Disusun oleh :
Ranty Dwi Farasayu
(20/469853/KG/12217)
Pembimbing :
drg. Bramasto Purbo S., Sp.BMM
Menurut Muhammad dan Nazar (2017) prevalensi terjadinya impaksi gigi dari 90%
populasi adalah sebesar 33%. Impaksi molar ketiga merupakan kasus yang sering ditemukan
dengan insidensi sebesar 9,5-68%. Impaksi gigi adalah gagal erupsinya gigi akibat terhambat
oleh banyak faktor, seperti kekurangan ruang, gigi sebelahnya, jaringan keras atau jaringan lunak
Gigi molar ketiga adalah gigi yang terakhir erupsi, sehingga seringkali proses erupsi
molar ketiga tidak sempurna disebabkan karena kekurangan ruang. Posisi yang abnormal dari
impaksi tersebut dapat menyebabkan suatu keadaan patologis baik jaringan keras dan jaringan
lunak disekitarnya. .Komplikasi yang sering terjadi yaitu dental karies, perikoronitis, kelainan
periodontal, resorpsi akar gigi sebelahnya, kista, nyeri, dan fraktur mandibular sehingga
pencabutan atau ekstraksi gigi menjadi perawatan utama dalam menangani kasus tersebut (Busra
Proses pencabutan gigi molar ketiga dengan operasi dikenal sebagai odontektomi.
Komplikasi akibat proses odontektomi jarang terjadi hanya sekitar 6,9%. Namun posisi gigi
impaksi berdasarkan klasifikasi Pell dan Gregory, posisi IIC (12%) dan posisi gigi IIIB (19%)
sering terjadi komplikasi saat pengambilannya. Berbagai komplikasi dapat terjadi seperti
perdarahan, nyeri, edema, trismus, emphysema, dry socket, hematoma, ecchymoses, dan fraktur
adalah suatu kondisi infeksi dan inflamasi pada tulang akibat invasi bakteri (Navarro dkk., 2017).
Insidensi terjadi osteomyelitis atau fraktur mandibular hanya 0,0046%-0,0049 (Yamamoto dkk.,
2019).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Osteomyelitis
Osteomyelitis adalah infeksi lokal jaringan korteks dan trabekular pada tulang dan sum-
sum tulang yang terjadi pada tulang rahang akibat infeksi kronis. Infeksi tersebut dapat
atau non suppurative, dan akut atau kronis. Osteomyelitis akut merupakan infeksi yang menyebar
pada medullar space dimana imun tubuh tidak memiliki cukup waktu untuk merespon infeksi
bakteri tersebut sehingga infeksi menyebar. Osteomyelitis kronis merupakan infeksi yang terjadi
dimana sistem imun yang menghasilkan jaringan granulasi kemudian menjadi jaringan padat
merupakan bentuk isolasi area infeksi (Anggayanti dkk., 2018; Yoeh dkk., 2005). Menurut Yoeh
dkk (2005) osteomyelitis kronik dapat terjadi apabila pada fase osteomyelitis akut tidak
Faktor resiko yang dapat meningkatkan seseorang untuk mudah mengalami infeksi tulang
atau osteomyelitis yaitu pasien yang sedang menjalani perawatan radioterapi pada mandibula,
immunosupresif (kortikosteroid dosis tinggi pada pasien transplatasi dan pasien dengan riwayat
auto-immun), serta oral hygiene buruk dan kebiasaan merokok atau alkohol (Yoeh dkk., 2005).
Penyebab utama kronik osteomyelitis adalah mikroorganisme odontogenik, hal tersebut terjadi
akibat komplikasi dari tindakan pencabutan gigi dan pembedahan, trauma maksilofasial, dan
treatment inadekuat dari fraktur, serta radiasi pada mandibular (Yoeh dkk., 2005).
2. Pencabutan gigi impaksi
Gigi impaksi adalah gigi yang tidak berhasil erupsi ke arcus dentalis akibat terblok dari
gigi sebelahnya, tulang tebal, jaringan ikat padat, atau dikelilingi jaringan patologis. Impaksi gigi
perikoronitis, resorpsi akar disekitarnya, terbentuknya kista, karies gigi sebelahnya, nyeri, dan
bahkan menyebabkan fraktur mandibular. Mencegah terjadi abnormalitas lebih lanjut diperlukan
proses pencabutan atau bedah pengambilan gigi impaksi. Suatu usaha untuk mengambil gigi
Odontektomi adalah proses pengambilan gigi tanpa memotong gigi menjadi beberapa
bagian. Namun dapat juga dilakukan pemotongan bagian gigi guna menjaga struktur tulang
disekitar gigi impaksi. Indikasi odontektomi terdiri dari large bulbous crown, impkasi deep
horizontal atau mesioangular, impaksi distoangular dengan tertutupi tulang, bentuk tulang yang
tidak menguntungkan seperti divergen, locking, dilaserasi atau hipersementasi, akar yang
mendekati Nervus Alveolaris Inferior, struktur gigi karies dan fragile. Keuntungan pengambilan
gigi impaksi yaitu mengurangi resiko kerusakan gigi sebelahnya, mengurangi waktu operasi,
jumlah tulang yang dikurangi sedikit, area kerja operasi kecil sehingga mengurangi resiko
kerusakan pada gigi sebelahnya, mengurangi resiko kerusakan pada nervus alveolaris inferior
(Balaji dkk., 2018; Mehrotra, D., 2020). Kelemahan odontektomi yaitu pada pasien lansia,
odontektomi sulit dilakukan karena terdapat sclerosis pada struktur gigi, kemudian terkadang
terdapat struktur gigi yang shallow, impaksi gigi dengan adanya bulbous crown sulit, bentuk
kurva akar yang bervariasi perlu diambil secara terpisah (Balaji dkk., 2018).
Fraktur mandibular akibat proses odontektomi jarang sekali terjadi pada mandibular
hanya sekitar 0,0034% -0,0075%. Pada umumnya fraktur mandibular terjadi pada area tulang
yang sudah mengalami proses patologis. Fraktur patologis terjadi biasanya diikuti dengan
terjadi karena alasan idiopatik. Beberapa literature menyatakan bahwa fraktur patologis paling
banyak adalah ketika pengambilan molar ke-3. Hal ini disebabkan karena pengambilan molar
ketiga membutuhkan kekuatan yang cukup tinggi. Beberapa faktor resiko untuk terjadi fraktur
patologis yaitu umur, gender, tipes impaksi, perluasan infeksi, teknik pengambilan. Umur
merupakan faktor resiko paling tinggi, karena semakin usia bertambah maka elastisitas tulang
mandibula semakin berkurang, semakin tinggi terjadinya ankylosis. Pada faktor resiko gender,
insidensi tertinggi adalah pada laki-laki. Pada faktor resiko tipe impaksi, insidensi tertinggi
faktor resiko berupa infeksi, yaitu infeksi seperti periodontitis dan perikoronitis, dengan adanya
lesi disekitar tulang akan menyebabkan menurunnya kekuatan tulang akibat pengambilan lesi
LAPORAN KASUS
1. Laporan Kasus
Pasien pria usia 60 tahun datang ke Rumah Sakit Gigi Mulut Barcelona spesialis Bedah
Mulut mengeluhkan tidak nyaman pada rahang bawah kanan nya selama 3 bulan. Pemeriksaan
subyektif pasien memiliki riwayat hipertensi, dyslipidemia, dan kanker prostat sejak 2002 serta
sedang perawatan radioterapi dan terapi hormon hingga 2005). Tidak memiliki riwayat alergi,
Pemeriksaan introral memiliki periodontitis general, terdapat gigi yang gagal erupsi yaitu
gigi 48 dan tertutup gusi pada bagian oklusal, dan berdasarkan pemeriksaan radiologi dengan
radiodiagnosa impaksi, dengan itu di diagnosis perikoronitis disertai impaksi gigi 48.
g sebelum operasi, dan eksodonsia dilakukan dengan anestesi local aritcaine 4% (1:100000).
Tahapan perawatan yaitu anestesi lokal, bedah insisi, elevasi flap mukoperiosteal, osteoktomi,
tooth sectioning, pengambilan bagian gigi, kuretase jaringan granulasi, irigasi saline, kemudian
Pada akhir perawatan terdapat mobilitas pada gigi 47, dokter menyarankan untuk
dilakukan pencabutan pada gigi 47, hanya saja pasien meminta untuk diobservasi terlebih dahulu
setelah beberapa minggu. Pasca pencabutan, dokter meresepkan antibiotik amoksisilin 1 g setiap
8 jam selama 7 hari, Ibuprofen 600 mg setiap 8 jam sekali selama 5 hari, Paracetamol 1 g setiap
8 jam sehari ketika demam saja, Omeprazol 20 mg sekali sehari selama 7 hari, dan Klorheksidin
kesulitan membuka mulut (trismus). Dimana, Maximum Interincisal Opening (MIO) hanya
sebesar 24 mm, nyeri dengan VAS 9. Kemudian jahitan dilepas dan direkomendasikan tetap
Minggu kedua pasca pencabutan, pasien mengeluhkan nyeri pada area pencabutan
denganVAS 8, serta MIO sebesar 28 mm. Berdasarkan pemeriksaan klinis inspeksi, area bekas
pencabutan terlihat baik dan tidak ada inflamasi. Kemudian radiograf panoramik dilakukan.
Diagnosis sementara adalah dry socket (alveolitis). Treatmen yang diberikan adalah pemberian
jam sekali selama 7 hari, dan obat kumur klorheksidin 0,12% 2x sehari.
Minggu keempat, nyeri dan trismus menurus. VAS menjadi 3 dan MIO menjadi 35 mm.
5 minggu kemudian pasien mengeluhkan nyeri tekan pada muskulus masseter dengan VAS 6. Di
diagnosis myositis pada muskulus masseter, kemudian diresepkan obat tetrazepam yaitu
5 hari kemudian pasien kembali dan mengeluhkan nyeri parah dengan VAS 10.
Kemudian pasien dirujuk ke Rumah Sakit Universitas Bellvitge spesialis Bedah Mulut. Pasien
menegeluhkan nyeri berat. Pemeriksaan klinis tidak menujukan kontraktur pada area
temporal/masseter. Pada area bekas odontektomi. Saat dilakukan tekanan , terdapat keluarnya
ekusdat seropurulen, dan tidak terdapat ”step-offs’’ tkan hasil area tulang. Pemeriksaan radiologi
panoramic dan CT scan dilakukan, didapat rarefaksi (penipisan) yang mengarah ke osteomyelitis
dengan adanya garis fraktur pada sudut mandibular kanan. Perawatan bedah direncanakan untuk
mengurangi dan fiksasi fragmen fraktur. Area operasi dikuretase kemudian dikirim ke
laboratorium mikrobiologi dan patologi anatomi. Pasien juga diresepkan moxifloxacin 400 mg
sekali sehari selama 8 minggu dan metrodinazol 500 mg setiap 8 jam sekali selama 1 bulan.
Hasil dari pemeriksaan laboratorium yaitu sekuestra tulang dan kolonis bakteri
Peptostreptococcus prevotti, anaerobic cocci, dan bakteri gram positif. Diagnosis final adalah
Osteomyelitis pada mandibular disertai fraktur patologis komplikasi pencabutan gigi molar ke-3.
Empat bulan pasca pembedahan dan treatmen antibiotic. Pasien tidak merasa tidak ada nyeri dan
tidak ada tanda inflamasi. Pemeriksaan CT-Scan dengan hasil pembentukan tulang baru pada
PEMBAHASAN
Ekstraksi gigi molar ketiga adalah prosedur yang sering dilakukan seorang dokter gigi
umum atau spesialis. Banyakan prosedur pengambilan molar ketiga tidak memiliki komplikasi
intraoperatif atau postoperative yang besar. Namun rata-rata persentase kasus terjadi komplikasi
sebesar 4,6%-30,9%.
Osteomyelitis pada rahang setelah ekstraksi gigi impaksi adalah hal yang jarang terjadi.
Penyebab paling sering osteomyelitis adalah trauma (pembedahan), infeksi pulpa, periodontal
dan dentoalveolar. Onset terjadinya osteomyelitis dapat berasal dari infeksi periodontal pada gigi
molar ke-2 yaitu meluasnya bakteri ke area sekitar dengan cara inokluasi mikroogranisme pada
Fraktur mandibula pasca pencabutan gigi terjadi hanya sekitar 0,003% dan 0,005% kasus.
Berdasarkan jurnal Boffano dkk. (2013) kebanyakan fraktur (74%) terjadi pada minggu ke-3
pasca operasi, dan 26% saat operasi. Beberapa faktor resiko yang dapat berkaitan dengan
terjadinya fraktur yaitu umur, gender, tipe impaksi, infeksi lanjutan, dan perluasan osteotomy.
Banyak jurnal menyatakan trauma merupakan penyebab umum terjadinya fraktur (2% dari total
Berdasarkan Gerhards dkk (1998) terdapat fraktur patologis, 50% diantaranya disebabkan
karena infeksi. Berdasarkan penelitian Wagner dkk (2005) terdapat 17 pasien diduga fraktur
rahang setelah odontektomi 82% terjadi pasca odontektomi, dan 18% tidak terdapat. Dengan
kesimpulan, penyebab utama fraktur patologis pada pasien kasus ini adalah adanya
osteomyelitis. Infeksi berasal dari area terdeka yaitu jaringan periodontal yang mengalami
inflamasi (periodontitis). Penegakan diagnosis osteomyelitis sejak sekarang adalah untuk
Penulis jurnal ini mengasumsikan ada 2 kemungkinan pendekatan pada kasus ini, yaitu
pertama onset terjadi osteomyelitis rahang setelah pencabutan molar ke-3 impaksi, dimana
prosedur ini dapat menghasilkan infeksi sekunder pada jaringan yang tidak dikontrol oleh
antibiotic, durasi yang lama dari infeksi ini dapat menyebabkan kelemahan pada tulang dan
menghasilkan fraktur. Kedua, yang harus diketahui adalah fissure fraktur yang dihasilkan saat
melakukan eksodonsia , pada waktu yang cukup lama dapat menyebabkan fraktur, hanya saja
pada minggu pertama setelah operasi belum terlihat, sehingga asumsi kedua ini dapat diabaikan.
BAB V
KESIMPULAN
1. Osteomyelitis diikuti dengan fraktur patologis mandibula pasca pencabutan molar ketiga
tindakan pembedahan.
3. Dokter Gigi harus mampu mengenali tanda gejala awal komplikasi pencabutan dari