Anda di halaman 1dari 40

Foto skull AP, lateral

Kesimpulan: fraktur corpus mandibular dextra

Diagnosis

close fraktur corpus mandibular

Penatalaksanaan

Pro pemasangan ORIF

1
Prognosis

Dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Maxillofacial


Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan
kedua setelah lahir danlambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak
usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa.

2
Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secarabaik dalam
membentuk wajah manusia (Pappachan, 2012).
Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah
wajah bagian atas, dimana patah tulang melibatkan daerah frontal dan sinus.
Bagian kedua adalah midface. Midfacedibagi menjadi bagian atas dan bawah.
Para midface atas adalah di rahang atas dimana fraktur LeFort II dan III
terjadi.Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih
rendah, dimana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah (Pappachan,

2012).

Gambar 2.1. Anatomi (Agur and Dalley, 2005)


Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari
tengkorak otak. Didalamtulang wajah terdapat rongga-rongga yang
membentuk rongga mulut, rongga hidung dan rongga mata (Pappachan,
2012).

2.2. Trauma

3
Cedera atau trauma pada daerah wajah memiliki signifikansi yang
tinggi karena berbagaialasan. Daerah wajah memberikan perlindungan
terhadap kepala dan memiliki peran pentingdalam penampilan. Daerah
maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting
sepertipenglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan.
Fungsi-fungsi ini sangatterpengaruh pada cedera dan berakibat kepada
kualitas hidup yang buruk (Singh, 2012).
Trauma maksilofasial mencakup cedera jaringan lunak dan tulang-
tulang yang membentuk struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara
lain: tulang nasoorbitoetmoid, tulangzigomatikomaksila, tulang nasal, tulang
maksila, tulang mandibula (Japardi, 2004).

2.2.1. Fraktur Maxillofacial


Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras
tubuh. Frakturmaksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang
wajah yaitu tulangnasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang
nasal, tulang maksila, dan juga tulangmandibula (Japardi, 2004).

4
Menurut Pappachan (2012), ada konsep bony pillars pada midfacial
skeleton yang dapatmenyerap energi trauma dari arah bawah, tapi tulang-
tulang ini mudah patah bila terkena energitrauma yang datangnya dari arah

berbeda. Disebutkan tulang nasal adalah yang paling ringkih,hanya dapat


mentoleransi energi sebesar 25 – 75 pounds, tulang maksila dapat
mentoleransienergi sebesar 140 – 445 pounds, arkus zigoma dapat
mentoleransi energi sebesar 208 – 475pounds, tulang frontal mampu
mentoleransi energi sebesar 800 – 1600 pounds, tulang mandibular lebih
sensitif terhadap trauma dari arah samping dibandingkan dari arah depan.
Toleransikekuatan tulang mandibula berbeda-beda tergantung dari
lokasinya. Energi trauma sebesar 425pounds dapat menyebabkan fraktur
pada salah satu kondilar, sedangkan energi sebesar 535 – 550pounds dapat
menyebabkan fraktur pada kedua kondilar dan energi sebesar 850 – 925
poundsdapat menyebabkan fraktur pada simfisis (Pappachan, 2012).
Gambar 2.2. Klasifikasi kekuatan toleransi tulang maksilofasialdalam
menahan energi trauma (Pappachan, 2012).
2.2.2. Epidemiologi
Trauma meliputi 9% dari kematian di dunia, salah satunya adalah
trauma maksilofasial dan12% dari beban penyakit di dunia pada tahun 2000.
Lebih dari 90% kematian di dunia akibattrauma terjadi di negara
berkembang (Devadiga, 2007).

5
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma
maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu
Bedah RS Dr. Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak
diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul
fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%.
Penderita fraktur maksilofacial ini terbanyak pada laki-laki usia
produktif, yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38% disertai cedera di tempat
lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat,
sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian
besar adalah pengendara sepeda motor.

2.2.3. Etiologi
Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus
meningkat disebabkanterutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas
dan kekerasan. Hubungan penggunaanalkohol, obat-obatan, mengemudi
mobil, dan peningkatan kekerasan merupakan penyebabutama terjadinya
fraktur maksilofasial (Ykeda, 2012). Kecelakaan lalu lintas
merupakanpenyebab tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 74,3 %
fraktur maksilofasial disebabkanoleh kecelakaan lalu lintas, diikuti oleh
penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan,kecelakaan kerja,dan
akibat senjata api (Guruprasad, 2014).

2.2.4. Klasifikasi
A. Fraktur Nasoorbitoetmoid (NOE)

Anatomi   kompleks   yang   berliku­liku   mengakibatkan   fraktur   NOE

merupakan   frakturyang   paling   sulit   untuk   direkonstruksi.   Kompleks   NOE

terdiri dari sinus frontalis, sinusethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang

temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013).  Medial canthal tendon (MCT)

berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila. Kedua tungkai

dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini

dikelilingi   oleh   tulang   lakrimal   di   posterior,   tulang   nasal   dan pyriform

6
aperture di anterior, tulang frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara

etmoid di tengah, dan orbita di lateral (Nguyen, 2010).
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi
Markowitz-Manson yangterdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013):
1. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.
2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat
diatasi atauMCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk
memungkinkan osteosynthesis.
3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat
diatasi ataufragmen terlalu kecil untuk memungkinkan
terjadinya osteosynthesis atau telah terlepastotal.
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilofasial pada
orang dewasa.Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe
III merupakan fraktur yangpaling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh
kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010).

Gambar 2.3. Klasifikasi Markowitz­Manson (Aktop, 2013).

7
Gambar 2.4. Klasifikasi Markowitz­Manson (Galloway, 2012).

B. Fraktur Zigomatikomaksila
Zygomaticomaxillary complex (ZMC) mempunyai peran penting pada
struktur, fungsi,dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur
pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan sinus
maksilaris. Zigoma merupakan tempat melekat dari otot maseter, oleh karena
itu kerusakannya akan berpengaruh terhadap proses mengunyah (Tollefson,
2013).
Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding
penopang yaituzygomaticomaxillary, frontozygomatic, zygomaticosphenoid
dan zygomaticotemporal. FrakturZMC merupakan fraktur kedua tersering pada
fraktur maksilofasial setelah fraktur nasal(Meslemani, 2012).
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi
Knight dan North.Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap

8
fraktur ZMC. Klasifikasi tersebutdibagi menjadi enam yaitu (Meslemani,
2012):
1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara
klinis danradiologi
2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh
gaya langsungyang menekuk malar eminence ke dalam
3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial
5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral
6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan
sepanjang fragmenutama.

Kel. 1 Kel. 2

Kel. 3 Kel. 4

9
Kel. 5 Kel. 6

Gambar 2.3. Klasifikasi Knight and North (Knight & North, 1969).

Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 3


hanya membutuhkanreduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok
4, 5, dan 6 membutuhkan fiksasiuntuk reduksi yang adekuat (Meslemani,
2012).

C. Fraktur Nasal
Tulang   nasal   merupakan   tulang   yang   kecil   dan   tipis   dan   merupakan

lokasi   fraktur   tulangwajah   yang   paling   sering.   Fraktur   tulang   nasal   telah

meningkat   baik   dalam   prevalensi   maupun   keparahan   akibat   peningkatan

trauma dan kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup

51,3% dari seluruh fraktur maksilofasial (Haraldson, 2013).
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009):
1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah

10
2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah.

3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan
penopang septalyang utuh

4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya
garis tengahhidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi
septum

11
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan
lunak, saddling dari hidung,cedera terbuka, dan robeknya jaringan.

D. Fraktur Maksila
Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng
oklusal gigi diinferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga
hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan
melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara
fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memilikipotensi
yang mengancam nyawa (Moe, 2013).
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le
Fort pada tahun1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu
(Aktop, 2013):
1. Le Fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila,
lempeng horizontal daritulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid
pterygoid processes dari dua pertigasuperior dari wajah. Seluruh arkus dental

12
maksila dapat bergerak atau teriris. Hematomapada vestibulum atas (Guerin’s
sign) dan epistaksis dapat timbul.
2. Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui
tulang nasal dansepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary,
termasuk sepertiga inferomedial dariorbita. Fraktur kemudian berlanjut
sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempengpterygoid.
3. Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat
gaya yanglangsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio
nasofrontal sepanjang orbitamedial melalui fissura orbita superior dan inferior,
dinding lateral orbita, melalui suturafrontozygomatic. Garis fraktur kemudian
memanjang melalui sutura zygomaticotemporal danke inferior melalui
sutura sphenoid dan pterygomaxillary.

Gambar 2.4 Klasifikasi Le Fort (AO Foundation, 2009).

Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum. Yang
pertama adalah frakturkarena trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus
yang menghasilkan segmen frakturyang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah

13
palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab.Alveolar ridge, dinding
anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasiyang
umum pada cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental
yangdiarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur
vertikal melalui beberapatulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge,
infraorbital rim, dan zygomatic arches(Moe, 2013).

E. Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial
yang bergerak.Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan
pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang
yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008).
Mandibula terhubung dengan kranium pada
persendian temporomandibular joint (TMJ).Fungsi yang baik dari mandibula
menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibuladapat
mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang
yaitunyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah,
gangguan salivasi, dannyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai
dengan lokasinya dan terdiri darisimfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan
subkondilar (Stewart, 2008).
Beberapa macam klasifikasi fraktur mandibula dapat digolongkan
berdasarkan:
a. Insiden fraktur mandibula sesuai dengan lokasi anatominya (Lincoln,
2004)
Processus condyloideus (29,1%)
Angulus mandibular (24%)
Simfisis mandibular (22%)
Corpus mandibular (16%)
Alveolus (3,1%)
Ramus (1,7%)
Processus coronoideus (1,3%)

14
Gambar 2.4. Klasifikasi Berdasar letak (Lincoln, 2004)
b. Berdasar ada tidaknya gigi pada kiri dan kanan garis fraktur; kelas I: gigi
ada pada kedua bagian garis fraktur, kelas II: gigi hanya ada pada satu
bagian dari garis fraktur, kelas III: tidak ada gigi pada kedua fragmen,
mungkin gigi sebelumnya memang sudah tidak ada (edentulous) atau gigi
hilang saat terjadi trauma (Eustermann, 2012).

Gambar 2.5. Klasifikasi Angle (Eustermann, 2012)


2.3. Diagnosis
2.3.1. Primary Survey

15
Sebelum tatalaksana definitif dilakukan, maka hal yang
pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan
yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang
dikenal dengan singkatan ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure). Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien,
maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu
perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi
analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah
penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka
tatalaksana defenitif dapat dilakukan (Budiharja, 2011).
2.3.2. Secondary Survey
a. Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah, apakah terdapat :
1. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
2. luka tembus.
3. Asimetris atau tidak.
4. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
5. Otorrhea / Rhinorrhea
6. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
7. Cedera kelopak mata.
8. Ecchymosis, epistaksis
9. Defisit pendengaran.
10. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
b. Palpasi
Bimanual dengan gerakan. Urutan pemeriksaan : Supra dan
lateral orbital, Infra orbital rim, Tonjolan malar (zygoma),
Arcus zygamoticus, Nasal (bone), Maxilla, Mandibulla.
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka
terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu
kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika
gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi dan mati rasa,
terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital,
tulang frontal, lengkungan zygomatic dan pada artikulasi zygoma
dengan tulang frontal, temporal dan rahang atas.

16
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau
endophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman
visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary dan ukuran
pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan
konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia,
ptosis dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya
laserasi
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya
perdarahan, seperti hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin
menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.

17
Gambar 2.5. Palpasi Daerah Orbital

Gambar 2.6. (A) Pasien dengan depresi fraktur ZMC, kehilangan


kontur pipi kiri, Palpasi eksternal zygoma (B) dan pada vesibula
maksila (C) untuk memeriksa ireguleritas osseus

Gambar 2.7. Pemeriksaan Zygomaticum (AO Foundation, 2009).

Fraktur Zygoma
 Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan rahang.
 Tulang pipi yang datar dan nyeri saat palpasi.
 Pendarahan subkonjungtiva juga bisa ditemukan.
 Parestesi pada lateral hidung dan bibir bagian atas disebakan kelainan pada
nervus infraorbital.
 Diplopia jika melirik mata ke atas karena keruskan pada muskulus rektus
inferior. Diplopia : terjadi akibat adanya fraktur pada dasar orbita sehingga
terjadi “lubang”. M. rectus oculi inferior, m. obliq.oculi inf. terjebak pada
lubang ini. Ini disebut Blow out fracture.
 Diplopia diperiksa dgn menggerakkan bola mata keatas/bawah/kiri/kanan

18
 Trismus bisa terjadi tetapi tidak sering akibat daripada kelainan di
mandibula.
 Ekimosis intraoral atau destruksi pada gusi.
 Bila terjadi depresi zygoma biasanya terjadi fraktur pada 3 tempat :
- pada rim orbita inferior
- pada zygomaticofrontal
- pd junction antara arcus zygoma dan os.temporal.
 Fraktura zygoma yg ringan,tidak diplaced tidak memerlukan tindakan.

9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal terhadap
lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika
tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.
10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah dan tarik terhadap
bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan
dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau
dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan,
laserasi pelebaran mukosa, fraktur atau dislokasi, epistaksis dan rhinorrhea
cairan cerebrospinal.

Gambar 2.8. Pemeriksaan Nasal (AO Foundation, 2009)


Fraktur Nasal
 Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat trauma dengan bengkak, dan
krepitus pada jembatan hidung. Pasien mungkin mengalami epistaksis,
namun tidak harus selalu bercampur dengan CSF.
 Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas septum nasal karena adanya
pergeseran septum dan fraktur septum.

19
 Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti patah hidung dengan
telecanthus, pelebaran jembatan hidung dengan canthus medial terpisah,
dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.

13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal,


integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi atau ecchymosis
daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis atau bengkak.
Secara bimanual meraba mandibula dan memeriksa tanda-tanda krepitasi
atau mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya
di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I.
Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, ginggiva
dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada
pisau. Jika rahang retak pasien tidak dapat melakukan ini dan akan
mengalami rasa sakit.
18. Meraba seluruh bagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk
memeriksa nyeri, kelainan bentuk atau ecchymosis.
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran
telinga eksternal sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa
sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
Gambar 2.9. Pemeriksaan Wajah Bagian Bawah (AO Foundation, 2009).

20
Fraktur Le Fort I
 Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut
floating jaw.
 Pergerakan palatum durum dan gigi bagian atas.
 Edema pada wajah
 Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya
edema.
 Hal ini dievaluasi dengan memegang gigi seri dan palatum durum dan
mendorong masuk dan keluar secara lembut.

Gambar 2.10. Pemeriksaan Wajah Tengah (AO Foundation, 2009)


Fraktur Le Fort II

21
 Edema pada wajah,
 Edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat
seperti racoon sign.
 Perdarahan subkonjungtiva dan hipoesthesia di nervus infraorbital, dapat
terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema.
 Maloklusi
 Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di
area infraorbital dan sutura nasofrontal.
 Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada
kasus ini.
 Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel sel etmoid dapat merusak
sistem lakrimalis. Karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga
fraktur ini sebagai “floating maxilla”.
Gambar 2.11. Pemeriksaan Wajah Atas (AO Foundation, 2009).

Fraktur Le Fort III


 Edema wajah yang masif,
 Ekimosis periorbital,
 Remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila,
 Pergerakan gigi, palatum durum,
 Epistaksis, keluar cairan serebrospinal pada hidung.
 Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini yaitu keluarnya cairan
otak melalui atap ethmoid dan lamina cribiformis.

22
Gambar 2.12. Pemeriksaan Mandibula

Gambar 2.13. Pemeriksaan Bimanual Mandibula


Fraktur Mandibula
Gejala :
 Maloklusi : sering lateral cross bite
 Deviasi gigi kearah lingual
 Deformitas : Arcus collaps
 Fragmen fraktur mobil
 Jaringan gusi ; robek Jar. sublingual bengkak,
 Masalah pada TMJ : Trismus,Sakit pada gerakan rahang,clicking noise
 Pd subluksasi : Gerakan sangat terbatas
Pd dislokasi :Rahang terbuka & terkunci

c. Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II – VIII


1. N. Opticus (II), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya.
2. N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek motorik
tungkai, reflek cahaya langsung dan tak langsung, ptosis.
3. N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI), diplopia.
4. N. Trigeminal (V)
a) Tes sensorik, sentuh di dahi, bibir atas dan dagu di garis tengah. Bandingkan
satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan adanya defisit sensorik.
b) Tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral.

23
5. N. Facialis (VII)
a) Area temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.
b) Area zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat.
c) Area buccal, mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi.
d) Area marjinal mandibula, mengerutkan bibir.
e) Area cervical, menarik leher (saraf otot platysma, namun fungsi ini tidak
terlalu penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari).
6. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, gosok jari atau
berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif, akan
terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.

2.4. Pemeriksaan Penujang


Menurut Tania (2010) pemeriksaan radiologi yg dibutuhkan tergantung
lokasi terjadinya trauma
 Wajah Bagian Atas :
 CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
 CT-scan aksial koronal.
 Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray
kepala.
 Wajah Bagian Tengah :
 CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
 CT scan aksial koronal.
 Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan
posteroanterior (Caldwell’s), Submentovertek (Jughandle’s).
 Wajah Bagian Bawah :
 CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
 Panoramic X-ray.
 Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :
 Posteroanterior (Caldwell’s).
 Posisi lateral (Schedell).
 Posisi towne.

Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk


menegakkan diagnosa yang tepat sebaiknya digunakan beberapa posisi
pengambilan foto, karena tulang muka kedudukannya sedemikian rupa
sehingga tidak memungkinkan kita untuk melihatnya dari satu posisi saja.
Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur maksilofasial antara lain :
1. PA position

24
2. Waters position
3. Lateral position
4. Occipito Mental Projection
5. Zygomaticus
6. Panoramic
7. Occlusal view dari maxilla
8. Intra oral dental
Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan
merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada
foto polos diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view.
Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin
akan kita dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas
pada sinus maksila, pemisahan pada rima orbita inferior, sutura
zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat
fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang
paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial. Namun
potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila
dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan
kecurigaan adanya fraktur maksila.
Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan
fraktur Le Fort I,II, dan III bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress
maksilari medial dan lateral di superior maupun inferior (perpotongan antara
panah hitam dan putih). Perlu dilakukan foto CT scan aksial untuk
mengkonfirmasi diagnosis dengan mengamati adanya fraktur pada zygomatic
arch dan buttress pterigomaksilari.

25
Gambar 2.11. CT Scan coronal

Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila,


membuat klasifikasi ini cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan
tugas dalam mengklasifikasikan fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang
bisa diterapkan. Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid terutama
pada foto CT scan potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampir
selalu mengindikasikan bahwa fraktur maksila tersebut merupakan salah satu
dari tiga fraktur Le Fort. Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus pterigoid
haruslah mengalami disrupsi. Kedua, untuk mengklasifikasikan fraktur tipe
Le Fort, perhatikan tiga struktur tulang yang unik untuk masing-masing tipe
yaitu; margin anterolateral nasal fossa untuk Le Fort I, rima orbita inferior

26
untuk Le Fort II, dan zygomatic arch untuk Le Fort III. Jika salah satu dari
tulang ini masih utuh, maka tipe Le Fort dimana fraktur pada tulang tersebut
merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ketiga, jika salah satu tipe fraktur
sudah dicurigai akibat patahnya komponen unik tipe tersebut, maka
selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi fraktur-fraktur
komponen tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe itu.

2.5. Tatalaksana
Tatalaksana pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu
sama lain. Oleh sebab itu tatalaksananya akan dibahas satu per satu pada
masing-masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum tatalaksana defenitif
dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan
kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar)
yang dikenal dengan singkatan ABC (Airway, Breathing, Circulation).
Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan
adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka
dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah
penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka tatalaksana
defenitif dapat dilakukan (Budiharja, 2011).
Prinsip utama perawatan gawat darurat (emergency care) adalah
menyelamatkan hidup dan memberikan kenyamanan yang layak bagi pasien.
Secara berurutan primary survey dalam perawatan gawat darurat disingkat
dengan ABCD (Miloro, 2004):
1) Airway, menjaga kelancaran jalan nafas. Meliputi tindakan pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur gigi, dental prothesa,
fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
melindungi vertebra servikal, adapun cara yang dapat dilakukan yaitu
chin lift, headtilt atau jaw trust. Pada penderita yang dapat berbicara dapat
dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian ulang
terhadap airway harus tetap dilakukan. Pada penderita dengan gangguan
kesadaran atau GCS sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan
pemasangan airway definitif. Selama memeriksa dan memperbaiki airway,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada ekstensi, fleksi atau rotasi dari

27
leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan pada
riwayat perlukaan, pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat
menyingkirkannya. Ke-7 vertebra servikalis dan vertebra torakalis
perrtama dapat dilihat dengan foto lateral, walaupun tidak semua jenis
fraktur akan terlihat dengan foto ini. Dalam keadaan kecurigaan fraktur
servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus
dibuka untuk sementara maka terhadap kepala harus dilakukan imobilisasi
manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinan fraktur
servikal dapat disingkirkan.
2) Breathing dan Ventilasi, airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang
baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap
komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Dada penderita harus dibuka
untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk
memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru. Perkusi dilakukan
untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan
palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi
yang berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru
dan open pneumothorax. Keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan
primary survey.
3) Circulation dengan control perdarahan, perdarahan merupakan sebab
utama pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat
dan tepat di rumah sakit. Ada 3 penemuan klinis yang dapat memberikan
informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu tingkat kesadaran, warna
kulit dan nadi. Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang
yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran. Warna kulit dapat
membantu diagnosis hipovalemia. Penderita trauma yang kulitnya
kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas jarang yang dalam
keadaan hipovalemia. Sebaliknya wajah pucat, keabu-abuan dan kulit
ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovalemia. Periksalah pada
nadi yang besar untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang

28
tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovalemia.
Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovalemia. Nadi yang tidak
teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya
pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi
dengan segera. Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey.
Perdarahan luar luar dihentikan dengan penekanan pada luka. Tourniquet
sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan
iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila sudah ada amputasi
traumatik. Sumber perdarahan internal bisa berasal dari perdarahan dalam
rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang,
retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari luka tembus
dada/ perut.
4) Disability (Neurologic Evaluation), menjelang akhir primary survey
dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. GCS
merupakan sistem scoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan
penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi
atau/ dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung
pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi
terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Bila diperlukan konsul
ke ahli bedah syaraf.

2.5.1. Fraktur Nasal


a. Konservatif
 Pasien dengan perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokonstriktor
topikal.
 Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain
dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan.
 Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan
setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5
hari sampai perdarahan berhenti.
 Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya
 Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan
kematian.

29
 Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan
memberikan rasa nyaman pada pasien.

b. Operatif
 Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen
tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan
spontan.
 Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan
reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
2.5.2. Fraktur Zigoma
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif.
Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies
klasik. Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi (Budiharja,
2011):
a. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal
b. Mengidentifikasi fasia temporalis,
c. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari aspek
dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam untuk fasia,
cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus dihindari. Sehingga
arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang lebih normal.
Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen-fragmen
harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak
perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas
lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur ZMC kelompok 2
dan 5 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur
kelompok 3, 4, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat
(Meslemani, 2012).

2.5.3. Fraktur Maxilla


Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari
pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi,

30
maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau
secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le
Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal
dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan
menggunakan molding digital dan splinting.
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan
arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau
pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi
kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.
Gambar 2.14. Pemasangan Arch Bars (AO Foundation, 2009).

Gambar 2.15. Fiksasi Maksilomandibular (AO Foundation, 2009).

2.5.4. Fraktur Mandibula


Penanganan fraktur mandibula secara umum dibagi menjadi dua metoda
yaitu reposisi tertutup dan terbuka. Pada reposisi tertutup atau konservatif ,
reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan menempatkan
peralatan fiksasi maksilomandibular. Reposisi terbuka bagian yang fraktur
dibuka dengan pembedahan, segmen direduksi dan difiksasi secara langsung
dengan menggunakan kawat atau plat yang disebut wire atau plate
osteosynthesis. Teknik terbuka dan tertutup tidak selalu dilakukan tersendiri,
tetapi kadangkadang dikombinasi. Pendekatan ketiga adalah merupakan
modifikasi dari teknik terbuka yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada

31
penatalaksanaan fraktur mandibula selalu diperhatikan prinsip-prinsip dental
dan ortopedik sehingga daerah yang mengalami fraktur akan kembali atau
mendekati posisi anatomis sebenarnya dan fungsi mastikasi yang baik
(Johnson, 2014).
Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang rahang bawah yaitu,
penanganan konservatif dengan melakukan reposisi tanpa operasi langsung
pada garis fraktur dan melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau
eksternal pin fixation. Indikasi untuk closed reduction antara lain: a. fraktur
komunitif selama periosteum masih utuh sehingga dapat diharapkan
kesembuhan tulang, b. fraktur dengan kerusakan soft tissue yang cukup
berat dimana rekontruksi soft tissue dapat digunakan rotation flap dan free
flap bila luka tersebut tidak terlalu besar. c. edentulous mandibula, d. fraktur
pada anak-anak, e. fraktur condylus. Tehnik yang digunakan pada terapi
fraktur mandibula secara closed reduction adalah fiksasi intermaksiler.
Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada fraktur daerah condylus dan 4-6
minggu padadaerah lain dari mandibula. Keuntungan dari reposisi tertutup
adalah lebih efisien, angka komplikasi lebih rendah dan waktu operasi yang
lebih singkat. Tehnik ini dapat dikerjakan di tingkat poliklinis. Kerugiannya
meliputi fiksasi yang lama, gangguan nutrisi, resiko ankilosis TMJ atau
temporomandibular joint dan masalah airway (Johnson, 2014).
Beberapa teknik fiksasi intermaksiler antara lain;
a. Teknik eyelet atau ivy loop, penempatan ivy loop menggunakan kawat
24-gauge antara dua gigi yang stabil dengan menggunakan kawat yang
lebih kecil untuk memberikan fiksasi maksilomandibular (MMF) antara
loop ivy. Keuntungan teknik ini, bahan mudah didapat dan sedikit
menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang dapat dibuka
dengan hanya mengangkat ikatan intermaksilaris. Kerugiannya kawat
mudah putus waktu digunakan untuk fiksasi intermaksiler.

32
Gambar 2.15. Teknik Ivy Loop (Saigal, 2014).
b. Teknik arch bar, indikasi pemasangan arch bar adalah gigi kurang atau
tidak cukup untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila dan
didapatkan fragmen dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang
perlu direduksi sesuai dengan lengkungan rahang sebelum dipasang
fiksasi intermaksilaris. Keuntungan penggunaan arch bar adalah mudah

didapat, biaya murah, mudah adaptasi dan aplikasinya. Kerugiannya ialah


menyebabkan keradangan pada ginggiva dan jaringan periodontal, tidak
dapat digunakan pada penderita dengan edentulous luas (Johnson, 2014).
Gambar 2.16. MMF (Saigal, 2014).

33
Reposisi terbuka (open reduction); tindakan operasi untuk
melakukan koreksi deformitas maloklusi yang terjadi pada patah tulang

rahang bawah dengan melakukan fiksasi secara langsung dengan


menggunakan kawat (wire osteosynthesis) atau plat (plat osteosynthesis) .
Indikasi untuk reposisi terbuka (open reduction): a. displaced unfavourable
fraktur melalui angulus, b. displaced unfavourable fraktur dari corpus atau
parasymphysis, c. multiple fraktur tulang wajah, d. fraktur midface disertai
displaced fraktur condylus bilateral. Tehnik operasi open reduction
merupakan jenis operasi bersih kontaminasi, memerlukan pembiusan umum.
Keuntungan dari open reduction antara lain: mobilisasi lebih dini dan
reaproksimasi fragmen tulang yang lebih baik. kerugiannya adalah biaya
lebih mahal dan diperlukan ruang operasi dan pembiusan untuk tindakannya
(Lincoln, 2004).
Gambar 2.17. Lag Screws (Lincoln, 2004).
Tindak lanjut setelah dilakukan operasi adalah dengan memberikan
analgetika serta memberikan antibiotik spektrum luas pada pasien fraktur
terbuka dan dievaluasi kebutuhan nutrisi, pantau intermaxilla fixation
selama 4-6 minggu. Kencangkan kabel setiap 2 minggu. Setelah wire
dibuka, evaluasi dengan foto panoramik untuk memastikan fraktur telah
union.
2. Osteosintesis
Merupakan fiksasi dan reduksi dari tulang yg patah dengan alat yg
tertanam pada lokasi fraktur.
a. Wire osteosintesis

34
Kawat osteosynthesis ini digunakan untuk fiksasi definitif terbatas dan
sangat membantu sejalan retakan-retakan sebelum kaku
fiksasi.Meskipun kawat osteosynthesis sekarang jarang digunakan
untuk definitif fiksasi sejak datang fiksasi kaku, namun sangat
bermanfaat untuk membantu untuk menyelaraskan segmen sebelum
fiksasi kaku retak.Kawat osteosynthesis dapat ditempatkan pada
extraoral atau intraoral rute.Kawat seharusnya berupa sebuah
prestretched stainless steel untuk mengurangi peregangan dan
melonggarkan postoperatively.Arah tarikan dari kawat tetap harus
diletakkan tegak lurus tempat fraktur.
b. Plate osteosintesis

Gambar 2.15. Plate osteosintesis

2.6. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa: (Tania, 2010).
a. Aspirasi.
b. Gangguan Airway.
c. Scars.
d. Deformitas wajah sekunder permanen akibat pengobatan yang tidak tepat.
e. Kerusakan saraf yang mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah,
bau, rasa.
f. Kronis sinusitis.

35
g. Infeksi.
h. Gizi Buruk & Penurunan Berat badan.
i. Fraktur non union atau mal union.
j. Mal oklusi.
k. Perdarahan.

2.7. Prognosis
Bila tatalaksana diperoleh dengan tepat dan cepat setelah trauma
maksilofasial, prognosis bisa menjadi baik. Penyembuhan juga tergantung
pada trauma yang timbul. Kecelakaan mobil atau luka tembak, misalnya,
dapat menyebabkan trauma wajah berat yang mungkin memerlukan beberapa
prosedur pembedahan dan cukup banyak waktu untuk proses penyembuhan
(Tania, 2010).
Trauma maksilofasial yang berat sering dikaitkan dengan trauma pada
angota tubuh lain yang mungkin mengancam nyawa. Trauma jaringan lunak
yang luas atau avulsidan fraktur tulang wajah comuniti jauh lebih sulit untuk
diobati dan mungkin memiliki prognosa yang buruk. Perdarahan berat dari
trauma yang luas dari wajah dapat menyebabkan kematian. Obstruksi jalan
napas, jika tidak diobati atau dideteksi, dapat menyebabkan resiko kematian
yang tinggi (Tania, 2010).

36
BAB III
KESIMPULAN

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah


yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.
Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE) terdiri atas tipe I, II,dan III. Fraktur
Zygomatikomaksila terdiri atas kelompok 1,2,3,4,5 dan 6. Fraktur Nasal terdiri
atas tipe I, II,III,IV, dan V Fraktur Maksilla terdiri atas Le Fort I,II dan III. Fraktur
Mandibula terdiri atas klasifikasi I,II, dan III. Penilaian fraktur terdiri atas primer
dan sekunder.
Penilaian primer terdiri atas ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure). Penilaian sekunder dilakukan berdasarkan urutan dari atas
ke bawah, yaitu Supra dan lateral orbital, Infra orbital rim, Tonjolan malar
(zygoma), Arcus zygamoticus, Nasal (bone), Maxilla, Mandibulla. Pada penilaian
sekunder dilakukan inspeksi, palpasi, evaluasi integritas saraf kranial II – VIII dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa foto
polos, namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik Pada
dasarnya tatalaksana fraktur maksilofasialis adalah reduksi-fiksasi yang
disesuaikan dengan lokasi fraktur.

37
DAFTAR PUSTAKA

Agur AMR, Dalley AF. 2005. Grant’s Atlas of Anatomy. 13th ed. Baltimore,
MD:Lippincott Williams & Wilkins.
Anonymous. 2007. Bedah Kepala Leher XI. Simposia-Vol 7 No 1. Website:
http://www.majalah-farmacia.com. Diakses tanggal 25 Juli 2018 jam 20.00
wib.
AO Foundation. 2009. AO Surgery Reference. Website :
https://www2.aofoundation.org/wps/portal/surgery diakses tanggal 11
Agustus 2018 jam 21.00
Aktop, S., et al., 2013. Management of Midfacial Fractures. A Textbook
ofAdvanced Oral and Maxillofacial Surgery.
Baek HJ, Kim DW, Ryu JH, Lee YJ. 2013. Identification of Nasal Bone Fractures

on Conventional Radiography and Facial CT: Comparison of the Diagnostic

Accuracy   in   Different   Imaging   Modalities   and   Analysis   of   Interobserver

Reliability. Iran J Radiol.; 10(3): 140­147

Budiharja AS, Rahmat M. Trauma oral dan maksilofasial. Juwono L: Editor.


Jakarta: EGC, 2011: p.33-171.
Devadiga A. dan Prasad K. 2007. Epidemiology of maxillofacial fracture
andconcomitant injuries in a craniofacial unit: a retrospective study,
TheInternational Journal of Epidemiology 5(2):1-9
Eusterman VD. 2012. Mandibular trauma. In Resident Manual of Trauma to the
Face, Head, and Neck. Aao—HNS Foundation.
Fahrev. 2009, Penanganan Kegawat daruratan Pada Pasien Trauma
Maksilofasial. Skripsi. Departemen Bedah Mulut Dan Maksilofasial.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan.Di unduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16287/6/Abstract.pdf.
Guruprasad, Y., et al. 2014. An Assessment of Etiological Spectrum and Injury
Characteristics among Maxillofacial Trauma Patients of Government
Dental College and Research Institute, Bangalore. Journal of National
Science Biology and Medicine5: 47-51

38
Haraldson, S.J., 2013. Nasal Fracture. Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/84829-overview [diakses tgl26Juli
2018] pukul22.00
Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial
Surgery. Ed. Ke-5. Mosby Elsevier. St. Louis.
Japardi   I.   2004.   Cedera   Kepala:   Memahami   aspek­aspek   Penting

DalamPengelolaan Penderita Cedera Kepala: Bhuana Inter Populer Jakarta.

Hal:1­153
Johnson, Jonas T., Clark A. Rosen. 2014. Mandibular Fracture in Bailey′s Head
andNeck Surgery.Fifth Edition. P.1229-1241
Jong WD.1997.Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerjemah.R.Sjamsuhidayat.
EGC.Jakarta.
Knight and North. 1969. The Classification Of Malar Fractures: An AnalysisOf
Displacement As A Guide To Treatment. British Journal of Plastic Surgery.
Birmingham: Birmingham Regional Plastic Surgery Unit.
Lincoln, Robert E. 2004. Pratical Diagnosis and Management of Mandibular and
Dentoalveolar Fracture in Facial Plastic, Reconstructive and Trauma
Surgery. P.597-627
Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000.Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2. Jakara: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Meslemani,   D.,   dan   R.M.,   Kellman.   2012. Zygomaticomaxillary   Complex

Fractures.Archives of Facial Plastic Surgery 14: 62­66
Miloro, Michael. 2004. Peterson’s Principles of Oral and Maxillofacial Surgery.
BC Decker Inc. Hamilton. London.
Moe KS. 2013. Maxillary and Le Fort Fractures Treatment & Management.
Available From: http://emedicine.medscape.com/article/1283568-
treatment#a1133 [diakses tgl 26 Juli 2018]
Nguyen,   M.,   J.C.   Koshy,   dan   L.H.   Hollier,   2010. Pearls   of

NasoorbitoethmoidTrauma   Management.   Seminar   in   Plastic   Surgery   24:

383­388

39
Ondik M. P, L. Lipinsky, S. Dezfoli, F. G Fedok. 2009. The treatment of
nasalfracture. Arch facial plast surgery Vol 11 (No.5). American
MedicalAssociation. America. Hal: 296-302.
Pappachan B, Alexander M . 2012. Biomechanics of cranio-maxillofacial trauma.
J. Maxillofac Ora; Surg, 11(2) : 224-230
Perhimpunan Dokter Spesialis Anastesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2000,
Advance Life Support Course Sub – Committee of the Resuscitation
Council (UK). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
R. Sjamsuhidajat. 2005. Trauma Kepala. Dalam: Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2.
Jakarta: EGC. Hal 337-341.
Saigal, Kapil, Ronald S. Winokur. 2014. Use of Three Dimensional
ComputerizedTomography Reconstruction in complex facial trauma.
Diakses 8 Agustus 2018. Available at http://www.ajnr.org/3052.
Singh R, Venkasteshwara G, Kirkland J, Batterly J, Brust S. 2012.
ClinicalPathway in Head Injury Improving the Quality of Care with
earlyrehabilitation. Disability and Rehabilitation.United Kingdom. 34:439-
442
Tania Parsa, M. D.2010.Initial Evaluation and Management of Maxillofacial
Injuries. Attending Physician, Eastern Maine Medical Center.E medicine
Journal
Tollefson T. T.,Meyers A.D. 2013. Zygomaticomaxillary ComplexFractures.
http://emedicine.medscape.com/article/867687-overview diakses tgl 25 Juli
2018 pukul 21.00
Ykeda, R.B.A., et al . 2012. Epidemiological Profile of 277 Patients with  Facial

Fractures   Treated   at   the   Emergency   Room   at   the   EN     Department   of

Hospital do Trabalhador in Curitiba/PR in 2010.  International Archives of

Otorhinolaryngology 16. 

40

Anda mungkin juga menyukai