Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR MAXILLA

1. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2009 dalam Sudarmanto,
2018). Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik bersifat total
maupun sebagian yang ditentukan berdasarkan jenis dan luasnya.
Fraktur maxilla adalah salah satu bentuk trauma pada wajah yang cukup
sering terjadi dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor (Pratiwi Suardi,
2013). Tulang Os Maxilla merupakan tulang rahang atas pada manusia yang
berfungsi dalam menyokong gigi-gigi yang berada di bagian atas mulut.
Maxilla terdiri dari badan dan empat prosesus; frontal, zygomatic, palatina
dan alveolar. Terdapat tiga pola fraktur maxilla berdasarkan Rene Le Fort
(Thomas, 2007 dalam Sejati, 2018) yaitu:
a. Fraktur Le Fort 1
Fraktur Le Fort 1 dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau
bergabung dengan fraktur-fraktur Le Fort 11 dan 111. Pada fraktur Le Fort
1, garis frakturnya dalam jenis fraktur transversus rahang atas melalui
lubang piriform di atas alveolar ridge. Di atas lantai sinus maxillaris, dan
meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini
memungkinkan maxilla dan palatum durun bergerak secara terpisah dari
bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. fraktur Le
Fort 1 ini sering di sebut sebagai fraktur transmaxillari.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort 1 dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara exstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya edeme pada bibir atas dan ekimosis.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.
Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan Le
Fort 1 dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah anterolater.
b. Fraktur Le Fort 11
Fraktur Le Fort 11 lebih jarang terjadi. Dan mungkin secara klinis
mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan
dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura.
Sutura zigomatikomaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang
sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort 1, bergeraknya lengkung
rahang atas, biasa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat
pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur
Le Fort 1, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort 1.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort 11 dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
intra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, Ekimosis dan
edeme periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung
bergerak bersama dengan wajah tengah. Mati rasa pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh nervus infaorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort 1. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan
dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan
CT scan.
c. Fraktur Le Fort 111
Fraktur Le Fort 111 adalah fraktur kraniofasial disjunction,
merupakan cidera yang parah. Bagian tengah wajah bener-bener terpisah
dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya di sertai
dengan cidera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan
besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan
tersebut. Cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort 111 dilakukan secara ekstra
oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakkan pada daerah
kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes
mobilitas pada maksilla akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian
atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
2. Etiologi
Etiologi dari fraktur adalah (Brunner & Suddarth, 2008 dalam Sudarmanto,
2018):
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada
berbagai keadaan seperti: Tumor tulang (jinak atau ganas), Infeksi seperti
osteomyelitis, dan Rakhitis.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
3. Manifestasi Klinik
Fraktur maxilla sering menyebabkan pembengkakan dan deformitas wajah.
Pembengkakakn jarang menjadi cukup berat untuk menyebabkan seseorang
mengalami gangguan pada saluran pernapasan. Gejala fraktur maxilla yang
dapat terjadi :
a) Mimisan
b) Memar disekitar mata dan hidung
c) Bengkak pada pipi
d) Bentuk disekitar hidung tidak beraturan
e) Mengalami kesulitan dalam penglihatan
f) Memiliki penglihatan ganda
g) Terjadi mati rasa di daerah rahang atas
h) Mengalami kesulitan mengunyah, berbicara atau makan
i) Saat mengunyah, berbicara atau makan akan terasa sakit di bibir
j) Terdapat gigi yang patah (Risnanto, 2014)
4. Komplikasi
Komplikasi fraktur adalah sebagai berikut (Elizabeth J. Corwin, 2009 dalam
Sudarmanto, 2018):
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri. Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan
tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma
yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom. Komplikasi ini terjadi saat peningkatan
tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang sering
berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan
hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan
kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena
ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan
tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia.
Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia)
dan tulang hasta (radius atau ulna).
3) Fat Embolism Syndrom. Merupakan keadaan pulmonari akut dan
dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung –
gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan
dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah
pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom
emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental
(gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam
kulit ptechie.
4) Infeksi. System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis. Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran
darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis
tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis
avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini
paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan
leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup
proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin
tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit.
Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting.
Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang
bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban.
6) Shock. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
7) Osteomyelitis. Infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum
dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar
tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh).
Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau
selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka
yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur –
fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki
risiko osteomyelitis yang lebih besar
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union (Penyatuan tertunda). Delayed Union merupakan
kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
2) Non union (tak menyatu). Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi
oleh jaringan fibrosa. Kadangkadang dapat terbentuk sendi palsu pada
tempat ini. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan non union adalah
tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar
dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
3) Malunion. Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
5. Patofisiologi dan Pathway (Yogie, 2018)
Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di
sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut.
Jaringan
lunak biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang
intens terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast terakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke area tersebut. fagositosis
dan pembersihan sel dan jaringan mati dimulai.
Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk di tempat patah dan
berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas akan
segera terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur, disebut kalus. Bekuan
fibrin segera direabsorpsi dan sel tulang baru secara perlahan mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus
dan secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan waktu
beberapa minggu sampai beberapa bulan (fraktur pada anak sembuh lebih
cepat). Penyembuhan dapat terganggu atau terhambat apabila hematoma
fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk, atau apabila sel
tulang baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan.
Pathway
Trauma, Patologis, Degenerasi, Spontan

Diskontinuitas Jaringan

Fraktur Nyeri akut

Kerusakan Integritas Perdarahan di Kehilangan Tindakan


Tulang periosteum cairan/perdarahan operasi ORIF

Cedera vaskuler Kerusakan di Shock Kurang


jaringan ujung hipovolemik informasi
tulang
Kerusakan rangka
Hematoma di kanal Dipasang infus dan Defisit
neuromuskuler
medula terapi transfusi Pengetahuan
darah

Gangguan Peradangan (dolor, Resiko infeksi


mobilitas fisik kalor, rubor, tumor)

Perubahan perfusi jaringan

Gangguan integritas kulit


6. Penatalaksanaan
a. Medis
1) Reduksi adalah pemulihan keselarasan anatomi bagi tulang fraktur.
Reposisi memerlukan pemulihan panjang serta koreksi deformitas
angular dan rotasional. Reposisi mannipulatif biasanya dapat
dilakukan pada fraktura ekstremitas distal (tangan, pergelangan
tangan. kaki, tungkai), dimana spasme otot tidak berlebihan. Traksi
bisa diberikan dengan plester felt melekat diatas kulit atau dengan
memasang pin tranversa melalui tulang, distal terhadap fraktur.
Reduksi terbuka biasanya disertai oleh sejumlah bentuk fiksasi interna
dengan plat & pin, batang atau sekrup. Ada dua jenis reposisi, yaitu
reposisi tertutup dan reposisi terbuka. Reposisi tertutup dilakukan pada
fraktur dengan pemendekan, angulasi atau displaced. Biasanya
dilakukan dengan anestesi lokal dan pemberian analgesik. Selanjutnya
diimobilisasi dengan gips. Bila gagal maka lakukan reposisi terbuka
dikamar operasi dengan anestesi umum.
2) Imobilisasi. Bila reposisi telah dicapai, maka diperlukan imobilisasi
tempat fraktur sampai timbul penyembuhan yang mencukupi.
Kebanyakan fraktur ekstremitas dapat diimobilisasi dengan dengan
gips fiberglas atau dengan brace yang tersedia secara komersial.
Pemasangan gips yang tidak tepat bisa menimbulkan tekanan kuIit,
vascular, atau saraf. Semua pasien fraktur diperiksa hari berikutnya
untuk menilai neurology dan vascular. Bila traksi digunakan untuk
reduksi, maka traksi juga bertindak sebagai imobilisasi dengan
ektremitas disokong di atas ranjang atau di atas bidai sampai reduksi
tercapai. Kemudian traksi diteruskan sampai ada penyembuhan yang
mencukupi, sehingga pasien dapat dipindahkan memakai gips/brace.
3) Rehabilitasi. Bila penyatuan tulang padat terjadi, maka rehabilitasi
terutama merupakan masalah pemulihan jaringan lunak. Kapsula
sendi, otot dan ligamentum berkontraksi membatasi gerakan sendi
sewaktu gips/bidai dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik untuk mgerakan
aktif dan pasif serta penguatan otot.
b. Keperawatan
1) Monitor tanda-tanda vital
2) Perawatan luka
3) Oral hygiene (Pratiwi, 2013)
2. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat beraktivitas /
mobilisasi pada daerah fraktur tersebut
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh trauma /
kecelakaan, degeneratif dan pathologis yang didahului dengan perdarahan,
kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan,
pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak
sebelumnya dan ada / tidaknya klien mengalami pembedahan perbaikan
dan pernah menderita osteoporosis sebelumnya
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan
tuberkolosis atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular
f. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat.
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme.
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang
merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta
bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image)
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak
serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
2) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
3) Sistem Integumen : terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, edema, nyeri tekan.
4) Kepala : tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
5) Leher : tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
6) Muka : wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
7) Mata: terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
8) Telinga : tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
9) Hidung: tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
10) Mulut dan Faring: tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
11) Thoraks: tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
12) Paru
Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
13) Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
14) Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
15) Inguinal-Genetalia-Anus: tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe,
tak ada kesulitan BAB.
h. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur,
harus mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari :
- Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
- Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal
- Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang
cidera maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan
dengan yang normal)
- Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
2) Pemeriksaan laboratorium, meliputi: darah rutin, faktor pembekuan
darah,, golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan
operasi), urinalisa, kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban
kreatinin untuk kliren ginjal).
3) Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi
kerusakan vaskuler akibat fraktur tersebut
4) Diagnosa Keperawatan
2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan pneumonia
adalah (PPNI, 2016):
a. Nyeri akut (D.0077)
a) Definisi: Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lamat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang 3
bulan
b) Penyebab:
 Agen pencedera fisiologis (mis. infarmasi, lakemia, neoplasma)
 Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)
 Agen pencedera fisik (mis.abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
c) Tanda dan gejala mayor
Subjektif: mengeluh nyeri
Objektif:
 Tampak meringis
 Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri)
 Gelisah
 Frekuensi nadi meningkat
 Sulit tidur
d) Tanda dan gejala minor
Subjektif: (tidak tersedia)
Objektif:
 Tekanan darah meningkat
 pola napas berubah
 nafsu makan berubah
 proses berpikir terganggu
 Menarik diri
 Berfokus pada diri sendiri
 Diaforesis
b. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)
a) Definisi: Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri
b) Penyebab:
 Kerusakan integritas struktur tulang
 Perubahan metabolisme
 Ketidakbugaran fisik
 Penurunan kendali otot
 Penurunan massa otot
 Penurunan kekuatan otot
 Keterlambatan perkembangan
 Kekakuan sendi
 Kontraktur
 Malnutrisi
 Gangguan musculoskeletal
 Gangguan neuromuskular
 Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia
 Efek agen farmakologis
 Program pembatasan gerak
 Nyeri
 Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
 Kecemasan
 Gangguan kognitif
 Keengganan melakukan pergerakan
 Gangguan sensoripersepsi
c) Tanda dan gejala mayor
a. Subjektif
Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
b. Objektif
 Kekuatan otot menurun
 Rentang gerak (ROM) menurun
d) Gejala dan Tanda Minor
a. Subjektif
 Nyeri saat bergerak
 Enggan melakukan pergerakan
 Merasa cemas saat bergerak
b. Objektif
 Sendi kaku
 Gerakan tidak terkoordinasi
 Gerakan terbatas
 Fisik lemah
c. Gangguan integritas kulit (D.0129)
a) Definisi: Kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan
(membran mukosa,kornea,fasia,otot,tendon,tulang,kartilago,kapsul sendi
dan /atau ligamen
b) Penyebab
 Perubahan sirkulasi
 Perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan)
 Kelebihan/kekurangan volume cairan
 Penuruna mobilitas
 Bahan kimia iritatif
 Suhu lingkungan yang ekstrem
 Faktor mekanis (mis. penekanan pada tonjolan tulang,gesekan)
 Efek samping terapi radiasi
 Kelembaban
 Proses penuaan
 Neuropati perifer
 Perubahan pigmentasi
 Perubahan hormonal
 Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan/ melindungi
integritas jaringan
c) Tanda dan gejala mayor
Subjektif: (tidak tersedia)
Objektif: Kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit
d) Tanda dan gejala minor
Subjektif: (tidak tersedia)
Objektif:
 Nyeri
 Perdarahan
 Kemerahan
 Hermatoma
d. Defisit pengetahuan tentang prosedur tindakan (D.0111)
a) Definisi: Ketiadaan atau kurangnya informasi kognitif yang berkaitan
dengan topik tertentu
b) Penyebab
 Keteratasan kognitif
 Gangguan fungsi kognitif
 Kekeliruan mengikuti anjuran
 Kurang terpapar informasi
 Kurang minat dalam belajar
 Kurang mampu mengingat
 Ketidaktahuan menemukan sumber informasi
c) Tanda dan gejala mayor
Subjektif: menanyakan masalah yang dihadapi
Objektif:
 Menunjukan perilaku tidak sesuai anjuran
 Menunjikan presepsi yang keliru terhadap masalah
d) Tanda dan gejala minor
Subjektif: (tidak tersedia)
Objektif:
 Menjalani pemeriksaan yang tepat
 Menunjikan perilaku berlebihan (mis. apatis, bermusuhan,
agitasi,histeria)
e. Resiko infeksi (D.0142)
a) Definisi: Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik
b) Faktor risiko
 Penyakit kronis (mis. diabetes. melitus).
 Efek prosedur invasi.
 Malnutrisi.
 Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan.
 Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer:
- Gangguan peristaltik,
- Kerusakan integritas kulit,
- Perubahan sekresi pH,
- Penurunan kerja siliaris,
- Ketuban pecah lama
- Ketuban pecah sebelum waktunya,
- Merokok,
- Status cairan tubuh.
 Ketidakdekuatan pertahanan tubuh sekunder:
- Penurunan homolobin,
- Imununosupresi,
- Leukopenia,
- Supresi respon inflamasi,
- Vaksinasi tidak adekuat.
3. Perencanaan Keperawatan
No. No Tujuan dan Kriteria Intervensi
Dx Hasil
1 1 Setelah dilakukan Manajemen Nyeri I.08238
intervensi keperawatan Observasi:
selama 3x24 jam maka - Identifikasi lokasi, karakteristik,
Tingkat Nyeri durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
(L.08066) menurun nyeri
dengan kriteria hasil: - Identifikasi skala nyeri
- Keluhan nyeri - Identifikasi respon nyeri non verbal
menurun - Identifikasi faktor yang
- Meringis menurun memperberat dan memperingan
- Gelisah menurun nyeri
- Kesulitan tidur - Identifikasi pengetahuan dan
menurun keyakinan tentang nyeri
- Frekuensi nadi - Identifikasi pengaruh nyeri pada
membaik kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan
analgetic
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyri secara
mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu

2 2 Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi I.05173


intervensi Observasi:
keperawatan selama
- Identifikasi adanya nyeri atau
3x24 jam maka
keluhan fisik lainnya
Mobilitas Fisik
- Identifikasi toleransi fisik
(L.05042) meningkat
melakukan pergerakan
dengan kriteria hasil:
- Monitor frekuensi jantung dan
- Pergerakan
tekanan darah sebelum memualai
ekstremitas
mobilisasi
meningkat
Terapeutik:
- Kekuatan otot
meningkat - Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
- Rentang gerak alat bantu (mis. pagar tempat tidur)
(ROM) meningkat Edukasi:

- Jelaskan tujuan dan prosedur


mobilisasi
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis. duduk di
tempat tidur, duduk disisi tempat
tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi)
3 3 Setelah dilakukan Perawatan Luka I.14564
intervensi keperawatan
Observasi
selama 3x24 jam maka
- Monitor karakteristik luka (mis
Integritas Kulit dan
drainase, warna, ukuran, bau)
Jaringan Meningkat
- Monitor tanda-tanda infeksi
L.14125 dengan
Terapeutik
kriteria hasil:
- Kerusakan jaringan - Lepaskan balutan dan plester secara
cukup menurun perlahan
- Kerusakan lapisan - Bersihkan dengan cairan NaCl atau
kulit cukup pembersih nontoksik, sesuai
menurun kebutuhan
- Nyeri cukup - Bersihkan jaringan nekrotik
menurun - Berikan salep yang sesuai ke
- Perdarahan cukup kulit/lesi, jika perlu
menurun - Pasang balutan sesuai jenis luka
- Hematoma cukup - Pertahankan teknik steril saat
menurun melakukan perawatan luka
- Jaringan parut - Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
cukup menurun dan drainase
- Tekstur cukup - Jadwalkan perubahan posisi setiap 2
membaik jam atau sesuai kondisi pasien
- Elastisitas cukup Edukasi
meningkat - Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Hidrasi cukup - Anjurkan mengkonsumsi makanan
meningkat tinggi kalori dan protein
- Perfusi jaringan - Ajarkan prosedur perawatan luka
cukup meningkat secara mandiri
Kolaborasi
- Kolaborasi prosedur debridement
(mis enzimatik, biologis, mekanis,
autolitik), jika perlu
- Kolaborasi pemberian antibiotik, jika
perlu
4 4 Setelah dilakukan Edukasi Preoperatif I.12440
intervensi
Observasi
keperawatan selama
- Identifikasi kesiapan dan
3x24 jam maka
kemampuan menerima informasi
Tingkat Pengetahuan
- Identifikasi pengalaman
Meningkat L.12111
pembedahan dan tingkat
dengan kriteria hasil:
pengetahuan tentang pembedahan
- Kemampuan
- Identifikasi kecemasan pasien dan
menjelsakan
keluarga
pengetahuan
Terapeutik
suatu topik
cukup meningkat - Sediakan materi dan media
- Kemampuan pendidikan Kesehatan
menggambarkan - Jadwalkan pendidikan kesehatan
pengalaman sesuai kesepakatan
sebelumnya yang - Sediakan waktu untuk mengajukan
sesuai dengan topik pertanyaan dan mendiskusikan
cukup meningkat masalah
- Perilaku Edukasi
sesuai pengetahuan
- Informasikan jadwal, lokasi operasi
cukup meningkat
dan lama operasi akan berlangsung
- Pertanyaan tentang
- Jelaskan rutinitas preoperasi (mis
masalah yang
anastesi, diet, persiapan usus, tes
dihadapi cukup
laboratorium, persiapan kulit, terapi
menurun
IV, pakaian, ruang tunggu keluarga,
transportasi ke ruang operasi)
- Jelaskan obat preoperasi, efek dan
alasan penggunaannya
- Jelaskan tindakan pengendalian nyeri

- Anjurkan puasa minimal 6 jam


sebelum operasi

- Anjurkan tidak minum minimal 2


jam sebelum operasi
5 5 Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi I.14539
intervensi keperawatan
Observasi
selama 3x 24 jam
- Monitor tanda dan gejala infeksi
maka Tingkat Infeksi
lokal dan sistemik
Menurun L.14137
Terapeutik
dengan kriteria hasil:
- Kemerahan cukup - Batasi jumlah pengunjung
menurun
- Berikan perawatan kulit pada area
- Nyeri cukup edema
menurun
- Cuci tangan sebelum dan sesudah
- Bengkak cukup kontak dengan pasien dan
menurun lingkungan pasien
- Kadar sel darah - Pertahankan teknik aseptik pada
putih cukup pasien beresiko tinggi
membaik Edukasi

- Jelaskan tanda dan gejala infeksi

- Ajarkan cara mencuci tangan dengan


benar
- Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian imunisasi,
jika perlu

(PPNI, 2018)
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan dengan cara bekerja sama dengan klien untuk
mengembangkan tujuan dan kriteria hasil individu, tergantung pada status
pernapasan klien saat ini. Tujuan dari evaluasi keperawatan sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan pada intervensi keperawatan, dan kriteria hasil
melihat status/kondisi klien saat dilakukan evaluasi (Rahayu & Harnanto,
2016).
DAFTAR PUSTAKA

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Stadar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Stadar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Pratama, Bagus Yogie. 2018. “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Fraktur
Maxilla Di Ruang 19 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang”. Universitas Jember

Pratiwi Suardi, Ni Putu Enny et al. Fraktur Pada Tulang Maksila. E-Jurnal Medika
Udayana, [S.l.], p. 2076-2095, dec. 2013. ISSN 2303-1395. Available at:
<https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/7342>. Date accessed: 23
nov. 2022.

Rahayu, Sunarsih dan Harnanto, Addi Mardi. 2016. “Kebutuhan Dasar Manusia II”.
Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

Risnanto. 2014. “Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Muskuloskeletal”.


Yogyakarta: Deepublish

Sudarmanto, Eko. 2018. “Asuhan Keperawatan Tn. S Dengan Open Fraktur Manus Iv
Distal Di Ruang Cempaka Rumah Sakit Tk. Ii Dr. Soedjono Magelang”.
Karya Tulis Ilmiah. D-III Keperawatan. Politeknik Kemenkes Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai