Madya
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di Rumah Sakit Umum Jayapura
Oleh :
Vinni M Widyaastuti
Nim : 0120840273
Pembimbing :
Pemeriksaan Laboratorium
Terapi
Telah disetujui dan diterima oleh penguji, Laporan kasus dengan judul “Morbus
Hansen tipe Multibasiler” sebagai salah satu syarat mengikuti ujian akhir
Kepaniteraan Klinik pada SMF Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Jayapura.
Yang dilaksanakan pada:
Menyetujui
Dosen Pembimbing/Penguji
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di poliklinik Kulit dan kelamin RSUD Dok 2
Jayapura pada tanggal 15 Mei 2019 pukul 11.30 WIT secara autoanamnesis.
A. Keluhan utama
Timbul benjolan pada lengan bawah tangan kanan dan kiri, daerah sekitar
lutut, kaki, dan punggung bagian bawah
B. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh muncul benjolan pada lengan bawah tangan kanan dan
kiri, daerah sekitar lutut, kaki, dan punggung bagian bawah yang sudah
dialami sejak 3 bulan sebelum mengunjungi polik kulit dan kelamin
RSUD Dok 2 Jayapura. Awalnya hanya muncul 1 benjolan pada lengan
atas tangan kanan bagian belakang, pasien mengira itu merupakan bisul,
tetapi kemudian benjolan menjadi semakin banyak dan semakin tersebar.
Pada bagian yang terdapat benjolan terasa panas dan gatal, tidak terasa
sakit jika ditekan atau ditusuk. Pasien mengaku kalaupun terasa sakit,
sakitnya tidak sesakit bagian yang tidak terdapat benjolan. Pasien
mengaku sempat berobat ke puskesmas untuk penyakitnya ini, kemudian
diberikan obat. Penyakit mulai membaik, tetapi jika obat habis, penyakit
kambuh kembali. Pasien rutin berobat untuk penyakitnya ke puskesmas,
tetapi tidak kunjung sembuh, sehingga pasien di rujuk dari puskesmas ke
poli kulit dan kelamin RSUD Dok 2 Jayapura. Keluhan lain seperti
demam, rasa kebas di kaki atau tangan, perubahan bentuk kaki atau
tangan, benjolan lain disekitar leher, ketiak, wajah, disangkal pasien.
C. Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
D. Riwayat penyakit keluarga
Pasien mengaku dalam keluarga ada yang mengidap penyakit serupa
(paman pasien).
E. Riwayat alergi
Pasien mengaku tidak ada riwayat alergi makanan maupun obat
b. Status generalis
Gambar 6. Punggung
2.4 PEMERKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan ialah pemeriksaan cuping telinga dan
kerokan kulit.
Hasil yang didapatkan ialah :
Cuping telinga kanan +3 Clumps (+)
Cuping telinga kiri +3 Clumps (+)
Tangan +3 Clumps (+)
Kaki +2 Clumps (+)
Tulang belakang +2 Clumps (+)
Indeks Morfologi:79%
2.5 DIAGNOSIS BANDING
Veruka Vulgaris
Neurofibromatosis
2.6 DIAGNOSIS KERJA
BAB III
PEMBAHASAN
Kusta ialah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudain
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. M. leprae berbentuk kuman
dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.
M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita
yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. 1
Pada kasus ini, pasien Ny. F.M usia 56 tahun diberikan diagnosis kerja Morbus
Hansen atau kusta tipe Multibasiler (MB). Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dimana dari
anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan muncul benjolan yang semakin hari
semakin banyak sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan pernah diobati tetapi selalu
muncul lagi. Benjolan tidak terasa sakit jika di tusuk, jikalaupun terasa sakit, rasa
sakit tidak separah jika ditusuk di bagian selain pada benjolan. Pasien juga
mengaku pernah tinggal dan melakukan kontak erat dengan pasien morbus hansen
(kusta). Hal ini sesuai dengan teori yaitu apabila terdapat salah satu cardinal sign
dari kusta yakni seperti muncul bercak atau benjolan yang mati rasa atau
hipoestesi, kerusakan saraf tepi, dan hasil BTA (+) maka dapat didiagnosis sebagai
kusta.2
Dari pemeriksaan fisik didapatkan papul yang meninggi dan nodul, tidak
disertai eritema, ukuran miliar sampai lentikuler, Jumlah > 5, distribusi tidak
merata dan simetris, masih terdapat kulit sehat, hipoestesi dan anestesi yang
kurang jelas. Berdasarkan teori, menurut WHO, lesi kulit pada kusta tipe
multibasiler (MB) bisa berbentuk papul yang meninggi, makula dan nodul dengan
berjumlah > 5 lesi, distribusi lebih simetris dan hilangnya sensasi kurang jelas. 1
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan cuping
telinga dan kerokan lesi. Dimana didapatkan hasil berupa: cuping telinga kanan
+3 clumps (+), cuping telinga kiri +3 clumps (+), tangan +3 clumps (+), kaki +2
clumps (+), tulang belakang +2 clumps (+) dengan indeks morfologi:79%.
Berdasarkan teori, pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah
pemeriksaan cuping telinga dan kerokan lesi sebagai pemeriksaan bakterioskopis.
Pemeriksaan bakterioskopis (kerokan jaringan kulit) yang bertujuan untuk
penegakan diagnosis dan elevasi hasil pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan
jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), dengan ZIEHL-NEELSEN
dilakukan pengambilan bahan sediaan dengan cara kerokan kulit minimal dari 4-6
tempat. Dapat juga dilakukan pemeriksaan histopatologik dan pemeriksaan
serologik seperti tes lepromin, uji MLPA (Mycobacterium leprae Particle
Aglutination), ELISA, ML dipstick test dan ML flow test.1,3
Diagnosis banding dari kasus ini ialah veruka vulgaris dan neurofibromatosis.
Neurofibromatosis merupakan tumor nodular bertangkai, tumor lunak dan
ukurannya macam-macam. Sediaan kerokan dari nodus yang hasilnya negatif
membedakannya dari kusta dan tidak ada tanda-tanda kusta lainnya. Veruka
vulgaris ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh HPV tipe 2. Gambaran
klinisnya berbentuk papul padat verukosa, keratotik, dengan ukuran beberapa mm
- 1 cm .BTA (-), gambaran histopatologis menunjukkan akantosis, hiperkeratotis,
papilomatosis dan rete ridges memanjang mengarah ke medial.3,4
Tujuan utama pengobatan kusta ialah memutuskan mata rantai penularan
untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita
serta mencegah timbulnya komplikasi. Pada pasien ini, diberikan terapi berupa
MDT kusta yang regimennya ialah DDS dengan dosis 100 mg/hari, Rifampisin
600 mg/bulan, dan klofazimin 300mg setiap bulan dan diteruskan 50 mg/hari atau
100mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu. Hal ini sudah sesuai
dengan teori dimana nantinya kombinasi obat ini akan diberikan selama 12-18
bulan dan selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan
dan secara bakterioskopis minimal setiap tiga bulan. 1,5
Secara teori, DDS termasuk dalam kelompok sulfon yang mekanisme kerjanya
kurang lebih sama dengan sulfonamid tetapi lebih kuat dan lebih toksik. Daya
kerja leprostatisnya kuat berdasarkan persaingan substrat dengan PABA serta
inhibisi enzim folatsintetase kuman hingga pembentukan folat dan DNA kuman
dicegah. Efek samping jarang terjadi, jika ada dapat berupa sakit kepala, mual,
muntah, sukar tidur dan takikardi. Rifampisin merupakan antibiotik yang bersifat
bakterisid yang menghambat enzim kuman RNA-polimerase sehingga sintesa
RNA kuman terganggu. Efek samping yang paling sering muncul dari obat ini
ialah kemih berwarna merah muda. Sedangkan Klofazimin merupakan derivat
fenazin yang memiliki khasiat bakterisid berdasarkan pengikatan pada DNA
sehingga fungsinya diblokir. Disamping itu ia juga berkhasiat sebagai anti radang.
Efek samping yang sering timbul berupa kemih, keringat, air mata, selaput mata,
ludah dan tinja berwarna merah yang bersifat reversibel.6
Prognosis dari kusta berdasarkan teori ialah baik apabila ditangani secara
cepat dan tepat. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat ialah dengan
melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT secara tepat dan
tepat. Serta mengenali tanda dan gejala reaksi kusta secara cepat dan sesegera
mungkin memberikan terapi kortikosteroid.1,5
DAFTAR PUSTAKA