Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

BIDANG ILMU PROSTODONSIA


REQUIREMENT: GIGI TIRUAN
JEMBATAN
“Rehabilitasi Prostodontik Agenesis Insisivus Lateral Maksila Bilateral:
Laporan Kasus dengan Follow-up Setahun”

NAMA DPJP:
drg. Bambang Tri Hartomo, M.Si.

NAMA MAHASISWA:
Eka Dhamma Dina Anjasrini
G4B017033

Komponen Nilai Resume Diskusi

Nilai

Tanda tangan
DPJP

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER GIGI
PURWOKERTO
2022
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kehilangan gigi dapat mempengaruhi struktur orofasial seperti jaringan tulang,


persarafan, otot-otot, dan berkurangnya fungsi orofasial. Selain itu, mukosa rongga
mulut akan mengalami perubahan pada struktur, fungsi, dan juga elastisitas jaringan
mukosa rongga mulut. Kehilangan gigi dapat terjadi karena adanya interaksi faktor
kompleks seperti penyakit periodontal, trauma, dan kasus yang paling sering terjadi
diakibatkan karena adanya karies yang dapat mengenai hingga bagian akar gigi.

Gigi tiruan cekat dapat berupa gigi tiruan jembatan dan mahkota jaket. Gigi
tiruan yang menggantikan kehilangan satu atau lebih gigi-geligi alami yang
dilekatkan secara permanen dengan semen serta didukung sepenuhnya oleh satu
atau beberapa gigi, akar gigi atau implan yang telah dipersiapkan disebut dengan
gigi tiruan jembatan. Gigi tiruan jembatan (GTJ) adalah gigi tiruan sebagian yang
dilekatkan secara tetap pada satu atau lebih gigi penyangga dan tidak dapat dilepas
oleh pemakainya. Pembuatan GTJ memerlukan beberapa pertimbangan yaitu
pertimbangan mekanis, fisiologis, hygiene, estetik, dan fonetik yang disesuaikan
dengan kasus, rencana perawatan, preparasi gigi, dan bahan restorasi. Empat desain
dasar gigi tiruan jembatan yang perbedaannya terletak pada dukungan yang ada
pada masing-masing ujung pontik, yaitu gigi tiruan jembatan lekat (fixed-fixed
bridge), setengah lekat (semi-fixed bridge), lekat sebelah (cantilever bridge), dan
konektor panjang (spring cantilever bridge). Keempat desain di atas dapat
dikombinasikan antara satu dengan yang lain dan disebut gigi tiruan jembatan
gabungan (compound bridge) (Tiku dan Jubhari, 2019).

Perawatan gigi tiruan jembatan yang paling sering dilakukan pada pasien
kehilangan gigi sebagian adalah fixed-fixed bridge. Fixed-fixed bridge adalah jenis
gigi tiruan cekat dengan pontik melekat permanen pada kedua sisi gigi asli sebagai
penyangga. Gigi tiruan cekat memiliki beberapa bagian penting yaitu pontik,
konektor, retainer, dan gigi penyangga. Fixed-fixed bridge merupakan salah satu
gigi tiruan jembatan yang memiliki dua atau lebih abutment dengan konektor rigid
pada kedua ujung pontiknya. Gigi tiruan ini memberikan kekuatan dan stabilitas
yang sangat baik dan juga mendistribusikan tekanan secara lebih merata ke restorasi
dan memberikan efek splinting yang sangat baik (Sulistiawaty et al., 2017).
Secara global, agenesis gigi non-sindrom sering ditemukan pada praktek klinis.
Walaupun begitu, penanganannya kompleks dan membutuhkan tim multidisipliner
untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ketika berbagai pilihan tersedia,
pertimbangan perawatan tidak hanya didasarkan kondisi dentofacial tetapi juga latar
belakang budaya dan social serta preferensi personal pasien. Jadi, pendekatan
perawatan yang terpusat pada pasien harus selalu dipraktikkan untuk mendapatkan
hasil yang optimal. Pada kasus ini, seorang pasien dengan pertumbuhan kraniofasial
yang sudah mapan menunjukkan adanya agenesis bilateral gigi insisivus lateral
maksila dan over retensi gigi caninus desidui kiri maksila menginginkan perbaikan
estetika. Pasien tidak menginginkan perawatan ortodontik karena durasi optimal
sebagai penghambat, dengan demikian, pendekatan prostodontik diambil dengan
menyediakan conventional cantilever bridge dan veneer keramik untuk mencapai
tujuan perawatan. Laporan ini mendiskusikan mengenai batasan yang
memungkinkan dari pendekatan prostodontik khususnya gigi tiruan jembatan dalam
menangani agenesis gigi.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum

Hipodonsia adalah anomali dental yang sering terjadi, didefinisikan sebagai


tidak adanya minimal satu benih gigi permanen atau desidui kecuali molar ketiga
(Chung et al., 2008). Benih gigi tersebut tidak berkembang maupun tidak ada.
Oleh karena itu, istilah hilangnya gigi secara kongenital (congenitally missing
teeth) yang sering digunakan untuk mendeskripsikan hipodonsia dianggap keliru
karena saat lahir dan kebanyakan gigi pada gigi permanen, yang merupakan gigi
yang paling umum tidak berkembang saat lahir. Dengan demikian, agenesis gigi
adalah istilah yang tepat, mencerminkan perkembangan anomali dimana benih
gigi tidak pernah berkembang pada setiap tahap kehidupan (Mani et al., 2014).
Beberapa istilah lain yang digunakan untuk mendekripsikan pola agenesis gigi
diantaranya adalah hipodonsia yang terbatas pada 5 gigi yang hilang selain molar
ketiga, oligodonsia dimana terdapat 6 atau lebih gigi yang hilang, dan anodonsia
dimana semua benih gigi permanen tidak ada seumur hidup (Mani et al., 2014).

Agenesis gigi adalah anomali perkembangan gigi-geligi yang sering ditemukan


dengan prevalensi beragam pada setiap populasi dan berkisar 0,3% hingga 10,1%
(Mani et al., 2014). Hal ini mengenai lebih banyak wanita Kaukasian namun tidak
terdapat bukti yang kuat yang menunjukkan predileksi gender pada populasi Asia
(Mattheeuws et al., 2004; Mani et al., 2014). Secara lokal, insisiv lateral maksila
adalah gigi yang paling sering terkena dengan prevalensi 1,7%. Hal ini diikuti
dengan premolar kedua maksila dan mandibula serta caninus maksila (Mani et
al., 2014). Koeksistensi anomali dental lain yang sering terjadi berkaitan dengan
agenesis gigi seperti over retensi gigi desidui, erupsi ektopik, mikrodonsia dan
perkembangan gigi yang terlambat (Garib et al., 2010).

Agenesis insisivus lateral rahang atas (MLIA) adalah kondisi gigi permanen
bawaan yang paling sering hilang di daerah anterior rahang atas (zona estetik).
Telah ditemukan bahwa perempuan lebih terpengaruh daripada laki-laki dan
MLIA bilateral lebih sering dilaporkan daripada kasus unilateral. Banyaknya
teori agenesis gigi menunjukkan etiologi multifaktorial yang melibatkan regulasi
genetik dan faktor lingkungan. Agenesis insisivus lateral maksila apakah
unilateral atau bilateral dapat memengaruhi kepercayaan diri, estetika senyum
dan hubungan sosial individu dapat terdampak (Fatimah dan Narmada, 2019).
Agenesis insisivus lateral maksila dapat menyebabkan berbagai masalah
estetik dan fungsional; hal tersebut dapat menyebabkan diastema antara gigi seri
sentral, jarak antara gigi seri permanen dan gigi taring, migrasi mesial gigi taring,
pergeseran garis tengah jika gigi hilang unilateral. Pilihan yang tersedia untuk
ortodontis adalah dengan mengkoreksi ruang dengan reposisi mesial gigi
kaninus, diikuti oleh gigi yang dikontur ulang; atau kombinasi pembukaan ruang
dan penggantian prostetik gigi insisivus lateral yang hilang. Gigi yang hilang
adalah alasan yang cukup signifikan untuk rehabilitasi oral yang luas yang
membutuhkan prosedur ortodontik, restoratif dan prostodontik di klinik gigi,
karena berbagai kombinasi estetika yang buruk dan disfungsi oklusal dapat
terjadi (Fatimah dan Narmada, 2019).

Moyers menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya gigi agenesis


adalah herediter. Adanya kondisi sistemik seperti rickets, syphilis dan gangguan
intra uterine yang parah juga menyebabkan kerusakan pembentukan benih gigi
sehingga gigi tidak erupsi. Penyebab lainnya adalah inflamasi atau infeksi lokal,
perubahan evolusi pada gigi geligi dan faktor lingkungan seperti iradiasi,
trauma, hormonal, tumor, rubella dan thalidomide. Diagnosis gigi agenesis
ditetapkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan interpretasi radiografi.

Gigi tiruan jembatan/bridge (GTJ) merupakan gigi tiruan sebagian yang


dilekatkan secara tetap pada satu atau lebih gigi penyangga untuk menggantikan
satu atau lebih gigi yang hilang (Walmsley, dkk., 2007). Restorasi prostetik ini
sering disebut juga fixed partial denture. Gigi geligi dalam rongga mulut
berperan penting dalam berbagai fungsi, antara lain mastikasi, fonasi, dan
estetika. Kehilangan elemen gigi baik sebagian atau seluruhnya dapat
mengurangi keseimbangan fungsi dalam rongga mulut, oleh karena itu
kehilangan gigi geligi hendaknya segera dibuatkan gigi tiruan pengganti (Prajitno
dkk, 2010).

Terdapat beragam klasifikasi kehilangan gigi, namun yang paling sering


digunakan ialah klasifikasi Kennedy dan Applegate Kennedy.
Penentuan kehilangan gigi menurut Kennedy terbagi menjadi empat macam
keadaan, yaitu:
1. Kelas I : Daerah tak bergigi terletak dibagian posterior dari gigi yang masih ada
dan berada pada kedua sisi rahang (bilateral).
2. Kelas II : Daerah tak bergigi terletak di bagian posterior dari gigi yang masih ada,
tapi hanya pada salah satu sisi (unilateral).
3. Kelas III : Daerah tak bergigi terletak diantara gigi-gigi yang masih ada di bagian
posterior maupun anteriornya dan unilateral.
4. Kelas IV :Daerah yang tak bergigi terletak pada bagian anterior dari gigi-gigi
yang masih ada dan melewati garis tengah rahang (Gunadi et al, 2016).
Dalam penentuan klasifikasi Kennedy, terdapat peraturan-peraturan tertentu
yang harus di perhatikan, antara lain (Applegate, 1960):
1. Klasifikasi yang diikuti pencabutan gigi yang mengubah klasifikasi sebelumnya
2. Jika M3 tidak ada, maka M3 tersebut tidak diperhitungkan dalam klasifikasi.
3. Jika M3 ada dan dapat digunakan sebagai penyangga, maka harus diperhitungkan
dalam klasifikasi
4. Jika M2 tidak ada dan tidak diganti maka tidak dipertimbangkan dalam klasifikasi
5. Kebanyakan daerah tidak bergigi pada bagian belakang selalu menentukan dalam
klasifikasi.
6. Daerah tidak bergigi selain menentukan klasifikasi juga menenujukan adanya
modifikasi dan direncanakan pada daerah tidak bergigi
7. Luasnya modifikasi ini tidak menjadi pengaruh, hanya jumlahnya yang
menentukan
8. Tidak ada modifikasi untuk lengkung kelas IV.
Kemudian klasifikasi Kennedy dilakukan modifikasi oleh Applegate, melihat
bahwa pembuatan desain gigi tiruan sebagian lepasan hendaknya didasarkan pada
sebanyak mungkin tanda-tanda klinis dan prinsip biomekanis, karena keadaan-
keadaan ini bersangkutan dengan cara memperoleh dukungan untuk protesa yang
akan dibuat. Oleh karena itu, Applegate memodifikasi klasifikasi Keneddy menjadi
Applegate-Kennedy. Klasifikasi Applegate-Kennedy:
1. Kelas I : Daerah yang tak bergigi sama dengan klasifikasi Kennedy (bilateral
free end). Keadaan ini sering dijumpai pada rahang bawah dan biasanya telah
beberapa tahun kehilangan gigi.
2. Kelas II : Daerah yang tak bergigi sama dengan kelas II Kennedy
(unilateral free end)
3. Kelas III : Daerah yang tak bergigi paradental dengan kedua gigi
tetangganya tidak lagi mampu memberi dukungan kepada gigi tiruan secara
keseluruhan (abutment).
4. Kelas IV : Daerah tak bergigi sama dengan kelas IV Kennedy, daerah tidak
bergigi terletak di bagian anterior dan melewati garis median.
5. Kelas V : Daerah tak bergigi para dental, dimana gigi tetangga anterior
tidak dapat dipakai sebagai gigi penyangga atau tak mampu menahan gaya
kunyah.
6. Kelas VI : Daerah yang tak bergigi para dental dengan kedua gigi
penyangga dapat digunakan sebagai penahan (Gunadi et al, 2016).
Indikasi pemakaian GTJ adalah kehilangan satu atau lebih gigi, kurangnya
celah karena pergeseran gigi tetangga ke daerah edentulous, gigi di sebelah
daerah edentulous miring, splint bagi gigi yang memiliki ketebalan email yang
cukup untuk dietsa. Kontraindikasi pemakaian GTJ adalah pasien yang tidak
kooperatif, kondisi kejiwaan pasien kurang menunjang, kelainan jaringan
periodonsium, prognosis yang jelek dari gigi penyangga, diastema yang panjang,
kemungkinan kehilangan gigi pada lengkung gigi yang sama, dan resorbsi lingir
alveolus yang besar pada daerah anodonsia (Jubhari, 2007).

Pilihan perawatan kasus kehilangan gigi dengan gigi tiruan jembatan memiliki
indikasi dan kontraindikasi sebagai berikut (Jubhari, 2016):

Indikasi:

1. Pasien usia muda

2. Lapisan email yang masih kuat

3. Tinggi mahkota klinis yang cukup untuk memberikan retensi yang baik
(perbandingan antara mahkota dan akar adalah 1:2)

4. Gigi penyangga berada di dalam lengkung rahang

5. Sebagai backing pada gigi asli yang fraktur, untuk dikombinasikan dengan
restorasi lain.

Kontraindikasi:

1. Email yang sudah mengalami karies atau tumpatan yang besar

2. Mahkota klinis pendek

3. Gigi malposisi

4. Pada kondisi email yang buruk, misalnya pada email yang mudah rapuh

Jenis-jenis GTJ adalah sebagai berikut (Veeraiyan, 2017):


Jenis Keterangan
Fixed fixed Pontik terhubung ke abutment dikedua sisi, memberikan kekuatan
bridge dan stabilisasi yang diinginkan. Kedua ujungnya direkatkan secara
kaku (rigid) pada gigi abutment.
Semi Fixed GTJ dengan satu ujung kaku (kaku) pada retainer, ujung lainnya
Bridge berakhir pada satu retainer berkunci yang memungkinkan
pergerakan-pergerakan terbatas (non-rigid).
2. Cantilever 2. Salah satu sisinya bersifat sebagai titik kontak. Dukungan dapat
bridge diperoleh dari satu atau lebih gigi penyangga pada satu sisi yang
sama.
Spring GTJ yang menggunakan lebih dari satu konektor panjang untuk
fixed menambah kekuatannya. Dukungan berupa gigi dan jaringan dimana
bridge sebuah pontik didukung dengan konektor panjang yang
menghubungkannya dengan abutment.
Syarat Pembuatan GTJ
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan GTJ adalah sebagai
berikut (Barclay dan Walmsley, 2001):
1. Syarat Mekanis
a. Gigi penyangga harus sejajar satu sama lain sehingga tidak
membahayakan vitalitas pulpa
b. Pontik harus mendekati bentuk anatomi gigi asli yang diganti dan harus
kuat menahan daya kunyah tanpa patah, aus, retak, bengkok (resisten), hal
ini berhubungan dengan kualitas bahan.
2. Syarat Biologis
a. Jembatan/bridge tidak boleh mengganggu kesehatan gigi penyangga dan
jaringan-jarinyan pendukung lainnya
b. Preparasi pada gigi vital tidak boleh membahayakan vitalitas pulpa
c. Retainer atau pontik tidak boleh mengiritasi jaringan lunak (gusi, lidah,
pipi, bibir)
3. Syarat Higienis
a. Permukaan harus melalui proses poles sempurna sehingga permukaan
oklusal licin
b. Tidak boleh terdapat bagian-bagian yang dapat membuat sisa-sisa
makanan tertimbun/menyangkut
c. Di antara pontik dan retainer harus ada sela-sela yang cukup besar
sehingga dapat dibersihkan dengan mudah oleh saliva atau lidah (self
cleansing effect)
d. Tidak terdapat celah yang besar antara gigi asli dengan restorasi (dental floss
dapat lewat)
4. Syarat Estetik
a. Harus dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai gigi asli, terutama
untuk mengganti gigi depan (estetik)
b. Pontik harus mempunyai kedudukan, ukuran, bentuk, dan warna yang
sesuai dengan keadaan sekitarnya dan mempunyai ciri-ciri permukaan
(surface detail) yang sepadan (matching) dengan gigi-gigi tetangganya
c. Perhatikan inklinasi gigi
5. Syarat Fungsional/Fonetik
a. Harus dibuat sedemikian rupa supaya fungsi bicara tidak terganggu
b. Memenuhi kriteria oklusi sehingga artikulasi juga akan baik
Komponen GTJ

Gambar 1. Komponen GTJ

GTJ terdiri dari beberapa komponen seperti retainer, konektor, dan pontik yang
didukung oleh gigi penyangga (Pickard, 2000).
1. Retainer
Retainer adalah bagian dari GTJ yang dilekatkan pada gigi abutment.
Beberapa macam retainer, yaitu:

a. Extra coronal retainer: retainer yang meliputi bagian luar mahkota


gigi seperti full dan partial veneer crown retainer
b. Intra coronal retainer: retainer yang meliputi bagian dalam mahkota
gigi penyangga. Bentuknya onlay dan inlay mesio-oklusal, disto-
oklusal, mesio-disto-oklusal
c. Dowel retainer: retainer yang meliputi saluran akar gigi, dengan
sedikit atau tanpa jaringan mahkota gigi dengan syarat tidak sebagai
retainer yang berdiri sendiri, contohnya pada mahkota pasak inti.
2. Penghubung/joint/connector
Connector merupakan bagian dari gigi tiruan jembatan yang
menghubungkan pontik dengan retainer, pontik dengan pontik atau
retainer dengan retainer sehingga menyatukan bagian-bagian tersebut
untuk dapat berfungsi sebagai splinting dan penyalur beban kunyah.
Terdapat 2 macam connector, yaitu rigid connector dan non rigid
connector (Pickard, 2000).

3. Pontik
Pontik yang dirancang untuk daerah yang mudah terlihat appearance zone
harus dapat memberi gambaran seperti gigi asli tanpa mengabaikan
prinsip- prinsip kebersihan. Sementara itu pontik yang dirancang untuk
daerah yang tidak mudah terlihat non-appearance zone (biasanya pada
gigi-gigi posterior rahang bawah) diutamakan hanya untuk merestorasi
fungsi dan mencegah gigi tetangganya bergeser. Pontik sebaiknya segaris
dengan retainer, hal ini untuk mencegah gerakan pada retainer/gigi
pegangannya. Pontik juga dibuat lebih sempit dibanding dengan gigi
pegangannya, sehingga tekanan pengunyahan yang berasal dari gigi
antagonisnya dapat diperkecil dan beban pada gigi pegangan akan menjadi
berkurang (Jubhari, 2007).
Pontik berdasarkan desain:
a. Saddle Pontic
Pontik ini paling menyerupai gigi asli, karena dapat menggantikan
seluruh gigi yang hilang tanpa merubah bentuk anatominya. Bagian
embrasure mesial dan distal tertutup, permukaan bukal overlaps pada
daerah edentulous ridge dengan bagian yang kontak berbentuk
cekung. Keadaan ini menyebabkan kebersihan kurang terjamin
sehingga akan menghasilkan peradangan pada jaringan di
bawahnya. Sebaiknya pontik jenis ini tidak dipakai/dipergunakan
(Tylman, 1970).

Gambar 2. Saddle Pontic


a. Ridge Lap Pontic
Pontik ini mempunyai gambaran seperti gigi asli, tetapi mempunyai
permukaan yang cembung pada daerah yang kontak dengan jaringan
di bawahnya sehingga memudahkan proses pembersihan. Permukaan
lingual pontik ini berbentuk membelok/melengkung sedikit untuk
mencegah terjadinya akumulasi sisa makanan, bagian bukal sedikit
cembung, daerah servikalnya menempel pada gingiva sehingga
memungkinkan jenis ini untuk daerah yang mudah terlihat
(appearance zone). Pontik ini bisa digunakan untuk RA maupun RB
(Prajitno, 2002).

Gambar 3. Ridge Lap Pontic

b. Hygienic Pontic
Pontik jenis ini tidak mempunyai bagian yang menempel sama sekali
dengan jaringan di bawahnya/ridge. Bentuk ini sering disebut juga
sebagai "sanitary pontic" tetapi hal ini sebetulnya keliru, karena
sanitary pontic merupakan nama dagang yang tergolong di dalam tipe
pontik

bukan pada kelompok desain pontik. Jenis ini dirancang untuk daerah yang tidak mudah
terlihat (non-appearance zone) dengan demikian daerah yang paling tepat adalah posterior
RB. Ketebalan oklusogingival pontik ini tidak boleh kurang dari 3 mm, dan jarak antara
ridge dengan pontik cukup lebar untuk memberikan fasilitas pembersihan (Prajitno, 2002).
Gambar 4. Hygienic Pontic

c. Conical Pontic
Pontik ini mempunyai bentuk konus pada daerah yang menempel dengan
jaringan di bawahnya, sehingga mempunyai kecenderungan untuk terjadi
akumulasi sisa makanan sering disebut sebagai bullet /spheroid pontic
(Prajitno, 2002).

Gambar 5. Conical Pontic

Pontik berdasarkan bahan (Smith dkk, 2007):


a. Pontik logam
Logam yang digunakan untuk membuat pontik pada umumnya terdiri dari
alloy, yang setara dengan alloy emas tipe III.

Alloy ini memiliki kekuatan dan kelenturan yang cukup sehingga tidak
mudah menjadi patah atau berubah bentuk (deformasi) akibat tekanan
pengunyahan. Pontik logam biasanya dibuat untuk daerah-daerah yang
kurang mementingkan faktor estetis, namun lebih mementingkan faktor
fungsi dan kekuatan seperti pada jembatan posterior.
b. Pontik porselen
Pontik jenis ini merupakan pontik dengan kerangka dari logam sedangkan
seluruh permukaannya dilapisi dengan porselen. Pontik ini biasanya
diindikasikan untuk jembatan anterior dimana faktor estetis menjadi hal
yang utama. Pontik porselen mudah beradaptasi dengan gingival dan
memberikan nilai estetik yang baik untuk jangka waktu yang lama.
c. Pontik akrilik
Pontik akrilik adalah pontik yang dibuat dengan memakai bahan resin
akrilik. Dibandingkan dengan pontik lainnya, pontik akrilik lebih lunak
dan tidak kaku sehingga membutuhkan bahan logam untuk kerangkanya
agar mampu menahan daya kunyah/gigit. Pontik ini biasanya
diindikasikan untuk jembatan anterior dan berfungsi hanya sebagai bahan
pelapis estetis saja.
d. Kombinasi Logam dan Porselen
Pontik ini merupakan kombinasi logam dan porselen dimana logam akan
memberikan kekuatan sedangkan porselen pada jenis pontik ini
memberikan estetis. Porselen pada bagian labial/bukal dapat
dikombinasikan dengan logam yang bertitik lebur tinggi (lebih tinggi dari
temperatur porselen). Tidak berubah warna jika dikombinasikan dengan
logam, sangat keras, kuat dan kaku dan mempunyai pemuaian yang sama
dengan porselen. Porselen ditempatkan pada bagian labial/bukal dan
daerah yang menghadap linggir, sedangkan logam ditempatkan pada
oklusal dan lingual. Pontik ini dapat digunakan pada jembatan anterior
maupun posterior.
e. Kombinasi Logam dan Akrilik
Pada kombinasi logam dan akrilik ini, akrilik hanya berfungsi sebagai
bahan estetika sedangkan logam yang memberi kekuatan dan dianggap
lebih dapat diterima oleh gingival sehingga permukaan lingual/palatal dan
daerah yang menghadap gusi dibuat dari logam sedangkan daerah
labial/bukal dilapisi dengan akrilik.

4. Penyangga/abutment
Penyangga/abutment sesuai dengan jumlah, letak dan fungsinya antara lain:
a. Single abutment hanya mempergunakan satu gigi penyangga
b. Double abutment bila memakai dua gigi penyangga
c. Multiple abutment bila memakai lebih dari dua gigi penyanggal
d. Terminal abutment
e. Intermediate/pier abutment
f. Splinted abutment
g. Double splinted
5. Saddle
Saddle adalah bagian dari gigi tiruan yang menutupi mukosa di atas prosesus
alveolaris dan mendukung elemen gigi tiruan. Letak saddle yaitu:
a. Di antara gigi asli disebut bounded saddle
b. Di bagian posterior dari gigi asli disebut free end saddle

A. Jenis GTJ
Jenis-jenis GTJ adalah sebagai berikut:
1. Rigid fixed bridge
Gigi tiruan jembatan yang menggantikan kehilangan satu atau lebih gigi yang
berurutan. Gigi tiruan ini didukung oleh satu atau lebih gigi penyangga pada
masing-masing ujung diastema dan dalam pemakaiannya tidak ada pergerakan
individual dari gigi penyangga. Pada bagian gigi yang hilang

terhubung dengan gigi penyangga dan harus mampu mendukung fungsional


dari gigi yang hilang. Indikasi dari perawatan dengan menggunakan fixed- fixed
bridge yaitu jika gigi yang hilang dapat terhubung dengan gigi penyangga yang
mampu mendukung fungsional dari gigi yang hilang (Ewing, 1959).
a. Indikasi
1) Untuk kehilangan 1-4 gigi secara berurutan
2) Pada tekanan kunyah yang normal atau besar
3) Gigi penyangga yang pendek
4) Salah satu gigi penyangga goyang derajat 1 (tanpa kelainan periodontal
atau paska terapi periodontal)
b. Keuntungan
1) Indikasi terluas
2) Memiliki efek splinting terbaik
c. Syarat khusus
Gigi penyangga baik posisi dan inklinasinya harus sejajar atau bila vital dapat
dibuat sejajar tanpa membahayakan pulpa (misalnya salah satu gigi penyangga
miring 15-200).
Gambar 6. Rigid Fixed Bridge

2. Fixed movable bridge


Fixed movable bridge merupakan bridge yang salah satu pontiknya
dihubungkan pada retainer dengan konektor non-rigid, sedangkan yang satunya
dihubungkan dengan konektor rigid (biasanya yang rigid pada bagian distal
edentulous dan non-rigid pada mesial edentulous). Bridge jenis ini dapat
digunakan untuk gigi anterior dan posterior. Indikasi untuk salah satu gigi
penyangga miring atau rotasi (Tylman, 1970).
a. Keuntungan

1) Mengatasi kesulitan melakukan insersi


2) Tidak mengganggu pergerakan individual gigi penyangga
b. Kerugian
1) Kemungkinan fraktur
2) Pembuatan rumit

Gambar 7. Fixed Movable Bridge


3. Cantilever bridge
Cantilever bridge merupakan fixed bridge yang menggantikan kehilangan satu
gigi dan didukung oleh satu atau lebih gigi penyangga hanya pada satu sisi saja.
Salah satu sisi pontik dihubungkan oleh konektor rigid, sedangkan sisi yang
lainnya melayang (Prajitno, 2002).
a. Keuntungan
1) Desain sederhana
2) Tidak mengalami kesulitan insersi
3) Pekerjaan klinik dan laboratorium dental tidak lama
4) Tidak membuang jaringan sehat terlalu banyak
5) Estetik baik
b. Indikasi
Terutama pada kehilangan gigi anterior, dengan keadaan sebagai berikut:
1) Tekanan kunyah yang ringan
2) Ruang anodonsia kurang
3) Gigi tetangga malposisi
4) Menggantikan P1 dengan penyangga P2 dan M1 pada RA/RB
5) Retainer: mahkota penuh, mahkota sebagian

Gambar 8. Cantilever Bridge

4. Maryland bridge
Dentures maryland bridge adalah salah satu jenis dari gigi tiruan jembatan
yang bagian pontiknya terbuat dari porselen. Kedua sayapnya terbuat dari metal
atau bisa juga dari komposit. Sayap maryland bridge ini dilekatkan pada kedua
sisi dari gigi penyangga dengan penyemenan (Pickard, 2000).
Pengurangan gigi hanya dilakukan untuk menyiapkan tempat saat sayap akan
dilekatkan pada gigi penyangga. Preparasi dilakukan tidak diperlukan anastesi
pada pasien karena hanya akan melakukan pengasahan yang minimal pada gigi
penyangga, kecuali pada pasien yang memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi.
Kekurangan dari gigi tiruan ini adalah hanya bisa diindikasikan pada pasien
yang memiliki kasus dengan space yang kecil atau terjadi kehilangan gigi tidak
banyak (Setiawan dkk, 2016).
a. Indikasi:

1) Periodontal Splinting

2) Replacement of missing teeth

3) Prosthodontic splinting

4) Combination with removable

b. Kontra indikasi:
1) Sensitivitas terhadap paduan logam dasar

2) Perubahan estetika wajah abutment (bentang panjang, enamel tidak


memadai untuk ikatan)
3) Kualitas enamel buruk

4) Mahkota klinis yang pendek

5) Persempit embrasure

6) Gigi seri dengan dimensi tipis lingual bukal

7) Patologis oklusi (bruxism)

8) Maloklusi
9) Tinggi tingkat karies atau resiko karies tinggi

Gambar 9. Maryland Bridge

5. Compound bridge
Compound bridge merupakan bridge dengan menyederhanakan suatu
kompleks GTJ menjadi dua GTJ sederhana. Struktur pada bridge ini
memperkecil kemungkinan terjadinya kegagalan, tidak mengorbankan gigi
sehat terlalu banyak serta memudahkan melakukan insersi (Prajitno 2002).

Gambar 10. Compound Bridge


B. Tahap Pembuatan Bridge
1. Prosedur Perawatan
a. Persiapan sebelum preparasi (Pickard, 2000):
1) Pencocokan warna gigi dengan shade guide
2) Retraksi gingiva sebelum pencetakan dan preparasi servikal
3) Mencetak gigi untuk membuat model studi bentuk negative menggunakan
sendok cetak penuh atau sebagian dan dengan teknik mukostatik
menggunakan alginat. Sendok cetak diisi/dituang dengan gips tipe III
untuk memperoleh model kerja dan gips tipe II untuk memperoleh model
studi (bentuk positif)
4) Analisis cetakan positif (model studi) menggunakan dental surveyor
untuk mendapatkan patokan agar sumbu gigi penyangga saling sejajar
5) Catatan gigit (Occlusal Records)
6) Pemasangan pada artikulator/okludator

b. Preparasi gigi penyangga (Pickard, 2000)


Prinsip preparasi mahkota gigi sebagai penyangga gigi tiruan pada dasarnya
sama seperti preparasi pada pembuatan mahkota penuh, hanya saja, hasil
preparasi masing-masing gigi penyangga harus memiliki prinsip kesejajaran
pada seluruh bidang aksialnya (Kedokteran Gigi Unsoed, 2013). Terdapat
beberapa prinsip preparasi, yaitu kemiringan dinding-dinding aksial, ketebalan
preparasi, kesejajaran preparasi, preparasi mengikuti anatomi gigi, dan
pembulatan sudut-sudut preparasi (Prajitno, 2002).

Tahap preparasi gigi penyangga


(1) Preparasi proksimal
Permukaan proksimal dikurangi dengan membuang jaringan gigi dari sisi
labial dengan menarik bur ke insisal menggunakan bur pointed tapered
cylindrical. Bidang proksimal dibuat konvergen ke arah insisal dengan sudut
kemiringan 5-10o. Kesejajaran bidang proksimal gigi penyangga satu
dengan gigi penyangga lain harus sama atau sesuai dengan hasil surveyor.
(2) Preparasi oklusal
Preparasi mengikuti bentuk anatomis gigi asli menggunakan bur straight
cylindrical. Pengasahan dilakukan pada bidang buko oklusal terlebih
dahulu. Evaluasi hasil preparasi menggunakan sonde dengan diameter 1- 1,5
mm, apakah dapat melewati bidang oklusal pada saat beroklusi atau tidak.

(3) Preparasi bukal dan lingual


Pengasahan dilakukan sesuai dengan sumbu gigi dan sedikit konvergen 2 o-
5o dari sumbu gigi ke arah oklusal menggunakan round end tapered
cylindrical.
(4) Preparasi servikal
Pengasahan dilakukan dengan menggunakan round end tapered cylindrical
bur (chamfer) mengelilingi gigi membentuk finishing line. Untuk estetik,
tepi preparasi dapat masuk ke dalam sulkus gingiva.
(5) Setelah semua bidang dipreparasi, hasil preparasi dibulatkan dan dievaluasi
menggunakan sonde.

c. Pembuatan mahkota tiruan sementara


Membuat pontik dengan malam, sesuai dengan bentuk anatomis, inklinasi dan
oklusinya. Gigi yang akan dipreparasi dan model malam pontik dicetak dengan
alginat. Setelah preparasi selesai, olesi gigi yang telah dipreparasi serta daerah
di sekitarnya dengan vaselin. Cetakan alginat yang telah dibuat dicobakan dan
diberi tanda dengan pensil warna. Adonan cold cure acrylic sewarna gigi dibuat
pada dappen glass, kemudian masukkan ke dalam cetakan alginat. Posisikan
kembali cetakan ke dalam mulut, fiksasi sebentar hingga hampir mengeras.
Buang kelebihan akrilik pada alginat, kemudian lepaskan akrilik dari alginat.
Cobakan mahkota tiruan sementara ke dalam mulut, periksa ulang kontaknya
kemudian tunggu sampai mengeras. Lepaskan mahkota tiruan, haluskan dan
poles dengan pemoles akrilik, kemudian sementasi mahkota tiruan dengan
semen sementara (Zinc Oxide Eugenol/ZOE)
d. Kirim hasil cetakan ke laboratorium
e. Try in sekaligus cek kontak oklusi dan bagian proksimal menggunakan
articulating paper (Prajitno, 1994).
f. Sementasi permanen menggunakan bahan semen yang umum digunakan
antara lain GIC, Semen Resin, Zinc-Polikarbonat, dan Zinc-Fosfat.
LAPORAN KASUS

1. Identitas pasien
Jenis Kelamin: perempuan
Usia : 25 tahun

2. Pemeriksaan Subjektif
a) CC: Pasien berusia 25 tahun dirujuk ke klinik residensi
prosthodontic karena terdapat masalah estetik pada gigi anterior
atas yang dialami setelah pendaftaran mahasiswa kedokteran gigi
b) PI : Pasien tidak memiliki insisivus ke dua RA dan gigi taring yang erupsi
ektopik
c) PDH : Tidak tercantum pada jurnal
d) PMH: Tidak tercantum pada jurnal
e) FH : Keluarga tidak ada yang mengalami hal serupa
f) SH: Seorang mahasiswi kedokteran gigi

3. Pemeriksaan Intraoral
Tidak adanya kedua insisivus lateral rahang atas dengan gigi 13 dan 23
yang erupsi ektopik diamati pada pemeriksaan intra-oral. Diastema diamati
antara gigi 11-21 dan 13-14. Kedua working side adalah group function yang
meliputi kontak dari premolar pertama hingga molar kedua terhadap
lawannya. Tidak terdapat gangguan oklusal saat dilakukan pergerakan
mandibula secara eksentrik. Kontak antara insisivus sentral maksila terhadap
semua gigi insisivus mandibula terlihat saat pergerakan protrusif mandibula.

Gambar 11. Gambaran klinis gigi


4. Pemeriksaan Penunjang

Gambar 12. Foto periapikal


Berdasarkan pemeriksaan penunjang perhatikan angulasi akar gigi 13 dan 23
yang miring ke distal sesuai dengan jalur erupsinya yang biasa. Agenesis gigi
insisivus lateral rahang atas dihasilkan dalam posisi ektopik dari gigi kaninus
rahang atas.
5. Assesment
Absence of both maxillary lateral insicors with ectipically erupted tooth 13 and 23.
6. Rencana Perawatan
Gigi Tiruan Jembatan Cekat (Bridge)
7. Prosedur Perawatan
a. Kunjungan Pertama
1) Anamnesa dan pemeriksaan objektif
2) Mouth preparation (Skeling)
3) Pencetakan model studi dengan stock tray menggunakan alginat (untuk
pembuatan mahkota sementara)

b. Kunjungan kedua
1) Preparasi gigi penyangga dengan Flat End Tapering Bur sebanyak 1,5mm,
oklusal 2mm, servikal 1mm berbentuk shoulder)

Gambar 12: Preparasi gigi


2) Pencetakan dengan elastomer
3) Try in dan sementasi gigi tiruan jembatan sementara

c. Kunjungan ketiga
1) Try in gigi tiruan jembatan (estetik, adaptasi tepi retainer, adaptasi ujung
pontik terhadap gusi, titik kontak dengan gigi sebelah dan artikulasi.
2) Sementasi bridge dengan menggunakan GIC tipe 1
3) DHE pasien (menjaga OH, kontrol 7 hari kemudian)

Gambar 13: Hasil pemasangan bridge

d. Kunjungan keempat
Kontrol, apakah ada keluhan atau tidak, pemeriksaan intraoral pasien apakah
ada lesi pada area rongga mulut dan pastikan keadaan bridge dalam keadaan
baik.
DAFTAR PUSTAKA

Barclay, C. W., Walmsley, A. D., 2001, Fixed and Removable Prosthodontics, edisi
2, h. 115-122, Churchill livingstone, Tottenham.
Ewing J., E., Fixed Partial Prosthesis, 2nd ed, Lea & Febinger, Philadelphia, 1959:
169-77.
Jubhari, E. H., 2007, Upaya Untuk Mengurangi Preparasi Gigi: Fung Shell Bridge,
Jurnal Kedokteran Gigi Dentofasial, 6(1): 27-29.
Pickard, 2000, Manual Konservasi Restorative Menurut Pickard, Terjemahan oleh
Narlan Sumawinata, 2000, edisi 6, Widya Medika, Jakarta.
Prajitno, H., R., 2002. Ilmu Geligi Tiruan Jembatan: Pengetahuan Dasar dan
Rancangan Pembuatan, EGC, Jakarta.
Setiawan, A., Catur, S., Triwindiari, 2016, Prosedur Pembuatan Gigi Tiruan
Jembatan Immediate 543 Dengan Ovate Pontic Sebagai Restorasi Sementara,
Jurnal Kesehatan, 7(1): 144-147.
Smith, B., G., Howe, N., Leslie C., 2007, Planning and Making Crown and Bridges,
4th ed. Informa Healthcare, New York.
Tylman S., D., Construction of Pontics For Fixed Partial Dentures: Indications,
Types, and Materials. In Theory and Practice of Crown and Fixed Partial
Prosthodontics, 6th ed, CV Mosby, Saint Louis, 1970: 26, 165, 650-81.
Walmsley, A.D., Walsh, T.F., Lumley, P.J., Burke, F.J.T., Shortall., A.C., Hayes-
hall., R., Pretty, I.A., 2007, Restorative Dentistry Second Ed., Chuchill
Livingstone Elsevier, China

Anda mungkin juga menyukai