Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN SENIOR

ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT

SEORANG PEREMPUAN 54 TAHUN DENGAN KARIES DENTIN DAN


NEKROSIS PULPA POST KEMOTERAPI DAN RADIOTERAPI
KARSINOMA NASOFARING

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan senior


Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
Cindar Fatiha Sari 22010118220100
Maria Carolina Septiany 22010118220053

Pembimbing :
drg. Resta Diamawati, Sp.KG

BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
KOTA SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

SEORANG PEREMPUAN 54 TAHUN DENGAN KARIES DENTIN DAN


NEKROSIS PULPA POST KEMOTERAPI DAN RADIOTERAPI
KARSINOMA NASOFARING

Disusun oleh :
Cindar Fatiha Sari 22010118220100
Maria Carolina Septiany 22010118220053

Semarang, 5 November 2019


Pembimbing,

drg. Resta Diamawati, Sp.KG


BAB I
PENDAHULUAN

Kanker nasofaring merupakan jenis kanker yang tumbuh di rongga


belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium
Patologi Anatomi FKUI melaporkan bahwa kanker nasofaring hampir tiap
tahunnya menduduki lima besar dari tumor ganas tubuh manusia. Secara global
kira-kira 65.000 kasus baru dan 38.000 kematian per tahun. Indonesia termasuk
salah satu negara dengan prevalensi penderita kanker nasofaring yang termasuk
tinggi selain Cina. Angka kejadian kanker nasofaring di Indonesia yaitu 4,7 kasus
baru per 100.000 penduduk per tahun. Data registrasi kanker di Indonesia
berdasarkan histopatologi tahun 2003 menunjukan bahwa kanker nasofaring
menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada laki-laki dan urutan
ke delapan pada perempuan.
Kemoterapi merupakan salah satu penatalaksaan untuk kanker nasofaring.
Obat yang digunakan dalam terapi kanker berfungsi merusak, menekan dan
mencegah penyebaran sel kanker yang berkembangbiak dengan cepat. Obat
komoterapi mempengaruhi sel kanker maupun sel normal dan dalam jumlah yang
tertentu dapat menimbulkan efek samping terhadap mukosa oral dan
gastrointestinal, folikel rambut, sistem reproduktif, dan sistem hemopoetik.
Salah satu efek samping dari kemoterapi pada mukosa oral adalah
mukositis. Istilah mukositis oral muncul pada akhir tahun 1980, untuk
menggambarkan proses inflamasi dan ulseratif pada mukosa orofaringeal yang
diinduksi oleh kemoterapi dan/atau radioterapi, atau transplantasi darah dan sel
stem sumsum tulang. Mukositis oral dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien,
meningkatkan risiko infeksi, menyebabkan penundaan/ interupsi bahkan kegagalan
perawatan kanker itu sendiri, dan berakibat perlunya hospitalisasi serta
meningkatnya biaya perawatan. Insidensi mukositis oral diperkirakan 40% pada
pasien yang menerima kemoterapi, 70%-90% pada pasien yang menjalani
transplantasi darah dan sel stem sumsum tulang, dan 80%-100% pada pasien yang
menjalani terapi radiasi yang melibatkan daerah oro-faring.
Jika membicarakan tentang efek samping dari terapi kanker pada oral,

1
meninjau penting sehingga tenaga kesehatan dapat mengetahui apa saja efek
samping yang dapat ditimbulkan dari kemoterapi dan radioterapi pada bagian
kepala dan leher, pula bagaimana cara terbaik mengurangi efek samping tersebut.
Kami mencoba membahas beberapa efek samping dan cara penatalaksanaan dari
efek yang ditimbulkan, sehingga dapat mencapai kualitas hidup pasien yang lebih
baik.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. J
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 54 tahun / 31 Desember 1965
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Bawen
No. RM : C367447

2.2 Skrining dan Tanda Vital


Alergi : Tidak ada
Nyeri : Nyeri (-), VAS 0
Gizi : Baik
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Laju Pernafasan : 18 x/menit
TB : 152 cm
BB : 55 kg

2.3 Pemeriksaan Subjektif


2.3.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Ruang Pemeriksaan Poli Gigi dan
Mulut RSDK pada tanggal 30 Oktober 2019 pada pukul 10.30 WIB.
Keluhan Utama : Gigi mudah berlubang setelah kemoterapi
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli gigi dan mulut RSDK dengan keluhan gigi mudah
sekali berlubang setelah menjalani terapi karsinoma nasofaring yang dideritanya.
Pasien didiagnosis menerima terapi karsinoma nasofaring berupa radioterapi dan
kemoterapi sejak 7 tahun yang lalu, namun saat pasien datang pengobatan sudah
selesai.

3
Pasien menyampaikan bahwa sejak 6 bulan pengobatan terapi, gigi pasien
mulai berlubang, namun setelah selesai terapi lubang bertambah besar. Pasien
mengeluhkan terdapat lubang besar pada 2 gigi depannya, hal ini membuat pasien
kurang percaya diri. Keluhan nyeri (-), gigi goyang (-), ngilu saat makan atau
minum (-). Riwayat keluhan gigi sebelumnya (-), sikat gigi rutin 2x sehari.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat DM disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat trauma sebelumnya di daerah gigi dan mulut disangkal
- Riwayat terdiagnosis Ca Nasofaring 7 tahun yang lalu, selesai pengobatan
kemoterapi dan radioterapi

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat DM disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat Ca nasofaring disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien bekerja sebagai wiraswasta berupa memiliki rumah makan. Pembiayaan
menggunakan pembiayaan pribadi.
Kesan : Sosial ekonomi cukup

2.4 Pemeriksaan Objektif


Pemeriksaan fisik dilakukan di ruang pemeriksaan Ruang Pemeriksaan Poli Gigi
dan Mulut RSDK pada tanggal 30 Oktober 2019 pada pukul 10.30 WIB.
Status Generalis
Kondisi umum : Baik
Sistem Kardiorespirasi : Tidak diperiksa.
2.4.1 Pemeriksaan Fisik
Ekstra Oral
Kelenjar limfe submandibular kiri : pembesaran (-), nyeri (-)

4
Kelenjar limfe submandibular kanan : pembesaran (-), nyeri (-)
Asimetri muka : tidak ada
Intra Oral
Mukosa pipi kanan dan kiri : Edema (-), hiperemis (-), nyeri (-)
Mukosa palatum : Edema (-), hiperemis (-), perdarahan (-), pucat (-)
Mukosa dasar mulut / lidah : Edema (-), hiperemis (-), perdarahan (-), pucat (-)
Mukosa pharynx : Edema (-), hiperemis (-), perdarahan (-), pucat (-)
Mukosa labial : Edema (-), hiperemis (-), perdarahan (-), luka (-)
Kelainan Periodontal
Ginggiva RA : Edema (-), Hiperemis (-), Perdarahan (-), Pucat (-), Resesi (-)
Ginggiva RB : Edema (-), Hiperemis (-), Perdarahan (-), Pucat (-), Resesi (-)
Kalkulus/plak : (-)
2.4.2 Status Lokalis
Gigi 2.1
Inspeksi : Tumpatan besar di distal dengan karies di cervical
Sondasi : Tidak sakit
Perkusi : Tidak sakit
Palpasi : Nyeri (-)
Vitalitas : Non vital
Mobilitas : Tidak diperiksa
Gigi 4.1
Inspeksi : Tumpatan di distal ke dalam dentin
Sondasi : Nyeri (+)
Perkusi : Tidak diperiksa
Palpasi : Tidak diperiksa
Vitalitas : Vital (+)
Mobilitas : Tidak diperiksa
2.4.3 Status Dental
Inspeksi : ditemukan karies 1.1, 1.2, 1.3, 2.1, 2.2, 3.1, 3.4, 4.1, tumpatan besar
pada 2.1 dan 4.1, missing teeth (+) 4.6 dan 4.7, karang gigi (+)
Perkusi : Tidak diperiksa
Palpasi : Tidak diperiksa

5
Vitalitas : (-) pada 2.1
Mobilitas : Tidak diperiksa

2.5 Odontogram

VV

XX
Gambar 1. Odontogram

Keterangan :
- Karies 1.1, 1.2, 1.3, 2.1, 2.2, 3.1, 3.4, 4.1
- Missing teeth pada 4.6 dan 4.7
- Radix pada 1.5 dan 1.6

Gambar 2. Gambar klinis gigi pada rahang atas dan bawah

6
2.6 Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
Diagnosis kerja : 2.1 Nekrosis pulpa
4.1 Karies Dentin
Diagnosis banding :-

2.7 Tatalaksana
Tatalaksana sebagai dokter umum
1. Merujuk ke dokter gigi untuk dilakukan perawatan gigi
2. Medikamentosa berupa obat anti nyeri, diminum bila terasa nyeri
3. Memberikan edukasi kepada pasien antara lain :
Edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien gigi mudah rusak yang dapat
diakibatkan oleh efek samping terapi carsinoma nasofaring yang pernah
diderita.

7
SURAT RUJUKAN

Semarang, 30 Oktober 2019

Yth. TS drg. Resta Diamawati, Sp.KG


di RSDK Jl. Dr. Soetomo No. 16, Kota Semarang

Mohon pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut terhadap penderita,


Nama : Ny. J
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 54 tahun
Alamat : Bawen
Keluhan : Gigi mudah rusak post kemoterapi dan radioterapi ca
nasofaring
Diagnosa sementara : Karies radiasi
Tatalaksana yang sudah diberikan : -
Demikian surat rujukan ini kami kirim. Atas perhatian dan kerja sama
Bapak/Ibu kami ucapkan terima kasih.

Salam sejawat,

dr. XXXXXXX
SIP 22010118220053

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi radiasi yang bertujuan
menghancurkan sel kanker yang membelah dengan cepat, mengurangi
ukuran sel kanker atau menghilangkan gejala, gangguan yang menyertainya
dan terkadang digunakan untuk pencegahan (profilaktik).

3.1.1 Defenisi Radioterapi


Merupakan metode pengobatan penyakit kanker menggunakan
radiasi elektromagnetik (sinar x dan sinar gamma) atau partikular berenergi
tinggi untuk merusak kemampuan reproduksi sel-sel ganas. Tujuannya
adalah menimbulkan kerusakan pada setiap molekul yang dilewati melalui
proses ionisasi dan eksitasi sehingga terjadi kerusakan sel, terutama sel
kanker di dalam tubuh.

3.1.2 Mekanisme Kerja


Radioterapi menggunakan radiasi ion. Radiasi ion dibagi menjadi 2 yaitu:
- Radiasi korpuskular yang terdiri atas elektron, proton, dan neutron.
- Radiasi elektromagnetik yang terdiri sinar X dan sinar gamma, radiasi
elektromagnetik ini sering juga disebut dengan foton.

Radiasi ion bekerja pada DNA sel kanker untuk menghilangkan


kemampuan reproduktifitas sel. DNA sel berduplikasi selama mitosis, sel
dengan tingkat aktivitas mitotik yang tinggi lebih radiosensitif dibandingkan
dengan sel dengan tingkat aktivitas mitotik yang lebih rendah. Radioterapi
bekerja dengan merusak sel DNA kanker. Kerusakan ini disebabkan oleh
foton, elektron, proton, neutron, atau sinar pengion yang secara langsung
ataupun tidak langsung mengionisasi atom yang membentuk rantai DNA.
Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari
cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan

9
OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam
kromosom, mengakibatkan pecahnya rantai ganda DNA, perubahan cross-
linkage dalam rantai DNA dan degenerasi atau kematian sel. Sel-sel yang
masih bertahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNAnya
sendiri-sendiri.
Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari
sel kanker sehingga sel-sel kanker lebih banyak yang tetap rusak dan mati
dibandingkan dengan sel-sel normal. Terapi radiasi adalah salah satu
metode pengobatan terhadap penyakit- penyakit keganasan dengan
menggunakan sinar pengion. Penggunaan saat ini semakin meningkat
seiring dengan kemajuan teknologi terutama dalam bidang kesehatan.
Namun, terapi radiasi tidak selamanya memberikan pengaruh positif karena
ternyata dapat menjadi ancaman bagi kesehatan manusia.
Dalam penelitiannya mengenai kanker nasofaring, Syamsiar Toppo
mengatakan bahwa meskipun terapi radiasi merupakan pilihan utama, bukan
tidak mungkin terapi ini justru memberikan efek yang buruk pada mukosa
rongga mulut sehat. Pemberian terapi radiasi pada penderita kanker
nasofaring dapat menyebabkan di dalam rongga mulut terjadi perubahan
morfologi sel epitel mukosa. Efek yang kurang menguntungkan dari terapi
radiasi pada jaringan sehat dapat menyebabkan timbulnya komplikasi dalam
rongga mulut yaitu efek pada mukosa mulut, kelenjar liur, gigi geligi dan
tulang. Lokasi anatomis dari kanker kepala dan leher dapat dilihat pada
gambar.

Gambar 3. Lokasi anatomis kanker kepala dan leher

10
3.2 Komplikasi Radioterapi
Tujuan dilakukan perawatan radioterapi adalah untuk mematikan sel-sel
kanker sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat disekitar kanker akan
tetapi, radioterapi juga dapat merusak jaringan sehat yang ada di area radiasi
dan mengakibatkan komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain :
a. Komplikasi Dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
 Xerostomia

 Mukositis

 Kandidiasis

 Dermatitis

 Eritema

 Mual-muntah

 Anoreksia

b. Komplikasi Lanjut
Biasanya terjadi setelah satu tahun pemberian radioterapi, seperti :
 Kerontokan, terjadi pada pasien dengan radioterapi daerah otak.
Namun, tidak seperti kerontokan pada kemoterapi, kerontokan
karena radioterapi bersifat permanen dan biasanya terbatas pada
daerah yang terkena sinar radiasi.

 Kerusakan vaskuler

 Kerusakan aliran limfe

 Kanker, dapat terjadi dikarenakan radiasi merupakan sumber


potensial kanker dan keganasan sekunder. Ditemukan pada
minoritas pasien dan biasanya timbul beberapa tahun setelah
mendapatkan perawatan radiasi.

 Kematian, radiasi juga memiliki risiko potensial terhadap kematian


karena serangan jantung yang ditemukan pada pasien post
radioterapi kanker payudara.

11
3.3 Efek Samping Kemoterapi pada Cavum Oral
Banyak pasien kanker kepala dan leher diberikan radioterapi dosis tinggi
pada area radiasi yang luas termasuk rongga mulut, rahang atas, rahang
bawah dan kelenjar ludah. Dengan demikian, terapi antikanker dikaitkan
dengan beberapa reaksi yang merugikan. Reaksi-reaksi ini dapat terjadi
pada tahap akut (selama atau pada minggu-minggu setelah perawatan) atau
dalam tahap kronis (berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah
radioterapi). Tingkat keparahan komplikasi oral akut akan tergantung pada
derajat inklusi struktur ini pada area yang diradiasikan.

Tabel 1. Klasifikasi dari efek radiasi di cavum oral


Efek akut Efek kronik
Mukositis oral Perubahan gigi
- Efek odontogenesis
- Karies dental
- Masalah periodontal
- Perubahan pulpa
Disfungsi glandula salivarius Osteoradionekrosis
Disfungsi perasa Disgeusia
Infeksi Trismus
Nekrosis jaringan lunak dan fibrosis

3.3.1 Mukositis
Terapi radiasi yang diberikan pada penderita kanker daerah kepala
dan leher memberikan reaksi pada jaringan normal, khususnya pada mukosa
rongga mulut. Pertama muncul biasanya pada akhir minggu pertama setelah
terapi. Terapi radiasi biasanya diberikan selama 6 minggu dengan dosis
harian 2 Gy (1 Gy = 100 rad), lima kali seminggu. Gejala awal berupa
gambaran mukosa keputih-putihan yang menandakan adanya keratinisasi
tingkat tinggi secara tak normal akibat mitotik yang terganggu dan retensi
yang berkepanjangan dari sel epitelial superfisial. Hal ini diikuti atau
bersamaan dengan timbulnya eritema mukosal disertai pengelupasan, rasa
tak nyaman dan edema di daerah yang terlibat.

12
Mukositis oral terjadi akibat efek inflamasi dan sitotoksik dari
pemberian radioterapi dan atau kemoterapi. Mukositis oral akibat
radioterapi secara patofisiologis merupakan efek langsung sitotoksik
terhadap epitel dan respon inflamasi lokal. Selain itu, radiasi juga akan
mengenai struktur fasial dan oral termasuk kelenjar saliva mayor. Saliva
membantu mengatur homeostasis oral dengan perannya sebagai pelembab,
pelumas, bufer, dan antimikroba. Perubahan kuantitas dan kualitas saliva
akan berefek pada fisiologi, pertahanan, dan ekologi mikrobial orofaring,
sehingga menurunkan kemampuan proteksi mukosa mulut.
Skala penilaian WHO untuk mukositis menurut WHO berdasarkan
penampilan klinis dan status fungsional:
• grade 0 (tidak ada) = tidak sakit,
• grade 1 (ringan) = nyeri mulut dan eritema,
• grade 2 (sedang) = eritema dan ulserasi, diet padat ditoleransi,
• grade 3 (parah) = sariawan oral, hanya diet cair,
• grade 4 (mengancam jiwa) = tidak mungkin oral.
Disfagia (kesulitan menelan) dan luka pada rongga mulut terlihat
setelah 2-4 minggu terapi radiasi dan mulai mereda dalam 2-3 minggu
berikutnya. Perubahan yang lebih parah setelah 3 minggu terapi radiasi
adalah terbentuknya pseudomembran yaitu pembentukkan plak atau bercak
pada mukosa. Seluruh proses perubahan ini dinamakan sebagai mukositis
yaitu suatu proses reaktif berupa peradangan pada membrana mukosal
orofaring.
Berikut perkembangan mukositis selama dilakukannya terapi
radiasi:
- Minggu Pertama : 1000 rad. Mulai terlihat gambaran leukoplakia dan
munculnya pseudomembran.
- 2-3 Minggu : 2000-3000 rad. Mukositis pada dinding faring mulai
berkembang
- 4-5 Minggu : 4000-5000 rad. Mukositis mukosa bukal berkembang
- 5-6 Minggu : 5000-6000 rad. Mukositis pada lidah berkembang

Mukositis merupakan komplikasi yang tidak dapat dihindari ramun

13
umumnya ringan dan bersifat semetara secara ilmiah. Tingkat mukositis
tergantung pada jenis terapi radiasi, dosis yang diberikan dan durasi
pengobatan. Bila dosis yang diberikan tidak terlalu besar maka reaksi ini
akan mereda dan jaringan pun kadang-kadang cenderung menjadi normal.
Namun apabila jaringan mendapat dosis penyinaran yang berlebihan
akan menyebabkan terjadinya perubahan degeneratif yang merajalela pada
periode beberapa tahun sehingga karsinoma pun bisa berkembang. Selain
itu, dapat juga terjadi infeksi bakteri dan jamur pada membrana mukosa
mulut yang menimbulkan luka bakar diperparah oleh rasa sakit dan bengkak
yang terjadi selama hampir dalam masa perawatan. Keadaan ini membuat
pasien mengalami kesukaran saat berbicara dan makan.

3.3.2 Xerostomia
Air liur merupakan faktor penting untuk kesehatan mulut karena
berperan penting sebagai remineralisasi gigi, membantu penelanan bolus
makanan, memberi rasa pengecapan, sebagai pelarut dan bersifat antivirus,
antibakteri, serta antijamur. Sampai saat ini belum pasti diketahui apakah
kerusakan pada kelenjar saliva disebabkan karena radioterapi kanker daerah
kepala dan leher secara langsung merusak sel kelenjar saliva atau sebagai
kerusakan sekunder karena radioterapi kanker daerah kepala dan leher
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah.
Sel asinar serous lebih radiosensitif dari sel asinar mukus, sehingga
kelenjar saliva seperti kelenjar parotis (sekresi bersifat serous) dan kelenjar
submandibularis (sekresi bersifat seromukus) akan lebih radiosensitif
dibandingkan dengan kelenjar sublingualis (sekresi bersifat mukus).
Kelenjar saliva mayor (kelenjar saliva parotis dan submandibularis) bersifat
lebih radiosensitif dibandingkan dengan kelenjar saliva minor, hal ini juga
didasarkan pada sel asinar yang dimiliki masing-masing kelenjar.
Radioterapi dapat menyebabkan inflamasi (radang) pada kelenjar
saliva sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan udem.
Menurut Vissink dkk. Radioterapi kanker daerah kepala dan leher dengan
dosis lebih besar dari 75 Gy menyebabkan degenerasi asinar (perubahan

14
morfologi sel akibat radioterapi), atrofi (berkurangnya ukuran suatu organ
karena penurunan jumlah sel), dan fibrosis (proses deposit kolagen yang
berlebihan di dalam jaringan). Fibrosis terjadi akibat dari proliferasi
fibroblast (jaringan parut) pada jaringan nekrosis yang berlebihan.
Menurut Coppes, dkk terdapat empat fase dari hilangnya fungsi
kelenjar saliva yang disebabkan oleh radiasi. Fase pertama (0-10 hari)
ditandai dengan penurunan yang cepat pada laju aliran saliva tanpa
perubahan sekresi amilase atau jumlah sel asini. Fase ke dua (10-60 hari)
ditandai dengan pengurangan sekresi amilase dan kehilangan sel asini yang
paralel. Pada fase ketiga (60-120 hari) laju aliran saliva, sekresi amilase dan
jumlah sel asini tidak berubah. Fase keempat (120-240 hari) ditandai dengan
keburukan fungsi kelenjar tetapi meningkatnya jumlah sel asini, walaupun
morfologi jaringannya buruk.
Gangguan fungsi ini terjadi apabila kecepatan resorpsi dan
penguapan air mukosa lebih besar daripada kecepatan sekresi saliva.
Adapun normal diproduksi 500-600 ml air liur tiap hari. Apabila sekresi
saliva besarnya 20-90 ml per hari maka disebut sebagai hiposalivasi. Bila
sekresi seliva kurang dari 0,06 ml per menit atau sama dengan 3 ml per jam
maka akan timbul keluhan mulut kering. Tetapi bila produksi saliva kurang
dari 20 ml per hari dan berlangsung dalam waktu yang lama maka keadaan
ini disebut sebagai xerosomia.
Gangguan fungsl kelenjar liur setelah penyinaran pada daerah kepala
dan leher tergantung dari dosis yang diberikan dan lama penyinaran. Berikut
dijelaskan hubungan antara dosis penyinaran dan sekresi saliva:
- < 10 Gcay : Reduksi tidak tetap sekresi saliva
- 10-15 Gray : Hiposialia yang jelas dapat ditunjukkan.
- 15-40 Gray : Reduksi yang terus berlanjut, reversibel.
- > 40 Gray : Perusakan irreversibel jaringan kelenjar dan hiposialia
irreversibel.
Terapi radiasi konversional biasanya diberikan dalam dosis harian
sebesar 2 Gy per hari, selama 5 hari tiap minggu, selama 5-7 minggu dengan
dosis total 50-70. Sel-sel serous asinar dari kelenjar liur mayor dan minor

15
sangat rentan mengalami kerusakan yang ditimbulkan oleh radiasi sehingga
menyebabkan perubahan jumlah dan kualitas dari air liur.
Xerostomia mulai terjadi pada hari ke-3 atau ke-4 setelah tindakan
radioterapi daerah kepala dan leher, dengan dosis total radioterapi berkisar
antara 6 - 10 Gy. Xerostomia yang disebabkan oleh radioterapi daerah
kepala dan leher bersifat permanen. Produksi saliva dengan cepat menurun
dan dapat berkurang 40% setelah 1 minggu tindakan radioterapi kanker
daerah kepala dan leher. Pasien yang menerima radioterapi kanker daerah
kepala dan leher pada minggu pertama sampai minggu ke enam, aliran
saliva akan berkurang menjadi 40%, 29%, 19%, 9% dan 5% berturut-turut
dari rata-rata sebelum mendapat radioterapi pada daerah kepala dan leher.
Selain berkurangnya volume saliva terjadi perubahan lainnya pada
saliva, dimana viskositas dan komposisi saliva berubah menjadi sangat
kental dan lengket, putih, kuning, atau cairan yang berwarna coklat, pH
menjadi turun dari 7 menjadi 5, penurunan kapasitas buffer, perubahan
tingkat elektrolit saliva dan perubahan non imun serta imun sistem anti
bakteri yaitu sekresi Ig A yang berkurang. Penurunan kapasitas buffer
tersebut dapat terjadi karena berkurangnya konsentrasi bikarbonat pada
kelenjar parotis. Peningkatan konsentrasi sodium, klorida, kalsium dan
magnesium pada saliva telah dilaporkan walaupun konsentrasi dari
potassium hanya sedikit dipengaruhi.
Pada tahap awal akan terjadi penurunan jumlah aliran saliva yang
makin lama makin meningkat. Bersamaan dengan itu juga akan terjadi
kenaikan kadar protein total yang cukup besar sehingga saliva cenderung
lebih kental dan pH yang menurun drastis. Kondisi ini dapat menimbulkan
kesulitan menelan dan berperan penting pada terjadinya karies xerostomia
(biasa disebut karies radiasi) yaitu bentuk karies permukaan yang mengenai
tepi servikal gigi. Selain itu juga akan terjadi kenaikan jumlah
mikroorganisme terutama Candida sp.
Adapun waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan kecepatan
sekresi saliva menjadi normal kembali tergantung pada individu masing-
masing, volume jaringan yang diradiasi, jenis jaringan dan umur pasien.

16
Beberapa fungsi saliva akan kembali setelah beberapa bulan kemudian,
sementara tidak sedikit xerostomia menjadi permanen dikarenakan
terjadinya atrofi kelenjar saliva akibat penyinaran tersebut.
Konsekuensi xerostomia yang disebabkan oleh radiasi, antara lain
kekeringan pada mulut, rasa haus, kesulitan pada fungsi oral, kesulitan pada
pemakaian gigi palsu, ketidaknyamanan pada malam hari, sensasi terbakar,
pengecapan terganggu, perubahan jaringan lunak, perubahan pada
mikroflora oral, dan karies radiasi.

3.3.3 Karies radiasi


Saat gigi yang sedang berkembang berada tepat pada titik penyinaran
utama terapi radiasi maka perkembangan dan erupsi gigi akan terlambat.
Namun, apabila penyinaran dilakukan pada gigi yang telah erupsi, maka
karies radiasi akan mulai terjadi dalam beberapa bulan setelah terapi.
Kondisi ini diawali dari pinggir insisal gigi-gigi anterior dan ujung gigi-gigi
posterior juga di sepanjang permukaan lingual gigi anterior dan posterior.
Gigi-gigi yang terkena radiasi menyebabkan pulpa mengalami hiperemia
sehingga gigi menjadi sangat sensitif terhadap panas dan dingin.
Perubahan pada saliva akan secara drastis meningkatkan kerentanan
pasien terbadap karies gigi karena pH saliva yang asam tentunya
memberikan tempat yang cocok untuk perkembangan bakteri-bakteri
kariogenik seperti Streptococcus mutans dan Lactobasilus sp. yang
menunjang terjadinya demineralisasi dari gigi-gigi secara perlahan-lahan.
Perkembangan karies pada pasien dengan xerostomia memiliki pola
yang khas. Karies sangat cepat menyerang tepi serviks gigi. Tepi insisal
anterior dan puncak tonjol gigi posterior yang biasanya resisten terhadap
karies juga mengalami kerusakan karena daerah itu hanya dilapisi oleh
selapis tipis email sehingga tanpa perlindungan saliva karies akan dengan
cepat mencapai dentin.
Selain disebabkan sedikitnya produksi saliva, karies radiasi yang
terjadi dengan cepat setelah terapi juga dikarenakan perubahan diet.
Makanan lunak atau makanan cair berkadar karbohidrat tinggi yang sudah

17
menjadi menu sehari-hari bisa menyebabkan perubahan flora mulut.

3.3. 4 Osteoradionekrosis
Komplikasi yang paling ditakuti pada terapi radiasi adalah
osteoradionekrosis yaitu kematian tulang rahang khususnya rahang bawah
yang terjadi karena kekurangan suplai darah pada rahang bawah. Timbulnya
osteoradionekrosis tergantung pada tiga faktor penyebab yaitu dosis terapi
radiasi, trauma, dan infeksi.
Osteoradionekrosis (ORN) adalah nekrosis iskemik tulang yang
disebabkan oleh radiasi, menjadi salah satu konsekuensi paling serius dari
radioterapi, menyebabkan rasa sakit serta kemungkinan besar kehilangan
struktur tulang karena terapi antikanker, sel-sel tulang dan vaskularisasi
jaringan tulang mungkin menderita cedera yang ireversibel. ORN dapat
terjadi secara spontan atau lebih umum, setelah trauma (umumnya
pencabutan gigi). Dalam 95% kasus ORN dikaitkan dengan nekrosis
jaringan lunak dan paparan tulang berikutnya.
Sel osteoblas cenderung lebih radiosensitif deibandingkan dengan
osteoklas sehingga terjadi peningkatan aktifitas lisis sel tulang. Radioterapi
kanker kepala dan leher mengakibatkan penebalan dinding arteri yang
mendorong terjadinya trombosis dan kerusakan pembuluh darah yang kecil.
Jaringan akan mengalami hipovaskuler, hipoksi dan hiposeluler. Perubahan-
perubahan ini mengakibatkan tulang rentan mengalami infeksi dan nekrosis.
Mandibula lebih terpengaruh daripada rahang atas dan pasien
dengan gigi alami mereka memiliki peluang lebih besar untuk
mengembangkan ORN. Paparan tulang terjadi sekitar satu tahun setelah
menyelesaikan radioterapi dan risiko komplikasi ini tetap ada. Selain itu,
penelitian menunjukkan bahwa sekitar 60% pasien mengeluh sakit, mulai
dari nyeri ringan, terkontrol dengan obat-obatan, hingga kondisi yang sangat
berat. Namun, kehadiran gejala-gejala ini tampaknya tidak terkait dengan
perpanjangan proses. ORN juga dapat menyebabkan edema, nanah dan
fraktur patologis, yang dapat terjadi pada 15% pasien, selalu dialami
bersamaan dengan nyeri.

18
Osteoradionekrosis terlihat berkembang terutama peda pasien yang
menerima lebih dari 6000 rad. Menurut Dreizen, osteoradionekrosis sangat
umum terjadi dalam dua tahun pertama setelah radiasi dilakukan. Gejala
utamanya berupa rasa sakit yang berdenyut-denyut dan konstan. Secara
klinis osteoradionekrosis ditandai dengan tulang terbuka yang telanjang.
Infeksi yang meluas pada tulang menyebabkan pembentukan nanah yang
terasa sakit dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama.
Osteomyelitis yang berhubungan dengan terapi radiasi dapat
diperhebat oleh ulserasi mukosa yang diakibatkan oleh gigi palsu. Beberapa
spesialis tentunya akan menolak untuk mengizinkan pasien memakai gigi
palsu, khususnya gigi palsu rahang bawah setelah penyinaran pada mukosa
mulut.
Pencegahan terjadinya osteoradionekrosis lebih dianjurkan
mengingat tingkat terkena yang permanen sangat mudah dan sangat susah
untuk ditangani apabila sudah berkembang. Perawatan selama terapi radiasi
harus menggunakan dosis penyinaran yang efektif dan sekecil mungkin.
Mandibula lebih sering terkena daripada maksila karena pembuluh-
pembuluh darah pada mandibula lebih sedikit dibandingkan dengan
maksila.

3.3.5 Candidosis
Pasien yang diradiasi lebih rentan terkena infeksi oral yang
disebabkan oleh jamur dan bakteri. Penelitian telah menunjukkan bahwa
pasien yang diserahkan ke radioterapi memiliki jumlah spesies mikrobia
yang lebih tinggi, seperti Lactobacillus spp., Streptococcos aureus dan
Candida albicans. Infeksi pada pasien yang dirawat karena saluran udara
bagian atas dan keganasan saluran pencernaan. Kolonisasi mukosa oral
dapat ditemukan pada 93% pasien ini, sedangkan infeksi Candida dapat
ditemukan pada 17-29% pasien yang menjalani radioterapi. Meningkatnya
risiko untuk kandidosis oral kemungkinan merupakan akibat dari penurunan
aliran saliva sebagai akibat dari radioterapi. Selain itu, penjelasan yang
mungkin untuk kecenderungan yang lebih tinggi dari pasien yang diiradiasi

19
terhadap kandidosis adalah berkurangnya aktivitas fagositik granulosit
saliva terhadap mikroorganisme ini.
Secara klinis, candidosis dapat dilihat baik dalam bentuk
pseudomembran dan eritematosa. Yang terakhir dapat berupa diagnosis
yang sulit, dan mungkin dikacaukan dengan irositasi yang diinduksi
mucositis. Pasien mengeluh lebih banyak tentang rasa sakit dan/atau sensasi
terbakar. Ramirez-Amador et al. memverifikasi bahwa prevalensi Candida
pada pasien meningkat dari 43% pada kunjungan pertama ke dokter menjadi
62% selama radioterapi dan akhirnya menjadi 75% selama kunjungan
kontrol pasca-radioterapi. Dalam studi oleh Redding et al., 73% pasien yang
dianalisis menunjukkan kolonisasi oleh Candida, sedangkan 27% dari
mereka memiliki infeksi. Studi oleh Grotz et al. menganalisis kolonisasi
oleh Candida pada pasien iradiasi. Mereka memverifikasi bahwa tingkat
kolonisasi maksimum terjadi enam bulan setelah radioterapi, dan 12 bulan
setelah radioterapi, nilainya kembali lebih rendah dari normal.

3.3.6 Disgeusia
Disgeusia mulai dapat mempengaruhi pasien dari minggu kedua atau
ketiga dari radioterapi dan seterusnya, dan itu dapat berlangsung selama
beberapa minggu atau bahkan berbulan-bulan. Ini terjadi karena indera
perasa bersifat radiosensitif, dengan degenerasi arsitektur histologis normal
mereka. Peningkatan viskositas aliran saliva dan perubahan biokimia saliva
menciptakan penghalang mekanis saliva yang menyulitkan kontak fisik
antara lidah dan bahan makanan.
Pemulihan hingga mencapai tingkat yang hampir normal umumnya
berlangsung sekitar 60-120 hari setelah radiasi berakhir. Studi menunjukkan
bahwa dysgeusia adalah keluhan oleh sekitar 70% pasien yang menjalani
radioterapi, juga menyiratkan hilangnya nafsu makan dan berat badan,
menjadi komplikasi paling tidak nyaman bagi sebagian besar pasien yang
diradiasi.

20
3.3.7 Gangguan kraniofasial
Gangguan kraniofasial adalah gangguan yang akan terjadi ketika
terapi radiasi dilakukan pada anak-anak. Dengan cara ini, radiasi dapat
menyebabkan beberapa gangguan di daerah kraniofasial, jika dilakukan
pada tahap awal, ketika gigi masih terbentuk.
Gigi kecil yang abnormal (mikrodontia), akar pendek atau tumpul,
mahkota kecil, maloklusi, kalsifikasi tidak lengkap, ruang pulpa yang
membesar (taurodontisme), penutupan apeks yang prematur dan
perkembangan gigi yang tertunda atau ditahan telah dilaporkan. Terjadinya
perubahan ini pada gigi primer dapat menyebabkan maloklusi yang
signifikan dan dapat mempengaruhi perkembangan wajah. Anak-anak yang
menjalani terapi radiasi dapat mengalami kelainan dalam pertumbuhan dan
pematangan struktur kerangka kraniofasial. Kelainan kraniofasial dan gigi
dapat menyebabkan sekuele kosmetik atau fungsional yang parah, sehingga
memerlukan intervensi bedah atau ortodontik.

3.3.8 Trismus
Trismus menurut Mosby Dental Dictionary adalah kejang pada otot
mastikasi yang menyebabkan ketidakmampuan untuk membuka mulut.
Trismus dapat terjadi karena invasi dari kanker tersebut ke otot mastikasi,
saraf yang menginervasi (biasanya paling sering adalah blok mandibular),
TMJ dan jaringan pendukung lainnya. Terapi radiasi untuk terapi kanker di
kepala dan leher sering menyebabkan trismus pada pasien.
Saat otot mastikasi termasuk dalam daerah penyinaran,
dimungkinkan terjadinya fibrosis dari otot yang dapat menyebabkan
terjadinya trismus. Osteoradionekrosis juga dapat menyebabkan terjadinya
gejala-gejala seperti trismus dan nyeri. Kesulitan membuka rahang bawah
meningkat kemungkinannnya menyebabkan trismus saat pasien menerima
radiasi dengan dosis melebihi 10 Gy tiap fraksi pada daerah otot pterigoid.
Pengurangan kronis dalam pembukaan mulut relatif jarang terjadi
pada populasi umum, tetapi dapat dilihat pada proporsi yang signifikan dari
pasien yang telah menjalani perawatan untuk kanker mulut dengan operasi,
radioterapi, kemoterapi atau kombinasi keduanya.

21
Mekanisme di mana hipomobilitas mandibula akibat radioterapi dan
faktor-faktor yang menentukan kecepatan onset, keparahan, dan luasnya,
kurang dipahami. Perkembangannya diperkirakan berkembang dalam tiga
fase: fase inflamasi awal spesifik, fase seluler fibrotik, dan fase densifikasi
dan remodelling. Hal ini umumnya dipandang sebagai hasil dari fibrosis
yang menyebabkan hilangnya fleksibilitas dan ekstensi. Biasanya
hipomobilitas sendi temporomandibular dianggap sebagai efek terlambat
dari dosis radiasi tinggi. Bukaan mulut lebih rendah dari 20 mm dapat
dianggap sebagai trismus

3.4 Penatalaksaan Efek Samping Pada Rongga Mulut dari Radioterapi


3.4.1 Pra Radioterapi
Sebelum dilakukan terapi radiasi, rongga mulut pasien terlebih
dahulu diperiksa dan dirawat oleh dokter gigi. Hal ini mencegah fokal
infeksi. Perawatan yang dapat dilakukan sebelum radioterapi yaitu restorasi,
skalling, pemolesan dan perawatan endodonti pada gigi non vital serta yang
terpenting adalah meningkatkan mutu dan kecekatan gigi tiruan.
Untuk mencegah karies radiasi, pasien diwajibkan melakukan
topical aplikasi fluor 1% digunakan 2 hari sekali selam 5 menit/ penggunaan
pasta gigi dengan kandungan fluor 3% NaF dua kali sehari. Selain itu juga
perlu mengistruksikan pada pasien untuk mengonsumsi diet yang tidak
kariogenik. Penggunaan bulu sikat gigi yang lembut, kumur- kumur dengan
khlorheksidin, pemakaina dental floss dpat pula digunakan untuk
memaksimalkan pembersihan plak.

3.4.2 Selama Radioterapi


Selama pelaksanaan radioterapi kanker pada daerah leher dan
kepala, dokter gigi melakukan perawatan–perawatan terhadap efek samping
di rongga mulut:
a. Pada pasien yang mengalami xerostomia saat radioterapi maka
dapat diberikan terapi pilocarpine dan saliva pengganti.
b. Pada pasien yang mengalami kerusakan kuncup kencap saat

22
radioterapi dapat dengan memberikan supplemen makanan yang
mengandung mineral besi.
c. Pada pasien yang mengalami mukositis saat radioterapi dierikan
terapi analgesic, tablet hisap yang berisikan campuran antimikroba
polimiksin E, Tobramisin, dan amfoterisin B.
d. Pada pasien yang mengalami karies radiasi dapat dilakukan
perawatan restorative gigi.
e. Pada pasien yang mengalami trismus dapat dilakukan latihan
secara simultan membuka dan menutup mulut agar tidak terjadi
fibrois otot dan ligamen yang mengelilingi temporo mandibular
joint, sehingga otot pengunyahan dan ligament kehilangan
elastisitasnya.
f. Pada pasien yang mengalami osteoradionekrosis dapat diberikan
pembuangan ttulang yang nekrosis, perbaikan vaskularisasi dan
jaringan yang rusak, terapi antibiotik.

3.4.3 Pasca Radioterapi


Setelah pelaksanaan radioterapi berakhir, dokter gigi dapat,
melakukan pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien setiap tiga bulan
sekali. Kondisi mutu dan kecekatan gigi tiruan pasien harus diperiksa. Jika
dilakukan pencabutan gigi, maka diberikan terapi hyperbaric oxygen dan
antibiotic sistemik pada pasien. Dan perlu menginstruksikan pasien untuk
tetap memelihara kebersihan rongga mulut pasien.
a. Penatalaksanaan Sindrom Mulut Terbakar (BMS)
Sindrom mulut terbakar (BMS) digunakan untuk
menerangkan adanya keluhan rasa terbakar pada lidah, palatum, atau
bibir. Di masa lampau istilah glosodinia, stomatopirosis, dan
diestesia oral digunakan untuk menerangkan kondisi ini.
Pemeriksaan mukosa mulut pada BMS tidak menunjukkan
adanya suatu abnormalitas. Kadang-kadang pasien menunjukkan
daerah yang dicurigakan tapi umumnya itu hanya merupakan papilla
lingual yang menonjol atau kelenjar sebasea

23
Ada 3 tipe penderita BMS itu sendiri:
 Tipe 1: rasa terbakar tidak terjadi pada waktu bangun tidur
dipagi hari tetapi akan terasa bila hari telah siang.
 Tipe 2: rasa terbakar dirasakan pada pagi hari segera setelah
bangun dan menetap sampai penderita tidur lagi.
 Tipe 3: rasa terbakar hilang timbul dan menyerang tempat-
tempat yang tidak umum, seperti dasar mulut dan
tenggorokan
Sindrom mulut terbakat (BMS) ini merupakan kondisi
multifaktorial dengan berbagai faktor presipitasi. Pengobatan awal
meliputi penyelidikan semua penyebab potensial dan oleh karena itu
kita perlu dilakukan berbagai tes. Pemeriksaan hematologi harus
bisa membedakan sindrom ini dengan defisiensi nutrisi dan diabetes
militus. Kandidosis dapat dideteksi dengan melakukan pengapusan,
usapan, dan kumur-kumur.
Pengobatan pada kasus ini adalah dengan pemeriksaan yang
telah diuraikan. Pengobatan yang pertama harus mencakup memberi
penjelasan kepada pasien tentang sifat masalah dan bahwa ada
gangguan serius terutama kanker pada mulut. Pasien harus diberikan
vitamin B1 300 mg sekali sehari dan vitamin B6 50 mg setiap 8 jam
untuk waktu 1 bulan.
Terapi obat antidepresi trisiklik mempunyai peran pada
penderita BMS yang tidak mempunyai faktor-faktor presipitasi
lainnya. Karena beberapa obat trisiklik mempunyai aktivitas
anxiolytic, antidepresan dan relaksan otot, obat-obat ini bermanfaat
bagi mereka yang menderita ansietas, depresi, fobia akan kanker
atau yang mempunyai aktivitas parafungsional. Pada umumnya
prognosis untuk BMS tipe 1 lebih baik dari pada tipe 2, karena tipe
yang disebutkan terakhir, kecemasan kronis merupakan penghambat
kesembuhan. Prognosis BMS tipe 3 umumnya baik, asalkan faktor
diet baik dan tidak dijumpai adanya faktor alergi secara keseluruhan,
pasien penyakit BMS ini 70% dapat disembuhkan.

24
b. Penatalaksanaan Mukositis Oral
Lesi mukositis oral sering kali terasa sangat sakit dan
mengganggu asupan nutrisi, kebersihan mulut sehingga
meningkatkan risiko terjadinya infeksi lokal dan sistemik.

Gambar 4. Lesi mukositis oral pada mukosa (A) bukal dan (B)
lateral lidah yang terjadi pada pasien dengan karsinoma sel
skuamosa di lidah yang menerima radiasi dan kemoterapi.
Sampai saat ini, terapi paliatif merupakan pilihan untuk
menatalaksana pasien dengan mukositis oral. Beberapa upaya
penatalaksanaan dengan intervensi terapi saat ini sedang
dikembangkan. Berdasarkan rekomendasi dari
MASCC/ISOO, penatalaksanaan klinis mukositis oral yang
disebutkan dalam “Panduan Mukositis Oral” mencakup:
asupan nutrisi yang adekuat, kontrol rasa sakit, kontrol
mikroorganisme oral, mengatasi keluhan mulut kering, mengatasi
perdarahan oral dan terakhir adalah intervensi dengan upaya terapi.
Menurut Eilers (2004), beberapa intervensi yang dapat
dilakukan untuk mukositis akibat kemoterapi atau radiologi adalah:
1. Oral care protocol
Oral care atau perawatan mulut merupakan salah satu tindakan
yang bertujuan menjaga kesehatan mulut. Oral care protocol dapat
membantu meminimalkan efek mukositis akibat kemoterapi, karena
dapat mengurangi jumlah mikroflora, nyeri dan perdarahan, serta
mencegah infeksi.

25
2. Agen kumur
Agen kumur sering digunakan dalam pencegahan mukositis.
Secara umum, agen kumur digunakan untuk membilas debris dan
membantu mulut tetap lembut dan lembab. Agen kumur harus
memiliki karakteristik sebagai pembersih non-iritatif dan tidak
membuat mulut kering. Zat yang dapat berperan sebagai pembersih
mulut antara lain normal saline, sodium bikarbonat,
campuran normal saliine dengan sodium bikarbonat, madu, dan
beberapa jenis herbal tertentu.
3. Pelindung mukosa
Pelindung mukosa diharapkan dapat meningkatkan proses
penyembuhan dan regenerasi sel.
4. Agen antiseptik
Yang termasuk dalam agen anti septik antara
lain chlorhexidine, hidrogen peroksida, dan povidone iodine.
5. Agen anti inflamasi
Agen anti inflamasi berfungsi untuk mengurang inflamasi
yang terjadi akibat mukositis. Beberapa agen anti inflamasi
diantaranya kamilason liquid, chamomile, dan kortikosteroid oral.
6. Agen topikal
Agen topikal adalah agen yang diberikan untuk memberikan
proteksi mukosa secara topikal, diantaranya adalah lidocaine,
capsaicine, dan morfin topikal.

c. Penatalaksanaan Xerostomia
Menurut Gayford penatalaksanaan xerostomia untuk kasus
yang ringan dapat dirawat dengan cara banyak minum. Selain itu
larutan kumur mulut seperti gliserin dari timol juga dapat digunakan
untuk pasien tertentu. Larutan kumur yang mengandung metil
selulose 1% dapat membantu pada keadaan yang parah, larutan ini
tidak berbahaya bila tertelan pasien karena dapat membantu

26
mendorong makanan ke esofagus.
Terapi yang diberikan untuk penderita xerostomia diberikan
tergantung keparahan dari xerostomia. Bila xerostomia disebabkan
oleh pemakaian obat-obatan, maka terapi yang dilakukan adalah
mengganti obat dari kategori yang sama. Sedangkan bila terjadi
xerostomia berat dapat digunakan obat perangsang saliva maupun
zat pengganti saliva. Sekresi saliva dapat dirangsang dengan
pemberian obat-obatan yang mempunyai pengaruh merangsang
melalui sistem saraf parasimpatis seperti pilokarpin, karbamilkolin,
dan betanekol. Selain itu, salivix yang berbentuk tablet isap berisi
asam malat, gumarab, kalsium laktat natrium fosfat, lycasin dan
sorbitol juga dapat merangsang produksi saliva. Permen karet yang
mengandung xylitol juga dapat menginduksi sekresi saliva.
Bila zat perangsang saliva tidak memadahi untuk mengatasi
keluhan mulut kering, maka digunakan zat pengganti saliva.
Pengganti saliva ini tersedia dalam bentuk cairan (V.A Oralube),
spray (Saliva Orthana), dan tablet hisap (polyox). Zat ini memiliki
persyaratan antara lain bersifat reologis, pengaruh buffer,
peningkatan remineralisasi dan menghambat demineralisasi,
mengahmbat pertumbuhan bakteri dan sifat pembasahan yang baik
Menurut Greenberg terapi yang dapat dilakukan untuk
perawatan pasien yang mengalami xerostomia dapat dibagi menjadi
4 kategori, antara lain:
1. Terapi preventif
Terapi preventif ini bukan bertujuan untuk mencegah
terjadinya xerostomia, melainkan mencegah terjadinya infeksi
lain akibat xerostomia. Aplikasi flouride secara topikal pada
pasien xerostomia dibutuhkan untuk mengontrol karies gigi.
Frekuensi aplikasi fluor bisa dimodifikasi, tergantung
keparahan disfungsi kelenjar saliva dan perkembangan karies.
Selain itu, terapi antijamur juga dapat diberikan karena pada
pasien xerostomia resiko infeksi rongga mulut termasuk

27
candidiasis lebih tinggi.
2. Terapi simtomatik
Pada terapi simtomatik, air merupakan hal yang penting.
Berkumur dengan air dapat membantu melembabkan rongga
mulut. Akan tetapi pasien harus menghindari obat kumur yang
mengandung alkohol, gula atau penguat rasa yang dapat
mengiritasi mukosa kering yang sensitif.
3. Stimulasi secara lokal
Stimulasi saliva secara lokal atau topikal juga merupakan
terapi xerostomia. Mengunyah akan menstimulasi aliran saliva
secara efektif, seperti rasa manis dan asam. Pasien xerostomia
tidak dianjurkan untuk mengonsumsi produk yang
mengandung gula dan pemanis karena dapat meningkatkan
risiko karies.
4. Stimulasi secara sistemik
Pemberian obat secara sistemik juga dapat menstimulasi
saliva. Contohnya antara lain: bromhexidine anetholetrithione
pilocarpine, hydrochloride (HCl) dan cevimeline HCl.

d. Penatalaksanaan Karies Radiasi


Pencegahan yang dapat dilakukan ialah menjaga oral hygine
seperti dengan menghilangkan seluruh plak dan melakukan
penyikatan gigi dengan benar. Pemberian gel sodium floride 1%
secara topikal dapat mengurangi risiko terjadinya karies radiasi,
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gel floride 2 kali sehari
efektif dalam mencegah karies radiasi. Selain itu, penggunaan obat
kumur berfloride atau kombinasi dengan khlorhexidine juga efektif
jika dilakukan setiap hari.

28
Tabel 2. Perawatan gigi sebelum selama dan sesudah radioterapi
pada pasien kanker kepala dan leher.

e. Penatalaksanaan Osteoradionekrosis
Pencegahan timbulnya osteoradionekrosis merupakan
tindakan yang sangat penting. Pengendalian yang tepat dan
bimbingan perawatan bagi periodontium benar-benar sangat
diperlukan. Jika pencabutan gigi di bagian rahang yang disinar tak
dapat dihindarkan, tindakan ini harus dilakukan oleh ahli bedah
mulut. Pembuangan tulang yang nekrosis perlu dilakukan sehingga
terjadi perbaikan vaskularisasi dan jaringan yang rusak disekitar
tulang dengan didukung terapi antibiotik.

29
f. Penanganan Trismus
Penatalaksanaan trismus tergantung dari gejala yang timbul
dan dirasakan oleh pasien. Tingkatannya bervariasi dari ringan
sampai parah, namun yang sering adalah ringan. Jika pasien
mengeluhkan terjadinya nyeri dan disfungsi dari rahang, maka terapi
yang dilakukan adalah:
 Terapi dengan panas: Terapi ini dilakukan dengan cara
meletakkan handuk basah yang panas pada daerah yang
terkena selama 15-20 menit setiap jam.
 Pemberian analgesic: Pemberian aspirin digunakan untuk
menangani nyeri yang timbul saat trismus sekaligus
memberikan efek antiinflamasi. Selain itu, dapat digunakan
juga analgesic golongan narkotik untuk meredakan nyeri jika
tidak mengalami perbaikan.
 Pemberian muscle relaxant: Pemberian muscle relaxant yang
dianjurkan adalah diazepam 2.5-5 mg tiga kali sehari.
Terapi utama untuk trismus adalah terapi fisik, di mana
pasien dianjurkan untuk berlatih membuka dan menutup mulut
secara periodic untuk mengembalikan fungsi dari TMJ. Pasien
dianjurkan untuk latihan membuka dan menutup mulut dan
menggerakkan mandibula ke arah lateral selama 5 menit setiap 3 - 4
jam sehari.

30
BAB IV
DISKUSI KASUS

4.1 Resume
Seorang perempuan 54 tahun datang dengan keluhan gigi mudah sekali
berlubang setelah menjalani kemoterapi dan radioterapi karena karsinoma
nasofaring yang diderita sejak 7 tahun yang lalu. Keluhan sebenarnya tidak
mengganggu makan, nyeri spontan (-), bengkak (-), demam (-), namun pasien
kurang percaya diri karena gigi bagian depan berlubang cukup besar. Pasien
memeriksakan diri ke RSDK ntuk memperbaiki kerusakan gigi yang dialaminya.
Riwayat DM, hipertensi, penyakit jantung, serta riwayat trauma sebelumnya di
daerah gigi dan mulut disangkal.

Dari hasil pemeriksaan fisik ekstra oral didapatkan kelenjar limfe


submandibula kanan kiri pasien tidak membesar dan tidak ada asimetri pada wajah
pasien. Pada pemeriksaan intra oral dan jaringan periodontal tidak ditemukan
adanya kelainan yang berupa edema, hiperemis, pucat maupun peradarahan. Pada
pemeriksaan periodontal ditemukan adanya kalkulus/plak. Mukosa intra oral dan
jaringan periodontal pasien dalam batas normal.

Status Lokalis: pada gigi 2.1 didapatkan hasil inspeksi berupa tumpatan
besar di distal dengan karies di cervical, sondasi tidak sakit, perkusi tidak sakit,
palpasi nyeri (-), vitalitas (-). Pada gigi 4.1 dari inspeksi didapatkan tumpatan di
distal ke dalam dentin, sondasi nyeri (+), vitalitas (+)

Status Dental : Inspeksi ditemukan karies pada 1.1, 1.2, 1.3, 2.1, 2.2, 3.1,
3.4, 4.1, tumpatan besar pada 2.1 dan 4.1, missing teeth (+) 4.6 dan 4.7, karang gigi
(+), vitalitas (-) pada 2.1.

Pasien belum melakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen


panoramik gigi, maka pasien mendapatkan rencana program foto rontgen
panoramik gigi terlebih dahulu.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan, pasien didiagnosis


mengalami nekrosis pulpa 2.1 dan karies dentin 4.1, hal ini kemungkinan terjadi
karena karies radiasi.

31
Pasien diberikan edukasi mengenai penyakit yang diderita Edukasi
mengenai penyakit yang diderita pasien gigi mudah rusak yang dapat diakibatkan
oleh efek samping terapi carsinoma nasofaring yang pernah diderita. Pasien
diedukasi untuk mengurangi makan dan minum sesuatu yang manis atau
mengandung gula.

4.2 Pembahasan
Pada kasus ini, pasien perempuan berusia 54 tahun didiagnosis mengalami
nekrosis pulpa 2.1 dan karies dentin 4.1, hal ini kemungkinan terjadi karena karies
radiasi. Pada kasus radiasi, apabila penyinaran dilakukan pada gigi yang telah
erupsi, maka karies radiasi akan mulai terjadi dalam beberapa bulan setelah terapi.
Kondisi ini diawali dari pinggir insisal gigi-gigi anterior dan ujung gigi-gigi
posterior juga di sepanjang permukaan lingual gigi anterior dan posterior. Gigi-
gigi yang terkena radiasi menyebabkan pulpa mengalami hiperemia sehingga gigi
menjadi sangat sensitif terhadap panas dan dingin.
Perubahan pada saliva akan secara drastis pun dapat meningkatkan
kerentanan pasien terbadap karies gigi karena pH saliva yang asam tentunya
memberikan tempat yang cocok untuk perkembangan bakteri-bakteri kariogenik
seperti Streptococcus mutans dan Lactobasilus sp. yang menunjang terjadinya
demineralisasi dari gigi-gigi secara perlahan-lahan.
Perkembangan karies pada pasien dengan xerostomia memiliki pola yang
khas. Karies sangat cepat menyerang tepi serviks gigi. Tepi insisal anterior dan
puncak tonjol gigi posterior yang biasanya resisten terhadap karies juga
mengalami kerusakan karena daerah itu hanya dilapisi oleh selapis tipis email
sehingga tanpa perlindungan saliva karies akan dengan cepat mencapai dentin.
Tatalaksana untuk kasus seperti ini adalah menjaga oral higiene dengan
menghilangkan seluruh plak dan melakukan teknik penyikatan gigi yang benar
dengan menggunakan sikat gigi yang dirancang dengan tepat, kecil, dan lembut.
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah keparahan dari karies yang sudah terbentuk.
Lalu untuk kasus nekrosis pulpa, perlu dilakukan perawatan saluran akar untuk
mencegah komplikasi infeksi yang dapat timbul dari ruang pulpa yang terbuka.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Bruno Correia Jham, Addah Regina da Silva Freire. 2006. Oral


Complications Of Radiotherapy In The Head And Neck. Brazil : Brazilian
Journal Of Otorhinolaryngology
2. ......................... 2015. Radioterapi Kanker Daerah Kepala dan Leher.
Medan : Universitas Sumatra Utara.
3. ......................... 2014. Hubungan Antara Asupan Zat Besi dan Vitamin C
dengan Kadar Hemoglobin Pada Pasien Kanker Nasofaring Yang
Mendapatkan Kemoterapi Di RSUD Dr. Moewardi. Surakarta : Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
4. K. Shwetha Nambiar, Vanishri C. Haragannavar, Dominic Augustine, S. V.
Sowmya, Roopa S. Rao. 2016. Adverse Effects Of Radiotherapy On Oral
Tissues: A Review. Karnataka: International Journal of Contemporary
Dental and Medical Reviews
5. ......................... 2013. Radioterapi pada Daerah Kepala dan Leher. Medan:
Universitas Sumatra Utara.
6. Ana Andabak Rogulj, Božana Lončar Brzak, Vanja Vučićević Boras,Vlaho
Brailo, Maja Milenović. 2017. Oral Complications Of Head And Neck
Irradiation. Zagreb : University of Zagreb
7. Elen De Souza Tolentino, Bruna Stuchi Centurion, Lúcia Helena Caetano
Ferreira, Andréia Pereira De Souza, José Humberto Damante, Izabel Regina
Fischer Rubira-Bullen. 2009. Oral Adverse Effects Of Head And Neck
Radiotherapy:Literature Review And Suggestion Of A Clinical Oral Care
Guideline For Irradiated Patients. Sao Paulo : J Appl Oral Sci.
8. ...................... 2014. Pengaruh Kemoterapi Terhadap Asupan Makan
(Asupan Energi, Protein, Lemak Dan Karbohidrat) Pada Pasien Kanker
Nasofaring. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
9. Amerongan A.V.N. Ludah dan Kelenjar Ludah. Arti bagi Kesehatan
Gigi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
10. Dhanrajani. P. J dan o. Jonaidel. 2016. Trismus: Aetiology, Differential
Diagnosis and Treatment. Dent Update 2016; 29: 88–94.

33
11. Eilers, J. 2014. Nursing intervention and supportive car for the prevention
and treatmen of oral mucositis associated with cancer treatment. Oncology
Nursing Forum. 31(4). P 13-28.
12. Gayford, J.J dan Lewis, Michael. Tinjauan Klinis Ilmu Penyakit Mulut.
Penyakit Mulut (Clinical Oral Medicine).Jakarta: EGC.
13. Leung WK, Dassanayake, Yauu JYY, Jin LJ, Yam WC, Samaranayake LP.
2013. Oral Colonization, Phenotypic, And Genotypic Profiles Of Candida
Species In Irradiated, Dentate, Xerostomic Nasopharyngeal Carsinoma
Survivors. J Clin Microbial. 38(6): 2219-26.
14. Stubblefield, Michael D. 2014. Radiation Fibrosis Syndrome:
Neuromuscular and Musculoskeletal Complications in Cancer Survivors.
American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Vol. 3. P.
1041-1054.

34

Anda mungkin juga menyukai