Anda di halaman 1dari 34

Makalah Keperawatan Transkultural/Psikososial Budaya Dalam Keperawatan

PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA

Oleh : Kelompok 3

1. Fitriani NJ Ritutambu PO7120422022


2. Fitri Hardianti Abdullah PO7120422021
3. Dewi Sayedi PO7120422033
4. Mutia Khairunisa Limonu PO7120422019
5. Novrianti Yusuf PO7120422002

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


PRODI PROFESI NERS
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
nikmat sehat wal’afiat kepada kita semua baik sehat jasmani maupun rohani,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan PASIEN DENGAN
GANGGUAN JIWA.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kami memohon
maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan dan kesalahan-kesalahan
dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berjalan sesuai dengan apa yang
diharapkan. Demikian makalah ini kami buat, atas perhatian dan kerjasamanya
kami ucapkan terimakasih.

Palu, 23 Juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3 Tujuan .................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 5
2.1 Teori Model Keperawatan Transkultural Medeleine Leininger ............ 5
2.2 Nilai-Nilai Keluarga............................................................................... 9
2.3 Paradigma Keperawatan......................................................................... 10
2.4 Transculutural Nursing dalam Keperawatan ......................................... 12
BAB III CONTOH KASUS ............................................................................ 18
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 26
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 30
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 30
5.2 Saran ...................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di era globalisasi, pengetahuan tentang keperawatan sangat penting.
Terutamameliputi pemberian asuhan keperawatan bagi seluruh manusia untuk
memenuhi kebutuhan fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual baik klien
maupun keluarga. Ketika menggunakan pendekatan ini, perawat memerlukan
pengetahuan dan ketrampilan dalam hubungan interpersonal, psikologi,
pertumbuhan, dan perkembangan manusia,komunikasi dan sosiologi, juga
pengetahuan tentang ilmu-ilmu dasar dan ketrampilan keperawatan tertentu.
Perawat adalah pemberi jalan dalam menyelesaikan masalah dan juga sebagai
pembuat keputusan.

Seiring berkembangnya zaman di era globalisasi saat ini, terjadi peningkatan


jumlah penduduk baik populasi maupun variasinya. Keadaan ini memungkinkan
adanya multikultural atau variasi kultur pada setiap wilayah. Tuntutan kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas pun semakin tinggi. Hal ini
menuntut setiap tenaga kesehatan profesional termasuk perawat untuk mengetahui
dan bertindak setepat mungkin dengan prespektif global dan medis bagaimana
merawat pasien dengan berbagai macam latar belakang kultur atau budaya yang
berbeda dari berbagai tempat di dunia dengan memperhatikan namun tetap pada
tujuan utama yaitu memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas. Penanganan
pasien dengan latar belakang budaya disebut dengan transkultural nursing.
Tanskultural nursing adalah suatu daerah/wilayah keilmuan budaya pada proses
belajar dan praktek keperawatan yang fokusnya memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan
untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya

1
kepda manusia (Leininger, 2002). Proses keperawatan transkultural diaplikasikan
untuk mengurangi konflik perbedaan budaya atau lintas budaya antara perawat
sebagai profesional dan pasien.

Madeleine Leininger adalah ibu keperawatan transkultural, ia adalah pendiri


dan pemimpin internasional keperawatan transkultural. Perempuan kelahiran 13 Juli
1925, di di Sutton, Nebraska hidup bersama empat saudara laki-laki dan seorang
saudari. Mereka tinggal di sebuah lahan pertanian hidup.

Karirnya sebagai perawat diawali pada tahun 1945menjadi kadet di korps


perawat dan mengambil program diploma di sekolah perawat St. Anthony,
Denver. Ia bersama saudarinya bersekolah perawat di sana. Motivasinya
menjadi perawat saat itu karena kondisi sang bibi yang mengalami penyakit
jantung bawaan. Cita-citanya sebagai perawat adalah membuat perbedaan dalam
kehidupan manusia melalui profesinya.

Tahun 1948 Leininger berhasil menyelesaikan diploma keperawatan. Sebagai


seorang pembelajar pada tahun 1950, Leininger menerima gelar sarjana dalam ilmu
biologi, ilmu filsafat dan humaniora dari Benedictine College di Atchison, Kansas.
Pada tahun itu ia membuka pelayanan keperawatan dan program pendidikan jiwa di
Creighton University diOmaha, Nebraska.

Salah satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah
Transcultural Nursing Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan
dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep
keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai
kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah
penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan
asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan
mengakibatkan terjadinya cultural shock.

Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat

2
tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini
dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan
beberapa mengalami disorientasi.

Data Riset Kesehatan Dasar (Depkes RI, 2013) menyatakan bahwa prevalensi
gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7/ml. Gangguan jiwa berat
terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali dan Jawa Tengah.
Jumlah rumah tangga yang pernah memasung anggota rumah tangga gangguan jiwa
berat (14,3%), terbanyak pada penduduk yang tinggal di pedesaan (18,2%), serta
pada kelompok penduduk dengan indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi
gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia adalah (6,0%). Provinsi
dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur.

Pandangan keluarga dan masyarakat tentang penderita gangguan jiwa selalu


diidentikkan dengan sebutan orang gila.Setan dianggap sebagai penyebab penyakit
gangguan jiwa dan individu yang terganggu jiwanya dianggap kerasukan setan
(Videbeck,2008). Penderita gangguan jiwa tidak berobat ke “Dokter “ melainkan
hanya dibawa ke “Orang pintar” (Hawari,2007).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Teori Keperawatan Transkultural Medeleine Leininger?
2. Bagaimana Nilai-Nilai Keluarga?
3. Bagaimana Paradigma Keperawatan?
4. Bagaimana Transculutural Nursing dalam Keperawatan?
5. Bagaimana Contoh Kasus dengan Gangguan Jiwa?
6. Bagaimana Penerapan Teori Sunrise Leininger berdasarkan Contoh
Kasus?

1.3 Tujuan

3
1. Untuk Mengetahui Teori Model Keperawatan Transkultural Medeleine
Leininger.
2. Untuk Mengetahui Nilai-Nilai Keluarga.
3. Untuk Mengetahui Paradigma Keperawatan.
4. Untuk Mengetahui Transcultural Nursing dalam Keperawatan.
5. Untuk Mengetahui Contoh Kasus dengan Gangguan Jiwa.
6. Untuk Mengetahui Penerapan Teori Sunrise Leininger berdasarkan
Contoh Kasus.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Model Keperawatan Transkultural Medeleine Leininger


Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budayakepada
manusia (Leininger, 2002).

Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi
dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakan
keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam
memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya
diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan
pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human
caring secara umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan
dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring merupakan
fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi
diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.
Leininger mendefinisikan keperawatan transkultural sebagai area studi dan
praktik substantif yang berfokus pada budaya komparatif. Nilai (kepercayaan),
kepercayaan, dan praktik perorangan atau kelompok budaya yang sama atau
berbeda. Tujuannya memberikan budaya yang spesifik dan praktik keperawatan
universal dalammempromosikan kesehatan atau kesejahteraan dan untuk membantu
orang menghadapi kondisi manusia, penyakit, atau penyakit yang tidak
menguntungkan. Leininger menginginkan kematian dengan cara ang bermakna

5
secara budaya.
Garis besar teori Leininger adalah tentang culture care diversity and
universality, atau yang kini lebih dikenal dengan transcultural nursing. Awalnya,
Leininger memfokuskan pada pentingnya sifat caring dalam keperawatan. Namun
kemudian dia menemukan teori cultural diversity and universality yang semula
disadarinya dari kebutuhan khusus anak karena didasari latar belakang budaya yang
berbeda. Transcultural nursing merupakan subbidang dari praktik keperawatan yang
telah diadakan penelitiannya. Berfokus pada nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan
pelayanan kesehatan berbasis budaya.
Bahasan yang khusus dalam teori Leininger, antara lain adalah :
1. Culture. Apa yang dipelajari, disebarkan dan nilai yang diwariskan,
kepercayaan, norma, cara hidup dari kelompok tertentu yang mengarahkan
anggotanya untuk berfikir, membuat keputusan, serta motif tindakan yang
diambil.
2. Culture care. Suatu pembelajaran yang bersifat objektif dan subjektif yang
berkaitan dengan nilai yang diwariskan, kepercayaan, dan motif cara hidup
yang membantu, menfasilitasi atau memampukan individu atau kelompok
untuk mempertahankan kesejahteraannya, memperbaiki kondisi kesehatan,
menangani penyakit, cacat, atau kematian.
3. Diversity. Keanekaragaman dan perbedaan persepsi budaya, pengetahuan, dan
adat kesehatan, serta asuhan keperawatan.
4. Universality. Kesamaan dalam hal persepsi budaya, pengetahuan praktik
terkait konsep sehat dan asuhan keperawatan.
5. Worldview. Cara seorang memandang dunia.
6. Ethnohistory. Fakta, peristiwa, kejadian, dan pengalaman individu, kelompok,
budaya, lembaga, terutama sekelompok orang yang menjelaskan cara hidup
manusia dalam sebuahbudaya dalam jangka waktu tertentu.

Untuk membantu perawat dalam menvisualisasikan Teori Leininger, maka

6
Leininger menjalaskan teorinya dengan model sunrise. Model ini adalah sebuah peta
kognitif yang bergerak dari yang paling abstrak, ke yang sederhana dalam
menyajikan faktor penting teorinya secara holistik.
Beberapa ilmuwan mungkin menempatkan teori ini dalam klasifikasi kelas
menengah. Leininger berpendapat bahwa teori besar ini bukan karena memiliki
dimensi tertentu untukmenilai total gambar. Ini bersifat holistik dan komprehensif.
Pendekatan, yang telah menyebabkan aplikasi praktik keperawatan yang lebih luas
daripada tradisional. Diharapkan dengan pendekatan jarak jauh dan reduksionis.
Teori Leininger memberikan tindakan perawatan yang selaras dengan
keyakinan budaya, praktik, dan nilai individu atau kelompok. Pada tahun 1960 dia
menciptakan istilah perawatan kongruen secara budaya, yang merupakan tujuan
utama praktik keperawatan transkultural. Perawatan kongruen secara budaya
mungkin terjadi dalam hubungan perawat-pasien (Leininger, 1981): Bersama si
perawat dan pasien kreatif merancang yang baru atau berbeda. Peduli terhadap gaya
hidup untuk kesehatan atau kesejahteraan pasien. Mode ini membutuhkan
Penggunaan pengetahuan dan cara generic serta profesional sesuai dengan beragam
gagasan tersebut ke dalam tindakan dan tujuan perawatan. Pengetahuan dan
keterampilan perawatan sering di repatriasikan untuk kepentingan terbaik pasien.
Dengan demikian semua perawatan memerlukan kerjasama antara perawat dengan
pasien dalam mengidentifikasi, merencanakan, menerapkan, dan mengevaluasi
masing-masing. Mode kepedulian untuk asuhan keperawatan secara keseluruhan.
Modus ini bisa merangsang perawat untuk merancang tindakan keperawatan
dan keputusan menggunakan pengetahuan baru. Memahami Karya Teoretik Perawat
Tepi dan cara berbasis budaya untuk memberi makna dan pelayanan prima melalui
perawatanholistik untuk individu, kelompok atau institusi.
Leininger mengembangkan istilah baru untuk ajaran dasar teorinya.

Berikut adalah ringkasan dasar dari Prinsip yang penting untuk dipahami
dengan teori Leininger:

7
1. Perawatan adalah tindakan untuk membantu orang lain dengan kebutuhan nyata
atau yang diantisipasi dalam upaya untuk memperbaiki kondisi manusia yang
memprihatinkan atau menghadapi kematian.

2. Merawat adalah tindakan atau aktivitas yang diarahkan untuk memberikan


perawatan.

3. Budaya mengacu pada nilai, kepercayaan, nilai, kepercayaan, norma, dan


lifeways individu atau kelompok tertentu yang membimbing mereka seperti
pemikiran, keputusan, tindakan, dan pola hidup.

4. Perawatan budaya mengacu pada berbagai aspek budaya yang mempengaruhi


dan memungkinkan seseorang/kelompok untuk memperbaiki kondisi
mereka/untuk menangani penyakit atau kematian. Keragaman perawatan
budaya mengacu pada perbedaan makna dan nilai perawatan di dalam atau di
antara berbagai kelompok orang.

5. Keunikan perawatan budaya mengacu pada perawatan umum atau makna serupa
yangterlihat jelas di antara banyak budaya.

6. Keperawatan adalah profesi terpelajar yang terfokus pada penyakit.

7. Cara Pandang mengacu pada cara orang dalam melihat dunia atau universein
yang menciptakan pandangan pribadi tentang kehidupan apa adanya.

8. Dimensi struktur budaya dan sosial mencakup faktor-faktor yang berkaitan


dengan agama, struktur sosial, masalah politik/hukum, ekonomi, pola
pendidikan, penggunaan teknologi, nilai budaya, dan sejarah etnis yang
mempengaruhi respon budaya manusia dalam konteks budaya.

9. Kesehatan mengacu pada keadaan kesejahteraan yang didefinisikan dan dinilai


secarakultural oleh budaya yang ditunjuk.

10. Pelestarian atau pemeliharaan perawatan budaya mengacu pada kegiatan asuhan
keperawatan yang membantu orang-orang dari budaya tertentu untuk
mempertahankan dan menggunakan nilai perawatan budaya utama yang terkait

8
dengan masalah atau kondisi kesehatan.

11. Akomodasi budaya atau negosiasi mengacu pada tindakan keperawatan yang
kreatif yang membantu orang-orang dari budaya tertentu beradaptasi atau
bernegosiasi dengan orang lain di komunitas layanan kesehatan dalam upaya
mencapai tujuan bersama dari hasil kesehatan optimal untuk pasien dari budaya
yang ditunjuk.

12. Reparasi atau restrukturisasi perawatan budaya mengacu pada tindakan


terapeutik yang dilakukan oleh perawat atau keluarga yang kompeten. Tindakan
ini memungkinkan atau membantu pasien untuk mengubah perilaku kesehatan
pribadi menjadi lebih manfaat sambil menghargai nilai-nilai budaya pasien.

2.2 Nilai-Nilai Keluarga


Keluarga meupakan satu kelompok individu yang dipersatukan oleh ikatan
perinkahan, pertalian darah, ataupun melalui adopsi; yang membangun satu kesatuan
rumah tangga; yang saling berinteraksi dan berkomunikasi sesuai dengan peran
sosialnya sebagai suami istri, ibu dan bapak, anak, kakak, dan adik; serta
menciptakan dan mempertahankan satu budaya Bersama (Burges & locke, 1953
dalam Agustiani, 2007).

Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama, dalam membentuk jati
diri para generasi muda, Anak sebagai generasi penerus harus memiliki jati diri
masyarakat dan bangsanya. Perwarisan nilai-nilai budaya sangat mungkin dilakukan
keluarga. Pendidikan dalam keluarga yang tepat dan benar, merupakan modal dasar
bagi perkembangan kepribadian anak masa dewasanya. Tiga tahun pertama sebagai
fase pembangunan fondasi struktur otak anak pertama dibentuk, usia tujuh tahun
hampir sempurna otak dibentuk Pola asuh ramah otak yang dapat membangun
karakter anak, sejak dini. Keluarga sangat memberikan pengaruh dalam pembentukan
kepribadian yang mendasar seseorang.

9
Kita hidup dalam lingkungan budaya yang beraneka ragam dipandang dari asal
usul, waktu, tempat dan coraknya. Inti kebudayaan nilai-nilai, konsep dasar, arah
berbagai tindakan Nilai budaya mondial, transnasional, pranata nilai budaya yang
berada di jalur utama (main stream), budaya nasional, etnik local. Menggali dan
menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren berbasis nilai budaya daerah
sendiri, pembentukan karakter dan identitas bangsa. Nilai budaya ditanamkan melalui
pendidikan. Pendidikan menyesuaikan nilai-nilai dasar kehidupan untuk masa depan.

2.3 Paradigma Keperawatan


Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagai cara
pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan
yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan
yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrewand Boyle, 1995).
1. Manusia. Setiap budaya manusia memiliki pengetahuan dan praktik
keperawatan tradisional dan biasanya pengeetahuan dan praktik keperawatan
tradisional dan biasanya pengetahuan dan praktik perawatan professional,
yang berbeda-beda baik secara transkultural ataupun individual. Nilai-nilai
asuhan budaya, keyakinan, dan praktik dipengaruhi oleh dan cenderung
terikat dengan pandangan dunia, bahasa, filosofi, agama, dan spiritualitas,
kekerabatan, sosial, politik, hukum, pendidikan, ekonomi, teknologi, riwayat
etnis, dan lingkungan dari konteks budaya (Alligood, 2014).
2. Kesehatan. Perawatan yang bermanfaat, menyehatkan, dan memuaskan
secara budaya dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan individu,
keluarga, kelompok, dan komunitas didalam konteks lingkungan mereka.
Asuhan keperawatan yang sesuai budaya dan dapat dirasakan manfaatnya
hanya dapat terjadi ketika nilai-nilai perawatan, ekspresi, atau pola telah
diketahui dan digunakan secara eksplisit untuk perawatan yang sesuai, aman,
dan bermakna. Terdapat persamaan dan perbedaan culture care antara

10
perawatan profesional dan perawatan tradisional dari klien dalam budaya
manusia di seluruh dunia (Alligood, 2014).
3. Lingkungan. Konflik budaya, kerugian praktik, stress budaya, dan nyeri
terkait budaya merefleksikan kurangnya pengetahuan tentang asuhan budaya
yang merupakan dasar untuk dapat memberikan perawatan yang sesuai
budaya, bertanggungjawab, aman, dan sensitif. Metode penelitian
keperawatan etnis memberikan makna penting untuk dapat menemukan dan
menginterpretasikan data yang terkait emic dan etic, data kompleks, dan data
dengan beragam asuhan budaya secara akurat (Alligood, 2014).
4. Keperawatan. Keperawatan transkultural merupakan disiplin ilmu dan
profesi yang humanistic dan ilmiah yang tujuan utamanya adalah untuk
melayani individu, kelompok, komunitas, masyarakat, dan institusi.
Perawatan berbasis budaya merupakan makna yang paling komprehensif dan
holistic untuk mengetahui, menjelaskan, dan menginterpretasikan dan
memprediksi fenomena asuhan keperawatan dan untuk memandu keputusan
dan tindakan keperawatan. Care adalah esensi dari keperawatan dan
merupakan focus yang khusus, dominan, inti, dan mempersatukan. Perawatan
berbasis budaya (caring) merupakan sesuatu yang bersifat esensial untuk
kesejahteraan, kesehatan, pertumbuhan, dan pertahanan, serta untuk
menghadapi hendaya an kematian. Caring yang berbasis budaya merupakan
sesuatu yang esensial untuk tritmen dan pemulihan, dan bahwa tidak mungkin
kesembuhan tanpa adanya caring, tapi caring dapat tetap ada tanpa adanya
kesembuhan. Konsep asuhan budaya, makna, ekspresi, pola, proses, dan
bentuk structural dari perawatan dapat beragam secara transkulturaldengan
adanya keragaman dan beberapa kesamaan (Alligood, 2014). Asuhan
keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien.
Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan atau
mempertahankan budaya, mengkomodasi/negosiasi budaya dan mengubah
atau mengganti budaya klien (Leininger, 1991).

11
a. Cara I : Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan
sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimilki klien sehingga
dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya
budaya berolahraga setiap pagi.
b. Cara II : Negoisasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih
dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan
kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantangan makan
yang berbau amis, makan ikan dapat diganti dengan sumber protein
hewani yang lain.
c. Cara III : Restrukturisasi budaya
Retrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya
hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana
hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai
dengan keyakinan yang dianut.

2.4 Transcultural Nursing Dalam Proses Keperawatan


Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan
keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit
(Sunrise Model). Geisser (1991) menyatakan bahwa proses keperawatan ini
digunakan oleh perawat sebagai landasan berpikir dan memberikan solusi terhadap
masalah klien (Andrew and Boyle, 1995). Pengelolaan asuhan keperawatan
dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan,

12
pelaksanaan dan evaluasi.

Geisser (1991) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh


perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien
(Andrew and Boyle, 1995). Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari
mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi.

1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and
Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada
pada ”Sunrise Model” yaitu :

a. Faktor teknologi (tecnological factors). Teknologi kesehatan


memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran
menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu
mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi
masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien
memilih pengobatan alternatif dan persepsi kliententang penggunaan dan
pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat
ini.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors).
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat
realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat
kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas
kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah:
agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab
penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yangberdampak positif terhadap
kesehatan.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors).

13
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap,
nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe
keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien
dengan kepala keluarga.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways). Nilai-
nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh
penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya
adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada
penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah : posisi
dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang
digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi
sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan
membersihkan diri.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal
factors). Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah
segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan
keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji
pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan
jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara
pembayaran untuk klien yang dirawat.
f. Faktor ekonomi (economical factors). Klien yang dirawat di rumah sakit
memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai
sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat
diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang
dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi,
penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
g. Faktor pendidikan (educational factors). Latar belakang pendidikan
klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan
formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka

14
keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti- bukti ilmiah yang
rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya
yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada
tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta
kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya
sehingga tidak terulang kembali.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya
yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan.
(Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang
sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu : gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur, gangguan
interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan ketidakpatuhan
dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
3. Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu
proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu
proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan
tindakan yang sesuai denganlatar belakang budaya klien (Gigerand Davidhizar,
1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural
(Andrew and Boyle, 1995) yaitu : mempertahankan budaya yang dimiliki
klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan,
mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan
kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien
bertentangan dengan kesehatan.
a. Cultural care preservation/maintenance
1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan
perawat tentangproses melahirkan dan perawatan
bayi

15
2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan
klien
3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan
perawat
b. Cultural careaccomodation/negotiation
1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi
dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis,
pandangan kliendan

standar etik
c. Cultual care repartening/reconstruction
1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi
yangdiberikan dan melaksanakannya
2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok
3) Gunakan pihak ketiga bila perlu
4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa
kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua
5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan
Kesehatan Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami
budaya masing-masing melalui proses akulturasi, yaitu proses
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya
akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak
memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya
sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan
terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas
keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat
terapeutik.

16
4. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai
dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan
kesehatan atauberadaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat
bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi
dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar
belakang budaya klien.

17
BAB III
CONTOH KASUS

Satu keluarga tinggal di Desa Bua, Kecamatan Batuda’a Kab. Gorontalo Provinsi
Gorontalo. Keluarga tersebut terdiri dari 4 anggota keluarga, dimana terdiri dari
Ayah, Kakak tertua, Kakak kedua dan Tn.R. Tn.R memiliki 2 kakak perempuan dan
semuanya sudah berkeluarga dan masih tinggal di satu rumah. Tn.R berumur 27
tahun, belum menikah, pendidikan terakhir S1 Manajemen, pernah bekerja di
perusahaan jagung ternama di Gorontalo sebagai staf sebelum di PHK 1 tahun yang
lalu. Tn.R beragama Budha, serta berasal dari keluarga yang memiliki kondisi sosial
cukup. Ibu dari Tn.R meninggal dunia 5 bulan yang lalu akibat penyakit Diabetes
Melitus yang di deritanya. Tn.R sangat menyayangi ibunya, dikarenakan Tn.R
merupakan anak bungsu yang paling di manja dan paling dekat dengan ibunya. Kedua
kakak Tn.R bekerja sebagai karyawan swasta dan semenjak menikah sudah tidak
terlalu memperhatikan adiknya. Sehingga keputusan dan perekonomian keluarga di
pegang sepenuhnya oleh Ayah dari Tn.R.
Dari pengkajian, Tn.R dirawat di Yayasan Jiwa dengan keluhan awal marah-
marah yang tidak jelas, mondar-mandir, sering komat-kamit membicarakan hal yang
tidak jelas, dan sering mendengar suara-suara yang menyebut “Tn.R itu sudah tidak
berguna lagi hidup di dunia, karena dirinya ibunya meninggal, dirinya di PHK, dan
harus mati sekarang juga”. Hal ini terjadi setelah ibu yang paling disayangi

18
meninggal dunia, sehingga timbul gejala-gejala seperti di atas. Tn.R awalnya marah-
marah sendiri, sering menutup telinga sekeras-kerasnya karena mendengar suara-
suara tanpa wujud.
Sebelumnya Ayah, kedua kakaknya serta keluarga besar dari Tn.R berdiskusi
untuk membawa Tn.R ke dukun untuk berobat karena menurut mereka Tn.R hanya
dirasuki oleh roh jahat (kerasukan) sehingga bisa mendengar suara-suara yang aneh
dan tak berwujud. Di tambah lagi, di desa tersebut masih melekat erat adat istiadat
jika ada yang sakit harus dibawah langsung ke dukun. Di dukun tersebut, Tn.R di
jampi-jampi oleh mantra yang hanya dimengerti oleh dukun tersebut, dibuatkan air
dan ramuan untuk diminum dan dimandikan kepada Tn.R. Seminggu setelah dari
dukun, kondisi Tn.R malah makin menjadi-jadi, lebih sering mondar-mandir, dan
berteriak tidak jelas karena mendengar suara yang tidak berwujud, dan sudah mulai
melukai diri sendiri dengan benda-benda yang ada disekitarnya. Keadaan ini
membuat ayah dari Tn.R terpaksa mengurungnya dan memasung di sebuah kamar
kecil dan sempit yang berada di belakang rumah. Mereka meyakini bahwa ketika
Tn.R dikurung di tempat terpisah dengan keluarganya akan membuat roh jahat
menghilang dari tubuh Tn.R dan keluarganya juga merasa malu kepada warga sekitar
dan melakukannya secara diam-diam.
Beberapa hari Tn.R di pasung, datang petugas jiwa dari Puskesmas Batuda’a
berkunjung dalam rangka melakukan home visit karena ada laporan dari salah satu
warga yang melihat Tn.R dikurung dan dipasung di kamar yang kecil dan sempit.
Petugas puskesmas prihatin dengan keadaan Tn.R dan menyarankan untuk membawa
Tn.R ke RS untuk dilakukan pengobatan. Namun keluarganya menolak karena
mereka meyakini bahwa Tn.R hanya dirasuki oleh roh jahat dan dengan pergi ke
dukun akan menyembuhkannya. 2 minggu setelah kunjungan, keluarga Tn.R mulai
menyadari keadaan Tn.R ini harus segera diobati dan ditangani oleh petugas yang
seharusnya. Ahkirnya keluarga membawa Tn.R ke RS Tombulilato pada tanggal 12
Juni 2020. Ayahnya mengatakan bahwa tidak ada satupun keluarga yang mengalami
gangguan jiwa. Tn.R menganggap bahwa ibunya adalah sosok yang sangat berarti

19
buat dirinya, tempat dia mencurahkan segala keluh kesahnya. Setelah diperiksa oleh
dokter, Tn.R mengalami Depresi Berat akibat masalah yang dialaminya secara
beruntun sehingga melakukan hal-hal yang dapat melukai dirinya sendiri akibat
bisikan-bisikan suara yang tak berwujud.
Keluarganya mengatakan sebelum sakit, Tn.R merupakan orang yang handal
disegala pekerjaan. Sering berbaur disetiap kegiatan sosial yang ada dimasyarakat.
Tn.R merupakan orang yang selalu ceria, mudah bergaul dan membantu sesama yang
membutukan tapi sering cepat tersinggung. Akhirnya dokter memberikan advis untuk
dilakukan rawat inap agar keadaan Tn.R terpantau oleh perawat dan dokter di RS.
Selain itu di RS klien masih terus menunjukkan perilaku amuk, suara keras, wajah
tegang, dan memerah serta mata melotot dan oleh tenaga medis dilakukan pemberian
obat penenang serta fiksasi dikedua tangan dan kaki agar tidak melukai diri dan orang
lain. Dari hasil pemeriksaan fisik, klien tidak memiliki keluhan fisik, saat dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital, didapatkan hasil TD : 120/80 mmHg ; N : 80 x/m ; S
: 36,7oC ; P : 22 x/m. Pasien memiliki tinggi badan 170 cm dan berat badan 69 Kg.
1. PENGKAJIAN
Inisial : Tn.R
Ruang Rawat : Yayasan Jiwa Gorontalo
Umur : 27 Tahun
Agama : Buddha
Pendidikan Terakhir : S1 Manajemen
Riwayat Pekerjaan : Menjadi Staf di Perusahaan Jagung di Gorontalo

Pengkajian Sunrise Model :


a. Faktor Teknologi (Technologi Factors)
Klien belum pernah dibawa ke Yayasan Jiwa / RS Jiwa sebelumnya.
Keluarga menganggap bahwa penyakit yang dialami Tn. R karena
dirasuki roh jahat, keluarga klien membawa klien ke dukun karena
kebiasaan warga setempat yang selalu membawa orang sakit ke dukun.

20
Keluarga klien merasa klien tidak ada perubahan dan semakin hari
semakin menjadi. Selain itu oleh petugas puskesmas yang datang
melakukan home visit menyarankan untuk membawa Tn.R ke RS untuk
dilakukan pemeriksaan/pengobatan.
b. Faktor Agama & Falsafah Hidup (Religious and Philosophical Factors)
Klien beragama Buddha, dan klien yakin dengan agamanya.
c. Faktor Sosial & Keterikatan Keluarga (Kindship and Social Factors)
Klien bernama Tn.R, umur 27 tahun. Klien berjenis kelamin laki-laki,
status belum menikah dan tidak bekerja. Klien memiliki 4 anggota
keluarga terdiri dari ayah, kakak tertua, kakak kedua dan Tn.R. Klien
memiliki 2 kakak perempuan. Ibu klien sudah meninggal.
d. Faktor Nilai Budaya & Gaya Hidup (Cultura Value and Lifeways)
Klien berasal dari Gorontalo suku Gorontalo. Klien dan keluarga
mengguanakan bahasa gorontalo dalam sehari-hari. Klien dibawah
keluarga berobat ke dukun pintar. Oleh dukun Tn.R, di jampi-jampi oleh
mantra yang hanya dimengerti oleh dukun tersebut, dibuatkan air untuk
diminum dan dimandikan kepada Tn.R. Keluarga klien meyakini bahwa
ketika Tn.R dikurung di tempat terpisah dengan keluarganya akan
membuat roh jahat menghilang dari tubuh Tn.R. Klien sering mengikuti
kegiatan sosial di masyarakat.
e. Faktor Peraturan & Kebijakan (Polytical and Legal Factors)
Keluarga klien berdiskusi dengan keluarga besar untuk menyarankan
klien dibawah ke dukun pintar untu melakukan pengobatan. Keluarga
klien membiayayi Yayasan Jiwa/Rs dengan biaya mandiri atau umum.
f. Faktor Ekonomi (Economical Factors)
Klien sekarang tidak bekerja. Klien pernah bekerja di salah satu
perusahaan jagung di Gorontalo sebagai staff. Klien berasal dari
keluarga yang memiliki kondisi sosial yang cukup. Kedua kakak klien
bekerja sebagai karyawan swasta. Dan semua pengobatanya di biayayi

21
oleh keluarga.
g. Faktor Pendidikan (Educational Factors)
Klien berpendidikan S1 Manajemen.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguang Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran
b. Perilaku Kekerasan
c. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi berkaitan
dengan pengobatannya.

3. INTERVENSI
Ada tiga strategi sebagai pedoman Leininger yaitu sebagai berikut:

a. Perlindungan / mempertahankan budaya (Cultural care reservation /


maintenance) apabila budaya klien tidak bertentangan dengan Kesehatan.
Mengidentifikasi budaya yang tidak bertentangan dengan kesehatan
bahkan dapat menjadi pendukung dalam meningkatkan kesehatan klien
antara lain: 1) sering berdoa, klien yakin dan percaya akan agamanya 2)
memelihara komunikasi yang sedang terjalin dengan baik (tanpa ada
masalah karena budaya) antara klien dengan perawat maupun klien
dengan dokter atau klien dengan tenaga Kesehatan lain; 3) bersikap
tenang dan hati-hati saat berinteraksi dengan klien; 4) mendiskusikan
dengan keluarga budaya yang dimiliki yang tidak bertentangan dengan
kesehatan agar dipertahankan bahkan lebih ditingkatkan; 5) mengedukasi
keluarga dan klien bahwa budaya yang dipercaiayai saat ini tidak sesuai
dan berdampak tidak baik bagi Kesehatan dan mental klien; 6)
menghilangkan pemikiran bahwa dikurung dan dipasung adalah cara satu-
satunya yang dapat menghindari dampak buruk yang ditimbulkan oleh
klien serta mengurung roh jahat.

22
b. Mengakomodasi/ menegosiasi budaya (Cultural care accommodation
atau negotiations) apabila budaya klien kurang mendukung kesehatan.
Perawat bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat interaksi dengan
klien dan keluarga klien, mencoba memahami kebudayaan klien
sepanjang tidak memperburuk proses pengobatan dan perawatan.
Keluarga klien (kakak) menjadi perantara perawat untuk dapat
memberikan informasi mengenai prosedur pengobatan medis dan
perawatan tanpa ada hambatan dari klien yang memiliki persepsi terhadap
informasi pengobatan dan perawatan. Perawat mengakomodir budaya
klien yang kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya
tersebut bila budaya yang dimiliki bertentangan dengan kesehatan seperti
Tindakan pemasungan. Dalam penyelesaian masalah tersebut petugas
kesehatan (perawat) dalam memeberikan health education menggunakan
bahasa yang mudah dipahami oleh klien dan keluarga. Libatkan keluarga
dalam perencanaan perawatan. Apabila konflik tidak terselesaikan,
lakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan
biomedis, pandangan klien dan standar etik, dan bersikap tenang dan tidak
terburu-buru saat interaksi dengan klien, serta mencoba memahami
kebudayaan klien.
c. Mengubah dan mengganti budaya klien dan keluarganya (Cultural
care repartening / recontruction) Perawat merubah budaya klien apabila
budaya yang dimiliki klien dan keluarganya bertentangan dengan
kesehatan seperti: persepsi keluarga klien dan tokoh masyarakat Nn. A
terhadap Tindakan pemasungan dan kepercayaan terhadap orang pintar
atau dukun. Pada prinsip penanganan kasus ini, perawat memberikan
informasi kepada klien dan keluarga mengenai pentingnya peran keluarga
dalam kesembuhan klien serta mengubah pola pikir warga / tokoh
masyarakat bahwa pemasungan adalah satunya-satunya cara tebaik untuk
kesembuhan klien. Perawat harus mencoba untuk memahami budaya

23
masing- masing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi
persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya
budaya-budaya mereka.

4. IMPLEMENTASI & EVALUASI

1. Cultural Care Preserventation/Maintenance


a. Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang
proses pengobatan dan perawatan klien, meningkatkan pengetahuan
klien dan keluarga tentang proses pengobatan dan perawatan klien.

b. Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinteraksi dengan


klien.

c. Diskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat

2. Cultural Care Accomodation/ Negotiation


a. Kebiasaan Keluarga dan sebagai adat istiadat untuk membawa
orang sakit ke orang pintar atau dukun.
 Kaji pengetahuan klien tentang kemampuan yang dimilikinya
 Ajarkan pada klien tentang pentingnya pengobatan Tindakan
medis yang baik untuk klien dengan gangguan jiwa
 Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan

b. Kebiasaan memberikan air dari dukun tanpa konsultasi dengan


tenaga Kesehatan.
 Kaji pengetahuan keluarga tentang cara pemberian air dari dukun,
 Ajarkan pada klien dan keluarga tentang dampak negative dari
menkonsumsi air dan ramuan yang tidak terjamin kebersihannya
 Anjurkan keluarga untuk memeriksakan kesehatannya klien ke
FASKES terdekat.

24
 Berikan PENKES tentang efek mengkonsumsi obat-obatan yang
tidak terjamin kebersihannya.
c. Cultural Care Repartening /Reconstruction
1) Persepsi Keluarga terhadap pemberian air dari dukun
 Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang kondisi penyakit
klien

 Jelaskan pada klien dan keluarga tentang bahaya dan efek


Tindakan pemasungan

 Jelaskan pada klien dan keluarga tentang keuntungan


pemeriksaan Kesehatan di FASKES terdekat

 Libatkan keluarga dalam edukasi terhadap Tn.R

 Jelaskan tentang alternatif pengobatan lain seperti minum


obat teratur, dampingi klien agar dapat mengatasi atau
mengalihkan halusinasinya.

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari hasil pengkajian sunrise model yang dilakukan pada contoh kasus
tersebut, terdapat 7 faktor yang harus dikaji oleh perawat. Pada pengkajian faktor
teknologi (technologi factors), Klien belum pernah dibawa ke Yayasan Jiwa / RS
Jiwa sebelumnya. Keluarga menganggap bahwa penyakit yang dialami Tn. R karena
dirasuki roh jahat, keluarga klien membawa klien ke dukun karena kebiasaan warga
setempat yang selalu membawa orang sakit ke dukun. Keluarga klien merasa
klien tidak ada perubahan dan semakin hari semakin menjadi. Selain itu oleh
petugas puskesmas yang datang melakukan home visit menyarankan untuk
membawa Tn.R ke RS untuk dilakukan pemeriksaan/pengobatan.
Pada pengkajian factor agama dan falsafah hidup Klien beragama Buddha,
dan klien yakin dengan agamanya.
Pada pengkajian Faktor Sosial & Keterikatan Keluarga, Klien bernama Tn.R,
umur 27 tahun. Klien berjenis kelamin laki-laki, status belum menikah dan tidak
bekerja. Klien memiliki 4 anggota keluarga terdiri dari ayah, kakak tertua, kakak
kedua dan Tn.R. Klien memiliki 2 kakak perempuan. Ibu klien sudah meninggal.

26
Pada pengkajian Faktor Nilai Budaya & Gaya Hidup, Klien berasal dari
Gorontalo suku Gorontalo. Klien dan keluarga mengguanakan bahasa gorontalo
dalam sehari-hari. Klien dibawah keluarga berobat ke dukun pintar. Oleh dukun
Tn.R, di jampi-jampi oleh mantra yang hanya dimengerti oleh dukun tersebut,
dibuatkan air untuk diminum dan dimandikan kepada Tn.R. Keluarga klien
meyakini bahwa ketika Tn.R dikurung di tempat terpisah dengan keluarganya akan
membuat roh jahat menghilang dari tubuh Tn.R. Klien sering mengikuti kegiatan
sosial di masyarakat.
Pada pengkajian Faktor Peraturan & Kebijakan, Keluarga klien berdiskusi
dengan keluarga besar untuk menyarankan klien dibawah ke dukun pintar untu
melakukan pengobatan. Keluarga klien membiayayi Yayasan Jiwa/Rs dengan biaya
mandiri atau umum.
Pada pengkajian Faktor Ekonomi, Klien sekarang tidak bekerja. Klien
pernah bekerja di salah satu perusahaan jagung di Gorontalo sebagai staff. Klien
berasal dari keluarga yang memiliki kondisi sosial yang cukup. Kedua kakak klien
bekerja sebagai karyawan swasta. Dan semua pengobatanya di biayayi oleh
keluarga.
Dan pada pengkajian Faktor Pendidikan, Klien lulusan S1 Manajemen.

Ada tiga strategi yang digunakan perawat dalam memberikan intervensi


sesuai model dari Leininger yaitu:
1. Perlindungan/ mempertahankan budaya (Cultural care reservation /
maintenance) apabila budaya klien tidak bertentangan dengan Kesehatan.
Mengidentifikasi budaya yang tidak bertentangan dengan kesehatan bahkan
dapat menjadi pendukung dalam meningkatkan kesehatan klien
2. Apabila budaya klien kurang mendukung kesehatan. Perawat bersikap tenang
dan tidak terburu-buru saat interaksi dengan klien dan keluarga klien, mencoba
memahami kebudayaan klien sepanjang tidak memperburuk proses pengobatan
dan perawatan, Mengakomodasi/ menegosiasi budaya (Cultural care

27
accommodation atau negotiations)
3. Perawat mengakomodir budaya klien yang kurang menguntungkan kesehatan
dan merubah budaya tersebut bila budaya yang dimiliki bertentangan dengan
kesehatan seperti Tindakan pengurungan/pemasungan. Dalam penyelesaian
masalah tersebut petugas kesehatan (perawat) dalam memeberikan health
education menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien dan keluarga.
Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan. Mengubah dan mengganti
budaya klien dan keluarganya (Cultural care repartening / recontruction)
Perawat merubah budaya klien apabila budaya yang dimiliki klien dan
keluarganya bertentangan dengan kesehatan.
Diagnosis keperawatan yang bisa diambil dari kasus tersebut adalah Gangguan
Persepsi Sensoris; Halusinasi Pendengaran, Perilaku Kekerasan dan Kurang
Pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi berkaitan dengan
pengobatannya.
Pada tahap Cultural Care Preserventation/Maintenance, perawat
mengidentifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses
pengobatan dan perawatan klien, meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga
tentang proses pengobatan dan perawatan klien, bersikap tenang dan tidak terburu-
buru saat berinteraksi dengan klien, serta mendiskusikan kesenjangan budaya yang
dimiliki klien dan perawat.
Pada tahap Cultural Care Accomodation/ Negotiation, perawat mengkaji
kebiasaan Keluarga dan adat istiadat membawa orang sakit ke orang pintar atau
dukun, mengkaji pengetahuan klien tentang kemampuan klien yang dimilikinya,
mengajarkan pada klien tentang pentingnya pengobatan Tindakan medis yang baik
untuk klien dengan gangguan jiwa, melibatkan keluarga dalam perencanaan
perawatan. Mengkaji kebiasaan memberikan ramuan jampi-jampi dan air garam
tanpa konsultasi dengan tenaga Kesehatan, mengkaji pengetahuan keluarga
tentang cara pemberian ramuan, mengajarkan pada klien dan keluarga tentang

28
dampak negative dari menkonsumsi air dari dukun yang tidak terjamin
kebersihannya, menganjurkan keluarga untuk memeriksakan kesehatannya klien ke
FASKES terdekat, memberikan PENKES tentang efek mengkonsumsi air atau
ramuan yang tidak terjamin kebersihannya.
Pada tahap Cultural Care Repartening /Reconstruction, perawat mengkaji
Persepsi Keluarga terhadap pemberian ramuan, mengkaji pengetahuan klien dan
keluarga tentang kondisi penyakit klien, menjelaskan pada klien dan keluarga
tentang bahaya dan efek Tindakan pemasungan, menjelaskan pada klien dan
keluarga tentang keuntungan pemeriksaan Kesehatan di FASKES terdekat,
melibatkan keluarga dalam edukasi terhadap Tn.R, serta menjelaskan tentang
alternatif pengobatan lain seperti minum obat teratur, menemani klien disaat
klien mulai menyendiri, damping klien agar dapat mengatasi atau mengalihkan
halusinasinya.
Diharapkan dari intervensi tersebut merubah pandangan klien dan keluarga
terhadap kesehatan dan meningkatkan derajat kesehatan klien. Budaya dan tingkat
pendidikan sangat berperan penting dalam proses intervensi ini sebagaimana
disebutkan oleh Leininger bahwa budaya adalah pola dan nilai kehidupan
seseorang yang mempengaruhi keputusan dan tindakan. Diharapkan ketika perawat
mempelajari teori ini, perawat dapat melakukan tindakan sesuai dengan budaya
klien dan bernegosiasi apabila budaya tersebut memberikan dampak negatif pada
klien.

29
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit
didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini
digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau
keutuhan budayakepada manusia (Leininger, 2002).
Teori Leininger memberikan tindakan perawatan yang selaras dengan
keyakinan budaya, praktik, dan nilai individu atau kelompok. Pada tahun 1960
dia menciptakan istilah perawatan kongruen secara budaya, yang merupakan
tujuan utama praktik keperawatan transkultural.
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan

30
asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari
terbit (Sunrise Model)

5.2 Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan bisa menambah
pengetahuan tentang Teori Leininger “Pasien Pada Gangguan Jiwa”, dan
makalah kami ini dapat dijadikan referensi bagi penulis selanjutnya. Diharapkan
para pembaca bisa memberikan kami kritik dan saran untuk dapat menjadikan
kami lebih baik lagi dalam penulisan makalah-makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, Hendriati. 2007. Tahapan Perkembangan Keluarga : Bandung


https://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/TAHAPAN-
PERKEMBANGAN-KELUARGA_HENDRIATI-A.pdf (di unduh tgl
13 Agustus 2021)

https://pdfcookie.com/documents/transkultural-nursing-sepanjang-daur-
kehidupan- manusia-5lqe3wdon9l7 (di unduh tgl 13 Agustus 2021)

Putri, Dewi. 2014. Keperawatan Transkultural Pengetahuan dan Praktik


Berdasarkan Budaya : Yogyakarta
http://repository.akperykyjogja.ac.id/102/1/Buku%20Keperawatan%20Transk
ultural%20Lengkap.pdf (di unduh tgl 13 Agustus 2021)

31

Anda mungkin juga menyukai