Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR MAXILLAFACIAL

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Pengertian

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau


tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Andreasen et al., 2008).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya. Fraktur adalah setiap retak atau patah tulang
yang utuh. Fraktur maxilla adalah kerusakan pada tulang maxilla yang
seringkali terjadi akibat adanya trauma, periodonitis (reaksi peradangan
pada jaringan sekitar gigi yang terkadang berasal dari peradangan
gingivitis di dalam periodontium) maupun neoplasia (Grace and Borley,
2009).
2. Etiologi

Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses

patologis

a. Traumatic Fracture

Fraktur yang disebabkan oleh pukulan saat :

1) Perkelahian

2) Kecelakaan

3) Tembakan

b. Pathologic Fracture
Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang

dalam keadaan sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada

trauma ringan seperti berbicara, makan dan mengunyah dapat

terjadi fraktur. Terjadi karena :

1) Penyakit tulang setempat

a) Kista

b) Tumor tulang jinak atau ganas

c) Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali

sehingga dengan atau tanpa trauma dapat terjadi

fraktur, misalnya pada osteomielitis

2) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang

mudah patah

a) Osteomalacia

b) Osteoporosis

c) Atrofi tulang secara umum

3. Patofisiologi

Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari

massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik

saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera.

Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai

besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak

parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang

dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda


regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang

frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah

dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak

zygoma dan tulang hidung.

Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat  dari pukulan

berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin

terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior

sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.

Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu

fraktur yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial.

Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital

meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-

bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi

orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera

okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.

Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan

oleh trauma langsung.

Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan

trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan

kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran

nasofrontal.
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke

lengkung zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan

jahitan zygomaticotemporal.

Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini

menyebabkan patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan

memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan

zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis

fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai

orbit. Cedera mata serentak yang umum.

Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder

dengan bentuk U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi

bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.

Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan

rendah energi langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur

melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang bawah

Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi

mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih

rendah

4. Klasifikasi Fraktur

a. Single Fracture

Fraktur dengan satu garis fraktur

b. Multiple Fracture
Terdapat dua atau lebih garis fraktur yang tidak berhubungan satu

sama lain.

Unilateral = jika kedua garis fraktur terletak pada satu sisi

Bilateral = jika satu garis fraktur pada satu sisi dan garis fraktur lain

pada sisi lain

c. Communited Fracture

Tulang hancur atau remuk menjadi beberapa fragmen kecil 1 atau

berkeping-keping, misalnya symphis mandibularis dan di daerah

anterior maxilla

d. Complicated Fracture

Terjadi suatu dislokasi/displacement dari tulang sehingga

mengakibatkan kerusakan tulang-tulang yang berdekatan, gigi dan

jaringan lunak yang berdekatan

e. Complete Fracture

Tulang patah semua secara lengkap menjadi dua bagian atau lebih

f. Incomplete Fracture

Tulang tidak patah sama sekali, tetapi hanya retak juga penyatuan

tulang tidak terganggu. Dalam keadaan seperti ini, lakukan dengan

bandage dan rahang diistirahatkan 1-3 minggu

g. Depressed Fracture

Bagian tulang yang fraktur masuk ke dalam satu rongga. Sering pada

fraktur maxilla yaitu pada permukaan fasial dimana fraktur tulang

terdorong masuk ke sinus maxillaris


h. Impacted Fracture

Dimana fraktur yang satu didorong masuk kef ragmen tulang lain.

Sering pada tulang zygomaticus

5. Pembagian Area Fraktur pada Rahang

a. Rahang Atas Maxilla (Killey)

1) Dento Alveolar Fracture

Suatu fraktur di daerah prosessus maxillaries yang belum

mencapai daerah Le Fort I dan dapat terjadi unilateral maupun

bilateral. Fraktur ini meliputi processus alveolaris dan gigi-gigi.

Gejala Klinik :

Extra Oral :

a) Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi

pada bibir sering disertai perdarahan, kadang-kadang

terdapat patahan gigi dalam bibir yang luka tersebut

b) Bibir bengkak

c) Echymosis dan hematoma pada muka

Intra Oral :

a) Luka laserasi pada gingival daerah fraktur dan sering

disertai perdarahan

b) Adanya subluxatio pada gigi, sehingga gigi tersebut

bergerak, kadang-kadang berpindah tempat

c) Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang

alveolusnya
d) Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya kamar

pulpa

2) Le Fort I

Pada fraktur ini, garis fraktur berada diantara dasar dari sinus

maxillaris dan dasar dari orbita. Pada Le Fort ini seluruh

processus alveolaris rahang atas, palatum durum, septum nasalis

terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang dapat

digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh

jaringan lunak saja, maka terlihat seperti tulang rahang tersebut

mengapung (floating fracture). Fraktur dapat terjadi unilateral

atau bilateral. Suatu tambahan fraktur pada palatal dapat terjadi,

dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.

Gejala Klinik :

Extra Oral :

a) Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum

b) Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris

c) Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena

fraktur, kadang-kadang terdapat infraorbital echymosis

dan subkonjunctival echymosis

d) Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior

rahang atas dan rahang bawah telah kontak lebih dulu

Intra Oral :

a) Echymosis pacta mucobucal rahang atas


b) Vulnus laceratum, pembengkakan gingival, kadang-

kadang disertai goyangnya gigi dan lepasnya gigi

c) Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi

yang luka, gigi fraktur atau lepas

d) Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah

3) Le Fort II

Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis,

ethmoid, sphlenoid dan sering tulang vomer dan septum nasalis

terkena juga

Gejala Klinik :

Extra Oral :

a) Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah

tersebut terasa sakit

b) Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas

hidung

c) Bilateral circum echymosis, subkonjungtival echymosis

d) Perdarahan dari hidung yang disertai cairan cerebrospinal

Intra Oral :

a) Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke

depan

b) Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar

mengunyah
c) Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum

lidah tertekan sehingga imbul kesulitan bernapas

d) Terdapat kelainan gigi berupa fraktur

e) Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan,

pada bagian hidung terasa adanya step atau bagian yang

tajam dan terasa sakit

4) Le Fort III

Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang

nasalis, maxillaries, orbita, ethmoid, sphlenoid dan zygomaticus

arch. Sepertiga bagian tengah muka terdesak ke belakang

sehingga terlihat muka rata yang disebut “Dish Shape Face”.

Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah

belakang dari M. Ptergoideus dimana otot ini melekat pada

sayap terbesar tulang sphlenoid dan tuberositas maxillary.

Gejala Klinik :

Extra Oral :

a) Pembengkakan hebat pada muka dan hidung

b) Perdarahan pada palatum, faring, sinus maxillaries, hidung

dan telinga

c) Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan

N.opticus dan saraf motoris dari mata yang menyebabkan

diplopia, kebutaan dan paralisis bola mata yang temporer

d) Deformitas hidung, sehingga muka terlihat rata


e) Adanya cerebrospinal rhinotthea dan umumnya bercampur

darah

f) Paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen

yang menyebabkan Bell’s Palsy

Intra Oral :

a) Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang

berat

b) Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan

c) Perdarahan pada palatum dan faring

d) Pernapasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah

6. Manifestasi Klinis

a. Nyeri pembengkakan

b. Tidak dapat menggunakan dagu bawah

c. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,

penganiayaan, tertimpa benda berat, trauma olah raga)

d. Deformitas

e. Kelainan gerak

f. Krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain

7. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Rontgen : Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma

b. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI : Memperlihatkan fraktur

juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan

lunak
c. Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vascular dicurigai

d. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi)

atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ

jauh pada trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respons

stress normal setelah trauma

e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk

klien ginjal

f. Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,

transfuse multiple atau cedera hati

8. Penatalaksanaan Medik

a. Konservatif : Imobilisasi, mengistirahatkan daerah fraktur

b. Operatif : Dengan pemasangan Traksi, Pen, Plate, Screw,

Wire

9. Komplikasi

Komplikasi terbagi dua pada saat kecelakaan atau luka dan setelah

penatalaksanaan atau operasi. Pada saat kecelakaan komplikasi yang

terjadi syok dan tekanan pada saraf, ligament, tendon, otot, pembuluh

darah atau jaringan sekitarnya.

Komplikasi post operatif berhubungan dengan penatalaksanaan

fraktur rahang termasuk maloklusi, osteomyelitis, sequester tulang,

penundaan union, non union, deformitas wajah, fistula oronasal dan

berbagai macam abnormalitas bentuk gigi.


Penyimpangan KDM

Trauma langsung trauma tidak langsung kondisi patofisiologis

Fraktur Pembedahan

Diskontinuitis tulang pergeseran fragmen Luka Insisi


Tulang

Perubahan jaringan Efek anestesi


Sekitar
Inflamasi bakteri

Laserasi Kulit Asites


Resiko Infeksi

Kerusakan Integritas Ketidak seimbangan


kulit nutrisi kurang dari
kebututuhan tubuh

Gangguan cutra tubuh Harga Diri Rendah

Nyeri Akut
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses dimana kegiatan yang

dilakukan yaitu : Mengumpulkan data, mengelompokkan data dan

menganalisa data. Data fokus yang berhubungan dengan dispepsia

meliputi adanya nyeri perut, rasa pedih di ulu hati, mual kadang-kadang

muntah, nafsu makan berkurang, rasa lekas kenyang, perut kembung,

rasa panas di dada dan perut, regurgitasi (keluar cairan dari lambung

secar tiba-tiba) (Mansjoer A, 2000). Dispepsia merupakan kumpulan

keluhan/gejala klinis (sindrom) yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit

diperut bagian atas yang dapat pula disertai dengan keluhan lain,

perasaan panas di dada daerah jantung (heartburn), regurgitasi, kembung,

perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah,

dan beberapa keluhan lainnya (Warpadji Sarwono, et all, 1996, hal. 26).

2. Nursing Care Plan

DX TUJUAN DAN
NO INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1 Nyeri akut Tujuan : a. Kaji tingkat nyeri,
beratnya (skala 0 –
a. Terjadinya
10)
penurunan atau
b. Berikan istirahat
hilangnya rasa
dengan posisi
nyeri, dengan
semifowler
kriteria klien
c. Anjurkan klien
melaporkan
untuk menghindari
terjadinya
makanan yang dapat
penurunan atau
meningkatkan kerja
hilangnya ras nyeri.
asam lambung
d. Anjurkan klien
Kriteria hasil :
untuk tetap
a. Mampu mengontrol mengatur waktu
nyeri. makannya
b. Melaporkan bahwa e. Observasi TTV tiap
nyeri berkurang. 24 jam
c. Mampu mengenali f. Diskusikan dan
skala nyeri. ajarkan teknik
relaksasi

Kolaborasi dengan
pemberian obat analgesik
2 Harga Diri Rendah NOC NIC
a) Body Image, Self Esteem
Definisi : disiturbed Enhancement
Perkembangan b) Coping, ineffective a) Tunjukan rasa
persepsi negative c) Personal identity, percaya diri terhadap
tentang harga diri disturbed kemampuan pasien
sebagai respons d) Health behavior, untuk mengatasi
terhadap situasi risk situasi
saat ini (sebutkan) e) Self esteem b) Dorong pasien
situasional, low mengidentifikasi
kekuatan dirinya
Kriteria Hasil : c) Ajarkan keterampilan
a) Adaptasi terhadap perilaku yang positif
ketunadayaan melalui bermain
fisik : respon peran, model peran,
adaptif klien diskusi
terhadap tantangan d) Dukung peningkatan
fungsional penting tanggung jawab diri,
akibat jika diperlukan
ketunadayaan fisik e) Buat statement positif
b) Resolusi berduka : terhadap pasien
penyesuaian f) Monitor frekuensi
dengan kehilangan komunikasi verbal
aktual atau pasien yang negative
kehilangan yang g) Dukung pasien untuk
akan terjadi menerima tantangan
c) Penyesuaian baru
psikososial : h) Kaji alasan-alasan
perubahan hidup : untuk mengkritik atau
respon psikososial menyalahkan diri
adaptiv individu sendiri
terhadap i) Kolaborasi dengan
perubahan sumber-sumber lain
bermakna dalam (petugas dinas social,
hidup perawat spesialis
d) Menunjukkan klinis, dan layanan
Penilaian pribadi keagamaan)
tentang harga diri j) Counseling
e) Mengungkapkan k) Menggunakan proses
penerimaan diri pertolongan
f) Komunikasi interakftif yang
terbuka berfokus pada
g) Mengatakan kebutuhan, masalah,
optimisme tentang atau perasaan pasien
masa depan dan orang terdekat
h) Menggunakan untuk meningkatkan
strategi koping atau mendukung
efektif koping pemecahan
masalah
3 Gangguan Citra NOC NIC
Body image
Tubuh a. Body image
enhancement
b. Self esteem
Definisi : Konfusi      Kaji secara verbal dan
Kriteria Hasil :
dalam gambaran non verbal respon klien
a. Body image
mental tentang terhadap tubuhnya
positif
diri-fisik individu     Monitor frekuensi
b. Mampu
mengkritik dirinya
mengidentifikasi
     Jelaskan tentang
kekuatan
pengobatan, perawatan,
personal
kemajuan dan prognosis
c. Mendiskripsikan
penyakit
secara faktual
    Dorong klien
perubahan fungsi
mengungkapkan
tubuh
perasaannya
d. Mempertahankan
     Identifikasi arti
interaksi sosial
pengurangan melalui
pemakaian alat bantu
    Fasilitasi kontak dengan
individu lain dalam
kelompok kecil
4 Gangguan NOC NIC
Pressure Management
integritas kulit a. Tissue Integrity :
a. Jaga kebersihan
Skin and Mucous kulit agar tetap
Definisi : bersih dan kering
Membranes
b. Monitor kulit akan
Perubahan / b. Hemodyalis adanya kemerahan
gangguan c. Oleskan lotion atau
akses
minyak/baby oil
epidermis dan / pada daerah yang
atau dermis Kriteria Hasil : tertekan
d. Monitor status
a. Integritas kulit
nutrisi pasien
yang baik bisa e. Memandikan pasien
dengan sabun dan
dipertahankan
air hangat
(sensasi, elastisitas, b. Insision site care
a. Membersihkan,
temperatur, hidrasi,
memantau dan
pigmentasi) meningkatkan
proses
b. Tidak ada luka/lesi
penyembuhan pada
pada kulit luka yang ditutup
dengan jahitan, klip
c. Perfusi jaringan
atau straples
baik b. Monitor proses
kesembuhan area
d. Menunjukkan
insisi
pemahaman dalam c. Monitor tanda dan
gejala infeksi pada
proses perbaikan
area insisi
kulit dan d. Bersihkan area
sekitar jahitan atau
mencegah
staples,
terjadinya cedera menggunakan lidi
kapas steril
berulang
e. Gunakan preparat
e. Mampu antiseptic, sesuai
program
melindungi kulit
f. Ganti balutan pada
dan interval waktu yang
sesuai atau biarkan
mempertahankan
luka tetap terbuka
kelembaban kulit (tidak dibalut) sesuai
program
dan perawatan
alami

DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa

Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : MedAction

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:  MediAction.

Oetomo Koernia Swa. 2015. Trauma Maxillofascial. Dalam: Bedah Gawat

Darurat. Surabaya: RSUD Haji. Hal: 69.

Sjamsuhidajat R, Jong W. 2008. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi III. Jakarta : EGC

Suardi, NPEP & AA GN Asmara Jaya. 2011. Fraktur pada Tulang Maksila.

Bagian Ilmu Bedah RSUP Sanglah : Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana

Anda mungkin juga menyukai