Pembimbing :
Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
1
DAFTAR ISI
BAB 3 KESIMPULAN......................................................................... 15
3.1. Kesimpulan ............................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 16
2
BAB 1
PENDAHULUAN
pada transfer pengetahuan. Proses pendidikan kedokteran yang seperti itu sudah
tidak cocok dengan tuntutan keadaan saat ini. Untuk saat ini, didalam
pendidikannya, dokter sangat harus dididik dan dituntut untuk belajar secara
mandiri yang berkonsep pada konsep dasar belajar berbasis bukti ilmiah (evidence
based medicine), yang bertujuan agar mahasiswa kedepannya dapat benar – benar
siap dan mampu untuk menjadi seorang dokter yang dapat membantu pasien
sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu Kita bisa mengetahui tentang
3
Dari semuanya tersebut, tujuan utama dari seorang dokter adalah
mengobati pasien sampai pasien benar-benar sembuh. Oleh karena itu, maka
yang berbasis ilmiah atau yang sering disebut dengan Evidence Based Medicine.
1.2 Tujuan
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
5
1. Dalam menyusun dan memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berkaitan
dengan masalah
2. Menelusuri informasi ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang
dihadapi
3. Menelaah terhadap bukti-bukti ilmiah yang didapat
4. Penerapan hasil-hasil penelaah bukti-bukti ilmiah tadi yang sudah
dipercaya ke dalam praktek pengambilan keputusan . Kemudian
pengevaluasian terhadap efficacy dan effectiveness
6
Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM. Pertama, EBM
mengembangkan sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik,
yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi yang benar. Metodologi yang
benar diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep, dan metode kuantitatif
epidemiologi. Pengambilan keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah
yang kuat memberikan hasil yang lebih bisa diandalkan.6
Kedua, EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis
berorientasi penyakit ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered
medical care) (Sackett et al., 2000).
EBM bertujuan meletakkan kembali pasien sebagai principal‖ atau pusat
pelayanan medis. EBM mengembalikan fokus perhatian bahwa tujuan
sesungguhnya pelayanan medis adalah untuk membantu pasien hidup lebih
panjang, lebih sehat, lebih produktif, dengan kehidupan yang bebas dari gejala
ketidaknyamanan. Implikasi dari re-orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti-
bukti yang dicari dalam EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit
(Disease-Oriented Evidence, DOE), melainkan bukti yang berorientasi pasien
(Patient-Oriented Evidence that Matters, POEM). 8
Di samping itu, paradigma EBM mengingatkan kembali pentingnya
hubungan antara pasien sebagai ‗principal‘ dan dokter sebagai ‗agent‘ yang
dibutuhkan untuk penyembuhan. ―Healing requires relationships—relationships
which lead to trust, hope, and a sense of being known. (Sackett et al., 2000).
Praktik klinis EBM memberdayakan klinisi sehingga klinisi memiliki
pandangan yang independen dalam membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis
terhadap klaim dan kontroversi di bidang kedokteran (Sackett DL,1997)
Praktik EBM menuntut dokter untuk mengambil keputusan medis bersama
nilai-nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis individu pasien. Sistem nilai pasien
meliputi pertimbangan biaya, keyakinan agama dan moral pasien, dan otonomi
7
2.3Kelebihan EBM
Evidence Based Medicine (EBM) diantaranya dapat dimanfaatkan seoptimal
mungkin untuk memperbaiki tata laksana pasien, bisa menemukan informasi yang
yang cukup untuk memperoleh informasi mutakhir dan sahih tentang kemajuan
ilmu pengetahuan. Dari sisi dokternya, dokter merasa memiliki kemampuan klinik
yang cukup untuk menangani pasien karena dokter sibuk dengan berbagai macam
zaman. Dokter baru akan menyadari pentingnya evidence based medicine, jika ada
8
dijawab.Pertanyaanlatarbelakangdikemukakanuntukmemperolehpengetah
uanmedis yang bersifatumumyang lazimdikemukakan. Pertanyaan ini
dapat terjawab dengan pengetahuan medis dalam ilmu kedokteran.
Contohnya adalah pertanyaan bagaimana diagnosis tuberkulosis paru,
apakah indikasi pemberian kortikosteroid, dan sebagainya (Sackett et al.,
2000; Hawkins, 2005).
b. Foreground questions: Pertanyaan latar depan bertujuan untuk
memperoleh informasi spesifik yang dibutuhkan untuk membuat
keputusan klinis. Pertanyaan ini sulit dijawab dan membutuhkan
pencarian bukti – bukti untuk menjawabnya. Contohnya adalah
pertanyaan manakah yang lebih akurat antara MRI dan CT – scan dalam
mengidentifikasi stroke kecil dalam otak, manakah yang lebih efektif
antara parasetamol dan ibuprofen dalam menurunkan demam pada anak,
dan sebagainya (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005).
Agar jawaban yang benar atas pertanyaan klinis latar depan bisa diperoleh dari
data base, maka pertanyaan itu perlu dirumuskan dengan spesifik, dengan struktur
terdiri atas empat komponen, disingkat PICO:
Patient and problem: adalah deskripsi yang jelas mengenai karakteristik
dari pasien dan masalah klinis pasien.
Intervention: adalah intervensi spesifik yang ingin diketahui manfaat
klinisnya. Intervensi dapat berupa diagnostik maupun terapetik.
Intervensi diagnostik dapat berupa tes skrining, alat atau prosedur
diagnostik, dan biomarker. Intervensi teraptik meliputi terapi obat,
vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan, upaya
rehabilitatif, intervensi medis, dan pelayanan kesehatan lain. selain itu
intervensi dapat juga berupa paparan suatu faktor maupun faktor
prognostik.
Comparison: adalah melakukan perbandingan untuk memperoleh
kesimpulan apakah intervensi tersebut bermanfaat. Perbandingan tidak
hanya dibandingkan dengan plasebo, tetapi juga dapat dibandingan
dengan intervensi alternatif atau intervensi standar.
9
Outcome: adalah penilaian efektivitas berdasarkan perubahan pada hasil
klinis. Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah 3D, yaitu
death (kematian), disability (kecacatan), dan discomfort
(ketidaknyamanan) (Murti, 2010).
Sebagai contoh, seorang tenaga medis ingin mencari dari pertanyaan
manakah yang paling efektif antara parasetamol dan ibuprofen dalam
menurunkan demam pada anak. Struktur PICO yang didapat adalah:
a. Patient and problem: anak (pediatri), manfaat terapi
b. Intervention: ibuprofen
c. Comparison: parasetamol
d. Outcome: penurunan demam
2. Mencari bukti
Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah
berikutnya adalah mencari bukti – bukti untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Bukti adalah hasil dari pengamatan dan eksperimentasi
sistematis.Bukti ilmiah yang dicari dalam EBM memiliki ciri – ciri
EUREKA (Evidence that is Understandable, Relevant, Extendible, Current
and Appraised) yaitu bukti yang dapat dipahami, relevan, dapat
diterapkan/diekstrapolasi, terkini, dan telah dilakukan penilaian (Mathew,
2010).
10
3. Menilai kritis bukti
Untuk membantu klinisi menilai bukti, dilakukan penilaian dengan
dasar “VIA”:
a. Validity
Setiapartikellaporanhasilrisetperludinilaikritistentangapakahkesim
pulan yang ditarikbenar (valid), tidakmengandung bias. Bias adalah
kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan kesimpulan
hasil riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis, efektivitas intervensi,
akurasi prognosis, maupun kerugian/etiologi penyakit. Kesalahan
sistematis yang dilakukan peneliti dapat terjadi pada fase pengumpulan
data dan analisis data, sehingga didapat kesumpulan yang salah/bias/tidak
valid (Murti, 2010).
Untuk memperoleh riset yang valid, maka riset tersebut harus
menggunakan desain studi yang tepat. misalnya bukti tentang terapetik,
maka bukti yang baik menggunakan desain seperti meta analisis, RCT,
serta randomisasi. Testimoni pasien, laporan kasus, dan pendapat pakar
memiliki nilai rendah sebagai bukti (Murti, 2010).
11
b. Importance
Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi
medis perlu dinilai tidak hanya validitas/kebenarannya tetapi juga apakah
intervensi tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik
yang substansial, yang cukup penting (important), sehingga berguna
untuk menegakkan diagnosis ataupun memilih terapi yang efektif. Suatu
intervensi disebut penting jika mampu memberikan perubahan secara
klinis dan statistik dengan signifikan, tidak hanya salah satunya saja
(Murti, 2010).
c. Applicability
Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika
bisa diterapkan pada pasien di tempatpraktikklinis atau dunia nyata
(Murti, 2010).
4. Menerapkan bukti
Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan
klinisdenganstruktur PICO, diakhiridenganpenerapanbuktiintervensi yang
memperhatikanaspekPICO patient, intervention, comparison, danoutcome.
Selainitu, penerapanbuktiintervensiperlumempertimbangkankelayakan
(feasibility) penerapanbukti di lingkunganpraktikklinis (Murti, 2010).
a. Pertanyaan – pertanyaan patient sebelum menerapkan intervensi:
1) Apakah pasien dalam penelitian memiliki karakteristik sama dengan
pasien di tempat praktik?
2) Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan sesungguhnya dari pasien?
3) Bagaimana dampak psikologis, sosial, dan kultural pasien sebelumnya
dalam menggunakan intervensi?
b. Pertanyaan – pertanyaan intervention sebelum intervensi diberikan pada
pasien:
1) Apakah intervensi memiliki bukti efektivitas yang valid?
2) Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signifikan?
3) Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten?
12
c. Pertanyaan – pertanyaan comparison untuk menerapkan bukti:
1) Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/alternatif yang
digunakan oleh peneliti dan pembanding/alternatif yang dihadapi
klinisi pada pasien di tempat praktik?
2) Apakah manfaat intervensi lebih besar daripada kerugian yang
diakibatkannya?
3) Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya?
d. Pertanyaan – pertanyaan outcome terkait hasil:
1) Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?
2) Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan sesungguhnya dari pasien?
3) Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi leih penting
daripada kerugian ang diakibatkannya?
Pertanyaan – pertanyaan feasibility/kelayakan intervensi yang akan
diberikan pasien:
1) Apakah intervensi tersedia di lingkungan pasien/praktik?
2) Apakah tersedia sumber daya yang dibutuhkan?
3) Apakah tersedia tenaga kesehatan yang mampu mengimplementasikan
intervensi?
4) Jika tersedia, apakah intervensi terjangkau secara finansial?
5) Apakah konteks sosial kultural pasien menerima penggunaan
intervensi tersebut?
5. Mengevaluasi kinerja penerapan EBM
Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, dengan tiga kegiatan:
a. Mengevaluasi efisiensi penerapan langkah – langkah EBM. Penerapan
EBM dikatakan belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu
lama untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat
bukti namun kualitas bukti tidak memenuhi VIA (Hollowing dan Jarvik,
2007).
b. Melakukan audit keberhasilkan dalam menggunakan bukti terbaik
sebagai dasar praktik klinis. Dalam audit klinis dilakukan kajian
13
pelayanan yang telah diberikan untuk dievaluasi apakah terdapat
kesesuaian antara pelayanan yang diberiken dengan kriteria yang
ditetapkan. Jika belum, maka audit klinis memberikan saran agar
dilakukan upaya perbaikan pelayanan dan klinis pasien (Hollowing dan
Jarvik, 2007).
c. Mengidentifikasi area riset di masa mendatang (Hollowing dan Jarvik,
2007).
Evaluasi ini berguna untuk memperbaiki penerapan EBM menjadi
lebih baik, efektif, dan efisien, sehingga EBM menjadi program perbaikan
kualitas pelayanan kesehatan yang berkelanjutan (Ilic, 2009).
14
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16