Anda di halaman 1dari 16

EBM

EVIDENCE BASED MEDICINE

Pembimbing :

dr. Moch. Ma’roef, Sp.Og

Oleh:

Nadya Citra Paramitha 201710401011049

SMF OBGYN RS BHAYANGKARA KEDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................... 2

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... 3


1.1. Latar Belakang ......................................................................... 3
1.2. Tujuan....................................................................................... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 5


2.1.Definisi .................................................................................... 5
2.2. Tujuan EBM ........................................................................... 6
2.3. Kelebihan EBM ........................................................................ 8
2.2. Hambatan EBM ......................................................................... 8
2.3. Langkah – langkah EBM ....................................................... 8

BAB 3 KESIMPULAN......................................................................... 15
3.1. Kesimpulan ............................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 16

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Di zaman yang serba modern ini, teknologi berkembang dengan pesat.

Perkembangan teknologi ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang

semakin hari semakin kompleks, tak terkecuali internet Dengan semakin

berkembangnya zaman, sistem pendidikan dokter di seluruh dunia juga semakin

berkembang. Demikian pula sistem pendidikan dokter di Indonesia. Dulu proses

pendidikan kedokteran di Indonesia cenderung masih tradisional dan sangat

mengandalkan kuliah yang berpusat pada dosen, yang cenderung menekankan

pada transfer pengetahuan. Proses pendidikan kedokteran yang seperti itu sudah

tidak cocok dengan tuntutan keadaan saat ini. Untuk saat ini, didalam

pendidikannya, dokter sangat harus dididik dan dituntut untuk belajar secara

mandiri yang berkonsep pada konsep dasar belajar berbasis bukti ilmiah (evidence

based medicine), yang bertujuan agar mahasiswa kedepannya dapat benar – benar

siap dan mampu untuk menjadi seorang dokter yang dapat membantu pasien

sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu Kita bisa mengetahui tentang

perkembangan kedokteran baik di Indonesia maupun dunia internasional.

Sehingga kita tetap bisa mengikuti perkembangan dunia kesehatan internasional

terkini dengan tidak memakan banyak waktu.

3
Dari semuanya tersebut, tujuan utama dari seorang dokter adalah

mengobati pasien sampai pasien benar-benar sembuh. Oleh karena itu, maka

berkembanglah seni kedokteran yang sangat diperlukan dalam praktik kedokteran

yang berbasis ilmiah atau yang sering disebut dengan Evidence Based Medicine.

1.2 Tujuan

a. Mampu menjelaskan definisi dari evident based medicine

b. Mampu menjelaskan tujuan Evident Based Medicine

c. Mampu menjelaskan langkah-langkah dalam Evident Based Medicine

d. Mampu menjelaskan aspek-aspek yang terdapat dalam Evident Based


Medicine.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang


didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan
penderita. Dengan demikian, dalam prakteknya, EBM memadukan antara
kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling
dapat dipercaya. (Sackett et al., 2000).
Pengertian lain dari evidence based medicine (EBM) adalah proses yang
digunakan secara sistematik untuk menemukan, menelaah/me-review, dan
memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik.
Jadi secara lebih rincinya lagi, EBM merupakan keterpaduan antara (1) bukti-
bukti ilmiah, yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence);
dengan (2) keahlian klinis (clinical expertise) dan (3) nilai-nilai yang ada pada
masyarakat (patientvalues).
Adapun accountable aspek ilmiah adalah mensurvey secara langsung tentang
suatu permasalahan dengan penelitian untuk mendapatkan dasar yang valid dan
dapat dipertanggung jawabkan. Maksudnya adalah :

1. Melalui evidence based medicine kita mengadakan survei tentang keluhan


sejumlah penderita.
2. Melalui evidence based medicine kita mengadakan survei tentang kelainan
fisik sejumlah penderita penyakit tertentu.
3. Selain mensurvei keluhan dan kelainan fisik penderita, melaui evidence
based medicine kita juga dapat mensurvei hasil terapinya.

Penerapan evidence based medicine dalam pembelajaran mahasiswa


diantaranya adalah :

5
1. Dalam menyusun dan memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berkaitan
dengan masalah
2. Menelusuri informasi ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang
dihadapi
3. Menelaah terhadap bukti-bukti ilmiah yang didapat
4. Penerapan hasil-hasil penelaah bukti-bukti ilmiah tadi yang sudah
dipercaya ke dalam praktek pengambilan keputusan . Kemudian
pengevaluasian terhadap efficacy dan effectiveness

Beberapa alasan utama mengapa EBM diperlukan :

1. Bahwa informasi-informasi tradisional (misalnya yang terdapat dalam


text-book) sudah sangat tidak akurat pada saat ini. Beberapa justru sering
keliru dan menyesatkan (misalnya informasi dari pabrik obat yang
disampaikan oleh duta-duta farmasi/cfete//er), tidak efektif (misalnya
continuing medical education yang bersifat didaktik), atau bisa saja terlalu
banyak sehingga justru sering membingungkan (misalnya jurnal-jurnal
biomedik/ kedokteran yang saat ini berjumlah lebih dari 25.000 jenis).
2. Dalam pendidikannya, dengan bertambahnya pengalaman klinik seseorang
maka kemampuan/ketrampilan untuk mendiagnosis dan menetapkan
bentuk terapi (clinical judgement) juga meningkat. Namun pada saat yang
bersamaan, kemampuan ilmiah (akibat terbatasnya informasi yang dapat
diakses) serta kinerja klinik (akibat hanya mengandalkan pengalaman,
yang sering tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah) menurun
secara signifikan.
3. Meningkatkan kinerja mahasiswa dalam mencari dan mengidentifikasi
literatur klinis terbaik untuk menyelesaikan masalah.

2.2 Tujuan EBM

EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih


baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien,
dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai-
nilai pasien (Sackett et al., 2000).

6
Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM. Pertama, EBM
mengembangkan sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik,
yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi yang benar. Metodologi yang
benar diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep, dan metode kuantitatif
epidemiologi. Pengambilan keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah
yang kuat memberikan hasil yang lebih bisa diandalkan.6
Kedua, EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis
berorientasi penyakit ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered
medical care) (Sackett et al., 2000).
EBM bertujuan meletakkan kembali pasien sebagai principal‖ atau pusat
pelayanan medis. EBM mengembalikan fokus perhatian bahwa tujuan
sesungguhnya pelayanan medis adalah untuk membantu pasien hidup lebih
panjang, lebih sehat, lebih produktif, dengan kehidupan yang bebas dari gejala
ketidaknyamanan. Implikasi dari re-orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti-
bukti yang dicari dalam EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit
(Disease-Oriented Evidence, DOE), melainkan bukti yang berorientasi pasien
(Patient-Oriented Evidence that Matters, POEM). 8
Di samping itu, paradigma EBM mengingatkan kembali pentingnya
hubungan antara pasien sebagai ‗principal‘ dan dokter sebagai ‗agent‘ yang
dibutuhkan untuk penyembuhan. ―Healing requires relationships—relationships
which lead to trust, hope, and a sense of being known. (Sackett et al., 2000).
Praktik klinis EBM memberdayakan klinisi sehingga klinisi memiliki
pandangan yang independen dalam membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis
terhadap klaim dan kontroversi di bidang kedokteran (Sackett DL,1997)
Praktik EBM menuntut dokter untuk mengambil keputusan medis bersama

pasien (shared decision making), dengan memperhatikan preferensi, keprihatinan,

nilai-nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis individu pasien. Sistem nilai pasien

meliputi pertimbangan biaya, keyakinan agama dan moral pasien, dan otonomi

pasien, dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya

7
2.3Kelebihan EBM
Evidence Based Medicine (EBM) diantaranya dapat dimanfaatkan seoptimal

mungkin untuk memperbaiki tata laksana pasien, bisa menemukan informasi yang

mutakhir dan sahih tentang kemajuan ilmu pengetahuan, bisa menanamkan

pembelajaran seumur hidup yang berorientasi memecahkan masalah dalam

penanganan pasien ( Wiryo, 2002).

2.4 Hambatan EBM

Hambatan yang jelas dirasakan adalah mengenai dana, yaitu keperluan

dana yang sangat besar dan kadang-kadang kurang dimanfaatkan selama

berkembangnya penelitian di bidang kedokteran. Selain itu, tidak adanya akses

yang cukup untuk memperoleh informasi mutakhir dan sahih tentang kemajuan

ilmu pengetahuan. Dari sisi dokternya, dokter merasa memiliki kemampuan klinik

yang cukup untuk menangani pasien karena dokter sibuk dengan berbagai macam

kegiatan. Mereka belum menyadari timbulnya gugatan-gugatan dari pasien

terhadap penatalaksanaan perawatan yang kadang-kadang salah dan ketinggalan

zaman. Dokter baru akan menyadari pentingnya evidence based medicine, jika ada

pasien yang dirugikan dan mengajukan tuntutan (Wiryo, 2002).

2.5 Langkah-langkah EBM

1. Merumuskan pertanyaan klinis


Ada dua macam pertanyaan dalam merumuskan pertanyaan klinis:
a. Background questions: Pertanyaan yang cukup sederhana atau
merupakan pertanyaan rutin yang mudah

8
dijawab.Pertanyaanlatarbelakangdikemukakanuntukmemperolehpengetah
uanmedis yang bersifatumumyang lazimdikemukakan. Pertanyaan ini
dapat terjawab dengan pengetahuan medis dalam ilmu kedokteran.
Contohnya adalah pertanyaan bagaimana diagnosis tuberkulosis paru,
apakah indikasi pemberian kortikosteroid, dan sebagainya (Sackett et al.,
2000; Hawkins, 2005).
b. Foreground questions: Pertanyaan latar depan bertujuan untuk
memperoleh informasi spesifik yang dibutuhkan untuk membuat
keputusan klinis. Pertanyaan ini sulit dijawab dan membutuhkan
pencarian bukti – bukti untuk menjawabnya. Contohnya adalah
pertanyaan manakah yang lebih akurat antara MRI dan CT – scan dalam
mengidentifikasi stroke kecil dalam otak, manakah yang lebih efektif
antara parasetamol dan ibuprofen dalam menurunkan demam pada anak,
dan sebagainya (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005).
Agar jawaban yang benar atas pertanyaan klinis latar depan bisa diperoleh dari
data base, maka pertanyaan itu perlu dirumuskan dengan spesifik, dengan struktur
terdiri atas empat komponen, disingkat PICO:
 Patient and problem: adalah deskripsi yang jelas mengenai karakteristik
dari pasien dan masalah klinis pasien.
 Intervention: adalah intervensi spesifik yang ingin diketahui manfaat
klinisnya. Intervensi dapat berupa diagnostik maupun terapetik.
Intervensi diagnostik dapat berupa tes skrining, alat atau prosedur
diagnostik, dan biomarker. Intervensi teraptik meliputi terapi obat,
vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan, upaya
rehabilitatif, intervensi medis, dan pelayanan kesehatan lain. selain itu
intervensi dapat juga berupa paparan suatu faktor maupun faktor
prognostik.
 Comparison: adalah melakukan perbandingan untuk memperoleh
kesimpulan apakah intervensi tersebut bermanfaat. Perbandingan tidak
hanya dibandingkan dengan plasebo, tetapi juga dapat dibandingan
dengan intervensi alternatif atau intervensi standar.

9
 Outcome: adalah penilaian efektivitas berdasarkan perubahan pada hasil
klinis. Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah 3D, yaitu
death (kematian), disability (kecacatan), dan discomfort
(ketidaknyamanan) (Murti, 2010).
Sebagai contoh, seorang tenaga medis ingin mencari dari pertanyaan
manakah yang paling efektif antara parasetamol dan ibuprofen dalam
menurunkan demam pada anak. Struktur PICO yang didapat adalah:
a. Patient and problem: anak (pediatri), manfaat terapi
b. Intervention: ibuprofen
c. Comparison: parasetamol
d. Outcome: penurunan demam
2. Mencari bukti
Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah
berikutnya adalah mencari bukti – bukti untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Bukti adalah hasil dari pengamatan dan eksperimentasi
sistematis.Bukti ilmiah yang dicari dalam EBM memiliki ciri – ciri
EUREKA (Evidence that is Understandable, Relevant, Extendible, Current
and Appraised) yaitu bukti yang dapat dipahami, relevan, dapat
diterapkan/diekstrapolasi, terkini, dan telah dilakukan penilaian (Mathew,
2010).

10
3. Menilai kritis bukti
Untuk membantu klinisi menilai bukti, dilakukan penilaian dengan
dasar “VIA”:
a. Validity
Setiapartikellaporanhasilrisetperludinilaikritistentangapakahkesim
pulan yang ditarikbenar (valid), tidakmengandung bias. Bias adalah
kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan kesimpulan
hasil riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis, efektivitas intervensi,
akurasi prognosis, maupun kerugian/etiologi penyakit. Kesalahan
sistematis yang dilakukan peneliti dapat terjadi pada fase pengumpulan
data dan analisis data, sehingga didapat kesumpulan yang salah/bias/tidak
valid (Murti, 2010).
Untuk memperoleh riset yang valid, maka riset tersebut harus
menggunakan desain studi yang tepat. misalnya bukti tentang terapetik,
maka bukti yang baik menggunakan desain seperti meta analisis, RCT,
serta randomisasi. Testimoni pasien, laporan kasus, dan pendapat pakar
memiliki nilai rendah sebagai bukti (Murti, 2010).

11
b. Importance
Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi
medis perlu dinilai tidak hanya validitas/kebenarannya tetapi juga apakah
intervensi tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik
yang substansial, yang cukup penting (important), sehingga berguna
untuk menegakkan diagnosis ataupun memilih terapi yang efektif. Suatu
intervensi disebut penting jika mampu memberikan perubahan secara
klinis dan statistik dengan signifikan, tidak hanya salah satunya saja
(Murti, 2010).
c. Applicability
Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika
bisa diterapkan pada pasien di tempatpraktikklinis atau dunia nyata
(Murti, 2010).

4. Menerapkan bukti
Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan
klinisdenganstruktur PICO, diakhiridenganpenerapanbuktiintervensi yang
memperhatikanaspekPICO patient, intervention, comparison, danoutcome.
Selainitu, penerapanbuktiintervensiperlumempertimbangkankelayakan
(feasibility) penerapanbukti di lingkunganpraktikklinis (Murti, 2010).
a. Pertanyaan – pertanyaan patient sebelum menerapkan intervensi:
1) Apakah pasien dalam penelitian memiliki karakteristik sama dengan
pasien di tempat praktik?
2) Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan sesungguhnya dari pasien?
3) Bagaimana dampak psikologis, sosial, dan kultural pasien sebelumnya
dalam menggunakan intervensi?
b. Pertanyaan – pertanyaan intervention sebelum intervensi diberikan pada
pasien:
1) Apakah intervensi memiliki bukti efektivitas yang valid?
2) Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signifikan?
3) Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten?

12
c. Pertanyaan – pertanyaan comparison untuk menerapkan bukti:
1) Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/alternatif yang
digunakan oleh peneliti dan pembanding/alternatif yang dihadapi
klinisi pada pasien di tempat praktik?
2) Apakah manfaat intervensi lebih besar daripada kerugian yang
diakibatkannya?
3) Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya?
d. Pertanyaan – pertanyaan outcome terkait hasil:
1) Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?
2) Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan sesungguhnya dari pasien?
3) Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi leih penting
daripada kerugian ang diakibatkannya?
Pertanyaan – pertanyaan feasibility/kelayakan intervensi yang akan
diberikan pasien:
1) Apakah intervensi tersedia di lingkungan pasien/praktik?
2) Apakah tersedia sumber daya yang dibutuhkan?
3) Apakah tersedia tenaga kesehatan yang mampu mengimplementasikan
intervensi?
4) Jika tersedia, apakah intervensi terjangkau secara finansial?
5) Apakah konteks sosial kultural pasien menerima penggunaan
intervensi tersebut?
5. Mengevaluasi kinerja penerapan EBM
Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, dengan tiga kegiatan:
a. Mengevaluasi efisiensi penerapan langkah – langkah EBM. Penerapan
EBM dikatakan belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu
lama untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat
bukti namun kualitas bukti tidak memenuhi VIA (Hollowing dan Jarvik,
2007).
b. Melakukan audit keberhasilkan dalam menggunakan bukti terbaik
sebagai dasar praktik klinis. Dalam audit klinis dilakukan kajian

13
pelayanan yang telah diberikan untuk dievaluasi apakah terdapat
kesesuaian antara pelayanan yang diberiken dengan kriteria yang
ditetapkan. Jika belum, maka audit klinis memberikan saran agar
dilakukan upaya perbaikan pelayanan dan klinis pasien (Hollowing dan
Jarvik, 2007).
c. Mengidentifikasi area riset di masa mendatang (Hollowing dan Jarvik,
2007).
Evaluasi ini berguna untuk memperbaiki penerapan EBM menjadi
lebih baik, efektif, dan efisien, sehingga EBM menjadi program perbaikan
kualitas pelayanan kesehatan yang berkelanjutan (Ilic, 2009).

14
BAB III

KESIMPULAN

Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang


didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan
penderita. Dengan demikian, dalam prakteknya, EBM memadukan antara
kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling
dapat dipercaya

EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih


baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien,
dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai-
nilai pasien

15
DAFTAR PUSTAKA

CorpBlack (2010). The history of evidence based medicine.


http://www.nettingtheevidence.org.uk/the-history-of-evidence-based-
medicine/ – Diakses April 2013.
Evidence – Based Medicine Working Group (1992). Evidence – based medicine.
A new approach to teaching the practice of medicine. JAMA 268
(17):2450 – 5.
Fletcher RH, Fletcher SW (2005). Clinical epidemiology: The essentials.
Philadelphia, PA: Lippincot Williams & Wilkins.
Hawkins RC (2005). The evidence based medicine approach to diagnostic testing:
Practicalities and limitations. Clin Biochem Rev, 26: 7 – 18.
Hollowing W, Jarvik JG (2007). Technology assessment in radiology: Putting the
evidence in evidence – based radiology. Radiology: 244(1): 31 – 38.
Ilic D (2009). Assessing competency in evidence based practice: Strength and
limitation of current tools in practice.
http://www.biomedcentral.com/1472-6920/9/53 – Diakses April 2013.
Last J (1988). What is epidemiology? Editorial guest.
http://www.jstor.org/stable/3343001 – Diakses April 2013.
Last JM (2001). A dictionary of epidemiology. Edisi ke – 4. New York: Oxford
University Press.
Mathew JL (2010). Beneath, behind, besides and beyond evidence – based
medicine. Indian Pediatrics, 47:225 – 227.
Murti B (2010). Pengantar evidence based medicine. Surakarta: UNS.
Sackett DL, Straus SE, Richardson WS, Rosenberg WM, Haynes B (2000).
Evidence based medicine: How to practice and teach EBM. Edisi ke – 2.
Toronto: Chrucill Livingstone.
Scott JG, Cohen D, DiCicco-Bloom B, Miller WL, Stange KC, Crabtree BF
(2008). Understanding healing relationships in primary care. Ann Fam
Med. 6(4): 315 – 322.
Shaughnessy AF, Slawson DC (1997). POEMs: Patient-Oriented Evidence That
Matters. Annals of Internal Medicine, 126(8): 667.
Wiryo Hananto,. 2002. Kajian Kritis Makalah Ilmiah Kedokteran Klinik menurut
Kedokteran Berbasis Bukti (KBB). Jakarta, Sagung Seto.

16

Anda mungkin juga menyukai