Anda di halaman 1dari 81

Jurnal Ilmiah

KEDOKTERAN GIGI TERPADU


Scientific Journal in Integrated Dentistry
Januari 2019. Volume 05. No. 01
ISSN : 977 2407841 159

Jurnal Ked.Gigi Vol. 5 No. 01 Hlm. 1-73 Januari ISSN


Terpadu 2019 977 2407841 159
Jurnal Ilmiah

KEDOKTERAN GIGI TERPADU

Penasehat :
Prof.Dr.Tri Erri Astoeti A., drg., MKes (Dekan FKG USAKTI)

Penanggung Jawab:
Dr. Wita Anggraini, MBiomed., drg., PAK., SpPerio

Pemimpin Redaksi:
Enrita Dian Rahmadini, drg.Sp.KGA

Dewan Redaksi:
Caroline D. Marpaung, drg.Sp.Pros
Tri Putriany Agustin, drg.Sp.KGA
Arianne Dwimega, drg. Sp.KGA
Armelia Sari, drg..MBiomed
Goalbertus, drg.,MM

Mitra Bestari:
Prof.Dr. Boedi Oetomo R., drg., M.Biomed (Usakti)
Prof. Dr.Melanie H.Sadono,drg., M.Biomed (Usakti)
Prof.Dr. Bambang S.Trenggono, drg.,MBiomed (Usakti)
Prof. Dr. Lies ZubardiahM. Qosim, drg., Sp.Perio (Usakti)
Prof.Dr.F.Loes Djimahit S, drg., M.Kes (Usakti)
Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg., M.Kes (Usakti)
Prof.Dr. E.Arlia Budiyanti,drg., SU (Usakti)
Prof.Dr. Suzan Elias, drg., Sp.Prost (Usakti)
Prof.Dr.S.S. Winanto, drg., Sp.KG (Usakti)
Prof. Anton Margo, drg., Sp.Pros (Usakti)
Prof. Janti Sudiono, drg., MDSc (Usakti)

Alamat Redaksi:
Bagian Kesehatan Gigi Anak
Fakultas Kedokteran Gigi-Universitas Trisakti
Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta 11440 Indonesia
Telepon: 021-5672731 ext. 1604
Email: j.ilmiahkedokterangigiterpadu@gmail.com
Kata Pengantar

Pembaca yang budiman

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan

pertolongannya Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu dapat terbit di awal tahun 2019. Berkala

Jurnal ilmiah ini akan terbit setahun dua kali yaitu pada bulan Januari dan Juli. Di dalam volume

ini kami menyajikan artikel-artikel yang beragam dari berbagai bidang ilmu, yang meliputi:

Biologi Oral, Ilmu Anatomi, Mikrobiologi, Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, Radiologi, Ilmu Bedah

Mulut, Ilmu Penyakit Mulut, Ortodonsia, Periodonsia, Prostodonsia dan Ilmu Konservasi Gigi.

Kami berharap sajian kali ini dapat memperkaya khasana Ilmu Kedokteran Gigi secara

terpadu. Redaksi berharap masukan serta dukungan para penulis dan pembaca demi

kelanggengan berkala ilmiah ini.

Salam Redaksi
Jurnal Ilmiah

KEDOKTERAN GIGI TERPADU


ISSN 977 2407841 159 Vol. 05, No. 01, Januari 2019

Daftar Isi

Penatalaksanaan Kasus Pencabutan Gigi Depan dengan Gigi Tiruan 1– 5


Sebagian Lepasan Imidiat
(Laporan Kasus)
Andy Wirahadikusumah
Pengaruh Sikat dan Pasta Gigi Terhadap Kekasaran Permukaan Resin 6–9
Komposit Nanohibrida
(Laporan Penelitian)
Deviyanti Pratiwi, Selvia Rizki Mulya
Pengaruh Bahan Bleaching Karbamid Peroksida 20% Dan 35% Terhadap 10 – 16
Kekerasan Resin Komposit Tipe Nano Hibrid
(Laporan Penelitian)
Dewi Liliany Margaretta, Reinaldo Sugianto
Regenerasi Tulang pada Kasus Abses Apikalis Kronis 17 – 20
(Laporan Kasus)
Elline
Hubungan Antara Gigi Berjejal Dan Gingivitis 21 – 27
(Laporan Penelitian)
Lies Zubardiah, Marilyn Octavia
Pertumbuhan Linier (stature) dan Tulang Dentofasial pada Penderita 28 – 32
Talasemia Beta Mayor
(Studi Pustaka)
Loes D Sjahruddin
Pentingnya Faktor Ergonomi dalam Penerapan Manajemen Keselamatan 33 – 40
dan Kesehatan Kerja Guna Pencegahan Nyeri Punggung Bawah pada
Dokter Gigi
(Studi Pustaka)
Mita Juliawati
Perawatan Ortodonti Paska Bedah Ortognati 41 – 45
(Tinjauan Pustaka)
Olivia Piona Sahelangi
Potensi Ekstrak Daun Dandang Gendis (Clinacanthus nutans) untuk 46 – 52
Mempercepat Penyembuhan Luka di Rongga Mulut
(Tinjauan Pustaka)
Moehamad Orliando Roeslan
Endokarditis Bakterialis pada Anak : Suatu Tinjauan Untuk Dokter Gigi
53 – 58
(Studi Pustaka)
Sri Ratna Laksmiastuti
Infeksi pada Dental Implan Serta Perawatannya 59 – 65
(Studi Pustaka)
Trijani Suwandi
Prevalensi Premature Loss Gigi Molar Kedua Sulung Dan Gambaran 66 – 73
Maloklusi. Kajian pada Pasien ortodonti RSGM Universitas Trisakti
tahun 2013– 2016
(Laporan Penelitian)
Yuniar Zen, Krisnadya Dewa Yanti
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5

Penatalaksanaan Kasus Pencabutan Gigi Depan dengan Gigi Tiruan Sebagian Lepasan
Imidiat
(Laporan Kasus)

Andy Wirahadikusumah
Staf Pengajar Bagian Prostodontik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,

ABSTRACT
Background: Almost all physical changes or loss cause psychological trauma to the patient. For
instance, patient may experience low self-esteem, get easily annoyed, and angry. Similar condition
may occur in patients who lost their front teeth. To add to psychological trauma, problems in
mastication and phonetic function may also develop. Objective: To discuss immediate removable
denture treatment management as a treatment alternative in cases with an esthetic function needs.
Case Report and Management: Patient came with fracture and mobile front teeth. The treatment
plan is to extract the anterior teeth, but patient doesn’t want to undergo edentulous period because of
low self-esteem of meeting other people.Treatment alternative for patient who doesn’t want to
undergo edentulous period is by making an Imidiate Removable Partial Denture ( IRPD ). Imidiate
removable partial denture inserted directly on the same day after teeth extraction.
Conclusion : Imidiate Removable partial denture can be an alternative to replace conventional
removable partial denture in which case of patient doesn’t want to undergo edentulous period . This
denture can be made for patient who already use removable partial denture and patient who never
used it.

Key word: Imidiate removable partial denture, acrylic removable partial denture, edentulous period

PENDAHULUAN sedangkan bila berfungsi sebagai gigi tiruan tetap


Estetik dan fonetik merupakan masalah maka gigi tiruan imidiat tersebut perlu dilakukan
utama yang harus dihadapi oleh pasien akibat penyesuaian dan perbaikan sesuai dengan proses
kehilangan gigi atau gigi gigi depannya. Untuk penyembuhan luka pencabutan dengan
mengatasi masalah ini dapat dibuatkan gigi melakukan direct relining. 2
tiruan yang dipasang segera setelah gigi gigi Gigi tiruan sebagian lepasan imidiat dapat
depan tersebut dicabut dan dikenal sebagai gigi dibuat baik untuk gigi depan maupun untuk gigi
tiruan imidiat. belakang , akan tetapi untuk gigi depan gigi gigi
Suatu gigi tiruan imidiat adalah gigi tiruan tiruan ini lebih sering dibuat guna
yang dibuat sebelum pencabutan gigi atau gigi menanggulangi trauma psikologis akibat
gigi asli dan dipasang segera setelah pencabutan terganggunya estetik dan fonetik. Gigi tiruan
gigi tersebut. Pembuatan gigi tiruan imidiat ini sebagian lepasan imidiat untuk gigi belakang
dapat dilakukan pada kasus-kasus dengan biasanya dibuat pada pasien yang membutuhkan
pembuatan geligi tiruan cekat (bridge), gigi peningkatan fungsi mastikasi, misalnya pada
tiruan lepasan penuh dan gigi tiruan sebagian pasien dengan kelainan fungsi lambung dan gigi
lepasan dan dapat dibuat baik untuk satu maupun tiruan jenis ini jarang dibuat. 2
untuk kedua rahang. Pada kasus yang akan
dibuatkan gigi tiruan penuh imidiat pada rahang TINJAUAN PUSTAKA
atas dan bawah sebaiknya dilakukan bersamaan Kehilangan gigi depan dapat disebabkan
untuk menghindari penyusunan gigi-gigi yang karena pencabutan gigi yang terpaksa dilakukan
mengikuti bidang oklusal gigi asli yang tersisa untuk memperbaiki estetik pasien, misalnya pada
dimana biasanya telah mengalami perubahan kasus protrusi gigi depan yang terlalu ekstrim
yang merugikan. 1 atau disebabkan akibat penyakit periodontal yang
Gigi tiruan lepasan imidiat dapat berfungsi biasanya disertai dengan terdapatnya karies pada
sebagai gigi tiruan sementara (transisional daerah servikal gigi atau bahkan pada permukaan
denture) dimana setelah penyembuhan luka akar gigi. Untuk mengatasi masalah kehilangan
pencabutan dibuatkan gigi tiruan yang baru, gigi tersebut biasanya dibuatkan gigi tiruan

1
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5

imidiat yang dapat berupa gigi tiruan cekat b. Bentuk bibir yang pendek dan aktif
imidiat atau gigi tiruan lepasan imidiat. Gigi sehingga pemakaian sayap akan
tiruan lepasan imidiat dapat berupa gigi tiruan mengganggu estetik.
sebagian lepasan bila masih terdapat beberapa c. Kasus yang membutuhkan tindakan bedah
gigi posterior atau dapat berupa gigi tiruan penuh yang minimalis.
imidiat bila gigi gigi posterior telah dicabut atau
pasien telah memakai gigitiruan sebagian lepasan 2. GTSI gigi anterior dengan sayap sebagian
berujung bebas (free end denture).3 a. Terdapat gerong pada bagian labial daerah
Perawatan dengan pembuatan gigi tiruan tak bergigi
imidiat ini sebaiknya diberikan untuk pasien b. Sayap dibutuhkan sebagai splin setelah
pasien dengan kondisi kesehatan umumnya baik, tindakan bedah
berusia relatif muda, memperhatikan
keberhasilan mulut nya, pasien yang dapat 3. GTSI gigi anterior dengan sayap penuh:
bekerja sama (kooperatif). 2,3 a. Terdapat sedikit gerong dalam pada bagian
Ada 2 tipe/jenis dari gigi tiruan sebagian labial linggir sisa.
lepasan imidiat gigi anterior yaitu: tanpa sayap b. Bentuk bibir yang panjang dan
(dengan soket); dengan sayap sebagian atau aktivitasnya normal.
penuh. (Gambar.1.). Indikasi kedua jenis gigi c. Kasus dengan kelainan periodontal,
tiruan ini sangat dipengaruhi oleh tipe profil dimana tulang pendukung sekitar gigi
wajah pasien atau hubungan antara rahang atas yang akan dicabut, sudah banyak hilang.
dan rahang bawah dari pasien sedangkan gigi
tiruan sebagian lepasan imidiat dengan sayap Sedangkan kontraindikasi untuk gigi tiruan
penuh dibuat untuk kasus pencabutan gigi lepasan imidiat (GTSI) gigi anterior adalah:
anterior dengan alveolektomi atau tanpa 1. GTSI gigi anterior tanpa sayap:
alveolektomi. Hal hal yang penting yang perlu a. Penderita dengan kelainan periodontal
dipertimbangkan dalam menentukan tipe gigi disertai resorpsi tulang alveolar.
tiruan sebagian lepasan imidiat adalah : b. Kasus dengan bentuk tulang alveolar tak
kedalaman gerong labial; tonus bibir; aktifitas beraturan
bibir; besar/derajat kelainan periodontal; bentuk
tulang alveolar; tindakan pembedahan 2. GTSI gigi anterior dengan sayap sebagian
(alveolektomi). 2 a. Penderita dengan bibir hiperaktif, sehingga
penggunaan sayap akan menyebabkan
terlihatnya mukosa, sehingga member efek
estetik yang buruk
b. Keadaan sosial dan ekonomi pasien
kurang, padahal pembuatan gigi tiruan
semacam ini perlu koreksi, sehingga perlu
biaya tambahan.2

3. GTSI gigi anterior dengan sayap penuh:


a. Pasien dengan gerong dalam pada region
labial linggir sisa.
b. Pasien dengan profil protrusif, sehingga
adanya sayap memberi kesan mulut jadi
Gambar.1. Tipe gigi tiruan sebagian lepasan imidiat penuh.2
gigi anterior yaitu: a. tanpa sayap (dengan soket), b.
dengan sayap sebagian, c. dengan sayap penuh.2
Seperti halnya perawatan dengan
pembuatan gigi tiruan konvensional, maka
Adapun indikasi khusus untuk gigi tiruan perawatan dengan pembuatan gigi tiruan imidiat
lepasan imidiat (GTSI) gigi anterior tersebut juga mempunyai keuntungan antara lain: pasien
adalah: tidak merasakan periode tidak bergigi yang dapat
1. GTSI gigi anterior tanpa sayap: menimbulkan rasa malu/rendah diri karena tidak
a. Terdapat daerah gerong dalam pada bagian merasakan adanya perubahan penampilan dan
labial daerah tak bergigi. bicara; gigi tiruan menjadi pelindung terhadap
luka pencabutan sehingga akan mengurangi rasa

2
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5

sakit, pembengkakan dan perdarahan; adaptasi Rencana perawatan:


terhadap gigi tiruan lebih baik karena pasien Pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan
langsung memakai gigi tiruan setelah pencabutan imidiat dengan sayap pada gigi 21,22 dan gigi
gigi; pasien tidak perlu mempertahankan gigi diantara insisif sentral, pembuatan sayap ini
gigi yang telah mengalami kerusakan; untuk memudahkan relining dikemudian hari,
mempercepat terjadinya penyembuhan luka mengingat gigi gigi sudah goyang derajat 3 dan
bekas pencabutan. Sedangkan hal yang resorpsi yang akan terjadi lebih besar.
merugikan dari perawatan dengan pembuatan
suatu gigi tiruan imidiat adalah: waktu perawatan Tahap pekerjaan:
menjadi lebih panjang; memerlukan biaya yang Pada kunjungan pertama dilakukan
lebih besar karena biasanya memerlukan relining anamnesis, pemeriksaan ekstraoral dan intraoral.
atau rebasing; tidak dapat melakukan tahap Selain itu dilakukan probing pada bagian labial –
mencoba gigi tiruan malam untuk mengamati lingual, mesial – distal dari regio yang nantinya
segi estetik; indikasi terbatas; kecekatan tidak akan dilakukan ekstraksi yaitu regio 11,21,22.
dapat bertahan untuk waktu yang lama akibat Setelah itu dilakukan pencetakan rahang atas dan
resorbsi alveolar setelah pencabutan.3,4 rahang bawah serta seleksi warna dan bentuk
Beberapa hal yang perlu disampaikan pada gigi.
pasien setelah gigi tiruan dipasang yaitu: pada Setelah didapatkan model kerja, dilakukan
malam hari pertama gigi tiruannya jangan dilepas peradiran pada regio 11,21,22 serta bagian labial
dahulu agar tidak terjadi pembengkakan; untuk 11, 21,22 untuk tempat sayap anterior dari gigi
beberapa hari disarankan makan makanan yang tiruan lepasan imidiat sebelum dikirim ke
lunak dan membersihkan gigi tiruannya dengan laboratorium gigi untuk dilakukan pembuatan
berkumur; hari kedua gigi tiruan sudah dapat gigi tiruannya.
dilepas untuk dibersihkan dengan sikat halus dan Pada kunjungan kedua setelah gigi tiruan
sabun dan kemudian segera dipakai kembali. selesai. Pasien dilakukan ekstraksi pada BW
Selain itu pasien diberi obat antibiotik, anti 11,21,22 nya yang sudah longgar. Setelah
inflamasi dan analgetik untuk mencegah tindakan ekstraksi dilakukan, segera dilakukan
terjadinya infeksi dan pembengkakan.3 pemasangan gigi tiruan 11,21,22 dengan sayap
Pasien diminta untuk kembali / kontrol pada pasien. Pasien diinstruksikan untuk kontrol
keesokan harinya, pada kunjungan ini operator setelah 24 jam. (Gambar.2.)
perlu memeriksa ada tidaknya penyimpangan
oklusi dan artikulasi. Kontrol selanjutnya satu
minggu kemudian untuk memeriksa kembali ada
tidaknya kesalahan oklusi , dan kontrol
berikutnya satu bulan kemudian untuk melihat
apakah sudah diperlukan perbaikan dengan
melakukan relining.

Contoh – Contoh Kasus Yang Memerlukan Gambar.2. Foto sebelum dan sesudah perawatan.
Estetik pasien tampak lebih baik
Pembuatan Gigi Tiruan Sebagian Lepasan
Imidiat
Kasus II
Kasus I
Pasien pria usia 20 tahun , bekerja sebagai
Pasien pria 58 tahun , profesi sebagai
petugas kebersihan di sebuah rumah sakit, datang
eksekutif ingin memperbaiki penampilan karena
ingin memperbaiki giginya yang patah.
gigi depan atas kiri terkena sundul cucunya
sehingga giginya goyang, pasien ingin
Rencana perawatan:
memperbaiki penampilan dan tidak ingin
Pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan imidiat
mengalami periode tidak bergigi. Keadaan intra
dengan soket
oral: terdapat cantilever bridge dengan dukungan
pada gigi 21 dan 22 serta pontik diantara 11 dan
Tahap pekerjaan:
21 goyang derajat 3, mengalami ekstrusi,
Pada kunjungan pertama dilakukan
gambaran rontgent foto terjadi resorpsi sampai
anamnesis, pemeriksaan ekstraoral dan intraoral.
1/3 akar, gigi 12 dan 11 PFM, gigi gigi yang lain
Selain itu dilakukan probing pada regio
tak ada kelainan.

3
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5

11,12,21,22. Setelah itu dilakukan pencetakan Setelah itu dikirimkan ke laboratorium gigi untuk
rahang atas dan rahang bawah serta seleksi dilakukan pembuatan gigi tiruan lepasannya
warna dan bentuk gigi. sesuai desain yang telah kita buat.
Setelah didapatkan model kerja, dilakukan
peradiran pada regio 11,12,21,22. Setelah itu Kunjungan kedua:
dikirim ke laboratorium gigi untuk dilakukan Pencabutan gigi 11, 21, 22, 33, 31 dan 41.
pembuatan gigi tiruannya. Pemasangan gigi tiruan lepasan imidiat dengan
Pada kunjungan kedua setelah gigi tiruan sayap penuh. (Gambar.4.)
selesa. Pasien dilakukan ekstraksi gigi 11,12,22 Instruksi kepada pasien cara pemakaian gigi
nya yang fraktur. Setelah tindakan ekstraksi tiruan dan datang kontrol 24 jam.
dilakukan, segera dilakukan pemasangan gigi
tiruan lepasan imidiat dengan socket pada pasien.
Pasien diinstruksikan untuk kontrol setelah 24
jam. (Gambar.3)

Gambar.4. foto sebelum dan sesudah perawatan,


Tampak estetik pasien jauh lebih baik

Gambar.3. foto sebelum dan sesudah perawatan, PEMBAHASAN


Tampak gigi tiruan imidiat dengan socket (tanpa Pada Kasus I : gigi tiruan dibuat dengan
sayap) dengan sayap untuk memudahkan tindakan
relining, mengingat gigi gigi sudah mengalami
goyang derajat 3 dimana kemungkinan resorpsi
Kasus III: tulang alveolar lebih banyak.
Pasien pria berusia 32 tahun, pedagang Pada kasus II : Gigi tiruan imidiat dibuat
kain, ingin dibuatkan gigi tiruan , gigi gigi 26, dengan soket agar seolah olah elemen gigi tiruan
36, 34, 32, 42, 46, sudah dicabut akibat kelainan berada pada posisi gigi aslinya , mengingat
periodontal yang progresif, sedangkan gigi gigi daerah servikal dan akar gigi masih baik dimana
11, 21, 22, 31, 33, 34 dan 41 goyang derajat 3. belum terjadi resorpsi dari alveolar penyangga
Pasien mengeluhkan estetik gigi anterior nya gigi yang dicabut.
yang tampak sudah modot dan goyang sehingga Pada Kasus III : Sayap pada gigi tiruan
menganggu aktifitas pekerjaannya sehari –hari. dari kasus ini berfungsi sebagai splint untuk
Melalui pemeriksaan sendi rahang pasien mengurangi rasa sakit, pembengkakan dan
ditemukan adanya krepitasi pada sendi kiri dari perdarahan akibat tindakan ekstraksi regio gigi
pasien. Tekanan darah dan gula darah masih yang cukup luas yaitu 11, 21, 22, 33, 31 dan 41.
dalam batas normal. Selain itu sayap gigi tiruan juga untuk menutupi
resorpsi tulang yang cukup besar karena adanya
Rencana perawatan: periodontitis agresif generalized pada pasien.
Pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan imidiat
dengan sayap penuh. KESIMPULAN
Pembuatan gigi tiruan imidiat anterior
Tahap pekerjaan: merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi
Kunjungan pertama: keinginan pasien dengan segera guna
Pencetakan Model Kerja RA dan RB dengan memperbaiki estetik dan fonetik yang biasanya
bahan Alginate, pengukuran poket gigi regio 11, menyebabkan rasa rendah diri. Pada perawatan
21, 22, 31, 33, 34 dan 41. pasien dengan pembuatan gigi tiruan imidiat
Seleksi warna, bentuk dan ukuran gigi. diperlukan perencanaan yang matang karena
Surveying dan Penutupan Gerong Model Kerja. tahap mencoba gigi tiruan malam tidak dapat
Pemasangan model pada articulator. dilakukan sehingga pasien dan operator tidak
Peradiran gigi 11, 21, 22, 33, 31 dan 41. dapat menilai gigi tiruan tersebut terlebih dahulu
Menentukan Desain gigi tiruan. sebelum disalin ke akrilik.

4
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5

DAFTAR PUSTAKA
1. Zarb GA, Hobkirk JA, Eckert SE, Jacob RF.
Prosthodontic Treatment for Edentulous
Patients Complete Denture and Implant
Supported Prostheses. Ed. Ke-13. St.Louis:
Elsevier; 2013: 152 -155.
2. Gunadi HA, dkk. Buku Ajar Ilmu Geligi
Tiruan Sebagian Lepasan Jilid II. Edisi 1.
Hipokrates, Jakarta: 1995: 367-378.
3. Bolender CL, Zarb GA. Buku Ajar
Prostodonti untuk Pasien Tidak Bergigi
Menurut Boucher. Ed. Ke-10. Penerjemah:
Mardjono ND. Jakarta: EGC Penerbit Buku;
1994: 456-480.
4. Winkler S. Essentials of Complete Dentures
Prosthodontics. Philadelphia: WB.Saunders;
1979: 517-538.
5. Jorgensen EB. Prosthodontic for the Elderly
(Diagnosis and Treatment). Ed ke-1. Chicago:
Quintessence; 1999: 153-167.
6. Ellinger CW, Rayson JH, Terry JH, Rahn
AD. Synopsis of Complete Denture.
Philadelphia: Lea & Febicer; 1975: 293-298.

5
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9

Pengaruh Sikat dan Pasta Gigi Terhadap Kekasaran Permukaan Resin Komposit
Nanohibrida
(Laporan Penelitian)

Deviyanti Pratiwi1, Selvia Rizki Mulya2


1
Staf Pengajar Bagian Bahan Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT
Background: Nanohybrid composite resins have good mechanical durability and smooth surfaces.
The surface roughness of the composite resin restoration is often found in patients and may be caused
by the abrasive materials and mechanical activity of mechanical friction between tooth paste and
toothbrush with the surface of restoration. Aim: To determine the effect of brushes and toothpastes on
the surface roughness of nanohybrid composite resins. Methods: Comparison of surface roughness
using surface roughness tester before and after brushing on 8 samples of nanohybrid composite resins
with a diameter of 6 mm and a height of 3 mm. Brushing the sample is done using a brushing machine
simulation at a speed of 250 cycles per minute for 4 hours with a back and forth movement using a
toothbrush with medium brush bristles and adult toothpaste. Results: The paired t-test showed the
average value before brushing was 5.3788 ± 2.44104 µm and after brushing was 5.6700 ± 2.55310 µm
with p = 0.002 (p <0.05), meaning there was a difference in the surface roughness of the nanohybrid
composite resin significantly before and after brushing. Conclusion: Mechanical activities and
abrasive materials from the use of brushes and toothpaste that are routinely carried out have an effect
on the surface roughness of the nanohybrid composite resins.

Keyword: nanohybrid composite resins, toothbrush, toothpaste, abrasive, surface roughness

PENDAHULUAN memudahkan perlekatan koloni bakteri yang


Resin komposit nanohibrida terdiri dari dapat menyebabkan timbulnya karies sekunder.5,
partikel berukuran mikrometer dan nanometer Setiap substrat komponen tumpatan
yang memiliki daya tahan mekanis yang baik memiliki ketahanan masing-masing terhadap
seperti komposit tipe macrofilled serta abrasi dari sikat dan pasta gigi. Cara penyikatan
menghasilkan permukaan yang halus seperti tipe gigi yang salah dapat menyebabkan pengikisan
microfilled, sehingga resin tipe ini dapat pada permukaan tumpatan. Selain itu, pasta gigi
digunakan pada restorasi anterior maupun memiliki kandungan bahan abrasi yang tinggi
posterior.1,2 Pada umumnya, resin komposit sehingga dapat merusak jaringan keras, jaringan
nanohibrida memiliki komponen utama yang lunak dan restorasi, menyebabkan resesi gingiva,
sama seperti komposit lainnya yaitu matriks resin, abrasi servikal, dan dentin hipersensitivitas.6
pengisi anorganik, pengikat dan bahan tambahan Kalsium karbonat dan silika adalah bahan-bahan
seperti inisiator, akselerator, inhibitor, dan yang pada umumnya menyebabkan abrasi. 6
pigmen. Hal yang membedakan hanyalah
ukurannya.3 Semakin kecil isi ukuran partikel,
semakin meningkatkan nilai estetik resin METODE PENELITIAN
tersebut.4 Jenis penelitian ini adalah eksperimental
Perawatan kebersihan mulut sehari-hari berupa uji laboratoris in vitro yang dilakukan di
yaitu penggunaan sikat dan pasta gigi tidak dapat laboratorium BKG dan Laboratorium metodologi
dihindari. Abrasi utama dihasilkan dari gesekan teknik industri Universitas Trisakti. Sebanyak 8
mekanis antara pasta gigi pada sikat gigi dengan sampel resin komposit nanohibrida yang sesuai
permukaan tumpatan. Hal ini berpengaruh kriteria yaitu berbentuk silindris, berukuran
terhadap kekasaran permukaan tumpatan yang diameter 6 mm dengan tinggi 3 mm, padat,
dapat menyebabkan timbulnya masalah estetik permukaan rata dan tidak berporus dilakukan uji
berupa perubahan warna pada tumpatan serta kekasaran permukaan yang diukur menggunakan
alat surface roughness tester.

6
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9

Uji kekasaran permukaan dilakukan Tabel 1. Perubahan kekasaran permukaan pada resin
sebanyak dua kali pada masing-masing sampel, komposit nanohibrida
yaitu sebelum dan setelah dilakukan penyikatan RESIN KOMPOSIT NANOHIBRIDA
Nomor Sebelum Sesudah Selisih
gigi dengan menggunakan pasta gigi. Sampel Sampel A B C
diletakkan ke alat surface roughness tester dengan
1 4,92 5,08 0,16
posisi tidak boleh menggantung atau menekan.
Kekasaran permukaan dihitung sebagai 2 3,05 3,08 0,03

penyimpangan rata-rata arimetik terhadap lembah 3 4,08 4,10 0,02

atau dasar permukaan dan puncak permukaan, 4 10,90 11,00 0,10


dengan memakai salah satu parameter Ra dan µm 5 6,43 7,80 1,37
(mikrometer). 6 4,09 4,23 0,14
7 4,32 4,66 0,34
8 5,24 5,41 0,17

Uji t-berpasangan pada derajat kemaknaan


(p<0.05) digunakan untuk melihat ada tidaknya
perbedaan hasil yang signifikan.

Tabel 2. Analisis statistik kekasaran permukaan resin


komposit nanohibrida (µm) sebelum dan sesudah
Gambar 1. Pengukuran kekasaran penyikatan dengan pasta gigi.
Variabel N Mean SD P -Value
Penyikatan sampel dilakukan Sebelum 8 5.3788 2.44104
menggunakan mesin simulasi penyikatan gigi Penyikatan
Komposit
pada kecepatan 250 siklus permenit selama 4 jam 0,002
dengan gerakan maju mundur dan kepala sikat Sesudah 8 5.6700 2.55310
Penyikatan
gigi berada di atas permukaan sampel. Penyikatan Komposit
selama 4 jam diasumsikan sebagai kebiasaan
menyikat gigi selama 2 menit dalam sehari selama Hasil perhitungan uji t berpasangan pada
2 bulan. Penelitian ini dilakukan dengan komposit didapatkan nilai rata-rata sebelum
menggunakan sikat gigi dengan bulu sikat penyikatan gigi selama 4 jam adalah 5.3788 ±
medium dan pasta gigi dewasa. 2.44104 µm dan sesudah penyikatan adalah
5.6700± 2.55310 µm dengan nilai p = 0.002
(p<0.05), artinya terdapat perbedaan terhadap
kekasaran permukaan komposit sebelum dan
sesudah penyikatan selama 4 jam secara
signifikan.

PEMBAHASAN
Abrasi utama dihasilkan dari pasta gigi dan
sikat gigi. Permukaan kasar akan mempengaruhi
Gambar 2. Penyikatan sampel
adhesi bakteri dengan meningkatkan retensi plak.
Hasil penelitian sebelumnya mengenai sikat gigi
pada orang dewasa telah menunjukkan tingkat
HASIL
abrasi yang berbeda akibat dari tinggi atau lebih
Setelah dilakukan penelitian dan
rendah filamen atau kontak pasta gigi daerah
pengumpulan data dengan melakukan uji
dengan permukaan substrat.7,8 Perbedaan
kekerasan permukaan menggunakan alat surface
kharateristik bahan abrasif yang terdapat pada
roughness tester (µm), dilakukan analisis statistik.
setiap pasta gigi juga dapat menimbulkan tingkat
Hasil uji kekasaran permukaan pada sampel resin
kekasaran permukaan yang berbeda.6,9 Abrasi
komposit nanohibrida dapat dilihat pada tabel 1.
yang timbul akibat aktivitas menyikat gigi
merupakan suatu fenomena yang sering

7
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9

ditemukan pada permukaan bukal gigi maupun pengujian dengan menggunakan analisis SEM
restorasi.10 dengan tujuan melakukan evaluasi ulang.12
Hasil analisis statistika uji t–berpasangan
resin komposit nanohibrida menunjukkan KESIMPULAN
terjadinya peningkatan kekasaran permukaan Hasil pengujian ini menunjukkan pengaruh
dengan nilai p=0.002 (p<0.05), maka hipotesa aktifitas mekanis dan bahan abrasive pada
penelitian (H0) ditolak, sehingga dapat diartikan penggunaan sikat dan pasta gigi terhadap
adanya perbedaan kekasaran permukaan antara kekasaran permukaan tumpatan. Kekasaran
resin komposit nanohibrida sebelum dan sesudah permukaan tumpatan sesudah penyikatan gigi
penyikatan secara signifikan atau bermakna. Hasil lebih besar dibandingkan sebelum penyikatan
penelitian ini didukung oleh penelitian Carolina gigi menggunakan sikat gigi dewasa dengan
dkk yang menyatakan bahwa resin komposit yang bulu sikat medium dan pasta gigi pada
disikat dengan pasta gigi yang mengandung bahan permukaan tumpatan resin komposit
abrasif menyebabkan kerusakan pada substrast nanohibrida.
yang mampu mengubah kekasaran permukaan
pada resin komposit.11 Penelitian oleh Monteiro
dkk juga menyebutkan bahwa sikat gigi SARAN
mempengaruhi peningkatan kekasaran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap
permukaan resin komposit, semakin lama waktu kelompok sampel yang lebih besar atau
menyikat maka semakin meningkat kekasaran frekuensi penyikatan yang lebih lama agar
permukaan komposit.6 didapat tingkat validitas yang lebih tinggi
Resin komposit nanohibrida terdiri dari sehingga perubahan sifat kekasaran permukaan
kombinasi ukuran partikel filler sehingga ikatan yang disikat terlihat lebih jelas.
antara filler dan matrix menjadi lebih kuat. Resin
komposit nanohibrida juga memiliki banyak
kandungan bahan filler, sehingga memiliki
ketahanan yang kuat terhadap suasana asam.12,13,14 DAFTAR PUSTAKA
Akan tetapi, sifat suatu material kedokteran gigi 1. Sakaguchi R, Powers J. Craig’s restoration
yang dapat menyerap air dan larut dalam air juga dental materials. 13th ed. Saint Louis:
dapat mempengaruhi kelenturan, kekuatan tekan, Elsevier; 2012. 161-75.
dan kekasaran permukaan bahan restorasi. 2. Jain A, Deepthi D, Tavane PN, Singh A,
Penelitian sebelumnya juga membuktikan bahwa Gupta A, Sonkusre S. Evaluation of
kekasaran permukaan terjadi pada semua restorasi microleakage of recent nano-hybrid
komposit, tidak ditemukan perbedaan kekasaran composites in class v restorations: An in vitro
yang timbul akibat aktivitas menyikat gigi pada study. Int J Adv Heal Sci. 2015;2(1): 8-12.
komposit nanohibrid dan nanokomposit.6 3. Moares RR, Concalves JS, Lancerlloti AC.
Kekasaran permukaan pada bahan restorasi Nanohybrid Resin Composites: Nanofiller
dapat meningkatkan kemungkinan kolonisasi Loaded Materials or Traditional
bakteri dan maturasi plak sehingga memperbesar Mycrohybrid Resins. Operative Dentistry.
kemungkinan terjadinya karies sekunder dan 2009; 34(5): 551-557.
inflamasi pada jaringan periodontal.15 Terdapat 4. Maghfiroh H, Nugroho R, Probosari N. The
berbagai cara yang dipakai untuk mengatasi Effect of Carbonated Beverage to The
proses penyusutan dan mencegah peningkatan Discoloration of Polished and Unpolished
kekasaran permukaan pada tumpatan, seperti: Nanohybrid Composite Resin. J
menambah bonding agent, menambah lapisan Dentomaxillofac Sci. 2016; 1(1) : 19-27.
daya tahan elastis, meningkatkan intensitas light 5. Tantanuch S, Kukiattrakoon B,
curing, memakai teknik peletakan bahan resin Peerasukprasert T, Chanmanee N,
komposit lapis demi lapis, menggunakan Chaisomboonphun P, Rodklai A. Surface
monomer low-shrinking dan memasukkan bahan roughness and erosion of nanohybrid and
fluoride pada monomer resin untuk mencegah nanofilled resin composites after immersion
terjadinya marginal gaps pada kavitas.16 in red and white wine. J Conserv Dent. 2016;
Struktur kompleks dari suatu permukaan 19 (1): 51-5
bahan tidak hanya cukup diukur menggunakan 6. Monteiro B, Spohr AM. Surface Roughness
alat surface roughness tester, banyak penelitian of Composite Resins after Simulated
yang menyarankan untuk dilakukan kombinasi

8
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9

Toothbrushing with Different Dentifrices. J


Int Oral Health 2015; 7(7): 1–5.
7. Paula AB, Correr GM, Sinhoreti MAC,
Puppin-rontani RM. Child Toothbrush
Abrasion Effect on. J Dent child. 2008.
8. Hussein TA, Zaripah W, Bakar W, Ghani
ZA, Mohamad D. The assessment of surface
roughness and microleakage of eroded tooth-
colored dental restorative materials. J
Conserv Dent. 2014;17(6):531–6.
9. Liljeborg A, Tellefesen G, Johannsen G. The
use of a profilometer for both quantitative
and qualitative measurements of toothpaste
abrasivity. Int J Dent Hyg 2010; 8 (3): 237-
43.
10. Chimello, DT, Palma-Dibb RG, Corona SA,
Lara E. Assessing wear and surface
roughness of different composite resins after
tooth brushing. Mater Res 2001; 4: 285-9.
11. Carolina A, Rocha DC, Santiago C, Lima A
De, Moreira C, Antonio M, et al. Evaluation
of Surface Roughness of a Nanofill Resin
Composite After Simulated Brushing and
Immersion in Mouthrinses, Alcohol and
Water. Material Research.2010;13(1):77–80.
12. Ergucu Z, Turkun LS. Surface roughness of
novel resin composites polished with one
step systems. Oper Dent. 2007; 32(2): 185-
92
13. Han L, Okamoto A, Fukushima M, Okiji T.
Evaluation of flowable resin composite
surface eroded by acidic and alcoholic
drinks. Dent Mater J. 2008; 27(3):455-65.
14. Alifen GK, Soetojo A, Saraswati W.
Differences in surface roughness of
nanohybrid composites immersed in varying
concentrations of citric acid. Dent Journal.
2017 June; 50(2): 102-5.
15. Gigi JK, Permatasari AP, Yanuar M, Nahzi I.
Kekasaran Permukaan Resin Modified Glass
Ionomer Cement Setelah Perendaman Dalam
Air Sungai (Penelitian Menggunakan Air
Sungai Desa Anjir Pasar, Barito Kuala ,
Kalimantan Selatan ). Dentino Jur Ked
Gigi.2016;1(2):164-168.
16. Susanto AA. Pengaruh ketebalan bahan dan
lamanya waktu penyinaran terhadap
kekerasan permukaan resin komposit sinar.
Dent J. 2007; 38(1) :32–35.

9
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

Pengaruh Bahan Bleaching Karbamid Peroksida 20% Dan 35% Terhadap Kekerasan
Resin Komposit Tipe Nano Hibrid
(Laporan Penelitian)

Dewi Liliany Margaretta1, Reinaldo Sugianto2


1
Staf Pengajar Bagian Bahan Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT
Background: Studies have shown that the majority of adults are not satisfied with the color of their
teeth. This dissatisfaction leads to the increasing of bleaching demands. However, free radicals in
bleaching agents may have an effect to the composite resin restoration hardness. Aim: To compare the
effect of carbamide peroxide 20% and 35% on nanohybrid resin composite hardness. Methods:
Samples were nanohybrid resin composite with 4 mm thickness and 10 mm diameter. Total number is
10 samples with 5 testing points on each sample, and divided into 3 groups: control group, application
of 20% carbamide peroxide for 7 and 14 days, and application of 35% carbamide peroxide for 7 and
14 days. Each group was tested using Vickers Hardness Test. Results: The results indicate there was
no significant effect of 20% carbamide peroxide on resin composite hardness for 7 days with p = 0.980
(p > 0.05) and 35% for 7 days with p = 0.994 (p > 0.05), but the use of carbamide peroxide 20% and
35% on a nanohybrid resin composite for 14 days led to a significant increase in hardness with p =
0.000 (p<0.05). Conclusion: The use of carbamide peroxide 20% and 35% for 7 and 14 days did not
cause hardness decrease on nanohybrid resin composite.

Keyword: bleaching, carbamide peroxide, resin composite, hardness

PENDAHULUAN secara patologik bisa bersifat intrinsik dan


Dewasa ini masyarakat mulai menyadari ekstrinsik. Perubahan warna gigi secara intrinsik
mempunyai gigi yang indah adalah salah satu disebabkan oleh faktor dari jaringan gigi atau
aspek penting dalam meningkatkan kepercayaan jaringan pulpa sedangkan perubahan warna gigi
diri sehingga banyak orang rela mengeluarkan secara ekstrinsik dapat terjadi karena adanya
biaya yang relatif tidak sedikit untuk memperbaiki deposit yang melekat pada permukaan gigi seperti
penampilan gigi mereka. Dari 235 pasien yang dari makanan dan minuman.2,3
terdiri dari 70 pria (29,8%) dan 165 wanita Metode pemutihan gigi yang umum
(70,2%), dengan partisipan berumur 18 – 62 digunakan ada 2 yaitu in-office bleaching dan
tahun, sebanyak 124 pasien (52,8%) menyatakan home bleaching. In-office bleaching merupakan
bahwa mereka tidak puas dengan penampilan gigi metode yang dilakukan di klinik dokter gigi dan
mereka, dan sebanyak 132 pasien (56,2%) dilakukan oleh dokter gigi dengan bahan hidrogen
menyatakan tidak puas dengan warna gigi peroksida konsentrasi 30-55%, sedangkan home
mereka.1 Ketidakpuasan inilah yang bleaching dilakukan di rumah pasien yang
menyebabkan permintaan terhadap pemutihan pemakaiannya di bawah pengawasan dokter gigi.
gigi (bleaching) semakin meningkat. Fungsi dari Kekurangan dari in-office bleaching ini adalah
bleaching adalah untuk menghilangkan harganya yang relatif mahal sehingga banyak
pewarnaan akibat stain dan memutihkan kembali orang lebih menaruh pilihannya terhadap home
gigi yang telah berubah warna sehingga bleaching, meskipun hasil dari in-office bleaching
mengembalikan estetik gigi.2 lebih cepat.4
Perubahan warna gigi dapat berlangsung Bahan untuk home bleaching biasanya
secara fisiologik dan patologik. Perubahan warna menggunakan karbamid peroksida kadar 10-22%.
gigi secara fisiologik terjadi seiring dengan Rumus molekul untuk karbamid peroksida adalah
pertambahan umur, dikarenakan dentin menjadi CO(NH2)2H2O2. Karbamid peroksida memiliki
lebih tebal dengan adanya deposisi dentin nama kimia urea hidrogen peroksida dengan berat
sekunder, juga email gigi menjadi lebih tipis molekul 94,07.5 Karbamid peroksida 10% akan
akibat fungsi pengunyahan. Perubahan warna gigi terurai menjadi urea, amonia, karbondioksida dan

10
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

sekitar 3,5% hidrogen peroksida.6 Hidrogen


peroksida berperan dalam mekanisme pemutihan METODE PENELITIAN
sedangkan urea menstabilkan bahan pemutih Jenis penelitian ini adalah penelitian
sehingga memiliki efek obat yang panjang dan eksperimental laboratorik untuk mengetahui
memperlambat pelepasan hidrogen peroksida perbandingan pengaruh penggunaan bahan
yang menghasilkan karbamid peroksida memiliki bleaching karbamid peroksida 20% dan 35%
bentuk lebih stabil jika dibandingkan dengan terhadap kekerasan resin komposit tipe nano
hidrogen peroksida.7 hibrid. Penelitian ini dilakukan di Micore Fakultas
Sebagai bahan restorasi, resin komposit Kedokteran Gigi Universitas Trisakti dan
sudah umum dan populer digunakan, mengingat Laboratorium Metalurgi Universitas
komposit mempunyai segi estetik yang baik dan Indonesia.pada bulan Januari 2017. Sampel
dapat menahan daya kunyah yang cukup tinggi. penelitian adalah resin komposit tipe nano hibrid
Resin komposit adalah tambalan yang sewarna merek 3M Espe FiltekTM Z250 XT berbentuk
gigi dan merupakan material kompleks serta silinder dengan diameter 10 mm dan tinggi 4 mm.
mengandung komponen resin organik yang Terdapat 3 kelompok dimana total sampel yang
membentuk matriks, inorganic filler, coupling digunakan adalah 10 buah. Kelompok 1
agent untuk menyatukan resin dengan filler, merupakan kelompok kontrol. Kelompok 2
initiator untuk mengaktifkan mekanisme setting menggunakan karbamid peroksida 20% dengan
komposit, stabilisers dan pigmen. Berdasarkan waktu perendaman 7 dan 14 hari. Kelompok 3
ukuran partikel filler, resin komposit dapat dibagi menggunakan karbamid peroksida 35% dengan
menjadi 4 yaitu makrofil, mikrofil, hibrid dan waktu perendaman 7 dan 14 hari.
hibrid partikel kecil (Small-particle hibrid) resin
komposit. Nano hibrid resin komposit merupakan Pembuatan Sampel
salah satu jenis hibrid resin komposit yang Pemakaian masker dan sarung tangan.
mengandung partikel filler berukuran nano Resin komposit tipe nano hibrid dimasukkan ke
(0,005-0,01μ) pada matriks resinnya. dalam cetakan sampel yang telah dilapisi vaseline
Populernya penggunaan nano hibrid resin dan ditaruh di atas gelas kaca menggunakan
komposit disebabkan oleh kemampuan instrumen plastis. Cetakan sampel yang telah
penanganan dan pemolesan dari mikrofil terisi penuh oleh komposit dilapisi seluloid strip
komposit, juga kekuatan dan ketahanan yang ditimpa anak timbangan 100 gram sampai
pemakaian dari makro hibrid komposit sehingga permukaan sampel rata. Komposit kemudian di
dapat digunakan sebagai bahan restorasi baik pada light cure dari atas dan bawah masing-masing
gigi anterior maupun gigi posterior, oleh karena selama 20 detik dengan jarak penyinaran ±1 mm,
itu nano hibrid komposit dapat disebut sebagai lalu sampel dikeluarkan dari cetakan dan
bahan tambal yang universal.8 dilanjutkan dengan pemolesan menggunakan bur
Seiring banyaknya praktek bleaching poles.
dilakukan, banyak masyarakat tidak sadar bahwa Tahap pembuatan sampel diulang hingga
penggunaan bahan pemutih gigi home bleaching didapatkan 10 sampel. Dua dari sepuluh sampel
dengan kadar yang berbeda mempunyai efek ditandai sebanyak 5 titik di tengah pada salah satu
beragam terhadap kekerasan tambalan resin sisi sampel menggunakan spidol hitam. Empat
komposit tipe nano hibrid. Studi yang dilakukan sampel lainnya diberikan tanda sebanyak 5 titik
Baskar SH., dkk (2016) menunjukkan kekerasan pada salah satu sisi sampel di tengah
resin komposit mikrohibrid tidak berubah setelah menggunakan spidol biru. Perlakuan yang sama
diaplikasi bahan bleaching karbamid peroksida diberikan pada empat sampel terakhir
10%, 20% dan 35%.9 Sedangkan Bahamari M., menggunakan spidol merah. Sampel yang telah
dkk (2016) menyatakan bahwa penggunaan ditandai spidol hitam adalah kelompok kontrol,
karbamid peroksida 15% pada resin komposit yang ditandai spidol biru adalah kelompok 2 yaitu
silorane dapat menurunkan kekerasan.10 Dari resin komposit tipe nano hibrid yang
uraian di atas dapat dilihat bahwa belum ada diaplikasikan karbamid peroksida 20%, dan yang
penggunaan karbamid peroksida 20% dan 35% ditandai spidol biru adalah kelompok 3 yaitu resin
terhadap resin komposit nano hibrid sehingga komposit tipe nano hibrid yang diaplikasikan
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karbamid peroksida 35%.
perbandingan penggunaan karbamid peroksida
20% dan 35% terhadap kekerasan resin komposit
tipe nano hibrid.

11
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

Pengaplikasian Bahan Bleaching dengan hasil dalam satuan VHN (Vickers


Tiap kelompok direndam dalam wadah Hardness Number). Data-data hasil pengujian
plastik berbeda yang berisikan akuades. adalah sebagai berikut:
Ketigakelompok tersebut diinkubasi di dalam
inkubator dengan suhu 37ºC selama 24 jam.
Sampel kelompok 1 tidak diberikan perlakuan Tabel 1. Nilai Kekerasan Resin Komposit
apapun. Sampel kelompok 2 dan 3 dikeluarkan Kekerasan (VHN)
dari wadah plastik menggunakan pinset. Sampel Kontrol Karbamid Karbamid
No. Peroksida 20% Peroksida 35%
kelompok 2 diaplikasikan bahan bleaching Sampel
karbamid peroksida 20% dan sampel kelompok 3 7 hari 14 hari 7 hari 14 hari
dengan karbamid peroksida 35% menggunakan 1 103 110 287 112 296
instrumen plastis pada sisi yang telah ditandai 2 103 105 295 99 340
secara merata, lalu dimasukkan ke dalam wadah 3 110 114 261 105 337
plastik kosong yang berbeda. 4 105 109 287 112 288
Kelompok 2 ditaruh di dalam inkubator 5 100 102 337 105 315
selama 2 jam dan kelompok 3 ditaruh selama 30 6 103 109 295 112 304
7 103 106 287 99 304
menit. Sampel dikeluarkan dari wadahnya 8 108 109 261 107 318
masing-masing menggunakan pinset, lalu dicuci 9 105 113 340 109 292
menggunakan akuades sampai bersih dari bahan 10 103 103 285 110 300
bleaching. Setelah bersih, sampel kembali Rerata 104,30 108 ± 293,50 107 ± 309,40
± SD ± 2,869 3,972 ± 4,989 ±
dimasukkan ke dalam wadah yang berisikan 26,605 17,921
akuades dan ditaruh di dalam inkubator selama 24
jam ke depan. Hal ini dilakukan secara berulang
dengan total 14 hari.
Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa
Pengujian Kekerasan pemakaian karbamid peroksida 20% dan 35%
Kekerasan sampel diuji pada titik yang selama 7 hari tidak menyebabkan kenaikan
telah ditandai spidol dengan alat uji kekerasan dan penurunan yang signifikan pada
Vickers Hardness Tester dengan load 100 gf kekerasan resin komposit nano hibrid.
selama 10 detik. Pengujian pada kelompok 1 Sedangkan untuk pemakaian selama 14 hari,
dilakukan pada sisi yang diberi tanda titik hitam hanya ada kenaikan dan tidak ada penurunan.
setelah perendaman akuades selama 24 jam.
Kekerasan tertinggi merupakan setelah
Kelompok 2 diuji pada sisi yang diberi tanda titik
biru dan kelompok 3 akan diuji pada sisi yang
pengaplikasian karbamid peroksida 35%
telah diberi tanda titik merah pada hari ke 7 dan selama 14 hari (309,40 ± 17,921). (Tabel 1).
14.
Tabel 2. Uji One Way ANOVA
HASIL PENELITIAN Mean
Setelah dilakukan penelitian dan Square F Sig.
pengumpulan data, dilakukan uji statistik Between
114428,830 530,801 ,000
Groups
menggunakan metode analisis, yaitu uji
Within
normalitas dengan metode Shapiro-wilk. Data Groups
215,578
hasil penelitian dinyatakan normal dan homogen Total
jika pada uji normalitas dan homogen nilai p >
0.05, setelah itu dilanjutkan dengan One Way
ANOVA. Jika data menunjukkan ada perbedaan
Pada uji One Way Anova didapatkan hasil p
bermakna maka data dianalisis menggunakan Uji
= 0,000 (p< 0,005). Hal ini membuktikan bahwa
Post Hoc Tukey.
terdapat perbedaan bermakna sehingga dapat
Besar sampel yang digunakan pada
dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey.
penelitian ini sebanyak 10 buah tiap kelompok
perlakuan dan setiap sampel mengalami 5 titik
pengukuran. Uji kekerasan dilakukan di
Laboratorium Metalurgi Universitas Indonesia

12
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

Tabel 3. Uji Post Hoc Tukey Berdasarkan penelitian yang telah


KP KP KP dilakukan, dapat terlihat bahwa pemakaian
KP 35%
Kontrol 20% 7 20% 35% 7
hari 14 hari hari
14 hari Opalescence karbamid peroksida 20% dan 35%
pada nano hibrid komposit 3M Filtek Z250 XT
Kontrol ,980 ,000* ,994 ,000* selama 7 hari menyebabkan kenaikan dan
penurunan kekerasan walaupun tidak signifikan
KP jika dibandingkan dengan grup kontrol. Hasil
20% 7 ,980 ,000* 1,000 ,000*
hari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
KP dilakukan oleh Baskar SH., dkk (2016) yang
20% 14 ,000* ,000* ,000* ,128 menyatakan bahwa kekerasan resin komposit
hari
Z250 tidak terpengaruh dengan penggunaan
KP
35% 7 ,994 1,000 ,000* ,000* karbamid peroksida 10%, 20% dan 35% selama 7
hari hari jika digunakan sesuai dengan instruksi
KP penggunaan.9
35% 14 ,000* ,000* ,128 ,000* Pemakaian karbamid peroksida 20% dan
hari
35% selama 14 hari pada komposit 3M Filtek
Tanda * menandakan p > 0,05
Z250 XT menyebabkan kenaikan kekerasan yang
signifikan jika dibandingkan dengan kelompok
Berdasarkan uji statistik di atas, jika
kontrol. Hasil penelitian ini didukung oleh
dibandingkan dengan kelompok kontrol kenaikan
penelitian yang dilakukan Alaghehmand H, dkk
kekerasan resin komposit setelah pengaplikasian
(2013) yang meneliti bahwa penggunaan
karbamid peroksida 20% selama 7 hari dengan p
Opalescence karbamid peroksida 20% selama 4
= 0,980 (p>0,005) tidak signifikan. Hal yang
minggu pada Filtek P60 memberikan kenaikan
sama dapat dilihat pada kelompok yang diaplikasi
kekerasan yang signifikan.44 Hasil penelitian
karbamid peroksida 35% selama 7 hari dengan p
serupa juga dikemukakan oleh Ab-Ghani Z., dkk
= 0,994 (p>0,005). Namun pemakaian karbamid
(2013) yang meneliti dan menemukan bahwa
peroksida kadar 20% dan 35% selama 14 hari
terdapat kenaikan kekerasan yang signifikan pada
menyebabkan kenaikan kekerasan yang
nano komposit (KeLFiL) setelah pemakaian
signifikan dengan p masing-masing sama dengan
karbamid peroksida 10% selama 14 hari. 45
0,000 (p< 0,005).
Akan tetapi hasil penelitian ini
bertentangan dengan hasil penelitian yang
PEMBAHASAN dilakukan oleh Sharafeddin F., dkk (2010)
Mekanisme kerja bahan bleaching yang menyatakan bahwa pemakaian
peroksida adalah hidrogen peroksida masuk karbamid peroksida 35% selama 3 minggu
melalui perantara email menuju ke tubuli dentin tidak memberikan efek yang berarti terhadap
dan melepaskan oksigen yang akan merusak kekerasan resin komposit mikrofil
ikatan dalam rantai protein yang bergabung (Heliomolar) dan hibrid (Spectrum TPH).46
dengan stain. Dengan penambahan oksigen, Hasil bertentangan lain dikemukakan oleh
molekul organik gigi yang lebih kecil akan Bahari M., dkk (2016) yang meneliti dan
terbentuk dengan warna yang lebih cerah.
menyimpulkan bahwa pemakaian karbamid
Karbamid peroksida 10% akan terurai
menjadi urea, amonia, karbondioksida dan sekitar peroksida 15% selama 2 minggu dapat
3,5% hidrogen peroksida. Kandungan hidrogen menurunkan kekerasan resin komposit
peroksida pada karbamid peroksida akan terurai silorane secara signifikan.10
sebagai radikal bebas yaitu perihidroksil sebagai Terjadinya penurunan kekerasan pada
oksidator kuat dan oksigenase sebagai oksidator penelitian ini bisa disebabkan oleh human error
lemah. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa dimana pemolesantidak adekuat sehinggatidak
radikal bebas yang dihasilkan karbamid peroksida menghilangkan surface layer yang brittle.
kadar 20% dan 35% mempunyai efek terhadap Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kekerasan terhadap tambalan resin komposit nano penurunan kekerasan resin komposit adalah
hibrid pasien. Kekerasan resin komposit diukur kerentanan resin komposit terhadap pelunakan
menggunakan Vickers Hardness Test dengan kimia jika bahan kimia tersebut mempunyai
satuan VHN (Vickers Hardness Number). parameter kelarutan dari 1.82x104 sampai
2.97x104 (J/m3)1/2 serta kandungan Bis-GMA

13
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

monomer yang banyak pada resin komposit.47 tidakmenyebabkan penurunan terhadap kekerasan
Penurunan kekerasan resin komposit juga dapat resin komposit tipe nano hibrid.
disebabkan karena oksidasi dan degradasi ikatan
matriks.48 Semakin banyak kandungan inorganik
filler maka semakin bagus pula sifat fisik suatu DAFTAR PUSTAKA
resin komposit.34 Padatnya kandungan filler pada 1. Oo MMT, Saddki N, and Hassan N. “Factors
Z250 XT yaitu 68% by volume mungkin Influencing Patient Satisfaction with Dental
memberikan resistensi terhadap oksidasi dan Appearance and Treatments They Desire to
degradasi ikatan matriks. Minimnya penurunan Improve Aesthetics. BMC Oral Health.
kekerasan setelah aplikasi bahan bleaching 2011; 11: 6.
merupakan bukti bahwa Filtek Z250 XT 2. Rasinta T. Perawatan pulpa gigi. Seri 1.
mempunyai kandungan Bis-GMA yang rendah Jakarta: Widya Medika; 1994; 198.
dan kandungan filleryang tinggi untuk dapat 3. Sundoro EH. Serba-serbi ilmu konservasi
terjadi pelunakan kimia (penurunan kekerasan). gigi. Jakarta: UI-Press; 2005; 17.
Sedangkan untuk kenaikan kekerasan resin 4. Rismanto, D.Y, Damayanti, I. M, Dharmo,
komposit dapat disebabkan karena reaksi R. H., “Dental Whitening”,Dental Limas
polimerisasi. Reaksi polimerisasi komposit Mediatama, Jakarta, 2005; 1-44.
berbanding lurus dengan kenaikan kekerasan 5. Walsh LJ. Safety Issue Relating to the use of
komposit. Setelah proses curing komposit, reaksi Hydrogen Peroxide in Dentistry. Australian
polimerisasi (post polimerisasi) akan tetap Dental Journal. 2000;45(4):257-69.
berlangsung sampai jangka waktu tertentu.49 6. Walton RE dan Torabinejad M. Prinsip Dan
Kemungkinan efek yang dihasilkan oleh bahan Praktik Ilmu Endodonsia. 3rd ed. Jakarta:
bleaching karbamid peroksida 20% dan 35% tidak EGC, 2008: 459.
cukup besar untuk mempengaruhi proses 7. Goldstein RE, Garber DA. Chemistry of
polimerisasi resin komposit tipe nano hibrid Bleaching. Complete Dental Bleaching.
sehingga reaksi post polimerisasi tetap Chicago: Quintessence, Publ., 1995; 2-20.
berlangsung. 8. Puckett AD, Fitchie JG, Kirk PC, et al. Direct
Kemungkinan lainnya adalah bahan aktif Composite Restorative Materials. Dent Clin
pada karbamid peroksida dapat menghilangkan N Am. 2007; 51: 659-75.
lapisan terluar pada resin komposit nano hibrid 9. Baskar SH, Jayakumar M, Kumar S. Effect
sehingga menghasilkan permukaan yang lebih of varying concentrations of home bleaching
padat akan kandungan filler dan lebih keras. agents on hardness of a resin composite: An
Adanya efek kandungan fluoride yang terdapat in vitro study. J Indian Acad Dent Spec Res.
pada karbamid peroksida 20% dan 35%, juga 2016; 3: 1-5
dapat memberikan efek remineralisasi yang 10. Bahari M, Savadi OS, Mohammadi N,
berujung pada penambahan kekerasan pada resin Ebrahami CME, Godrati M, Savadi OA.
komposit. Dengan adanya kenaikan kekerasan Effect of different bleaching strategies on
maka dapat dikatakan karbamid peroksida 20% microhardness of a silorane-
dan 35% merupakan bahan bleaching yang aman based composite resin. J Dent Res Dent Clin
digunakan dan mempunyai efek yang baik Dent Prospects. 2016 Fall;10(4): 213-19.
terhadap kekerasan resin komposit Filtek Z250 11. Jakfar S. Pengaruh Agen Aktif Bleaching
XT tipe nano hibrid. Kenaikan kekerasan resin Terhadap Jaringan Keras dan Lunak Mulut
komposit dapat memberikan berbagai keuntungan Serta Bahan Restorasi Kedokteran Gigi. Cak
antara lain dapat menahan daya tekanan kunyah Dent J 2009 ; 2(1): 62-9.
yang lebih besar, perubahan bentuk dan tambalan 12. Matis BA. The question-at-home or in-office
aus lebih bisa diminimalisir dan rentang bleaching: Evidence based concepts to
pemakaian yang lebih panjang. empower dental professionals. Available at:
bmatis@iupui.edu. Accesed August 27,
2004.
KESIMPULAN 13. Boksman, L., “Current Status of Tooth
Berdasarkan hasil penelitian, jika dibandingkan Whitening”, Literature Review, September,
dengan grup kontrol maka dapat disimpulkan 2006; 76-79.
bahwa pemakaian karbamid peroksida 20% dan 14. Wagner, B. J., “Whiter Teeth-Brighter
35% baik selama 7 maupun 14 hari Smiler”, Special Supplemental issue-Access,
September-Oktober, 1999; 1-12.

14
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

15. Suprastiwi, E., “Penggunaan Karbamid 31. O’Brien, William J.. Dental Materials and
Peroksida sebagai Bahan Pemutih Gigi”, Ind. Their Selection. 3rd ed. Canada:
J. Dentistry, 2005; 12(3): 139-45. Quintessence, Publ., 2002; 113-28.
16. Goldstein RE, Garber DA. Complete Dental 32. Irawan B. “Material Restorasi Direk
Bleaching. Chicago: Quintessence Kedokteran Gigi Saat Ini.” Journal Dentistry
Publishing Co.Inc, 1995 : 26-33. Indonesia, 2004; 24–8.
17. Nakamura, T., Saito, O., Ko, T., Maruyama, 33. Mount GJ and Hume WR. Preservation and
T., “The Effect of Polishing and Bleaching Restoration of Tooth Structure. Barcelona:
on The Colour oh Discoloured Teeth in Mosby, 1998; 94-9.
Vivo”, J. Oral Rehab., 2001; 28, 1080-4. 34. Alla RK. Dental Materials Science. India:
18. Hatrick CD, Eakle WS, Bird WF. Dental Jaypee, 2014; 130-5.
Materials: Clinical Applications for Dental 35. Banerjee, Avijit, and Timothy F. Watson.
Assistants and Dental Hygienists. 2nd Ed. Pickard’s Manual of Operative Dentistry. 9th
USA : Saunders Elsevier. 2011: 50-86. ed. New York: Oxford, 2011; 88-95.
19. Bernie KM., “Maintaining Tooth-Whitening 36. Powers JM, Wataha JC. Dental Materials:
Results”, J. Pract. Hygiene, 2003; 34-36. Properties And Manipulation. 9th ed. USA:
20. Vanable ED dan LoPresti, L. R, “Using Elsevier, 2008; 285-305.
Dental Material”, Pearson Prentice Hall, 37. McCabe JF, Walls AWG. Applied dental
New Jersey, 2004; 80-5. materials. 9th ed., Oxford: Blackwell
21. Ingle, J. I., Bakland, L. K., “Endodontics”, Publishing., 2008; 13, 196-211.
5th ed, BC Decker Inc, Hamilton London, 38. Sakaguchi RL, Powers JM. Craig’s
2002; 849-50. restorative dental materials. 13th ed.,
22. Halim HS. Perawatan Diskolorisasi Gigi Philadelphia: Elsevier, 2012; 91, 161-92.
Dengan Teknik Bleaching. Jakarta: 39. Anusavice KJ. Phillips’ science of dental
Universitas Trisakti, 2006; 1-75. materials. 10th ed. Alih Bahasa. Budiman
23. Grossman LI, Oliet S, Rio CED. Ilmu JA, Purwoko S. Jakarta: EGC, 2004; 54-
Endodontik Dalam Praktek. Edisi ke 11. Alih 61;228-49.
Bahasa. Rafiah A. Jakarta : EGC, 1995; 295- 40. Powers, JM. Dental materials properties and
7. manipulation. 9th ed. Missouri: Mosby Inc,
24. Haywood VB., “Nightguard Vital Bleaching 2008; 32-34;69-92.
Indications and Limitation”s, US Dentistry, 41. O’Brien WJ. Dental materials and their
Section Heading Sub Heading, 2006; 2-8. selection. 3rd ed., Illinois: Quintessence
25. Gunawan HA., “Pengaruh Pemutih Gigi Publishing Co, Inc., 2002; 41, 202-28.
Karbamid Peroksida terhadap Mukosa 42. Geels K, Fowler DB, Kopp WU. Ruckert M.
Rongga Mulut secara Mikroskopik Metallographic and materialographic
(Penelitian pada Tikus Wistar Strain LMR)”, specimen preparation, light microscopy,
J, Ked. Gigi UI, 10 (Edisi Khusus), 2003; image analysis and hardness testing. 1st ed.,
652-6. West Conshohocken: ASTM International.,
26. Hewlett ER., “Etiology and Management of 2007; 628-32.
Whitening-induced Tooth Hypersensitivity”, 43. Lemeshow, Stanley, 1997, Besar Sampel
J. CDA, 35 (7), 2007; 499-506. dalam Penelitian Kesehatan, Gadjah Mada
27. Leevailoj C. The Art of Anterior Tooth- University, Yogyakarta.
Colored Restoration with Resin Composites. 44. Hao Y, Qing L, Hussain M, Yining W,
Thailand: Chulalongkorn University, 2004: Effects of bleaching gels on the surface
10-4. microhardness of tooth-colored restorative
28. Meizarini A, Rianti D. Bahan Pemutih Gigi materials in situ. Journal of Dentistry: 2008;
Dengan Sertifikat ADA/ISO. Maj. Ked Gigi 36(4): 261-7.
2005; 38 (2) : 73-6. 45. Ab-Ghani Z, Ooi QQ, and Mohamad D.
29. Mitchell C. Dental Materials in Operative Effects of home bleaching on surface
Dentistry.Quintessence Publishing Co. hardness and surface roughness of an
Ltd., 35(1), 2008: 1-21. experimental nanocomposite. J Consery
30. Anusavice KJ, Shen C, and Rawls HR. Dent. 2013 Jul-Aug; 16(4): 356–61.
Philip’s Science of Dental Materials. 12th ed. 46. Sharafeddin F dan Jamalipor GR. Effects of
Singapore: Elsevier, 2013; 279-91. 35% carbamide peroxide gel on surface

15
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

roughness and hardness of composite resins.


J Dent (Tehran). 2010; 7(1): 6–12.
47. Wu W, McKinney JE. Influence of chemicals
on wear of dental composites. J Dent
Res.1982; 61(10): 1180-3.
48. Taher NM. The effect of bleaching agents on
the surface hardness of tooth colored
restorative materials. J Contemp Dent
Pract.2005; 6(2): 18-26.
49. Mohamad D, Young RJ, Mann AB, Watts
DC. Post-Polymerization of dental resins
composite evaluated with Nanoindentation
and Micro-Raman spectroscopy. Arch
Orofac Sci. 2007; 2: 26–31.

16
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20

Regenerasi Tulang pada Kasus Abses Apikalis Kronis


(Laporan Kasus)

Elline
Staf Pengajar Bagian Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trsakti

ABSTRACT
Background: Chronic apical abscess cases are often found in dental practice. Chronic apical abscess
is defined as an inflammatory response to pulpal infection and necrosis identified by stepwise onset,
causing almost no discomfort, and characterized by the discontinuous release of pus through a related
sinus tract. Radiographically, there are regularly indications of bone destruction. The source of
infection in the root canal is eradicated by root canal treatment. The main purpose of endodontic
treatment is to finish debridement of the pulp tissue from the canal, combined with shaping and
sufficient obturation of the root canal system. Objective: This case report was written to bring
forward the proper management of tooth with chronic apical abscess and reveal self-bone
regeneration after treatment. Case report: A 27-year-old woman complained of cavity on her left
lower back tooth. There was a history of fistula which appear frequently in the gum near the cavity
tooth. Radiographic examination showed that caries has reached the pulp with periapical lesion and
bone destruction. The canals were prepared with ProTaper Next file with irrigation using 5,25%
sodium hypochlorite, EDTA 17% and chlorhexidine gluconate 2%. Calcium hydroxide paste was
used as an intracanal medicament, then the canals were obtured with continous wave compaction
technique. Four months follow up was advised and healing of periapical lesion with bone regeneration
is evident. Conclusion: Adequate root canal treatment can result in healing of periapical lesions and
bone regeneration on chronic apical abscess.

Keyword: bone regeneration, bone destruction, periapical lesion, endodontic treatment

PENDAHULUAN oleh mikroorganisme dalam saluran akar dan


Lesi periapikal adalah kondisi patologis terjadilah suatu inflamasi di apikal gigi.
yang umum terjadi pada jaringan periapikal.1 Inflamasi bisa terjadi secara lokal, kemudian
Lebih dari 90 % lesi periapikal dapat terjadi resorbsi jaringan keras sampai terjadi
dikategorikan sebagai granuloma, kista radikuler destruksi jaringan periapikal .6
atau abses.2 Abses bisa terjadi pada 28,7% - Proses mengeliminasi mikroorganisme
70,07% kasus.3 Abses periapikal bisa dalam sistem saluran akar penting untuk
dikategorikan menjadi akut dan kronis. Apses dilakukan. Tujuan utama dari perawatan saluran
apikalis kronis merupakan respon peradangan akar adalah mengeliminasi jaringan vital ataupun
pada infeksi pulpa dan biasanya gigi telah nekrosis dari pulpa terinfeksi sehingga terjadi
nekrosis, seringkali tidak memberikan keluhan suatu proses penyembuhan. Proses pembersihan
dan adanya pus di jalur sinus tract. dan disinfeksi yang optimum pada saluran akar
Pada kasus abses apikalis, seringkali dapat menghasilkan proses penyembuhan yang
secara radiograf terlihat kerusakan tulang dan lebih cepat.7 Perawatan endodontik berfungsi
terlihat suatu gambaran radiolusensi.4 Secara untuk membuang seluruh debridemen jaringan
umum, adanya suatu sinus tract pada mukosa pulpa dari saluran akar, dikombinasikan dengan
rongga mulut menunujukkan kondisi nekrosis pembentukkan saluran akar sampai tahapan
pada pulpa gigi, supuratif (pus) pada daerah obturasi yang baik pada sistem saluran akar.
periapikal atau kerusakan jaringan periodontal Laporan kasus ini diharapkan dapat
dari gigi. Kerusakan periodontal dapat menambah informasi tentang tatalaksana gigi
menyebabkan suatu resorbsi dari tulang dengan abses apikalis kronis disertai
periapikal daerah kortikal bukal atau lingual dan penyembuhan tulang setelah dilakukan
mukoperiostium, sehingga drainase pus yang perawatan
timbul mencapai permukaan mukosa daerah
permukaan.5 Periodontitis apikalis terinduksi

17
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20

LAPORAN KASUS
Kasus
Regenerasi tulang pada gigi dengan abses
apikalis kronis
Seorang perempuan usia 27 tahun datang
Gambar 3. Gigi pasca preparasi biomekanis
dengan keluhan pada gigi 36. Gigi tidak pernah
dilakukan perawatan sebelumnya, dan pernah
mengalami sakit spontan 1 tahun lalu. Pada
Medikamen intrakanal diberikan selama 1
anamnesis diketahui bahwa pernah ada suatu
sinus tract yang hilang timbul pada daerah gusi. minggu menggunakan Kalsium Hidroksida
Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ada simptom. (Ultracal, Ultradent) dan pasien diinstruksikan
kembali 1 minggu.
Pemeriksaan intra oral menunjukkan adanya lesi
Setelah 1 minggu, pasien kembali tanpa
karies dalam pada disto-oklusal mencapai pulpa.
keluhan. Pada pemeriksaan intraoral sinus tract
Terlihat juga adanya sinus tract pada gusi sekitar
gigi 36. telah hilang . Pemeriksaan perkusi dan palpasi
Tes dingin dan Electric pulp tester menunjukkan hasil negatif. Setelah itu dilakukan
menunjukkan hasil negatif, dan tidak ada sensitif pemasangan rubber dam dan gigi diobturasi
menggunakan guttaperca. Teknik obturasi yang
terhadap perkusi dan palpasi. Pada pemeriksaan
digunakan adalah teknik continous wave
radiografi menunujukkan bahwa karies telah
compaction menggunakan sealer (Sealapex,
mencapai pulpa disertai lesi periapikal
dankerusakan tulang pada gigi 36. Diagnosis gigi Sybron Endo), guttaperca dipotong di bawah 2
36 adalah abses apikalis kronis et causa nekrosis mm di bawah orifice dan diberikan barrier
semen ionomer kaca dan diberikan tumpatan
pulpa (Gambar 1 dan 2).
sementara (Gambar 4)

Gambar 1. Radiograf 36 Gambar 2. Klinis 36


Gambar 4. Hasil obturasi ggi 36

Perawatan saluran akar dilakukan pada


gigi 36. Gigi diisolasi menggunakan rubber dam, Setelah 1 minggu pemeriksaan ekstra oral
pembuatan artificial wall, preparasi akses dan intraoral tidak ada keluhan dan dilakukan
kavitas, dan ditemukan 3 saluran akar, yaitu restorasi final berupa porselin fusi metal disertai
mesiobukal, mesiolingual, dan distal. Eksplorasi penggunaan pasak fiber. Setelah ontrol 4 bulan
saluran akar menggunakan jarum K-files #8, #10, menunjukkan adanya penyembuhan lesi
dan dilakukan irigasi. Panjang kerja ditentukkan periapikal dan regenerasi tulang.
menggunakan elektronik apex locator (Root ZX,
Morita), dan dikonfirmasi menggunakan foto
radiograf. Apical glide ditentukkan
menggunakan file Proglider (Dentsply).
Preparasi biomekanis saluran akar
dilakukan menggunakan ProTaper Next
Rotary System (Dentsply) menggunakan teknik
single length. Saluran akar diirigasi dengan Gambar 5. Gigi telah direstorasi dan terlihat
NaOCl pada saat instrumentasi. Saluran regenerasi tulang
mesiobukal dan mesolingual diselesaikan sampai
file X2, dan distal X3.

18
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20

PEMBAHASAN Proses penyembuhan periapikal adalah


Abses Apikalis Kronis adalah merupakan dengan terbentuknya jaringan lunak dan keras.17
variasi dari periodontitis apikalsi yang Formasi pembentukan tulang dan sementum
disebabkan oleh infeksi saluran akar dan terbentuk jika proses peradangan apikal hilang
mengakibatkan keluarnya pus pada permukaan karena pada proses penyembuhan sel
gusi. Secara radiograf, kondisi ini terlihat osteoprogenitor atau sel mesenkim dari sumsum
radiolusen dan dapat terlihat suatu sinus tract , tulang, sehingga terjadi proliferasi dan
dan terlihat suatu jalur drainase abses yang diferensiasi sel odontoblas dan pembentukkan
melalui tulang, periostium dan mukosa .9 matriks tulang 17. BMPs (Bone Morphogenic
Bakteri dan produknya dalam saluran akar Proteins) mensimulasi sel Osteoprogenitor
gigi adalah penyebab utama dari mulainya (OPG) untuk menjadi sel OPG. Sel
peradangan periapikal. Pertama, pulpa Osteoprogenitor (OPG) menarik growth factors
mengalami infeksi dan nekrosis. Adanya secara kemotaktik. termasuk epidermal growth
hubungan antara pulpa gigi dan jaringan factor (EGF), insulin-like growth factor (IGF),
periapikal menyebabkan suatu infeksi pada TGFß, dan PDGF, menyebabkan terjadinya
daerah periodontal sehingga menyebabkan lesi proliferasi. BMPs menyebabkan diferensiasi
periodontal. Pertahanan dari host tidak dapat akhir dari sel OPG menjadi cuboidal,
menanggulangi progress dari infeksi karena bermetabolisme menjadi osteoblast aktif pada
sirkulasi yang kurang di daerah tersebut, permukaan tulang dan menghasilkan osteoid
sehingga gigi menjadi nekrosis. Adanya iritasi yang akan teremineralisasi dan membentuk
mengakibatkan adanya respon imun inate dan tulang.18
adaptif dari jaringan periapical.1 Respon imun
yang lemah membuat ketidakmampuan untuk KESIMPULAN
menghancurkan bakteri yang tumbuh subur Perawatan saluran akar yang adekuat dapat
dalam saluran akar , sehingga tujuan utama dari menyembuhkan lesi periapikal dan menginduksi
perawatan saluran akar adalah untuk regenerasi tulang pada kasus abses apikalis
mengeliminasi biofilm , bakteri dan produknya.10 kronis.
Preparasi biomekanis menggunakan sistem
rotary memiliki keuntungan dalam fleksibilitas DAFTAR PUSTAKA
alat yang baik, resisten terhadap cyclic fatigue, 1. Karunakaran JV, Abraham CS, Karthik AK
instrument patah. Selain itu, bentuk penampang JN. Successful nonsurgical management of
jarum cross section rectangular shape di tengah periapical lesions of endodontic origin: A
dan ada 2 titik yang berkontak dengan dinding conservative orthograde approach. J Pharm
saluran akar. Bentuk ini dapat meningkatkan Bioallied Sci. 2017;9(5):246-251.
proses cutting, mengurangi tekanan dan kontak 2. Lalonde ER, Leubke RG. The frequency and
antara file dan dinding dentin, memaksimalkan distribution of periapical cysts and
pembuangan debris ke arah koronal.12 granuloma. Oral Surg Oral Med Oral Pathol.
Perawatan saluran akar dengan preparasi 1986;25:861-868.
biomekanis , irigasi antibakteri dapat mengurangi 3. Schulz M, von Arx T, Altermatt HJ,
bakteri 40 – 60 %.13 Bosshardt D. Histology of periapical lesions
Pada kasus ini Kalsium Hidroksida obtained during apical surgery. J Endod.
digunakan untuk menginduksi penyembuhan 2009;35:634,642.
daerah periapikal. Medikamen ini memiliki 4. Berman LH, Rotstein I. Diagnosis. In:
kemampuan sebagai antimikrobial, anti Hargreaves K, ed. In Cohen’s Pathways of the
inflamasi, mengurangi matriks metalloproteinase Pulp. 11th ed. Missouri: Elsevier; 2016:30.
dengan aktvitas alkalin fosfat dan sintesis 5. Tai TF, Huang SH, Lin CP, Tsai YL, Jeng
kolagen.14 Kalsium Hidroksida memiliki pH 12.5 JH. Sinus tracts from proximal roots with
– 12.8 dan dapat terpecah menjadi ion kalium infected root canals ── cases report. J Dent
dan hidroksil. Ion hidroksi memiliki ph alkali Sci. 2006;1(4):2-6.
sehingga dapat menghancurkan membrane 6. Croitoru IC, Craitoiu S, Petcu CM, et al.
sitoplasma bakteri, dan menghancukan Clinical, imagistic and histopathological
15
proteinnya. Souza dkk mengatakan bahwa study of chronic apical periodontitis. Rom J
penggunaan kalsium hidroksida pada perawatan Morphol Embryol. 2016;57(2):719-728.
endodontik dapat meningkatkan keberhasilan
perawatan lesi periapical.16

19
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20

7. Sigurdsson A, Garland RW, Le KT, Woo SM. In: Nestor Cohenca, ed. Disinfection of Root
12-month Healing Rates after Endodontic Canal Systems: The Treatment of Apical
Therapy Using the Novel GentleWave Periodontitis. Wiley Blackwell; 2014:303-
System : A Prospective Multicenter Clinical 305.
Study. J Endod. 2016;42(7):1040-1048.
8. Gupta R, Hasselgren G. Prevalence of
Odontogenic Sinus Tracts in Patients
Referred for Endodontic Therapy. J Endod.
2003;29(12):12-14.
9. Ricucci D, Loghin S, Gonc LS.
Histobacteriologic Conditions of the Apical
Root Canal System and Periapical Tissues in
Teeth Associated with Sinus Tracts. 2017:1-9.
10. Cohenca N, Amaro A. Root Canal Infection
and Endodontic Disease. In: Disinfection of
Root Canal Systems: The Treatment of Apical
Periodontitis: The treatment of apical
periodontitis. Wiley Blackwell;2014.
11. Chandrasekhar P, Shetty RU, Adlakha T,
Shende S, Podar R. A comparison of two
NiTi rotary systems , ProTaper Next and Silk
for root canal cleaning ability ( An in vitro
study ). Indian J Conserv endod.
2016;1(1):22-24.
12. Ruddle C, Machtou P, West J. The shaping
movement: fifth-generation technology. Dent
today. 2013;32:6-9.
13. Sathorn C, Parashos P, Messer HH.
Effectiveness of single- versus multiple-visit
endodontic treatment of teeth with apical
periodontitis : a systematic review and. J Int
Endod. 2005:347-355.
14. Bezerra da Silva LA, Bezerra da Silva RA,
Nelson-Filho P, Cohenca N. Intracanal
medication in root canal disinfection. In:
Nestor Cohenca, ed. Disinfection of Root
Canal Systems: The Treatment of Apical
Periodontitis. Wiley Blackwell; 2014:252-
253.
15. Dohyun K, Euiseong K. Antimicrobial effect
of calcium hydroxide as an intracanal
medicament in root canal treatment : a
literature review - Part II . in vivo studies.
Rest Dent Endod. 2015;7658:97-103.
16. Broon NJ, Bortoluzzi EA, Bramante CM.
Repair of large periapical radiolucent lesions
of endodontic origin without surgical
treatment. J Aust Endod. 2007;33:36-41.
17. Lin ML, Huang GTJ. Pathobiology of apical
periodontitis. In: Cohen’s Pathways of the
Pulp. 11th ed. Missouri: Elsevier; 2016:652-
655.
18. Metzger Z, Kfir A. Healing of apical lesions:
How do they heal, why does the healing take
so long, and why do some lesions fail to heal?

20
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

Hubungan Antara Gigi Berjejal Dan Gingivitis


(Laporan Penelitian)

Lies Zubardiah1, Marilyn Octavia2


1
Staf Pengajar Bagian Periodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT
Background: Gingivitis is inflammation of the gingiva which is characterized by changes in the
gingiva such as redness, udematous, swelling, loss of stippling, and bleeding. The main cause of
gingivitis is bacterial plaque that accumulates in the gingival sulcus. Crowded teeth facilitate the
accumulation of plaque because makes it difficult for oral hygiene techniques. Objective: To find out
the relationship between crowded teeth with gingivitis in patients who came to the Dental and Oral
Hospital of the Faculty of Dentistry, Trisakti University. Method: Observational analytic study with
cross sectonal design using 72 subjects aged between 13-50 years. The subjects were divided into 2
groups consisted of 36 patients with crowded teeth and 36 without crowded teeth. The condition of the
teeth was recorded, and PBI was examined. Results: Pearson Chi-Square correlation test showed a
significant relationship between age (group 43-48.9 years) with gingivitis (p <0.05). The relationship
between crowded teeth and gingivitis showed no significant relationship (p> 0.05). For the relationship
between the amount of jaw involvement in crowded teeth and gingivitis, there was a significant
relationship (p <0.05). Conclusion: There is a significant relationship between crowded teeth and
gingivitis in certain age groups.

Keyword: gingivitis, crowded teeth, Papilla Bleeding Index

PENDAHULUAN yang menyatakan 60% masyarakat Indonesia


Gingivitis merupakan peradangan pada mengidap penyakit periodontal. 4
gingiva tanpa kehilangan perlekatan periodontal.1 Gigi berjejal merupakan bentuk maloklusi
Hal ini ditandai dengan adanya perubahan warna yang sering dijumpai. Gigi berjejal adalah akibat
gingiva mulai dari merah, merah kebiruan, hingga ketidakseimbangan hubungan antara ukuran gigi
biru, ukuran gingiva menjadi besar, kontur dengan ukuran rahang sehingga menyebabkan
marginal membulat, konsistensi lunak dan gigi berputar, bergeser dan bertumpuk. Nance
udematus ataupun menjadi keras dan fibrosis. (1947) mengemukakan bahwa gigi berjejal dapat
Terjadi perubahan tekstur yang ditandai dengan terjadi karena ketidaksesuaian antara ruangan
berkurangnya stipling hingga hilang sama sekali, yang diperlukan dengan ruangan yang tersedia
dan mudah berdarah pada probing.2 Gingivitis dalam lengkung rahang.5 Gigi berjejal belum
pada dasarnya disebabkan oleh bakteri yang dapat diketahui penyebabnya dengan pasti. Gigi
terdapat pada plak. Akumulasi plak dapat terjadi berjejal diyakini erat hubungannya dengan
karena kebersihan mulut yang buruk, restorasi perkembangan evolusi manusia yaitu terdapat
yang tidak baik, dan posisi gigi yang tidak pengurangan ukuran rahang tanpa diimbangi
teratur.3 dengan pengurangan ukuran gigi dan jumlah
Untuk mencegah gingivitis, diperlukan gigi.6 Gigi berjejal secara estetik mengganggu
ketekunan dalam membersihkan gigi dan mulut. penampilan, dan secara fungsional menimbulkan
Menjaga kesehatan gingiva sama pentingnya kesulitan dalam pembersihan gigi. Kesulitan ini
seperti menjaga kesehatan gigi. Masyarakat jika terus menerus dibiarkan dapat mendorong
Indonesia seringkali masih belum sadar akan retensi plak pada margin gingiva dan
pentingnyagigi dan gusi, sehingga dapat mengakibatkan peradangan gingiva atau
dibuktikan dari hasil Laporan Survei Kesehatan gingivitis.7
Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI tahun 2011, Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di University of Penambuco, Brazil

21
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

(2011), menunjukkan bahwa 100% subyek anaerob 41%.7 Faktor predisposisi merupakan
dengan gigi berjejal memiliki gingiva yang faktor yang memudahkan akumulasi plak seperti
berdarah saat dilakukan probing.8 Begitu juga restorasi yang salah, karies, impaksi makanan,
pada penelitian di Universidade da Regiao de gigi tiruan, alat ortodonti yang tidak adekuat, gigi
Joinville Brazil (2004), menunjukkan bahwa berjejal, bernapas melalui mulut, developmental
100% subyek dengan gigi berjejal juga disertai groove pada permukaan servikal, dan kebiasaan
gingivitis dengan derajat keparahan yang merokok.8 Gingivitis juga dapat dipengaruhi atau
bervariasi.9 diperberat oleh faktor penyakit dan kondisi
sistemik, seperti penggunaan obat-obatan,
malnutrisi, kelainan sistem endokrin, hormonal,
dan kelainan darah. Tingkat keparahan gingivitis
dapat diukur dengan Papilla Bleeding Index (PBI)
yang diperkenalkan oleh Saxer dan Muhlemann
(1975). 9
Perawatan gingivitis pada gigi berjejal
Gambar 1. Gigi berjejal pada RA dan RB. dimulai dengan pembuangan semua iritan lokal
penyebab radang dengan skeling dan penghalusan
Gingiva yang sehat berwarna merah muda, akar (SPA) serta kontrol plak. Faktor predisposisi
konsistensi kenyal, tekstur berbintik-bintik seperti yang memudahkan akumulasi plak juga
kulit jeruk (stipling), tepi meruncing, dan tidak dihilangkan. Jika setelah dievaluasai tanda-tanda
mudah berdarah. Gingiva yang sehat dapat peradangan belum hilang dan poket masih dalam,
mengalami peradangan yang disebut gingivitis. maka dilakukan pembuangan dinding jaringan
Gingivitis merupakan salah satu bentuk penyakit lunak poket yang patologis dengan tindakan
periodontal yang paling sering dijumpai. bedah. 10
Peradangan pada gingiva dapat dilihat Pada penelitian ini ingin diketahui
berdasarkan adanya perubahan pada warna, bagaimana hubungan antara gigi berjejal dengan
konsistensi, tekstur, ukuran, dan kontur.11 gingivitis pada subyek yang datang ke Rumah
Peradangan gingiva dimulai ketika plak Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
melekat di daerah interdental, kemudian Universitas Trisakti. Hingga saat ini penelitian
peradangan dapat meluas ke marginal gingiva. mengenai hubungan antara gigi berjejal dengan
Pembuluh darah yang mengalami dilatasi gingivitis kurang dikembangkan di Indonesia.
menyebabkan gingiva berwarna merah dan Pada penelitian ini juga ingin dilihat distribusi
udematus disertai eksudat gingiva. Tepi gingiva frekuensi subyek gingivitis yang disebabkan oleh
membulat, interdental groove menghilang dan gigi berjejal.
konsistensi gingiva menjadi lunak, mengkilap
serta stipling berkurang hingga menghilang. Jika METODE PENELITIAN
iritasi plak berlangsung lama, maka konsistensi Jenis penelitian ini adalah observasional
gingiva akan mengeras dan bentuk gingiva analitik dengan rancangan potong silang untuk
menjadi tidak beraturan. Keluhan utama pada melihat adanya hubungan antara gigi berjejal
pasien gingivitis adalah gingiva mudah berdarah dengan gingivitis. Subyek adalah pasien yang
ketika menyikat gigi dan ketika makan makanan datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas
yang keras. Gingiva yang mengalami peradangan Kedokteran Gigi Universitas Trisakti (RSGM
juga mudah berdarah ketika dilakukan FKG Usakti) yang berusia 13 hingga 50 tahun
pemeriksaan dengan probing.11 Pasien gingivitis pada bulan Oktober hingga Desember 2014.
sering mengalami halitosis atau bau mulut yang Subyek sebanyak 72 terdiri dari laki-laki dan
disebabkan oleh aroma darah dan buruknya oral perempuan dibagi dalam 2 kelompok yaitu 36
hygiene. 10 disertai gigi berjejal dan 36 tidak disertai gigi
Penyebab utama gingivitis adalah plak berjejal.
bakteri yang berada pada supragingiva dan Subyek yang tidak termasuk dalam kriteria
subgingiva. Bakteri yang berperan pada gingivitis inklusi adalah pasien dengan kondisi sangat
terdiri atas spesies Gram positif 56% seperti lemah; pasien yang menderita penyakit sistemik
Streptococcus sanguinis dan Actinomyces seperti diabetes melitus, kelainan darah, penyakit
viscosus. Bakteri Gram negatif 44% seperti kardiovaskular, epilepsi, dan lupus; pasien yang
Fusobacterium nucleatum dan Prevotella sedang mengonsumsi obat-obatan anti konvulsan,
intermedia, Spesies fakultatif 59% dan spesies imunosupresan, calcium channel blocker;

22
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

pengguna alat ortodonti; memiliki restorasi gigi Dari hubungan antara jenis kelamin dengan
yang mengemper; wanita yang sedang hamil dan Papilla Bleeding Index (PBI) pada subyek tanpa
menstruasi. gigi berjejal. Pada pria, PBI terbesar (2-2,99)
Alat dan bahan yang digunakan adalah alat ditemukan 12 orang (33,3%). Pada wanita PBI
standar pemeriksaan, prob WHO, nierbekken, terbesar ada pada 2 kelompok yaitu kelompok PBI
kamera, alat tulis, penggaris, berbagai formulir 1-1,99 dan 2-2,99 sebanyak 6 orang (16,7%).
(informed consent, data pasien, hasil penelitian), (Tabel 1)
masker, sarung tangan, cutton bud, larutan
pewarna, alkohol 70%, povidone iodine 10%.
Subyek diminta kesediaannya untuk Tabel 1. Hubungan antara jenis kelamin dengan PBI
berpartisipasi dalam penelitian. Gigi-geligi dan pada subyek tanpa gigi berjejal
PBI
kondisi gingiva dicatat meliputi warna, ukuran, Jenis Kelamin 0 – 1 – 2 – Total
3-4
kontur, tekstur, dan konsistensi. Dilakukan 0,99 1,99 2,99
pemeriksaan indeks PBI dan data dianalisis Pria Jumlah 2 7 12 0 21

menggunakan program Statistical Product and Persentase


5,6% 19,4% 33,3% 0% 58,3%
Service Solution (SPSS) versi 20.0 dan Microsoft (%)
Wanita Jumlah 2 6 6 1 15
Word 2007.
Persentase
5,6% 16,7% 16,7% 2,8% 41,7%
(%)
Total Jumlah 36
HASIL Persentase
Subyek sebanyak 72 orang terdiri atas 36 (%)
100%

subyek gigi berjejal dan 36 tanpa gigi berjejal.


.
Berdasarkan jenis kelamin subyek pria sebanyak
38 orang (52,8%) dan wanita 34 orang (47,2%).
Dari hubungan antara jenis kelamin dengan
Berdasarkan kelompok usia, subyek terbanyak
PBI pada subyek dengan gigi berjejal. Pada pria,
pada kelompok usia 25 – 30,9 tahun (23 orang/
PBI terbesar (2-2,99) sebanyak 8 orang (22,2%).
31,9%) dan terkecil pada kelompok usia 49 – 54
Pada wanita PBI terbesar (2-2,99) sebanyak 10
tahun (1 orang/2,8%). Gigi berjejal dibagi 2
orang (27,8%). (Tabel 2)
berdasarkan kedudukannya yaitu gigi berjejal
pada 1 rahang dan gigi berjejal pada 2 rahang.
Gigi berjejal pada 1 rahang dibagi menjadi gigi
Tabel 2. Hubungan antara jenis kelamin dengan PBI
berjejal hanya di rahang atas (RA) dan gigi pada subyek dengan gigi berjejal.
berjejal hanya di rahang bawah (RB). Subjek gigi PBI
Jenis Kelamin 0– 1– 2– Total
berjejal, lebih banyak pada kedua rahang yaitu 22 3-4
0,99 1,99 2,99
orang (61,1%). Subyek dengan gigi berjejal hanya
Pria Jumlah 0 6 8 3 17
pada 1 rahang paling banyak pada RB yaitu 9 Persentase
orang (25%). (%)
0% 16,7% 22,2% 8,3% 47,2%

Dari hubungan antara jenis kelamin dengan Wanita Jumlah 2 5 10 2 19


kedudukan gigi (berjejal/ tidak berjejal), pada 36 Persentase 5,6% 13,9% 27,8% 5,6% 52,8%
subyek tanpa gigi berjejal terbanyak pada pria (21 (%)
orang/ 58,3%), gigi berjejal pada 1 rahang Total Jumlah 36
terbanyak pada wanita, baik di RA (3 orang/ Persentase
100%
8,3%) maupun di RB (5 orang/ 13,9%). Pria dan (%)

wanita memiliki gigi berjejal pada 2 rahang, sama


banyak yaitu 11 orang (30,6%). Dari hubungan
antara usia dengan kedudukan gigi (berjejal/tidak Dari hubungan antara usia dengan PBI pada
berjejal), subyek tanpa gigi berjejal terbanyak subyek tanpa gigi berjejal, subyek pada kelompok
pada kelompok usia 25 – 30,9 tahun yaitu 10 usia 19 - 24,9 tahun dengan nilai PBI 2-2,99
orang (27,8%). Subyek dengan gigi berjejal 1 merupakan yang terbanyak yaitu 7 orang (19,4%),
rahang terbanyak pada kelompok usia 25 – 30,9 diikuti dengan kelompok usia 37 – 42,9 tahun,
tahun baik pada RA maupun RB 2 orang (5,6%) dengan nilai PBI 2-2,99 sebanyak 6 orang
dan 4 orang (11,1%). Subyek dengan gigi berjejal (16,7%).setelah itu diikuti oleh subyek pada
pada kedua rahang terbanyak pada kelompok usia kelompok usia 31 – 36,9 tahun, dengan nilai PBI
25 – 30,9 tahun dan 31 – 36,9 tahun yaitu masing- 2-2,99 sebanyak 4 orang (11,1%). (Tabel 3)
masing 7 orang (19,4%).

23
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

31 – 36,9 Jumlah
0 0 6 1 7
Persentase
(%) 0% 0% 16,7% 2,8% 19,4%

Tabel 3. Hubungan antara usia dengan PBI pada 37 – 42,9 Jumlah


1 1 1 1 4
subyek tanpa gigi berjejal. Persentase
PBI (%) 2,8% 2,8% 2,8% 2,8% 11,1%
Usia (tahun) 0– 1– 2– Total
3-4 43 – 48,9 Jumlah
0,99 1,99 2,99
0 1 0 0 1
13 – 18,9 Jumlah Persentase
4 0 0 0 4 (%) 0% 2,8% 0% 0% 2,8%
Persentase
11,1% 0% 0% 0% 11,1% 49 – 54 Jumlah
(%)
1 0 0 0 1
19 – 24,9 Jumlah Persentase
0 2 7 0 9 (%) 2,8% 0% 0% 0% 2,8%
Persentase
0% 5,6% 19,4% 0% 25% Total Jumlah 36
(%)
Persentase
25 – 30,9 Jumlah 100%
0 9 1 0 10 (%)
Persentase
(%) 0% 25% 2,8% 0% 27,8%

31 – 36,9 Jumlah
0 0 4 1 5 Pada subyek dengan gigi berjejal maupun
Persentase
0% 0% 11,1% 2,8% 13,9%
tanpa gigi berjejal. umumnya memiliki PBI 2-2,99
(%)
yaitu sebanyak 18 orang (25%). Dari 14 subyek
37 – 42,9 Jumlah
0 1 6 0 7 dengan gigi berjejal, sebanyak 4 orang memiliki
Persentase gigi berjejal hanya pada RA dengan PBI 1-1,99
(%) 0% 2,8% 16,7% 0% 19,4%
(28,5%). Subyek dengan gigi berjejal hanya pada
43 – 48,9 Jumlah
0 1 0 0 1 rahang bawah ditemukan sebanyak 5 orang
Persentase dengan PBI 2-2,99 (35,7%). Dari 22 subyek
0% 2,8% 0% 0% 2,8%
(%) dengan gigi berjejal pada kedua rahang, 13 orang
49 – 54 Jumlah
0 0 0 0 0
memiliki PBI 2-2,99 (59,1%).
Persentase
0% 0% 0% 0% 0%
(%) PEMBAHASAN
Total Jumlah 36 Beberapa studi yang telah dilakukan,
Persentase
100%
menunjukkan pasien dengan gigi berjejal
(%)
umumnya disertai gingivitis dengan derajat
keparahan yang bervariasi.8,9 Schroeder (2004)
Dari hubungan antara usia dengan PBI pada membuktikan ada hubungan langsung antara
subyek tanpa gigi berjejal, ditemukan pada bakteri plak dengan peradangan gingiva. Namun,
kelompok usia 25 - 30,9 tahun dengan PBI 2-2,99 dengan adanya oral hygiene yang baik gingivitis
terbesar sebanyak 9 orang (25%). Kemudian tidak akan berkembang meskipun gigi berjejal.9
diikuti dengan kelompok usia 31 – 36,9 tahun, Derajat keparahan gingivitis dapat ditentukan
dengan PBI 2-2,99 sebanyak 6 orang (16,7%). dengan pemeriksaan PBI. Jika hasil skor 0-0,99
(Tabel 4) berarti kondisi gingiva secara klinis sehat; 1-1,99
gingivitis ringan; 2-2,99 gingivitis sedang; dan 3-
Tabel 4. Hubungan antara usia dengan PBI pada 4 gingivitis berat.11
subyek dengan gigi berjejal. Jumlah pasien yang datang di RSGM FKG
PBI
Usia (tahun) 0– 1– 2– Total
Usakti lebih banyak pria daripada wanita. Hal ini
3-4 menunjukkan kemungkinan pria memiliki
0,99 1,99 2,99
13 – 18,9 Jumlah masalah kesehatan gigi dan mulut yang lebih
Persentase
0 2 1 0 3 besar sehingga menimbulkan keluhan yang dirasa
(%) 0% 5,6% 2,8% 0% 8,3% harus mendapatkan perawatan di rumah sakit.
19 – 24,9 Jumlah Sebagian besar pasien yang datang, terdapat pada
0 5 1 1 7 kelompok usia 25 – 30,9 tahun. Hal ini
Persentase
(%) 0% 13,9% 2,8% 2,8% 19,4% menunjukkan pada usia tersebut rentan terkena
25 – 30,9 Jumlah
penyakit gigi dan mulut.
0 2 9 2 13 Dari 36 pasien dengan gigi berjejal,
Persentase
0% 5,6% 25% 5,6% 36,1%
sebagian besar memiliki gigi berjejal pada kedua
(%)

24
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

rahang. Kemungkinan karena ketidaksesuaian Kemungkinan pasien pada kelompok usia ini
antara ruangan yang diperlukan dengan ruangan dengan gigi berjejal menyadari akan giginya yang
yang tersedia berada pada kedua lengkung berjejal sehingga ia berusaha untuk meningkatkan
rahang.12 Dari 14 pasien yang memiliki gigi kebersihan mulutnya.
berjejal hanya pada 1 rahang, sebagian besar Pada kelompok usia 25 – 30,9 tahun tanpa
terdapat pada rahang bawah. Penyebabnya selain gigi berjejal sebagian besar terkena gingivitis
ketidakseimbangan antara ukuran rahang dan ringan, sedangkan pada kelompok usia yang sama
gigi-geligi, kemungkinan ada faktor muskular dengan gigi berjejal terkena gingivitis sedang.
yang berpengaruh seperti keseimbangan tekanan Kemungkinan pasien pada usia ini berada pada
dari lidah, pipi dan bibir.13 kelompok usia aktif sehingga kekurangan waktu
Gigi berjejal lebih banyak pada wanita untuk memperhatikan kesehatan rongga
karena pria sebagian besar memiliki lengkung mulutnya. Pada kelompok usia 31 – 36,9 tahun
rahang yang lebih besar dibandingkan wanita.14 tanpa gigi berjejal dan dengan gigi berjejal
Dari hasil uji korelasi Pearson Chi-Square untuk umumnya terkena gingivitis (derajat sedang).
hubungan antara jenis kelamin dengan gigi Pasien dengan gigi berjejal yang terkena gingivitis
berjejal didapat nilai p=0,345 (p>0,05) yang jumlahnya lebih banyak daripada pasien tanpa
menunjukkan tidak ada hubungan bermakna gigi berjejal. Kemungkinan pasien pada
antara jenis kelamin dengan gigi berjejal. kelompok usia 31 – 36,9 tahun memiliki stres
Berdasarkan dari hasil uji korelasi Pearson Chi- emosional yang tinggi. Pada penelitian ini, stres
Square untuk hubungan antara usia dengan gigi emosional pada usia awal dewasa kemungkinan
berjejal menunjukkan tidak ada hubungan terjadi ketika seseorang kesulitan mendapatkan
bermakna yang didapat dengan nilai p=0,817 pekerjaan ataupun kesulitan di bidang ekonomi
(p>0,05). Pasien pria yang datang sebagian besar ataupun kesulitan dalam menyeimbangkan
terkena gingivitis (derajat sedang) baik pada pria hidupnya baik bekerja, berumah tangga, dan
tanpa gigi berjejal maupun dengan gigi berjejal. mengurus keluarga.17,18
Pria tanpa gigi berjejal dengan gingivitis, Stres emosional dapat memicu terjadinya
jumlahnya lebih banyak daripada pria dengan gigi penyakit periodontal. Stres dan depresi dapat
berjejal. Pria dengan gigi berjejal kemungkinan menurunkan fungsi sistem imun dan
menyadari akan giginya yang berjejal sehingga ia memfasilitasi respon inflamasi. Penurunan sistem
berusaha untuk meningkatkan kebersihan imun dimediasi oleh kelenjar hipotalamus,
mulutnya. pituitari, dan adrenal. Kortisol dibentuk sehingga
Pasien wanita yang datang baik tanpa gigi menurunkan sistem imun dengan cara
berjejal maupun dengan gigi berjejal sebagian menghambat immunoglobulin A dan G serta
besar terkena gingivitis (derajat sedang). Wanita fungsi neutrofil. Hal ini menyebabkan
dengan gigi berjejal yang terkena gingivitis, meningkatnya kolonisasi biofilm dan
jumlahnya lebih banyak daripada wanita tanpa menurunkan kemampuan tubuh melawan invasi
gigi berjejal. Wanita dengan gigi berjejal bakteri.19
kemungkinan kurang seksama dalam melakukan Pada kelompok usia 37 – 42,9 tahun tanpa
oral hygiene karena kesibukannya dalam gigi berjejal umumnya terkena gingivitis sedang,
mengurus rumah tangga. Dari hasil uji korelasi sedangkan pada kelompok usia yang sama dengan
Pearson Chi-Square untuk hubungan antara jenis gigi berjejal memiliki jumlah yang sama untuk
kelamin dengan gingivitis didapat nilai p=0,787 gingiva sehat, gingivitis ringan, sedang dan berat.
(p>0,05) yang menunjukkan tidak ada hubungan Hal ini menunjukkan kesehatan gingiva
bermakna antara jenis kelamin dengan gingivitis. ditentukan dari tingkat oral hygiene setiap
Pada kelompok usia 13 – 18,9 tahun tanpa individu. Apabila tingkat oral hygiene sangat
gigi berjejal sebagian besar memiliki gingiva baik, maka gingiva akan sehat. Apabila tingkat
sehat, sedangkan pada kelompok usia yang sama oral hygiene sangat buruk, maka ditemukan
dengan gigi berjejal umumnya terkena gingivitis gingivitis.
ringan. Kemungkinan pasien pada kelompok ini Pada kelompok usia 43 – 48.9 tahun tanpa
masih berusia muda sehingga masih kurang gigi berjejal dan dengan gigi berjejal umumnya
kesabaran dalam membersihkan gigi-geliginya. terkena gingivitis (derajat ringan). Pasien pada
Pada kelompok usia 19 – 24,9 tahun tanpa gigi kelompok usia 43 – 48.9 tahun kemungkinan lebih
berjejal umumnya terkena gingivitis sedang, banyak pengetahuan mengenai pemeliharaan
sedangkan pada kelompok usia yang sama dengan kebersihan gigi dan mulut dibandingkan usia yang
gigi berjejal umumnya terkena gingivitis ringan. lebih muda sehingga baik pasien tanpa gigi

25
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

berjejal maupun dengan gigi berjejal memiliki bermakna antara jumlah keterlibatan rahang pada
inflamasi gingiva yang lebih ringan jika gigi berjejal dengan gingivitis.
dibandingkan pada kelompok usia yang lain. Dari
hasil uji korelasi Pearson Chi-Square untuk
hubungan antara usia dengan gingivitis didapat KESIMPULAN
nilai p=0 (p<0,05) yang menunjukkan ada Dalam hubungan antara gigi berjejal
hubungan bermakna antara usia dengan gingivitis. dengan gingivitis dapat disimpulkan bahwa jenis
Pasien dengan gigi berjejal maupun tanpa kelamin tidak berhubungan dengan gingivitis.
gigi berjejal umumnya terkena gingivitis sedang. Gingivitis dapat terjadi baik pada pria maupun
Hal ini disebabkan karena rata-rata pasien yang wanita dengan gigi berjejal. Faktor usia pada gigi
datang ke RSGM FKG Usakti tergolong dalam berjejal berhubungan dengan gingivitis. Gigi
sosio-ekonomi menengah ke bawah, yang berjejal sama halnya dengan gigi tidak berjejal,
menyebabkan kurangnya pengetahuan akan keduanya dapat terjadi gingivitis. Pelaksanaan
melakukan oral hygiene dengan baik. Hal ini teknik oral hygiene yang baik dapat mencegah
ditandai baik pasien yang memiliki gigi berjejal terjadinya gingivitis. Terdapat hubungan antara
dan tidak berjejal, banyak disertai karies, plak dan jumlah keterlibatan rahang pada gigi berjejal
kalkulus. dengan gingivitis. Semakin banyak jumlah gigi
Beberapa pasien juga diduga memiliki yang berjejal maka semakin banyak akumulasi
periodontitis kronis lokal baik pada pasien dengan plak pada permukaan gigi sehingga memperberat
gigi berjejal maupun tidak berjejal. Hal ini inflamasi gingiva.
ditandai dengan adanya tanda-tanda klinis seperti
gingivitis, plak dan kalkulus yang terasa saat SARAN
dilakukan probing di subgingiva, perdarahan yang Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
spontan saat probing, dan dirasakan ada dengan jumlah sampel yang lebih besar agar dapat
kegoyangan pada gigi. Oleh karena itu, dari hasil memberikan hasil yang lebih akurat. Subyek perlu
uji korelasi Pearson Chi-Square untuk hubungan diberikan edukasi terlebih dahulu dalam
antara gigi berjejal dengan gingivitis melakukan teknik oral hygiene agar dapat
menunjukkan tidak ada hubungan bermakna yang diperoleh keseragaman dan dapat meningkatkan
didapat dari nilai p=0,321 (p>0,05). keakuratan hasil penelitian. Penelitian selanjutnya
Pasien dengan gigi berjejal pada 1 rahang sebaiknya mengklasifikasikan gigi berjejal dalam
umumnya terkena gingivitis ringan, sedangkan kelompok ringan, sedang, dan berat agar dapat
gigi berjejal pada 2 rahang umumnya terkena melihat tingkat keparahan gigi berjejal yang
gingivitis sedang. Jumlah gigi berjejal memengaruhi gingivitis.
berpengaruh pada kesehatan gingiva. Semakin
banyak jumlah gigi berjejal maka semakin banyak
akumulasi plak pada permukaan gigi sehingga DAFTAR PUSTAKA
memperberat inflamasi gingiva. 1. Perry DA, Beemsterboer PL. Periodontology
Pasien dengan gigi berjejal pada 1 rahang, for Dental Hygienist. Ed ke- 3. St.Louis:
umumnya terkena gingivitis ringan pada rahang Saunders Elsevier; 2007: 66-70, 103-4
atas sedangkan rahang bawah umumnya terkena 2. Reddy S. Essentials of Clinical
gingivitis sedang. Hal ini mungkin berhubungan Periodontology and Periodontics. Ed ke-2.
dengan muara kelenjar saliva pada rahang bawah. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Lingual rahang bawah terdapat 2 duktus yang Publishers; 2008: 145-6
terus mensekresikan saliva yaitu duktus Warthon 3. Laskaris G. Color Atlas of Oral Diseases in
dan Bartholin.20 Children and Adolescents. New York:
Saliva yang disekresikan mengandung Thieme; 2000
mineral-mineral anorganik yang kemudian 4. Permana H. Promosi Doktor Yuniarti
mengalami kalsifikasi berupa kalkulus. Kalkulus Soeroso. 2011. Jakarta: Universitas
yang terbentuk pada gigi rahang bawah dapat Indonesia (cited 2011 Sept 2). Available
memudahkan retensi plak apabila oral hygiene from:
tidak dilakukan dengan baik.21 Dari hasil uji http://old.ui.ac.id/id/news/archive/5185
korelasi Pearson Chi-Square untuk hubungan 5. Howe RP, McNamara JA, O’Connor KA. An
antara jumlah keterlibatan rahang pada gigi examination of dental crowding and its
berjejal dengan gingivitis didapat nilai p=0,023 relationship to tooth size and arch. Am J
(p<0,05) yang menunjukkan ada hubungan Orthod.1983; 83:363

26
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

6. Golwalkar SA, Msitry KM. An evaluation of 2. Philadelphia: Lippincott Williams &


dental crowding in relation to the mesiodistal Wilkins; 2008:154-5
crown widths and arch dimensions. J Ind 19. Carranza F A, Newman MG. Carranza’s
Orthod Soc. 2009; 43:22 Clinical Periodontology. Ed ke-9.
7. Puscasu C, Totolici D, Dumitriu A, Dumitriu Philadelphia: W. B. Saunders Company;
HT. Laporan Kasus. Oral health and dental 2004: 269
management in Black Sea Country. 20. Wiebe CB, Putnins EE. The periodontal
Instanbul. 2005 disease classification system of the American
8. Gusmao ES, Queiroz RDC, Coelho RS, Academy of Periodontology – An update. J
Cimoes R, Santos RL. Association between Can Dent Assoc. 2000; 66:594-7
malpositioned teeth and periodontal disease. 21. Wolf HF, Hassell TM. Color Atlas of Dental
Dental Press J Orthod 2011;4 Hygiene. Ed ke-1. New York: Georg Thieme
9. Schroeder MDS, Ribeiro RLU. Evaluation of Verlag; 2006:68-70,80
periodontal index of gingival and plaque with
dental crowding in development of gingivitis
in children and adolescents. Revista
Sal.Brasileira de Odontologia 2004
10. Elley BM, Manson JD. Periodontics. Ed ke-
5. London: Wright; 2004: 112,144,191-2
11. Reddy VC, Kumar BRA, dan Ankola A.
Relationship between gingivitis and
anterior teeth irregularities among 18 to 26
years age group: a hospitalbased study in
Belgaum, Karnataka. J Oral Health Comm
Dent. 2010;4:64.
12. Rai B, Kaur J, Kharb S. Pregnancy gingivitis
and periodontitis and its systemic effect. The
Internet Journal of Dental Science 2008;6:2
13. American Academy of Periodontology.
Treatment of plaque-induced gingivitis,
chronic periodontitis, and other clinical
conditions. American Academy of
Periodontology. 2004; 36:14
14. Carranza FA. Glickman's Clinical
Periodontology. Ed ke-10. Philadelphia:
W.B. Saunders Company; 2006: 728 – 45
15. Notohartojo IT, Halim FX. Gambaran
kebersihan mulut, gingivitis pada murid
sekolah dasar di Puskesmas Sepatan,
kabupaten Tangerang. Media Litbang
Kesehatan. 2010; 4:179-186.
16. Zahnmed SM. Subgingival plaque due to
gingivitis and inactive periodontitis sites in
the adult periodontitis patient. 1995. USA:
Pubmed (cited 2011 Sept 2). Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/78784
15
17. Amoian B, Moghadamnia AA, Barzi S,
Sheykholeslami S, Rangiani A. Salvadora
persica extract chewing gum and gingival
health: Improvement of gingival and probe-
bleeding index. Complement Ther Clin
Pract. 2010; 16:121-3
18. Gehrig JS, Willmann DE. Foundations of
Periodontics for the Dental Hygienist. Ed ke-

27
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32

Pertumbuhan Linier (stature) dan Tulang Dentofasial pada Penderita Talasemia


Beta Mayor
(Studi Pustaka)

Loes D Sjahruddin
Departemen Pedodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT
Background: Thalassemia is an inherited genetic disorder of hemoglobin synthesis. Stunted growth
of bones and growth retardation are found in Thalassemia β mayor patients. Objective: The aim of
this paper was to provide knowledge that the growth of the body can be observed through
anthropometric measurements. Literature review: There are several anthropometric measurements
that are used as indicators of general growth, including weight, height, head circumference
measurement, soft tissue measurements, measurement of chest circumference and growth of dentition.
Normal weight and height have a relationship with a proportional dentofacial bones. Therefore, in a
thalassemia β mayor patient, disharmony of the growth of the dentofacial bones are due to the
deviation of growth in the dentofacial complex, and the short stature of an individual is a growth
deviation due to less optimal linear growth. Conclusion: In Thalassemia β mayor patients, stunted
growth of bones is apparent due to growth retardation.

Keywords : Thalasemia , stature, dentofacial

PENDAHULUAN beberapa pengukuran antropometrik yang


Talasemia adalah penyakit kelainan darah dipakai sebagai indikator pertumbuhan umum,
bawaan yang diturunkan secara autosomal antara lain berat badan, tinggi badan, pengukuran
resesif, dengan gejala utama anemia.1 Kelainan lingkar kepala, pengukuran jaringan lunak,
genetik ini disebabkan gangguan pembentukan pengukuran lingkar dada serta pertumbuhan gigi
rantai globin yang terdapat pada hemoglobin. geligi.4 Wajah yang serasi merupakan hasil
Penderita talasemia akan mengalami anemia pertumbuhan tulang fasial yang normal. Ada
hemolitik yang disebabkan oleh kurangnya atau dugaan, berat badan dan tinggi badan yang
tidak adanya sintesis rantai globin yang normal mempunyai hubungan dengan wajah
merupakan penyusun hemoglobin, bisa rantai yang proporsional. Oleh karena itu anomali
alfa atau rantai beta.2 Salah satu akibat dari tulang dentofasial terjadi akibat deviasi tumbuh
penyakit talasemia ini adalah terjadinya kembang pada kompleks dentofasial, dan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan tubuh perawakan pendek seorang individu merupakan
penderita. Khususnya pada penderita talasemia penyimpangan tumbuh kembang akibat
akan terjadi deformitas tulang terutama pada pertumbuhan linier yang kurang optimal dengan
tulang ceper, seperti pada tulang wajah. tidak lupa membandingkannya dengan pola
Adanya gangguan pertumbuhan mungkin pertumbuhan anggota keluarga yang lainnya.
merupakan gejala dini dari suatu penyakit. Pada
penderita talasemia, akibat penyimpangan Pertumbuhan Tulang Dentokraniofasial
pertumbuhan akan mengakibatkan Kompleks kraniofasial terdiri dari berbagai
ketidakharmonisan skeletal. Bila terjadi komponen tulang yang saling berkaitan.
penyimpangan pertumbuhan pada kompleks Kraniofasial terdiri dari basis kranium, tulang
kraniofasial khususnya gigi geligi dan rahang kalvarium, kompleks nasomaksila dan
akan mengakibatkan gangguan pada kesehatan mandibula.5 Tulang kraniofasial mempunyai pola
mulut, fisik, estetik dan mental seseorang. pertumbuhan yang kompleks. Pada waktu lahir
Umumnya proses tumbuh kembang anak kranium terdiri dari 45 buah tulang yang terpisah
berjalan bersamaan dan merupakan proses yang satu sama lainnya oleh kartilago atau jaringan
dilalui oleh setiap anak menuju dewasa.. Untuk ikat. Setelah dewasa, dengan adanya proses
memantau pertumbuhan tubuh dapat diamati penyatuan yang sempurna dari beberapa tulang
melalui pengukuran secara antropometrik.3 Ada maka ke 45 buah tulang tersebut menjadi 22

28
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32

buah tulang. Setelah proses osifikasi selesai, 14 prosesus koronoideus, prosesus kondiloideus,
dari 22 buah tulang membentuk tulang ramus, korpus mandibula dan dagu. Lebar
fasial/viserokranium dan 8 buah tulang mandibula mengikuti pertumbuhan kranium
membentuk kranium/ neurokranium.6 karena tulang kondilus mandibula berhubungan
Tulang kranium/neurokranium terdiri dari dengan tulang kranium. Pertumbuhan kompleks
tulang kalvarium atau tulang tempurung kepala nasomaksila mencapai 80% pada umur 6 tahun
dan basis kranium atau dasar kepala tempat otak dan tidak banyak mengalami akselerasi
terletak. Tulang fasial/ viserokranium terdiri dari pertumbuhan puber. Jika pertumbuhan tulang
kompleks nasomaksila dan mandibula. Pola maksila tidak sesuai dengan pertumbuhan
pertumbuhan neurokranium yaitu kalvarium dan mandibula, maka akan terjadi anomali
basis kranium posterior mengikuti sistem neural, dentofasial.8
tetapi pertumbuhan basis kranium anterior
mengikuti pola pertumbuhan neural dan somatik. Gangguan Pertumbuhan Linier pada
Pertumbuhan viserokranium yang terdiri dari Penderita Talasemia Beta
kompleks nasomaksila dan mandibula mengikuti Pertumbuhan linier seorang individu
pola pertumbuhan somatik. Neurokranium dipengaruhi oleh faktor intrinsik maupun faktor
bertumbuh dengan cepat pada periode prenatal ekstrinsik yang saling berkaitan satu sama
untuk otak yang juga berkembang dengan cepat. lainnya. Nutrisi merupakan faktor lingkungan
Menjelang usia 2 tahun ukuran kranium yang penting untuk mencapai tumbuh kembang
mencapai 87%, usia tujuh tahun telah mencapai yang optimal oleh karena nutrisi mutlak
90% volume dewasa dan pada usia 10 tahun diperlukan oleh setiap mahluk hidup untuk
telah mencapai 95% volume dewasa.7 bertumbuh dan berkembang serta berfungsi
Sebaliknya pertumbuhan tulang fasial lebih secara maksimal.9
lambat dibandingkan kranium tetapi berlangsung Pertambahan tinggi badan yang paling
lebih lama. pesat terjadi dalam kurun waktu 2 tahun sesudah
Pertumbuhan kompleks nasomaksila atau kelahiran, kemudian menjadi lambat sampai
wajah bagian atas dipengaruhi oleh pertumbuhan kira-kira usia 10 tahun pada anak perempuan dan
basis kranial. Pertumbuhan fasial meliputi kira-kira usia 12 tahun pada anak laki-laki.
pertumbuhan tinggi fasial (arah vertikal), Setelah itu laju pertumbuhan dimulai lagi sampai
pertumbuhan lebar fasial (arah transversal), dan kira-kira usia 16 tahun pada perempuan dan kira-
pertumbuhan kedalaman fasial (arah kira usia 18 tahun pada laki-laki.10
anteroposterior). Pusat pertumbuhan maksila Gangguan pertumbuhan pada penderita
terdapat pada sutura-sutura dari kompleks talasemia dapat berupa berat badan dan
nasomaksila. Pertumbuhan fasial yang paling panjang/tinggi badan lebih rendah dari standar
nyata adalah adanya penambahan ukuran tinggi rata-rata, kecepatan pertumbuhan yang kurang,
fasial 3 – 4 kali, pertumbuhan lebar fasial 2 kali berkurangnya ketebalan lemak tubuh sampai
dan pertumbuhan anteroposterior 1.5 kali. Hasil berupa gangguan pubertas.11 Tinggi badan
akhir pertumbuhan maksila mengubah fasial terutama digunakan sebagai indikator untuk
bawah orang dewasa menjadi relatif lebih tinggi, mengamati suatu proses pertumbuhan. Berat
lebih lebar dan lebih panjang. badan lebih erat kaitannya dengan status gizi dan
Wajah bagian bawah dibentuk dari sebuah keseimbangan cairan, namun dapat digunakan
tulang yang berdiri sendiri yaitu mandibula. sebagai data tambahan untuk menilai
Mandibula pada anak yang baru lahir sangat pertumbuhan. Deviasi pertumbuhan ini selain
kecil, yang berbentuk melengkung hampir lurus oleh karena masukan nutrien yang kurang, juga
dan terdiri atas dua bagian yang sama besar. karena berbagai faktor seperti hipoksia seluler
Perkembangan kondilus masih sangat sedikit. dan gangguan endokrin akibat hemolisis dan
Kedua bagian mandibula ini dipisahkan dibagian anemia kronik.12
tengah oleh simfisis menti yang terdiri dari Pada penderita talasemia sebagai respons
jaringan fibrosa. Kedua rami mandibula ini pada terhadap hemolis yang terjadi, maka secara
waktu lahir berbentuk amat pendek dan kondilus fisiologik akan terjadi peningkatan eritropoiesis.
sama sekali belum berkembang.7 Pada akhir Eritropoiesis yang terjadi pada sumsum tulang
kehidupan pertama, kedua bagian mandibula akan mengakibatkan deformitas pada tulang.
yang terpisah itu akan menutup oleh simfisis Fusi prematur bagian epifisis tulang-tulang
yang mengalami perkapuran menjadi tulang. panjang menyebabkan memendeknya bagian
Pusat pertumbuhan mandibula terjadi pada proksimal tulang humerus. Penyimpangan

29
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32

pertumbuhan ini mengakibatkan banyak perkembangan dan hal ini dikaitkan dengan
penderita talasemia mempunyai perawakan yang kemungkinan adanya perubahan pada kelenjar
pendek.13,14 hipofise.17 Gangguan pertumbuhan akibat anemia
Batas antara gizi baik dan gizi kurang yang khronis dan kekurangan gizi ini
menurut World Health Organization (WHO) menyebabkan banyak penderita talasemia
adalah persentil 3 sedangkan batas antara gizi mempunyai perawakan tubuh yang pendek.16
baik dan gizi lebih adalah persentil 97. Bila Hemosiderosis pada hati menyebabkan
dilihat perbandingan tinggi badan terhadap umur, penurunan produksi somatomedin, yaitu faktor
maka anak yang berada di bawah garis persentil yang bertanggung jawab terhadap sekresi
3 disebut perawakan pendek, yang berada di atas hormon pertumbuhan dan menstimulasi
garis persentil 97 disebut perawakan tinggi, pertumbuhan tulang rawan.16,18 Pengobatan
sedangkan anak yang berada di antara persentil talasemia pada dasarnya hanya bersifat
97 dan 3 disebut perawakan normal. Dalam simtomatik dan suportif berupa transfusi darah
menentukan pertumbuhan normal, laju secara teratur seumur hidup dan pemberian kelasi
pertumbuhan lebih bermanfaat daripada kurva besi, karena sampai saat ini belum ada
pertumbuhan standar. Pertumbuhan merupakan pengobatan kausal.
proses aktif, maka dianjurkan melakukan
pengukuran secara berkala. Untuk anak di bawah Gangguan Pertumbuhan Dentokraniofasial
satu tahun dianjurkan pemeriksaan berkala setiap pada Penderita Talasemia Beta
bulan, usia 1 – 5 tahun setiap 3 bulan, dan di atas Pengukuran pada tulang fasial dapat
5 tahun setiap 6 bulan.15 dilakukan baik secara antropometri, melalui
pengukuran langsung pada kepala dan fasial
Gangguan Tumbuh Kembang pada Penderita subjek maupun dengan bantuan radiografi, yaitu
Talasemia Beta melalui radiografik sefalometri. Pengukuran
Telah diketahui talasemia adalah suatu antropometri dan sefalometri dapat menunjukkan
penyakit genetik yang disebabkan oleh gangguan perubahan fasial dalam arah anteroposterior,
sintesis rantai globin yang menyusun vertikal, dan mediolateral.
hemoglobin. Gangguan berupa kekurangan rantai Penyimpangan pertumbuhan pada
globin tersebut menimbulkan serangkaian gejala komponen dentofasial dapat diketahui melalui
klinis. Namun pada penderita tertentu gejala pengukuran linier dan anguler pada sefalometri,
klinis sangat minim atau bahkan tidak ada. kemudian membandingkannya dengan norma
Talasemia beta merupakan bentuk talasemia ukuran baku subjek normal yang disesuaikan
yang paling banyak ditemukan. Secara klinis dengan kelompok ras, umur, dan jenis kelamin.
talasemia beta dibagi menjadi 3 golongan: Kelainan dentofasial tersebut dapat terjadi antara
talasemia mayor yaitu bentuk homozigot yang hubungan maksila dan mandibula terhadap
memberikan gejala klinis berat, talasemia kranium serta hubungan antara mandibula dan
intermedia, dan talasemia minor yang tidak maksila dalam arah anteroposterior, vertikal, dan
memperlihatkan gejala klinis.2,16 mediolateral.18
Pada penderita talasemia terjadi proses Bentuk penyimpangan dalam arah vertikal
hemolisis sehingga terjadi anemia kronis dan dapat berupa gigitan terbuka (open bite) dan
selanjutnya berakibat terjadinya hipoksia gigitan dalam (deep bite). Untuk menegakkan
jaringan. Sebagai respons terhadap hemolisis diagnosis pada kelainan dentofasial dalam arah
yang terjadi, maka secara fisiologik akan terjadi vertikal, proporsi fasial lebih penting daripada
peningkatan eritropoiesis. Eritropoiesis yang nilai absolut.19
terjadi pada sumsum tulang akan mengakibatkan
deformitas tulang terutama ceper seperti pada Pembahasan
tulang wajah. Apabila penyakit ini tidak Kemungkinan diskrepansi yang besar
ditangani dengan baik maka dalam antara tulang mandibula dan maksila pada
pertumbuhannya anak akan tampak pucat, tidak penderita talasemia terjadi akibat mandibula
ada nafsu makan, diare, berkurangnya lemak yang kurang bertumbuh dibandingkan maksila..
tubuh dan jaringan otot serta dapat disertai Asumsi ini diperkuat dengan hasil penelitian
demam yang berulang akibat infeksi. Hal lain Pusaksrikit dkk.yang menemukan pada penderita
yang tampak pada penderita talasemia akibat talasemia laki-laki lebih banyak menderita
anemia yang berat dan proses hemolisis adalah maloklusi kelas II dibandingkan penderita
terjadinya gangguan pertumbuhan dan retardasi talasemia perempuan. Hal ini mengisyaratkan

30
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32

bahwa mandibula pada laki-laki tumbuh lebih Gangguan pertumbuhan tulang dentofasial
lambat dan mengalami hambatan oleh sejalan dengan pertumbuhan linier (stature) pada
pertumbuhan maksila yang luar biasa.14 penderita talasemia.
Demikian pula hasil evaluasi sefalogram
terhadap 32 anak talasemia usia 6 – 18 tahun TINJAUAN PUSTAKA
dijumpai maloklusi skeletal kelas II sebanyak 1. Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga
90,6% namun tidak terdapat perbedaan jenis A, Porter J. Guidelines for the Clinical
kelamin yang berarti (Retno Hayati, 1993). Pola Management of Thalassaemia, 2nd
dentoskeletal anak talasemia menurut Retno Revised edition. Thalassaemia International
Hayati (1998) lebih cembung dibandingkan Federation; 2008.
dengan anak normal sebagai akibat posisi 2. Weatherall DJ, Clegg JB. The β thalassemias.
mandibula yang retrognati dan ukuran korpus Dalam: Gibbons R, Higgs DR, Old JM,
mandibula yang lebih pendek. Tampaknya Oliveri NF, Thein SL, Wood WG,
bagian kortikal padat dari mandibula menahan penyunting. The Thalassemia Syndromes.
perluasan pertumbuhan tulang mandibula. Blackwell Science Ltd, London, 2001. h.287-
Tampaknya bagian kortikal padat dari mandibula 344.
menahan perluasan pertumbuhan tulang 3. Ismael, S. Tumbuh Kembang Anak dalam
mandibula. Perubahan-perubahan pada tulang itu Pencapaian Potensi Sumber Daya
dapat terjadi diawal kehidupan dan cenderung Manusia yang Tangguh. Pidato Pengukuhan
menetap, terutama pada tulang tengkorak.20 Guru Besar FKUI. Jakarta. 1991.
Selanjutnya respon terhadap anemia dan 4. Sularyo, TS. Pertumbuhan Linier (stature)
eritropoeisis yang tidak efektif pada penderita Anak dan Upaya Pemantauannya dengan
talasemia menyebabkan terjadinya hiperplasia Minat pada Perawakan Pendek/Terlalu
eritroid yang hebat dalam sumsum tulang dengan Pendek. Dalam: Rukman Y dkk, Penyunting
akibat terjadinya deformitas pada tulang, Masalah Penyimpangan Pertumbuhan
terutama pada tulang tengkorak, tulang panjang, Somatik pada Anak dan Remaja. Naskah
kaki dan tangan. 17,21 lengkap PKB IKA FKUI, 16-17 Februari
Hasil penelitian Retno Hayati 1993. Hlm: 29-47
menyatakan retardasi pertumbuhan gigi dan 5. Proffit WR, Fields HW. Contemporary
skelet kraniofasial pada subyek talasemia sejalan Orthodontics. 5rd ed. St. Louis : Mosby Co,
dengan retardasi pertumbuhan somatik. Dari 2012. p. 42-55; 165-105.
hasil beberapa penelitian yang sudah dilakukan 6. Graber TM. Orthodontics, Principle and
rd
dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan Practice: 3 ed. Philadelphia: W.B Saunders
penyimpangan pertumbuhan tubuh secara linier Co. 1972. h. 40-75.
dengan penyimpangan pertumbuhan pada tulang 7. Ranly, D.M. A Synopsis of Craniofacial
komponen dentofasial. Perubahan pada tulang Growth. 2th ed. London: Prentice-Hall
akibat proses perluasan rongga sumsum tulang International Inc. 1988. P 82-123.
akan mengakibatkan penipisan pada bagian 8. Foster, TD. A Textbook of Orthodontics. 2nd
korteks tulang (osteoporosis) sehingga dapat ed. Blackwell Scientific Publications. 1993. p.
terjadi fraktur patologis. 1-25, 75-82.
9. Nasar SS. Aspek Gizi pada Anak dengan
KESIMPULAN Perawakan Pendek. Dalam : Rukman Y,
Gangguan pertumbuhan yang terjadi pada Batubara J, Tridjaja B, penyunting. Masalah
seorang penderita talasemia yang tidak diobati Penyimpangan Pertumbuhan Somatic
berupa perubahan pada tulang akibat proses pada Anak dan Remaja. Naskah lengkap
perluasan rongga sumsum tulang. Pemberian PKB- IKA XXVIII, FKUI. 1993, 16-17
transfusi untuk mengurangi akibat anemia kronik Februari. Jakarta; Balai Penerbit FKUI; 1993.
yang dapat menimbulkan hipoksia pada jaringan p.63-72.
akan mengakibatkan terjadinya kelainan pada 10.Enlow DH. Facial Growth. WB Saunders
berbagai organ, tulang dan gigi. Comp. 3th ed. 1990. p. 58-148; 433-34.
Transfusi harus diberikan dengan disertai 11.Fuchs GJ, Tienboon P, Khaled MA, Nimsakul
kelasi besi untuk mengeluarkan kelebihan besi S, Linpisarn S, Faruque ASG. Nutritional
dalam tubuh. Jika diagnosis cepat ditegakkan Support and Growth in Thalassemia Major.
dan anak mendapat transfusi darah secara teratur, Archives of Disease in Childhood 1997,
pertumbuhan selanjutnya menjadi relatif normal. 76:509-12.

31
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32

12.Zakaria P, Gomes MS, Widjaya S. Metode


Baru Skrining Pembawa Gen Thalassemia di
Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan
Kita. Jakarta. Medika 1996; 11:873-.6
13.Davies SC, Cronin E, Gill M et al. Screening
for Sickle Cell Disease and Thalassaemia: a
Systematic Review with Supplementary
Research. Health Technol Assess. 2000;4(3).
14.Drew SJ. & Sachs SA. Management of the
Thalassemia-Induced Skeletal Facial
Deformity. J. Oral Maxillofac Surg. 1997;
55:1331-39.
15.World Health Organization. WHO Child
Growth Standards: Length/Height-for-Age,
Weight-for-Age, Weight-for-Length, Weight-
for-Height, and Body Mass Index-for-Age:
Methods and Development. Geneva,
Switzerland: World Heath Organization.
2006.
16.Wahidiyat I. Penelitian thalasemia di Jakarta.
Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia.
1979.
17.Firkin F, Chesterman C, David P & Rush B.
Clinical Haemotology in Medical Practice. 4th
ed. Blackwell Scientific Publications. 1989;
154-71.
18.Spiliotis BE. β-Thalassemia and Normal
Growth: are They Compatible? Eur J of
endocrinology, 1998, 139:143-4
19.Nanda RS. Growth Pattern in Subjects with
Long and Short Faces. Am J Orthod Dentofac
Orthop 1990; 98:247-58.
20.Retno-Hayati. Pola Deformitas
Dentoskeletal pada Anak Talasemia dan
Faktor Determinannya. Disertasi, Jakarta :
Universitas Indonesia. 1998.
21.Hughes-Jones, NC & Wickramasinghe, SN .
Lecture Notes on Haematology. 8th ed.
Blackwell Scientific Publications Ltd,
Oxford. 2009; 46-51.

32
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

Pentingnya Faktor Ergonomi dalam Penerapan Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Guna Pencegahan Nyeri Punggung Bawah pada Dokter Gigi
(Studi Pustaka)

Mita Juliawati
Staf Pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat dan Kedokteran Gigi Pencegahan Gigi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Trsakti

ABSTRACT
Background: In the competitive era, the implementation of Occupational Safety and Health (OSH)
management, especially in the field of dentistry, is not only for protecting patients, but also for dentists.
Ergonomics is part of Occupational Safety and Health Management. The importance of ergonomic
factors for dentists, among others, is to prevent disorders of the musculoskeletal system that often
occur in the lower back which may causes discomfort. Objective: This literature review aims to raise
awareness of the importance of ergonomic factors in the application of occupational health and safety
management in preventing low back pain in dentists. Conclusion: Ergonomics factors play a role in
preventing lower back pain in dentists. The application of awkward posture correction, ergonomic
equipment design and the application of four-handed dentistry affect the success of occupational health
and safety management systems in the prevention of lower back pain.

Keyword: ergonomics, occupational safety and health, lower back pain, dentist

PENDAHULUAN Salah satu penyebab sindroma


Dalam era kompetitif saat ini, penerapan muskuloskeletal pada dokter gigi adalah karena
manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di dokter gigi hanya memperhatikan kenyamanan
setiap bidang usaha yang melibatkan pekerja bagi pasien yang dirawat, tetapi kurang
merupakan suatu kewajiban, Perlunya manajemen memperhatikan kenyamanan bagi diri mereka
keselamatan dan kesehatan kerja khususnya sendiri saat merawat pasiennya. Dokter gigi
dalam bidang kedokteran gigi tidak hanya untuk menganggap bahwa mereka yang harus bergerak
melindungi pasien, tetapi untuk melindungi diri menghampiri pasien, dari pada mengatur posisi
dokter gigi. Sebagai contoh hal yang sering terjadi duduk pasien di atas dental chair. Meskipun
karena kelalaian dokter gigi terhadap manajemen bekerja dengan postur netral dapat mencegah atau
Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam hal ini mengurangi sindroma muskuloskeletal,
faktor ergonomi. Pentingnya faktor ergonomi kebanyakan dokter gigi tidak menyadari
bagi pasien dan dokter gigi, antara lain guna pentingnya manfaat sistem ergonomi dengan
mencegah timbulnya gangguan pada sistem posisi yang baik saat merawat pasien. Postur yang
muskulo skeletal. Hal yang sering terjadi adalah baik dan benar membutuhkan peralatan yang baik
nyeri punggung bawah atau low back pain yang juga, misalnya bentuk kursi operator yang
dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada saat ergonomi dapat mendukung tulang punggung
dokter gigi bekerja. pada posisi yang baik.3 Pencapaian keselamatan
Data mutakhir menjelaskan bahwa banyak dan kesehatan kerja tidak lepas dari peran
dokter gigi di dunia yang pernah mengalami nyeri ergonomi, karena ergonomi berkaitan dengan
punggung bawah. Menurut Alexopoulos et al posisi orang yang bekerja, khususnya dalam
sekitar 46% dari dokter menemukan 77,1% dokter rangka efektivitas dan efisiensi kerja.
gigi mengalami rasa sakit ini. Studi lain di Arab Dari telaah kasus diatas, masalah faktor
Saudi disitir oleh Abduljabbar et al bahwa 52,1% ergonomi pada praktik dokter gigi perlu dibahas
dari dokter gigi di sana pun mengalami kondisi bagaimana pentingnya faktor ergonomi dalam
serupa.1 penerapan manajemen K3 untuk menghindari
risiko terjadinya kecelakaan kerja khususnya di

33
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

bidang kedokteran gigi yaitu nyeri punggung secara seimbang pada dua kaki, sedang posisi
bawah yang kerap menyerang dokter gigi. duduk adalah saat kaki tidak terbebani dengan
berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja.
TINJAUAN PUSTAKA b. Proses Kerja, Para pekerja dapat menjangkau
Ergonomi peralatan kerja sesuai dengan posisi waktu
Sejarah dan Pengertian Ergonomi bekerja serta sesuai dengan ukuran
Pada tanggal 16 Februari 1950 terminologi anthropometrinya.
ergonomi diadopsi dan ergonomi menjadi suatu c. Tata Letak Tempat Kerja, Tata letak
disiplin ilmu.4 Menurut Syamsyul ma’arif dan merupakan rencana fasilitas, menganalisa,
Hendri Tanjung ergonomi adalah studi tentang membentuk konsep, dan mewujudkan sistem
bagaimana manusia secara fisik berinteraksi pembuatan barang atau jasa.
dengan alat-alat yang digunakannya sehingga d. Mengangkat Beban, Berbagai cara dalam
didapatkan kondisi dimana pekerjaan menjadi mengangkat beban yaitu, dengan bahu, tangan,
sehat, aman dan nyaman. 5 kepala atau punggung. Beban yang terlalu
berat dapat menimbulkan cedera tulang
Ruang Lingkup dan Tujuan Ergonomi punggung, jaringan otot dan persendian akibat
Ruang lingkup ergonomi berhubungan gerakan yang berlebihan.8
dengan karakter psikologi seseorang yang Setiap pekerjaan mempunyai sistem, dan pada
mempengaruhi disain dan kegunaan dari tempat ergonomi dikenal sistem kerja yang terdiri dari:
dan, posisi bekerja, dan atau suatu pengoperasian Manusia sebagai pekerja, Pekerjaan yang akan
untuk memastikan apakah disain tersebut dikerjakan, Peralatan yang digunakan dan
berhubungan dengan tugas, peralatan, lingkungan kerja dimana pekerja bekerja.9 Dalam
perlengkapan serta prosedur yang sesuai dengan bidang kedokteran gigi ergonomi mencakup
keterbatasan manusia dan kapasitas banyak konsep seperti, bagaimana dokter gigi
penggunaannya. Intinya sebagai studi tentang memposisikan diri pada pasien, menggunakan
aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya peralatan, disain tempat atau lingkungan kerjanya
yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, dan bagaimana semua ini berdampak pada
engineering, manajemen dan disain.6 kesehatan dokter gigi.
Tujuan-tujuan dari penerapan ergonomi
adalah sebagai berikut: Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental Kerja
melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit Pengertian Manajemen
akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan Manajemen berasal dari kata “to manage”
mental, mengupayakan promosi dan kepuasan yang berarti mengatur. Hasibuan berpendapat
kerja. manajemen adalah ilmu seni mengatur proses
b. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-
peningkatan kualitas kontak sosial dan sumber lainnya secara efisien dan efektif untuk
mengkoordinasi kerja secara tepat, guna mencapai tujuan. 10 Arti lain adalah suatu proses
meningkatkan jaminan sosial baik selama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.11
kurun waktu usia produktif maupun setelah Manajemen identik dengan pengelolaan,
tidak produktif. pembinaan, ketatalaksanaan, ketatausahaan, dan
c. Menciptakan keseimbangan rasional antara ketatapengurusan, walau sebenarnya memeiliki
aspek teknis, ekonomis, dan antropologis dari konsep lebih luas dari daripada hal tersebut.12
setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga
tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang Fungsi Manajemen
tinggi.7 Fungsi manajemen menurut Fayol di awal
Guna mencapai tujuan-tujuan tersebut abad ke-20 adalah elemen-elemen dasar yang
perlu penerapan ergonomis yang tepat untuk akan selalu ada dan melekat di dalam proses
mencegah cedera yang dapat berkembang serta manajemen yang akan dijadikan acuan oleh
menyebabkan cacat jangka panjang. Dalam seorang manajer dalam melaksanakan kegiatan
bekerja penerapan Ergonomi yang perlu untuk mencapai suatu tujuan. Empat fungsi
diperhatikan adalah: manajemen terdiri dari:
a. Posisi Kerja, Terdiri dari posisi berdiri serta 1. Perencanaan (Planning),
duduk, posisi berdiri dimana posisi tulang 2. Pengorganisasian (Organizing),
belakang vertikal dan berat badan tertumpu 3. Pengarahan (Comanding/Actuating)

34
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

4. Pengendalian Controlling)13 c. Faktor Biologis


Lingkungan kerja terutama pada Pelayanan
Kesehatan, sangat disukai bagi berkembang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) biaknya strain kuman yang resisten, terutama
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) kuman-kuman seperti E. colli, Lactobacilli,
merupakan hal yang penting, karena dampak staphylococci, dan pyogenic yang bersumber
kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya dari pasien, benda-benda yang terkontaminasi
merugikan lingkungan kerja tetapi juga dan udara. Virus yang menyebar melalui
merugikan diri para pekerja sendiri. kontak dengan darah dan cairan tubuh
(misalnya HIV dan Hepatitis B) dapat
Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja menginfeksi pekerja hanya akibat kecelakaan
(K3) kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores
Menurut OSHA (2003), Keselamatan dan atau tertusuk jarum yang terkontaminasi virus.
Kesehatan kerja (K3) adalah merupakan d. Faktor Ergonomi
multidisiplin ilmu yang terfokus pada penerapan Sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya
prinsip ilmiah dalam memahami adanya risiko menyesuaikan alat, cara, proses dan
yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan lingkungan kerja terhadap kemampuan
kerja manusia dalam lingkungan industri ataupun manusia untuk terwujudnya kondisi dan
lingkungan di luar industri, serta merupakan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman
profesionalisme dari berbagai disiplin ilmu yaitu dan tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya.
fisika, kimia, biologi dan ilmu perilaku yang Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat
diaplikasikan dalam manufaktur, transportasi, menyebabkan mudah lelah sehingga kerja
penyimpanan dan penanganan bahan menjadi kurang efisien dan dalam jangka
berbahaya. 14 panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan
psikologis (stress) dengan keluhan yang paling
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi K3 sering adalah nyeri punggung bawah (low back
Faktor-faktor yang mempengaruhi pain).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) antara e. Faktor Psikologis, Beberapa contoh faktor
lain adalah beban kerja, kapasitas kerja dan psikososial di tempat kerja terutama dalam
lingkungan kerja.15 bidang kesehatan yang dapat menyebabkan
Beberapa contoh penyakit akibat kerja stress:
(PAK) antara lain: silicosis (karena paparan debu 1. Pelayanan kesehatan sering kali bersifat
silica), asbestosis (karena paparan debu asbes), emergency dimana pekerja dalam bidang
low back pain (karena pengangkutan manual), kesehatan di tuntut untuk memberikan
white finger syndrom (karena getaran mekanis pelayanan yang tepat, cepat disertai dengan
pada alat kerja).16, kewibawaan dan keramahan-tamahan;
Penyakit akibat kerja pada dokter gigi 2. Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang
umumnya berkaitan dengan faktor fisik, kimia, sangat monoton;
biologis, ergonomi dan psikologis. 3. Hubungan kerja yang kurang serasi antara
a. Faktor Fisik pimpinan dan bawahan atau sesama teman
Meliputi kebisingan, getaran akibat mesin kerja;
dapat menyebabkan stress dan ketulian, 4. Beban mental karena menjadi panutan bagi
pencahayaan yang kurang di ruang kamar mitra kerja di sektor formal ataupun
pemeriksaan, laboratorium, ruang perawatan informal. 16
dan kantor administrasi dapat menyebabkan
gangguan penglihatan dan kecelakaan kerja, Hubungan Faktor Ergonomi dengan Nyeri
suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat Punggung Bawah pada Dokter Gigi
kerja, terimbas kecelakaan/kebakaran akibat Dokter gigi perlu mempelajari dan
lingkungan sekitar, terpapar radiasi. memahami ergonomi karena dengan paham
b. Faktor Kimia ergonomi akan mempermudah evaluasi setiap
Berbagai bentuk bahan kimia dapat pekerjaan, meskipun ilmu pengetahuan dalam
memberikan pengaruh terhadap tubuh yaitu: ergonomi terus mengalami kemajuan dan
debu (dust), cairan (liquid), asap (fumes, teknologi yang digunakan dalam pekerjaan
smokes), gas (gasses), uap (vapours), bahan tersebut terus berubah.
pelarut.

35
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

Penatalaksanaan dan metode pekerjaan Frekuensi tinggi dapat menimbulkan kelelahan


dokter gigi dapat dievaluasi dari aspek ergonomi dan ketegangan pada otot dan tendon, dapat
khususnya tentang gangguan muskuloskeletal berakibat terjadinya radang sendi dan tendon.
yang menunjukkan bahwa dokter gigi bekerja Radang ini meningkatkan tekanan pada syaraf.
dalam kondisi rentan terkena gejala tersebut.
Kelainan yang sering dijumpai adalah nyeri
punggung bawah (low back pain), keluhan pada c. Faktor lama waktu bekerja
leher, pundak dan lengan atas.17Dokter gigi dalam Durasi kerja yaitu lama waktu bekerja yang
menjalankan profesinya akan menghabiskan dihabiskan pekerja dengan postur janggal.
waktu yang lama dengan posisi statis, karena Melakukan pekerjaan tanpa istirahat.
berhubungan dengan pekerjaannya yang d. Postur Statis
melakukan pemeriksaan dan perawatan gigi dan Postur kerja fisik dalam posisi yang sama dan
mulut pasien, dimana di dalam melakukan pergerakan yang sangat minimal, akan
pemeriksaan dan perawatan gigi dan mulut pada menimbulkan peningkatan beban otot dan
umumnya dokter gigi mempunyai posisi tendon, menyebabkan aliran darah pada otot
punggung, tangan dan bahu yang tetap stabil terhalang dan menimbulkan kelelahan, rasa
dalam waktu yang cukup lama.18 kebas dan nyeri.20.
Kebanyakan gangguan muskuloskeletal
terjadi karena dokter gigi secara tanpa sadar Nyeri Punggung bawah
berada pada posisi tubuh yang kurang ergonomis Nyeri punggung bawah (Low back pain)
saat merawat pasien, misal preparasi atau menjadi masalah kesehatan tetapi sering dianggap
mencabut gigi, postur dokter gigi membungkuk sepele, merupakan masalah pada negara-negara
ke arah pasien, bergerak secara mendadak, maju dan berkembang. 21 Sekitar 80-90% pasien
memutar tubuh dari satu sisi ke sisi yang lain. nyeri punggung bawah menyatakan bahwa
Seluruh gerakan tersebut dilakukan berkali-kali mereka tidak melakukan usaha apapun untuk
dalam jangka waktu yang panjang. Pada kasus mengobati penyakitnya. Di Amerika Serikat nyeri
gangguan muskuloskeletal karena faktor punggung bawah menempati urutan kedua
ergonomi, keluhan umum yang dijumpai adalah keluhan tersering setelah nyeri kepala.22
keluhan nyeri punggung bawah., diikuti oleh nyeri Di Indonesia, hasil penelitian pada tahun
pada leher dan bahu.19 Ergonomi dilakukan 2002 ditemukan prevalensi penderita nyeri
sebagai salah satu upaya pencegahan gangguan punggung bawah sebanyak 15,6%. Angka ini
nyeri punggung bawah. Faktor-faktor resiko berada pada urutan kedua tertinggi sesudah
ergonomi yang dapat menyebabkan nyeri sefalgia dan migren yang mencapai 34,8%. Hasil
punggung bawah antara lain: penelitian secara nasional yang dilakukan di 14
a. Postur Tubuh Janggal kota di Indonesia yang juga dilakukan oleh
Faktor Resiko paling sering. Berpotensi kelompok studi Nyeri PERDOSSI tahun 2002
menimbulkan MSDs terutama nyeri punggung ditemukan 18,13% penderita NPB dengan rata-
bawah bila dilakukan lebih dari dua jam per rata nilai VAS sebesar 5,46±2,56 yang berarti
hari dan bekerja dengan leher atau punggung nyeri sedang sampai berat. 22
membungkuk > 30 derajat tanpa tahanan atau Pengobatan pasien dengan Nyeri punggung
kemampuan mengubah postur. bawah adalah fisioterapi, chiropractic
manipulation, terapi pijat, akupunktur dan
berbagai bentuk operasi tulang belakang. 23

Pengertian Nyeri punggung bawah


Gangguan musculoskeletal dengan keluhan
penderita nyeri pada daerah punggung antara
sudut bawah kosta (tulang rusuk) hingga
lumbosacral (sekitar tulang ekor) pada umumnya
karena berbagai macam penyakit dan aktivitas
Gambar 1. Contoh postur tubuh pada saat duduk. tubuh yang kurang baik. 24

b. Faktor Frekuensi Klasifikasi Nyeri Punggung Bawah


Menurut International Association for the Study
of Pain (IASP), yang termasuk dalam Nyeri

36
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

Punggung Bawah low back pain terdiri dari: Penelitian terhadap nyeri leher & punggung
a. Lumbar Spinal Pain bawah pada dokter gigi dengan menggunakan
Nyeri di daerah yang di batasi: superior oleh penyebaran kuesioner hasilnya prevalensi nyeri
garis transversal imajiner yang melalui ujung punggung bawah yang didapatkan dari partisipan
prosesus spinosus dari vertebra thorakal adalah 63%. 28
terakhir, inferior oleh garis transversal Studi pada dokter gigi bersuku Flandria
imajiner yang melalui ujung prosesus spinosus yang tinggal di Belgia didapatkan hasil prevalensi
dari vertebra sakralis pertama dan lateral oleh sebanyak 54% dokter gigi bersuku Flandria
garis vertical tangensial terhadap batas lateral mengalami nyeri punggung bawah.29
spina lumbalis.
b. Sacral Spinal Pain PEMBAHASAN
Nyeri di daerah yang dibatasi superior oleh Dokter gigi wajib profesional saat melayani
garis transversal imajiner yang melalui ujung pasien dalam berbagai kondisi, saat fokus kepada
prosesus sinosis vertebra sakralis pertama, pasien maka dokter gigi tidak dapat melalaikan
inferior oleh garis transversal majiner yang manajemen Keselamatan dan kesehatan kerja
melalui sendi sakrokoksigeal posterior dan (K3) untuk dirinya sendiri. Dampak fisik dari
lateral oleh garis imajiner melalui spina iliaka kelalaian manajemen (K3) yang kerap menyerang
superior posterior dan inferior. dokter gigi adalah gangguan muskuloskeletal
c. Lumbosacral Pain terutama nyeri punggung bawah. Kondisi itu
Nyeri didaerah 1/3 bawah daerah lumbar menimbulkan nyeri yang bila tidak diatasi dapat
spinal pain dan 1/3 atas daerah sacral spinal mengganggu aktivitas yang akan berdampak pada
pain.24 penurunan produktivitas dan kualitas kerja.
Penerapan sistem manajemen K3 dalam
pencegahan nyeri punggung bawah yang dapat
dilakukan dokter gigi adalah perbaikan ergonomi
dengan cara koreksi postur janggal pada saat
mengerjakan pasien, pemilihan desain peralatan
yang ergonomis serta menerapkan konsep four-
handed dentistry. Dengan penerapan sistem
manajemen K3 seperti apa yang telah disebutkan
diatas akan didapatkan pergerakan tubuh yang
baik dan diharapkan dapat mengurangi resiko
Gambar 3. Spine anatomy. nyeri pada punggung bawah dan meningkatkan
produktivitas kerja.
Gejala Nyeri Punggung Bawah
Gejala utama pada nyeri punggung bawah Koreksi Postur Janggal
adalah rasa nyeri. Nyeri terjadi setelah melakukan Duduk statis dalam waktu lama adalah hal
aktivitas, gerakan tiba-tiba atau setelah yang sering dilakukan dokter gigi ketika bekerja.
mengangkat benda atau beban yang berat.25 Nyeri Demi kenyamanan pasien dokter gigi tidak sadar
biasanya diibaratkan dengan kerusakan jaringan, bahwa posisi duduk yang ia lakukan kurang
akan tetapi dapat juga timbul tanpa luka dimana ergonomis. Terlalu lama duduk dengan posisi
nyeri timbul tanpa berhubungan dengan sumber salah akan menyebabkan ketegangan otot-otot
yang dapat diidentifikasi. 26 dan ligamentum tulang belakang yang membuat
tekanan abnormal dari jaringan sehingga
Data Kasus Nyeri Punggung Bawah pada menyebabkan rasa sakit.
Dokter Gigi Penerapan sikap duduk yang baik dan benar
Posisi duduk yang salah serta tidak bagi Dokter gigi sehingga dapat meminimalisir
ergonomis yang dilakukan selama berjam-jam postur janggal pada saat mengerjakan pasien
dan terus menerus menempatkan dokter gigi dengan mencegah agar postur tubuh tidak tegang;
sebagai profesi yang sangat rentan untuk terlalu miring kesamping, memuntir tulang
mengalami nyeri punggung bawah, karena saat punggung, membengkok ke depan/membungkuk
praktek dan merawat pasien dokter gigi harus menuju posisi tubuh yang baik. Disarankan
duduk atau berdiri membungkuk dalam jangka beberapa hal seperti, yaitu: Tubuh bagian atas
waktu lama. Terlebih jika jumlah pasien per hari tegak simetris, punggung dipertahankan tegak dan
cukup banyak. 27 tulang panggul (pelvis) sedikit dimiringkan ke

37
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

depan (tidak lebih dari 20 derajat); Kepala dengan sistem pencahayaan yang baik dapat
condong ke depan terhadap tubuh tidak lebih dari meningkatkan efisiensi penglihatan yang lebih
20 – 25 derajat; Lengan atas bebas tergantung rinci dan tidak ada hambatan bayangan pada
pada tubuh dan tidak lebih dari 10 derajat ke daerah operasi.
depan; Lengan bawah (forearm) sedikit terangkat c. Dental Light ialah lampu sorot yang terdapat
tidak lebih dari 25 derajat; Sudut antara tungkai pada kursi praktik dokter gigi. Dental light
atas dan bawah adalah 105 – 110 derajat atau yang dianjurkan adalah yang tidak terlalu
lebih, sehingga terdapat lebih banyak ruangan besar dan lebar, pilih yang sempit, hanya
antara tungkai atas dan lengan bawah untuk terfokus pada mulut pasien dan tidak
menempatkan sandaran kursi dan kepala pasien di menghasilkan bayangan yang mengganggu.
antara ruangan ini; Tungkai atas kiri dan kanan Lebih dianjurkan menggunakan dental light
membentuk sudut tidak lebih dari 45 derajat untuk dengan sensor, atau monitor untuk lampu
mencegah posisi sendi pinggul (hip joint) dalam ditempatkan pada lokasi yang mudah dicapai
keadaan terkunci; Telapak kaki sejajar terhadap tanpa harus memegang tangkai lampu. Pada
lantai atau agak ke belakang dan segaris dengan dental unit yang dirancang dengan sistem
tungkai atas; bila menggunakan pandangan. 17 ergonomi, tombol untuk menyalakan dan
memadamkan dental light sudah menyatu pada
meja kursi dental dan pada assistant console,
sehingga lebih mudah dijangkau dan operator
tidak perlu lagi menyentuh tombol dental light
untuk mengatur posisinya.3

Penerapan Four-Handed Dentistry


Four-handed dentistry merupakan teknik
yang digunakan dalam kedokteran gigi dimana
dokter gigi dan perawat gigi secara bersama
melakukan tindakan perawatan kepada pasien.
Tujuannya adalah untuk mempercepat proses
Gambar 4. Posisi duduk ergonomis dalam
pekerjaan dan mengurangi kelelahan untuk tenaga
mengerjakan pasien.5
medis gigi serta pasien, memperpendek waktu
perawatan gigi yang diberikan kepada pasien dan
Desain Peralatan Ergonomis
meningkatkan kualitas pekerjaan. Konsep four-
a. Operating stool adalah kursi yang digunakan
handed dentistry diharapkan dapat mencegah
oleh dokter gigi. Untuk pemilihan operating
terjadinya pergerakan yang menegangkan otot.
stool yang baik pilih bentuk tempat duduk
Agar penerapan konsep four handed dentistry
yang dapat membantu tubuh dalam posisi yang
berjalan dengan baik, dibutuhkan kerja sama yang
benar dengan spinal yang tegak dan dekat
baik antara dokter gigi dan asisten dokter gigi.
dengan kursi gigi. Bentuk sandaran yang
Masing-masing operator harus saling
mendukung punggung dapat menjaga otot
bertanggung jawab dan menyadari kebutuhan satu
punggung bagian bawah agar tetap tegak dan
sama lain.
lengkungannya dipertahankan. Selain itu, pilih
Prinsip dalam four-handed dentistry
kursi yang memiliki sandaran lengan karena
adalah:
sandaran lengan dirancang untuk mengurangi
a. Dokter gigi diharapkan melatih asisten
tekanan dan kelelahan pada otot-otot
sehingga tidak perlu melakukan pergerakan
punggung bagian atas, leher dan bahu dengan
yang tidak efisien. Misalnya mengambil tang
membentuk sudut tegak lurus terhadap siku
atau alat pencabutan gigi di daerah yang jauh
lengan dokter gigi.
dari jangkauannya.
b. Dental Loupe adalah alat bantu lihat yang
b. Asisten yang membantu dokter gigi harus
dapat memperbesar obyek yang dilihat
mempunyai pengetahuan dan keterampilan
sehingga memungkinkan dokter gigi dapat
dalam menangani peralatan. Terlatih untuk
duduk lebih nyaman dengan postur bahu dan
mengikuti setiap prosedur perawatan yang
leher yang optimal. Pembesaran minimal dua
dilakukan dokter gigi.
kali sudah cukup menghasilkan jarak
c. Asisten harus lebih sering menangani
pengelihatan yang baik dengan posisi pasien.
peralatan misalnya saliva ejector, suction
Pembesaran yang lebih tinggi ditambah
pump, handpiece dan bor, sehingga dokter gigi

38
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

tidak perlu melakukannya sendiri. Idealnya dalam hal perencanaan, pelaksanaan serta
penanganan peralatan yang dilakukan asisten evaluasi.
adalah 80 – 90% dari waktu kerja, sehingga Adapun hal-hal yang dapat mempengaruhi
dokter gigi hanya berkonsentrasi pada keberhasilan sistem manajemen keselamatan dan
perawatan pasien. kesehatan kerja dalam pencegahan nyeri
d. Letak peralatan yang harus ditangani asisten punggung bawah adalah dengan menerapkan:
lebih banyak berada pada sisi asisten untuk Koreksi postur janggal, desain peralatan
memudahkan pemindahan alat ke dokter gigi. ergonomis dan penerapan four-handed dentistry.
Posisi alat harus berada di depan asisten dan
jangan di samping asisten, agar tidak perlu
melakukan pergerakan tubuh memutar. DAFTAR PUSTAKA
e. Asisten juga harus berada di daerah yang bebas 1. Tommy D.P dan Muhammad Ilyas. Low
agar mudah memindahkan alat. Alat yang Back Pain in Dentists of Indonesia [Online
dipindahkan sebaiknya melewati batas dagu Article]. 2012. [cited: 25 Juli 2014].
pasien. Bidang perawatan (operatory-field) Available:
dibentuk sedemikian rupa sehingga terdapat http://www.podj.com.pk/Dec_2012/p-22.pdf
ruang bebas, baik bagi asisten, dokter gigi dan 2. Furlong A. Ergonomic and Dentistry. ADA
pasien. Kondisi seperti ini menyebabkan News 2000; 31(18): 16-9.
pasien tidak merasa terkurung oleh dokter gigi 3. Andayasari L, Anorital. Gangguan
maupun asisten. Biasanya ruangan dalam four- Musculoskeletal pada Praktik Dokter Gigi
handed dentistry dibagi atas empat daerah dan Upaya Pencegahannya [Media Litbang
aktivitas (zona) berdasarkan arah jarum jam, Kesehatan]. 2012. [cited 19 Juli 2014].
yaitu daerah operator pada posisi arah jarum Available:
jam 7-12, daerah asisten berada pada posisi http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.ph
arah jarum jam 2-4, daerah statis (untuk p/MPK/article/view/2629/612
instrument dan bahan) berada pada posisi arah 4. Oborne, David J. Ergonomic at Work:
jarum jam 12-1, dan daerah transfer berada Human Factors in Design and Development.
pada posisi arah jarum jam 4-7.3 England: John Wiley and Sons Ltd; 1995: 5-
8
5. Ma’arif, syamsyul dan Tanjung, Hendri.
Manajemen Operasi. Jakarta: PT. Grasindo.
2003: 393
6. Nurmianto, Eko. Ergonomi, Konsep Dasar
dan Aplikasinya. Ed. Ke-2. Jakarta:
Gunawidya; 2008: 1-30
7. Tarwaka, Solichul H.B, Lilik S. Ergonomi
untuk Keselamatan Kerja dan Produktivitas.
Surakarta: Uniba Press; 2004: 1-20
8. Pusat Kesehatan Kerja Departemen
Kesehatan RI. Ergonomi. [cited: 16 Juli
2014]. Available:
http://www.depkes.go.id/downloads/Ergono
mi.PDF
9. Sarkar PA dan Shigli AL. Ergonomics in
Gambar 5. Zona kerja four-handed dentistry General Dental Practice. People’s journal of
berdasarkan arah jarum jam. Scientific Research 2012; 5:56-60.
10. Hasibuan, Malayu, S.P. Manajemen Dasar,
Pengertian dan Masalah. Jakarta: PT Toko
KESIMPULAN Gunung Agung; 2003: 1-5
Dari uraian masalah, telaah pustaka dan 11. Herujito, Yayat M. Dasar-dasar
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen. Jakarta: PT. Grasindo; 2001: 1-
sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan 2
kerja berperan dalam pencegahan nyeri punggung 12. Sastrohadiwiryo, B.S. Manajemen Tenaga
bawah pada dokter gigi. Guna menunjang peran Kerja Indonesia Pendekatan Administratif
tersebut, maka perlu diperhatikan tatalaksana

39
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

dan Operasional. Jakarta: PT. Bumi Aksara; 27. Chowanadisai S, Kukiattrakoon B, Yapong
2005: 1-20 B, Kedjarune U, Leggat PA. Occupational
13. Harahap SS. Sistem Pengawasan Manajemen Health Problems of Dentists in Southern
(Mangement Control System). Jakarta: Thailand. Int Dent J 2000;50(1):36-40.
Quantum; 2001: 4-5 28. Duygu Geler Külcü, Gülçin Gülşen, Tuba
14. OSHA Standard. (2003). Accident Çiğdem Altunok, Davut Küçükoğlu, Sait
investigation guide Naderi. Neck and Low Back Pain Among
15. Efendi, Ferry dan Makhfudli. Keperawatan Dentistry Staff. Turkish Jurnal of
Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik Rheumatology 2010; 25:122-129.
29.
dalam Keperawatan. Jakarta: Penerbit Peter Leggat, Ureporn Kedjarune and Derek
Salemba Medika; 2009: 232-233 R. Smith. Occupational Health Problems in
16. Tresnaningsih E. Kesehatan dan Modern Dentistry: Review. Industrial Health
Keselamatan Kerja di Laboratorium 2007; 45: 611-621
[Departemen Kesehatan RI] 2010 [cited 18
Juli 2014]. Available:
http://www.depkes.go.id/downloads/Keseha
tan%20Kerja%20di%20Labkes.PDF
17. Ma’aruf MT. Perubahan Sikap Kerja Dokter
Gigi. Interdental Jurnal Kedokteran Gigi
2007; 5(1): 37-42
18. Wijaya AT, Darwita RR, Bahar A. The
Relation between Risk Factors and
Musculoskeletal Impairment in Dental
Students: a Preliminary Study. Journal of
Dentistry Indonesia. 2011; 18(2):33-37.
19. Shrestha BP, Singh GK, Niraula SR. Work
Related Complaints among Dentists. J Nepal
Med Assoc 2008; 47(170):77-81.
20. Kurniawidjaja, Meily. Teori dan Aplikasi
Kesehatan Kerja. Ed. Ke-1. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2010: 1-20, 106-108
21. Hoy D, Brooks P, Blyth F, Buchbinder R.
The Epidemiology of low back pain. Best
Practice & research clinical rheumatology
2010; 24:769-781.
22. Purba JS, Ng DS. Nyeri punggung bawah:
patofisiologi, terapi farmakologi dan non-
farmakologi akupunktur. Medicinus 2008;
21(2): 38-42.
23. Brendan D. Lewis. Lower Back pain.
Canadian journal of CME. 2001.
http://www.stacommunications.com/journal
s/cme/images/cmepdf/april01/lowerbackpai
n.pdf
24. Yuliana. Low Back Pain. CDK 2011; 38 (4):
270-273
25. Healthwise staff. Low Back Pain [Medical
Website]. 2013. [cited 19 Juli 2014].
Available:
http://www.cigna.com/healthwellness/hw/m
edical-topics/low-back-pain-hw56429
26. Dedi Ardinata. Multidimensional nyeri.
Jurnal keperawatan rufaidah Sumatera utara
2007; 2(2):77-81

40
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45

Perawatan Ortodonti Paska Bedah Ortognati


(Tinjauan Pustaka)

Olivia Piona Sahelangi


Staf Pengajar Bagian Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trsakti

ABSTRACT
Background: In two decades, surgical orthodontics to correct severe malocclusion and skeletal
deformities have been done. Corrective jaw surgery also called orthognathic surgery is performed by
an oral and maxillofacial surgeon to correct a wide range of major skeletal irregularities, including
misalignment of jaws and teeth. Objective: Skeletal dentofacial deformities are associated with
numerous problems including esthetic, functional, and mastication. Collaboration between the
orthodontist and the surgeon is critical. The ability of an orthodontist and a surgeon to coordinate
during treatment is what will lead to a successful outcome. Although much has changed in the field of
orthognathic surgery, the role of an orthodontist in postsurgical orthognathic surgery is critical.
Literature review: Following a recovery period, orthodontic treatment post-surgical orthognathic
surgery is to settle the teeth in good occlusion and alignment and correct any possible skeletal relapse
following surgery. Orthodontic treatment is needed to make adjustments and ensure the stability of the
realigned bite. Examination of the face including evaluation of facial and dental photographs,
cephalometric radiographs should be done postsurgical orthognathic surgery. Conclusion: Achieving
successful treatment outcomes requires implementing an effective treatment plan.

Keyword: orthognathic surgery, skeletal dental deformities, postsurgical orthodontics

PENDAHULUAN melanjutkan perawatan akhir. Adanya


Selama dua dekade terakhir, intervensi keterbatasan dan kemungkinan komplikasi paska
bedah ortognatik dalam merawat deformitas bedah patut diketahui oleh ortodontis. Perawatan
skeletal telah banyak dilakukan. Kombinasi orto lanjutan ditujukan untuk mencapai hasil akhir
perawatan ortodonti dan bedah memberikan hasil perawatan yang optimal.3
yang lebih baik dalam merawat pasien dengan
skeletal dan dental displasia.1 TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat dua puluh persen dari populasi Definisi Bedah Ortognatik
pasien dengan deformitas dentofasial. Banyak Bedah ortognatik adalah prosedur
pasien dengan deformasitas dentofasial dapat pembedahan yang dirancang untuk memperbaiki
memperoleh manfaat dari perawatan korektif deformitas muskulusskeletal, dento-osseus dan
ortognatik. Perawatan disharmoni rahang maupun jaringan lunak pada rahang serta struktur lainnya
fasial sebaiknya ada kerjasama antara ortodontis yang berkaitan dengannya. Bedah ortognatik
dan ahli beda rahang secara komprehensif.1,2 dirancang untuk meluruskan kembali struktur
Potensi relaps setelah bedah ortognati kerangka rahang atas dengan struktur kraniofasial
menjadi bahasan penting dimana perlu lainya.3
diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi Bedah ortognatik dapat dilakukan di rahang
stabilitas skeletal paska bedah ortognati. Tipe bawah atau rahang atas atau keduanya. Bedah
fiksasi dan besarnya pergerakan yang dilakukan ortognatik dilakukan untuk mengoreksi
dalam operasi bedah turut mempengaruhi deformitas dentofasial. Tujuan bedah ortognatik
kestabilan bedah ortognatik. Selain itu, adalah memperbaiki profil dan fungsi oral,
keberhasilan koreksi bedah tergantung dari terutama pada pasien dengan kelainan skeletal dan
stabilitas serta respon skeletal dan dental setelah dental yang parah.3
perawatan bedah ortognatik.2
Paska bedah ortognatik, penting bagi Klasifikasi Deformitas Dentofasial
ortodontis melakukan evaluasi, observasi dan

41
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45

Deformitas dentofasial dapat (operasi dua rahang memerlukan waktu lebih


diklasifikasikan sebagai berikut : (1) Maksila. lama dibandingkan operasi satu rahang).
Maksila protrusif, yaitu pertumbuhan yang 2. Medikasi. Medikasi yang diberikan adalah
berlebih dalam arah horisontal, terkadang disertai pemberian antibiotik, analgesik dan anti
protrusi mandibula.. (2) Defisiensi inflamasi.
anteroposterior (AP) maksila. Pertumbuhan 3. Pemeriksaan klinis, yaitu analisis jaringan
maksila yang tidak adekuat dalam arah anterior. lunak. Analisis jaringan lunak terdiri atas
(3) Kelebihan Maksila Vertikal. Pertumbuhan analisis estetik fasial, analisis penampakan
berlebih maksila dalam arah inferior akan depan, analisis profil, pemeriksaan intra oral
memberikan penampakan gigi dan gingiva yang pada berbagai sisi dan sendi
berlebih. (4) Defisiensi Maksila Vertikal. Gigitan temporomandibular. Keseluruhan wajah
dalam, wajah bagian bawah pendek. (5) Defisiensi dibagi menjadi tiga bagian yang sama yaitu
Maksila Transversal. Etiloginya adalah sepertiga bagian atas, tengah dan bawah.
kongenital, traumatik dan iatrogenik. (6) Apabila terdapat perubahan dalam
Defisiensi mandibula meliputi hyperplasia proporsionalitas fasial, hal ini mudah terlihat.
mandibula, defisiensi /hypoplasia mandibula, dan (1) Papillary plane harus paralel dengan lantai.
asimetri antero posterior mandibula. (7) (2) Plane of ear sejajar lantai. (3) Frankfurt
Gabungan deformitas maksila mandibula meliputi Horizontal Plane, yaitu garis yang ditarik dari
brakhifasial, dolikofasial, dan apertognatia.5 tragus telinga ke tonjolan tepi infraorbital
harus sejajar dengan lantai. Pada analisis
Indikasi Bedah Ortognatik penampakan depan, yang perlu diperhatikan
Bedah ortognatik dapat dilakukan pada adalah kesimetrisan mata, hidung, dahi. Pada
empat keadaan spesifik sebagai berikut : (1) pemeriksaan intra oral, hal-hal yang perlu
perbaikan posisi dental yang sulit dicapai dengan diketahui antara lain hubungan oklusal, kurva
perawatan ortodonti saja, karena malposisi yang Wilson dan kurva spee.3,5-8
parah. (2) pola skeletal yang buruk untukk 4. Postsurgical records. Untuk mengetahui ada
dikoreksi secara ortoodonti. (3) hanya dengan atau tidaknya komplikasi dan sebagai rekam
perawatan ortodonti saja tidak dapat diperoleh medik, setelah prosedur bedah, perlu
estika fasial yang serasi. (4) hanya dengan dilakukan evaluasi radiografis yaitu lateral
perawatan ortodonti tidak dapat dicapai oklusi cephalometri, panoramic, evaluasi oklusi dan
fungsional.4,5 artikulasi, pencatatan oklusal dan
neurosensory. Analisis sefalometrik
Kontra Indikasi Bedah Ortognatik merupakan cara yang dapat diandalkan untuk
Jika kondisi kesehatan umum tidak ke pasien perubahan yang terjadi setelah
memadai, keluhan ringan, atau pasien berusia pembedahan.3,5-8
muda . Pada pasien muda dianjurkan untuk 5. Profil jaringan lunak. Perlu diperhatikan
menuggu sampai pertumbuhan selesai.4,5 harmonisasi komponen dental skeletal dan
jaringan lunak.
Diagnosis dan Perencanaan Perawatan 6. Pemberian makanan lunak. Pasien
Agar dapat memberikan perawatan yang diinstruksikan untuk makan makanan lunak 2-
tepat bagi pasien saat mengkoreksi deformitas 6 minggu paska operasi.
dentofasial, ahli bedah rahang dan ortodontis 7. Kontrol teratur sehingga ahli bedah rahang
harus mempunyai interaksi dan komunikasi yang dapat memantau proses penyembuhan. Pada
baik, serta mampu untuk mendiagnosa secara saat fiksasi dilepas, sangat penting bagi
tepat deformitas yang terjadi, menyusun rencana ortodontis untuk melakukan kontrol.
perawatan yang komprehensif dan melaksanakan 8. Setelah 6 minggu, pasien dapat mulai makan
perawatan.3-5 makanan padat
9. Setelah 3 bulan paska operasi, pasien sudah
Prosedur Paska Bedah Ortognatik dapat melakukan aktivitas fisik seperti
Ada beberapa prosedur yang perlu sediakala. Perawatan ortodonti paska bedah
diperhatikan paska bedah ortognatik :3-5 dapat dilakukan setelah tercapai stabilitas.5-7
1. Hospitalisasi. Lamanya hospitalisasi
tergantung dari jenis operasi yang dilakukan Perawatan Ortodonti Paska Bedah

42
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45

Perawatan ortodonti yang dilakukan paska dipertimbangkan juga besarnya reposisi yang
bedah ortognatik mempunya tujuan untuk akan dilakukan.
menyempurnakan perawatan ortodonti dan bedah 2. Besarnya reposisi yang dilakukan. Perubahan
ortognatik yang telah dilakukan serta memperoleh paska bedah merupakan multifaktorial
interdigitasi yang baik. Agar perawatan ortodonti fenomena. Adanya variasi individual dan
ini dapat berhasil, ortodontis harus melakukan besarnya pergerakan yang dilakukan dalam
evaluasi pasien dengan cermat, sekitar satu prosedur bedah mempengaruhi stabilitas hasil
minggu paska bedah untuk mengetahui oklusi dan perawatan.
stabilitas paska bedah.8,9 3. Metode fiksasi. Penting bagi ahli bedah mulut
Secara umum, perawatan ortodonti paska untuk mendiskusikan dengna ortodontis tehnik
bedah meliputi perbaikan komponen-komponen fikasis yang akan digunakan. Ada tiga tehnik
alat ortodonti seperti koordinasi archwire, fikasi yaitu :
prosedur rutin perawatan ortodonti dan retensi. a. Total rigid fixation (anterior and posterior
Respon skeletal dan dental setelah prosedur bedah plates). Seluruh segmen difiksasi dengan
ortognatik perlu juga diperhatikan. Stabilitas menggunakan plas dan screw sehingga
skeletal paska bedah mempengaruhi besarnya peran ortodontis paska bedah terbatas pada
pergerakan gigi yang dilakukan pada perawatan perawatan ortodonti.
ortodonti lanjutan. 5,8,9 b. Anterior rigid fixation with posterior
Setelah tercapai stabilitas paska operasi, suspension wires. Segmen anterior
sekitar 4 minggu, perawatan ortodonti dapat mulai difiksasi dengan menggunakan plat dan
dilakukan. Alat-alat fiksasi dilepas dan digantikan screw, sedangkan pada segmen posterior
dengan kawat aktif untuk menggerakkan gigi ke menggunakan suspension wires secara
posisi yang diinginkan. Kawat yang digunakan bilateral. Pada tehnik ini, segmen posterior
adalah kawat yang lentur (stainless steel .016, masih dapat bergerak.
coaxial, beta titanium wire (TMA) sehingga c. Infraorbital suspension wires. Apabila
memiliki gayang yang ringan. Pada tahap ini juga infraorbital suspension wires digunakan
digunakan elastic box/vertical untuk membantu untuk stabilisasi skeletal perawatan orto
fikasis rahang. Elastik dipakai pasien secara terus paska bedah segera dilakukan setelah
menerus termasuk pada saat makan selama 4 oklusal splint dilepaskan. Spesialis bedah
minggu pertama. Kemudian elastik dipakai terus mulut akan melepaskan suspension wires,
menerus kecuali saat makan selama 4 minggu sedangkan splint wire pada gigi rahang atas
kedua, dan diteruskan hanya dipakai pada malam tetap ada. Peran ortodontis adalah
hari selama 3-4 minggu berikutnya. Apabila melepaskan splind dan segera melakukan
oklusi sudah stabil, pemakaian elastik dapat perawatan ortodonti.
dihentikan.5-10 d. Peran ortodontis, menghilangkan
Penggunaan alat retensi pada perawatan kompensasi dental, koreksi diskrepansi
ortodonti paska bedah ortognatik tidak berbeda gigi, leveling rahang atas dan rahang
dengan pasien ortodonti pada umumnya. bawah, dan koreksi diskrepansi transversal.
Disarankan retensi dilakukan minimal dua tahun
setelah perawatan ortodonti selesai untuk
mengetahui stabilitas jangka panjang dari PEMBAHASAN
perawatan ortodonti.5-8 Selama dua dekade terakhir, intervensi
bedah ortognatik dalam merawat deformitas
Stabilitas Paska Bedah Ortognatik skeletal telah banyak dilakukan. Kombinasi
Stabilitas paska bedah sangat penting bagi perawatan ortodonti dan bedah memberikan hasil
ortodontis karena mempengaruhi perawatan yang lebih baik dalam merawat pasien dengan
ortodonti yang akan dilakukan. Ada beberapa hal skeletal dan dental displasia.1-3
yang mempengaruhi stabilitas paska bedah Tujuan dari bedah ortognatik adalah
ortognatik, yaitu :5-9 memperbaiki deformitas skeletal, estetika, dan
1. Mobillisasi jaringan lunak. Setelah bedah oklusi. Penatalaksanaan pasien secara
ortognatik, jaringan lunak (periosteum, menyeluruh tergantung pada evaluasi dan
ligament, otot-otot dan jaringan submucosa diagnosa deformitas. Untuk menegakkan
yang ikut teregang akan cenderung untuk diagnosis dan merencanakan perawatan yang
kembali ke posisinya semula sehigga perlu tepat, diperlukan pengetahuan yang mendalam

43
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45

mengenai pertumbuhan dan perkembangan kranio menerus kecuali saat makan selama 4 minggu
dentofasial, biomekanika pergerakan gigi, model kedua, dan diteruskan hanya dipakai pada malam
studi, foto fasial, foto intraoral dan foto ronsen hari selama 3-4 minggu berikutnya. Apabila
panoramik.1-5 oklusi sudah stabil, pemakaian elastik dapat
Potensi relaps setelah bedah ortognatik dihentikan.2,5-13
menjadi bahasan penting dimana perlu Penggunaan alat retensi pada perawatan ortodonti
diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi paska bedah ortognatik tidak berbeda dengan
stabilitas skeletal paska bedah ortognati. Tipe pasien ortodonti pada umumnya. Disarankan
fiksasi dan besarnya pergerakan yang dilakukan retensi dilakukan minimal dua tahun setelah
dalam operasi bedah turut mempengaruhi perawatan ortodonti selesai untuk mengetahui
kestabilan bedah ortognatik. Selain itu, stabilitas jangka panjang dari perawatan
keberhasilan koreksi bedah tergantung dari ortodonti.12
stabilitas serta respon skeletal dan dental setelah
perawatan bedah ortognatik.5-8 KESIMPULAN
Paska bedah ortognatik, penting bagi Diperlukan kerjasama yang baik antara ahli bedah
ortodontis melakukan evaluasi, observasi dan mulut dan ortodontis dalam menangani pasien
melanjutkan perawatan akhir. Adanya paska bedah ortogantik. Stabilitas perawatan
keterbatasan dan kemungkinan komplikasi paska paska bedah sangat penting karena akan
bedah patut diketahui oleh ortodontis. Perawatan mempengaruhi perawatan ortodonti paska bedah.
orto lanjutan ditujukan untuk mencapai hasil akhir Perawatan ortodonti paska bedah dilakukan
perawatan yang optimal.3 apabila kondisi pasien sudah stabil. Ortodontis
Perawatan ortodonti yang dilakukan harus memahami segala hal tentang perawatan
paska bedah ortognatik mempunya tujuan untuk ortodonti paska bedah dan hal-hal yang dapat
menyempurnakan perawatan ortodonti dan bedah mempengaruhi stabilitas perawatan.
ortognatik yang telah dilakukan serta memperoleh
interdigitasi yang baik. Agar perawatan ortodonti
ini dapat berhasil, ortodontis harus melakukan DAFTAR PUSTAKA
evaluasi pasien dengan cermat, sekitar satu 1. John BP, Richard AS. Skeletal and dental
minggu paska bedah untuk mengetahui oklusi dan responses to orthognathic surgical treatment.
stabilitas paska bedah.6-9 Angle Ortho 1997;67(6): 447-454.
Peran ortodontis, menghilangkan 2. William RP, L Tanya JB, Ceib P. Long-term
kompensasi dental, koreksi diskrepansi gigi, stability of surgical open bite correction by Le
leveling rahang atas dan rahang bawah, dan Fort I Osteotomy. Angle Ortho 2000;70(2):
koreksi diskrepansi transversal. Secara umum, 112-117.
perawatan ortodonti paska bedah meliputi 3. Bishara SE. Textbook of Orthodontics. WB
perbaikan komponen-komponen alat ortodonti Saunders CO, St.Louis 2001; 550-560.
seperti koordinasi archwire, prosedur rutin 4. Proffitt WR, Fields HR. Contemporary
perawatan ortodonti dan retensi. Respon skeletal orthodontics. 4th Ed. St.Louis, Missouri :
dan dental setelah prosedur bedah ortognatik perlu Mosby Elsevier; 2007; 705-718.
juga diperhatikan. Stabilitas skeletal paska bedah 5. Epker BN, Stella JP, Fish LC. Dentofacial
mempengaruhi besarnya pergerakan gigi yang Integrated Orthodontic and Surgical
dilakukan pada perawatan ortodonti lanjutan. 2-12 Correction. 2nd Ed. Mosby Year Book Inc. St
Setelah tercapai stabilitas paska operasi, Louis. 1986; 138, 146-157, 155-157, 178.
sekitar 4 minggu, perawatan ortodonti dapat mulai 6. Paul AD, Lisen E, Leiv. LeFort I maxillary
dilakukan. Alat-alat fiksasi dilepas dan digantikan advancement 3 year stability and risk factors
dengan kawat aktif untuk menggerakkan gigi ke for relapse. AJODO 2005. 128: 556-7.
posisi yang diinginkan. Kawat yang digunakan 7. Bailey LJ, Cavidanes, LHS. Stability and
adalah kawat yang lentur (stainless steel .016, Predictability of Orthognathic Surgery.
coaxial, beta titanium wire (TMA) sehingga AJODO. June, 2004.
memiliki gaya yang ringan. Pada tahap ini juga 8. Moyes RE. Handbook of Orthodontics. 4th Ed
digunakan elastic box/vertical untuk membantu Year Book Medial Pub Inc. 1988. 497-510.
fikasis rahang. Elastik dipakai pasien secara terus 9. Harry LL. Scott C. Biomechanical factors in
menerus termasuk pada saat makan selama 4 surgical orthodontics. In Nanda R.
minggu pertama. Kemudian elastik dipakai terus Biomechanic and Esthetic Strategies in

44
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45

Clinical Orthodontics. Philadelphia. WB


Saunders. 2005: 310-327.
10. Rakosi T, Jonas I, Graber TM. Color atlas of
dental medicine-orthodontic diagnosis.
Stuttgart; Georg Thieme Verlag: 1993. 256-80.

45
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

Potensi Ekstrak Daun Dandang Gendis (Clinacanthus nutans) untuk Mempercepat


Penyembuhan Luka di Rongga Mulut
(Tinjauan Pustaka)

Moehamad Orliando Roeslan


Staf Pengajar Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trsakti

ABSTRACT
Background: Clinacanthus nutans (C. nutans) is a plant that is easily found in South-East Asia.
Traditionally, this plant has been used for treatment of snake bite, cancer, and diabetes. In addition,
leaves extract of C. nutans have been investigated and biological activity of this plant has potentially
support wound healing in the oral cavity. Objectives: The aim of this review is to help researchers and
clinicians to understand the reason why C. nutans has potential as a drug to accelerate wound healing
in oral cavity. Literature review: Wound healing is a complex process that is regulated by cellular,
humoral and molecular mechanism. The main aim of wound healing is regeneration and repair. Wound
healing depends on many factors including cells, growth factor, and cytokines. Wound healing also
has phases: inflammation phase, proliferation phase and remodelling phase. C. nutans is known to
contain anti-inflammatory, antivirus, antioxidant, antibacteria, and analgesic. Wound healing agents
must have the ability of anti-inflammation, antivirus, antioxidant, antibacteria and analgesic. The anti-
inflammatory activity of C. nutans is expected to shorten inflammation phase in wound healing, so the
wound will heal faster. Antibacteria activity of C. nutans can prevent infection during wound healing.
Antioxidant activity of C. nutans is also needed to prevent damage of healthy tissue from reactive
oxygen species (ROS). However, there is no research on the effect of C. nutans on osteoblast
proliferation, which has role to restore bone density after tooth extraction. Conclusion: C. nutans have
a lt of the biological activity needed to accelerate wound healing in oral cavity.

Keyword: Clinacanthus nutans, wound healing, oral cavity

PENDAHULUAN kanker. Sedangkan di Indonesia sendiri, ekstrak


Di negara berkembang, penggunaan daun C. nutans banyak digunakan untuk
tanaman untuk pengobatan masih digunakan oleh pengobatan diabetes dan disentri secara
sebagian besar masyarakatnya. Hal ini mungkin tradisional.
karena obat-obatan masih terlalu mahal dan C. nutans adalah nama yang dikenal di
aksesnya yang sulit bagi masyarakat yang tinggal Indonesia, sedangkan di Malaysia popular dengan
di pedalaman. Namun seiring berjalannya waktu, nama “Sabah snake grass” atau “Belalai Gajah”.
masyarakat perkotaan pun sekarang banyak yang Di Thailand, dikenal dengan “phaya yo” atau
memilih menggunakan obat tradisional. Salah “phaya plongtong”. Di Vietnam dengan nama
satu alasannya adalah obat tradisional dianggap “Bim Bip,” “Xuong Khi,” atau “Manh Cong”,
mempunyai efek samping yang lebih sedikit sedangkan masyarakat China mengenal tumbuhan
dibanding obat konvensional. Karena alasan itu ini dengan nama “e zui hua” or “you dun cao”.3, 4
pula obat tradisional berkontribusi hingga 50% Tinggi tumbuhan C. nutans mencapai sekitar 1-3
terhadap perkembangan obat konvensional yang meter. Daun dari dandang gendis berwarna hijau,
ada di pasaran sejak tahun 1981 hingga 2014.1 berbentuk menyirip, panjangnya berkisar 8-12 cm
Clinacanthus nutans (C. nutans/Dandang dan lebar antara 4-6 cm. Tumbuhan ini juga
Gendis) adalah tanaman yang banyak tumbuh di mempunyai bunga yang ada di atas bagian
Asia. Untuk negara-negara di Asia Tenggara percabangan. Berikut adalah klasifikasi taxonomi
sendiri, tumbuhan ini sudah banyak digunakan tumbuhan C. nutans:
sebagai obat. Di Thailand, ektrak daun ini Nama ilmiah : Clinacanthus nutans (Burm.f.)
digunakan sebagai obat tradisional ruam kulit, Lindau
gigitan serangga, virus herpes simpleks dan Famili : Acanthaceae
varicella-zoster.2 Di Malaysia, ekstrak daun ini Genus : Clinacanthus
banyak ditemukan dijual bebas untuk mengobati Species : C. nutans

46
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

Tumbuhan C. nutans dilaporkan memiliki cell line (SNU-1), human colon adenocarcinoma
berbagai variasi phenolic, terpenoid dan beberapa cell line (LS-174T), human erythroleukemia cell
molekul murni seperti benzenoid, line (K-562), human cervical cancer cell line
glycoglycerolipids, glycosylglycerides, turunan (HeLa), dan human Burkitt's lymphoma cell line
klorofil, asam lemak, fitosterol, cerebrosides. (Raji). Ekstrak C. nutans juga tidak menunjukkan
stigmasterol, lupeol, β-sitosterol. vitexin toksisitas terhadap sel HUVEC (human umbilical
(apigenin/8-beta-D-glucopyranosyl-5,7dihydroxy veins endothelial cell), hal ini membuktikan
-2-(4hydroxyphenyl)-4H-1-benzopyran-4-one) , bahwa C. nutans aman terhadap sel normal.16
isovitexin (saponaretin /6-beta-D- Pada penelitian terdahulu ekstrak metanol
glucopyranosyl-4',5,7-trihydroxyflavone), dievaluasi dengan menggunakan model oedem
schaftoside (shaftoside), isomollupentin 7-O-b- tikus yang diinduksi dengan carrageenan dan
glucopyranoside, orientin (lutexin/luteolin), ethyl phenylpropiolate (EPP). Penelitian ini
isoorientin (homoorientin/luteolinn6-C-beta-D- menunjukkan aktivitas anti-inflamasi melalui
glucopyranoside), clinacoside A, clinacoside B, efek inhibisi fungsi respon netrofil tanpa adanya
clinacoside C, cycloclinacoside A1, efek toksisitas yang signifikan.17
cycloclinacoside A2, 13-hydroxy-(13-S)- Kemampuan antibakteri C. nutans
phaeophytin b, pupurin-18-phytyl ester, dan menunjukkan hasil positif ketika diuji terhadap
pheophorbide. 2 5-8 Dari seluruh molekul murni bakteri S. aureus, E. coli, P. acnes, S. epidermis
yang berhasil diisolasi dari C. nutans, hanya dan B. cereus. Hal ini mungkin berhubungan
molekul chlorophyll related yang sudah terbukti dengan lupeol, β-sitosterol, flavonoid, dan
secara ilmiah mempunyai aktivitas biologis, yaitu terpenoid yang terkandung di dalam C. nutans.18-
antivirus terhadap virus herpes simpleks.9 20
Aktivitas analgesik tumbuhan ini diinvestigasi
dengan menggunakan ekstrak butanol. Hasilnya
menunjukkan C. nutans memiliki aktivitas
TINJAUAN PUSTAKA analgesik yang menyerupai aspirin.10
Aktivitas biologis C. nutans Secara tradisional, di Thailand dan
Dari penelitian terdahulu, baik in vivo Malaysia bagian pedalaman tumbuhan ini sudah
maupun in vitro, ekstrak daun C. nutans diketahui digunakan sebagai obat untuk mengobati gigitan
mempunyai kemampuan antivirus, antioksidan, ular atau kalajengking. Namun setelah dilakukan
antikanker, antiinflamasi, antibakteri, dan penelitian, tidak ditemukan adanya aktivitas
analgesik.10-15 Di Thailand, obat yang berasal dari antivenin di C. nutans.21 Ekstrak etanol bagian
ekstrak daun C. nutans untuk mengobati herpes daun dan batang tumbuhan C. nutans mempunyai
simpleks sudah dijual secara komersil dengan kemampuan anti-dengue pada penelitian yang
harga yang jauh dibawah harga obat dilakukan dengan menggunakan galur sel Huh-7.8
konvensional. Penelitian C. nutans sebagai penyembuh
Ekstrak etanol menunjukkan inhibisi luka juga sudah dilakukan. Salah satunya adalah
terhadap produksi peroksida yang diproduksi oleh penelitian in vitro dengan menggunakan human
makrofag tikus setelah distimulasi oleh phorbol gingival fibroblast (HGF) untuk melihat efek
myristate acetate (PMA). Ekstrak ini juga ekstrak kloroform dan heksana C. nutans terhadap
mempunyai efek proteksi terhadap sel darah kecepatan migrasi HGF dengan teknik scratch
merah tikus yang diinduksi oleh 2,2′-azobis (2- assay. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua
amidinopropane) hydrochloride (AAPH).12 ekstrak pada dosis 10 g/ml mempercepat migrasi
Kemampuan antikanker C. nutans sudah diteliti HGF dibandingkan dengan grup lain.22 Hal ini
dengan menggunakan berbagai galur sel. Dalam membuktikan bahwa dengan dosis seminimal 10
penelitian sitotoksisitas C. nutans, diketahui g/ml, Dandang Gendis mampu menginduksi
tumbuhan ini mempunyai kemampuan migrasi HGF.
antiproliferasi dan antikanker terhadap berbagai Selain itu, tumbuhan ini juga sudah
galur sel. Penelitian yang dilakukan juga dilakukan uji klinik mengevaluasi pengobatan
menggunakan berbagai ekstrak yang berbeda terhadap stomatitis aftosa dengan metode double
(non-polar, semipolar dan polar). Ekstrak blind controlled trial terhadap 43 subyek.
kloroform, metanol dan air menunjukkan Hasilnya, ekstrak C. nutans menunjukkan
kemampuan antiproliferasi terhadap human liver penyembuhan yang lebih baik dibanding plasebo,
hepatocellular carcinoma (HepG2), human namun triamcinolone acetonide lebih baik dari
neuroblastoma cell line (IMR-32), human lung ekstrak C. nutans.23
cancer cell line (NCI-H23), human gastric cancer

47
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

Kombinasi C. nutans dan Elephantopus berproliferasi dan migrasi ke daerah luka. Untuk
scaber juga sudah diteliti untuk penyembuhan dapat membuka ruang untuk sel berproliferasi,
luka pada kulit tikus. Fraksi etil asetat membran basalis dan matriks ekstraselular
menunjukkan hasil positif pada luka eksisi dan terdegradasi. Proses ini dikenal dangan
insisi, sedangkan fraksi air memperlihatkan hasil sprouting.29, 30
yang positif pada luka bakar. Dari hasil LC-MS Angiogenesis distimulasi oleh faktor
diketahui adanya beberapa molekul berbasis pertumbuhan dan hipoksia jaringan.31
flavonoid yang bekerja secara sinergi.24 Lingkungan hipoksia terjadi karena adanya
Tulisan ini akan mengulas potensi penutupan permukaan luka oleh bekuan fibrin.
kemampuan C. nutans untuk mempercepat Penutupan permukaan luka sangat diperlukan
penyembuhan luka di rongga mulut berdasarkan untuk membentuk lingkungan hipoksia luka.
penelitian-penelitian yang sudah dilakukan secra Bekuan fibrin yang terbentuk selama hemostasis
in vitro dan in vivo. menyediakan penutupan sementara sehingga
angiogenesis dapat berlangsung. Lingkungan
Proses penyembuhan luka hipoksia juga menginduksi makrofag mensekresi
Penyembuhan luka adalah proses faktor angiogenesis seperti fibroblast growth
menggantikan struktur selular dan jaringan yang factor (bFGF or FGF-2) dan acidic FGF (aFGF
rusak melalui tahap yang kompleks dan dinamis. atau FGF-1) yang dilepaskan segera setelah
Terdiri atas berbagai proses biokimia yang adanya gangguan sel.32, 33
terorganisir untuk memperbaiki jaringan yang Fase terakhir adalah fase remodeling yang
rusak. Pada orang dewasa, penyembuhan luka akan berlangsung selama beberapa bulan. Selama
dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase proses ini kolagen dan matriks protein akan terus
inflamasi, proliferasi dan remodeling.25 disintesis agar daerah luka kembali seperti
Fase inflamasi mulai segera setelah terjadi sediakala. Tujuan utama penyembuhan luka
luka, yang diawali dengan mekanisme hemostasis adalah untuk mempercepat waktu penyembuhan
yang bertujuan untuk menghentikan pendarahan. atau untuk meminimalisir efek samping yang
Karakteristik yang khas pada tahap ini adalah mungkin akan terjadi.10
vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk Parameter yang digunakan untuk menilai
menginduksi vasodilatasi dan fagositosis, aktivitas penyembuhan luka:
sehingga terjadi inflamasi di daerah luka. Fase 1. Parameter fisik
berikutnya adalah fase proliferasi.26 Ciri khas fase Karakteristik fisik seperti kompresi luka,
proliferasi adalah granulasi, kontraksi luka, dan epitelisasi, dan bekas luka dapat diamati
epitelisasi. Selama proses granulasi, fibroblas dengan mengukur penutupan luka dan
membentuk dasar kolagen yang diikuti oleh mencatat perubahan fisik bekas luka.34
produksi kapiler baru.26 Selama kontraksi luka, 2. Parameter mekanis
myofibroblas memperkecil ukuran luka dengan Kemampuan mekanis seperti kualitas
dengan mencengkeram daerah pinggir luka dan kerapuhan dan elastisitas dapat diamati dengan
berkontraksi dengan cara sama seperti yang mengukur kekuatan yang dibutuhkan untuk
dilakukan oleh otot polos. Setelah tugas sel ini merusak luka atau jaringan.35
hampir selesai, sel-sel yang tidak dibutuhkan akan 3. Parameter biokimia
apoptosis.27 Epitelisasi melibatkan proliferasi sel Kolagen berkontribusi sangat besar dalam
epitel, yang akan memanjat ke atas daerah luka, menentukan kualitas penyembuhan luka.
menutupi jaringan baru yang terbentuk. Asam amino di kolagen, yaitu hydroxyproline,
dapat dievaluasi untuk menentukan jumlah
Angiogenesis kolagen di luka dengan cara teknik
Pembentukan pembuluh darah baru calorimetric, spectrometric atau
(angiogenesis) sangat penting dalam proses chromatographic.36
penyembuhan luka dan terjadi secara bersamaan 4. Parameter histologis
dengan semua tahap proses perbaikan.28 Tahap Pengecekan kualitas secara histologis,
pertama pada pembentukan pembuluh darah baru mengevaluasi komponen sel dan
adalah perlekatan faktor pertumbuhan dengan jumlahkandungan kolagen adalah parameter
reseptor nya masing-masing pada sel endotel yang penting dalam pemulihan luka.37
pembuluh yang ada. Sel endotel yang teraktivasi
mensekresi enzim proteolitik untuk melarutkan
lamina basal, sehingga sel endotel dapat

48
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

Faktor-faktor yang mempengaruhi PEMBAHASAN


penyembuhan luka: Respon inflamasi akut pada saat fase awal
1. Diet terjadinya luka akan merangasang faktor-faktor
Penyembuhan luka adalah proses penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
anabolik yang membutuhkan energi dan perbaikan jaringan. Faktor-faktor tersebut antara
nutrisi. Kandungan serum albumin sebanyak lain sitokin dan chemokines.47 Fase inflamasi yang
3,5 g/dl atau lebih dibutuhkan untuk berkepanjangan dapat mencegah luka masuk ke
penyembuhan yang baik.38 Protein juga fase remodeling. Akhirnya, penutupan luka akan
penting untuk sintesis kolagen di tertunda dan rasa sakit akan timbul, yang akan
daerah luka. Keadaan malnutrisi dapat mengarah ke terhalangnya proses
menyebabkan jumlah protein yang kurang penyembuhan.48 Oleh karena itu, terapi dengan
yang akhirnya dapat menimbulkan penurunan obat yang mempunyai kemampuan anti-inflamasi
sintesis kolagen yang bisa meningkatkan menjadi perhatian para peneliti, dengan tujuan
resiko terkena infeksi.39 untuk meningkatkan kenyamanan pasien pada
2. Infeksi di daerah luka saat proses penyembuhan luka.49 Dengan adanya
Penyebab paling umum lamanya waktu kemampuan anti-inflamasi dalam obat
penyembuhan luka adalah infeksi di daerah penyembuh luka, maka diharapkan fase inflamasi
luka.40 Staphylococcus aureus, Streptococcus menjadi lebih singkat, sehingga luka dapat
pyogenes, Corynebacterium sp., Escherichia sembuh lebih cepat. Ekstrak C. nutans sudah
coli dan Pseudomonas aeruginosa adalah diteliti mempunyai kemampuan anti-inflamasi
organisme yang sering menyebabkan infeksi secara in vivo,17 hal ini bisa menjadi kemampuan
luka.41 positif yang dibutuhkan dalam penyembuh luka.
3. Oksigen yang kurang dan perfusi jaringan di Infeksi adalah faktor penting yang dapat
daerah luka mengganggu penyembuhan luka.50 Mengurangi
Pasokan darah yang cukup dan perfusi adanya bakteri yang ada di daerah luka adalah hal
jaringan sangat penting untuk penyembuhan penting yang dibutuhkan untuk penyembuhan
luka. Rasa sakit yang berlebihan, demam atau luka yang lebih baik. Obat yang ideal untuk
anxiety dapat menyebabkan vasokonstriksi mencegah terjadinya infeksi luka adalah obat
secara lokal dan memperlama penyembuhan.42 yang mempunyai kemampuan sebagai
Merokok dan penggunaan tembakau antimikrobial dan sekaligus bertindak sebagai
menurunkan perfusi jaringan dan tekanan stimulan aktivitas respon imun secara natural
oksigen di daerah luka.41 tanpa merusak jaringan sehat sekitarnya.51
4. Obat-obatan Ekstrak C. nutans mempunyai kemampuan
Obat-obatan kemoterapi yang digunakan antibakteri18 dan mampu memodulasi proliferasi
dalam pengobatan kanker dapat memperlama limfosit dan sel PMN.52 Kedua kemampuan ini
penyembuhan luka.43 Glukokortikoid sistemik adalah aktivitas yang sangat positif dalam
dapat mengganggu proses penyembuhan luka mencegah terjadinya infeksi dan mempercepat
dengan menurunkan sintesis kolagen dan penyembuhan luka.
proliferasi fibroblas. Masuknya netrofil ke daerah luka akan
5. Usia lanjut menimbulkan respiratory burst dan menghasilkan
Usia lanjut sering dihubungkan dengan radikal bebas. Adanya radikal bebas akan
tertundanya penyembuhan luka. Dilaporkan menyebabkan stres oksidatif yang kemudian
bahwa pertumbuhan dan aktivitas fibroblas mengarah ke peroksidasi lipid, kerusakan DNA
berkurang, dan sintesis kolagen dan kontraksi dan inaktivasi enzim. Enzim ini termasuk enzim
luka menjadi lambat pada individu yang lanjut scavenger radikal bebas yang berfungsi
usia.44 membatasi efek reactive oxygen species (ROS).
6. Diabetes dan kondisi lainnya Oleh karena itu dibutuhkan antioksidan yang
Penderita diabetes lebih rentan terkena dapat mengurangi efek ROS, sehingga
infeksi luka. Dalam penelitian ditemukan meningkatkan efisiensi penyembuhan luka.53
bahwa resiko infeksi pada luka meningkat Ekstrak daun C. nutans mempunyai aktivitas
hingga 11% pada penderita diabetes.45 biologis sebagai antioksidan.16 Aktivitas ini akan
Penyakit liver akut dan kronis juga sangat dibutuhkan untuk mencegah kerusakan
dihubungkan dengan tertundanya jaringan sehat yang lebih lanjut yang disebabkan
penyembuhan luka.46 oleh ROS.

49
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

Pada penyembuhan luka soket pasca 5. Dampawan P, Huntrakul C, Reutrakul V.


pencabutan gigi tidak hanya melibatkan jaringan Constituents of Clinacanthus nutans and the
lunak, tetapi juga jaringan keras, yaitu tulang. crystal structure of lup-20(29)-ene-3-one. J
Pada keadaan tanpa stimulasi, osteoblas akan Sci Soc Thailand 1977;3:14-26.
teraktivasi pada hari ke-1 sampai ke-3 pasca 6. Teshima K, Kaneko T, Ohtani K, Kasai R,
pencabutan gigi dan osteoid akan terbentuk dalam Lhieochaiphant S, Picheansoonthon C, et al.
seminggu. Untuk menyatukan celah soket dengan Sulfur-containing glucosides from
tulang primer dibutuhkan waktu 4 sampai 6 Clinacanthus nutans. Phytochemistry
minggu tergantung besarnya soket.54 Sampai saat 1998;48:831-835.
ini belum ada penelitian yang meneliti efek 7. Teshima K., Kaneko T., Ohtani K., Kasai R.,
ekstrak daun C. nutans terhadap proliferasi Lhieochaiphant S., Picheansoonthon C., et al.
osteoblas dan pembentukan tulang. Selain itu, C-Glycosyl Flavones from Clinacanthus
efek ekstrak daun C. nutans terhadap sel endotel nutans. Nat Med 1997;51 (6):557.
untuk merangsang terjadinya angiogenesis juga 8. Tu SF, Liu RH, Cheng YB, Hsu YM, Du YC,
belum diteliti. El-Shazly M, et al. Chemical constituents
and bioactivities of Clinacanthus nutans
KESIMPULAN aerial parts. Molecules 2014;19:20382-
Kemampuan ekstrak C. nutans untuk 20390.
penyembuhan luka di rongga mulut perlu 9. Sakdarat S, Shuyprom A, Pientong C,
diinvestigasi labih dalam lagi, Khususnya efek Ekalaksananan T, Thongchai S. Bioactive
terhadap osteoblas dan sel endotel, yang keduanya constituents from the leaves of Clinacanthus
mempunyai peran penting dalam penyembuhan nutans Lindau. Bioorganic & medicinal
luka. Selain itu, penelitian yang mendalam sampai chemistry 2009;17:1857-1860.
tahap molekuler juga perlu dilakukan, agar 10. Satayavivad J, Bunyapraphatsara N,
mekanisme efek ekstrak C. nutans terhadap Kitisiripornkul S, Tanasomwang W.
penyembuhan luka dapat dijelaskan. Analgesic and anti-inflammatory activities
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa of extract of Clinacanthus nutans (Burm.f.)
obat untuk penyembuhan luka pasca pencabutan Lindau. Thai J Phytopharm 1996;3:
gigi harus memiliki kemampuan antibakteri, anti- 11. Sangkitporn S., Balachandra K., Bunjob M.,
inflamasi, antioksidan. Ekstrak daun C. nutans Chaiwat S., Dechatiwongse Na Ayudhaya T.,
memiliki semua kemampuan ini, namun demikian Jayavasu C. Treatment of herpes zoster with
masih diperlukan penelitian lebih lanjut yang Clinacanthus nutans (Bi Phaya Yaw) extract.
meneliti efek tumbuhan ini terhadap osteoblas dan J Med Assoc Thai 1995;78:624-627.
sel endotel. 12. Pannangpetch P., Laupattarakasem P.,
Veerapol Kukongviriyapan V.,
Kukongviriyapan U., Kongyingyoes B.,
DAFTAR PUSTAKA Aromdee C. Antioxidant activity and
1. Newman DJ, Cragg GM. Natural Products as protective effect against oxidative hemolysis
Sources of New Drugs from 1981 to 2014. J of Clinacanthus nutans (Burm.f) Lindau.
Nat Prod 2016;79:629-661. Songklanakarin J Sci Technol 2007;29:1-9.
2. Sakdarat S, Shuyprom A, Dechatiwongse Na 13. Jayavasu C, Dechatiwongse Na Ayudhaya T,
Ayudhya T, Waterman PG, Karagianis G. Balachandra K, Chavalittumrong P,
Chemical composition investigation of the Jongtrakulsiri S. The virucidal activity of
Clinacanthus nutans Lindau leaves. Thai J Clinacanthus nutans Lindau extracts against
Phytopharm 2008;13:13-24. herpes simplex virus type-2: an in vitro
3. Panyakom K. Structural elucidation of study. Bull Dept Med Sci 1992;34:153-158.
bioactive compounds of Clinacanthus nutans 14. Huang D, Guo W, Gao J, Chen J, Olatunji
(Burm. f.) Lindau leaves: Suranaree JO. Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau
University of Technology, Nakhon Ethanol Extract Inhibits Hepatoma in Mice
Ratchasima; 2006. through Upregulation of the Immune
4. Roosita K, Kusharto CM, Sekiyama M, Response. Molecules 2015;20:17405-17428.
Fachrurozi Y, Ohtsuka R. Medicinal plants 15. Arullapan S, Rajamanickam P, Thevar N,
used by the villagers of a Sundanese Kodimani C. In Vitro Screening of
community in West Java, Indonesia. J Cytotoxic, Antimicrobial and Antioxidant
Ethnopharmacol 2008;115:72-81. Activities of Clinacanthus nutans

50
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

(Acanthaceae) leaf extracts. Trop J Pharm 27. Kirsner RS, Eaglstein WH. The wound
Res, 2014;13:1455-1461. healing process. Dermatol Clin 1993;11:629-
16. Yong YK, Tan JJ, Teh SS, Mah SH, Ee GC, 640.
Chiong HS, et al. Clinacanthus nutans 28. Velnar T, Bailey T, Smrkolj V. The wound
Extracts Are Antioxidant with healing process: an overview of the cellular
Antiproliferative Effect on Cultured Human and molecular mechanisms. J Int Med Res
Cancer Cell Lines. Evidence-based 2009;37:1528-1542.
complementary and alternative medicine : 29. Reinke JM, Sorg H. Wound repair and
eCAM 2013;462751. regeneration. European surgical research
17. Wanikiat P, Panthong A, Sujayanon P, Europaische chirurgische Forschung
Yoosook C, Rossi AG, Reutrakul V. The Recherches chirurgicales europeennes
anti-inflammatory effects and the inhibition 2012;49:35-43.
of neutrophil responsiveness by Barleria 30. Robson MC, Steed DL, Franz MG. Wound
lupulina and Clinacanthus nutans extracts. J healing: biologic features and approaches to
Ethnopharmacol 2008;116:234-244. maximize healing trajectories. Curr Probl
18. Dorman HJ, Deans SG. Antimicrobial agents Surg 2001;38:72-140.
from plants: antibacterial activity of plant 31. Giordano FJ, Johnson RS. Angiogenesis: the
volatile oils. J Appl Microbiol 2000;88:308- role of the microenvironment in flipping the
316. switch. Curr Opin Genet Dev. 2001;11:35-
19. Kuete V, Kamga J, Sandjo LP, Ngameni B, 40.
Poumale HM, Ambassa P, et al. 32. Gurtner GC, Werner S, Barrandon Y,
Antimicrobial activities of the methanol Longaker MT. Wound repair and
extract, fractions and compounds from Ficus regeneration. Nature 2008;453:314-321.
polita Vahl. (Moraceae). BMC Complement 33. Strodtbeck F. Physiology of wound healing.
Altern Med 2011;11:6. Newborn Infant Nurs Rev 2001;1:43-52.
20. Singh B, Sahu PM, Sharma MK. Anti- 34. Mustapha N. Glue as a Cell-Delivery Vehicle
inflammatory and antimicrobial activities of in Wound Healing. J Trauma Treat
triterpenoids from Strobilanthes callosus 2015;4:250:
nees. Phytomedicine 2002;9:355-359. 35. Casacó A, Fuente D, Ledon N, Ferandez A,
21. Cherdchu C, Poopyruchpong N, Crombet T. Anti- epidermal growth
Adchariyasucha R, Ratanabanangkoon K. factor/epidermal growth factor receptor
The absence of antagonism between extracts therapeutic anticancer drugs and the wound
of Clinacanthus nutans Burm. and Naja naja healing process. J Cancer Sci Ther
siamensis venom. Southeast Asian J Trop 2012;4:324-329.
Med Public Health 1977;8:249-254. 36. Koyama Y. Effects of Collagen Ingestion
22. Roeslan M, Ayudhya T, Koontongkaew S. and their Biological Significance. J Nutr
Characteristics of Clinacanthus nutans Food Sci 2016;6:504:
extraction from Thailand and Indonesia 37. Knott ME, Minatta JN, Roulet L, Gueglio G,
(Preliminary Study). Sci-Health 2 2012; Pasik L, Ranuncolo SM, et al. Circulating
23. Siriporn T. Clinical evaluation of Fibroblast Growth Factor 21 (Fgf21) as
Clinacanthus nutans Lindau in orabase in the Diagnostic and Prognostic Biomarker in
treatment of ruccurent aphtous stomatitis. Renal Cancer. J Mol Biomark Diagn 2016;1:
Mahidol Dent J 2013;14(1):10-16. 38. Hanna JR, Giacopelli JA. A review of wound
24. Aslam MS, Ahmad MS, Mamat AS, Ahmad healing and wound dressing products. J Foot
MZ, Salam F. Antioxidant and Wound Ankle Surg 1997;36:2-14; discussion 79.
Healing Activity of Polyherbal Fractions of 39. Albritton JS. Complications of wound repair.
Clinacanthus nutans and Elephantopus Clin Podiatr Med Surg 1991;8:773-785.
scaber. Evid Based Complement Alternat 40. Lazarus GS, Cooper DM, Knighton DR,
Med: eCAM 2016;2016:4685246. Percoraro RE, Rodeheaver G, Robson MC.
25. Flanagan M. The physiology of wound Definitions and guidelines for assessment of
healing. J Wound Care 2000;9:299-300. wounds and evaluation of healing. Wound
26. Gantwerker EA, Hom DB. Skin: histology Repair Regen 1994;2:165-170.
and physiology of wound healing. Clin Plast 41. LaVan FB, Hunt TK. Oxygen and wound
Surg 2012;39:85-97. healing. Clin Plast Surg 1990;17:463-472.

51
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

42. Cuzzell JZ, Stotts NA. Wound care. Trial &


error yields to knowledge. Am J Nurs
1990;90:53-60, 63.
43. Franz MG, Steed DL, Robson MC.
Optimizing healing of the acute wound by
minimizing complications. Curr Probl Surg
2007;44:691-763.
44. Sherman RA. A new dressing design for use
with maggot therapy. Plast Reconstr Surg
1997;100:451-456.
45. Greenhalgh DG. Wound healing and diabetes
mellitus. Clin Plast Surg 2003;30:37-45.
46. Nagori B, Renu S. Role of medicinal plants
in wound healing. Res J Med Plant
2011;5(4):392-405.
47. Thomson PD. Immunology, microbiology,
and the recalcitrant wound. Ostomy Wound
Manage 2000;46:77S-82S; quiz 83S-84S.
48. Pierce GF. Inflammation in nonhealing
diabetic wounds: the space-time continuum
does matter. Am J Pathol 2001;159:399-403.
49. Della Loggia R, Tubaro A, Sosa S, Becker H,
Saar S, Isaac O. The role of triterpenoids in
the topical anti-inflammatory activity of
Calendula officinalis flowers. Planta Med
1994;60:516-520.
50. Rijswik L, Harding K, Bacilious N. Issues
and clinical implications Ostomy Wound
Manage 2000;46:11.
51. Faoagali J. Use of antiseptics in managing
difficult wounds. Primary Intent
1999;7:156–160.
52. Sriwanthana B, P. C, Chompuk L. Effect of
Clinacanthus nutans on human cell-
mediated immune response in vitro. Thai J
Pharm Sci 1996;20:261-267.
53. Yeoh S. The influence of iron and free
radicals on chronic leg ulceration. . Primary
Intent 2000;8:47–55.
54. Politis C, Schoenaers J, Jacobs R, Agbaje JO.
Wound Healing Problems in the Mouth.
Front Physiol 2016;7:507.

52
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

Endokarditis Bakterialis pada Anak : Suatu Tinjauan Untuk Dokter Gigi


(Studi Pustaka)

Sri Ratna Laksmiastuti


Staf Pengajar Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT
Background : Bacterial endocarditis is one of cardiac disorders which is closely related to dentistry.
Infective endocarditis is a serious infection associated with significant morbidity and mortality. It
remains a serious issue in early age. Approximately 10% of the cases are with children below the age
of 10. Tooth extraction, surgery, gingival trauma, scalling, or focal infection on other regions in
children with predelection factor will induce the risk of bacterial endocarditis. The risk of systemic
complication can occur in suscebtible patient. For the susceptible patient, the risk includes serious
sistemic complications. Purpose: A dentist should know the dental management of pediatric dental
patient with cardiac disorders risk. Reviews: Bacterial endocarditis is an bacterial infection
characterized by inflamation or infection of the inner surface of heart (endocardium). Infective
endocarditis is an uncommon but potentially life-threatening infection of the inner heart that is
presumed to be associated with dental procedure that compromise mucosal integrity and lead to
transient bacteremia. Conclusion : A dentist should be capable to identify the patient with the history
of heart disease, to take the history of illness properly, to perform clinical examination, to
communicate with other colleagues, to establish the diagnosis, and perform treatment plan.

Keywords : bacterial endocarditis, children, dentist

PENDAHULUAN IE per tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi


Bakteremia sering kali merupakan bagian pada pria, dengan rasio pria dan wanita adalah 2 :
dari kehidupan kita sehari-hari. Pada tubuh kita, 1. Selain itu, IE tetap menjadi masalah serius
bakteri hidup secara normal di kulit, rongga pada usia dini. Sekitar 10% dari semua kasus IE
mulut, saluran pencernaan, dimana dapat masuk terjadi pada anak-anak di bawah usia 10.4,5
ke pembuluh darah melalui luka pada kulit. Menurut American Heart Association, infeksi
Bakteri dapat pula masuk ke pembuluh darah endokarditis merupakan keadaan yang tidak
pada saat kita melakukan aktifitas sehari-hari lazim, tetapi angka kejadiannya tidak jarang.
seperti menggosok gigi dan mengunyah. Rongga Penyakit ini terjadi pada 10.000-20.000
mulut secara umum merupakan tempat penduduk Amerika setiap tahunnya.1,6,7
akumulasi bakteri. Oral hygiene yang baik dapat Pada manajemen pasien, perlu dilakukan
menurunkan risiko terjadinya bakteremia yang prosedur pencegahan yang tepat, misalnya
dapat menyebabkan terjadinya endokarditis.1 penderita telah diberi terapi anti mikroba, dan
Endokarditis bakterialis merupakan salah pada penderita yang susceptible, penyakit ini
satu jenis kelainan pada jantung yang erat dapat menyebabkan komplikasi serius seperti
kaitannya dengan bidang kedokteran gigi. Infeksi stroke, operasi jantung terbuka, bahkan
endokarditis (IE) adalah salah satu infeksi paling kematian.1,8
serius pada manusia dan merupakan penyakit Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka
yang mengancam jiwa. IE adalah infeksi seorang dokter gigi perlu memiliki pengetahuan
mikroba pada endokardium (lapisan dalam otot yang cukup tentang penyakit ini pada anak,
jantung), dan biasanya melibatkan katup jantung. terutama dalam kaitannya dengan perawatan di
Secara umum, terjadinya endokarditis bakterialis bidang kedokteran gigi. Pengetahuan yang
adalah sekitar 0,5 % dari seluruh penyakit diperlukan meliputi identifikasi penderita,
jantung pada anak.2-4 Di negara berkembang, anamnesis yang adekuat, penegakkan diagnosis
kejadian pada anak-anak bervariasi antara 0,8- dan rencana perawatan, serta berkonsultasi
3,3 / 1000 di rumah sakit umum, dan 20-56 / dengan sejawat ahli.
1000 pada pusat jantung. Di negara maju,
menunjukkan bahwa terjadi sekitar 1500 kasus

53
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

TINJAUAN PUSTAKA Streptococcus viridans merupakan jumlah


Definisi dan etiologi terbanyak pada kelompok streptococcus, dan
Penyakit jantung dibagi menjadi 2 tipe merupakan bakteri komensal utama di rongga
secara umum, yaitu : kongenital / bawaan dan mulut.
acquired/ didapat. Penyakit Jantung Bawaan Actinobacillus actinomycetemcomitans
(PJB) terdiri dari PJB Acyanotic dan PJB dilaporkan juga merupakan salah satu agen
Cyanotic. Penyakit jantung yang didapat adalah penyebab. Sedangkan porphyromonas gingivalis,
demam rematik dan infeksi endokarditis (IE).9 yang merupakan agen penyebab utama
Endokarditis bakterialis adalah infeksi periodontitis pada orang dewasa, tidak
kuman yang menyerang katub jantung , ditemukan pada biakan darah pasien endokarditis
endokardium dan epitel pembuluh darah yang bakterialis.11
disebabkan oleh kuman dan beberapa penyakit. 2,5
Infeksi endokarditis merupakan infeksi mikroba Patogenesis
yang menyerang permukaan endotelium dari Endocarditis bacterialis merupakan akibat
jantung atau katub jantung yang pada umumnya dari interaksi yang kompleks dari beberapa
terjadi pada pasien dengan kelainan jantung faktor seperti endotelium, bakteri dan respon
bawaan ataupun acquired. Infeksi endokarditis imun dari host.3 Infeksi endokarditis terjadi bila
terjadi pada lapisan jantung yang lebih dalam bakteri di pembuluh darah memasuki katup
(endokardium) atau katub jantung. Infeksi ini jantung yang tidak normal atau jaringan jantung
dapat menyebabkan kerusakan pada katub yang lain. Beberapa tindakan pada prosedur
jantung. Endokarditis bakterialis ditandai dengan perawatan gigi dapat menyebabkan bakterimia.
inflamasi dan infeksi pada permukaan jantung Bakteri memasuki pembuluh darah selama
yang lebih dalam (endokardium)1,3 Infeksi ini prosedur perawatan gigi, menuju jantung dan
dapat menyerang semua golongan usia (bayi, dapat tinggal di katup jantung yang mengalami
anak, maupun dewasa), baik yang menderita kelainan. Bakteri berkembang dan menyebabkan
congenital heart desease maupun pasien tanpa terjadinya infeksi yang menjalar ke otak, paru,
kelainan jantung.1,3,10 ginjal atau pun limpa.14 Tindakan medis yang
Jamur, chlamydia, rickettsia, dan lain-lain invasif dapat juga menyebabkan bakteremia bila
dapat pula menyebabkan endokarditis ini. Tetapi luka terjadi pada daerah yang umum ditinggali
penyebab paling umum dari endokarditis adalah oleh bakteri normal.1
bakteri, dan didiagnosis sebagai endokarditis Tiga komponen utama harus berinteraksi
bakterialis.11 untuk menghasilkan IE: 1) lesi jantung yang
Kuman penyebab yang sering ditemukan mendasari dan kerusakan endokardial, 2)
pada biakan darah dengan frekuensi tinggi adalah keadaan yang mengarah ke lesi signifikan
Streptococcus viridans (50-60%), Streptococcus mukosa, yang rentan terhadap bakteremia, dan 3)
anhemolyticus (5-10%), Staphylococcus aureus volume inokulum mikroba dan virulensi dari
(10-20%), serta jamur (10%). Pada suatu agen bakteri.15
penelitian yang dilakukan pada sebelas kultur Menurut American Heart Asssociation
darah penderita yang positif terdiagnosis (AHA), secara umum bakteri masuk ke tubuh
endokarditis, Streptococcus viridians didapatkan setelah tindakan di bidang kedokteran gigi,
sebanyak empat kasus, dan Staphylococcus tonsilektomi atau adenoidectomy, pemasangan
aureus tiga kasus.12 rigid bronchoscope, pembedahan pada saluran
Bakterimia transien umumnya terjadi nafas, saluran pencernaan, saluran kencing,
setelah trauma pada mukosa karena dental gallbladder, dan prostat.6
procedures. Streptococus adalah etiologi utama
infeksi endokarditis. Sekitar 40% dari kasus Pencegahan dan Penatalaksanaan di Bidang
endokarditis menunjukan kultur positif adanya Kedokteran Gigi
Streptococcus yang berasal dari rongga mulut . Pedoman tentang pencegahan endokarditis
Maka dari itu, banyak ahli berpendapat bahwa bakterialis pada anak di bidang kedokteran gigi
penyebab utama infeksi endokarditis adalah selalu berkembang, diperbarui dan
prosedur perawatan gigi.13 disederhanakan dengan perhatian utama pada
Seperti telah tersebut di atas, diantara pasien yang mempunyai resiko besar terhadap
variasi jenis-jenis bakteri , penyebab utama penyakit dan kematian akibat penyakit ini.
endokarditis adalah streptococcus viridans, yang Dewasa ini profilaksis lebih fokus
merupakan penyebab dari sub akut endokarditis. direkomendasikan pada pasien dengan

54
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

prosthetic heart valve, pasien dengan riwayat Tabel 1. Profilaksis endocarditis untuk prosedur
infeksi endokarditis, pasien dengan penyakit dental.9,23,24
jantung bawaan, dan pasien paska transplantasi Profilaksis Profilaksis tidak
jantung.16 American Heart Association direkomendasikan direkomedasikan
merekomendasikan pemberian profilaksis Ekstraksi gigi Injeksi rutin anestesi
Tindakan Periodontal pada jaringan yang tidak
antiobiotik untuk mencegah terjadinya
(pembedahan, skeling, terinfeksi
endokarditis bakterialis. Tetapi masih terdapat root planing, probing Tindakan radiografi
keraguan tentang pemberian antibiotika dan recal maintenance) dental
profilaksis pada pasien anak dengan oral hygiene Pemasangan implan dan Pemasangan atau
yang baik.17 reimplatasi gigi yang pelapasan piranti
Profilaksis berupa terapi antibakterial avulsi. ortodontik atau
direkomendasikan pada tindakan perawatan yang Instrumentasi prostodontik
diperkirakan terjadi bakterimia yang melibatkan Endodontik atau bedah Aktivasi piranti
organisme penyebab bakterialis endokarditis. pada daerah apeks ortodontik
Tindakan tersebut salah satu contohnya adalah Pemasangan Sheeding of primary teeth
Subgingival antibiotics Pemasangan rubber dams
ekstraksi gigi. Ampisilin telah direkomendasikan
fibers or strips Pemasangan rubber dams
sebagai obat profilaksis bakterialis endokarditis Pemasangan awal Post operative suture
untuk anak yang menjalani perawatan di rongga orthodontic bands removal
mulut, dan saluran nafas. Pada pasien dengan Intraligamentary local Taking oral impressions
alergi penisilin obat dapat diganti dengan anesthetic infections Aplikasi fluoride
cephalosporin, clindamycin, azithrocyn atau Prophylactic cleaning
clarithromycin.18 of teeth or implants,
Pemberian resep antibiotika dapat where bleeding is
dilakukan oleh dokter gigi, dokter spesialis anak, anticipated
ataupun dokter spesialis jantung.19 Secara Insisi dan drainase atau
prosedur lain yang
umum, perawatan di bidang kedokteran gigi
melibatkan jaringan
yang beresiko terjadinya endokarditis bakterialis yang terinfeksi
adalah ekstraksi gigi, tindakan periodontal
(scaling, root planning, probing, dan perawatan),
dental implant, reimplant gigi avulsi, perawatan American Heart Association
endodontik, subgingival placement of antibiotic menyampaikan rekomendasi tentang penggunaan
fibers or strips, pemasangan band orthodontic, antibiotic pencegahan infeksi endocarditis
anestesi intraligamen, prophylactis cleaning of bakterialis untuk meminimalkan risiko
teeth or implant, dan perawatan bidang resistensi pada obat. Rekomendasi tercantum
kedokteran gigi yang lain dimana terdapat pada tabel 2.1
kemungkinan terjadi perdarahan.20-21 Kebiasaan Anak-anak yang sebelumnya telah
menjaga oral hygiene yang baik pada anak, mengkonsumsi antibiotik jangka panjang, harus
merupakan tahap penting dalam pencegahan diberi resep obat alternatif sesuai protokol untuk
bakterialis endokarditis. Pemeriksaan rutin ke menghindari perkembangan organisme oral yang
dokter gigi sangat diperlukan. Pemeliharaan oral resisten. Obat kumur antiseptik oral pra operasi,
hygiene yang baik dan tepat sangat penting, seperti chlorhexidine gluconate 0,2%,
termasuk di dalamnya menyikat gigi dan direkomendasikan untuk mengurangi bakteri
flossing.6 mulut. Teknik manajemen perilaku pada anak,
Tindakan di bidang kedokteran gigi yang dalam hal ini bermanfaat. Analgesia nitrous
dapat menyebabkan terjadinya bakteremia oxide-oxygen sedasi sadar telah terbukti
transien, dan perlu atau tidaknya profilaksis bermanfaat dalam mengurangi kecemasan pada
endocarditis, dituliskan pada tabel 1. pasien anak. Jika sedasi sadar digunakan, tanda
vital dan saturasi oksigen selama prosedur harus
dimonitor secara hati-hati, dan peralatan
resusitasi kardio-pulmoner harus siap pakai.9,25,26

55
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

Tabel 2. Rekomendasi prosedur pemberian obat.9,25 Diskusi


Regimen : Dosis tunggal 30-60 menit sebelum Sebagian besar kelainan jantung pada anak
tindakan adalah kongenital, dengan prevalensi 8 pada tiap
Situasi Obat Dewasa Anak 1000 kelahiran hidup. Bakterialis endokarditis
bersama dengan myocarditis selain dapat
Oral Amoxicillin 2g 50
menyebabkan kematian, juga menyebabkan
mg/k
g ketidakmampuan pada pasien.27 Bakterialis
Pasien tidak Ampicillin 2 g IM 50 endokarditis merupakan suatu infeksi yang
dapat or IV mg/k mengancam kehidupan seseorang, dengan
mengkonsum g IM tingkat kematian mencapai 30% walaupun telah
si obat lewat or IV diberi pengobatan antibiotika. Bahkan menurut
mulut American Heart Association tingkat kematian
Cefazoin/ceftria 1 g IM 50 yang diakibatkan penyakit ini mencapai 40%.
xone or IV mg/k Mikroorganisme penyebab, masuk ke aliran
g IM darah melalui beberapa pintu masuk, terutama
or IV permukaan mukosa. Gingiva dan ligamen
Pasien alergi Cephalexin 2g 50 periodontal merupakan salah satu titik penting
penicillin mg/k
pintu masuknya bakteri ke aliran darah. Bahkan
g
Clindamycin 600 mg 20 aktifitas menggosok gigi yang dilakukan rutin
mg/k setiap hari dapat pula menyebabkan
27
g bakteremia. Peningkatan insiden terjadinya
Azithromycin 500 mg 15 endokarditis bakterialis dipengaruhi oleh banyak
/clarithromycin mg/k faktor, yaitu peningkatan survival rate anak
g dengan congenital heart desease, peningkatan
Pasien alergi Cefazolin 1 g IM 50 penggunaan kateter central venous jangka
penicillin or IV mg/k panjang, peningkatan pemakaian bahan
dan tidak g IM prosthetic dan katup. Pasien anak yang tidak
dapat or IV mempunyai riwayat kelainan jantung, tetapi
mengkonsum
mempunyai resiko terkena endokarditis
si obat lewat
mulut bakterialis adalah anak-anak dengan defisiensi
Cefriaxzone 600 mg 20 sistem imun; seiring dengan meningkatnya
/clindamycin IM or mg survival rate pada anak-anak ini , peningkatan
IV IM or pemberian obat-obatan intravena, serta
IV peningkatan penggunaan jangka panjang alat
penunjang kehidupan pada bayi baru lahir
dengan sakit yang berat.28
Bakteremia transien (sementara) dapat
juga ditemukan pada anak yang normal,
Penilaian pra operasi menyeluruh terhadap misalnya pada pencabutan gigi, operasi, luka
obat reguler anak (termasuk antikoagulan, pada gingiva, scaling, atau infeksi fokal di
antiaritmia, dan antihipertensi) sangat penting tempat lain, bahkan menggosok gigi. Tetapi pada
untuk menghindari interaksi obat yang potensial anak normal hal tersebut hampir tidak pernah
selama pengobatan. Tidak ada kontraindikasi menyebabkan endokarditis bakterialis. Diduga,
untuk penggunaan vasokonstriktor dalam larutan permukaan endokardium yang tidak normal atau
anestesi lokal. Hindari penggunaan bedah pun katub yang cacat merupakan tempat
elektro, electric pulp test, dan pembersih predeleksi.29
ultrasonik pada anak-anak dengan pacu jantung. Bakteremia dapat terjadi akibat beberapa
Pulpotomi dan pulpektomi merupakan macam tindakan medis. Pencabutan gigi
kontraindikasi pada anak-anak ini karena merupakan tindakan medis dengan resiko
kemungkinan terjadi bakteremia kronis terjadinya bakteremia sebesar 40-100% dengan
berikutnya. Jika anestesi umum diindikasikan, organisme penyebab Streptococcus viridans. Bila
prosedur perawatan gigi harus dilakukan di dibandingkan dengan tindakan medis yang lain
rumah sakit, di mana tersedia perawatan suportif (endoskopi, kolonoskopi, barium enema, reseksi
yang memadai tersedia.9,26 trans uretra pada prostat, transechopageal
echocardiography) mempunyai resiko paling

56
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

tinggi terhadap kemungkinan terjadinya rt-encyclopedia/disease. Diakses tanggal 18


bakterialis endokarditis.30 Januari , 2019.
Pada penelitian yang dilakukan oleh 7. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, et al.
Sivam dkk, tentang prevalensi dan intensitas Current pediatric diagnosis & treatment. Ed.
bakteremia bila dihubungkan dengan perawatan Ke-15. International Edition. New York : Mc
orthodonsi, menunjukan pada hasil awal terdapat Graw Hill; 2001.h.519.
peningkatan yang signifikan terjadinya 8. Sivam R. Infective endocarditis prophylaxis
bakteremia pada saat pemasangan separator. in orthodontics : a literature review. Saudi
Sedangkan potensi perkembangan bakterialis Dent J. 2002(14); 93-8.
endokarditis sangat rendah, sehingga pemberian 9. Premkumar S. Manual of pediatric dentistry.
antibiotika profilaksis masih menjadi 1st ed. New Delhi : Jaypee Brothers Medical
pertimbangan.8 Pemakaian obat kumur Publishers; 2014: 570-5.
antiseptik seperti 0,2% chlorhexidine gluconate 10.Little JW, Falace DA, Miller CS ,Rhodus NL
perlu dilakukan sebelum perawatan. Resistensi .Dental management of the medically
pasien terhadap antibiotika perlu mendapat compromised patient. 7th ed. Missouri :
perhatian, terutama pada pasien yang baru saja Mosby Elsevier Company ; 2008. h. 18.
mendapat terapi antibiotika jangka panjang. 11.Ito HO. Infective endocarditis and dental
Perawatan pulpotomi kontra indikasi dilakukan procedures : evidence,pathogenesis, and
pada pasien dengan resiko bakterialis prevention. J of Med Investigation. 2006; 53.
endokarditis, sedangkan penggunaan 12.Zacherl S, Feyertag C, Mukhar US, Wimmer
vasokonstriksi tidak kontraindikasi pada pasien, M. Bacterial endocarditis in childhood.
sepanjang dilakukan aspirasi suntuk mencegah Microbiology Research. Available from
terjadinya injeksi intravena. Pemeliharaan oral http://www.microbugs.org/ . Diakses tanggal
hygiene yang baik, memegang peranan penting 14 Januaril, 2019
untuk menurunkan resiko terjadinya bakterialis 13.Roberts G, Davies R, Fulford M, Longman L.
endokarditis. Pendidikan berkelanjutan pada A dental care standard for patient at risk of
tenaga kesehatan termasuk dokter gigi penting infective endocarditis (IE). Available from
untuk dilakukan, sebagai panduan protokol http://www.rcseng.ac.uk/fds/publications-
terhadap pasien.31,32 clinical-guidelines. Diakses tanggal 15
Januari, 2019.
DAFTAR PUSTAKA 14.Infectious Endocarditis. U.S. National Library
1. Cabell CH, Abrutyn E, Karchmer AW. of Medicine. Available from
Bacterial endocarditis : the desease, http://www.nlm.nih.gov/medlineplus.html.
treatment, and prevention. Circulation. Diakses tanggal 16 Januari, 2019.
American Heart Association. 2003; 107: 185- 15.Di Filippo S. Prophylaxis of infective
7. endocarditis in patient with congenital heart
2. Casamassimo PS, Fields HW, McTigue DJ, disease in the context of recent modified
Nowak AJ. Pediatric dentistry through guidelines. Archives of Cardiovascular
adolescence. 5th ed. St. Louis-Missouri : Disease. Elsevier Masson; 2012: 454-460.
Elsevier Saunders; 2013.p.122-4. 16.Kim A, Keys T. Infective endocarditis
3. Seymour RA, Lowry J, Whitworth JM et al. prophylaxis before dental procedures : new
Infective endocarditis, dentistry and antibiotic guidelines spark controversy. Cleveland
prophylaxis : time for a rethink? British Dent Clinic J of Med. 2008 (75); 89-92.
J. 2000; 189 (11): 610-5. 17.Soxman JA. Subacute bacterial endocardiitis :
4. Rahayuningsih SE, Kuswiyanto RB, considerations for the pediatric patient. J am
Situmorang HE et al. Infective endocarditis Dent Assoc. 2000 (131) ; 668-9.
in a β-thalasemia major child. Cardiovasc J. 18.Capitano B, Quintiliani R, Nightingale CH,
2015; 7(2): 145-9. Nicolau DP. Antibacterials for peophylaxis
5. Marinov L, Shivachev P. Infective and treatment of bacterial endocarditis in
endocardiitis in children-clinical and outcome children. PubMed U.S National Library of
evolution. J of IMAB. 2009; 1: 13-5. Medicine. Available from
6. Heart disease bacterial endocarditis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ .
Cincinnati Children’s Hospital Medical Diakses tanggal 14 Januari, 2019.
Center. Available from 19.Heart condition in children-bacterial
http://www.cincinnatichildrens.org/health/hea endocarditis. University of Rochester Medical

57
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

Center. Available from 32.Marwah N. Textbook of pediatric dentistry.


http://www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/ 3rd ed. New Delhi; Jaypee Brothers Medical
content.cfm. Diakses tanggal 14 Januari, Pub; 2014.p.853.
2019.
20.American Heart Association Guidelines :
Bactaerial Endocarditis Prophylaxis. J Am
Coll Cardiol. 2008 (52); 676-685.
21.Abdallah H. What is bacterial endocarditis.
The Children’s Heart Institute. Available
from
http://childrensheartinstitute.org/educate/bact
endo/bactendo.htm. Diakses tanggal 16
Januari, 2019.
22.Silvestry FE, Glick M, Tarka EA, Herling IM.
Disease of the cardiovascular system. Dalam
Burket’s Oral Medicine Diagnosis &
Treatment. Martin S Greenberg, Michael
Glick (editor). Ed.Ke-10. Ontario : BC
Decker; 2003.h.363.
23.Casamassimo PS, Fields HW, McTigue DJ,
Nowak AJ. Pediatric dentistry through
adolescence. 5th ed. St. Louis-Missouri :
Elsevier Saunders; 2013.p.122-4.
24.Seymour RA, Lowry J, Whitworth JM et al.
Infective endocarditis, dentistry and antibiotic
prophylaxis : time for a rethink? British Dent
J. 2000; 189 (11): 610-5.
25.Weddell JA, Sanders BJ, Jones JE. Dental
problems of children with special health care
needs. In Dentistry for The Child and
Adolescent. Jeffrey A Dean (editor). 10th ed.
St Louis- Missouri : Elsevier; 2016.p.535-8.
26.Cameron AC, Widmer RP. Handbook of
pediatric dentistry. 3rd ed. Sydney : Mosby
Elsevier Company; 2008.p.
27.Koch G, Poulsen S. Pediatric dentistry a
clinical approach, Ed.Ke-2. United Kingdom :
Blackwell Publishing; 2009.h.319.
28.Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, et al.
Current pediatric diagnosis & treatment. Ed.
Ke-15. International Edition. New York : Mc
Graw Hill; 2001.h.519.
29.Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, et al.
Current pediatric diagnosis & treatment.
Ed.Ke-15. International Edition. New York :
Mc Graw Hill; 2001.h.519.
30.Wilson W, Taubert KA, Gewitz M et al.
Prevention of infective endocarditis.
Guidelines from American Heart Association.
Circulation. 2007; 116: 1736-1754.
31.Rushani D, Kaufman JS, Ittu RI et al.
Infective endocarditis in children with
congenital heart disease. Cumulative
incidence and predictors. J of American Heart
Association. Circulation. 2013;: 1412-9.

58
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

Infeksi pada Dental Implan Serta Perawatannya


(Studi Pustaka)

Trijani Suwandi
Staf Pengajar Bagian Periodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,

ABSTRACT
Background: Implant treatment has a high success rates and stability, but failure can occur,
an in fact it is hard to know the causes of such failure. Objective: This article reviews
infection in dental implants, risk factor for dental implant, classified according to the
treatment phase : infection prior to the implant, peri-surgical infection, severe post-syrgical
infection, peri-implant disease. Literatur review: Difficulties can arise in any area of
biological function, however implant dentistry has been fraught with compromises and
complication. Hence, it is mandatory for every clinician to know, how and why the failures
occur and how best we can prevent then in order to give the upcoming branch of dentistry a
new horizon. Conclusion: Early detection and treatment of early progressive bone loss
around dental implants by mechanical debridement, antimicrobial therapy and regenerative
therapy.

Keywords : dental implant infection, implant failure, risk factor, treatment

PENDAHULUAN tahun observasi dan 80% pada akhir masa 10


Dunia kedokteran gigi telah mengalami tahun untuk kriteria kesuksesan minimal.4
banyak perubahan selama seperempat abad Menurut The American Academy of
terakhir, khususnya kedokteran gigi implant. Periodontology 2000 kriteria kesuksesan adalah
Saat ini terjadi peningkatan jumlah pasien untuk tidak ada tanda persisten atau gejala sakit infeksi,
melakukan pemasangan implan dan dokter gigi neuropati, parestesia dan menganggu struktur
dihadapkan pada pilihan perawatan yang vital, tidak ada mobilitas implan, tidak ada
semakin komplek. Meskipun tingkat kesuksesan radiolusensi peri-implan kontinu, dapat terjadi
implan dilaporkan tinggi, akan tetapi banyak kehilangan tulang progresif (kurang dari 0,2 mm
kegagalan terjadi. Karenanya pengetahuan tiap tahun) setelah remodeling fisiologis selama
menyeluruh mengenai berbagai aspek penyebab 1 tahun berfungsi.5
kegagalan sangat diperlukan, baik dalam Tingkat kesuksesan kumulatif dental
pemilihan kasus, prosedur bedah dan prostetik implan telah dievaluasi dalam jangka pendek (<
yang ideal.1 5 tahun), menengah (5-10 tahun) dan jangka
Studi klinis longitudinal melaporkan panjang (>10 tahun), dan dipengaruhi oleh
tingkat kesuksesan 10 tahun adalah 81-85% faktor-faktor lokasi implan, posisi rahang, tipe
pada maksila dan 98-99% pada anterior implan, diameter implan, panjang implan,
mandibula2 akan tetapi Esposito dkk. melaporkan konstruksi prostetik, jumlah gigi yang
kegagalan implan berhubungan dengan faktor digantikan.1
biologis yang ditemukan pada 2812 sampel
implan dan ditemukan tingkat kegagalan 7,7% di TUNJAUAN PUSTAKA
atas periode 5 th.3 Faktor Resiko Dental Implan
Menurut Albrektsson dkk. kriteria Faktor resiko dental implan terbagi dalam
kesuksesan implan adalah implan secara klnis : faktor resiko terkait dokter gigi, implan dan
tidak goyang, pada radiografis tidak ditemukan host. Faktor resiko terkait dokter gigi meliputi
peri-implan radiolusensi, kehilangan tulang faktor sebelum, selama dan paska bedah. Faktor
vertikal kurang 0,2 mm setiap tahun setelah sebelum bedah seperti penggunaan radiografis
pemakaian satu tahun, tidak ada tanda persisten untuk evaluasi diagnostiK kualitas dan kuantitas
dan irreversible dan gejala sakit, infeksi, tulang termasuk periapikal, panoramik,
parestesia, tingkat kesuksesan 85% pada akhir 5 computed tomography dan magnetic resonance

59
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

imaging. Radiografi periapikal terdapat pada analisis 5 tahun melaporkan bahwa 35%
pembesaran 14% dan panoramik dengan dari keseluruhan implan gagal pada tipe tulang
pembesaran 25%. Hal ini dapat menyebabkan kelas IV dengan kortek yang tipis, kekuatan
kesalahan dalam perencanaan dan kinerja modular buruk, dan kepadatan trabecular
implan, sehingga perlu membuat metode khusus rendah. Osteoporosis sistemik merupakan faktor
untuk merekam pengukuran anatomi yang tepat.6 resiko yang menyebakan kegagalan
Pemanasan dari friksi peralatan dengan torsi osseointegrasi.11
yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan Efek samping dari radiasi berupa
implant bed. Sekitar 3,6% kegagalan implan osteoradionecrosis. Meskipun terapi radiasi
berhubungan dengan trauma bedah. Faktor lain bukan menjadi kontra indikasi absolut pada
adalah penempatan implan yang tidak ideal perawatan implan, tetapi Jacobsson dkk
sehingga menyebabkan pembebanan non-axial menunjukkan peningkatan hilangnya implan
selama mastikasi, peningkatan resiko dari pada waktu yang lama. Restorasi dental implant
fraktur implan dan fraktur tulang peri-implan yang optimal tetap dapat menyebabkab
biasa terjadi pada regio posterior pada pasien kehilangan tulang peri-implan, karena implan
dengan kepadatan tulang rendah.6 gigi tidak memiliki reseptor stress yang berada
Desain mahkota yang tidak tepat dalam ligamentum periodontal dan sistem
berkontribusi terhadap kegagalan. Cusp terlalu stomatognatik kurang peka dibandingkan gigi
tinggi dan alignment oklusal yang terlalu tinggi yang sehat. Beban diterima langsung oleh
dapat meningkatkan tekanan oklusal sampai pada jaringan keras implant karena implan tidak
tingkat yang tidak dapat diterima. Lebar terlindungi oleh ligamentum periodontal.12
mahkota, tinggi cusp, guidance dan alignment
oklusal dapat digunakan untuk mengontrol Klasifikasi Infeksi Peri-Implan
tekanan oklusal.7 Quirynen membagi dalam empat
Material dental implan dan karakteristik klasifikasi infeksi : 1). infeksi sebelum implan
permukaan serta relasi posisi implan 2). infeksi saat bedah, 3). infeksi paska bedah
berpengaruh terhadap keberhasilan implan. dan 4). penyakit peri-implan.13
Material implan ideal sebaiknya biokompatibel,
kekakuan yang tepat untuk fungsi prostetik, Klasifikasi 1 : infeksi sebelum implan
dapat beradaptasi dengan baik pada tulang dan Pada keadaan septik aktif sebaiknya
gingiva, resisten terhadap mikroba peri-implan. dikontraindikasikan untuk penempatan implant
Penggunaan material implan yang tidak karena kemungkinan terjadi septik emboli yang
biokompatibel menyebabkan kegagalan implant menyebabkan infeksi segera maupun lanjut
yang diinisiasi respon host yang merugikan.8 sesudah bedah (osteomyelitis, peri-implant
Coating permukaan implan dengan titanium abscess). Hal ini disebabkan adanya sisa-sisa
oxide (TiO2), ceramic coating atau diamond epitel yang membahayakan osseointegrasi.
coating. Umumnya material dental implan yang Daerah infeksi tersebut harus dilakukakan
digunakan biokompatibel seperti titanium, dekontaminasi secara sempurna supaya
14
titanium–aluminium-vanadium (Ti-6Al 4V), didapatkan daerah implant yang steril.
cobalt-chromium-molybdenum, dan jarang Perawatan dapat digunakan laser Er:Yag
menggunakan alloy.9 atau laser diode yang efektif dalam daerah
Insiden kegagalan karena posisi implan infeksi.15 Pasien dengan riwayat penyakit
diestimasi 10%. Kegagalan tersebut dapat periodontal dapat mengontaminasi implan dalam
dihindari dengan rencana perawatan yang tepat, mulut. Studi Ellegard menunjukkan bahwa
penggunaan surgical guide dan penguasaan pasien dengan riwayat penyakit periodontal
restoratif yang baik. Malposisi implan dengan kerusakan tulang yang besar dapat
menyebabkan masalah biomekanikal pada berhasil dilakukan perawatan implan dan dapat
sambungan screw atau pada implan itu sendiri mencapai osseointegrasi16, akan tetapi Karoussis
yang menyebabkan tekanan yang besar.10 menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan
Faktor host dibagi menjadi faktor resiko implan karena hilangnya gigi disebabkan oleh
lokal dan sistemik. Faktor resiko lokal terdiri dari periodontitis mempunyai rate survival rendah
kualitas dan kuantitas tulang, tulang iradiasi, dan komplikasi besar dibanding pasien
tekanan oklusal biomekanik. Pasien dengan kehilangan gigi karena penyebab yang lain.17
kuantitas dan kepadatan tulang rendah Hasil konsensus implantologi
mempunyai resiko kegagalan. Jaffin dan Berman menyimpulkan bahwa pasien dengan penyakit

60
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

periodontal mempunyai tingkat keberhasilan sebagian berasal dari bedah bone graft
implan rata-rata 91-92 % dan pasien tanpa dihubugkan dengan penempatan implan,
penyakit periodontal mempunyai tingkat berhubungan dengan reaksi immunologikal.22
keberhasilan 97%.18 Akan tetapi insidensi peri- Dalam melakukan regerenasi tulang
implantitis dan kerusakan tulang marginal sebaiknya mengikuti prinsip Gottlow Nyman dkk
meningkat secara signifikan pada pasien dengan antara lain persiapan daerah regenerasi dengan
penyakit periodontal. Subyek dengan resiko memelihara vaskularisasi graft dengan baik,
periodontits mempunyai kegagalan implan lebih sehingga didapatkan nutrisi yang cukup dan
tinggi.19 mencegah nekrosis awal, yang akan
Pertimbangan khusus perawatan implan memfasilitasi regenerasi dan proses
pada pasien penyakit periodontal antara lain : penyembuhan luka dan mencegah jaringan
Resorpsi progresif pada edentulous maksila sekitar kolaps bertujuan untuk mempertahankan
mempunyai hubungan langsung dengan ruangan untuk regenerasi. Guided Tissue
prognosis implan dan tinggi tulang yang tersisa. Regeneration diaplikasikan untuk mencegah
Gigi dengan prognosis buruk yang tidak infiltasi jaringan lunak ke dalam graft. Beberapa
mendapatkan perawatan teratur sebaiknya prinsip dasar penggunaan GTR yaitu : imobilitas
dilakukan ekstraksi dan memerlukan perawatan material graft, menjaga daerah bersih,
pendahuluan untuk mengatasi penyakit vascularisasi berjalan baik, aman dan
periodontal.20 biokompatibel.22

Klasifikasi 2 : infeksi saat bedah. Klasifikasi 4 : Infeksi Peri-implan


Bedah intraoral secara tradisional Infeksi peri-implan merupakan infeksi di
diklasifikasikan sebagai bedah yang bersih sekeliling implan, yang ditandai dengan
kontaminasi atau bedah kontaminasi, tergantung perdarahan saat probing.23 Penyakit periodontal
ketika intervensi dilakukan. Daerah bedah dapat dan peri-implan merupakan patologis multifaktor
terkontaminasi melalui banyak sebab dan bakteri dengan etiologi utama bakteri. Strain yang
dapat berpenetrasi pada lapangan kerja, akan berhubungan dengan onset dan perkembangan
tetapi vaskularisasi yang sempurna pada daerah penyakit periodontal juga diidentifikasi pada
kerja dan tidak adanya infeksi terdahulu dapat jaringan peri-implan yang disebut peri-
mencegah proses infeksi yang terjadi selama implanitis.24 Patogen uatama peri-implantitis
intervensi. Sumber kontaminasi bedah sebagian adalah bakteri Gram negatif anaerob, dengan
besar berasal dari instrument sendiri (udara, peningkatan persentasi dari motile rod, fusiformis
aspirasi, instrumen) dan adanya saliva pada dan spricochaeta, bacilli.25
daerah bedah dan berhubungan dengan muka dan Bakteri yang terbesar Prevotella
bibir.13 intermedia, Fusobacterium nucleatum,
Banyak tehnik yang digunakan untuk Porphyromonas gingivalis, Capnocytophaga dan
mencegah hal ini seperti mengurangi sekresi Campylobacter rectus. Bakteri yang jarang
saliva dengan atropine, double aspirasi untuk ditemukan Actinobacillus actinomycetem
mencegah kontaminasi saliva pada bedah, dan commitans pada peri-implantitis, yang lebih
penggunaan kumur klorheksidin untuk banyak berhubungan dengan penyakit
mengurangi jumlah bakteri dalam rongga periodontal. Adanya Pg mengindikasikan awal
mulut.21 Manifestasi klinik infeksi disebabkan peri-implantitis atau peri-implan mukositis.
dari kontaminasi peri-operatif biasanya dalam Adanya Pg, Aa atau Pi pada poket peri-implan
bentuk abses peri-implan, yang ditandai mengindikasikan resiko tinggi kemungkinan
radiolusensi peri apikal pada X-ray, yang sering hilangnya insersi selama fase lanjut dan pasien
menjadi fistula.13 dengan partial edentulous mempunyai resiko
infeksi lebih tinggi daripada pasien dengan
Klasifikasi 3 : Infeksi paska bedah complete edentulous.26
Komplikasi infeksi pada bedah implan
dapat terjadi karena virulensi bakteri dapat Jenis Penyakit Implan dan Perawatan
menyebabkan segala macam infeksi yang dapat A. Peri-implant Mucositis
mengancam jiwa. Infeksi oral dan maksilofasial Reaksi peradangan reversible pada
dapat ditemukan dan perawatan infeksi termasuk jaringan lunak di sekeliling implan saat
implant dan perawtan bedah yang tepat , serta berfungsi. Secara klinis ditandai dengan :
dilengkapi antibiotik. Salah satu proses infeksi adanya plak dan kalkulus, udem, kemerahan dan

61
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

hiperplasia gingiva, perdarahan saat probing, Perawatan


eksudat atau pembentukan pus (gingival mikro Perawatan peri-implan mucositis
abses). Secara radiografis tidak ditemukan Secara prinsip berfokus pada kontrol plak
resorpsi tulang.23,27 bakteri, meskipun perawatan bedah lain dapat
dilakukan untuk eliminasi hiperplasia sekeliling
B. Peri-implant osteitis (Peri-implantitis) jaringan lunak. Selanjutnya perawatan terdiri
Reaksi peradangan irreversible pada beberapa fase :1). Profesional peri-implan
jaringan lunak dan keras di sekeliling implan hygiene : eliminasi mekanik plak bakteri 54,
saat berfungsi, karena terjadi kehilangan tulang Irigasi poket dengan CHX 0,12%. 55,
natural. Jika tidak dirawat. pada fase inisial Pembuangan dan desinfeksi prosthesis,
menunjukkan gejala yang sama dengan peri- modifikasi design prosthesis unhygienic, kadang
implan mukositis, tapi pada tahap lanjut terjadi flap partial thickness dibentuk dengan irigasi
kehilangan tulang. Tanda yang paling sering : salin, diikuti aplikasi krem tetrasiklin, Perawatan
adanya plak bakteri dan kalkulus, edema, laser dengan 1,5-2 w diode pada kasus
kemerahan jaringan peripheral, hiperplasia refractory; 2). Personal peri-implan hygiene: plak
mukosa dengan berkurangnya keratin gingiva, kontrol kemis dengan CHX 0,12% tiap 12 jam;
poket yang dalam, perdarahan dan pembentukan 3). Antibiotik lokal dan sistemik; 4). Regular
pus setelah probing dan atau palpasi, kerusakan professional control.27
tulang vertikal berhubungan dengan poket peri-
implan, radiografis tampak resorpsi tulang, Perawatan Peri-implantitis
mobilitas implan, kadang-kadang terasa sakit.23 Persyaratan mendasar perawatan peri-
Kegoyangan implan secara kontinu dan implantitis yang sukses, dengan atau tanpa
radiolusensi peri-implan mengindikasikan protokol regenerasi tulang yaitu dekontaminasi
penyakit mencapai final, ditandai dengan permukaan implan dengan membuang bakteri
kehilangan total tulang. Pemeriksaan radiografis dan toksin. Perawatan peri-implantitis harus
sangat penting karena meskipun X-ray hanya didasarkan pada stabilisasi kerusakan tulang
menunjukkan tulang mesial dan distal progresif, dan kadang diperlukan perawatan
permukaan implant, defek tulang dengan bentuk regeneratif.
sirkular atau corong dapat menunjukkan Perawatan dibagi menjadi 2 fase. Fase 1 :
etiologi, perkembangan klinis dan prognosis. perawatan konservasi inisial dilakukan dengan
Defek horizontal berjalan lambat. cara metode manual-mekanikal untuk
Kecenderungan mempunya lebih favourable mengontrol plak bakteri (sama dengan
prognosis karena sering berhubungan dengan mucositis), metode kemis : CHX 0,12%, asam
resesi jaringan lunak. Sudut yang terbentuk sitrat, lokal aplikasi tetrasiklin, laser diode : 1 W
dengan permukaan implant lebih dari 60 derajad, untuk 20 detik.
sedangkan defek vertikal berkembang lebih Fase 2 merupakan perawatan regeneratif
cepat, karena poket dengan pertumbuhan epitel yang terdiri dari perawatan jaringan lunak dan
di dalam, dan infeksi purulent ketika kedalaman perawatan permukaan implan. Insisi crestal
poket lebih dari 5 mm. Sudut yang dibentuk bentuk scallop sekeliling leher impan untuk
dengan permukaan implant kurang dari 60 mengeliminasi jaringan granulasi dari poket,
derajad.27 kemudian flap mukoperiosteal dibuka untuk
Jovanovic dan Spiekermann’s klasifikasi mengeliminasi jaringan granulasi dari defek
peri-implantitis (1995) yaitu : Peri-implantitis tulang dengan kuret metal tanpa menyentuh
klas 1 : minimum kerusakan tulang horizontal implan. Irigasi dengan salin dingin untuk
dengan slight peri-implan bone loss, Peri- mencegah dehidrasi tulang. Selanjutnya
implantitis klas 2 : kerusakan tulang moderat dilakukan perawatan permukaan implan. Pertama
dengan kerusakan vertikal soliter, Peri- permukaan implan dekontaminasi dengan
implantitis klas 3 : kerusakan tulang horisontal aplikasi asam sitat, tetrasiklin, klorheksidin dan
moderat atau intense dengan extensive saline fisiologis. Pada daerah implan yang
circumferential bone lysis, Peri-implantitis klas 4 terekspos, dilakukan implantoplasti kemudian
: kerusakan tulang horizontal intense dengan permukaan dipoles yang akan memfasilitasi
extensive circumferential bone lysis dan pemeliharaan jaringan peri-implan yang sehat.
kehilangan tulang lingual atau dinding tulang Akhirnya, daerah bedah diirigasi dengan
vestibular.27 klorheksidin 0,12% dan salin fisiologis.28

62
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

Terapi Antibiotik pada penyakit peri-implan sistemik, dan pasien dengan faktor risiko infeksi
Pertanyaan klasik dari banyak penulis lokal diikuti bakteremia. Pada pasien group 1
mempertanyakan apakah penggunaan antibiotik tidak diperlukan catatan, akan tetapi mengikuti
diindikasikan untuk penyakit peri-implan.25 tipe penyakit yang termasuk dalam profil resiko
Bascones menyarankan penggunaan antibiotik seperti peradangan sendi : rheumatois arthritis,
untuk penyakit periodontal mempunyai banyak systemic lupus erythematous, immunosupresion
fungsi : mengurangi kebutuhan bedah, terhadap penyakit, obat, transplantasi dan
meningkatkan klinin pasien, meningkatkan radioterapi, Diabetes Mellitus tipe I, infeksi
kesuksesan graft. Study Gutierrez Perez dkk. endocarditis, malnutrisi.30
menyimpulkan bahwa strategi perawatan pada Profilaksis antibioik direkomendasikam
penyakit periodontal dan peri-implan sebaiknya untuk pasien resiko yang akan dilakukan
fokus pada penggunaan rasional terapi prosedur invasif resiko tinggi. Penggunaan
antimikrobial, dan menyatakan pentingnya profilaksis antibiotik tidak jelas pada
pemberian antibiotik sistemik pada poket peri- implantologi. Probabilitas infeksi di sekeliling
implan lebih dari 5 mm, karena antiseptik lokal implant secara fundamental tergantung dari
tidak dapat mencapai dasar poket.28 bagaimana traumatik dan berapa lama
Amoksisilin-asam clavulanic adalah pembedahan. Diyakini bahwa kehilangan
pilihan perawatan untuk penyakit peri-implan implant awal disebabkan karena kontaminasi
karena sensitivitas bakteri dan mempunyai selama pemasangan implant. Ada 2 situasi
resisten yang rendah . Clindamycin dan penggunaan antibiotik sebagai profilaksis : 1.
metronidasol juga diindikasikan, tetapi ketika pasien dengan faktor resiko sistemik
efektivitas lebih kecil melawan residual mayor dan 2. Jika bedah diperkirakan lama
streptococcus dan actinomyces.28 dan/atau traumatik30,31.

Terapi antibiotik sebagai profilaksis pada PEMBAHASAN


pemasangan implant Menurut Mantena skala penilaian kualitas
Satu dari banyak kontroversi dalam implan terbagi dalam 4 kriteria yaitu: 1. Implan
implantologi adalah penggunaan antibiotik sukses, 2. Satisfactory survival, 3. Compromised
secara preventif ketika dilakukan prosedur survival dan 4. implan failure. Kriteria 1 implan
pemasangan implan. Profilaksis antibiotik sukses ditandai dengan tidak ada rasa sakit, tidak
merupakan pemberian sebelum atau pada saat ada mobilitas, kedalaman poket 2 mm, sedikit
bedah untuk mencegah komplikasi lokal atau kehilangan tulang dan tidak ada riwayat eksudat.
sistemik. Tujuan pemberian tersebut untuk Kriteria 2 satisfactory survival ditandai dengan
mencegah terjadi\inya infeksi pada luka bedah tidak ada rasa sakit saat berfungsi, tidak ada
dengan mencapai konsentrasi antibiotik dalam mobilitas, kedalaman poket 2-4 mm, sedikit
darah yang akan mencegah proliferasi bakteria kehilangan tulang, tidak ada riwayat eksudat.
dan disseminasi.29 Kriteria 3 compromised survival ditandai dengan
Ada 2 faktor dasar pertimbangan terasa sakit pada keadaan berfungsi, tidak ada
pemberian profilaksis dalam odonto- mobilitas, kehilangan tulang > 4 mm, kedalaman
stomatology dan bedah mulut : prosedur invasif poket > 7 mm, ada riwayat eksudat. Kriteria 4
sebagai prosedur yang akan merusak membran implan failure ditandai sakit dalam keadaan
biologik yang akan meningkatkan diseminasi berfungsi, mobilitas, kehilangan tulang >1/2
bakteri pada tubuh. Perawatan invasif resiko panjang implant, eksudat tidak terkontrol, tidak
tinggi seperti : anestesi intraligamen, ekstraksi, bertahan lama dalam mulut.1
re-implan dental, biops, insisi drainase, Beban mekanikal yang besar pada implant
bonegraft, kuretase akar, bedah periodontal, menyebabkan peningkatan resorpsi tulang.
bedah penempatan implan, bedah mukogingiva, Osteosit meningkatkan kolagenase 1 (produksi
bedah endodontik dan apikoektomi, prosedur MMP-1 di bawah tekanan mekanik, yang
shaping tulang, bedah preprostetik, bedah menginisiasi resorpsi tulang . MMP-1
orthogranti, pengurangan fraktur maksila, bedah mendegradasi tulang tipe I dan III kolagen, yang
kelenjar saliva, bedah onkologi maksilofasial.29 merupakan struktur utama kolagen tulang.
Faktor lain adalah profil risiko pasien yang Tarytate-resistant acid phosphatase dan
merupakan parameter ke-2 dimana pasien cathepsin K meningkatkan osteoklas selama
diklasifikan dalam 3 group yaitu pasien sehat, mekanik yang menginduksi resorpsi tulang.32
pasien dengan faktor resiko infeksi lokal atau

63
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

Perawatan Peri-implantitis kelas 1 berupa 5. Iacono VJ. Committee on research, science


pengurangan kedalaman poket dengan bedah, and therapy, the American academy of
flap mukoperiosteal dan reposisi apical flap, periodontology. Dental Implants in
permukaan implan harus bersih dan periodontal therapy. J Periodontol
dekontaminasi. Perawatan Peri-implantitis kelas 2000;71(12):1934-1942.
2 sama dengan kelas 1, tapi reposisis lebih ke 6. Ericsson I, Nilner K. Early functional loading
apikal, meninggalkan lebih permukaan implant using Branemark dental implants. Int J
terbuka, dan memerlukan implantoplasti. Jika Periodontics Restorative Dent 2002;22(1):9-
terjadi resorpsi vertikal lokal 3 dinding atau 19.
lebih, defek tulang direstorasi dengan tehnik 7. O’Mahony A, Bowles Q, Woolsey G,
GTR. Pada kasus defek dengan satu atau 2 Robinson SJ, Spencer P. stress distribution in
dinding, diperlukan osteoplasty atau bone the single unit osseointegrated dental implant
leveling untuk reposisi jaringan lunak.27 finite element analysis of axial and off-axial
Perawatan Peri-implantitis kelas 3 dan 4 loading. Implant Dent 2009;9(3):207-218.
terjadi defek vertikal diperlukan tehnik GTR. 8. O’Sullivan D, Sennerby L, Meredith N.
Diperlukan perawatan kombinasi seperti : Measurements comparing the initial stability
Osteoplasty + implantoplasti + apikal reposisi of five designs of dental implants: a human
flap, Closed GTR + graft + reposisis koronal cadaver study. Clin Implant Dent Relat Res
flap, Semiopen atau ransgingival GTR + 2002;2(2):85-92.
implantoplasti + reposisi flap apikal.27 9. Lumbikaninda N, Sammons R. Bone cell
attachment to dental implant of different
KESIMPULAN surface characteristics. Int J Oral Maxillofac
Tingkat kesuksesan dan kestabilan dental Implants 2001;16(5):627-636.
implan meskipun cukup tinggi, tetapi kegagalan 10. Garber DA. The esthetic dental
implan tetap terjadi. Faktor etiologi kegagalan implant:letting restoration be the guide. J Am
implan awal disebabkan oleh trauma bedah Dent Assoc 1996;22(1):45-50.
disertai volume dan kualitas tulang yang tidak 11. Jaffin RA, Berman CL. The excessive loss of
baik, sedangkan etiologi kegagalan lanjut Branemark fixtures in type IV bone:a 5-year
disebabkan oleh trauma oklusal yang besar, analysis. J Periodontol 1991;62(1):2-4.
pembuatan restorasi yang tidak baik. 12. Jacobsson M, Tjellstrom A, Thom A, Klinge
Perawatan kerusakan tulang awal di B. sen P, Alberktsson T, Turesson I.
sekeliling implan dapat dilakukan dengan Integration of titanium implants in irradiated
mekanik debridemen, terapi antimikroba, dan bone. Histological and clinical study. Ann
terapi regenerasi yang merupakan kunci untuk Otol Rhinol Laryngol 1988;97:377-380.
menyelamatkan kegagalan awal implan. 13. Quirynen M, De Soete M, van Steenberg he
D. Infectious risk for oral implants : a review
DAFTAR PUSTAKA of literature. Clin Oral Imp. Res 2002;13:1-19
1. Mantena SR, Gotlumukkala SNVS, Sajjan S, 14. Misch C. Dental Implant Prosthetics. 2nd ed.
Rama Raju A, Rao B, Iyer M. Implant St. Louis: Mosby. 2014. Page 8-28.
Failures. Diagnosis and Management. Int J 15. Kreisler M. Kohnen W, Marinello C, Schoof
Clin Implant Des 2015; 1(2): 51-59 J, Langnau E, Jansen B, d’Hoedt B.
2. El Askary AS, Meffert RM, Griffin T. Why Antimicrobial efficacy of semiconductor laser
do dental implans fail? (part 1). Implant Dent irradiation on implant surfaces. Int J Oral
1999:8:265-77. Maxillofac Implants 2003;18(5): 706-11.
3. Esposito M, Hirsch JM, Lekholm U. 16. Ellegard B, Baelum V, Karring T. Implant
Thomsen P. Biological factors contributing of Therapy in Periodontally compromised
osseointegrated oral implants (1) Success patients. J Clin Oral Impl Res 1997:8:180-88.
Criteria and Epidemiology. Eur J Oral Sci 17. Karoussis IK, Salvi GE, Heitz-Mayfield LJ,
1998;106:527-51. Bragger U, Hammerle CH, Lang NP. Long-
4. Alberktsson T, Zarb G, Worthington P, term implant prognosis inpatients with and
Eriksson AR. The long-term efficacy of without a history of chronic periodontitis: a
currently used dental implants: a review and 10-year prospective cohort study of the ITI
proposed criteria of success. Int J oral Dental Implant. Clin Oral Implants Res
Maxillofac Implants 1986;1(1):11-25 2003;14(3):329-39.

64
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

18. Neukam FW, Flemmig TF. Local and element study. Clin Oral Implant Res
systemic conditions potentially compromising 2002;13(3):327-33.
osseointegration. Consesnsus report of 30. Esposito M, Coutlthard P, Oliver R, Thomas
working group 3. Clin Oral Implants Res P, Worthington HV. Antibiotics to prevent
2006;17 Suppl 2:160-2. complications following dental implant
19. Hard CR, Grondahl K, Lekholm U, treatment. Cochrane Database Sys Rev
wennstrom JL. Outcome of implant therapy in 2003;3:4152.
relation to experience loss of periodontal bone 31. Espsito M, Hirsch JM, Lekholm U, Thomsen
support: a retrospective 5-year study. Clin P. Biological factors contributing to failure of
Oral Implants Res 2002;13(5):488-94 osseointegrated oral implants (1). Success
criteria and epidemiology. Eur J Oral Sci
20. Sheldon W, Harold FM, Shigeru O. Implant 1998;106:527-51.
Survival to 36 months as related to length and 32. Redlich M, Reichenberg E, Harari D, Zaks B,
diameter.Annals of Periodontology Shoshan S, Palmon A. The effect of
2000;5:22-31. mechanical force on mRNA levels of
21. Haanaes HR. Implants and infections with collagenase, collagen type I, and tissue
special reference to oral bacteria. J od Clin inhibition of metalloproteinases in gingivae of
Periodontol 1990;17:516-24. dogs. J dent Res 2001;80(12):2080-84.
22. Gottlow J, Nyman S, Lindhe J, Karring R,
wennstrom J. New attachment formation in
the human periodontium by guided tissue
regeneration. J Clin Periodontol 1986;13:604-
16.
23. Mombelli A, Muhle T, Bragger U, Lang NP,
Burgin WP. Comparison of periodontal and
peri-implan probing by depth-force pattern
analysis. Clin Oral Implant Res 1997;
8(6):448-454.
24. Leonhardt A, Renvert S, Dahlen G. Microbial
findings at failing implants. Clin Oral Implant
Res 1999;10(5):339-45.
25. Bascones MA, Aquirre Urizar JM, Bermenjo
FA.Consensus statement on antimicrobial
treatment of odontogenic bacterial infections.
Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2004;9:363-
76.
26. Slot J, Bragd L, Wikstrom M, Dahlen GI.
The occurrence of Actinobacillus
actinomyceemcomitans, Bacteroides
gingivalis and Bacteroides intermedius in
destructive periodontal disease in adults. J
Clin Periodontol 1986;13(6):570-7.
27. Jovanovic SA. Diagnosis and treatment of
peri-implant disease. Curr Opin Periodontol
1994;2:194-204.
28. Guiterrez JL, Bagan JV, Bascones A, Liamas
R, Liena J, Morales A, Noguerol B, Planelis
P, Prieto J. Salmeron JL. Consensus
document on the use of antibiotic prophylaxis
in dental surgery and procedures. Med Oral
Patol Oral Cir Bucal 2006;11(2):188-205.
29. Van Oosterwyk H, Duyck J, Vander Sloten J,
van der Perre G, Naert I. Peri-implan bone
tissue strains in cases of dehiscence: a finite

65
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

Prevalensi Premature Loss Gigi Molar Kedua Sulung Dan Gambaran Maloklusi
Kajian pada Pasien ortodonti RSGM Universitas Trisakti tahun 2013– 2016
(Laporan Penelitian)

Yuniar Zen1, Krisnadya Dewa Yanti2


1
Staf Pengajar Bagian Ortodonti FKG Usakti
2
Mahasiswa Program Profesi Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT

Background: The premature loss of the primary second molar can cause first permanent molar mesial
drifting and result in loss of space for second premolar to erupt. Space loss can reduce arch length
required for succeeding tooth, tooth rotation, arch asymmetry and hence predisposes of malocclusion.
Objective: To provide the description of deciduous second molar premature loss in the classification
of Angle malocclusion. Method: Descriptive observational study using medical record and study
model on orthodontic patient at RSGM Trisakti University FKG year 2013 - 2016 with premature loss
of deciduous second molars as etiology. Result: Prevalence rates of premature loss of second
deciduous second molar in patients with age range between 7 - 10 years are 13% . The rates of
children age 7 years (16%), age 8 years (31%), age 9 years (32%), and age 10 years (21%). By
gender: female 56.5% and male 43.5%. Premature loss tooth 75 is 52%, 85 is 39%, 55 is 6% and 65 is
3%. The most common deciduous second molars premature loss is in the mandible (92%) then in both
(mandible and maxillary) (5%) and in the maxillary (3%). Premature loss of tooth 55 causes class I
malocclusions (75%) and class II malocclusions (25%). Premature loss of tooth 65 and 85 only causes
class I malocclusion and premature loss of 75 causes class I malocclusion (97%) and class III
malocclusions (3%).Conclusions: The prevalence of deciduous second molar premature loss is 13%,
and molar relationships most commonly found are class I.

Key Words: Premature loss, deciduous second molars, malocclusion

PENDAHULUAN tergantung pada jenis gigi yang hilang dan pada


Maloklusi adalah suatu penyimpangan dari usia berapa gigi tersebut hilang.7 Premature loss
oklusi ideal yang tidak dapat diterima secara gigi molar kedua sulung berkontribusi besar pada
estetik ataupun fungsional.1 Maloklusi dapat perkembangan gigi berjejal di bagian posterior
menyebabkan gangguan estetis wajah, gangguan lengkung dental.8 Premature loss gigi molar
bicara, gangguan sendi temporomandibular, kedua sulung menyebabkan gigi molar pertama
terjadinya karies dan penyakit periodontal.2,3, sulung bergeser ke arah mesial (mesial drifting),
Prevalensi maloklusi di Indonesia masih sangat hilangnya ruang untuk erupsi gigi premolar
tinggi, laporan hasil Riset Kesehatan Dasar kedua, pengurangan ruang Leeway, kontak
(Riskesdas) Nasional tahun 2013 menyatakan prematur dan gangguan oklusal, serta gigitan
bahwa prevalensi maloklusi di Indonesia sekitar silang posterior.9
80% dari jumlah penduduk, dan merupakan salah Mesial drifting gigi molar permanen
satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang pertama dapat menyebabkan maloklusi karena
cukup besar.4 Terjadinya maloklusi dapat pada klasifikasi maloklusi Angle hubungan
dipengaruhi oleh beberapa faktor etiologi, salah molar pertama merupakan kunci oklusi. Ada tiga
satu satunya adalah premature loss.5 kelas dalam klasifikasi angle yaitu kelas I, II, dan
Premature loss merupakan keadaan gigi III. Dasar dari klasifikasi Angle adalah hubungan
sulung yang hilang atau tanggal sebelum gigi molar pertama permanen, yaitu tonjol
penggantinya mendekati erupsi yang disebabkan mesiobukal (mesiobuccal cusp) gigi molar
karena karies, trauma dan kondisi sistemik.6 pertama rahang atas berada pada bukal groove
Premature loss dapat menyebabkan maloklusi gigi molar pertama rahang bawah.10

66
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

Penelitian yang dilakukan di Medan tahun bercampur. Kriteria eksklusi adalah rekam medik
2015 menyatakan bahwa 32,5% pasien dengan data tidak lengkap dan model studi rusak
mengalami premature loss molar sulung,11 selain atau patah.
itu penelitian yang dilakukan oleh Hanindira Definisi operasional variabel premature
tahun 2016 di RSGM FKG Universitas Trisakti loss adalah gigi molar kedua sulung yang hilang
menunjukan prevalensi premature loss sebesar lebih dari enam bulan sebelum waktu erupsi gigi
18,5% dengan presentase premature loss gigi permanen penggantinya pada rahang atas atau
insisivus kedua sulung 30%, gigi insisivus rahang bawah. Pemeriksaan dilakukan dengan
pertama sulung 21,25%, gigi molar kedua sulung melihat rekam medik pasien kemudian
25%, gigi molar pertama sulung 12,50%, dan mencocokkan dengan melihat foto panoramik
gigi kaninus sulung 11,25%.12 dengan keadaan gigi molar kedua sulung hilang
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di dan benih gigi premolar kedua masih berada di
atas, menunjukan bahwa prevalensi premature dalam tulang. Usia kronologis pasien yang
loss gigi molar kedua sulung cukup tinggi. Gigi dijadikan sampel adalah usia erupsi gigi yang
molar kedua sulung sangat berpengaruh pada dilihat berdasarkan tanggal, bulan, dan tahun
perkembangan oklusi gigi karena hubungan kelahiran dimulai sejak awal kelahiran hingga
molar pertama permanen rahang atas dan rahang pasien berkunjung ke RSGM FKG Universitas
bawah bergantung pada hubungan distal gigi Trisakti untuk mendapatkan perawatan.
molar kedua sulung rahang atas dan rahang
bawah (flush terminal plane).10 HASIL
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan Setelah dilakukan seleksi sesuai dengan
untuk mengetahui lebih jauh tentang prevalensi kriteria inklusi dan eksklusi terhadap 480 rekam
premature loss molar kedua sulung dan medik, didapatkan sebanyak 62 rekam medik
gambaran hubungan molar menurut klasifikasi yang memiliki etiologi premature loss gigi molar
Angle sehingga bisa mendapatkan diagnosis dan kedua sulung dan 418 rekam medik lainnya
rencana perawatan yang tepat. Serta dapat memiliki etiologi selain premature loss gigi
memberikan manfaat guna meningkatkan molar kedua sulung, yaitu seperti presistensi gigi
pelayanan kesehatan gigi dan mulut serta sulung, kebiasaan buruk atau premature loss
memberi informasi kepada dokter gigi dan dengan jenis gigi lain selain molar kedua sulung,
masyarakat agar dapat meningkatkan sehingga didapatkan prevalensi premature loss
pengetahuan serta perhatian orang tua terhadap gigi molar kedua sulung pada pasien ortodonti di
kesehatan gigi dan mulut terutama tentang RSGM FKG Universitas Trisakti sebesar 13%
pencegahan terjadinya premature loss gigi molar (Gambar 1).
kedua sulung.

METODE PENELITIAN Premature loss


Jenis penelitian ini merupakan penelitian 13% gigi molar kedua
observasional deskriptif menggunakan sulung
rancangan penelitian cross sectional. Penelitian Bukan Premature
dilakukan di Bagian Ortodonti RSGM FKG 87% loss gigi molar
kedua sulung
Universitas Trisakti pada bulan Oktober –
November 2017.
Sampel pada penelitian ini adalah rekam Gambar 1. Presentase premature loss gigi molar
medik dan model studi pasien ortodonti RSGM kedua sulung pada pasien ortodonti RSGM Trisakti
FKG Universitas Trisakti periode tahun 2013 – tahun 2013 - 2016
2016. Dengan perkiraan prevalensi premature
loss sebesar 18,5% dan presisi penelitian sebesar
10%, maka besar sampel yang dibutuhkan adalah Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebanyak 57.13 terdapat 62 pasien ortodonti di RSGM FKG
Kriteria inklusi adalah rekam medik dan Universitas Trisakti pada tahun 2013 hingga
model studi pasien ortodonti RSGM FKG 2016 yang memiliki etiologi premature loss gigi
Universitas Trisakti tahun 2013 –2016 dengan molar kedua sulung. Pada tahun 2013 ada 11
etiologi premature loss gigi molar kedua sulung, pasien (2,29%), tahun 2014 ada 24 pasien
model studi lengkap rahang atas dan rahang (5,09%), tahun 2015 22 pasien (4,58) dan pada
bawah, dan model studi pasien pada periode gigi tahun 2016 5 pasien (1,04%) (tabel 1).

67
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

Tabel 1. Distribusi premature lossgigi molar kedua premature loss, kehilangan gigi terbanyak adalah
sulung pasien ortodonti RSGM FKG Universitas kehilangan gigi 75 yaitu sebanyak 34 gigi (52%),
Trisakti berdasarkan tahun. kemudian gigi 85 sebanyak 26 gigi (39%), lalu
Tahun Frekuensi Presentase (%) gigi 55 sebanyak 4 gigi (6%) dan yang paling
2013 11 2.29% sedikit mengalami premature loss adalah gigi 65
2014 24 5.09% yaitu sebanyak 2 gigi (3%) (Tabel 3).
2015 22 4.58%
2016 5 1.04% Tabel 3. Distribusi frekuensi premature loss gigi
Total 62 13% molar kedua sulung berdasarkan jenis gigi yang
hilang

Premature Frekuensi Presentase


Hasil penelitian menunjukkan bahwa loss kehilangan gigi (%)
pasien ortodonti di RSGM FKG Universitas Gigi 55 4 6%
Trisakti pada tahun 2013 hingga 2016 yang Gigi 65 2 3%
memiliki etiologi premature loss gigi molar Gigi 75 34 52%
kedua sulung memiliki hubungan molar kelas I Gigi 85 26 39%
sebesar 97%, hubungan molar kelas II sebesar Total 66 100%
1,5% dan hubungan molar kelas III sebesar 1,5%
(Gambar 2).
Berdasarkan letak kehilangan gigi, dari 66
gigi molar kedua sulung yang mengalami
1.5%
1.5% premature loss, kehilangan gigi terbanyak adalah
kelas I kehilangan gigi pada rahang bawah yaitu
Kelas II sebanyak 92%, pada kedua sisi lengkung rahang
yaitu pada rahang atas dan rahang bawah sebesar
97% kelas III
5% dan pada rahang atas sebanyak 3%. (Gambar
3)

Gambar 2. Distribusi hubungan molar menurut 92%


klasifikasi Angle

Distribusi premature loss berdasarkan


jenis kelamin menunjukkan bahwa dari 62 rekam
medik yang didapat, pasien yang mengalami
3% 5%
premature loss gigi molar kedua sulung dengan
jenis kelamin laki – laki adalah sebanyak 27 anak
(43,5%) dan pasien yang mengalami premature Gambar 3. Presentase premature loss gigi molar
loss gigi molar kedua sulung dengan jenis kedua sulung pasien ortodonti RSGM FKG
kelamin perempuan sebanyak 35 anak (56,5%) Universitas Trisakti berdasarkan letak gigi yang
hilang
(Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi premature lossgigi molar kedua


sulung pasien ortodonti RSGM FKG Universitas Dilihat dari rentang usia antara usia 7 – 10
Trisakti berdasarkan jenis kelamin. tahun pada pasien ortodonti di RSGM Fakultas
Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%) Kedokteran Gigi Universitas Trisakti yang
memiliki etiologi premature loss gigi molar
Laki – laki 27 43,5% kedua sulung, didapatkan sebanyak 10 anak
(16%) mengalami premature loss gigi molar
Perempuan 35 56,5% kedua sulung di usia 7 tahun. Sebanyak 19 anak
Total 62 100% (31%) mengalami premature loss gigi molar
kedua sulung pada usia 8 tahun, yang mengalami
premature loss gigi molar kedua sulung di usia 9
Berdasarkan jenis kehilangan gigi, dari 66 tahun sebanyak 20 anak (32%) dan yang
gigi molar kedua sulung yang mengalami mengalami premature loss gigi molar kedua

68
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

sulung pada usia 10 tahun sebanyak 13 anak 150%


(21%). Pada penelitian ini usia 9 tahun 100%
merupakan usia paling banyak ditemukan 100%
premature loss gigi molar kedua sulung, dan
50%
usia 7 tahun merupakan usia paling sedikit yang
0% 0%
ditemukan premature loss gigi molar kedua 0%
sulung (Gambar 4). kelas I kelas II kelas III

Gambar 6. Distribusi premature loss gigi 65


berdasarkan hubungan molar menurut klasifikasi
40% Angel
32%
31%
30%
21%
20% 16% Premature loss gigi 75 menyebabkan
maloklusi kelas I dan kelas III dengan hubungan
10% molar kelas I sebesar 97% dan hubungan molar
0%
kelas III sebanyak 3%. Pada premature loss gigi
7 tahun 8 tahun 9 tahun 10 tahun 75 tidak menyebabkan maloklusi kelas II
(Gambar 7).
Gambar 4. Distribusi premature loss gigi molar kedua
sulung pasien ortodonti RSGM FKG Universitas
Trisakti berdasarkan rentang usia
150%
97%
100%
Premature loss gigi molar kedua sulung
dapat menyebabkan maloklusi kelas I, maloklusi 50%
kelas II maupun maloklusi kelas III. Premature 0% 3%
loss gigi 55 menyebabkan maloklusi kelas I dan 0%
maloklusi kelas II dengan hubungan molar kelas kelas I Kelas II Kelas III
I sebesar 75% dan hubungan molar kelas II
sebesar 25%. Pada premature loss gigi 55 tidak Gambar 7. Distribusi premature loss gigi 75
menyebabkan maloklusi kelas III (Gambar 5). berdasarkan hubungan molar menurut klasifikasi
Angel.

80% 75%
Premature loss gigi 85 hanya
60% menyebabkan maloklusi kelas I (100%) tidak
menyebabkan maloklusi kelas II dan maloklusi
40% kelas III (Gambar 8).
25%
20%
0%
0%
kelas I kelas II kelas III

Gambar 5. Distribusi premature loss gigi 55


berdasarkan hubungan molar menurut klasifikasi
Angel

Premature loss gigi 65 hanya


menyebabkan maloklusi kelas I (100%) dan tidak Gambar 8. Distribusi premature loss gigi 75
menyebabkan maloklusi kelas II maupun berdasarkan hubungan molar menurut klasifikasi
Angel.
maloklusi kelas III (Gambar 6).

69
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

PEMBAHASAN yang dilakukan oleh RSGM FKG Universitas


Premature loss gigi molar kedua sulung Trisakti cukup berhasil.
dapat menyebabkan perubahan lengkung karena Pasien ortodonti di RSGM FKG
terjadi pergerseran ke arah mesial (mesial Universitas Trisakti pada tahun 2013 hingga
drifting) dari gigi molar permanen pertama 2016 yang memiliki etiologi premature loss gigi
sehingga dapat menghambat erupsi dari premolar molar kedua sulung dengan hubungan molar
kedua, yang berakibat impaksi atau kelas I Angle sebesar 97%, hubungan molar
menghasilkan posisi gigi yang abnormal.15,16 kelas II Angle sebesar 1,5% dan hubungan molar
Oleh karena itu premature loss molar kedua kelas III Angle sebesar 1,5%, hal ini sesuai
sulung sebagai etiologi dari maloklusi ini penting dengan hasil penelitian mengenai maloklusi dan
untuk diketahui guna penentuan rencana premature loss gigi sulung yang dilakukan oleh
perawatan ortodonti.17 Informasi dasar mengenai Saloom di Baghdad yang menunjukkan bahwa
prevalensi premature loss gigi sulung dibutuhkan premature loss gigi molar pertama dan molar
agar dapat mengurangi tingkat maloklusi dengan kedua sulung dapat mengakibatkan maloklusi
perawatan gigi yang sistematis dan terorganisir.18 Angle kelas I, kelas II dan kelas III.18 Hasil
Penelitian mengenai premature loss sudah penelitian ini juga sesuai dengan penelitian
banyak dilakukan di berbagai negara, dengan Aslam dkk yang menyatakan bahwa maloklusi
hasil yang beragam.16,17 Berdasarkan hasil Angle yang paling banyak adalah maloklusi
penelitian yang telah dilakukan pada 62 rekam Angle kelas I.19
medik di bagian ortodonti RSGM FKG Berdasarkan jenis kelamin, distribusi
Universitas Trisakti, menunjukan bahwa pasien ortodonti RSGM Fakultas Kedokteran
prevalensi premature loss gigi molar kedua Gigi Universitas Trisakti yang mengalami
sulung pada pasien ortodonti sebesar 13%. Hasil premature loss molar kedua sulung pada
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian penelitian ini lebih banyak dialami oleh pasien
yang dilakukan di kota Medan menunjukkan perempuan yaitu sebanyak 35 anak (56,5%) dan
prevalensi premature loss gigi molar kedua pasien yang mengalami premature loss gigi
sulung lebih besar yaitu 32,5%,11 berbeda juga molar kedua sulung dengan jenis kelamin laki –
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh laki sebanyak 27 anak (43,5%). Hal ini sesuai
Hanindira tahun 2016 di RSGM FKG dengan penelitian Hanindira yang menyatakan
Universitas Trisakti yang menunjukan presentase bahwa pasien yang banyak berkunjung ke bagian
premature loss gigi molar kedua sulung sebesar ortodonti di RSGM Fakultas Kedokteran Gigi
25%.12 Apabila dibandingkan dengan hasil Universitas Trisakti adalah pasien perempuan12.
penelitian di Medan dan hasil penelitian Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Hanindira, hasil penelitian saat ini lebih rendah, berdasarkan letak kehilangan gigi, dari 66 gigi
hal ini bisa dikarenakan jumlah sampel yang molar kedua sulung yang mengalami premature
digunakan berbeda atau juga bisa disebabkan loss, kehilangan gigi terbanyak adalah
karena tingkat kesadaran pasien dan orang tua kehilangan gigi 75 yaitu sebanyak 34 gigi (52%),
pasien tentang kebersihan gigi dan mulut serta kemudian gigi 85 sebanyak 26 gigi (39%), lalu
penyuluhan atau promosi preventif yang gigi 55 sebanyak 4 gigi (6%)dan yang paling
dilakukan oleh RSGM FKG Universitas Trisakti sedikit mengalami premature loss adalah gigi 65
meningkat. yaitu sebanyak 2 gigi (3%). Hasil penelitian ini
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadi sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
peningkatan pada pasien yang mengalami oleh Cavalcanti dkk yang menyatakan bahwa
premature loss gigi molar kedua sulung di premature loss gigi molar kedua sulung paling
bagian ortodonti RSGM Universitas Trisakti dari banyak adalah premature loss gigi 75.20
tahun 2013 ketahun 2014 sebesar 2,8% dari 11 Premature loss gigi molar kedua sulung
pasien menjadi 24 pasien. Namun dari tahun berbahaya bagi pertumbuhan gigi permanen
2014 ke tahun 2015 terjadi penurunan sebesar karena gigi molar kedua sulung merupakan
0,51% dan penurunan semangkin meningkat dari panduan posisi gigi molar permanen pertama
tahun 2015 ke tahun 2016 yaitu sebesar 3,54%. yang menjadi kunci oklusi.10 Premature loss gigi
Hal ini berarti setiap tahunnya dari tahun 2014 molar kedua sulung dapat disebabkan oleh
sampai tahun 2016 pasien yang mengalami beberapa hal seperti karies atau ekstraksi gigi.
premature loss gigi molar kedua sulung semakin Premature loss gigi molar paling banyak
berkurang. Hal ini bisa disebabkan karena dental disebabkan oleh karies.6,21 Gigi yang rusak akibat
health education (DHE) atau promosi preventif karies yang besar dan tidak dapat dilakukan

70
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

perawatan akan menjadi sumber infeksi jika menunjukkan bahwa premature loss gigi molar
tidak dilakukan ekstraksi, hal ini juga merupakan kedua sulung dapat terjadi pada rahang bawah,
salah satu penyebab dari premature loss. Anak – rahang atas maupun pada kedua lengkung rahang
anak biasanya menyukai makanan yang manis, yaitu rahang atas dan rahang bawah.
tingginya kandungan gula dalam minuman dan Premature loss gigi molar kedua sulung
makanan yang manis dapat dikaitkan dengan dapat menyebabkan maloklusi kelas I, kelas II
karies gigi. Oleh karena itu peran orang tua maupun kelas III, gambar 13 menunjukan bahwa
sangat penting untuk menanamkan perilaku yang premature loss gigi 55 menyebabkan maloklusi
sehat pada anak-anak mereka sejak usia dini.22 kelas I dan kelas II dengan hubungan molar kelas
Berdasarkan letak gigi yang hilang, I sebesar 75% dan kelas II sebesar 25%. Dari 66
premature loss terbanyak adalah premature loss sampel yang didapat, yang mengalami premature
gigi molar kedua sulung pada rahang bawah loss gigi 55 adalah sebanyak 4 gigi. 3 gigi
(92%) kemudian premature loss gigi molar diantaranya termasuk ke dalam klasifikasi kelas I
kedua sulung pada kedua lengkung rahang yaitu karena apabila dilihat dari model studi, terlihat
rahang atas dan rahang bawah (5%) dan paling tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas
sedikit terjadi pada rahang atas (3%). Hasil berkontak dengan bukal groove molar pertama
penelitian ini sejalan dengan pernyataan pada rahang bawah dan 1 gigi lainnya termasuk
hasil penelitian Ahamed dkk., yang menyatakan klasifikasi kelas II karena bila dilihat dari model
bahwa premature loss terbanyak dialami pada studi terlihat tonjol distobukal gigi molar
rahang bawah,23 namun ada perbedaannya yaitu pertama rahang atas berkontak dengan bukal
setelah premature loss yang terbanyak pada groove molar pertama permanen rahang bawah.
rahang bawah adalah pada rahang atas dan yang Premature loss gigi 65 hanya
paling sedikit adalah pada kedua lengkung menyebabkan maloklusi kelas I. Hal ini
rahang yaitu rahang atas dan rahang bawah.23 disebabkan karena dari 66 sampel yang didapat
Hasil penelitian ini ada perbedaan dengan hasil hanya 2 gigi yang mengalami premature loss
penelitian Ahamed dkk kemungkinan gigi 65 dan bila dilihat dari model studi terlihat
dikarenakan jumlah sampel yang digunakan tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas
berbeda sehingga ada perbedaan pada jumlah berkontak dengan bukal groove molar pertama
kehilangan gigi yang premature loss. rahang bawah. Namun premature loss gigi 75
Prevalensi premature loss gigi molar menyebabkan maloklusi kelas I dan kelas III
kedua sulung pada pasien ortodonti RSGM FKG dengan hubungan molar kelas I sebesar 97% dan
Universitas Trisakti dilihat berdasarkan rentang hubungan molar kelas III sebanyak 3%. Dari 66
usia adalah terbesar di usia 9 tahun yaitu sampel pada penelitian ini, yang mengalami
sebanyak 20 anak (32%), usia 8 tahun sebanyak premature loss gigi 75 adalah sebanyak 34 gigi.
19 anak (31%), usia 10 tahun sebanyak 13 anak Dari 34 gigi tersebut, 33 gigi termasuk dalam
(21%) dan usia 7 tahun merupakan usia paling klasifikasi kelas I karena dilihat dari model studi
sedikit yang ditemukan premature lossgigi molar terlihat tonjol mesiobukal molar pertama rahang
kedua sulung yaitu sebanyak 10 anak (16%). atas berkontak dengan bukal groove molar
Hasil ini berbeda dengan penelitian penelitian pertama rahang bawah dan 1 gigi lainnya bila
Hanindira yang menyatakan bahwa premature dilihat dari model studi terlihat tonjol mesiobukal
loss paling sering terjadi pada usia 8 tahun,12 molar pertama rahang atas berada lebih distal
tetapi penelitian ini sejalan dengan penelitian dari bukal groove molar pertama rahang bawah.
Cavalcanti dkk yang menyatakan bahwa Premature loss gigi 85 hanya
premature loss paling sering terjadi pada usia 9 menyebabkan maloklusi kelas I. Hal ini
tahun.20 disebabkan karena dari 66 sampel yang didapat,
Terdapat 23 gigi molar kedua sulung yang gigi yang mengalami premature loss gigi 85
mengalami premature loss dari total 20 anak usia sebanyak 26 gigi dan bila dilihat dari model studi
9 tahun pada pasien ortodonti di RSGM Fakultas gigi tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas
Kedokteran Gigi Universitas Trisakti. berkontak dengan bukal groove molar pertama
Kehilangan gigi terbanyak adalah kehilangan rahang bawah.
gigi 75 yaitu sebanyak 10 gigi (43,5%) kemudian
gigi 85 yaitu sebanyak 8 gigi (34,8%) lalu KESIMPULAN
kehilangan gigi 55 sebanyak 4 gigi (17,4%) dan Berdasarkan penelitian yang telah
yang paling sedikit adalah kehilangan gigi 65 dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan
yaitu sebanyak 1 gigi (4,3%). Hasil ini yaitu: prevalensi premature loss gigi molar

71
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

kedua sulung pada pasien ortodonti di RSGM 10. Kusnoto J, Fajar HN, dan Haryanto AG.
Universitas Trisakti sebesar 13%. Premature loss Buku Ajar Orthodonti jilid 1. Jakarta: EGC.
gigi molar kedua sulung paling banyak dialami 2016; 92 – 212.
oleh pasien berjenis kelamin perempuan. Usia 9 11. Harahap S. Prevalensi Premature loss Gigi
tahun merupakan usia paling banyak Molar Desidui pada Pasien Ortodonsia di
ditemukannya premature loss gigi molar kedua RSGMP FKG USU Tahun 2010-2014.
sulung yaitu sebesar 32%. Kehilangan gigi Available from:
terbanyak yaitu kehilangan gigi 75 sebesar 52%, http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/
dan hubungan molar yang paling sering 55974. 2015
ditemukan adalah hubungan molar kelas I 12. Hanindira M. Prevalensi Maloklusi Dengan
sebesar 97%. Etiologi Premature loss Gigi Sulung Pada
Pasien Ortodonti Di Rsgm Fkg Universitas
DAFTAR PUSTAKA Trisakti ( Periode Tahun 2013 – 2015 ). 2017;
1. Millet, Declan dan Richard W. Orthodontics 23 - 26.
and Paediatric Dentistry. Sydney: Chruchill 13. Dahlan MS. Evidence Based Medicine Seri 3:
Livingstone; 2000: 5. Langkah – Langkah Membuat Proposal
2. Rakosi T, Jonas I, dan Graber TM. Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan.
Orthodontic Diagnotstic Color Atlas of Edisi II. Jakarta: CV Sagung Seto; 2016; 80.
Dental Medicine. Ratheitschak HK. Wolf HF. 14. Bhalajhi SI. Orthodontics The Art and
Editor. Thieme Medical Publisher Inc. 1993; Science. 3rd edition. New Delhi: Arya (Medi)
35 – 87. Publishing House. Oktober 2003; 91 – 95.
3. Profit WR, Fields HW dan Sarver DM. 15. Song K, Nam O, Kim M, Lee H, Choi S.
Contemporary Orthodontics. 5th Edition. Management of Premature loss of Primary
Canada. Elsevier. 2013; 3. Molars with Flexible Denture. J Korean Acad
4. Samad R. dan Gazali S., Hubungan Pediatr Dent. 2016. 43(2); 187 – 191.
Kebiasaan Mendorong Lidah, Menghisap Ibu 16. Herawati H, Novita S, dan Rainisa DU.
Jari dan Premature loss Terhadap Jenis Hubungan Premature loss Gigi Sulung
Maloklusi Murid SD di Kota Makassar. Dengan Kejadian Maloklusi Di Sekolah
Available from: Dasar Negeri Kota Cimahi. Journal of
http://repository.unhas.ac.id/handle/12345678 Medicine and Health. Augustus 2015. 1(2):
9/20202. 2016. 156 – 169.
5. Graber TM, Vanarsdall RL dan Vig KWL. 17. Murshid SA, Al-Labani MA,Aldhorae
Orthodontics Current Principle and KA,Rodis OM. Prevalence of prematurely
Teqniques. 5th Edition. USA: Elsevier. 2012; lost primary teeth in 5-10 year-old children in
15 Thamar City, Yemen : A cross-sectional
6. McDonald RE,Avery DR, Dean JA. Dentisry study. J Int Soc Preven Communit Dent 2016
for the child and adolescent.9th ed. St Louis : ; 6, Suppl S2: 126-30
Mosby: 2011. 150-3,220,518,559-63 18. Saloom HF. Early Loss of Deciduous Teeth
7. Alexander SA, Askari M, Lewis P. The and Occlusion. Iraqi Orthod J. 2005;1(2):36–
premature loss of primary first molars: Space 39.
loss to molar occlusal relationships and facial 19. Aslam K, Nadim R, Rizwan S. Prevalence of
patterns. Angle Orthod. 2015;85(2):218–223. angles malocclusion according to age groups
8. Al-Shahrani N, Al-Amri A, Hegazi F, Al- and gender. Pakistan Oral Dent J.
Rowis K, Al-Madani A, Hassan KS. The 2014;34(2):362-365.
prevalence of premature loss of primary teeth 20. Cavalcanti, A.L., Alencar, C.R.B.D., Bezerra,
and its impact on malocclusion in the Eastern P. and Granville-Garcia AF. Pediatric
Province of Saudi Arabia. Acta Odontol dentistry prevalence of early loss of primary
Scand. 2015;73(7):544–549. molars in school children in Campina Grande,
9. Pokorná H, Marek I, Kucera J, Hanzelka T. Brazil. Pakistan Oral Dent J. 2008;28(1):113.
Space Reduction After Premature loss of A 21. Law CS. Management Of Premature Primary
Deciduous Second Molar – Retrospective Tooth Loss in the Child Patient. CDA J.
Study. IOSR Journal of Dental and Medical 2013;41(8):612–618.
Sciences (IOSR-JDMS). November 2016. 22. López-Gómez SA, Villalobos-Rodelo JJ,
15(11); 1 – 8. Ávila-Burgos L. Relationship between
premature loss of primary teeth with oral

72
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

hygiene, consumption of soft drinks, dental


care, and previous caries experience. Sci Rep.
2016
23. Ahamed SS, Krishnakumar R, Sugumaran D,
Reddy V, Mohan M, Rao A. Prevalence of
early loss of primary teeth in 5-10-year-old
school children in Chidambaram town.
Contemp Clin Dent. 2012;3(1):27-30.

73
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1

gram) atau foto. Hasil yang telah dijelaskan


Tata Cara Penulisan dengan tabel atau ilustrasi tidak perlu diuraikan
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu panjang-lebar dalam teks. Garis-garis vertikal
dibuat seminimal mungkin, agar memudahkan
Aturan umum: penglihatan. Perhatikan:
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu hanya 1. Persamaan Matematis dikemukakan dengan
menerima naskah asli yang belum pernah dipub- jelas. Jika simbol matematis tidak ada pada
likasikan di dalam maupun di luar negeri. word proccesor dapat ditulis menggunakan
Naskah dapat di tulis dalam bahasa Indonesia atau pensil/pena dengan hati-hati. Kalau perlu beri
bahasa Inggris dengan gaya bahasa efektif dan keterangan simbol dengan tulisan tangan (pen-
akademis. sil tipis).
2. Angka desimal ditandai dengan koma untuk
Sistematika penulisan artikel: bahasa Indonesia dan titik untuk bahasa
Judul, Inggris.
Hendaknya menggambarkan isi pokok tulisan 3. Tabel, ilustrasi atau foto diberi nomor dan di-
secara ringkas dan jelas, ditulis dalam bahasa acu berurutan dengan teks, judul ditulis dengan
Indonesia dan bahasa Inggris. Judul terdiri dari singkat dan jelas. Keterangan diletakkan pada
maksimal 15 kata. Nama Penulis, ditulis nama catatan kaki, tidak boleh pada judul. Semua
penulis tanpa gelar, disertai instansi tempat penu- singkatan atau kependekan harap dijelaskan
lis bekerja. pada catatan kaki.
Pembahasan, menerangkan hasil penelitian,
Abstract bagaimana hasil penelitian yang dilaporkan dapat
Ditulis dalam bahasa Inggris, tidak lebih dari memecahkan masalah, perbedaan dan persamaan
250 kata, font Times New Roman dengan ukuran dengan penelitian terdahulu serta kemungkinan
font 12 dan spasi 1, merupakan intisari seluruh pengembangannya. Kesimpulan dan saran dile-
tulisan dan ditulis terstruktur sebagai berikut: takkan pada bagian akhir pembahasan yang
Laporan Penelitian: Pendahuluan, tujuan, merupakan paragraf penutup.
metode, hasil dan kesimpulan Ucapan terima kasih, dapat ditujukan pada semua
Laporan Kasus: Pendahuluan, tujuan, kasus dan pihak yang membantu bila memang ada dan harus
penatalaksanaan kasus, dan kesimpulan diterangkan sejelas mungkin. Diletakkan pada
Tinjauan Pustaka: Pendahuluan, tujuan, tinjauan akhir naskah, sebelum daftar pustaka.
pustaka, dan kesimpulan Daftar Pustaka, disusun menurut sistem Vancou-
Keywords, diletakkan di bawah abstrak 3-5 kata ver. Setiap nama pengarang diberi nomor urut
kunci. Correspondence, Alamat korespondensi sesuai dengan urutan pemunculannya dalam
yang berisi nama lengkap contact person, afili- naskah, dan mencantumkan (a) untuk buku: na-
asi/nama institusi, alamat pos lengkap dengan ma-nama penulis, editor (bila ada), judul lengkap
kode pos, dan alamat email. buku, kota penerbit, tahun penerbitan, volume,
edisi dan nomor halaman. (b) untuk terbitan
Petunjuk penulisan LAPORAN PENELITIAN berkala: nama-nama penulis, judul tulisan, judul
Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, terbitan (disingkat sesuai dengan Index Medicus),
rumusan masalah serta tujuan penelitian dan tahun penerbitan, volume dan nomor halaman. (c)
manfaat untuk waktu yang akan datang. Bahan acuan dari internet harus ditulis nama penyusun,
dan Metode, berisi penjelasan tentang ba- nama website/ blog, alamat website dan tanggal
han-bahan dan alat-alat yang digunakan, waktu, akses internet. Pustaka yang diacu diusahakan
tempat, teknik, dan rancangan percobaan. Metode merupakan terbitan/produksi 10 (sepuluh) tahun
harus dijelaskan selengkap mungkin agar peneliti terakhir, kecuali memang merupakan hal yang
lain dapat melakukan uji coba ulang. Acuan (ref- langka.
erensi) diberikan pada metode yang kurang
dikenal. Hasil, dikemukakan dengan jelas bila
perlu dengan tabel, ilustrasi (gambar, grafik, dia-
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1

Petunjuk penulisan LAPORAN KASUS Informasi penting lain


Pendahuluan, meliputi latar belakang kasus, Naskah yang dikirim diketik dalam CD dengan
permasalahan, kekhususan atau kelangkaan kasus, program MS Word, disertai cetakan pada kertas
tujuan laporan kasus dan manfaat untuk waktu HVS ukuran A4 (210 x 297 mm) maksimal 12
yang akan datang. Kasus, identifikasi pasien, an- halaman. Ukuran font 12 dengan jenis Times New
amnesa, keluhan utama, pemeriksaan ekstra oral, Roman, dengan spasi 1,5. Print out naskah dis-
intra oral, hasil pemeriksaan penunjang seperti erahkan rangkap 2 (Dua).
foto profil wajah, hasil rontgen foto dental atau
panoramik, hasil laboratorium dan diagnosa..
Tatalaksana Kasus, rencana terapi, penatalaksa-
naan kasus disertai foto, monitoring, evaluasi Alamat pengiriman naskah:
klinis dan atau laboratoris, dan hasil perawatan
Drg. Enrita Dian R SpKGA
berikut penjelasannya. Pembahasan, men-
erangkan telaah teori dari hasil perawatan kasus FKG USAKTI Bagian IKGA Lt. 5
yang dilaporkan, bagaimana hasil perawatan kasus Jl. Kyai Tapa Grogol Kampus B FKG USAKTI
tersebut dapat memecahkan masalah, perbedaan Email: j.ilmiahkedokterangigiterpadu@gmail.com
dan persamaan dengan kasus-kasus terdahulu ser-
ta kemungkinan aplikasinya. Kesimpulan dan sa-
ran diletakkan pada bagian akhir pembahasan
yang merupakan paragraf penutup. Daftar
pustaka. Sama dengan di atas.

Perhatian:
Petunjuk penulisan TINJAUAN PUSTAKA Naskah yang telah diterima beserta semua ilustrasi
Pendahuluan, meliputi latar belakang topik, per- yang menyertainya menjadi milik sah penerbit,
masalahan, kekhususan topik, tujuan tinjauan serta tidak dibenarkan untuk diterbitkan dimana-
pustaka dan manfaat untuk waktu yang akan da- pun, baik secara keseluruhan atau sebagian, dalam
tang. Tinjauan pustaka, telaah teori dari berbagai bentuk cetakan maupun elektronika tanpa ijin ter-
sumber acuan mutakhir. Pembahasan. men- tulis dari penerbit. Semua data, pendapat, atau
erangkan pemikiran penulis dari hasil telaah pernyataan yang terdapat pada naskah adalah
pustaka, bagaimana hasil tsb dapat memecahkan merupakan tanggung jawab penulis. Penerbit dan
masalah, perkembangan dan aplikasinya. Sim- dewan redaksi tidak bertanggung jawab atau tidak
pulan dan saran diletakkan pada bagian akhir bersedia menerima kesulitan maupun masalah
pembahasan yang merupakan paragraf penutup. apapun sehubungan dengan konsekuensi dari
Daftar pustaka. Acuan yang digunakan untuk ketidak akuratan, kesalahan data, pendapat, mau-
artikel tinjauan pustaka usahakan minimal 25 pun, pernyataan tersebut.
(tiga puluh lima) buah, yang disusun menurut sis-
tem Vancouver. Tata cara sama dengan di atas.

Anda mungkin juga menyukai