Nurwahida
160121120008
Abstrak : Suatu trauma yang mengenai bagian tengah wajah, biasanya dapat
menyebabkan jejas atau fraktur pada maksila dan tulang-tulang di sekitarnya. Pola
fraktur yang terjadi pada maksila biasanya mengikuti area terlemah pada
kompleks midfasial. Le Fort mengklasifikasi pola fraktur pada maksila menjadi
fraktur Le Fort tipe I, II, dan III, tergantung pada organ-organ yang terlibat.
Penanganan dan rehabilitasi pasien dengan trauma pada maksila meliputi
pemahaman terhadap jenis, evaluasi, dan perawatan bedah pada wajah. Maksud
dari penyusunan makalah ini adalah untuk menggambarkan mengenai tipe-tipe
fraktur pada maksila, pemeriksaan, serta penanganannya agar diperoleh hasil
pemulihan yang optimal.
I. ANATOMI MAKSILA
Midfasial menghubungkan basis kranii dengan dataran oklusal. Ia
menyediakan pondasi kepada proyeksi fasial anterior sambil memberikan
perlindungan kepada basis tengkorak dan berperan sebagai jangkar kepada
ligamen fasial dan perlekatan otot. Tulang midfasial terdiri dari rangkaian
penebalan vertikal, sagital dan horizontal yang menutupi sinus.3
Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor
bersama-sama dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada
palatum durum dan mole. Pada regio anterior cabang terminal dari arteri naso
palatinus keluar pada foramen insisivus dan mereka mensuplai mukoperiosteum
dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui divisi kedua dari
nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infraorbital dan kemudian
berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral
inferior, termasuk juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2
Kompleks midfasial dilengkapi oleh struktur dukungan vertikal untuk
menahan tekanan dari bawah. Midfasial secara efektif menyerap, melawan dan
mengusir tekanan infrasuperior melalui beberapa tahanan. Tetapi midfasial tidak
dilengkapi dengan kemampuan menahan tekanan dari lateral dan frontal. Struktur
dukungan vertikal pada midfasial terdiri atas pilar nasomaksilaris (medial),
zygomaticomaxillary (lateral) dan pterygomaxillary (posterior). Pilar
nasomaksilaris memanjang dari apertura piriformis dari kaninus dan anterior
maksila melalui prossesus frontalis dari maksila dan naik ke cerukan lakrimal dan
dinding medial orbita ke os frontalis. Pilar zygomticomaxillary memanjang tulang
alveolaris di atas molar I maksila melalui korpus zygoma naik ke prossesus
frontalis dari zygoma ke os frontalis. Pilar medial dan lateral memberikan tahanan
anterior. Sisi posterior, pilar pterygoid mengubungkan maksila ke lempeng
pterygoid dari os sphenoidalis dan memberikan stabilisasi kepada dataran vertikal
dari midfasial. Pilar midfasial horizontal meliputi rima orbita superior dan anterior
juga palatum durum. Lengkung zygoma menyediakan satu-satunya pilar sagital,
memandang midfasial mudah untuk kolaps dan mudah bergeser pada segmen
sentral.3 Dukungan superior pada pilar ini adalah arkus yang dibentuk oleh rima
orbita superior dan inferior dan arkus zygomaticus.2
Gambar 2. Pilar vertikal dan pilar horizontal, serta pilar sagital (S1).3
II. ETIOLOGI
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu faktor
predisposisi dan faktor luar.
A. Faktor predisposisi:
Yang dimaksud dengan faktor predisposisi adalah faktor yang dapat
menimbulkan fraktur selain dari faktor utama. Seperti penyakit yang berupa
infeksi periapikal, kista, tumor, osteomielitis. Penyakit ini biasanya menyebabkan
tulang menjadi rapuh ataupun melunak. Bila resorbsi tulang meluas akibat
penyebaran penyakit ini maka dapat terjadi patah tulang spontan tanpa trauma.
B. Faktor utama
Faktor utama terjadinya fraktur pada tulang maksila adalah disebabkan
oleh trauma baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Trauma dapat
menyebabkan terjadinya fraktur secara langsungt maupun tidak langsung.
1. Trauma langsung adalah apabila fraktur terjadi pada bagian
yang terkena trauma.
2. Trauma tidak langsung adalah apabila fraktur terjadi pada
tempat yang
jauh dari lokasi trauma.
III. EPIDEMIOLOGI
Penyebab utama dari fraktur maksila adalah kecelakaan lalu lintas (60%),
perkelahian (24%), jatuh (9%), kecelakaan kerja (4%), olah raga (2%), luka
tembakan (2%). Tanpa termasuk fraktur nasal, wajah tengah terlibat pada 40%
dari seluruh kasus. Para ahli sepakat bahwa distribusi frekuensi fraktur Le Fort
yaitu tipe II > tipe I > tipe III, dimana Le Fort I mencapai 30 %, Le Fort II
mencapai 42%, dan Le Fort III mencapai 28% dari seluruh kasus Le Fort.
Kejadian cedera bersamaan dengan trauma kepala (50%), cedera servikal (10%),
cedera abdominal (15%), cedera skeletal (30%) ditemukan pada pasien dengan
fraktur midfasial.3
Fraktur pada maksila dapat terjadi salah satu dari jenis fraktur diatas tetapi
juga bisa berupa kombinasi dari bermacam – macam fraktur serta dapat
melibatkan fraktur pada tulang lainnya yang berdekatan dengan maksila.
B. MENURUT LOKASINYA
Sedangkan menurut lokasi terjadinya fraktur tersebut telah banyak
klasifikasi dibuat olah para ahli seperti:
1. Menurut THOMA tahun 1969
Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu:
Fraktur prosesus alveolaris dan prosesus palatine
Fraktur horizontal (Transverse maxillary fracture, Horizontal
maxillary fracture, Guerin Fracture, Le fort I fracture)
Fraktur trasversal yang menyangkut orbital, tulang zygoma dan
tulang hidung. (Transverse facial fracture, Craniofacial
disjunction fracture)
Fraktur pyramidal yang menyangkut tulang-tulang hidung dan
maxilla.
2. Menurut GUSTAV O. KRUGER. Tahun 1984
Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu :
Fraktur Horizontal ( Le fort I )
Seluruh maksila terpisah dari dasar tengkorak, garis fraktur
terdapat diatas palatum tetapi dibawah perlekatan prosesus
zygomaticus. Fraktur ini dapat terjadi unilateral tetapi berbeda
dengan fraktur prosesus alveolaris karena pada fraktur alveolaris
tidak disertai dengan perluasan kedaerah garis tengah palatum
Fraktur Pyramidal ( Le fort II )
Garis fraktur melalui aspek fasial maksila, meluas kebagian atas
tulang hidung dan tulang ethmoid biasanya sinus maksilaris ikut
tersangkut, begitu juga tulang zigoma dapat terlibat
Fraktur Tranversal (Le fort III)
Garis fraktur meliputi daerah mata, daerah tulang hidung dan
tulang ethmoid terus ke arcus zygomaticus, sehingga dinding
samping tulang mata terpisah melalui sutura zygomaticofrontalis
Fraktur Multiple
Merupakan kombinasi dari ketiga macam fraktur diatas.
3. Menurut ARCHER
Fraktur maksila cukup dibagi atas 2 golongan saja yaitu:
Fraktur dimana sebagian tulang maksila ataupun seluruh tulang
maksila beserta beberapa gigi terpisah dari badan tulang maksila
( Le fort I )
Fraktur dimana seluruh tulang maksila bagian atas terpisah dari
tulang – tulang dasar tengkorak sebagai suatu unit tunggal atau
multiple.
4. Menurut LE FORT :
Fraktur Le fort adalah fraktur bilateral horizontal dari rahang atas dan
dibagi menjadi 3 jenis Le fort fraktur.
Le fort I ( Fraktur Guerin, Transverse maxillary fracture, Floating
maxilla, Horizon maxillary fracture )
Garis fraktur melintang melalui bagian atas dari prosesus
alveolaris, melibatkan sebagian dari dinding sinus maksilaris,
palatum dan bagian bawah dari prosesus pterygoideus dan tulang
sphenoid
Le fort II ( Pyramidal fracture )
Garis fraktur melalui tulang lakrimal, bagian bawah mata, melalui
dasar mata berjalan terus kebagian bawah sesuai dengan dinding
lateral dari maksila melalui pterygoid plate terus ke fossa
pterygomaxilla. Berbentuk kerucut makanya disebut fraktur
pyramid.
Le fort III ( Transverse facial fracture, Craniofacial disjunction )
Garis fraktur melalui sutura zygomatiko frontal, maksilo frontal
dan nasofrontal. Garis fraktur terus ketulang ethmoid dan
sphenoid, pada fraktur ini maksila hanya terikat oleh jaringan lunak
terhadap tulang-tulang dasar tengkorak.
5. Menurut KILLEY.
Pembagian fraktur rahang atas ini berdasarkan lokasinya menjadi 5
macam.
Klas I : Fraktur pada kompleks zygomaticus
Klas II : Fraktur pada kompleks nasalis
Klas III : Fraktur Le Fort I
Klas IV : Fraktur Le Fort II
Klas V : Fraktur Le Fort III
6. Menurut IVY dan CURTIS:
Fraktur maksila hanya mengenai prosesus alveolaris.
Fraktur pada muka mulai diatas akar gigi sampai palatum durum
( unilateral )
Fraktur terjadi horizontal dan bilateral yaitu diatas palatum dan
dibawah orbita.
Extensive comminuted fraktur, suatu fraktur yang terjadi dibagian
atas maksila disertai dengan fraktur pada tulang nasalis dan tulang-
tulang lain disekitarnya.
7. Menurut CLARK:
Fraktur pada prosesus alveolaris maksila
Punch type fracture disebabkan karena tembakan sehingga terjadi
luka pada tulang yang bergerigi terjadi pada satu atau lebih tulang
yang tipis.
Fraktur dimana setengah bagian dari tulang maksila dipisahkan
dari cranium
Seluruh tulang maksilla dipisahkan dari karnium disebut juga
Floating Maksila karena maksila seperti terapung terlepas dari
cranium.
Pada fraktur seperti ini dapat berupa ;
1. Transverse fracture
2. Pyramidal fracture
3. Transverse facial fracture.
8. Menurut ERICH dan AUSTIN :
Horizon fraktur, garis fraktur melintas secara horizontal pada
kedua antrum dan cavum nasalis.
Pyramidal fraktur, garis fraktur melintas pada kedua orbita dan
hidung
Transverse facial fracture, garis fraktur melintas pada kedua orbita
dan bagian atas cavum nasalis.
9. Menurut MEAD :
Membagi fraktur maksila berdasarkan lokasinya menjadi 3 macam:
Partial fracture, yaitu fraktur dengan beberapa gigi pada tiap
fragmen tulangnya
Complete fracture.
Partial or complete fracture pada kasus yang edentulous.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapatlah disimpulkan bahwa
pada prinsipnya fraktur maksila dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur pada prosesus alveolaris.
Yaitu fraktu yang terjadi pada tulang maksila yang meliputi daerah
alveolranya saja tanpa melibatkan tulang pendukung yang lain dan tanpa
diikuti terputusnya hubungan tulang maksila dengan tulang nasal atau
basis cranial.
2. Vertical fracture
yaitu fraktur pada rahang atas yang meliputi palatum durum, sedangkan
garis fraktur sendiri berjalan vertikal atau disebut juga fraktur Unilateral.
3. Fraktur Le Fort I
Fraktur ini disebut juga Fraktur Guerin, Low Level Fracture, Tranverse
Maksila Frakture, Horizontal Frakture, Floating Maksila. Dapat terlihat
arah frontal dari maksila yang melibatkan struktur maksila dari plat
pterygoid, nasal dan zygomatik. Tipe ini dapat melibatkan maksila secara
tersendiri dan terpisah dari struktur lain dengan diikuti terputusnya sutura
palatina atau fragment maksila.1
Fraktur Le Fort I merupakan hasil benturan yang terjadi diatas
level gigi. Fraktur yang terjadi mulai dari batas lateral sinus pirimormis,
berjalan sepanjang dinding antral lateral, belakang tuberositas maksilaris,
dan melewati pteriogoid junction. Septum nasal dapat terjadi fraktur, dan
kartilago nasal mungkin terkena. Karena tarikan baik dari otot pterigoid
eksternal dan internal, maksila dapat berada pada posisi posterior dan
inferior. Pada fraktur ini, biasanya tampak open bite klasik.2
Gambar 3. Fraktur le fort I. 1
4. Fraktur Le Fort II
Fraktur piramidal/subzigomatik yang menyebabkan terpisahnya
wajah tengah pusat dari kompleks orbitozigomatikus.3
Fraktur Le Fort II terjadi akibat benturan yang didapat pada level
tulang nasal. Fraktur terjadi sepanjang sutura nasofrontalis, melalui tulang
lakrimalis, dan melewati garis infraorbita pada area sutura
zigomatikomaksilaris.2
B. Breathing (Pernafasan)
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi
dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi
dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
menggangu ventilasi.
C. Circulation (Sirkulasi)
Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal
dihentikan dengan penekanan pada pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan
dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia.
D. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Banyak pasien yang mengalami injuri fasial mengalami
hilang kesadaran. Kesemua pasien ini, walaupun hanya pingsan dalam waktu yang
singkat, harus diperiksa secara keseluruhan dengan Skala Koma Glagow (GCS)
dan dikonsulkan ke bagian bedah syaraf.
Tabel 1. Skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) untuk evaluasi cedera kepala.6
Skor Mata (E) Verbal (V) Motorik (M)
Pada Le Fort II, tanda dan gejala yang dapat kita temukan adalah adanya
oedem wajah dan terjadi retrusi mid fasial yang menyebabkan wajah terlihat datar.
Keadaan ini disebut sebagai deformitas dish face atau pan face. Terjadi
haemoragi subkonjunctiva dan diplopia. Kadang timbul parestesi daerah pipi
karena trauma pada nervus infraorbita. Terdapat hematom pada sulcus bukalis
rahang atas posterior, karena garis fraktur melewati tulang zygoma. Segmen
maksila bergeser ke posterior dan inferior, hal ini akan menyebabkan kontak
prematur gigi molar dan open bite anterior.7
2. Pemeriksaan Intraoral
Pemeriksaan intra oral dapat melihat keadaan oklusi, gigi geligi, stabilitas
alveolar ridge dan palatum serta jaringan lunak. Palpasi intra oral dengan jari pada
maksila dapat memberikan informasi tentang integritas dinding nasomaksilaris,
dinding sinus maksilaris anterior, dan dinding zigomatikomaksilaris.
Selama pemeriksaan mata dan tulang orbita, dapat dilihat integritas dari
lingkar orbita dan dasar orbita, penglihatan, pergerakan ektra ocular dan posisi
bola mata, serta jarak intercanthal. Tidak seperti fraktur Le fort II, Le fort III
berhubungan dengan adanya cedera pada zygomatikus. Perubahan penglihatan
menandakan adanya gangguan pada persyarafan mata, masalah pada retina
ataupun masalah neurologic lainnya. Gangguan pada pergerakan ekstraokular atau
enopthalmos menandakan adanya suatu blow out pada dasar orbita. Peningkatan
jarak interchantal menandakan adanya perubahan pada tulang frontomaksilaris
atau tulang lacrimalis ataupun adanya avulsi dari ligamentum canthal medialis .
Dalam hal kerusakan yang parah pada mata dan tulang orbita dapat
dikonsultasikan kepada opthalmologis.
Deformitas pada kontur tulang dapat tertutupi oleh pembengkakan, tetapi
permeriksaan dapat menemukan adanya kehilangan kontinuitas tulang atau
displacement. Gangguan pada oklusi dapat melokalisir adanya fraktur. Pergerakan
abnormal pada tulang dapat didiagnosa dan jika terjadi maka akan diikuti oleh
sakit dan krepitasi akibat dari ujung tulang yang keras bergesekan satu sama lain.
Hilangnya fungsi pada rahang merupakan hal biasa sebagai akibat dari trismus
atau sakit.7
Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus pterygoid medial
yang kuat menciptakan tarikan posteroinferior pada segmen yang bergerak
menciptakan maloklusi klas III, kontak prematur pada molar dan anterior open
bite.3
Gambar 9. Pemeriksaan mobiliti pada maksila.1
`
Gambar 10. Metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le Fort.5
Gambar 13. Water’s view memperlihatkan gambaran fraktur Le Fort II yang membentuk segmen
fraktur bentuk Piramid.8
Scan yang diambil secara baik dan hasil tepat, dapat menjadi alat diagnostik
radiologi tunggal, tanpa foto lain. CT scan juga menggambarkan terdapatnya
edema dan kehadiran benda asing yang sering terlewat pada foto konvensional.
Gambar 15. CT scan axial menunjukkan fraktur Le Fort II
B. Prinsip perawatan
Untuk mencapai hal ini maka prinsip bedah hendaknya mengikuti aturan
berikut ini
Prinsip perawatan fraktur maksila:
1. Debridement yaitu membersihkan sisi fraktur meticulous.
2. Reduction yaitu mensejajarkan ujung tulang yang patah.
3. Fixation yaitu menstabilkan fraktur tulang, setelah selesai prosedur diatas,
baru-baru ini digunakan mini plat tulang dan scrub ( rigid internal
fixation ).
4. Imobilisasi yaitu pengikatan Fraktur pada bagian sendi, dicapainya dengan
wiring sendi secara bersamaan selama 4-6 minggu dengan penyebaran
yang luas menggunakan fixasi interna yang kuat, bagaimanapun prosedur
ini sangat cepat dalam membantu penyembuhan.
5. Rehabilitasion yaitu mengistirahatkan total dari region yang terkena
trauma seperti perlekatan kembali secara prostetik dari gigi geligi yang
hilang akibat trauma dan injury.
C. Metode perawatan
Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka maupun
metode tertutup tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk fraktur
maksila yang meliputi le fort I, II, III atau yang diikuti kelainan oklusi harus
dilakukan dengan metode terbuka.9,2,6
B. Fiksasi Internal
Teknik ini ditemukan oleh Adam yang mana diindikasikan pada fraktur
horizontal yang sederhana dengan tidak terlibatnya tulang orbita.
Teknik ini menggunakan kawat suspensi (stainless steel ukuran 0.018 atau
0,2 inchi, 0,45 atau 0,5mm) yang dimasukan (diikatkan) pada titik tertentu di
tulang bagian superior. Bagian yang paling sering digunakan adalah Apertura
piriformis, Spina nasalis, tonjolan Malar, Arcur zygomatikus, Prosesus
zygomatikus ossis frotalis dan pinggiran tulang infra orbita. kemudian kawat
menelusuri daerah fasial terus kebawah dan kemudian dihubungkan (diikatkan)
pada arch bar yang telah dipasang pada gigi-geligi rahang atas (terhadap maksila)
disebut fiksasi kraniomaksila. Sedangkan pada ikatan atau perlekatan kawat
terhadap mandibula disebut fiksasi kraniomandibula. Gigi-geligi rahang atas dan
rahang bawah dalam keadaan fiksasi Intermaksila (Transosseous wiring fixation).
Apabila mandibula utuh atau karena perawatan bisa stabil, maka fiksasi
kraniomandibula lebih dianjurkan dibanding perawatan fiksasi kraniomaksila,
karena perlekatan ini memberikan hasil terbaik untuk mempertahankan posisi
komponen maksila yang mengalami fraktur.
C. Fiksasi eksternal
1. Pesawat Cranio-Maxilla.
Dimana digunakan suatu alat Head Appliances yang dihubungkan dengan alat
lain yang dipasang pada maksila. Head appliances yaitu suatu alat yang dipasang
pada kepala yang berfungsi sebagai penahan untuk fiksasi fraktur maksila dengan
tulang cranial. Alat ini ada beberapa macam yang biasa digunakan yaitu:
Plaster of Paris head cap.
Woodards appliance.
Englands appliance.
Bisnoffs head band.
Crawford head frame.
Crawford bloom head appliance
Pesawat Cranio Maxilla sendiri ada beberapa macam yaitu;
a. Pesawat C-M yang menggunakan Kingsley splint yang dapat dihubungkan
dengan berbagai macam splint yang diletakan pada gigi-gigi dirahang atas
seperti:
Wire splint
Cast metal splint
Band orthodontic
Pada pasien edentulous digunakan modifikasi dari kingsley
sendiri.
b. Pesawat C-M yang menggunakan Steinmann pin, dimana pin ini
dimasukan kedalam tulang alveolar rahang atas yang mengalami fraktur
melalui pipi lalu pin ini dihubungkan kembali kealat head appliance.
c. Pesawat C-M yang menggunakan cranio fasial wire. Ditemukan oleh
Erich, dimama kawat dihubungkan dengan arch bar yang telah dipasang
sebelumnya pada rahang atas ( gigi-geligi ), kawat ini menembus pipi lalu
dihubungkan denga head appliance. Pemakaian alat ini diindikasikan pada
fraktur dengan tidak adanya perubahan tempat dari rahang (fragmen) dan
mandibula dapat bergerak untuk berbicara dan makan (makanan lunak).
E. Follow Up
Lakukan evaluasi follow-up pada hari ke 5-7 (jahitan kulit dapat dilepas
pada saat ini), minggu ke 2-4, lalu minggu ke 3-8 untuk melepas IMF. Follow-up
jangka panjang mungkin dibutuhkan untuk memonitor terjadinya komplikasi post-
operasi atau deformitas.
Tujuan paling penting selama periode awal post-operasi yaitu memelihara
imobilisasi. Tergantung pada umur dan kesehatan umum pasien, keparahan dan
displacement fraktur, serta teknik perawatan yang digunakan, periode ini berkisar
antara 4-8 minggu. Sehingga IMF perlu dirawat selama periode ini. Selama
periode ini, tekankan pasien untuk memelihara kebersihan mulut dengan rajin
menyikat gigi dan arch bar dan berkumur dengan saline atau mouthwash
antiseptik setiap pagi dan malam serta setiap habis makan.
Pada pemeriksaan post-operasi, lakukan tes stabilitas tulang wajah dengan
mempalpasi geligi rahang atas pasien saat menggigit dan merelaksasi otot
pengunyahan. Terdapatnya Pergerakan minimal mungkin masih dapat diterima,
tapi mobilisasi berlebihan dapat mengindikasikan terjadinya penyembuhan yang
buruk. Pengambilan foto post-operasi (misal, serial mandibula, Panorex dental
views, facial series, CT scan) dapat membantu pada pasien yang dicurigai terjadi
malunion.
Apabila tulang wajah telah sembuh dengan baik dan didapat oklusi
normal, IMF dapat dilepas. Mobiliti vertikal yang minimal pada midfasial dapat
pulih seiring dengan waktu. Pergerakan yang berlebihan mengindikasikan terlalu
dininya melepas arch bar atau terdapatnya masalah penyatuan tulang. Pada
umumnya, MMF dapat dilepas lebih cepat pada fraktur yang diperbaiki dengan
fiksasi miniplate, dan lebih lama pada fraktur yang diperbaiki dengan kawat
interosseus atau suspensi.10
BAB III
KOMPLIKASI
Dari penjabaran tentang fraktur maksila secara umum tadi dapatlah diambil
kesimpulan bahwa:
1. Sebaiknya klinisi membuat diagnosa yang tepat dengan memperhatikan
anamnesa, pemeriksaan klinis dan didukung dengan pemeriksaan radiology
demi tercapainya perawatan yang tepat pula.
2. Perhatikan komplikasi yang menyertai fraktur maksila seperti Perdarahan yang
hebat, Kehilangan kesadaran, Obstruksi jalan nafas dan Kebocoran
cerebrospinal renorrhoe.
3. Pengenalan tanda- tanda khas terjadinya fraktur Le fort I, II, III seperti:
Elongasi fasial, Dish face, Open bite klasik, Mobilitas seluruh rahang
atas atau setengah wajah yang menandakan lepasnya kontinuitas maksila
dengan basis cranial.
4. Perawatan dilakukan sesegera mungkin untuk mensegah terjadinya
komplikasi seperti infekasi, malunion dan lain-lain.
5. Immobilisasi segmen fraktur merupakan aspek perting untuk mencegah
terjadinya kegagalan perlekatan (malunion ).
6. Perawatan dengan memakai metode tertutup atau terbuka disesuaikan denga
indikasinya masing-masing.
7. Perkembangan baru dengan memakai miniplate dan skrup untuk
menghasilkan fiksasi dari reduksi fragmen yang rigid dengan mengurangi
waktu perawatan dan mempercepat penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA