FRAKTUR MAXILLA
1. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2009 dalam Sudarmanto,
2018). Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik bersifat total
maupun sebagian yang ditentukan berdasarkan jenis dan luasnya.
Fraktur maxilla adalah salah satu bentuk trauma pada wajah yang cukup
sering terjadi dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor (Pratiwi Suardi,
2013). Tulang Os Maxilla merupakan tulang rahang atas pada manusia yang
berfungsi dalam menyokong gigi-gigi yang berada di bagian atas mulut.
Maxilla terdiri dari badan dan empat prosesus; frontal, zygomatic, palatina
dan alveolar. Terdapat tiga pola fraktur maxilla berdasarkan Rene Le Fort
(Thomas, 2007 dalam Sejati, 2018) yaitu:
a. Fraktur Le Fort 1
Fraktur Le Fort 1 dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau
bergabung dengan fraktur-fraktur Le Fort 11 dan 111. Pada fraktur Le Fort
1, garis frakturnya dalam jenis fraktur transversus rahang atas melalui
lubang piriform di atas alveolar ridge. Di atas lantai sinus maxillaris, dan
meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini
memungkinkan maxilla dan palatum durun bergerak secara terpisah dari
bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. fraktur Le
Fort 1 ini sering di sebut sebagai fraktur transmaxillari.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort 1 dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara exstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya edeme pada bibir atas dan ekimosis.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.
Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan Le
Fort 1 dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah anterolater.
b. Fraktur Le Fort 11
Fraktur Le Fort 11 lebih jarang terjadi. Dan mungkin secara klinis
mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan
dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura.
Sutura zigomatikomaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang
sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort 1, bergeraknya lengkung
rahang atas, biasa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat
pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur
Le Fort 1, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort 1.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort 11 dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
intra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, Ekimosis dan
edeme periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung
bergerak bersama dengan wajah tengah. Mati rasa pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh nervus infaorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort 1. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan
dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan
CT scan.
c. Fraktur Le Fort 111
Fraktur Le Fort 111 adalah fraktur kraniofasial disjunction,
merupakan cidera yang parah. Bagian tengah wajah bener-bener terpisah
dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya di sertai
dengan cidera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan
besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan
tersebut. Cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort 111 dilakukan secara ekstra
oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakkan pada daerah
kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes
mobilitas pada maksilla akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian
atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
2. Etiologi
Etiologi dari fraktur adalah (Brunner & Suddarth, 2008 dalam Sudarmanto,
2018):
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada
berbagai keadaan seperti: Tumor tulang (jinak atau ganas), Infeksi seperti
osteomyelitis, dan Rakhitis.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
3. Manifestasi Klinik
Fraktur maxilla sering menyebabkan pembengkakan dan deformitas wajah.
Pembengkakakn jarang menjadi cukup berat untuk menyebabkan seseorang
mengalami gangguan pada saluran pernapasan. Gejala fraktur maxilla yang
dapat terjadi :
a) Mimisan
b) Memar disekitar mata dan hidung
c) Bengkak pada pipi
d) Bentuk disekitar hidung tidak beraturan
e) Mengalami kesulitan dalam penglihatan
f) Memiliki penglihatan ganda
g) Terjadi mati rasa di daerah rahang atas
h) Mengalami kesulitan mengunyah, berbicara atau makan
i) Saat mengunyah, berbicara atau makan akan terasa sakit di bibir
j) Terdapat gigi yang patah (Risnanto, 2014)
4. Komplikasi
Komplikasi fraktur adalah sebagai berikut (Elizabeth J. Corwin, 2009 dalam
Sudarmanto, 2018):
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri. Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan
tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma
yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom. Komplikasi ini terjadi saat peningkatan
tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang sering
berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan
hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan
kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena
ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan
tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia.
Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia)
dan tulang hasta (radius atau ulna).
3) Fat Embolism Syndrom. Merupakan keadaan pulmonari akut dan
dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung –
gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan
dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah
pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom
emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental
(gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam
kulit ptechie.
4) Infeksi. System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis. Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran
darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis
tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis
avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini
paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan
leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup
proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin
tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit.
Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting.
Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang
bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban.
6) Shock. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
7) Osteomyelitis. Infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum
dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar
tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh).
Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau
selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka
yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur –
fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki
risiko osteomyelitis yang lebih besar
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union (Penyatuan tertunda). Delayed Union merupakan
kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
2) Non union (tak menyatu). Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi
oleh jaringan fibrosa. Kadangkadang dapat terbentuk sendi palsu pada
tempat ini. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan non union adalah
tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar
dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
3) Malunion. Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
5. Patofisiologi dan Pathway (Yogie, 2018)
Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di
sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut.
Jaringan
lunak biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang
intens terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast terakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke area tersebut. fagositosis
dan pembersihan sel dan jaringan mati dimulai.
Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk di tempat patah dan
berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas akan
segera terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur, disebut kalus. Bekuan
fibrin segera direabsorpsi dan sel tulang baru secara perlahan mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus
dan secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan waktu
beberapa minggu sampai beberapa bulan (fraktur pada anak sembuh lebih
cepat). Penyembuhan dapat terganggu atau terhambat apabila hematoma
fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk, atau apabila sel
tulang baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan.
Pathway
Trauma, Patologis, Degenerasi, Spontan
Diskontinuitas Jaringan
(PPNI, 2018)
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan dengan cara bekerja sama dengan klien untuk
mengembangkan tujuan dan kriteria hasil individu, tergantung pada status
pernapasan klien saat ini. Tujuan dari evaluasi keperawatan sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan pada intervensi keperawatan, dan kriteria hasil
melihat status/kondisi klien saat dilakukan evaluasi (Rahayu & Harnanto,
2016).
DAFTAR PUSTAKA
PPNI. 2018. Stadar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Stadar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Pratama, Bagus Yogie. 2018. “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Fraktur
Maxilla Di Ruang 19 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang”. Universitas Jember
Pratiwi Suardi, Ni Putu Enny et al. Fraktur Pada Tulang Maksila. E-Jurnal Medika
Udayana, [S.l.], p. 2076-2095, dec. 2013. ISSN 2303-1395. Available at:
<https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/7342>. Date accessed: 23
nov. 2022.
Rahayu, Sunarsih dan Harnanto, Addi Mardi. 2016. “Kebutuhan Dasar Manusia II”.
Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.
Sudarmanto, Eko. 2018. “Asuhan Keperawatan Tn. S Dengan Open Fraktur Manus Iv
Distal Di Ruang Cempaka Rumah Sakit Tk. Ii Dr. Soedjono Magelang”.
Karya Tulis Ilmiah. D-III Keperawatan. Politeknik Kemenkes Yogyakarta.