Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur maksila sendiri sebagai bagian dari trauma Maxillofacial cukup sering
ditemukan, walaupun lebih jarang dibandingkan dengan fraktur mandibula.
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab tersering fraktur maksila
maupun fraktur wajah lainnya. Pada fraktur maksila juga dapat muncul berbagai
komplikasi yang cukup berat, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mengakibatkan kecacatan dan kematian.1 Trauma Maxillofacial cukup sering terjadi.
Hampir semua dokter baik itu dokter umum maupun dokter spesialis bedah
mendapatkan pasien trauma wajah selama praktiknya. Dokter bedah plastik yang
memiliki keahlian khusus dalam anatomi wajah, latar belakang estetika, dan keahlian
dalam penyembuhan luka sering kali mendapatkan rujukan untuk menangani pasien
trauma wajah.2 Fraktur maksila juga dapat terjadi pada anak - anak, dengan
peningkatan prevalensi seiring dengan meningkatnya usia anak terkait dengan
peningkatan aktivitas fisik. Fraktur maksila pada anak berbeda secara signifikan
dibandingkan dengan orang dewasa baik itu dari segi pola, maupun treatment.
Dengan demikian, adanya fraktur maxillofacial harus dapat didiagnosis dan ditangani
dengan tepat dan akurat untuk menghindari gangguan pertumbuhan dan
perkembangan selanjutnya, mengingat adanya gangguan fungsional dan masalah
estetika yang mungkin terjadi.3

Suatu hal yang hampir tidak mungkin untuk menggambarkan penatalaksanaan


fraktur pada wajah tengah tanpa referensi kerja Rene Le Fort. Pada abad lalu, Le Fort
merupakan orang pertama yang mendokumentasikan kemungkinan pola fraktur
spesifik pada wajah tengah yang terjadi akibat benturan langsung pada wajah.
Penjelasannya mengenai efek trauma benda tumpul terhadap wajah pada 35
tengkorak, dibuat pada suatu masa ketika bertahan hidup terhadap trauma berat tidak

1
pernah dapat dibayangkan. Perjalanan mulai dari observasi anatomis hingga
penatalaksanaan trauma kompleks fasial dengan teknik lanjut kraniomaksilofasial.4

Pencetus awal aplikasi klinis dari observasi Le Fort yaitu terjadinya ribuan
jejas berat pada jaringan lunak dan keras pada wajah akibat Perang Dunia I. Gillies
dan Kazanjian saat ini memperkenalkan pentingnya lengkung gigi dalam
menstabilisasi wajah tengah melalui pengunaan berbagai alat fiksasi ekstraskeletal
yang sekarang merupakan suatu bagian yang utama. Era antibiotik selama Perang
Dunia II, bagaimanapun, merupakan awal kesuksesan intervensi bedah primer
melalui prinsip reduksi anatomis dan stabilisasi tulang interna. Pada awal tahun 1930,
Ipsen memperkenalkan fiksasi K-wire internal pada fraktur wajah, kemudian
dipopulerkan oleh Brown dan McDowell. Dingman dan Natvig memperkenalkan
imobilisasi fraktur wajah tengah dengan traksi rubber band. Pada tahun 1942, Milton
Adams pertama kali memperkenalkan reduksi terbuka dan fiksasi internal (Open
Reduction and Internal Fixation, ORIF) dengan menggunakan kawat suspensi pada
basis kranium yang stabil.4

Mengikuti Perang Dunia II, Gillies mengeksplorasi pengalamannya dari


perbaikan trauma fasial ke lahan anomali wajah kongenital dan mengawali osteotomi
Le Fort III elektif untuk sindrom Crouzon. Tingginya angka kolaps pada wajah
tengah posterior jangka panjang, merubah fokus dari suspensi kraniofasial pada tahun
1980 menjadi teknik Reduksi Terbuka dan Fiksai Internal (ORIF)yang memberikan
fiksasi intermaksiler dalam periode yang lebih lama dan akhirnya mengurangi angka
deformitas paska trauma. Pendekatan ini, awalnya dipopulerkan oleh Manson dan
Gruss, tergantung pada penggambaran jejas sekeletal yang akurat oleh Computerized-
Tomography (CT) scan, pembukaan yang luas pada daerah fraktur, mobilisasi terbuka
dan reduksi semua segmen tulang, primary autogenous bone grafting, dan fiksasi
internal yang stabil dengan plat dan sekrup. Prinsip-prinsip ini masih merupakan
dasar dari hampir semua penatalaksanaan fraktur kraniomaksila modern.4

2
Fraktur pada daerah ini mempunyai gambaran yang sedikit berbeda
dibandingkan dengan injury pada bagian tubuh yang lain seperti:

1. Melibatkan jalan nafas, yang harus dilakukan tindakan cepat dan langsung.
2. Menampilkan oklusi gigi, yang dapat membantu sebagai pedoman dalam
pengembalikan perlekatan dan stabilisasi fraktur.
3. Terdapat suplay darah yang sangat bagus ke wajah, sehingga membantu dalam
proses penyembuhan yang cepat.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam referat ini akan dibahas tentang Fraktur Maxillaris.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan referat ini adalah untuk menambah pemahaman klinis
mengenai Fraktur Maxillaris .

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di RS. Muhammadiyah Palembang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1. ANATOMI MAKSILA
Midfasial menghubungkan basis kranii dengan dataran oklusal. Ia
menyediakan pondasi kepada proyeksi fasial anterior sambil memberikan
perlindungan kepada basis tengkorak dan berperan sebagai jangkar kepada
ligamen fasial dan perlekatan otot. Tulang midfasial terdiri dari rangkaian
penebalan vertikal, sagital dan horizontal yang menutupi sinus.4

Gambar 1. Disartikulasi tulang midfasial menggambarkan anatomi maksila,


zigoma, tulang nasal, dan septum nasal.6

Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor
bersama-sama dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara
pada palatum durum dan mole. Pada regio anterior cabang terminal dari arteri
naso palatinus keluar pada foramen insisivus dan mereka mensuplai
mukoperiosteum dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui
divisi kedua dari nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infra
orbital dan kemudian berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior
dan regio palpebral inferior, termasuk juga mensyarafi labial dan gigi-gigi
anterior.2

Kompleks midfasial dilengkapi oleh struktur dukungan vertikal untuk


menahan tekanan dari bawah. Midfasial secara efektif menyerap, melawan
dan mengusir tekanan infrasuperior melalui beberapa tahanan. Tetapi

4
midfasial tidak dilengkapi dengan kemampuan menahan tekanan dari lateral
dan frontal.Struktur dukungan vertikal pada midfasial terdiri atas pilar
nasomaksilaris (medial), zygomaticomaxillary (lateral) dan pterygomaxillary
(posterior). Pilar nasomaksilaris memanjang dari apertura piriformis dari
kaninus dan anterior maksila melalui prossesus frontalis dari maksila dan naik
ke cerukan lakrimal dan dinding medial orbita ke os frontalis. Pilar
zygomticomaxillary memanjang tulang alveolaris di atas molar I maksila
melalui korpus zygoma naik ke prossesus frontalis dari zygoma ke os
frontalis. Pilar medial dan lateral memberikan tahanan anterior. Sisi posterior,
pilar pterygoid mengubungkan maksila ke lempeng pterygoid dari os
sphenoidalis dan memberikan stabilisasi kepada dataran vertikal dari
midfasial. Pilar midfasial horizontal meliputi rima orbita superior dan anterior
juga palatum durum. Lengkung zygoma menyediakan satu-satunya pilar
sagital, memandang midfasial mudah untuk kolaps dan mudah bergeser pada
segmen sentral.4 Dukungan superior pada pilar ini adalah arkus yang dibentuk
oleh rima orbita superior dan inferior dan arkus zygomaticus.5

5
Gambar 2. Pilar vertikal terdiri dari pilar medial atau nasomaksilari (V1), pilar lateral atau
zigomatikomaksilari (V2),dan pilar posterior atau pterygomaxillary (V3) yang berfungsi menahan
tekanan kepada basis kranii. Pilar horizontal meluas sepanjang rima supraorbita (H1), rima infraorbita
(H2) dan prossesus dentoalveolar dan palatum (H3), memberikan dukungan struktural kepada fungsi
dari mata, hidung dan mulut. Lengkung zygoma berfungsi sebagai satu-satunya pilar sagital (S1).4

Rekonstruksi defek struktur midfasial membutuhkan rekonstruksi dari


pilar-pilar ini untuk mengembalikan pola tahanan normal pretrauma dan
parameter biomekanikal yang penting untuk mempertahankan integritas struktur
skeletal. Penebalan-penebalan tulang ini memberikan tempat untuk aplikasi pelat
fiksasi guna memastikan dukungan dan penyembuhan yang maksimal.4

2.2. Dasar Anatomi


Secara konseptual kerangka wajah terdiri dari empat pasang dinding penopang
(buttress) vertikal dan horizontal. Buttress merupakan daerah tulang yang lebih te
bal yang menyokong unit fungsional wajah (otot, mata, oklusi dental,airway)
dalam relasi yang optimal dan menentukan bentuk wajah dengan cara
memproyeksikan selubung soft tissue diatasnya. Vertical buttresses terdiri dari
sepasang maksilari lateral (+ dinding orbital lateral) atau zygomatic buttress,
maksilari medial (+ dinding orbital medial) atau nasofrontal buttress,
pterygomaxillary buttress, dan posterior vertical buttress atau mandibular buttress.

6
Horizontal buttresses juga terdiri dari sepasang maksilari tranversal atas (+ lantai
orbital), maksilari transversal bawah (+ palatum), mandibular transversal atas dan
mandibular tranversal bawah.7 Maksila terbentuk dari dua bagian komponen
piramidal irregular yang berkontribusi terhadap pembentukan bagian tengah
wajah dan bagian orbit, hidung, dan palatum. Maksila berlubang pada aspek
anteriornya untuk menyediakan celah bagi sinus maksila sehingga membentuk
bagian besar dari orbit, nasal fossa, oral cavit, dan sebagian besar palatum, nasal
cavity, serta apertura piriformis. Maksila terdiri dari badan dan empat prosesus;
frontal, zygomatic, palatina, adan alveolar. Badan maksila mengandung sinus
maksila yang besar. Pada masa anak-anak, ukuran sinus ini masih kecil, tapi pada
saat dewasa ukuran akan mebesar dan menembus sebagian besar struktur sentral
pada wajah.2

2.3. EPIDEMIOLOGI
Terjadinya Fraktur Maksila Fraktur pada midface seringkali terjadi akibat
kecelakan kendaraan bermotor, terjatuh, kekerasan, dan akibat trauma benda
tumpul lainnya.7 Untuk fraktur maksila sendiri, kejadiannya lebih rendah
dibandingkan dengan fraktur midface lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan
oleh Rowe dan Killey pada tahun 1995, rasio antara fraktur mandibula dan
maksila melebihi 4:1. Beberapa studi terakhir yang dilakukan pada unit trauma
rumah sakit-rumah sakit dibeberapa negara menunjukkan bahwa insiden fraktur
maksila lebih banyak terkait dengan fraktur mandibula. 2 Penyebab utama dari
fraktur maksila adalah kecelakaan lalu lintas (60%), perkelahian (24%), jatuh
(9%), kecelakaan kerja (4%), olah raga (2%), luka tembakan (2%). Tanpa
termasuk fraktur nasal, wajah tengah terlibat pada 40% dari seluruh kasus. Para
ahli sepakat bahwa distribusi frekuensi fraktur Le Fort yaitu tipe II > tipe I > tipe
III, dimana Le Fort I mencapai 30 %, Le Fort II mencapai 42%, dan Le Fort III
mencapai 28% dari seluruh kasus Le Fort. Kejadian cedera bersamaan dengan

7
trauma kepala (50%), cedera servikal (10%), cedera abdominal (15%), cedera
skeletal (30%) ditemukan pada pasien dengan fraktur midfasial.4
Pada anak-anak prevalensi fraktur tukang wajah secara keseluruhan jauh lebih
rendah dibandingkan pada dewasa. Sekitar 5-15% dari keseluruhan fraktur wajah
terjadi pada anak. Prevalensi fraktur wajah pediatri paling rendah pada bayi dan
meningkat secara progresif sesuai dengan bertambahnya usia. Terdapat 2 puncak
usia dimana frekuensi terjadinya fraktur tersebut paling tinggi pada pediatri. Pada
usia antara 6-7 tahun terkait dengan usia mulai sekolah. Dan pada usia 12-14
tahun terkait dengan peningkatan aktivitas fisik serta partisipasi dalam olahraga
saat pubertas dan remaja. Mekanisme terjadinya trauma wajah termasuk maksila
pada anak mirip dengan yang terjadi pada dewasa. Paling tinggi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kemudian akibat cedera saat berolahraga, terjatuh, kekerasan
dan sebagainya.3

2.4. KLASIFIKASI

Tidak ada gambaran pola fraktur pada wajah tengah seberhasil Le Fort.
Klasifikasi Le Fort bukan merupakan klasifikasi maksila murni, sebagaimana
banyak tulang-tulang wajah yang ikut terlibat. Bagaimanapun, perlu dicatat
bahwa keutamaan fraktur maksila biasanya bersifat comminuted, melibatkan
sejumlah kombinasi fraktur tipe Le Fort. Le Fort menggambarkan tiga zona lemah
transversa pada tulang wajah tengah yang dapat memberikan prediksi pola fraktur
(Gambar 3).4

8
Gambar 3.Gambaran frontal (A) dan lateral oblique (B) dari tengkorak, mengilustrasikan pola
fraktur Le Fort I, II dan III (1).

Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga


pola fraktur maksila, yaitu Le Fort I, II, dan III. Selain fraktur Le Fort, terdapat
pula fraktur alveolar, dan vertikal atau sagital maupun parasagital.7

a)
Fraktur Le Fort I, Fraktur Le Fort I dikenal juga dengan fraktur Guerin yang
terjadi di atas level gigi yang menyentuh palatum, meliputi keseluruhan
prosesus alveolar dari maksila, kubah palatum, dan prosesus pterigoid dalam
blok tunggal. Fraktur membentang secara horizontal menyeberangi basis sinus
maksila.1 Dengan demikian buttress maksilari transversal bawah akan
bergeser terhadap tulang wajah lainnya maupun cranium.7
b)
Fraktur Le Fort II Pukulan pada maksila atas atau pukulan yang berasal dari
arah frontal menimbulkan fraktur dengan segmen maksilari sentral yang
berbentuk piramida. Karena sutura Zygomaticomaxillary dan frontomaxillary
(buttress) mengalami fraktur maka keseluruhan maksila akan bergeser
terhadap basis kranium.7
c)
Fraktur Le Fort III Selain pada pterygomaxillary buttress, fraktur terjadi pada
zygomatic arch berjalan ke sutura zygomaticofrontal membelah lantai orbital
sampai ke sutura nasofrontal. Garis fraktur seperti itu akan memisahkan

9
struktur midfasial dari kranium sehingga fraktur ini juga disebut dengan
craniofacial dysjunction. Maksila tidak terpisah dari Zygoma ataupun dari
struktur nasal. Keseluruhan rangka wajah tengah lepas dari basis kranium dan
hanya disuspensi oleh Soft tissue.2
d)
Fraktur Alveolar Bagian dentoalveolar dari maksila dapat mengalami fraktur
akibat pukulan langsung maupun secara tidak tidak langsung pada mandibula.
Sebagian dari prosesus alveolar dapat mengalami fraktur.8
e)
Fraktur Maksila Sagital atau Vertikal Fraktur sagital biasanya dihubungkan
dengan fraktur maksila lainnya. Fraktur seperti ini dapat meningkatkan lebar
arkus denta dan wajah, dimana cukup sulit untuk ditangani.8

2.5. PEMERIKSAAN DAN GEJALA KLINIS

1. Pemeriksaan Awal / Primary Survey


Evaluasi awal dan penatalaksanaan yang menyeluruh seringkali
menentukan apakah pasien mampu bertahan dari trauma mereka. Jejas pada
kepala dan leher seringkali melibatkan jalan nafas dan pembuluh utama; oleh
karena itu resusitasi ABC harus dilakukan secara ketat pada tahap awal
pemeriksaan dan penatalaksanaan pasien dengan fraktur maksilofasial. Setiap
pasien yang datang dengan jejas trauma, perhatian pertama harus ditujukan
langsung pada evaluasi menyeluruh. Selama pemeriksaan awal, jejas yang
membahayakan hidup dan kondisi medis sistemik harus dievaluasi secara
tepat. Pasien dengan jejas pada wajah sebaiknya diperkirakan memiliki jejas
lain yang berhubungan, tergantung dari insidensi trauma.9
I. Airway (Jalan Nafas)
Yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan oleh
benda asing., fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway, harus
melindungi vertebra servikal. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan

10
chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat
dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian
ulang terhadap airway tetap harus dilakukan.
Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus
diperhatikan bahwa tidak bleh melakukan ekstensi, fleksi atau rotasi
dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan
riwayat perlukaan. Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal fraktur
servikal harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus
dibuka untuk sementara, maka untuk kepala harus dilakukan
imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai dipakai sampai
kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.
II. Breathing (Pernafasan)
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma. Dada pasien harus dibuka untuk melihat
ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan
masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai
adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi
dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
menggangu ventilasi.
III. Circulation (Sirkulasi)
Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey.
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada pada luka.
Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan
menyebabkan iskemia.

IV. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap
keadaan neurologis secara cepat. Banyak pasien yang mengalami
injuri fasial mengalami hilang kesadaran. Kesemua pasien ini,
walaupun hanya pingsan dalam waktu yang singkat, harus diperiksa

11
secara keseluruhan dengan Skala Koma Glagow (GCS) dan
dikonsulkan ke bagian bedah syaraf.

Skor Mata (E) Verbal (V) Motorik (M)

1 Respon (-) Respon (-) Respon (-)

2 Terbuka karena Tidak dipahami Ekstensi


rangsang sakit

3 Terbuka bila diminta Tidak tepat Fleksi

4 Terbuka spontan Bingung Gerakan tidak spesifik

5 - Bercakap-cakap Menunjukkan tempat


yg sakit

6 - - Bisa melakukan
perintah

Tabel 1. Skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) untuk evaluasi
cedera kepala.10

V. Exposure environmental control


Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan
cara menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah
pakaian dibuka harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup
hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.
Langkah pertama yaitu memastikan pasien memiliki jalan
nafas yang baik serta ventilasi yang adekuat. Tanda klinis, termasuk
respirasi, nadi, dan tekanan darah sebaiknya diperiksa dan dicatat.

12
Selama pemeriksaan awal, masalah lain yang dapat mengancam
kehidupan, seperti perdarahan eksesif, sebaiknya diperiksa.
Penanganan awal, seperti gigit tampon, sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin. Selanjutnya pemeriksaan status nerologis pasien dan
evaluasi spina servikalis pasien. Benturan yang cukup berat yang dapat
menyebabkan fraktur pada tulang wajah biasanya tersalurkan ke spina
servikalis. Leher harus diimobilisasi sementara hingga jejas pada leher
dikatakan baik.11
Perawatan terhadap jejas kepala dan leher biasanya dilakukan
setelah didapat evaluasi menyeluruh, pemeriksaan, dan stabilisasi
pasien. Bagaimanapun, beberapa perawatan awal seringkali penting
untuk kestabilan pasien. Seringkali, fraktur pada tulang wajah yang
berat dapat mengurangi kemampuan pasien dalam menjaga jalan
nafas.11
Jejas pada daerah wajah tidak hanya melibatkan tulang wajah
tapi juga jaringan lunak, seperti lidah atau daerah leher atas, atau dapat
berhubungan dengan jejas seperti fraktur laring. Pada beberapa kasus,
perlu dilakukan trakheostomi untuk memberikan jalan nafas yang
adekuat. Pada pasien trauma dengan obstruksi jalan nafas atas komplit,
krikotirotomi merupakan cara paling cepat untuk mengakses trakea.11
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa
harus dikenali dan resusitasinya harus dilakukan pada saat itu juga.
Penyajian primary survey diatas adalah dalam bentuk berurutan sesuai
dengan prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam prakteknya hal-hal
diatas sering dilakukan berbarengan.12
2. Pemeriksaan Riwayat dan Klinis
Pemeriksaan Riwayat Penyakit
Setelah pasien stabil, dapatkan riwayat selengkap mungkin.
Riwayat ini sebaiknya diperoleh dari pasien, tetapi karena kehilangan
kesadaran atau status nerologi, informasi harus diperoleh dari anggota

13
lain yang mendampingi. Lima pertanyaan penting yang sebaiknya
dipertimbangkan:
1) Bagaimana kejadiannya terjadi?
2) Kapan kejadiannya terjadi?
3) Apakah spesifikasi jejasnya, termasuk jenis benda yang berkontak,
pertimbangan logistik?
4) Apakah terjadi penurunan kesadaran?
5) Gejala apa yang sekarang sedang dirasakan oleh pasien, termasuk
nyeri, perubahan sensasi, perubahan visual, dan maloklusi?

Informasi lengkap, termasuk mengenai alergi, pengobatan, dan


imunisasi tetanus terdahulu, kondisi medis, dll.11
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari korban trauma adalah
sulit, karena biasanya mereka tidak mampu memberi respon
dengan baik. Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia
merupakan hambatan yang sering terjadi dalam menjalin
komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan
adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi atau
pekerja pada unit gawat darurat. Tanggal, waktu, tempat kejadian
dan peristiwa khusus dicatat. Apabila cedera disebabkan oleh
kecelakaan mobil, apakah si korban yang menyetir, atau sebagai
penumpang, apakah korban memakai sabuk pengaman? Apakah
pasien merupakan korban tindak kejahatan dengan senjata
tertentu? Apakah pasien jatuh/tidak sadar? Kondisi medis resiko
tinggi, alergi dan tanggal imunisasi tetanus juga dicatat. Adanya
tanda-tanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, dicatat karena
tingkat kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi
mengenai waktu makan dan minum yang terakhir sangat penting
apabila akan dilakukan anestesi umum.10

Pemeriksaan Klinis

14
Fraktur midfasial biasanya didiagnosa secara klinis dan
dikuatkan dengan pemeriksaan radiologis. Sejumlah faktor bisa
membuat pemeriksaan klinis menjadi sulit, termasuk kehadiran edema
fasial, epistaksis, maksila yang tumpang tindih atau bahkan pasien
yang tidak sadar atau tidak kooperatif.4
a. Pemeriksaan Ekstraoral
Pemeriksaan pada area fasial harus dilakukan dalam teknik
yang terorganisir dan berkelanjutan. Wajah dan kranii harus
diinspeksi secara hati-hati terhadap kemungkinan trauma termasuk
laserasi, abrasi, kontusio, edema ataupun hematom dan
kemungkinan cacat pada kontur. Area ekimosis harus dievaluasi
secara hati-hati.
Wajah dievaluasi terhadap kemungkinan terdapatnya laserasi
dan depresi tulang yang jelas. Asimetri area wajah perlu dicatat,
dan cairan yang keluar baik dari hidung maupun telinga
diasumsikan sebagai cairan serebrospinal hingga terbukti bukan
itu. Jika diduga terdapat cairan serebrospinal, hidung maupun
telinga sebaiknya tidak ditutup tampon, karena dapat menyebabkan
infeksi retrograde yang menyebabkan meningitis.5
Tulang wajah dipalpasi untuk mengetahui adanya
diskontinuitas tulang. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secara
bimanual dan disiplin. Pertama kita lakukan pemeriksaan rima
orbitalis, lalu berlanjut ke bawah untuk meliputi rima lateral dan
infraorbitalis, dimana apabila terdapat edema yang cukup besar
dapat membuat pemeriksaan menjadi sulit. Lengkung zigomatikus
dipalpasi lalu ke tulang nasal. Pemeriksaan berakhir dengan
pemeriksaan maksila dan mandibula.
Evaluasi midfasial dimulai dengan penilaian mobiliti maksila,
sendiri ataupun kombinasi dengan zygoma atau os nasal. Untuk
menilai mobiliti pada maksila, kepala pasien harus distabilkan

15
dengan menggunakan satu tangan menekan dahi. Dengan
menggunakan jempol dan jari telunjuk dari tangan yang lain,
memegang maksila, digoyang dengan hati-hati untuk melihat
adanya mobiliti pada maksila. Fasial dan midfasial sebaiknya
dipalpasi untuk melihat adanya gap pada dahi, rima orbita, nasal
atau zygoma.11
Pembukaan mandibula dievaluasi baik untuk fraktur lengkung
zigoma maupun zigoma yang terdisposisi ke lateral, yang dapat
mengobstruksi pergerakan prosesus koronoid ke depan. Vestibulum
bukalis dipalpasi dengan jari telunjuk. Terdapatnya krepitasi dan
pergeseran dinding antral lateral dan zigoma dapat mudah
didapatkan dengan teknik ini. Oklusi dievaluasi, keadaan dan
kualitas gigi perlu dicatat, faktor ini berpengaruh besar terhadap
metode perawatan.5
Daerah ekimosis, terutama pada palatum, merupakan gambaran
umum pada fraktur maksila. Faring diperiksa untuk laserasi atau
perdarahan retrofaringeal. Pasien sebaiknya ditanya mengenai
keluarnya cairan rasa metal dan asin, yang merupakan indikasi
terdapatnya drainase cairan serebrospinal.

Gambar4. Ekimosis subkonjungtival

16
Gambar 5. Ekimosis sirkumorbital bilateral (racoon eyes)

Pada Le Fort II, tanda dan gejala yang dapat kita temukan adalah
adanya oedem wajah dan terjadi retrusi mid fasial yang menyebabkan wajah
terlihat datar. Keadaan ini disebut sebagai deformitas dish face atau pan face.
Terjadi haemoragi subkonjunctiva dan diplopia. Kadang timbul parestesi
daerah pipi karena trauma pada nervus infraorbita. Terdapat hematom pada
sulcus bukalis rahang atas posterior, karena garis fraktur melewati tulang
zygoma.Segmen maksila bergeser ke posterior dan inferior, hal ini akan
menyebabkan kontak prematur gigi molar dan open bite anterior.12

Gambar 6. Openbite anterior.

b. Pemeriksaan Intraoral
Pemeriksaan intra oral dapat melihat keadaan oklusi, gigi
geligi, stabilitas alveolar ridge dan palatum serta jaringan lunak.
Palpasi intra oral dengan jari pada maksila dapat memberikan

17
informasi tentang integritas dinding nasomaksilaris, dinding sinus
maksilaris anterior, dan dinding zigomatikomaksilaris.
Selama pemeriksaan mata dan tulang orbita, dapat dilihat
integritas dari lingkar orbita dan dasar orbita, penglihatan,
pergerakan ektra ocular dan posisi bola mata, serta jarak
intercanthal. Tidak seperti fraktur Le fort II, Le fort III
berhubungan dengan adanya cedera pada zygomatikus. Perubahan
penglihatan menandakan adanya gangguan pada persyarafan mata,
masalah pada retina ataupun masalah neurologic lainnya.
Gangguan pada pergerakan ekstraokular atau enopthalmos
menandakan adanya suatu blow out pada dasar orbita.
Peningkatan jarak interchantal menandakan adanya perubahan
pada tulang frontomaksilaris atau tulang lacrimalis ataupun
adanya avulsi dari ligamentum canthal medialis . Dalamhal
kerusakan yang parah pada mata dan tulang orbita dapat
dikonsultasikan kepada opthalmologis.
Deformitas pada kontur tulang dapat tertutupi oleh
pembengkakan, tetapi permeriksaan dapat menemukan adanya
kehilangan kontinuitas tulang atau displacement. Gangguan pada
oklusi dapat melokalisir adanya fraktur. Pergerakan abnormal pada
tulang dapat didiagnosa dan jika terjadi maka akan diikuti oleh
sakit dan krepitasi akibat dari ujung tulang yang keras bergesekan
satu sama lain. Hilangnya fungsi pada rahang merupakan hal biasa
sebagai akibat dari trismus atau sakit.12
Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus pterygoid
medial yang kuat menciptakan tarikan posteroinferior pada segmen
yang bergerak menciptakan maloklusi klas III, kontak prematur
pada molar dan anterior open bite.4

18
Gambar 7. Pemeriksaan mobiliti pada maksila. A. Dahi difiksasi dengan tangan kiri, maksila
digoyang-goyangkan untuk menilai adanya mobiliti. B. Tangan kiri juga dapat diletakkan pada os nasal
untuk menilai mobiliti pada os nasal.11

Gambar 8. Metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le Fort. Gigi anterior dipegang dan maksila
dimanipulasi untuk memeriksa adanya pergerakan. Jika gerakan dapat dipalpasi pada jembatan nasal
(A), maka terdapat adanya Le Fort II atau III. Jika gerakan terdeteksi juga pada zigoma (B), maka
terdapat fraktur III. Apabila tidak terdeteksi adanya gerakan pada daerah tersebut namun maksila
mengapung, maka kemungkinan terjadi fraktur Le Fort I.9

Gambar 9. Saat melakukan pemeriksaan fraktur pada maksila, kepala distabilisasi lalu prosesus
dentoalveolar dimanipulsi sehingga adanya pergerakan segmen fraktur dapat dideteksi. Pemeriksaan

19
fraktur Le Fort II dan III dilakukan dengan cara satu tangan memegang puncak hidung sementara
tangan lain memanipulasi maksila. Pergerakan pada sutura nasofrontal menunjukkan kemungkinan
terdapatnya fraktur Le Fort II atau III.6

Perbedaan klinis fraktur maksila:

1. Le fort I
Manifestasi Klinis Le Fort I antara lain adalah:

Seluruh rahang atas dapat digerakan dengan mudah.

Kecuali apabila segmen fraktur mengalami impaksi kearah posterior.

Terjadinya kontak premature dari gigi posterior karena tulang maksila
turun dan menimbulkan open bite yang klasik.

Palpasi tulang alveolar pada jaringan pendukung akan terasa nyeri

Dapat dilihat dengan jelas pada foto roentgen dan sering adanya
gambaran sinus yang berkabut serta gangguan kontinuitas yang bilateral dari
dinding sinus maksila.10

2. Le fort II
Manifestasi klasik Le Fort II antara lain :

Oedema periorbital secara bilateral, diikuti dengan ecchymosis yang
memberikan kesan seperti raccoon sign (menyerupai kucing).

Hipoesthesia dari nervus infra orbital juga ditemukan, kondisi ini muncul
karena perkembangan odema yang sangat cepat.

Suatu maloklusi dapat terjadi bersamaan dengan open bite.

Suatu kelainan bentuk ini dapat dideteksi pada daerah rima infra orbital atau
daerah sutura naso frontal. Cara pendeteksian ini dapat dengan mengandalkan
genggaman pada gigi anterior maksila dan menggerakannya arah anterior-

20
posterior, sehingga frakmen yang pecah dari lantai orbita atau dinding media
bisa terlihat dan ikut bergerak.

Dari gambaran foto roentgen dapat terlihat pemisahan atau pergeseran pada
sutura zygomaticomaksilaris serta terputusnya kontinuitas rima orbital
inferior didekat sutura tersebut.5,10

3. Le fort III
Manifestasi klinis Le Fort III antara lain :

Sering terlihat kebocoran cairan cerebrospinal akibat sobeknya meninge


(selaput otak)

Oedema yang hebat dan ecchymosis peri orbital terlihat bilateral karena
terjadinya perdarahan subkonjungtiva dalam berbagai tingkat keparahan.

Trauma telecantus dapat terasa seperti halnya juga ephypora. Ada baiknya
temuan ini dikomfirmasikan dengan CT coronal dan sagital scan, hal ini
berguna dalam rencana perawatan dan pertolongan nyawa pasien.

Fraktur ini biasanya diikuti dengan fraktur zygoma, dan naso orbita
eithmoid, luka yang dihasilkan pun berfariasi.

Pada waktu dilakukan tes mobilitas dari maksila akan memperlihatkan


pergerakan dari seluruh bagian atas wajah. 5,10

21
Gambar 10.Gambaran Klinis Fraktur Le Fort III

2.6.PERAWATAN

Prinsip umum perawatan terhadap fraktur Le Fort terdiri dari reduksi, fiksasi,
mobilisasi, dan imobilisasi. Beberapa jenis tekhnik reduksi pada fraktur maksila:

1. Reduksi tertutup (close red)


Metode ini dilakukan tanpa melakukan insisi untuk mereduksi kembali
bagian tulang yang fraktur seperti pada fragmen fraktur ini bergerak, biasanya
gigi geligi yang terdapat pada segmen fraktur mengalami kegoyahan. Pada
kasus ini dibutuhkan tekanan berulang (digital) untuk mereduksi tulang yang
patah.
Pada kasus fraktur unilateral maksila atau terpisahnya sisi kanan dan
kiri palatum pada sutura palatine, maka digunakan alat Rowe Disimpaction
forceps atau Hayton-Williams forcep untuk mereduksi kembali kedua sisi
palatum tersebut. Arch bar dipasang pada lengkung maksila dan mandibula.
Gigi yang goyah diikat dengan kawat (wiring) kearch bar maksila, sedangkan
gigi yang terdapat pada segment yang tidak fraktur dilindungi dengan fiksasi
intermaksila. Kemudian fiksasi dilanjutkan kedaerah fraktur yang telah
direduksi tadi. Fiksasi dibiarkan selama 4 sampai 6 minggu didalam mulut
pasient dan pasien diberikan diet lunak selama fiksasi.

22
Indikasi dilakukannya metode tertutup pada fraktur maksila adalah:

Dimana pada pemeriksaan klinis dan radiografis tidak memperlihatkan


gambaran perobahan letak pada kedua segmen fraktur atau segmen
frakturnya terletak pada variable yang stabil dari tekanan otot-otot
mastikasi(Undisplacement fracture).
Pada pasien yang edentulous (tidak bergigi) dan fraktur maksila secara
radiology memperlihatkan perobahan letak yang minimal dan letak garis
fraktur kemudian menjadi stabil oleh otot-otot pengunyahan. Maka union
tulang pada fraktur ini dapat menjadi penghubung yang baik.
Pasien dengan fraktur yang menimbulakan kerusakan pada otak dan tidak
adanya rangsangan untuk bangun, maka metode terbuka untuk sementara
merupakan kontra indikasi.
2. Reduksi terbuka (open red)
Metode ini lebih baik untuk kasus fraktur maksila khususnya yang
komplek. Dengan metode ini dapat dicapai immobilisasi fraktur yang
sempurna dan fiksasi yang kuat dan rigid. Metode ini dimulai dengan tahapan
sebagai berikut:

1. Pembukaan flap dengan insisi vestibular secara bilateral.


2. Sisi fraktur disingkapkan dengan meretraksi flap tadi
3. Dilakukan pembersihan segment pada garis fraktur.
4. Dilakukan perlekatan kembali kontunuitas tulang yang terputus.
5. Fiksasi garis fraktur dengan wiring atau mini dan mikro plat serta bautnya.
6. Tutup daerah operasi dengan mengembalikan flap pada posisi awal dan
dijahit
7. Fiksasi inter maksila selama 4 minngu (masa penyembuhan)
8. Pasien diberikan diet lunak selama fiksasi dengan kandungan gizi yang
cukup.

23
Indikasi dilakukannya metode fraktur terbuka adalah sebagai berikut:

Apabila metode tertutup gagal dilakukan


Fraktur dengan displacement yang kearah bawah dengan segala
komplikasinya seperti open bite klasik, elongasi fasial dana dish face.
Fraktur fasial kompleks dan multiple seperti Le fort I, II, III .
Fraktur dengan impaksi pada rahang bawah.
Fraktur yang memerlukan pemasangan miniplate dengan skrup untuk
reduksi dan stabilitas segment fraktur.
Fraktur yang membutuhkan bone graft.

Fiksasi dan Imobilisasi fraktur maksila

Ada beberapa macam alat untuk Immobilisasi fraktur maxilla yang


mana pada dasarnya menggunakan prinsip berikut ini:10

A. Fiksasi Intramaksila dan Intermaksila.


1. Hanya rahang atas saja yang dipasangkan alat fiksasi misalnya, dengan
memakai arch bar dari Erich. Contoh pada kasus fraktur sebagian kecil
dari prosesus alveolaris rahang atas (Intramaksila).
2. Pemasangan alat fiksasi pada gigi-geligi di maksila dan mandibula,
kemudian pada kedua rahang ini dipasang rubber elastic band melalui
kaitan atau hock pada acrh bar yang digunakan. Elastik hanya dipakai
pada gigi-geligi yang tidak mengalami fraktur rahang (berguna untuk
fraktur unilateral atau segmental ) sehingga tulang alveolar yang
mengalami fraktur akan terdorong keatas oleh tekanan gigi-geligi
dirahang atas dan rahang bawah(Intermaksila).

24
Gambar 11. Arch bar dan fiksasi intermaksilaris

B. Fiksasi Internal
Teknik ini ditemukan oleh Adam yang mana diindikasikan pada
fraktur horizontal yang sederhana dengan tidak terlibatnya tulang orbita.
Teknik ini menggunakan kawat suspensi (stainless steel ukuran 0.018
atau 0,2 inchi, 0,45 atau 0,5mm) yang dimasukan (diikatkan) pada titik
tertentu di tulang bagian superior. Bagian yang paling sering digunakan adalah
Apertura piriformis, Spina nasalis, tonjolan Malar, Arcur zygomatikus,
Prosesus zygomatikus ossis frotalis dan pinggiran tulang infra orbita.
kemudian kawat menelusuri daerah fasial terus kebawah dan kemudian
dihubungkan (diikatkan) pada arch bar yang telah dipasang pada gigi-geligi
rahang atas (terhadap maksila) disebut fiksasi kraniomaksila. Sedangkan pada
ikatan atau perlekatan kawat terhadap mandibula disebut fiksasi
kraniomandibula. Gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan
fiksasi Intermaksila (Transosseous wiring fixation). Apabila mandibula utuh
atau karena perawatan bisa stabil, maka fiksasi kraniomandibula lebih
dianjurkan dibanding perawatan fiksasi kraniomaksila, karena perlekatan ini
memberikan hasil terbaik untuk mempertahankan posisi komponen maksila
yang mengalami fraktur.
C. Fiksasi eksternal
Pesawat Cranio-Maxilla
Dimana digunakan suatu alat Head Appliances yang dihubungkan
dengan alat lain yang dipasang pada maksila. Head appliances yaitu suatu alat

25
yang dipasang pada kepala yang berfungsi sebagai penahan untuk fiksasi
fraktur maksila dengan tulang cranial. Alat ini ada beberapa macam yang
biasa digunakan yaitu:

Plaster of Paris head cap.


Woodards appliance.
Englands appliance.
Bisnoffs head band.
Crawford head frame.
Crawford bloom head appliance

Pesawat Cranio Maxilla sendiri ada beberapa macam yaitu;

a. Pesawat C-M yang menggunakan Kingsley splint yang dapat dihubungkan


dengan berbagai macam splint yang diletakan pada gigi-gigi dirahang atas
seperti:
Wire splint
Cast metal splint
Band orthodontic
Pada pasien edentulous digunakan modifikasi dari kingsley sendiri.
b. Pesawat C-M yang menggunakan Steinmann pin, dimana pin ini dimasukan
kedalam tulang alveolar rahang atas yang mengalami fraktur melalui pipi lalu
pin ini dihubungkan kembali kealat head appliance.
c. Pesawat C-M yang menggunakan cranio fasial wire. Ditemukan oleh Erich,
dimama kawat dihubungkan dengan arch bar yang telah dipasang sebelumnya
pada rahang atas ( gigi-geligi ), kawat ini menembus pipi lalu dihubungkan
denga head appliance. Pemakaian alat ini diindikasikan pada fraktur dengan

26
tidak adanya perubahan tempat dari rahang (fragmen) dan mandibula dapat
bergerak untuk berbicara dan makan (makanan lunak).

Pesawat Cranio Mandibula

Pada metode ini gigi-geligi pada kedua rahang berada dalam keadaan
oklusi dengan menggunakan Intermaksila wiring fixation dan eksternal
traction. Pesawat ini pun ada beberapa macam yaitu :

a. Pesawat C-mand dengan menggunakan Traction bandage (head bandage).


Terdiri dari Barton bandage denagn elastic yang dilekatkan pada kedua
sisi dengan menggunakan plaster. Ini untuk perawatan sementara dari
fraktur rahang.
b. Peasawat C-mand dengan menggunakan Steinmann-pin yang dimasukan
kedalam corpus mandibula , dibagian luar dihubungkan dengan Frac-sure
link vertical rod dikedua sisi. Frac-sure rods ini dihubungkan dengan head
appliance
c. Pesawat C-mand dengan half pin hamper sama dengan Steinmann pin,
juga digunakan Frac-sure rods dipakai sebagai penghubung dengan head
appliance.
d. Pada kasus tidak bergigi digunakan Gunning splint yaitu suatu acrilik
aplint yang digunakan sebagai alat fiksasi mandinbula.

Pesawat Malar-Mandibula fixation


Pesawat ini ditemukan oleh Gross, yang mana dua buah pin
dimasukan kedalam tulang pipi kiri dan kanan. Pin ini lalu dihubungkan
dengan pin yang telah dipasang pada corpus mandibula melalui suatu batang
penghubung (rods) atau rubber elastic band.

27
Gambar 12. Fiksasi kraniomaksilar

Tahapan perawatan pada fraktur Le Fort:

1. Perawatan Fraktur Le Fort I


Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka
maupun metode tertutup tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun
untuk fraktur maksila yang meliputi le fort I, II, III atau yang diikuti kelainan
oklusi sebaiknya dilakukan dengan metode terbuka.5,10
Aturannya, reduksi dini fraktur Le Fort I memberikan kesulitan
minimal. Di atas 7 hingga 10 hari, perlu tenaga tambahan untuk melakukan
reduksi sempurna. Fraktur dr pergeseran minimal direduksi di diimobilisasi
secara ideal dengan reduksi terbuka dan immobilisasi diperoleh dengan
penempatan plat yang tepat. Sebagai alternatif yang kurang ideal, melakukan
fiksasi intermaksilari selama sebulan, biasanya cukup untuk terjadi
penyembuhan. Pada kasus fraktur remuk yang parah, diperlukan perpanjangan
periode fiksasi hingga 6 minggu. Fraktur impacted atau fraktur yang tidak
mudah direduksi karena penyatuan dini oleh jaringan ikut (fibrous union)
sebaiknya direduksi dengan menggunakan tang disimpaksi Rowe atau

28
Hayton-Williams. Paruh dari tang Rowe ditempatkan sepanjang dasar hidung,
dan sisi lainnya pada palatum keras (gambar). Digunakan secara sepasang
atau sendiri. Untuk melindungi mukosa hidung dan mukoperiosteum palatum,
dapat ditempatkan ujung karet pada paruh tang. Gunakan gerakan menekan
atau memutar, maksila ditarik ke depan dan ke bawah.5

Gambar 13.Penggunaan tang disimpaksi Rowe untuk mereduksi maksila

2. Perawatan Fraktur Le Fort II

Reduksi tertutup yang dilakukan pada fraktur Le Fort II mudah dilakukan


dengan tang disimpaksi Rowe. Fiksasi intermaksilari kemudian dilakukan untuk
memperbaiki posisi anteroposterior fraktur. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
mendapat stabilitas dan penyembuhan yang adekuat. Imobilisasi dilakukan minimal 4
minggu.

Sebagai alternatif, dapat dilakukan reduksi terbuka. Pada fraktur Le Fort II


dilakukan insisi pada sulkus bukalis, pembukaan tambahan ke superior sering
dibutuhkan untuk akses yang cukup dari orbital rim. Hal ini dapat dicapai dengan
insisi subsiliary atau transkonjunctiva. Perawatan dimulai dengan pemasangan IDW

29
untuk mendapatkan oklusi. Pada umumnya segmen maksila pyramidal yang bebas
distabilisasi ke tulang zygoma yang intak. Fiksasi dapat dilakukan dengan mini plate
yang menjangkau penyangga zygomaticomaksilaris.12

Setelah dilakukan reduksi pada fraktur, terdapat variasi pilihan untuk


imobilisasi. Minimal fiksasi tiga-titik atau mungkin empat-titik diperlukan. Hal ini
dapat diperoleh dengan membuka regio sutura zigomatikomaksilaris baik dari rima
inferior maupun intraoral, atau dapat juga menggunakan daerah sutura nasofrontal.
Kombinasi yang diperlukan tergantung pada kebutuhan untuk mengeksplor dasar
orbita, atau rekonstruksi rima inferior, atau keduanya, dan rekonstruksi regio
nasofrontal karena daerah ini sering kali terjadi keremukan.5

Pilihan lain dari perawatan pada fraktur Le Fort II yaitu imobilisasi sutura
nasofrontal. Dapat dilakukan dengan bilateral Lynch, open sky, atau insisi flap
koronal, atau melalui laserasi yang sudah ada. Semua pendekatan ini dapat
memberikan akses yang baik ke daerah sutura nasofrontalis. Penempatan plat pada
daerah ini dapat memberikan kestabilan dan keamanan dalam arah superior posterior.

3. Perawatan Fraktur Le Fort III

Fraktur Le Fort III secara esensial merupakan kombinasi fraktur zigoma


bilateral dan fraktur pada kompleks nasal-orbital-ethmoid (NOE). Terdapatnya jejas
yang remuk dan parah bervariasi, tetapi prinsip perawatannya identik dengan yang
lain.5

Prinsip umum perawatan fraktur ini yaitu, reduksi dan imobilisasi


zigomatikofrontal, zigomatikotemporal, dan sutura nasofrontal, serta reduksi yang
tepat dari maksila ke wajah tengah inferior. Pada gilirannya, oklusi yang baik harus
didapatkan untuk mendapatkan posisi anteroposterior dan lateral wajah tengah.5

Dalam perawatan fraktur Le Fort III, kita menstabilisasi segmen tulang yang
bergerak untuk stabilisasi mandibula dan tulang kranium. Awalnya, rahang atas harus

30
dalam kondisi tidak terpendam(direposisi) dan MMF dilakukan. Insisi jaringan lunak
dapat dilakukan di lokasi yang sama seperti untuk fraktur Le Fort II. Insisi alis lateral,
lipatan glabela, atau flap kulit kepala bicoronal dapat digunakan untuk topangan
tambahan pada tulang frontozigomatik. Flap bicoronal dapat diperpanjang untuk
mencapai akses ke lengkung zigoma. Flap bicoronal harus dirancang hati-hati untuk
menghindari cedera pada cabang saraf wajah. Ketika flap dibuat pada area lengkung
orbita, perikranium dapat diinsisi tepat di atas lengkung untuk menjaga suplai darah
dari daerah supraorbital dan supratroklearis ke flap. Pada daerah lateral, kita
melakukan diseksi superfisial dari fasia temporalis. Dalam mencapai lengkung
zigomatik, kita lakukan insisi fasia temporalis di atasnya. Perluas bidang insisi ke
dalam fasia sampai tulang zigoma yang fraktur. Patahan tulang kemudian dapat
dikurangi dengan elevator kaku. Jika terpendam atau comminuted, fiksasi langsung
mungkin diperlukan. Jangan gunakan flap bicoronal dalam situasi dimana flap
membutuhkan suplai arteri temporal. Garis rambut yang terlalu mundur juga dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk menggunakan tipe insisi lain. Sehubungan dengan
tindakan fiksasi pada fraktur maksila, kurangi dan stabilkan setiap patahan tulang
yang terlibat. Setelah ini dilakukan dan segmen fraktur terlihat, maka fiksasi dapat
dilakukan. Fiksasi Miniplate saat ini merupakan tipe yang paling dapat diandalkan.
Gunakan template lunak, pelat pembentuk kontur yang akurat dan monocortical serta
sekrup self-tapping. Gunakan pelat yang menjangkau seluruh penopang utama. Pada
fraktur Le Fort III sejati, fiksasi zygomaticofrontal bilateral mungkin sudah cukup.
Namun, secara umum, tetap dibutuhkan fiksasi tambahan (misalnya, nasomaxillary,
nasofrontal, lengkung inferior orbital, lengkung zigomatic). Gunakan sesedikit
mungkin pelat untuk mencapai fiksasi; pelat berlebihan tidak diperlukan. Interoseus
wiring dan suspension wiring digunakan pada fraktur Le Fort III, tetapi hasilnya tidak
sebaik miniplate fiksasi karena vektor gaya untuk mempertahankan reduksi kurang
akurat dan micromotion meningkat.

2.7. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

31
Setelah dilakukan pemeriksaan klinis pada area fasial dan keadaan pasien stabil,
pemeriksaan radiologi harus dilakukan untuk memberikan tambahan informasi
tentang trauma fasial. Evaluasi pada fraktur midfasial secara umum ditambahkan
dengan gambaran radiografik, minimal foto Waters, scheidel anteroposterior, lateral
dan foto submentovertex. Foto Townes sangat bermanfaat dalam menggambarkan
lengkung zigomatikus dan rami mandibula. Lengkung zigoma paling bagus
digambarkan pada foto submentovertex. Foto Waters memperlihatkan antrum hampir
jelas. Foto lateral skull berguna dalam menggambarkan kehadiran cairan pada sinus
paranasal dan udara intrakranial. Jika pasien tidak dapat tengkurap, dapat
menggunakan reverse Waters (frontoosipital). Kekurangannya yaitu bertambahnya
jarak antara tulang wajah ke film.5

Gambar 14. Waters view memperlihatkan gambaran fraktur Le Fort II yang membentuk
segmen fraktur bentuk Piramid. Tampak fraktur pada hidung, os.lakrimal, dinding orbita
media, dasar orbita, maksilla anterior, lempeng pteriogoid.

Gambar 15. Foto waters lateral menunjukkan fraktur Le Fort II

32
Namun, dikarenakan kesulitan untuk menginterpretasi foto polos midfasial,
teknik yang lebih memuaskan biasanya digunakan. Biasanya menggunakan CT
(Computed Tomography) scan atau rekonstruksi 3-D.6

Scan yang diambil secara baik dan hasil tepat, dapat menjadi alat diagnostik
radiologi tunggal, tanpa foto lain. CT scan juga menggambarkan terdapatnya edema
dan kehadiran benda asing yang sering terlewat pada foto konvensional.

Gambar 16. CT scan axial menunjukkan fraktur Le Fort II

Gambar 17. Gambaran 3D fraktur Le Fort II.

2.8. KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur maksila dan


penyembuhannya biasanya tidak tampak hingga beberapa minggu hingga bulan
setelah terjadinya trauma, tetapi potensi kemunculannya dapat diperkirakan selama
evaluasi dan perawatan.6

33
Komplikasi yang mungkin terjadi sehubungan dengan fraktur maksila antara
lain:6

1. Parestesi n.infraorbital
2. Enopthalmus
3. Infeksi
4. Alat terekspos
5. Deviasi septum
6. Obstruksi nasal
7. Perubahan penglihatan
8. Nonunion
9. Malunion atau maloklusi
10. Epiphora
11. Reaksi benda asing
12. Jaringan parut
13. Sinusitis

Terjadinya obstruksi jalan nafas perioperatif dan postoperatif jarang terjadi


pada fraktur maksila tunggal. Bagaimanapun, kondisi ini dapat terjadi sehubungan
dengan ekstubasi, dengan hematom septum atau nasal packing, dan dengan edem
berat jaringan lunak yang menghalangi pernafasan melalui jalan nafas nasal. Pasien
dengan fiksasi intermaksilari dan gigi lengkap biasanya mengalami kesulitan
pernafasan pada saat ini. Reintubasi, pembukaan jalan nafas nasofaringeal, dan
pembukaan fikasi intermaksilari dapat efektif menghilangkan gangguan jalan nafas.
Faktur pada septum nasal yang tidak diperbaiki dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi jalan nafas postoperatif yang akan tetap ada hingga semua pembengkakan
jaringan lunak hilang.6

Sinusitis akut dapat terjadi akibat tindakan intubasi trakheal yang


berkepanjangan. Sinusitis akut atau kronik dapat juga terjadi pada sinus ethmoid,
sphenoid, frontal, dan maksila, karena fraktur dapat mengobstruksi duktus sinus atau
ostia.6

Hemoragi post operatif dapat terjadi jika arteri dan vena tidak diligasi ketika
memperbaiki laserasi, jika reduksi tulang inadekuat dapat menyebabkan perdarahan

34
berlanjut, jika terjadi aneurisma, atau jika arteri sebagian terpotong. Laserasi
sebaiknya diperiksa ulang sehingga hemoragi dapat dikontrol. Hematom yang ada,
sebaiknya didrainase. Pada perdarahan tulang sebaiknya dilakukan reduksi ulang atau
menggunakan bone wax. Hemoragi dari arteri utama harus segera ditangani, apabila
sumbernya tidak dapat diidentifikasi, maka perlu dilakukan arteriografi dan
embolisasi.Aneurisma dan pseudoaneurisma merupakan komplikasi trauma pada
maksilofasial tetapi jarang terjadi akibat fraktur maksila tersendiri.6

Karena kedekatan maksila dengan orbita, maka dapat terjadi komplikasi yang
berhubungan dengan penglihatan. Kebutaan jarang terjadi sehubungan dengan fraktur
midfasial dan paling sering terjadi pada pola fraktur yang melibatkan orbita,
seringkali dengan mekanisme jejas yang lebih berat. Kebutaan postoperatif imediet
dapat merupakan komplikasi reduksi pada fraktur Le Fort III (atau fraktur yang
melibatkan orbita) dan terjadi akibat peningkatan hemoragi atau tekanan intraorbital,
spasme arteri retinal, hemoragi retrobulbar, dan menekannya fragmen tulang pada
nervus optikus. Fraktur pada dasar orbita yang tidak terdiagnosa atau ditangani
dengan tidak adekuat (sendiri atau kombinasi dengan komponen zigoma) dapat
menyebabkan terjadinya enopthalmus dan diplopia.6

Komplikasi postoperatif lain yaitu salah penempatan segmen tulang atau alat
fiksasi. Komplikasi ini dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis (misal,
maloklusi) atau pemeriksaan radiografi postoperatif. Perlu dilakukan prosedur
pembedahan kedua untuk memperbaiki komplikasi tersebut.6

2.9. PROGNOSIS
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu
yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera
mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur
dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi
pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi

35
dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani setelah
beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara parsial,
hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan kalau pun
dilakukan tetap sulit untuk direduksi.7

2.10. Fraktur Maksila pada Anak


Pola cedera wajah pada anak-anak berbeda dengan dewasa karena adanya
perbedaan karakteristik anatomi dan fisiologi pada tahap-tahap perkembangan wajah,
batasan pneumatisasi sinus paranasal, dan fase-fase pertumbuhan gigi. Pada anak
terdapat 3 fase pertumbuhan gigi: (1) fase desidua, sekitar usia 2 tahun, (2) fase
campuran, dari usia 6-12 tahun, dan (3) fase permanen pada sekitar usia 13 tahun.
Pergigian yang inkomplit memberikan kekuatan tambahan terhadap maksila dan
mandibula, karena adanya tooth buds yang meningkatkan stabilitas dan elastisitas
tulang. Anak - anak memiliki resistensi yang lebih tinggi terhadap fraktur wajah.
Kerentanan anak terhadap fraktur greenstick juga lebih tinggi. Hal tersebut terjadi
akibat perbedaan struktur tulang pada anak. Diantaranya; banyaknya kartilago,
mineralisasi yang rendah dan korteks yang belum berkembang sehingga elastisitas
dan fleksibilitas tulang anak lebih tinggi. Lapisan tebal jaringan adiposa yang
melapisi sebagian besar rangka wajah anak serta fat pads yang mengelilingi rahang
atas maupun bawah juga membantu melindungi tulang tersebut Dengan demikian
manajemen terapeutik fraktur maksila pada pediatri bergantung pada fase pergigian
dan tentunya jenis fraktur itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.3 Tidak ada konsensus yang jelas tentang metode fiksasi optimal untuk fraktur
wajah pediatri. Yang umum dipakai adalah alat-alat titanium semirigid. Namun fiksasi
internal dengan alat ini masih kontroversial karena membutuhan pendekatan bedah
terbuka dengan diseksi subperiosteum, yang dapat membahayakan periosteum dan
mengganggu pertumbuhan selanjutnya. Selain itu, diperlukan operasi kedua untuk
mengambil dan membuang alat fiksasi tersebut. Oleh karena itu dikembangkan
alternatif system plat yang terbuat dari polimer bioarbsorbable yang tidak

36
memerlukan operasi kedua untuk membuang alat tersebut serta tidak perlu khawatir
untuk efek pemakaian jangka panjang.3 Komplikasi fraktur wajah pada pediatric
jarang terjadi. Komplikasi biasanya terjadi pada fraktur comminuted dan dengan
displacement yang parah. Komplikasi dapat berupa ganguan pertumbuhan sekunder
terhadap fraktur yang parah. Asimetrisitas dapat terjadi akibat overgrowth atau
undergrowth pada tulang. Kegagalan penyatuan fraktur dan penyatuan fibrosa
Hampir tidak pernah ditemukan pada anak karena potensial osteogenik dan proses
penyembuhan yang cepat. Ganguan perkembangan gigi normal juga dapat terjadi
terutama selama fase desidua dan fase campuran desidua permanen. Namun
ketidakteraturan oklusi gigi terkoreksi secara spontan sebagaimana gigi susu lepas
dan digantikan dengan gigi permanen.3

37
BAB III
KESIMPULAN

Fraktur pada maksila merupakan fraktur yang paling sering terjadi pada suatu
jejas yang mengenai wajah tengah. Wajah tengah memiliki pilar-pilar yang dapat
menentukan pola fraktur tertentu. Le Fort merupakan orang pertama yang
menggambarkan klasifikasi fraktur pada wajah tengah, yang disebut sebagai
klasifikasi fraktur Le Fort I, II, dan III, tergantung tulang-tulang yang terlibat. Prinsip
perawatan terhadap fraktur Le Fort yaitu reduksi, fiksasi, imobilisasi, dan mobilisasi.
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur maksila dan biasanya
tidak tampak hingga beberapa minggu hingga bulan setelah terjadinya trauma. Pola
fraktur yang terjadi tidak selalu mengikuti pola Le Fort I, II, maupun III secara
teoritis, namun lebih sering merupakan kombinasi klasifikasi tersebut.

Adapun Beberapa hal mendasar mengenai fraktur maksila diantaranya;


1. Untuk terjadinya fraktur maksila baik itu Le Fort I, II, maupun III, prosesus
pterigoid harus mengalami disrupsi.
2. Adanya mobilitas dan maloklusi pada pemeriksaan fisik merupakan Hallmark
dari fraktur maksila walaupun tidak semua fraktur maksila menimbulkan
mobilitas.
3. Pemerikasaan radiologi baik itu foto polos maupun CT scan diperlukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis, namun CT scan merupakan pilihan utama.
4. Faktur maksila umumnya memiliki prognosis yang cukup baik apabila
penanganan dilakukan dengan cepat dan tepat, namun dapat timbul
komplikasi yang dapat menimbulkan kecacatan maupun kematian apabila
tidak tertangani dengan baik.
5. Fraktur maksila pada anak berbeda dengan dewasa karena adanya
pertumbuhan dan perkembangan yang lebih menonjol pada anak.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Fraioli Rebecca E, MD,et al. Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol


Clin N.Am.2008; 41:51-76.
2. Tiwana Paul S, et al. Maxillary Sinus Augmentation. Dent Clin N Am.2006;
50: 409-424.
3. Alcala-Galiano Andrea, MD, et al. Pediatric Facial Fractures: Children Are
Not Just Small Adults. Radiographics. 2008; 28:441-461.
4. Thaller, S.R., McDonald, W.S. 2004. Facial Trauma. Miami: Marcel Dekker,
Inc.
5. Fonseca. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma vol.2. St. Louis: Elsevier.
6. Peterson. 2004. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd ed.
Hamilton: BC Decker Inc.
7. Hopper Richard A, MD, et al. Diagnosis of Midface Fractures with CT :
What the Surgeon Need To Know. Radiographics. 2006; 26:783-793.
8. Rhea James T, Novelline Robert A. How to simplify the CT diagnosis of Le
fort Fractures. AJR. 2005; 184:1700-1705.
9. Ellis, Edward. 2000. Assesment of Patients with Facial Fractures.Dallas:
Saunders.
10. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut.Jakarta: EGC.
11. Peterson. 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 4th ed. St.
Louis: Mosby.
12. Moore, U.J. 2001. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed.
Oxford: Blackwell-Science.

39

Anda mungkin juga menyukai