atau sakit sistemik. Infeksi virus
lebih sering menyebabkan oral purpura. Trauma: batuk yang terus-menerus, muntah,
fellatio (oral sex). Infeksi viral: Epstein-Barr virus [EBV]-mononucleosis, rickettsial
infection. Juga dapat disebabkan penya kit seperti thrombositopenia, leukemia,
disseminated intravascular coagulation (DIC).
4) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Batuk yang terus-menerus, muntah, maupun fellatio dapat menyebabkan
adanya trauma fisik pada mukosa oral. Trauma tersebut menyebabkan pecahnya
pembuluh darah, sehingga darah menyebar ke jaringan ikat lunak di sekitar daerah
trauma tersebut. Biasanya lesi ini akan sembuh dalam jangka waktu 7 hari.

D. SINDROMA YANG DAPAT MENYEBABKAN LESI PERUBAHAN WARNA


26

1. Focal Palmoplantar and Oral Mucosa Hyperkeratosis Syndrom


Gangguan mukokutan yang jarang terjadi
1) Perangai Klinis
Penampakan klinis utama terlihat adanya hiperkeratosis fokal pada telapak
tangan, telapak kaki, dan mukosa oral. Jarang terjadi penebalan pada kuku dan
terlihat adanya hiperhidrosis. Lesi oral tampak adanya plak putih hyperkeratosis
(leukoplakia) di gingival cekat lidah di bagian lateral, dan palatal. Lesi berkembanga
di masa kanak-kanak.
2) Etiologi
Genetik, berhubungan dengan autosomal dominan
3) Diferensional Diagnosis
Pachyonychia congenita, dyskeratosis congenita, leukoplakia
4) Treatment
Supportif, terapi retinoid dapat membantu ( Laskaris, 2006)
b. Sindrom Peutz-Jegher
1) Etiologi
Dasar fisiologi dari lokasi daerah pigmentasi tersebut tidak diketahui dan
keadaan itu sendiri tidak berbahaya serta tidak membutuhkan terapi.
2) Tanda dan Gejala
Daerah-daerah disekitar mata, bibir, dan lubang hidung ini berukuran 1 mm
sampai 10 mm dan biasanya memiliki batas yang jelas. Polip interstinal dapat
menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan dan nyeri abdomen. Lesi ini jarang
sekali (kurang dari 3%) mengalami degenerasi keganasan. Keadaan ini tidak boleh
dikacaukan dengan familial colonic polychromatosis yang tidak menunjukkan
27

pigmentasi abnormal dan memiliki insiden transformasi keganasan yang sangat


tinggi.

3) Histopatologi
Terdapat pigmentasi melanin yang abnormal dari daerah di sekeliling dan di
daerah interdigital tangan. Polikosis dari uterus dan fossa nasalis mungkin disertai
dengan pigmentasi abnormal serupa. Daerah-daerah pigmentasi ini tidak memberikan
gambaran yang khas untuk dibedakan dari daerah pigmentasi yang dijumpai dalam
penyakit Addison.
4) Patofisiologis
Sindroma ini yang disertai dengan pigmentasi dari jaringan mulut dan juga
poliposis intestinal, baik kecil maupun besar, merupakan suatu kondisi yang
diwariskan dan terjadi dalam frekuensi yang sama besarnya baik pada pria maupun
wanita.

E. PROSEDUR DAN STRATEGI PENEGAKKAN DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS


BANDING LESI PERUBAHAN WARNA
Seorang dokter gigi harus membentuk diferensial diagnosis berdasarkan medical history
untuk membentuk suatu diagnosis di regio orofacial. Pemeriksaan fisik dan uji yang diperlukan
seperti biopsi dan imaging studies. Simptom pasien menunjukkan kehadiran penyakit sistemik
dan data klinis yang kompleks, langkah-langkah yang dapat dilakukan dilakukan diantaranya (1)
meninjau medical history,

penampakan klinis, hasil radiografi, dan tes laboratorium, (2)

mencatat abnormalitas atau yang mengesyorkan kemungkinan masalah kesehatan yang


memerlukan evaluasi, (3) mengelompokkan item menjadi tanda primer dan sekunder serta
simptom, membedakan penyakit akut atau kronis dan memilih prioritas untuk perawatan, (4)
mengkategorikan kelompok berdasarkan system yang standar untuk klasifikasi penyakit.

28

Akurasi suatu diagnosis itu akan tercapai tergantung pada anamnesis dan pemeriksaan
data yang dikumpul dan berdasarkan pengetahuan operator dan kemampuan untuk mencocokkan
data klinis dengan representasi konseptual proses berlaku suatu penyakit itu.
Operator yang bb

berpengalaman yang mempunyai pengetahuan yang banyak dalam

fisiologi manusia, etiologi penyakit dan pengetahuan yang luas dapat menghasilkan diagnosis
yang baik.
Untuk perawatan yang efektif, apabila terdapat lebih dari satu masalah kesehatan,
diagnosis untuk keluhan utama disenaraikan dulu dan diikuti dengan subsidiary diagnosis.
Kondisi yang didiagnosis terlebih dahulu harus diperhatikan. Diagnosis final tidak boleh
ditentukan sebelum melakukan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan laboratorium (Greenberg,
2008). Menurut Wood (1997), operator harus menimbangkan faktor usia, jenis kelamin, ras,
negara asal, dan lokasi anatomi dalam menentukan diagnosis.
Setelah didapatkan hasil pemeriksaan lesi, dilakukan diagnosis pada lesi tersebut, dibuat
daftar diagnosis banding untuk kemudian dibuat peringkat berdasarkan persamaan dengan
penyakit/lesi. Diagnosis banding yang paling mirip dengan lesi yang diperiksa diletakkan pada
peringkat teratas sedangkan diagnosis banding yang paling tidak mirip diletakkan di peringkat
terbawah.
Tahapan-tahapan diagnosis diferensial meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.

Menentukan klasifikasi abnormalitas


Menentukan ciri-ciri lesi sekunder
Membuat daftar kondisi penyebab manifestasi primer.
Mengesampingkan beberapa kondisi yang tidak mungkin menjadi penyebab.
Menyusun beberapa kemungkinan penyebab.

6. Menentukan diagnosis kerja/penyebab


1. Pemeriksaan Intraoral
Pemeriksaan intraoral yang lengkap meliputi evaluasi bibir, mukosa bukal, lipatan
mukobukal, hard palate, soft palate, uvula, oropharynx, lidah, dasar mulut, otot
mastikasi, periodontium dan gigi.

29

a. Bibir dan mukosa labial


Kontrol muskular pada bibir dapat dievaluasi ketika bicara. Pada keadaan tidak
bicara, bibir akan berkontak. Dapat diindikasikan pernapasan melalui mulut, tongue
thrusting, dan masalah lain seperti obstruksi nasal dan rheumatoid arthritis. Garis bibir
perlu ditentukan ketika pasien senyum atau ketika bibir dalam posisi istirahat. Vermillion
border dievaluasi dari warna, tekstur, dan fissure. Fungsi kalenjar mukosa dapat diakses
dengan mengeringkan bibir kemudian memperhatikan saliva yang terkumpul. Tekanan
yang lembut pada bibir atas dan bawah menunjukkan tekanan pada frenulum labial pada
gingiva cekat. Palpasi bibir digunakan untuk memeriksa nodul submukosa, bulae dan
abnormalitas lain.
b. Mukosa bukal
Mukosa bukal diperiksa dengan keadaan mulut pasien tertutup sedikit dengan
kaca mulut untuk melihat. Mukosa dikeringkan dengan spons kemudian diperhatikan
lagi. Bukal mukosa juga dapat dipalpasi secara bidigital dan bimanual.
c. Lipatan Mukobukal
Inspeksi pada daerah ini secara visual dan palpasi. Nodules atau daerah yang sakit
dapat diketahuai dengan menggunakan jari. Pada kondisi tertentu, Garres osteomyelitis
dan central expansion lesions maxilla dan mandibula, area lipatan mukosa bukal dapat
terangkat sehingga ketinggian alveolar ridge.
d. Hard Palate
Hard palate diinspeksi secara visual langsung atau dengan penggunaan kaca
mulut. Hard palate yang sehat kelihatan pale pink. Apabila terdapat ulser, periphery hard
palate terasa sakit jika dilakukan palpasi dengan lembut. Rugae harus terasa padat dan
melekat erat pada midline dan agak kenyal makin ke lateral.
e. Palatum mole dan Uvula

30

Palatum mole dapat dilihat dengan menggunakan kaca mulut, pantulan cahaya,
depressing pada lidah, dan pasien menyebut ahh. Palatum mole dipalpasi dengan
menggunakan index finger dan menekannnya ke arah atas.
f. Orofaring dan Nasofaring
Daerah orofaring diperiksa dengan meletakkan kaca mulut pada dorsum lidah
pasien kemudian menekan menggunakan tongue blade, kaca diletakkan orofaring dekat
dengan dinding post
erior faring. Kaca mulut itu kemudian dirotasikan untuk melihat nasofarink.
g.

Tongue
Lidah dilihat dengan keadaan mulut pasien terbuka luas. Tremor yang luar biasa,
bentuk, saiz, corak fissural, panjang papila, perubahan pada corak retensi keratin,
perubahan warna, elevasi, depression, dan bentuk batas diperhatikan. Untuk melihat
semua permukaan, spons kasa digunakan untuk meretraksi lidah ke depan, kiri, kanan,
bawah, dan ke atas. Radix lidah dapat dipalpasi dengan penggunaan topical anestesi
untuk kontrol gerak reflex.

h. Dasar mulut
Dasar mulut dapat dilihat dengan mengarahkan pasien mengangkat lidah ke atap
mulut. Cahaya dipantulkan menggunakan kaca mulut ke bagian anterior lidah. Caruncula
dikeringkan dan fungsi kalenjar mandibular dievaluasi dengan menekan kalenjar. Saliva
akan keluar melalui pembukaan duktus. Dasar mulut posterior dan tepi lingual alveolar
ridges dapat diamati dengan retraksi lateral tepi lidah dengan kaca mulut. Palpasi secara
manual adalah dengan meletakkan jari pada mulut pasien dan ujung jari tangan satu lagi
pada area submandibular. Apabila lidah pasien relaks dan mulut pasien tertutup sedikit,
dasar lidah lebih mudah untuk dipalpasi.
i. Muskulus mastikasi
Temporalis muskulus di palpasi dengan menyuruh pasien clenched gigi pasien.
Muskulus Masseter dapat dipalpasi dengan mengkatup rahang pasien secara paksa. Pada
31

muskulis internal pterygpid, bagian posterior muskulus ini tidak dapat dipalpasi. Bagian
anterior muskulus ini dipalpasi dengan meletakkan jari dengan sudut 45 dari dasar mulut
pasien. Muskulus pterugoideus eksternal pasien dideteksi dengan menggunakan jari pada
lateral tuberositas maksila dan medial pada prosesus coronoideus. Jari menekan area itu
kemudian perubahan abnormalitas dievaluasi.
j. Periodontium
Pemeriksaan pada daerah periodontium dilakukan dengan teknik vision, palpasi
dan probing.

Langkah pertama adalah menginspeksi gingiva pada aspek labial dan

lingual. Perubahan dari warna coral pink, ketajaman sudut gingiva tepi, bentuk papila
interdental yang berkait dengan lokasi dan lengkung gigi, kehadiran dan derajat inflamasi
gingival, kehadiran plak diperhatikan.Gingival yang merah, berdarah apabila di palpasi
atau diprob, menunjukkan terjadi inflamasi di gingival.
2. Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan klinis merupakan suatu proses untuk mendapatkan informasi supaya
diagnosis dapat dilakukan. Teknik untuk mendapatkan informasi beda dari setiap dokter gigi.
Inspeksi visual dan palpasi merupakan teknik pemeriksaan yang sering digunakan. Daerah
yang diinspeksi harus diamati perubahan pada ukuran, tekstur, bentuk, warna, dan bentuk.
Daerah yang basah harus dikeringkan menggunakan spon untuk mengurangi jumlah cahaya
yang terpantul. Tujuan dari pemeriksaan klinis ini adalah untuk mendapatkan gambaran
umum fisikal status pasien. Pemeriksa harus memerhatikan gaya jalan pasien, status nutrisi
pasien, stature, posture, dan bentuk muka. Stature merujuk kepada tinggi dan berat badan.
Status nutrisi adalah evaluasi tingkat obesitas. Dokter gigi harus menentukan ukuran, tinggi,
berat badan, dan status nutrisi adalah normal untuk individu. Tinggi dan berat diperlukan
untuk mengevaluasi status nutrisi. Pemeriksaan ekstraoral meliputi posture dan gaya jalan
pasien, ekstremitas superior, lengan, tangan, kuku, dan vital signs.
a. Postur dan gaya jalan pasien
Gaya jalan dapat digunakan untuk menentukan diagnosis dan rencana perawatan.
Pasien dengan gaya jalan yang hati-hati memerlukan cara yang berbeda dengan pasien
32

yang mempunyai langkah yang energetik. Pasien dengan mobilitas yang terbatas dapat
disediakan fasilitas yang dapat membantu pasien tersebut bergerak. Postur merujuk
kepada posisi tubuh. Posture tubuh yang berbeda dari normal harus diperiksa sebab
berlaku postur tubuh itu.
b. Ektremitas superior
Pemeriksaan pada ekstremitas superior terbatas pada inspeksi visual tangan, kuku,
dan jari. Obyektif dari inspeksi itu adalah untuk melihat perubahan pada kulit,
deformitas atau perubahan fungsi tangan, kuku, dan jari. Perubahan dapat digunakan
untuk menentukan kesehatan sistemik pasien. Kulit tangan dapat berhubungan dengan
lichen planus, erythema multiforme, atau vesiculobullous lesions. Kulit dapat mengalami
memar yang berlebihan, kehilangan pigmentasi, penyakit kuning atau sianosis. Tulang
sendi jari dapat digunakan untuk inspeksi kemerahan, pembesaran, dan limitasi pada
fungsi.
c. Jari
Warna dan kehadiran hemophages pada kuku harus diperhatikan. Walaupun kuku
dapat digunakan untuk menentukan kondisi sistemik pasien tapi perubahan itu tidak
pathognomonik untuk penyakit yang spesifik.
d. Vital signs
Vital signs ini meliputi tekanan darah, tekanan nadi, kadar respirasi, dan suhu
oral. Tekanan darah diambil dengan menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop.
Tekanan nadi ditentukan menggunakan jari. Kadar respirasi adalah jumlah inspirasi yang
dicatat selama 1 menit. Suhu oral pasien pula diambil dengan menggunakan termometer
oral. Infeksi dan keadaan hipermetabolik seperti hipertiroidisme dapat menyebabkan
peningkatan suhu. Penurunan suhu atau hipotermia dikaitkan pula dengan keadaan
hipometabolik seperti miksoedema.
e. Pemeriksaan pada kepala

33

Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk evaluasi abnormalitas yang disebabkan


sistemik, genetik, atau oral. Pemeriksaan pada kepala ini meliputi daerah muka, rambut,
kulit, mata, telinga, limfobodi pre dan post aurikular, hidung, sinus paranasal, TMJ, dan
kalenjar parotid.
f. Bentuk muka
Posisi mata, hidung, mulut, dan telinga ditentukan dalam melihat simetris bentuk
wajah. Warna kulit diperhatikan karena yang pigmentasi ringan lebih sering terkena
radiasi yang dapat meningkatkan peluang untuk mendapat kanker oral. Bengkak yang
unilateral mungkin disebabkan oleh selulitis atau tumor kalenjar ludah. Bilateral bengkak
dikaitkan dengan hipertrofi muskulus masseter dan perubahan pada sendi TMJ,
peningkatan saiz rahang bawah.
g. Kulit
Kulit diperiksa dengan palpasi dan observasi. Warna, tekstur, elastisitas, dan
kehadiran edema harus diperhatikan. Pendedahan pada cuaca dan perubahan pada
aktifitas tiroid memberi pengaruh kepada tekstur kulit. Tekstur kulit dapat dievaluasi
dengan menggunakan palpasi ringan. Elastisitas kulit dapat ditentukan dengan cubit kulit
di dahi. Palpasi dapat digunakan untuk mengindikasi edema pada kulit.
h. Rambut
Rambut pasien harus diperhatikan corak distribusi, warna dan tekstur. Setengah
kondisi sistemik dapat merubah warna dan tekstur rambut.
i. Mata
Bola mata harus diinpeksi dengan mengevaluasi ukuran dan bentuk bola mata.
Mata menonjol secara abnormal kemungkinan pasien mengidap exophtalmos. Kelopak
mata atas dan bawah pasien juga diperiksa. Untuk mendapat pandangan yang baik pada
kelopak mata bawah pasien diarahkan untuk memandang atas. Kulit dibawah kelopak
mata mudah diretraksi dengan ibu jari dan jari index. Area kelopak mata atas dapat
diamati dengan:
34

1) Mengarahkan pasien relaks dan memandang bawah.


2) Memegang kelopak atas pasien dengan lembut dan menarik kelopak mata itu ke
bawah dan sedikit ke depan.
3) Menggunakan cotton swab, tarsal plate ditolak ke atas.
4) Pegang bulu mata kearah alis mata. Kemerahan dan ulceration pada permukaan

konjuktival harus diperhatikan.


j. Telinga
Telinga harus diinpeksi secara visual untuk abnormal nodules atau distorsi. Sakit
pada ketika palpasi di daerah telinga mengindikasikan mastoiditis.
k. Pre dan post-auricular limfonodi
Daerah pada sekitar telinga dipalpasi untuk deteksi limfonodi. Preauricular
limfonodi terletak pada depan tragus. Postauricular limfonodi terletak dibelakang telinga
dekat insersi muskulus sternomastoideus.
l. TMJ
TMJ terletak di depan tragus telinga. Kedua sendi tulang harus dipalpasi pada
ketika yang sama. Stethoscope dapat menunjukkan bunyi yang abnormal. Bunyi yang
abnormal mengindikasikan disfungsi pada otot mastikasi atau internal pada kapsul sendi
itu. Popping juga dapat mengindikasi perubahan internal pada kapsul sendi dan juga
tumor atau osteophyte. Krepitasi mengindikasikan kontak tulang ke tulang dan
merupakan peringkat perubahan internal pada kapsul sendi yang lebih parah. Sekiranya
sakit pada ketika palpasi dilakukan juga mengindikasikan perubahan internal dan
inflamasi.
m. Kalenjar parotid
Apabila bengkak, kalenjar parotid mengangkat lubang telinga dan terdapat
sumbatan pada Stensens duct. Facial paralisis juga dapat berlaku apabila kalenjar parotid
itu mengalami infeksi sekunder.
n. Hidung dan Paranasal Sinus
35

Sinus frontalis terletak pada midline di atas mata. Daerah ini dapat dipalpasi dan
diperkusi dengan jari akan menimbulkan rasa sakit apabila terjadi inflamasi di sinus.
Frontal sinus dapat ditransluminasi dengan menggunakan sumber cahaya yang kecil dan
terang pada kamar yang digelapkan. Cahaya diletakkan di dalam canthus mata dan
jumlah cahaya yang melewati sinus itu dibandingkan. Sinus yang dipenuhi dengan massa
atau cairan tidak akan memiarkan cahaya melewatinya.
Sinus maksila dipalapasi dengan dengan meletakkan index finger dan jari tengah
pada setiap sisi hidung di bawah rima orbita. Sekiranya pada tekanan yang lembut tidak
menghasilkan sakit, sinus diperkusi. Walaupun pada ketiadaan rasa sakit pada perkusi
tersebut, kemungkinan sinusitis masih bisa terjadi. Transluminasi sinus maxilla dapat
tercapai dengan meletakkan sumber cahaya dalam mulut dan meletakkan diantara lateral
dan anterior aspek hard palate dengan keadaan bibir pasien tutup. Jumlah cahaya yang
terlihat pada sinus diperhatikan.
o. Pemeriksaan pada leher
Struktur pada leher yang diinspeksi untuk melihat pembengkakan yang abnormal,
perubahan kulit, muskulus yang tidak berfungsi, dan distention pada pembuluh darah.
Muskulus pada leher dapat mengindikasikan abnormalitas. Muskulus yang bersifat
tenderness pada muskular atau pada torigin muscular adalah disebabkan stresss atau
disfungsi myofacial.

F. KONSEP DASAR PENATALAKSANAAN KELAINAN/PENYAKIT LESI


PERUBAHAN WARNA
Karena merupakan penyakit kronis dan tidak dapat disembuhkan, manajemen difokuskan
pada keparahan gejala dan kesehatan umum pasien. Pendekatan ini untuk menetralkan limfosit
yang menyinggung tidak mengenali beberapa sel host, melepaskan sitokin inflamasi yang
memulai respon dan tanda-tanda dan gejala. Manajemen dan perawatan pasien mempunyai
komponen penting untuk menjamin tidak menular (menular) penyakit, dan menghindari
keganasan (Silverman, 2001).
36

Secara sistemik, obat yang paling berguna untuk mengendalikan respon limfosit yang
rusak adalah prednisone. Biasanya 40 sampai 80 mg per hari mengurangi tanda-tanda dan gejala.
Efek samping yang paling umum jangka pendek dari pemberian prednisone adalah insomnia,
perubahan mood, dan retensi cairan (kembung) (Silverman, 2001).
Perawatan juga harus diambil pada pasien dengan penyakit sistemik tertentu. Prednisone
mengubah glikogen hati dan otot menjadi glukosa, dengan demikian menempatkan pasien
diabetes pada risiko dari hiperglikemia. Karena retensi cairan dari eliminasi natrium menurun,
hipertensi dapat membuat masalah. Dieresis potassium merupakan masalah ringan, tetapi dapat
ditekankan pada pasien yang memakai diuretik. Hal ini dapat mengganggu fungsi otot. Perhatian
khusus juga harus dilakukan pada pasien dengan riwayat lesi gastrointestinal, untuk menghindari
kemungkinan meningkatkan perdarahan ulkus. Karena kemungkinan perubahan dalam tekanan
okular, pasien dengan glaukoma harus bersih sebelum pemakaian. Pemberian jangka panjang
dari prednisone dapat memperparah osteoporosis, karena hilangnya kalsium dari tulang dan
kurangnya pembantukan kembali (Silverman, 2001).
Kadang-kadang, menggabungkan sitotoksik (antimetabolit) obat azathioprine (Imuran)
dengan rednison sinergis meningkatkan efek anti-inflamasi. Biasanya dosis tambahan efektif
harian saat dibutuhkan bervariasi antara 50 mg dan 100 mg per hari. Pada saat-saat, ketika pasien
tidak toleran dengan dosis prednison yang diperlukan untuk mengontrol tanda dan gejala, dosis
prednison yang lebih rendah dapat dibuat efektif dengan menambahkan azathioprine. Kombinasi
ini juga dipertimbangkan pada pasien dengan tanda dan gejala inflamasi akut parah (Silverman,
2001).
Agen topikal dapat digunakan bila ada alasan medis tidak menggunakan obat sistemik
atau jika pasien memiliki alasan tersendiri. Selain itu, pemberian agen secara topikal
dimungkinkan untuk pasien dengan penyakit ringan (Silverman, 2001).

G. LESI PREKANKER DAN KANKER RONGGA MULUT


Kelainan pre-maligna adalah suatu kelainan pada mukosa rongga mulut yang paling awal
sebelum berubah menjadi tumor ganas.
37

1. Leukoplakia
1) Etiologi
Beberapa zat berikut merupakan etiologi leukoplakia: tembakau, alkohol dan
iritasi lokal, sifilis, defisiensi vitamin, ketidakseimbangan hormon, galvanisme, gesekan
kronis, dam kandidiasis. Beberapa bentuk pada leukoplakia disebabkan karena trauma
kronis seperti pada bibir dan gigitan bibir. Bentuk lain pada leukoplakia timbul dari
penggunaan tembakau dan termasuk cigarette keratosis. Lesi putih yang lain terlihat pada
kedua bibir dari merokok yang terlalu pendek (Bricker Et Al, 1994).
2) Perangai Klinis
Secara klinis leukoplakia dapat dibagi atas 4 grade yaitu:
Grade I

: bercak kemerahan yang granuler yang secara bertahap berubah menjadi

Grade II
Grade III

keabuan.
: bercak putih kebiruan berbatas tegas,tanpa indurasi
: bercak keputihan berbatas tegas dengan indurasi, mungkin ada kerutan

Grade IV

: bercak

mengalami

indurasi,

ada

fisura,

erosi,

kadang-kadang

permukaanya proliferasi seperti veruka.


Leukoplakia atau bercak putih yang baru timbul pada lidah bisa merupakan gejala
permulaan dari suatu karsinoma lidah. Leukoplakia dengan ukuran diameter tidak kurang
dari 5mm yang tidak bisa diangkat/dihilangkan dengan kerokan dan yang tidak bisa
digolongkan kepada sesuatu penyakit lain, harus dianggap suatu lesi pre-malignan.
Diperoleh data 1,4 sampai dengan 36,4% dari penderita yang diobservasi 1 bulan sampai
5 tahun lesi tersebut merupakan suatu keganasan.
3) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Pada pemeriksaan mikroskopis nampak perubahan keganasan dini. Leukoplakia
paling sering didapatkan pada bukal dan dasar mulut. Kurang lebih 10-12% leukoplakia
berubah menjadi karsinoma rongga mulut, ini diperlukan waktu sampai 10 tahun.
Leukoplakia yang dapat berubah menjadi karsinoma ini pada pemeriksaan mikroskopis
38

menunjukan suatu displasia yang irreversible walaupun penderita menghentikan


rokoknya. Secara Mikroskopis dapat ditemukan hiperplasia, keratosis, diskeratosis.
Epstein, J 1994 menemukan 12% sd 25% menjadi displasia dan 3% sd 10%
menjadi karsinoma. Pada pria ditemukan dua kali lebih banyak disbanding wanita. Data
di RS Hasan Sadikin Bandung (1986) dengan jumlah penderita 114 pasien perbandingan
pria wanita ialah 70 : 44.
4) Predisposisi
Mucosa buccal, lidah, dasar mulut

2. Erytroplakia (Bowen&rsquo;s disease)

1) Perangai Klinis
Kelainan ini jarang terjadi pada usia tua. Masih diperdebatkan apakah merupakan
kelainan pre-malignan atau memang suatu karsinoma superficial yang sangat dini.
Kelainan ini berupa mukosa yang sedikit meninggi dan menebal berwarnamerah mirip
jaringan granulasi dengan tumpukan keratin diatas permukaan. Tepi lesi biasanya
berbatas jelas.
2) Patofisiologis dan Histopatogenesis
Merahnya lesi adalah akibat dari atrofi mukosa yang menutupi submukosa yang
banyak vaskularisasinya.
3) Predisposisi

39

Eritroplakia dapat terjadi di setiap tempat di dalam mulut, tetapi paling sering
dalam lipatan mukobukal mandibula, orofaring dan dasar mulut. Lokasi yang paling
sering ialah dasar mulut, palatum molle dan trigunum retromolar.
4) Pemeriksaan
Bila ditemui kelainan ini maka penangananya dianggap sebagai karsinoma rongga
mulut. Pada hasil biopsi ditemukan lebih dari 80% menjadi displasia. Pada studi
asymtomatik kanker mulut, 60% merupakan campuran leukoplakia dan erytroplakia.
Resiko menjadi ganas 4 sampai 7 kali dibanding leukoplakia (Epstein, 1994).

3. Melanoma

Melanoma adalah malignasi neoplasma yang terjadi pada kavitas mulut dan mirip
benigna, termasuk nevus, fibromas, dan papilloma. Pigmen bervariasi dari pink, coklat,
abu-abu, biru atau hitam. Tandanya pada inflamasi, termasuk zona periferal pada eritema.
Sisi yang paling umum adalah maxillary alveolar ridge, palatum dan anterior gingiva.
Prognosis pada intraoral melanoma adalah buruk (Bricker Et Al, 1994).

H. PRINSIP DASAR PENCEGAHAN


40

Pencegahan penyakit sangat penting dilakukan oleh setiap orang. Sebaiknya, kegiatan ini
diterapkan sejak dini atau saat tubuh masih sehat sehingga penyakit enggan menjangkiti tubuh
kita, kesehatan tubuh pun terjaga. Dengan tubuh sehat dan prima, kita dapat beraktivitas dengan
aman dan nyaman.
Enam pola untuk mencegah penyakit
Beberapa pola dibawah ini, jika dilakukan dengan rutin dan sungguh-sungguh dapat
membantu agar tubuh tidak mudah terserang penyakit.
1.

Pola pikiran positif (manejemen pikiran) agar terhindar dari stress.

2.

Pola hidup yang sehat dan seimbang.

3.

Pola istirahat yang cukup.

4.

Pola bernapas dalam yang benar dan teratur.

5.

Pola makan yang seimbang dalam kandungan gizinya. Menerapkan pola food
combaining yang secara efektif dapat mencegah berbagai macam penyakit.
Perawatan pencegahan mangacu pada langkah yang diambil untuk mencegah timbulnya

suatu penyakit. Pencegahan penyakit ini memiliki empat tingkatan, diantaranya yaitu:
1. Pencegahan primer
Pencegahan yang bertujuan untuk menghindari pertumbuhan penyakit kearah yang lebih
parah.

2. Pencegahan sekunder
Kegiatan ini bertujuan untuk mendeteksi secara dini dari tanda dan gejala suatu penyakit,
dengan demikian dapat meningkatkan peluang untuk mencegah perkembangan dari suatu
penyakit.
3. Pencegahan tersier
41

Proses ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari penyakit yang sudah muncul
dengan cara mengembalikan fungsi dan mengurangi komplikasi yang berhubungan dengan
penyakit
4. Pencegahan kuartener
Merupakan serangkaian kegiatan kesehatan yang mengurangi atau menghindari konsekuensi
dari intervensi yang berlebihan dalam sistem kesehatan.
Contoh sederhana dari kegiatan pencegahan penyakit antara lain adalah mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan, atau imunisasi balita. Untuk seseorang yang yang memiiki riwayat
penyakit menurun di keluarganya, dapat melakukan screening atau general check up pada usia
yang lebih dini dan atau lebih sering dari pada seseorang yang tidah memiliki riwayat penyakit
menurun.

42

BAB III
PERMASALAHAN
Seorang petani laki-laki 35 tahun dating untuk mencabutkan gigi geraham bawah. Pemeriksaan
klinis menunjukkan gigi 38 karies dan nekrosis pulpa, setempat di palatum durum tampak biru
keabu-abuan, asimtomatik dan tidak berubah warna pada saat ditekan. Keadaan ini telah
berlangsung 3 tahun. Pada dasar kuku, kulit cuping hidung juga tampak biru keabu-abuan.
Sebelumnya pasien adalah perokok berat tetapi sejak 9 bulan lalu telah berhenti. Dikeluhkan
adanya nafas pendek, terkadang gangguan perut berupa konstipasi, namun BAB tidak ada
kelainan. Pemeriksaan fisik dan laboratories dalam batas normal. 10 tahun terakhir ini pasien
menggunakan atabrine untuk mengatasi sensitifitasnya terhadap paparan sinar matahari. Hasil
biopsy pada mukosa palatal menunjukkan adanya permukaan sediaan tertutup epitel skuamus
kompleks. Jaringan fibrokolagenus di bawahnya berisi lemak dan kelenjar ludah minor. Pada
bagian dalam dari kelenjar mukosa terdapat sebukan limfosit sedang. Pada jaringan ikat yang
berbatasan dengan epitel tampak menyebar makrofag bulat dan spindle. Pengecatan dengan
Warthin-Starry pH 3,5 terlihat adanya melanin di dalam sel makrofag, pengecatan Perls terlihat
banyak sel positif untuk ferric ion.

43

BAB IV
DISKUSI
A. PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
1. Chief Complain
Pasien datang untuk mencabutkan gigi geraham bawah.
2. Present Illness
Nafas pendek, terkadang mengalami gangguan perut berupa konstipasi namun BAB
tidak ada kelainan.
Napas pendek atau sesak nafas adalah perasaan sulit bernapas yang terjadi ketika
melakukan aktivitas fisik. Sesak napas merupakan gejala dari beberapa penyakit dan dapat
bersifat akut atau kronis. Sesak napas dikenal juga dengan istilah Shortness Of Breath.
Penyakit tersebut pada umumnya muncul secara mendadak, dan merupakan gejala penyakit
yang membutuhkan perhatian dokter. Sesak napas dapat disebabkan oleh beberapa penyakit,
seperti asma, penggumpalan darah pada paru-paru sampai pneumonia. Sesak napas juga
dapat disebabkan karena kehamilan. Dalam bentuk kronisnya, sesak napas merupakan suatu
gejala penyakit-penyakit seperti asma, emfisema, beberapa penyakit paru-paru lain.
Dalam kasus ini kemungkinan napas pendek atau sesak napas diakibatkan oleh karena
pasien dahulu memiliki kebiasaan merokok, sehingga walaupun kebiasaan tersebut telah
dihentikan, namun telah terjadi kelainan pada paru-paru pasien.
Konstipasi atau sering disebut sembelit adalah kelainan pada sistem pencernaan yang
membuat seorang manusia mengalami pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga
sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada
penderitanya. Penyebab umum konstipasi atau sembelit yang berada disekitar kita antara lain
karena sedang menjalankan ibadah puasa, kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi,
menderita panas dalam, stres dalam pekerjaan, aktivitas yang padat, pengaruh hormon dalam
tubuh, sedang dalam masa kehamilan, kelainan anatomis pada sistem pencernaan, gaya
hidup yang buruk, efek samping akibat meminum obat tertentu (misalnya obat antidiare,
44

analgesik, dan antasida), kekurangan asupan vitamin C, disebakan oleh penyakit,


menahan rangsangan untuk buang air besar dalam jangka waktu yang lama dan seharusnya
segera dikeluarkan dan dibuang, kekurangan makanan berserat, karena usia lanjut, dan masih
banyak lainnya.
3. Medical History
Pasien adalah perokok berat tetapi sejak 9 bulan lalu telah berhenti. Merokok
merupakan kebiasaan yang memiliki daya merusak cukup besar terhadap kesehatan.
Kebiasaan merokok juga diasosiasikan dengan berbagai macam perubahan yang berbahaya
dalam rongga mulut seperti kaitannya dengan kanker mu1ut (Ruslan, 1996).
Pasien pernah menjalani pengobatan untuk mengatasi sensitivitasnya terhadap
paparan sinar matahari dengan atabrin selama 10 tahun ini. Sensitivitas terhadap paparan
sinar matahari merupakan kondisi dimana pasien peka terhadap sinar matahari yang dapat
menimbulkan reaksi alergi pada kulit. Kondisi seperti ini dapat terjadi akibat adanya penyakit
pada pasien maupun adanya faktor genetik yang memicu. Pada kasus pasien, sensitivitas
matahari diatasi dengan atabrin, sedangkan atabrin sendiri sebenarnya dipakai sebagai obat
antimalaria tetapi sekarang digunakan dalam pengobatan giardiasis, infeksi cacing pita,
amebiasis, dan berbagai kondisi lain.
4. Social History
Petani laki-laki 35 tahun

B. PEMERIKSAAN OBJEKTIF
1. Intraoral
Pada kasus ini, pemeriksaan intraoral dilakukan dari hasil pemeriksaan intraoral
ditemukan kelainan pada gigi dan palatum durum. Gigi 38 karies dan nekrosis pulpa,
setempat di palatum durum nampak biru keabu-abuan, asimptomatik, dan tidak berubah
warna saat ditekan.
45

Gigi diinspeksi secara visual dan apabila terlihat ada kelainan, dapat digunakan alat
diagnostik seperti kaca mulut, sonde, tes CE, dan lain sebagainya sesuai keperluan
diagnostik. Kelainan yang paling sering dijumpai pada gigi adalah karies gigi. Dalam
pemeriksaan karies gigi, diperlukan pencahayaan yang baik dan gigi harus dalam kondisi
kering dan bersih. Untuk daerah yang sukar dilihat dapat digunakan alat bantu berupa kaca
mulut. Sonde dapat digunakan untuk mencari adanya karies di email. Pada karies yang telah
mencapai dentin, sondasi dapat dilakukan untuk menilai sensitivitas gigi. Pada beberapa
lokasi, diperlukan bantuan X-ray untuk mendiagnosis adanya karies (Susanto, 2009).

Gambar. Terlihat adanya area karies berupa area


yang mengalami diskolorisasi pada enamel akibat
terjadi demineralisasi.

Karies gigi diawali dengan destruksi enamel oleh mikroorganisme. Karies dapat
berjalan cepat maupun lambat. Karies yang dibiarkan lama kelamaan akan berkembang dan
merusak struktur yang lebih dalam. Tubulus dentinalis menjadi jalur masuk utama bagi
bakteri dan produk toksiknya. Ketika kerusakan sudah cukup dalam dan mensensitisasi
pulpa, maka akan terjadi respon inflamasi oleh pulpa untuk melawan infeksi tersebut. Hingga
akhirnya apabila pulpa tidak dapat melawan lagi infeksi yang ada, pulpa akan mengalami
kematian. Pulpa akan menjadi sarang bakteri dan dapat menjadi fokal infeksi. Melalui
foramen apikal, bakteri dan produk toksiknya dapat menyebar ke jaringan periodontal dan
menyebabkan kerusakan yang lebih hebat (Slootweg, 2007).
Pada pemeriksaan gigi didapatkan bahwa gigi 38 karies dan nekrosis pulpa. Hal ini
menunjukkan bahwa proses perjalanan penyakit karies sudah kronis dan tidak dirawat
46

dengan baik hingga pulpa menjadi mati. Kondisi ini apabila dibiarkan akan menjadi fokal
infeksi.
Palatum durum diinspeksi secara visual langsung atau dengan penggunaan kaca
mulut. Palatum durum yang sehat akan terlihat berwarna pale pink (Bricker, 1994). Pada
pemeriksaan intraoral, palatum durum nampak biru keabu-abuan. Kondisi ini menunjukkan
bahwa adanya kelainan pada palatum durum. Warna biru, abu-abu, dan hitam pada mukosa
menunjukkan suatu lesi pigmentasi (Silverman, 2001). Lesi pigmentasi biasanya bersifat
asimptomatik. Ketika dilakukan penekanan, tidak terjadi perubahan warna. Hal ini berarti
perubahan warna disebabkan karena deposit pigmen tertentu di jaringan submukosa.
Pigmentasi dapat disebabkan oleh pigmen endogen maupun pigmen eksogen. Pigmen
endogen lebih banyak disebabkan karena adanya deposit hemoglobin, hemosiderin, atau
melanin yang berlebihan di jaringan. Pigmen eksogen biasanya langsung terdeposit secara
traumatik ke jaringan submukosa. Meski demikian, beberapa pigmen eksogen dapat berasal
dari sesuatu yang masuk dalam tubuh, diserap, dan didistribusikan ke jaringan. Warna, lokasi,
jumlah, ukuran, konfigurasi, dan distribusi dari lesi pigmentasi merupakan hal penting yang
perlu diperhatikan untuk menentukan diagnosis differensial (Greenberg, 2003).
2. Ekstraoral
Pada kasus ditemukan dasar kuku dan cuping hidung mengalami perubahan warna
menjadi biru-keabuan. Pigmentasi dasar kuku dapat menggambarkan proses patologis kuku
yang merupakan petunjuk beberapa penyakit sistemik, penyakit kulit atau suatu diagnosis
spesifik. Perubahan warna dapat disebabkan oleh endapan zat dan warna yang timbul
tergantung tempat dan sifat zat yang diendapkan. Jeanmougin membuat klasifikasi perubahan
warna kuku berdasarkan etiologi yaitu:
a.
b.
c.
d.

Agen eksterna
Obat sistemik
Penyakit kulit
Penyakit sistemik

e. Agen fisik

47

Beberapa kondisi yang menyebabkan perubahan warna pada dasar kuku dan mukosa
cuping hidung di antaranya adalah:
Antimalaria
Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat antimalaria terjadi di kulit, mukosa, dasar
kuku, jarang di lempeng kuku. Klorokuin hidroksiklorokuin menyebabkan warna biru keabuabuan, biru-hitam. Kuinakrin menimbulkan warna kekuningan
Cutanea porfiria tarda
Merupakan kondisi metabolik dimana terjadi penumpukan porfirin di kulit yang
membuatnya

sensitif

terhadap

cahaya

akibat

kelebihan

enzim

uroporphyrinogen

dekarboksilase. Kebanyakan gejala cenderung mempengaruhi terutama pada daerah kulit


yang terkena sinar matahari.
Delapan puluh persen dari individu-individu dengan PCT memiliki penyakit yang
diperoleh akan menjadi aktif ketika faktor seperti besi, alkohol, virus hepatitis C (HCV),
HIV, estrogens (seperti yang digunakan dalam lisan kontrasepsi dan pengobatan kanker
prostata), dan mungkin merokok, menggabungkan untuk menyebabkan kekurangan enzim
dalam hati.
Pengobatan dengan menggunakan tablet antimalaria untuk meningkatkan kemampuan
tubuh dalam mengekskresikan porphyrins.
Hemochromatosis
Merupakan gangguan umum di mana terdapat akumulasi tinggi dari besi dalam
jaringan dan organ dalam tubuh. Hemochromatosis biasanya diwariskan dan sifatnya resesif.
Besi adalah logam yang sangat penting untuk kesehatan dalam jumlah kecil. Hal ini
diperlukan untuk transportasi oksigen yang normal dan untuk pertumbuhan sel. Zat besi ini
didapat dari makanan seperti hati, daging merah, dan sayuran berdaun hijau. Dalam
hemochromatosis, tubuh menyerap zat besi dari makanan dan tidak dapat secara efektif
menghilangkan kelebihan.
48

Peutz Jegher syndrome


Kelainan yang ditandai oleh pigmentasi mukokutan autosom dominan dan umum
poliposis usus. Klinis normal carrier dan monosymptomatic kasus telah dilaporkan. Bintik
cat biasanya muncul pada masa kanak-kanak, tetapi mungkin hadir pada saat lahir atau
berkembang di kemudian hari. Mukosa mulut hampir selalu terlibat. Bercak-bercak
pigmentasi atau cokelat hampir hitam dengan diameter 1-5 mm yang tidak teratur
didistribusikan pada mukosa buccal, gusi, langit-langit mulut dan bibir keras. Pigmented spot
juga dapat muncul pada wajah, terutama di sekitar hidung dan mulut dan tangan dan kaki.
Poliposis usus dapat dinyatakan dalam sakit perut dan muntah-muntah. Gejala ileus,
perdarahan gastrointestinal dan anemia sekunder dapat terjadi sebagai hasilnya. Terdapat
peningkatan risiko keganasan
Perubahan Warna Kuku pada Penyakit Sistemik

Defisiensi B12 coklat-hitam


Bronkhiektasi biru muda atau kekuningan
Hemochromatosis abu-abu, coklat, putih
Hiperbilirubinemia coklat, kuning
Hipertiroidi coklat
Malnutrisi coklat difus, pita coklat
Yellow nail syndrome kuning difus atau kehijauan

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
49

1. Biopsi Pada Mukosa Palatal


Pada hasil biopsy ditemukan bahwa sediaan tertutup epitel skuamous kompleks. Hal
ini merupakan keadaan normal. Epitel yang menyusun palatum durum merupakan epithelium
squamosum stratificatum yang mengalami keratinisasi. Pada palatum durum, epitel
mukosanya mengalami keratinisasi, karena cenderung mengalami banyak gesekan (Young,
2000). Jaringan fibrokolagenous berisi lemak dan kelenjar ludah minor. Hal ini juga
merupakan penampakan normal. Sesuai dengan teori, pada mukosa palatum, terdapat
glandula salivarius minor dan sel-sel adipose berisi lemak (Fawcett, 1994).
Makrofag bulat dan spindle ditemukan pada jaringan ikat yang berbatasan dengan
epitel. Makrofag spindle merupakan bentuk makrofag yang tidak aktif dan tinggal di dalam
jaringan. Makrofag berbentuk bulat merupakan makrofag yang berfungsi untuk fagositosis.
Pada daerah tersebut kemungkinan terjadi penumpukan pigmen melanin, sehingga terlihat
adanya makrofag bulat yang aktif memfagosit pigmen melanin yang berlebih di daerah
tersebut (Takaya, 1997).
Makrofag adalah sel pada jaringan yang berasal dari sel darah putih yang
disebut monosit. Monosit dan makrofag merupakan fagosit, berfungsi baik pada pertahanan
tidak spesifik dan juga pada pertahanan spesifik vertebrata. Peran mereka adalah
untuk memfagositosis selular dan patogen baik sebagai sel tak berubah atau bergerak, dan
untuk menstimulasikan limfosit dan sel imun lainnya untuk merespon patogen.
Makrofag berasal dari monosit yang terdapat pada sirkulasi darah, yang menjadi
dewasa dan terdiferensiasi dan kemudian bermigrasi kejaringan. Makrofag mampu
bermigrasi hingga keluar sistem vaskuler dengan melintasi membran sel dari pembuluh
kapiler dan memasuki area antara sel yang sedang diincar oleh patogen. Makrofag adalah
fagosit yang paling efisien, dan bisa mencerna sejumlah besar bakteri atau sel lainnya.
Makrofag dapat terfiksasi atau mengembara, makrofag ini mengembara bergerak
dengan mempergunakan gerakan amuboid, gerakan amuboid ini juga terjadi jika ada
rangsangan. Pada saat ini mereka mempunyai bentuk sangat tidak teratur, dengan kaki palsu
yang terjulur kesegala arah.
50

Makrofag mempunyai fungsi antara lain:


1. Fungsi

utama

adalah

melahap

partikel

dan

mencernakannya

oleh

lisozom

dan mengalarkan sederetan substansi yang berperan dalam fungsi pertahanan dan
perbaikan.
2. Dalam system imun tubuh sel ini berperan serta dalam mempengaruhi aktivitas dari
respon imun, mereka menelan, memproses dan menyimpan antigen dan menyampaikan
informasi pada sel-sel berdekatan secara imunologis compoten (limposit dan sel plasma)
3. Macrofag yang aktif juga merupakan sel sektori yang dapat mengeluarkan beberapa
substansi penting, termasuk enzim-enzim, lisozim, elastase, kolagenase, dua protein dari
sistim komplemen dan gen anti virus penting, interveron (Efendi, 2003).
Morfologi makrofag tidak selalu sama baik pada makrofag diberbagai jaringan
maupun antara makrofag normal dengan yang dalam keadaan patologik, Namuin kebanyakan
makrofag adalah suatu sel yang besar, intinya bulat atau berlekuk, aparat golgi yang
sempurna, vakuola endositik, lisosom dan fagolisosom, dan suatu membran plasma yang
ditutupi oleh mikrovili atau kerutan-kerutan (Sumawinata, 2010).
Sel-sel kunci dalam respon antigen-antibodi adalah sel limfosit. Terdapat dua jenis
limfosit yang berperan, yaitu limfosit Bdan T. Keduanya berasal dari sel tiang yang sama
dalam sumsum tulang. Pendewasaan limfosit B terjadi di Bursa Fabriciuspada unggas,
sedangkan pada mamalia terjadi di hati fetus, tonsil, usus buntu dan jaringan limfoid dalam
dinding usus.Pendewasaan limfosit T terjadi di organ timus.Sistim kebal atau imun terdiri
dari dua macam, yaitu sistim kebal humoral dan seluler. Limfosit B bertanggung jawab
terhadapsistim kebal humoral. Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh, maka limfosit B
berubah menjadi sel plasma danmenghasilkan antibodi humoral. Antibodi humoral yang
terbentuk di lepas ke darah sebagai bagian dari fraksi g- globulin.
Antibodi humoral ini memerangi bakteri dan virus di dalam darah. Sistem humoral
merupakan sekelompok protein yang dikenal sebagai imunoglobulin (Ig) atau antibodi (Ab).
Limfosit T bertanggung jawab terhadap kekebalan seluler. Apabila ada antigen di dalam
tubuh, misalnya sel kanker atau jaringan asing,maka limfosit T akan berubah menjadi
limfoblast yang menghasilkan limphokin (semacam antibodi), namun tidak dilepaskanke
51

dalam darah melainkan langsung bereaksi dengan antigen di jaringan. Sistim kekebalan
seluler disebut juga respon yangdiperantarai sel.Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh
ternak maka tubuh akan terangsang dan memunculkan suatu respon awal yangdisebut
sebagai respon imun primer.
Respon ini memerlukan waktu lebih lama untuk memperbanyak limfosit dan
membentukingatan imunologik berupa sel-sel limfosit yang lebih peka terhadap antigen.
Kalau antigen yang sama memasuki tubuhkembali maka respon yang muncul dari tubuh
berupa respon imun sekunder. Respon ini muncul lebih cepat , lebih kuat danberlangsung
lebih lama daripada respon imun primer.
2. Pengecatan Warthin-Starry Ph 3,5
Pewarnaan perak agrofilik Warthin-Starry agrophilic silver stain dengan pH 3.2
adalah metode yang paling efektif untuk menunjukkan melanin pada jaringan. Delapan puluh
lima persen tumor melanostik telah diteliti menggunakan prosedur Warthin-Starry dan
Fontana-Masson. Teknik Warthin-Starry mewarnai sel tumor hingga 68% tanpa kehilangan
detail sel. Dua puluh tiga persen tumor yang terlihat amelanotik pada pewarnaan
hematoxilin-eosin terbukti positif dengan pewarnaan Warthin-Starry namun negatif dengan
teknik Fontana-Masson. Pewarnaan Warthin-Starry lebih sensitif dan spesifik untuk melanin
daripada prosedur Fontana-Masson (Warkel, Luna and Helwig, 1980).
Tidak seperti metode Fontana-Masson, teknik pewarnaan Warthin-Starry tidak
mereduksi melokul lain termasuk formalin, besi dan lipofuscin (Taborda, Taborda &
McGinnis, 1999)
3. Pemeriksaan Perls
Pewarnaan perls iron adalah metode klasik untuk menunjukkan besi dalam jaringan.
Bagian ini ditreatmen dengan asam klorida encer untuk melepaskan ion besi dari protein
pengikat. Ion ini kemudian direaksikan dengan potassium ferrocyanide untuk memproduksi
senyawa biru larut (reaksi Prussian blue)
Hemosiderin dapat muncul pada area perdarahan lama atau dapat terdeposit dalam
jaringan dengan kelebihan besi (hemosiderosis adalah istilah yang digunakan jika besi itu
52

tidak mengganggu fungsi organ; hemochromatosis mengacu pada kondisi beban besi yang
terkait dengan kegagalan organ).

D. DIAGNOSIS DIFERRENTIAL
1. Porfiria Cutanea Tarda (PCT)
a. Gambaran Umum
Asam amino merupakan prekursor dari banyak senyawa komplek nitrogen yang
penting dalam fungsi fisiologis. Porfirin salah satu dari komplek tersebut, adalah senyawa
siklik yang membentuk heme dan klorofil. Sebagai gugus prostetik dari banyak protein,
heme membentuk sejumlah hemeprotein yang secara terus menerus mengalami proses
sintesa dan degradasi. Sebagai contoh, 6 sampai 7 gram hemoglobin disintesa setiap hari
untuk menggantikan heme yang hilang dalam proses katabolismenya. Pembentukan dan
pemecahan komponen porfirin dari hemoglobin berperan dalam menjaga keseimbangan
nitrogen tubuh.
Porfirin adalah kompleks molekul dalam tubuh yang bergabung dengan zat besi
untuk memproduksi heme, yang bertanggungjawab dalam memberi warna merah pada
darah. Porfirin sangat penting pada pembuatan hemoglobin didalam sel darah merah,
untuk mengangkut oksigen keseluruh tubuh. Heme bergabung dengan globin untuk
membentuk hemoglobin.
Heme adalah kompleks senyawa protoporfirin IX dengan logam besi yang
merupakan gugus prostetik berbagai protein seperti hemoglobin, mioglobin, katalase,
peroksidase, sitokrom C dan triptophan pirolase. Kemampuan hemoglobin dan mioglobin
mengikat oksigen tergantung pada gugus prostetik ini yang sekaligus memberi warna
khas pada kedua hemeprotein tersebut.
Sejumlah kelainan dapat terjadi selama proses sintesa porfirin dan hasil
penguraian senyawa porfirin akan membentuk pigmen empedu yaitu bilirubin. Gangguan

53

dalam metabolisme bilirubin selanjutnya akan memunculkan keadaan klinis yang sering
dijumpai yaitu ikterus.
Porfiria adalah nama dari kelompok penyakit yang disebabkan oleh ekses porfirin
dalam darah. Porfiria cutanea tarda adalah bentuk porfiria yang paling sering ditemukan
dan merupakan satu-satunya porfiria yang bukan herediter (keturunan).
b. Etiologi
PCT dapat disebabkan atau dipicu oleh hemokromatosis (akumulasi zat besi
dalam hati), penggunaan alkohol yang berat, estrogen (kontrasepsi oral dan perawatan
kanker prostat), dan infeksi virus (HIV dan HCV), dan kemungkinan merokok. Hepatitis
C merupakan infeksi yang umum berhubungan dengan infeksi virus. Dalam faktanya,
beberapa studi menemukan bahwa orang dengan PCT yang dapat dilacak dengan infeksi
virus, lebih dari 50% berasal dari infeksi virus hepatitis C. Defisiensi UROD yang
diturunkan bertanggungjawab dalam sekitar 20% kasus PCT. PCT dapat terjadi baik pada
laki-laki maupun perempuan dan biasanya menyerang usia dewasa dan dapat menyerang
ras atau kelompok etnis apapun.
Penyakit ini diturunkan secara autosomonal resesif atau bisa berupa penyakit yang
didapat yang disebabkan oleh defisiensi salah satu enzim pada jalur biosintesa heme dan
mengakibatkan penumpukan dan peningkatan porfirin atau prazatnya dijaringan atau
didalam urine. Kelainan ini jarang dijumpai tapi perlu dipikirkan dalam keadaan tertentu
misalnya sebagai diagnosa banding pada penyakit dengan gejala klinis nyeri abdomen,
fotosensitivitas dan gangguan psikiatri.
c. Tanda dan Gejala
Gejala klinis yang dapat muncul dapat dikelompokkan dalam dua patogenesa
yaitu bila kelainan enzim sintesa heme menyebabkan penumpukan asam amino levulenat
dan porfobilinogen disel atau cairan tubuh akan menghambat kerja ATP-ase dan meracuni
neuron sehingga menimbulkan gejala-gejala neuro-psikiatri sedangkan bila kelainan
enzym sintesa heme menyebabkan penumpukan porfirinogen dikulit dan dijaringan lain
akan teroksidasi spontan membentuk porfirin yang apabila terpapar dengan cahaya,
54

porfirin akan bereaksi dengan O2 molekuler membentuk suatu radikal bebas yang sangat
reaktif dan merusak jaringan atau kulit dimana porfirin terdeposisi, peristiwa ini
memunculkan gejala-gejala fotosensitivitas.
d. Patofisiologi dan Histopatogenesis
Penyakit ini terjadi bila uroporfirinogen dekarboksilase (salah satu enzim di hati
yang penting untuk pembentukan heme) menjadi tidak aktif sehingga terjadi penumpukan
porfirin di kulit dan membuat sensitif terhadap cahaya. Walaupun penyakit ini tidak
diturunkan, kadang-kadang kekurangan enzim uroporfirinogen dekarboksilase yang
bersifat parsial, diwariskan oleh salah satu dari kedua tuanya dan menjadikan seseorang
mudah menderita penyakit ini. Kasus seperti ini sering disebut Porfiria Cutanea Tarda
Familial. Porfiria cutanea tarda (PCT) adalah salah satu dari banyak tipe porfiria, dipicu
oleh defisiensi enzim yang disebut uroporfirinogen dekarboksilase (UROD). Aktivitas
UROD yang berkurang menyebabkan overproduksi dan pertambahan banyak dari protein
uroporfirinogen dalam darah dan urin pasien. Ini menyebabkan produksi abnormal dari
heme, bahan yang ditemukan pada seluruh jaringan tubuh dan terutama pada hati,
sumsum tulang, dan sel darah merah. Keadaan ini memunculkan fenomena berupa
eritrosit yang berumur pendek, urine pasien merah karena ekskresi uroporfirin I dalam
jumlah besar, gigi yang berfluoresensi merah karena deposisi porfirin dan kulit yang
hipersensitif terhadap sinar karena porfirin yang diaktifkan cahaya bersifat sangat reaktif .
e. Perangai klinis
Gejala dari PCT biasanya terbatas pada kulit. Lesi atau lepuh kulit lebih banyak
terlihat pada tangan, lengan bawah, leher bagian belakang dan wajah, dan area yang
terekspos matahari. Kulit dapat menjadi merah, melepuh dan mengelupas setelah paparan
langsung dengan matahari atau trauma minor. PCT juga dapat menyebabkan kulit
menjadi lebih gelap atau lebih terang, meningkatkan rambut wajah, jaringan parut,
alopecia (rambut rontok), penebalan kulit, rasa sakit dan penuaan kulit premature. Setelah
itu akan terbentuk keropeng atau jaringan parut yang memerlukan waktu lama untuk
proses penyembuhannya.

55

Pada kasus yang berat, kalsium dapat terdeposit pada kulit menyebabkan ulser
yang tidak sembuh-sembuh. Kerusakan kulit tersebut disebabkan oleh porfirin yang
dihasilkan di hati dipindahkan oleh plasma darah ke kulit. Fungsi enzim hati dapat
abnormal meskipun enzim biasanya hanya sedikit meningkat. Biopsi hati menunjukkan
adanya penumpukan zat besi.
f. Pemeriksaan
Diagnosis porfiria cutanea tarda diperlukan pemeriksaan fisik, pengukuran
UROD pada plasma darah, air kemih dan tinja terhadap kemungkinan adanya porfirin,
dan biopsi kulit. Pada orang penderita PCT maka kadar porfirin dalam plasma darah akan
tinggi. Pada urin akan terlihat peningkatan uroporfirin, sementara pada tinja terjadi
peningkatan coproporfirin dan uroporfirin. Selain itu bisa juga dengan pemeriksaan urin
menggunakan Woods lamp, akan terlihat colar pink fluorescence yang disebabkan karena
kelebihan porfirin.
g. Terapi
Terapi yang dapat diberikan hanyalah bersifat simptomatik karena terapi kausal
yang bersifat genetik masih sulit dikerjakan. Tanda dan gejala dari PCT dapat
dimanajemen, tetapi tidak ada pengobatannya. Manajemen yang biasa dilakukan:
1) Phlebotomies (pembersihan darah) untuk mereduksi zat besi pada hati, sekitar 0,5 L
darah diambil setiap 1-2 minggu. Biasanya phlebotomi dilakukan hanya 5-6
kali; anemia akan terjadi bila terlalu sering dilakukan phlebotomi. Phlebotomi akan
membuat penderita mengalami kekurangan zat besi yang ringan. Phlebotomies
diberikan hingga level ferritin dalam serum berkurang sekitar 20ng/ml. Phlebotomies
juga dapat mereduksi porfirin hingga level normal pada darah. Kadar porfirin di hati
dan plasma darah akan turun secara bertahap, kulit akan membaik dan pada akhirnya
menjadi normal kembali. Jika penyakit ini kambuh, mungkin perlu dilakukan
phlebotomi tambahan. Sekali level ferritin dan porfirin dalam darah normal, PCT
tidak akan timbul lagi.
2) Menghindari matahari jika memungkinkan, menggunakan sunscreen dan baju
pelindung seperti sarung tangan, topi, celana, dan baju lengan panjang ketika diluar.
56

3) Dosis rendah dari chloroquine dan hydroxychloroquine (obat yang biasa digunakan
untuk merawat malaria). Obat-obatan tersebut mengeluarkan porfirin yang berlebihan
dari hati. Tetapi dosis yang telalu tinggi menyebabkan pengeluaran porfirin yang
terlalu cepat, sehingga untuk sementara waktu dapat memperburuk keadaan pofiria
kutanea tarda dan merusak hati.
4) Larangan makanan yang mengandung zat besi
5) Perawatan dari penyakit yang mendasari (HCV) dengan interferon plus ribavirin telah
diketemukan dapat mengurangi lesi kulit dan jumlah UROD yang ditemui pada urin.
6) Menghindari faktor predisposisi hindari preparat atau obat yang merangsang aktifitas
sitokrom P- 450 seperti obat anestesia, alkohol, steroid dan lain-lain.
7) Pemberian zat-zat seperti glukosa dan hematin yang menekan kerja ALA sintase
untuk menghambat pembentukan pra zat porfirin.
8) Pemberian anti oksidan seperti karoten, vitamin E, dan C
(Franciscus, 2007; Mardiani, 2004)

2. Drugs Induced Pigmentation


a. Tanda Dan Gejala
Timbul hiperpigmentasi biru keabu-abuan di bawah kuku, di palatum durum
(Pinborg, 2009), serta di konjungtiva (Neville, 2003).
57

Hiperpigmentasi berwarna kekuningan juga ditemukan di kulit (Neville, 2003).

b. Perangai Klinis
Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat antimalaria terjadi di kulit, mukosa,
subungual, jarang di lempeng kuku. Jaringan dari wajah, subngual, dan pretibial yang
paling sering terkena. Mukosa mulut terdapat pigmentasi dari palatum keras dengan suatu
batas yang jelas antara palatum keras dan palatum lunak. Pigmentasi pada palatum durum
berwarna kelabu kebiru-biruan hingga hampir hitam (Burket, 2008; Pindborg, 2009).
c. Etiologi
Akibat terapai supresif terhadap malaria dengan pemberian quinacrine (Atabrine),
amodiaquine (Camoquin) atau hydroxychloroquine (Ercoquin) telah terbukti dapat
menimbulkan suatu hiperpigmentasi mukokutaneus biru-hitam (Pinborg, 2009). Pasien
harus minum obat paling sedikit selama empat bulan, untuk bisa timbulnya pigmentasi
tersebut. Umumnya pigmentasi ini menghilang bila peggunaan obat dihentikan (Burket,
Et Al, 2008).
Chloroquine juga memiliki efek samping menyebabkan rambut berwarna kelabu,
merusak sel-sel otot, dan menurunkan jumlah darah. Bila penggunaan dalam jangka
waktu yang panjang bisa menyebabkan penumpukan pigmen kulit warna merah atau biru
(Wallace, 2007).
Klorokuin dan hidroksiklorokuin menyebabkan warna biru keabu-abuan, biruhitam. Kuinakrin menimbulkan warna kekuningan (Murniati, dkk., 1992).
d. Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Dimulai dengan pigmentasi pada palatum sebagai bercak-bercak yang tidak
teratur atau garis-garis pigmen pada satu atau kedua sisi garis tengah, akhirnya bersatu
dengan makin lamanya terapi supersif yang diberikan. Beberapa peneliti menyebutkan
lesi ini akan menghilang sesudah akhir terapi, sedangkan yang lainnya mengatakan tidak
terjadi penghilangan lesi sesudah akhir terapi (Pinborg, 2009).
e. Pemeriksaan
58

Pemeriksaan histologis dari spesimen biopsi yang diambil dari kulit pasien ini
menunjukkan suatu granula kekuningan sampai coklat tua yang menyerupai melanin,
sekalipun komposisi yang pasti tidak diketahui.
3. Hemokromatosis
a. Definisi
Hemokromatosis merupakan penyakit kelebihan zat besi yang diturunkan, yang bisa
berakibat fatal tetapi mudah diobati, dimana terlalu banyak zat besi yang diserap, Penyakit
ini menyerang lebih dari 1 juta orang di AS (Sujono, 1982). Pigmentasi endogenik yang
terjadi akibat seposit zat besi dan juga melanin dalam jumlah abnormal di jaringan tubuh
(Lynch et al, 1993). Memiliki beberapa sinonim antara lain Bronze diabetes, iron deposition
disease, hereditary hemochromatosis; genetic hemochromatosis; primary hemochromatosis
(Powel, 2002).
b. Tanda Dan Gejala
Adanya gangguan metabolisme zat besi dan mengakibatkan peningkatan
masukkan zat besi sehari-hari (Lynch et al, 1993). Hal tersebut mengakibatkan terjadi
akumulasi zat besi dalam organ parenkimal dan berpengaruh pada toksisitas organ
(Powel, 2002).
Biasanya gejala-gejalanya tidak timbul sampai usia pertengahan dan berkembang
secara tersembunyi, berupa: kulit menjadi berwarna merah tembaga, sirosis, kanker hati,
diabetes, gagal jantung yang bisa berkembang menyebabkan kematian mendadak. Gejalagejala lainnya adalah: arthritis, impotensi, kemandulan, hipotiroid, kelelahan menahun
(Sujono, 1982).
c. Perangai Klinis
Kombinasi dari pigmentasi zat besi dan dengan melanin menghasilkan warna
merah tua. Pigmentasi ini mirip dengan penyakit adisson. Empat gejala klasik berupa
serosis hati, diabetes, gagal jantung, dan kulit yang berwarna tenguli tejadi dalam 82%
dari kasusnya. Keadaan ini lebih pada pasien tua antara 40-60 tahun. Pigmentasi biru
59

keabu-abuan pada palatum keras dengan derajat yang ringan pada gingiva cekat (Lynch et
al, 1993). Selain itu, juga terjadi kulit atropi; ichthyosis; koilonychia; partial alopecia;
hepatomegaly; splenomegaly; arthritis; amenorrhea; kehilangan nafsu seksual; impoten;
hipotiroidisme (Powel, 2002).
d. Etiologi
Transfusi yang berlebihan atau obat-obatan yang mengandung zat besi lainnya
secara parenteral, atau peningkatan absorbsi zat besi di dalam usus. Pigmnetasi ini
dilaporkan terjadi dalam 90-97% dari kasus dan lebih sering diakibatakan karena melanin
daripada zat besi atau kombinasi keduanya (Lynch et al, 1993). Berhubugan dengan
autosomal resesif, mutasi dari 2 gen HFE, terganggunya metabolisme besi dengan
karakteristik adanya absorbsi makanan yang mengandung besi dan tertumpuk di dalam
jaringan, adanya ion besi bebas yang mampu merusak metabolisme oksigen, menganggu
sintesis DNA, mengganggu proliferasi dan integritas sel sehingga dapat menimbulkan
injuri dan fibrosis (Powel, 2002).
e. Patofisiologis Dan Histopatogenesis
Dengan pewarnaan khusus pada spisimen biopsi dan uji peningkatan konsentrasi
zat besi dalam plasma. Keadaan ini menunjukkan adanya gangguan metabolism zat besi
dan dapat terjadi akibat meningkatnya masukan zat besi sehari-hari, tansfusi yang
berlebihan atau obat-obat yang mengandung zat besi lainnya secara parenteral, atau
peningkatan absorbsi zat besi di dalam usus kombinasi dari pigmentasi zat besi dengan
melanin menghasilkan warna merah tua yang merupakan suatu gambaran klinis yang
penting dari penyakit ini (Lynch et al, 1993).
f. Diferensial Diagnosis
Penyakit

Addison;

polymorphous

light

eruption;

post-inflammatory

hyperpigmentation; sun-induced tanning; drug-induced hyperpigmentation; actinic


reticuloid; poikiloderma of Civatte; argyria; kelebihan zat besi akibat adanya anemia
kronis; kelebihan transfusi darah; sel sumsum erytiroid dari susmsum yang hiperplastik

60

akibat anemia sinderoblastis, thalesemia alpha dan beta yang parah, sindrom
myeodysplastik (Powel, 2002).
g. Terapi
Pembatasan

meminum

alkohol,

menghindari

konsumsi

suplemen

yang

mengandung besi (Powel, 2002).


Primaquine fosfat dan quinacrine hydrochloride (Atabrine) dapat menyebabkan
keracunan.

Primaquine

fosfat

dan

quinacrine

hydrochloride

merupakan

agen

pengoksidasi dan dapat menyebabkan methemoglobinemia atau hemolytic anemia


(terutama pada pasien dengan G6PD [glucose-6-phosphate dehydrogenase] defisiensi).
Keracunan primaquine dan quinacrine dapat menyebabkan kelainan gastrointestinal dan
juga dapat menyebabkan methemoglobinemia berat atau hemolisis. Hemolisis dan
methemoglobinemia dapat menjadi tanda dari overdosis primaquine dan quinacrine. Uji
laboratoris lain yang dapat digunakan adalah CBC, free plasma hemoglobin, dan
methemoglobin (Olson, 2004).

61

BAB V
MAPPING CONCEPT

62

BAB VI
KESIMPULAN
Dari hasil diskusi kelompok dapat disimpulkan bahwa diagnosis diferensial kasus tersebut
adalah Porfiria cutanea tarda, drug induced pigmentation dan hemochromatosis. Untuk
mendapatkan hasil yang lebih pasti diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan fisik,
pengukuran UROD pada plasma darah, air kemih dan tinja terhadap kemungkinan adanya
porfirin, dan biopsi kulit. Terapi yang dapat dianjurkan yaitu pembatasan meminum alkohol,
menghindari konsumsi suplemen yang mengandung besi, serta manajemen tanda dan gejala.

63

BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
http://anneahira.com/pencegahan-penyakit
http://dermis.net/dermisroot/en/42633/diagnose.htm
http://dermnetnz.org/systemic/porphyria-cutanea-tarda.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Preventive_medicine
http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/quinacrine
http://hemochromatosis.org/Internal.asp?Page=Signs%20and%20Symptoms
http://id.wikipedia.org/wiki/Makrofaga
http://library.usu.ac.id/download/fk/histologi-zukesti1.pdf
http://my.opera.com/greatranika/blog/?id=4526502
http://medicastore.com/penyakit/752/Porfiria_Kutanea_Tarda.html
http://totalkesehatananda.com/liver2.html
Anonym.
2009.
Special
Stains
in
Histology.
http://library.med.utah.edu/WebPath/HISTHTML/ STAINS/STAINS.html. (diunduh
tanggal 22 Maret 2010)
Adiana M, Untung SP, Mochtar H. 1992. Kelainan Lempeng Kuku. Cermin Dunia Kedokteran
No. 76, 5.
Bricker, dkk. 1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment Planning, 2nd ed.
Philadelphia: Lea and Febiger.
Wood NK and Paul WG. 1994. Differential diagnosis of Oral and Maxillofacial Lesions.
Epstein J. 1994. Oral Cancer in Burket`s : Oral Medicine Diagnosis and Treatment, 9th edition.
Philadelphia: J.B. Lippincott Company.
Franciscus A. 2007. Extrahepatic Manifestation: Porphyria Cutanea Tarda (PCT). www.
hcvadvocate.org/hepatitis/factsheets_pdf/PCT.pdf (diunduh pada tanggal 27 Maret 2010).
Fawcett DW. 1994. Bloom and Fawcett: A Textbook of Histology. New York: Chapman & Hall.
Greenberg MS, Glick M. 2003. Burkets Oral Medicine: Diagnosis and Treatment. New Jersey:
BC Decker Inc.
Gorlin Robert J dan Goldman Henry M. 1970. Thomas Oral Pathology: 6th edition.St Louis.
Langlais RP, Miller CS. 2009. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut Yang Lazim. Jakarta:
Hipokrates
Laskaris G. 2006. Pocket Atlas of Oral Diseases. Stutggart: Thieme Verlag,
64

Lewis MAO, Lamey PJ. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta: Widya Medika.
Lynch MA, Brightman VJ, Greenberg MS. 1992. Ilmu Penyakit Mulut Burkets: Diagnosis dan
Terapi, Edisi Kedelapan, Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Kauzman A, Marisa P, Nick B, Grace B. 2004. Pigmented Lesions of the Oral Cavity: Review,
Differential Diagnosis, and Case Presentations. J Can Dent Assoc 2004; 70 (10): 6823.
Mardiani TH. 2004. Metabolisme Heme. USU Didital Library.
Murniati. 1992. Kelainan Lempeng Kuku. Cermin Dunia Kedokteran. No. 76.
Najjar T, Brian JD. 2008. Disorders of Oral Pigmentation. eMedicine: http://emedicine.
medscape.com/article/1078143-overview. (diunduh tanggal 24 Mei 2010).
Neville BW, Doughlas DD, Dean HW. 2003. Color Atlas of Clinical Oral Pathology. Hamilton:
BC Decker Inc.
Pinborg JJ. 2009. Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher
Powell LW. 2002. Hereditary Hemochromatosis and Iron Overload Diseases. Journal of
Gastroenterology & Hepatology. 17;191195
Sujono ID. 1982. Masalah gangguan keseimbangan besi pada sirosis hepatis dan
hemokromatosis. Universitas Indonesia: Jakarta
Regezy JA, Scuibba JJ, Jordan RCK. Oral Pathology Clinical Pathologic Corelations. 4th
Edition. St Louis: Sounders.
Ruslan G. 1996. Efek Merokok terhadap Rongga Mulut. Cermin Dunia Kedokteran. No. 113.
Rumsfeld Et Al. 1952. Effects of Atabrine and of Certain Related Substances on the
Development of Liver Tumors Due to Azo Dyes. Cancer Research.
Scully C. 2004. Oral and Maxillofacial Medicine.China: Elsevier Publisher.
Silverman S, Eversole LR, Truelove EL. 2001. Essentials of Oral Medicine. London: BC Decker
Inc.
Slootweg PJ. 2007. Dental Pathology: A Practical Introduction. Berlin: Springer.
Susanto AJ. 2009. Dental Caries. repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/2542.pdf (diunduh pada
tanggal 21 Maret 2010).
Sumawinata N. 2010. Senarai Istilah Kedokteran Gigi Inggris-Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Taborda VBA, Taborda PRO, McGinnis MR. 1999. Constitutive Melanin In The Cell Wall Of
The Etiologic Agent Of Lobo's Disease. Rev. Inst. Med. trop. S. Paulo vol.41 n.1 So
Paulo Jan./Feb. 1999.
Takaya R, Fukaya T, Sasano H, Suzuki T, Tamura M, Yajima A. 1997. Macrophages in Normal
Cycling Human Ovaries: Immunohistochemical Localization and Characterization.
Human Reproduction, 12(7): 1508-12.
Warkel RL, Luna LG, Helwig EB. 1980. A modified Warthin-Starry Procedure at Low pH for
Melanin. Am J Clin Pathol. 1980 Jun;73(6):812-5
65

Wallace DJ. 2007. The Lupus Book Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus dan Keluarganya.
Penerbit B-First. Yogyakarta.
Wood NK, Paul WG. 1994. Differential diagnosis of Oral and Maxillofacial Lesions.
Young B, Heath JW. 2000. Wheaters Functional Histology, 4th ed. Sydney: Churchill
Livingstone.

66

Anda mungkin juga menyukai