Penasehat :
Prof.Dr.Tri Erri Astoeti A., drg., MKes (Dekan FKG USAKTI)
Penanggung Jawab:
Dr. Wita Anggraini, MBiomed., drg., PAK., SpPerio
Pemimpin Redaksi:
Enrita Dian Rahmadini, drg.Sp.KGA
Dewan Redaksi:
Caroline D. Marpaung, drg.Sp.Pros
Tri Putriany Agustin, drg.Sp.KGA
Arianne Dwimega, drg. Sp.KGA
Armelia Sari, drg..MBiomed
Goalbertus, drg.,MM
Mitra Bestari:
Prof.Dr. Boedi Oetomo R., drg., M.Biomed (Usakti)
Prof. Dr.Melanie H.Sadono,drg., M.Biomed (Usakti)
Prof.Dr. Bambang S.Trenggono, drg.,MBiomed (Usakti)
Prof. Dr. Lies ZubardiahM. Qosim, drg., Sp.Perio (Usakti)
Prof.Dr.F.Loes Djimahit S, drg., M.Kes (Usakti)
Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg., M.Kes (Usakti)
Prof.Dr. E.Arlia Budiyanti,drg., SU (Usakti)
Prof.Dr. Suzan Elias, drg., Sp.Prost (Usakti)
Prof.Dr.S.S. Winanto, drg., Sp.KG (Usakti)
Prof. Anton Margo, drg., Sp.Pros (Usakti)
Prof. Janti Sudiono, drg., MDSc (Usakti)
Alamat Redaksi:
Bagian Kesehatan Gigi Anak
Fakultas Kedokteran Gigi-Universitas Trisakti
Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta 11440 Indonesia
Telepon: 021-5672731 ext. 1604
Email: j.ilmiahkedokterangigiterpadu@gmail.com
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
pertolongannya Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu dapat terbit di awal tahun 2019. Berkala
Jurnal ilmiah ini akan terbit setahun dua kali yaitu pada bulan Januari dan Juli. Di dalam volume
ini kami menyajikan artikel-artikel yang beragam dari berbagai bidang ilmu, yang meliputi:
Biologi Oral, Ilmu Anatomi, Mikrobiologi, Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, Radiologi, Ilmu Bedah
Mulut, Ilmu Penyakit Mulut, Ortodonsia, Periodonsia, Prostodonsia dan Ilmu Konservasi Gigi.
Kami berharap sajian kali ini dapat memperkaya khasana Ilmu Kedokteran Gigi secara
terpadu. Redaksi berharap masukan serta dukungan para penulis dan pembaca demi
Salam Redaksi
Jurnal Ilmiah
Daftar Isi
Penatalaksanaan Kasus Pencabutan Gigi Depan dengan Gigi Tiruan Sebagian Lepasan
Imidiat
(Laporan Kasus)
Andy Wirahadikusumah
Staf Pengajar Bagian Prostodontik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,
ABSTRACT
Background: Almost all physical changes or loss cause psychological trauma to the patient. For
instance, patient may experience low self-esteem, get easily annoyed, and angry. Similar condition
may occur in patients who lost their front teeth. To add to psychological trauma, problems in
mastication and phonetic function may also develop. Objective: To discuss immediate removable
denture treatment management as a treatment alternative in cases with an esthetic function needs.
Case Report and Management: Patient came with fracture and mobile front teeth. The treatment
plan is to extract the anterior teeth, but patient doesn’t want to undergo edentulous period because of
low self-esteem of meeting other people.Treatment alternative for patient who doesn’t want to
undergo edentulous period is by making an Imidiate Removable Partial Denture ( IRPD ). Imidiate
removable partial denture inserted directly on the same day after teeth extraction.
Conclusion : Imidiate Removable partial denture can be an alternative to replace conventional
removable partial denture in which case of patient doesn’t want to undergo edentulous period . This
denture can be made for patient who already use removable partial denture and patient who never
used it.
Key word: Imidiate removable partial denture, acrylic removable partial denture, edentulous period
1
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5
imidiat yang dapat berupa gigi tiruan cekat b. Bentuk bibir yang pendek dan aktif
imidiat atau gigi tiruan lepasan imidiat. Gigi sehingga pemakaian sayap akan
tiruan lepasan imidiat dapat berupa gigi tiruan mengganggu estetik.
sebagian lepasan bila masih terdapat beberapa c. Kasus yang membutuhkan tindakan bedah
gigi posterior atau dapat berupa gigi tiruan penuh yang minimalis.
imidiat bila gigi gigi posterior telah dicabut atau
pasien telah memakai gigitiruan sebagian lepasan 2. GTSI gigi anterior dengan sayap sebagian
berujung bebas (free end denture).3 a. Terdapat gerong pada bagian labial daerah
Perawatan dengan pembuatan gigi tiruan tak bergigi
imidiat ini sebaiknya diberikan untuk pasien b. Sayap dibutuhkan sebagai splin setelah
pasien dengan kondisi kesehatan umumnya baik, tindakan bedah
berusia relatif muda, memperhatikan
keberhasilan mulut nya, pasien yang dapat 3. GTSI gigi anterior dengan sayap penuh:
bekerja sama (kooperatif). 2,3 a. Terdapat sedikit gerong dalam pada bagian
Ada 2 tipe/jenis dari gigi tiruan sebagian labial linggir sisa.
lepasan imidiat gigi anterior yaitu: tanpa sayap b. Bentuk bibir yang panjang dan
(dengan soket); dengan sayap sebagian atau aktivitasnya normal.
penuh. (Gambar.1.). Indikasi kedua jenis gigi c. Kasus dengan kelainan periodontal,
tiruan ini sangat dipengaruhi oleh tipe profil dimana tulang pendukung sekitar gigi
wajah pasien atau hubungan antara rahang atas yang akan dicabut, sudah banyak hilang.
dan rahang bawah dari pasien sedangkan gigi
tiruan sebagian lepasan imidiat dengan sayap Sedangkan kontraindikasi untuk gigi tiruan
penuh dibuat untuk kasus pencabutan gigi lepasan imidiat (GTSI) gigi anterior adalah:
anterior dengan alveolektomi atau tanpa 1. GTSI gigi anterior tanpa sayap:
alveolektomi. Hal hal yang penting yang perlu a. Penderita dengan kelainan periodontal
dipertimbangkan dalam menentukan tipe gigi disertai resorpsi tulang alveolar.
tiruan sebagian lepasan imidiat adalah : b. Kasus dengan bentuk tulang alveolar tak
kedalaman gerong labial; tonus bibir; aktifitas beraturan
bibir; besar/derajat kelainan periodontal; bentuk
tulang alveolar; tindakan pembedahan 2. GTSI gigi anterior dengan sayap sebagian
(alveolektomi). 2 a. Penderita dengan bibir hiperaktif, sehingga
penggunaan sayap akan menyebabkan
terlihatnya mukosa, sehingga member efek
estetik yang buruk
b. Keadaan sosial dan ekonomi pasien
kurang, padahal pembuatan gigi tiruan
semacam ini perlu koreksi, sehingga perlu
biaya tambahan.2
2
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5
Contoh – Contoh Kasus Yang Memerlukan Gambar.2. Foto sebelum dan sesudah perawatan.
Estetik pasien tampak lebih baik
Pembuatan Gigi Tiruan Sebagian Lepasan
Imidiat
Kasus II
Kasus I
Pasien pria usia 20 tahun , bekerja sebagai
Pasien pria 58 tahun , profesi sebagai
petugas kebersihan di sebuah rumah sakit, datang
eksekutif ingin memperbaiki penampilan karena
ingin memperbaiki giginya yang patah.
gigi depan atas kiri terkena sundul cucunya
sehingga giginya goyang, pasien ingin
Rencana perawatan:
memperbaiki penampilan dan tidak ingin
Pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan imidiat
mengalami periode tidak bergigi. Keadaan intra
dengan soket
oral: terdapat cantilever bridge dengan dukungan
pada gigi 21 dan 22 serta pontik diantara 11 dan
Tahap pekerjaan:
21 goyang derajat 3, mengalami ekstrusi,
Pada kunjungan pertama dilakukan
gambaran rontgent foto terjadi resorpsi sampai
anamnesis, pemeriksaan ekstraoral dan intraoral.
1/3 akar, gigi 12 dan 11 PFM, gigi gigi yang lain
Selain itu dilakukan probing pada regio
tak ada kelainan.
3
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5
11,12,21,22. Setelah itu dilakukan pencetakan Setelah itu dikirimkan ke laboratorium gigi untuk
rahang atas dan rahang bawah serta seleksi dilakukan pembuatan gigi tiruan lepasannya
warna dan bentuk gigi. sesuai desain yang telah kita buat.
Setelah didapatkan model kerja, dilakukan
peradiran pada regio 11,12,21,22. Setelah itu Kunjungan kedua:
dikirim ke laboratorium gigi untuk dilakukan Pencabutan gigi 11, 21, 22, 33, 31 dan 41.
pembuatan gigi tiruannya. Pemasangan gigi tiruan lepasan imidiat dengan
Pada kunjungan kedua setelah gigi tiruan sayap penuh. (Gambar.4.)
selesa. Pasien dilakukan ekstraksi gigi 11,12,22 Instruksi kepada pasien cara pemakaian gigi
nya yang fraktur. Setelah tindakan ekstraksi tiruan dan datang kontrol 24 jam.
dilakukan, segera dilakukan pemasangan gigi
tiruan lepasan imidiat dengan socket pada pasien.
Pasien diinstruksikan untuk kontrol setelah 24
jam. (Gambar.3)
4
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5
DAFTAR PUSTAKA
1. Zarb GA, Hobkirk JA, Eckert SE, Jacob RF.
Prosthodontic Treatment for Edentulous
Patients Complete Denture and Implant
Supported Prostheses. Ed. Ke-13. St.Louis:
Elsevier; 2013: 152 -155.
2. Gunadi HA, dkk. Buku Ajar Ilmu Geligi
Tiruan Sebagian Lepasan Jilid II. Edisi 1.
Hipokrates, Jakarta: 1995: 367-378.
3. Bolender CL, Zarb GA. Buku Ajar
Prostodonti untuk Pasien Tidak Bergigi
Menurut Boucher. Ed. Ke-10. Penerjemah:
Mardjono ND. Jakarta: EGC Penerbit Buku;
1994: 456-480.
4. Winkler S. Essentials of Complete Dentures
Prosthodontics. Philadelphia: WB.Saunders;
1979: 517-538.
5. Jorgensen EB. Prosthodontic for the Elderly
(Diagnosis and Treatment). Ed ke-1. Chicago:
Quintessence; 1999: 153-167.
6. Ellinger CW, Rayson JH, Terry JH, Rahn
AD. Synopsis of Complete Denture.
Philadelphia: Lea & Febicer; 1975: 293-298.
5
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9
Pengaruh Sikat dan Pasta Gigi Terhadap Kekasaran Permukaan Resin Komposit
Nanohibrida
(Laporan Penelitian)
ABSTRACT
Background: Nanohybrid composite resins have good mechanical durability and smooth surfaces.
The surface roughness of the composite resin restoration is often found in patients and may be caused
by the abrasive materials and mechanical activity of mechanical friction between tooth paste and
toothbrush with the surface of restoration. Aim: To determine the effect of brushes and toothpastes on
the surface roughness of nanohybrid composite resins. Methods: Comparison of surface roughness
using surface roughness tester before and after brushing on 8 samples of nanohybrid composite resins
with a diameter of 6 mm and a height of 3 mm. Brushing the sample is done using a brushing machine
simulation at a speed of 250 cycles per minute for 4 hours with a back and forth movement using a
toothbrush with medium brush bristles and adult toothpaste. Results: The paired t-test showed the
average value before brushing was 5.3788 ± 2.44104 µm and after brushing was 5.6700 ± 2.55310 µm
with p = 0.002 (p <0.05), meaning there was a difference in the surface roughness of the nanohybrid
composite resin significantly before and after brushing. Conclusion: Mechanical activities and
abrasive materials from the use of brushes and toothpaste that are routinely carried out have an effect
on the surface roughness of the nanohybrid composite resins.
6
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9
Uji kekasaran permukaan dilakukan Tabel 1. Perubahan kekasaran permukaan pada resin
sebanyak dua kali pada masing-masing sampel, komposit nanohibrida
yaitu sebelum dan setelah dilakukan penyikatan RESIN KOMPOSIT NANOHIBRIDA
Nomor Sebelum Sesudah Selisih
gigi dengan menggunakan pasta gigi. Sampel Sampel A B C
diletakkan ke alat surface roughness tester dengan
1 4,92 5,08 0,16
posisi tidak boleh menggantung atau menekan.
Kekasaran permukaan dihitung sebagai 2 3,05 3,08 0,03
PEMBAHASAN
Abrasi utama dihasilkan dari pasta gigi dan
sikat gigi. Permukaan kasar akan mempengaruhi
Gambar 2. Penyikatan sampel
adhesi bakteri dengan meningkatkan retensi plak.
Hasil penelitian sebelumnya mengenai sikat gigi
pada orang dewasa telah menunjukkan tingkat
HASIL
abrasi yang berbeda akibat dari tinggi atau lebih
Setelah dilakukan penelitian dan
rendah filamen atau kontak pasta gigi daerah
pengumpulan data dengan melakukan uji
dengan permukaan substrat.7,8 Perbedaan
kekerasan permukaan menggunakan alat surface
kharateristik bahan abrasif yang terdapat pada
roughness tester (µm), dilakukan analisis statistik.
setiap pasta gigi juga dapat menimbulkan tingkat
Hasil uji kekasaran permukaan pada sampel resin
kekasaran permukaan yang berbeda.6,9 Abrasi
komposit nanohibrida dapat dilihat pada tabel 1.
yang timbul akibat aktivitas menyikat gigi
merupakan suatu fenomena yang sering
7
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9
ditemukan pada permukaan bukal gigi maupun pengujian dengan menggunakan analisis SEM
restorasi.10 dengan tujuan melakukan evaluasi ulang.12
Hasil analisis statistika uji t–berpasangan
resin komposit nanohibrida menunjukkan KESIMPULAN
terjadinya peningkatan kekasaran permukaan Hasil pengujian ini menunjukkan pengaruh
dengan nilai p=0.002 (p<0.05), maka hipotesa aktifitas mekanis dan bahan abrasive pada
penelitian (H0) ditolak, sehingga dapat diartikan penggunaan sikat dan pasta gigi terhadap
adanya perbedaan kekasaran permukaan antara kekasaran permukaan tumpatan. Kekasaran
resin komposit nanohibrida sebelum dan sesudah permukaan tumpatan sesudah penyikatan gigi
penyikatan secara signifikan atau bermakna. Hasil lebih besar dibandingkan sebelum penyikatan
penelitian ini didukung oleh penelitian Carolina gigi menggunakan sikat gigi dewasa dengan
dkk yang menyatakan bahwa resin komposit yang bulu sikat medium dan pasta gigi pada
disikat dengan pasta gigi yang mengandung bahan permukaan tumpatan resin komposit
abrasif menyebabkan kerusakan pada substrast nanohibrida.
yang mampu mengubah kekasaran permukaan
pada resin komposit.11 Penelitian oleh Monteiro
dkk juga menyebutkan bahwa sikat gigi SARAN
mempengaruhi peningkatan kekasaran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap
permukaan resin komposit, semakin lama waktu kelompok sampel yang lebih besar atau
menyikat maka semakin meningkat kekasaran frekuensi penyikatan yang lebih lama agar
permukaan komposit.6 didapat tingkat validitas yang lebih tinggi
Resin komposit nanohibrida terdiri dari sehingga perubahan sifat kekasaran permukaan
kombinasi ukuran partikel filler sehingga ikatan yang disikat terlihat lebih jelas.
antara filler dan matrix menjadi lebih kuat. Resin
komposit nanohibrida juga memiliki banyak
kandungan bahan filler, sehingga memiliki
ketahanan yang kuat terhadap suasana asam.12,13,14 DAFTAR PUSTAKA
Akan tetapi, sifat suatu material kedokteran gigi 1. Sakaguchi R, Powers J. Craig’s restoration
yang dapat menyerap air dan larut dalam air juga dental materials. 13th ed. Saint Louis:
dapat mempengaruhi kelenturan, kekuatan tekan, Elsevier; 2012. 161-75.
dan kekasaran permukaan bahan restorasi. 2. Jain A, Deepthi D, Tavane PN, Singh A,
Penelitian sebelumnya juga membuktikan bahwa Gupta A, Sonkusre S. Evaluation of
kekasaran permukaan terjadi pada semua restorasi microleakage of recent nano-hybrid
komposit, tidak ditemukan perbedaan kekasaran composites in class v restorations: An in vitro
yang timbul akibat aktivitas menyikat gigi pada study. Int J Adv Heal Sci. 2015;2(1): 8-12.
komposit nanohibrid dan nanokomposit.6 3. Moares RR, Concalves JS, Lancerlloti AC.
Kekasaran permukaan pada bahan restorasi Nanohybrid Resin Composites: Nanofiller
dapat meningkatkan kemungkinan kolonisasi Loaded Materials or Traditional
bakteri dan maturasi plak sehingga memperbesar Mycrohybrid Resins. Operative Dentistry.
kemungkinan terjadinya karies sekunder dan 2009; 34(5): 551-557.
inflamasi pada jaringan periodontal.15 Terdapat 4. Maghfiroh H, Nugroho R, Probosari N. The
berbagai cara yang dipakai untuk mengatasi Effect of Carbonated Beverage to The
proses penyusutan dan mencegah peningkatan Discoloration of Polished and Unpolished
kekasaran permukaan pada tumpatan, seperti: Nanohybrid Composite Resin. J
menambah bonding agent, menambah lapisan Dentomaxillofac Sci. 2016; 1(1) : 19-27.
daya tahan elastis, meningkatkan intensitas light 5. Tantanuch S, Kukiattrakoon B,
curing, memakai teknik peletakan bahan resin Peerasukprasert T, Chanmanee N,
komposit lapis demi lapis, menggunakan Chaisomboonphun P, Rodklai A. Surface
monomer low-shrinking dan memasukkan bahan roughness and erosion of nanohybrid and
fluoride pada monomer resin untuk mencegah nanofilled resin composites after immersion
terjadinya marginal gaps pada kavitas.16 in red and white wine. J Conserv Dent. 2016;
Struktur kompleks dari suatu permukaan 19 (1): 51-5
bahan tidak hanya cukup diukur menggunakan 6. Monteiro B, Spohr AM. Surface Roughness
alat surface roughness tester, banyak penelitian of Composite Resins after Simulated
yang menyarankan untuk dilakukan kombinasi
8
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9
9
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16
Pengaruh Bahan Bleaching Karbamid Peroksida 20% Dan 35% Terhadap Kekerasan
Resin Komposit Tipe Nano Hibrid
(Laporan Penelitian)
ABSTRACT
Background: Studies have shown that the majority of adults are not satisfied with the color of their
teeth. This dissatisfaction leads to the increasing of bleaching demands. However, free radicals in
bleaching agents may have an effect to the composite resin restoration hardness. Aim: To compare the
effect of carbamide peroxide 20% and 35% on nanohybrid resin composite hardness. Methods:
Samples were nanohybrid resin composite with 4 mm thickness and 10 mm diameter. Total number is
10 samples with 5 testing points on each sample, and divided into 3 groups: control group, application
of 20% carbamide peroxide for 7 and 14 days, and application of 35% carbamide peroxide for 7 and
14 days. Each group was tested using Vickers Hardness Test. Results: The results indicate there was
no significant effect of 20% carbamide peroxide on resin composite hardness for 7 days with p = 0.980
(p > 0.05) and 35% for 7 days with p = 0.994 (p > 0.05), but the use of carbamide peroxide 20% and
35% on a nanohybrid resin composite for 14 days led to a significant increase in hardness with p =
0.000 (p<0.05). Conclusion: The use of carbamide peroxide 20% and 35% for 7 and 14 days did not
cause hardness decrease on nanohybrid resin composite.
10
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16
11
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16
12
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16
13
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16
monomer yang banyak pada resin komposit.47 tidakmenyebabkan penurunan terhadap kekerasan
Penurunan kekerasan resin komposit juga dapat resin komposit tipe nano hibrid.
disebabkan karena oksidasi dan degradasi ikatan
matriks.48 Semakin banyak kandungan inorganik
filler maka semakin bagus pula sifat fisik suatu DAFTAR PUSTAKA
resin komposit.34 Padatnya kandungan filler pada 1. Oo MMT, Saddki N, and Hassan N. “Factors
Z250 XT yaitu 68% by volume mungkin Influencing Patient Satisfaction with Dental
memberikan resistensi terhadap oksidasi dan Appearance and Treatments They Desire to
degradasi ikatan matriks. Minimnya penurunan Improve Aesthetics. BMC Oral Health.
kekerasan setelah aplikasi bahan bleaching 2011; 11: 6.
merupakan bukti bahwa Filtek Z250 XT 2. Rasinta T. Perawatan pulpa gigi. Seri 1.
mempunyai kandungan Bis-GMA yang rendah Jakarta: Widya Medika; 1994; 198.
dan kandungan filleryang tinggi untuk dapat 3. Sundoro EH. Serba-serbi ilmu konservasi
terjadi pelunakan kimia (penurunan kekerasan). gigi. Jakarta: UI-Press; 2005; 17.
Sedangkan untuk kenaikan kekerasan resin 4. Rismanto, D.Y, Damayanti, I. M, Dharmo,
komposit dapat disebabkan karena reaksi R. H., “Dental Whitening”,Dental Limas
polimerisasi. Reaksi polimerisasi komposit Mediatama, Jakarta, 2005; 1-44.
berbanding lurus dengan kenaikan kekerasan 5. Walsh LJ. Safety Issue Relating to the use of
komposit. Setelah proses curing komposit, reaksi Hydrogen Peroxide in Dentistry. Australian
polimerisasi (post polimerisasi) akan tetap Dental Journal. 2000;45(4):257-69.
berlangsung sampai jangka waktu tertentu.49 6. Walton RE dan Torabinejad M. Prinsip Dan
Kemungkinan efek yang dihasilkan oleh bahan Praktik Ilmu Endodonsia. 3rd ed. Jakarta:
bleaching karbamid peroksida 20% dan 35% tidak EGC, 2008: 459.
cukup besar untuk mempengaruhi proses 7. Goldstein RE, Garber DA. Chemistry of
polimerisasi resin komposit tipe nano hibrid Bleaching. Complete Dental Bleaching.
sehingga reaksi post polimerisasi tetap Chicago: Quintessence, Publ., 1995; 2-20.
berlangsung. 8. Puckett AD, Fitchie JG, Kirk PC, et al. Direct
Kemungkinan lainnya adalah bahan aktif Composite Restorative Materials. Dent Clin
pada karbamid peroksida dapat menghilangkan N Am. 2007; 51: 659-75.
lapisan terluar pada resin komposit nano hibrid 9. Baskar SH, Jayakumar M, Kumar S. Effect
sehingga menghasilkan permukaan yang lebih of varying concentrations of home bleaching
padat akan kandungan filler dan lebih keras. agents on hardness of a resin composite: An
Adanya efek kandungan fluoride yang terdapat in vitro study. J Indian Acad Dent Spec Res.
pada karbamid peroksida 20% dan 35%, juga 2016; 3: 1-5
dapat memberikan efek remineralisasi yang 10. Bahari M, Savadi OS, Mohammadi N,
berujung pada penambahan kekerasan pada resin Ebrahami CME, Godrati M, Savadi OA.
komposit. Dengan adanya kenaikan kekerasan Effect of different bleaching strategies on
maka dapat dikatakan karbamid peroksida 20% microhardness of a silorane-
dan 35% merupakan bahan bleaching yang aman based composite resin. J Dent Res Dent Clin
digunakan dan mempunyai efek yang baik Dent Prospects. 2016 Fall;10(4): 213-19.
terhadap kekerasan resin komposit Filtek Z250 11. Jakfar S. Pengaruh Agen Aktif Bleaching
XT tipe nano hibrid. Kenaikan kekerasan resin Terhadap Jaringan Keras dan Lunak Mulut
komposit dapat memberikan berbagai keuntungan Serta Bahan Restorasi Kedokteran Gigi. Cak
antara lain dapat menahan daya tekanan kunyah Dent J 2009 ; 2(1): 62-9.
yang lebih besar, perubahan bentuk dan tambalan 12. Matis BA. The question-at-home or in-office
aus lebih bisa diminimalisir dan rentang bleaching: Evidence based concepts to
pemakaian yang lebih panjang. empower dental professionals. Available at:
bmatis@iupui.edu. Accesed August 27,
2004.
KESIMPULAN 13. Boksman, L., “Current Status of Tooth
Berdasarkan hasil penelitian, jika dibandingkan Whitening”, Literature Review, September,
dengan grup kontrol maka dapat disimpulkan 2006; 76-79.
bahwa pemakaian karbamid peroksida 20% dan 14. Wagner, B. J., “Whiter Teeth-Brighter
35% baik selama 7 maupun 14 hari Smiler”, Special Supplemental issue-Access,
September-Oktober, 1999; 1-12.
14
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16
15. Suprastiwi, E., “Penggunaan Karbamid 31. O’Brien, William J.. Dental Materials and
Peroksida sebagai Bahan Pemutih Gigi”, Ind. Their Selection. 3rd ed. Canada:
J. Dentistry, 2005; 12(3): 139-45. Quintessence, Publ., 2002; 113-28.
16. Goldstein RE, Garber DA. Complete Dental 32. Irawan B. “Material Restorasi Direk
Bleaching. Chicago: Quintessence Kedokteran Gigi Saat Ini.” Journal Dentistry
Publishing Co.Inc, 1995 : 26-33. Indonesia, 2004; 24–8.
17. Nakamura, T., Saito, O., Ko, T., Maruyama, 33. Mount GJ and Hume WR. Preservation and
T., “The Effect of Polishing and Bleaching Restoration of Tooth Structure. Barcelona:
on The Colour oh Discoloured Teeth in Mosby, 1998; 94-9.
Vivo”, J. Oral Rehab., 2001; 28, 1080-4. 34. Alla RK. Dental Materials Science. India:
18. Hatrick CD, Eakle WS, Bird WF. Dental Jaypee, 2014; 130-5.
Materials: Clinical Applications for Dental 35. Banerjee, Avijit, and Timothy F. Watson.
Assistants and Dental Hygienists. 2nd Ed. Pickard’s Manual of Operative Dentistry. 9th
USA : Saunders Elsevier. 2011: 50-86. ed. New York: Oxford, 2011; 88-95.
19. Bernie KM., “Maintaining Tooth-Whitening 36. Powers JM, Wataha JC. Dental Materials:
Results”, J. Pract. Hygiene, 2003; 34-36. Properties And Manipulation. 9th ed. USA:
20. Vanable ED dan LoPresti, L. R, “Using Elsevier, 2008; 285-305.
Dental Material”, Pearson Prentice Hall, 37. McCabe JF, Walls AWG. Applied dental
New Jersey, 2004; 80-5. materials. 9th ed., Oxford: Blackwell
21. Ingle, J. I., Bakland, L. K., “Endodontics”, Publishing., 2008; 13, 196-211.
5th ed, BC Decker Inc, Hamilton London, 38. Sakaguchi RL, Powers JM. Craig’s
2002; 849-50. restorative dental materials. 13th ed.,
22. Halim HS. Perawatan Diskolorisasi Gigi Philadelphia: Elsevier, 2012; 91, 161-92.
Dengan Teknik Bleaching. Jakarta: 39. Anusavice KJ. Phillips’ science of dental
Universitas Trisakti, 2006; 1-75. materials. 10th ed. Alih Bahasa. Budiman
23. Grossman LI, Oliet S, Rio CED. Ilmu JA, Purwoko S. Jakarta: EGC, 2004; 54-
Endodontik Dalam Praktek. Edisi ke 11. Alih 61;228-49.
Bahasa. Rafiah A. Jakarta : EGC, 1995; 295- 40. Powers, JM. Dental materials properties and
7. manipulation. 9th ed. Missouri: Mosby Inc,
24. Haywood VB., “Nightguard Vital Bleaching 2008; 32-34;69-92.
Indications and Limitation”s, US Dentistry, 41. O’Brien WJ. Dental materials and their
Section Heading Sub Heading, 2006; 2-8. selection. 3rd ed., Illinois: Quintessence
25. Gunawan HA., “Pengaruh Pemutih Gigi Publishing Co, Inc., 2002; 41, 202-28.
Karbamid Peroksida terhadap Mukosa 42. Geels K, Fowler DB, Kopp WU. Ruckert M.
Rongga Mulut secara Mikroskopik Metallographic and materialographic
(Penelitian pada Tikus Wistar Strain LMR)”, specimen preparation, light microscopy,
J, Ked. Gigi UI, 10 (Edisi Khusus), 2003; image analysis and hardness testing. 1st ed.,
652-6. West Conshohocken: ASTM International.,
26. Hewlett ER., “Etiology and Management of 2007; 628-32.
Whitening-induced Tooth Hypersensitivity”, 43. Lemeshow, Stanley, 1997, Besar Sampel
J. CDA, 35 (7), 2007; 499-506. dalam Penelitian Kesehatan, Gadjah Mada
27. Leevailoj C. The Art of Anterior Tooth- University, Yogyakarta.
Colored Restoration with Resin Composites. 44. Hao Y, Qing L, Hussain M, Yining W,
Thailand: Chulalongkorn University, 2004: Effects of bleaching gels on the surface
10-4. microhardness of tooth-colored restorative
28. Meizarini A, Rianti D. Bahan Pemutih Gigi materials in situ. Journal of Dentistry: 2008;
Dengan Sertifikat ADA/ISO. Maj. Ked Gigi 36(4): 261-7.
2005; 38 (2) : 73-6. 45. Ab-Ghani Z, Ooi QQ, and Mohamad D.
29. Mitchell C. Dental Materials in Operative Effects of home bleaching on surface
Dentistry.Quintessence Publishing Co. hardness and surface roughness of an
Ltd., 35(1), 2008: 1-21. experimental nanocomposite. J Consery
30. Anusavice KJ, Shen C, and Rawls HR. Dent. 2013 Jul-Aug; 16(4): 356–61.
Philip’s Science of Dental Materials. 12th ed. 46. Sharafeddin F dan Jamalipor GR. Effects of
Singapore: Elsevier, 2013; 279-91. 35% carbamide peroxide gel on surface
15
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16
16
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20
Elline
Staf Pengajar Bagian Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trsakti
ABSTRACT
Background: Chronic apical abscess cases are often found in dental practice. Chronic apical abscess
is defined as an inflammatory response to pulpal infection and necrosis identified by stepwise onset,
causing almost no discomfort, and characterized by the discontinuous release of pus through a related
sinus tract. Radiographically, there are regularly indications of bone destruction. The source of
infection in the root canal is eradicated by root canal treatment. The main purpose of endodontic
treatment is to finish debridement of the pulp tissue from the canal, combined with shaping and
sufficient obturation of the root canal system. Objective: This case report was written to bring
forward the proper management of tooth with chronic apical abscess and reveal self-bone
regeneration after treatment. Case report: A 27-year-old woman complained of cavity on her left
lower back tooth. There was a history of fistula which appear frequently in the gum near the cavity
tooth. Radiographic examination showed that caries has reached the pulp with periapical lesion and
bone destruction. The canals were prepared with ProTaper Next file with irrigation using 5,25%
sodium hypochlorite, EDTA 17% and chlorhexidine gluconate 2%. Calcium hydroxide paste was
used as an intracanal medicament, then the canals were obtured with continous wave compaction
technique. Four months follow up was advised and healing of periapical lesion with bone regeneration
is evident. Conclusion: Adequate root canal treatment can result in healing of periapical lesions and
bone regeneration on chronic apical abscess.
17
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20
LAPORAN KASUS
Kasus
Regenerasi tulang pada gigi dengan abses
apikalis kronis
Seorang perempuan usia 27 tahun datang
Gambar 3. Gigi pasca preparasi biomekanis
dengan keluhan pada gigi 36. Gigi tidak pernah
dilakukan perawatan sebelumnya, dan pernah
mengalami sakit spontan 1 tahun lalu. Pada
Medikamen intrakanal diberikan selama 1
anamnesis diketahui bahwa pernah ada suatu
sinus tract yang hilang timbul pada daerah gusi. minggu menggunakan Kalsium Hidroksida
Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ada simptom. (Ultracal, Ultradent) dan pasien diinstruksikan
kembali 1 minggu.
Pemeriksaan intra oral menunjukkan adanya lesi
Setelah 1 minggu, pasien kembali tanpa
karies dalam pada disto-oklusal mencapai pulpa.
keluhan. Pada pemeriksaan intraoral sinus tract
Terlihat juga adanya sinus tract pada gusi sekitar
gigi 36. telah hilang . Pemeriksaan perkusi dan palpasi
Tes dingin dan Electric pulp tester menunjukkan hasil negatif. Setelah itu dilakukan
menunjukkan hasil negatif, dan tidak ada sensitif pemasangan rubber dam dan gigi diobturasi
menggunakan guttaperca. Teknik obturasi yang
terhadap perkusi dan palpasi. Pada pemeriksaan
digunakan adalah teknik continous wave
radiografi menunujukkan bahwa karies telah
compaction menggunakan sealer (Sealapex,
mencapai pulpa disertai lesi periapikal
dankerusakan tulang pada gigi 36. Diagnosis gigi Sybron Endo), guttaperca dipotong di bawah 2
36 adalah abses apikalis kronis et causa nekrosis mm di bawah orifice dan diberikan barrier
semen ionomer kaca dan diberikan tumpatan
pulpa (Gambar 1 dan 2).
sementara (Gambar 4)
18
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20
19
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20
7. Sigurdsson A, Garland RW, Le KT, Woo SM. In: Nestor Cohenca, ed. Disinfection of Root
12-month Healing Rates after Endodontic Canal Systems: The Treatment of Apical
Therapy Using the Novel GentleWave Periodontitis. Wiley Blackwell; 2014:303-
System : A Prospective Multicenter Clinical 305.
Study. J Endod. 2016;42(7):1040-1048.
8. Gupta R, Hasselgren G. Prevalence of
Odontogenic Sinus Tracts in Patients
Referred for Endodontic Therapy. J Endod.
2003;29(12):12-14.
9. Ricucci D, Loghin S, Gonc LS.
Histobacteriologic Conditions of the Apical
Root Canal System and Periapical Tissues in
Teeth Associated with Sinus Tracts. 2017:1-9.
10. Cohenca N, Amaro A. Root Canal Infection
and Endodontic Disease. In: Disinfection of
Root Canal Systems: The Treatment of Apical
Periodontitis: The treatment of apical
periodontitis. Wiley Blackwell;2014.
11. Chandrasekhar P, Shetty RU, Adlakha T,
Shende S, Podar R. A comparison of two
NiTi rotary systems , ProTaper Next and Silk
for root canal cleaning ability ( An in vitro
study ). Indian J Conserv endod.
2016;1(1):22-24.
12. Ruddle C, Machtou P, West J. The shaping
movement: fifth-generation technology. Dent
today. 2013;32:6-9.
13. Sathorn C, Parashos P, Messer HH.
Effectiveness of single- versus multiple-visit
endodontic treatment of teeth with apical
periodontitis : a systematic review and. J Int
Endod. 2005:347-355.
14. Bezerra da Silva LA, Bezerra da Silva RA,
Nelson-Filho P, Cohenca N. Intracanal
medication in root canal disinfection. In:
Nestor Cohenca, ed. Disinfection of Root
Canal Systems: The Treatment of Apical
Periodontitis. Wiley Blackwell; 2014:252-
253.
15. Dohyun K, Euiseong K. Antimicrobial effect
of calcium hydroxide as an intracanal
medicament in root canal treatment : a
literature review - Part II . in vivo studies.
Rest Dent Endod. 2015;7658:97-103.
16. Broon NJ, Bortoluzzi EA, Bramante CM.
Repair of large periapical radiolucent lesions
of endodontic origin without surgical
treatment. J Aust Endod. 2007;33:36-41.
17. Lin ML, Huang GTJ. Pathobiology of apical
periodontitis. In: Cohen’s Pathways of the
Pulp. 11th ed. Missouri: Elsevier; 2016:652-
655.
18. Metzger Z, Kfir A. Healing of apical lesions:
How do they heal, why does the healing take
so long, and why do some lesions fail to heal?
20
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27
ABSTRACT
Background: Gingivitis is inflammation of the gingiva which is characterized by changes in the
gingiva such as redness, udematous, swelling, loss of stippling, and bleeding. The main cause of
gingivitis is bacterial plaque that accumulates in the gingival sulcus. Crowded teeth facilitate the
accumulation of plaque because makes it difficult for oral hygiene techniques. Objective: To find out
the relationship between crowded teeth with gingivitis in patients who came to the Dental and Oral
Hospital of the Faculty of Dentistry, Trisakti University. Method: Observational analytic study with
cross sectonal design using 72 subjects aged between 13-50 years. The subjects were divided into 2
groups consisted of 36 patients with crowded teeth and 36 without crowded teeth. The condition of the
teeth was recorded, and PBI was examined. Results: Pearson Chi-Square correlation test showed a
significant relationship between age (group 43-48.9 years) with gingivitis (p <0.05). The relationship
between crowded teeth and gingivitis showed no significant relationship (p> 0.05). For the relationship
between the amount of jaw involvement in crowded teeth and gingivitis, there was a significant
relationship (p <0.05). Conclusion: There is a significant relationship between crowded teeth and
gingivitis in certain age groups.
21
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27
(2011), menunjukkan bahwa 100% subyek anaerob 41%.7 Faktor predisposisi merupakan
dengan gigi berjejal memiliki gingiva yang faktor yang memudahkan akumulasi plak seperti
berdarah saat dilakukan probing.8 Begitu juga restorasi yang salah, karies, impaksi makanan,
pada penelitian di Universidade da Regiao de gigi tiruan, alat ortodonti yang tidak adekuat, gigi
Joinville Brazil (2004), menunjukkan bahwa berjejal, bernapas melalui mulut, developmental
100% subyek dengan gigi berjejal juga disertai groove pada permukaan servikal, dan kebiasaan
gingivitis dengan derajat keparahan yang merokok.8 Gingivitis juga dapat dipengaruhi atau
bervariasi.9 diperberat oleh faktor penyakit dan kondisi
sistemik, seperti penggunaan obat-obatan,
malnutrisi, kelainan sistem endokrin, hormonal,
dan kelainan darah. Tingkat keparahan gingivitis
dapat diukur dengan Papilla Bleeding Index (PBI)
yang diperkenalkan oleh Saxer dan Muhlemann
(1975). 9
Perawatan gingivitis pada gigi berjejal
Gambar 1. Gigi berjejal pada RA dan RB. dimulai dengan pembuangan semua iritan lokal
penyebab radang dengan skeling dan penghalusan
Gingiva yang sehat berwarna merah muda, akar (SPA) serta kontrol plak. Faktor predisposisi
konsistensi kenyal, tekstur berbintik-bintik seperti yang memudahkan akumulasi plak juga
kulit jeruk (stipling), tepi meruncing, dan tidak dihilangkan. Jika setelah dievaluasai tanda-tanda
mudah berdarah. Gingiva yang sehat dapat peradangan belum hilang dan poket masih dalam,
mengalami peradangan yang disebut gingivitis. maka dilakukan pembuangan dinding jaringan
Gingivitis merupakan salah satu bentuk penyakit lunak poket yang patologis dengan tindakan
periodontal yang paling sering dijumpai. bedah. 10
Peradangan pada gingiva dapat dilihat Pada penelitian ini ingin diketahui
berdasarkan adanya perubahan pada warna, bagaimana hubungan antara gigi berjejal dengan
konsistensi, tekstur, ukuran, dan kontur.11 gingivitis pada subyek yang datang ke Rumah
Peradangan gingiva dimulai ketika plak Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
melekat di daerah interdental, kemudian Universitas Trisakti. Hingga saat ini penelitian
peradangan dapat meluas ke marginal gingiva. mengenai hubungan antara gigi berjejal dengan
Pembuluh darah yang mengalami dilatasi gingivitis kurang dikembangkan di Indonesia.
menyebabkan gingiva berwarna merah dan Pada penelitian ini juga ingin dilihat distribusi
udematus disertai eksudat gingiva. Tepi gingiva frekuensi subyek gingivitis yang disebabkan oleh
membulat, interdental groove menghilang dan gigi berjejal.
konsistensi gingiva menjadi lunak, mengkilap
serta stipling berkurang hingga menghilang. Jika METODE PENELITIAN
iritasi plak berlangsung lama, maka konsistensi Jenis penelitian ini adalah observasional
gingiva akan mengeras dan bentuk gingiva analitik dengan rancangan potong silang untuk
menjadi tidak beraturan. Keluhan utama pada melihat adanya hubungan antara gigi berjejal
pasien gingivitis adalah gingiva mudah berdarah dengan gingivitis. Subyek adalah pasien yang
ketika menyikat gigi dan ketika makan makanan datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas
yang keras. Gingiva yang mengalami peradangan Kedokteran Gigi Universitas Trisakti (RSGM
juga mudah berdarah ketika dilakukan FKG Usakti) yang berusia 13 hingga 50 tahun
pemeriksaan dengan probing.11 Pasien gingivitis pada bulan Oktober hingga Desember 2014.
sering mengalami halitosis atau bau mulut yang Subyek sebanyak 72 terdiri dari laki-laki dan
disebabkan oleh aroma darah dan buruknya oral perempuan dibagi dalam 2 kelompok yaitu 36
hygiene. 10 disertai gigi berjejal dan 36 tidak disertai gigi
Penyebab utama gingivitis adalah plak berjejal.
bakteri yang berada pada supragingiva dan Subyek yang tidak termasuk dalam kriteria
subgingiva. Bakteri yang berperan pada gingivitis inklusi adalah pasien dengan kondisi sangat
terdiri atas spesies Gram positif 56% seperti lemah; pasien yang menderita penyakit sistemik
Streptococcus sanguinis dan Actinomyces seperti diabetes melitus, kelainan darah, penyakit
viscosus. Bakteri Gram negatif 44% seperti kardiovaskular, epilepsi, dan lupus; pasien yang
Fusobacterium nucleatum dan Prevotella sedang mengonsumsi obat-obatan anti konvulsan,
intermedia, Spesies fakultatif 59% dan spesies imunosupresan, calcium channel blocker;
22
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27
pengguna alat ortodonti; memiliki restorasi gigi Dari hubungan antara jenis kelamin dengan
yang mengemper; wanita yang sedang hamil dan Papilla Bleeding Index (PBI) pada subyek tanpa
menstruasi. gigi berjejal. Pada pria, PBI terbesar (2-2,99)
Alat dan bahan yang digunakan adalah alat ditemukan 12 orang (33,3%). Pada wanita PBI
standar pemeriksaan, prob WHO, nierbekken, terbesar ada pada 2 kelompok yaitu kelompok PBI
kamera, alat tulis, penggaris, berbagai formulir 1-1,99 dan 2-2,99 sebanyak 6 orang (16,7%).
(informed consent, data pasien, hasil penelitian), (Tabel 1)
masker, sarung tangan, cutton bud, larutan
pewarna, alkohol 70%, povidone iodine 10%.
Subyek diminta kesediaannya untuk Tabel 1. Hubungan antara jenis kelamin dengan PBI
berpartisipasi dalam penelitian. Gigi-geligi dan pada subyek tanpa gigi berjejal
PBI
kondisi gingiva dicatat meliputi warna, ukuran, Jenis Kelamin 0 – 1 – 2 – Total
3-4
kontur, tekstur, dan konsistensi. Dilakukan 0,99 1,99 2,99
pemeriksaan indeks PBI dan data dianalisis Pria Jumlah 2 7 12 0 21
23
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27
31 – 36,9 Jumlah
0 0 6 1 7
Persentase
(%) 0% 0% 16,7% 2,8% 19,4%
31 – 36,9 Jumlah
0 0 4 1 5 Pada subyek dengan gigi berjejal maupun
Persentase
0% 0% 11,1% 2,8% 13,9%
tanpa gigi berjejal. umumnya memiliki PBI 2-2,99
(%)
yaitu sebanyak 18 orang (25%). Dari 14 subyek
37 – 42,9 Jumlah
0 1 6 0 7 dengan gigi berjejal, sebanyak 4 orang memiliki
Persentase gigi berjejal hanya pada RA dengan PBI 1-1,99
(%) 0% 2,8% 16,7% 0% 19,4%
(28,5%). Subyek dengan gigi berjejal hanya pada
43 – 48,9 Jumlah
0 1 0 0 1 rahang bawah ditemukan sebanyak 5 orang
Persentase dengan PBI 2-2,99 (35,7%). Dari 22 subyek
0% 2,8% 0% 0% 2,8%
(%) dengan gigi berjejal pada kedua rahang, 13 orang
49 – 54 Jumlah
0 0 0 0 0
memiliki PBI 2-2,99 (59,1%).
Persentase
0% 0% 0% 0% 0%
(%) PEMBAHASAN
Total Jumlah 36 Beberapa studi yang telah dilakukan,
Persentase
100%
menunjukkan pasien dengan gigi berjejal
(%)
umumnya disertai gingivitis dengan derajat
keparahan yang bervariasi.8,9 Schroeder (2004)
Dari hubungan antara usia dengan PBI pada membuktikan ada hubungan langsung antara
subyek tanpa gigi berjejal, ditemukan pada bakteri plak dengan peradangan gingiva. Namun,
kelompok usia 25 - 30,9 tahun dengan PBI 2-2,99 dengan adanya oral hygiene yang baik gingivitis
terbesar sebanyak 9 orang (25%). Kemudian tidak akan berkembang meskipun gigi berjejal.9
diikuti dengan kelompok usia 31 – 36,9 tahun, Derajat keparahan gingivitis dapat ditentukan
dengan PBI 2-2,99 sebanyak 6 orang (16,7%). dengan pemeriksaan PBI. Jika hasil skor 0-0,99
(Tabel 4) berarti kondisi gingiva secara klinis sehat; 1-1,99
gingivitis ringan; 2-2,99 gingivitis sedang; dan 3-
Tabel 4. Hubungan antara usia dengan PBI pada 4 gingivitis berat.11
subyek dengan gigi berjejal. Jumlah pasien yang datang di RSGM FKG
PBI
Usia (tahun) 0– 1– 2– Total
Usakti lebih banyak pria daripada wanita. Hal ini
3-4 menunjukkan kemungkinan pria memiliki
0,99 1,99 2,99
13 – 18,9 Jumlah masalah kesehatan gigi dan mulut yang lebih
Persentase
0 2 1 0 3 besar sehingga menimbulkan keluhan yang dirasa
(%) 0% 5,6% 2,8% 0% 8,3% harus mendapatkan perawatan di rumah sakit.
19 – 24,9 Jumlah Sebagian besar pasien yang datang, terdapat pada
0 5 1 1 7 kelompok usia 25 – 30,9 tahun. Hal ini
Persentase
(%) 0% 13,9% 2,8% 2,8% 19,4% menunjukkan pada usia tersebut rentan terkena
25 – 30,9 Jumlah
penyakit gigi dan mulut.
0 2 9 2 13 Dari 36 pasien dengan gigi berjejal,
Persentase
0% 5,6% 25% 5,6% 36,1%
sebagian besar memiliki gigi berjejal pada kedua
(%)
24
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27
rahang. Kemungkinan karena ketidaksesuaian Kemungkinan pasien pada kelompok usia ini
antara ruangan yang diperlukan dengan ruangan dengan gigi berjejal menyadari akan giginya yang
yang tersedia berada pada kedua lengkung berjejal sehingga ia berusaha untuk meningkatkan
rahang.12 Dari 14 pasien yang memiliki gigi kebersihan mulutnya.
berjejal hanya pada 1 rahang, sebagian besar Pada kelompok usia 25 – 30,9 tahun tanpa
terdapat pada rahang bawah. Penyebabnya selain gigi berjejal sebagian besar terkena gingivitis
ketidakseimbangan antara ukuran rahang dan ringan, sedangkan pada kelompok usia yang sama
gigi-geligi, kemungkinan ada faktor muskular dengan gigi berjejal terkena gingivitis sedang.
yang berpengaruh seperti keseimbangan tekanan Kemungkinan pasien pada usia ini berada pada
dari lidah, pipi dan bibir.13 kelompok usia aktif sehingga kekurangan waktu
Gigi berjejal lebih banyak pada wanita untuk memperhatikan kesehatan rongga
karena pria sebagian besar memiliki lengkung mulutnya. Pada kelompok usia 31 – 36,9 tahun
rahang yang lebih besar dibandingkan wanita.14 tanpa gigi berjejal dan dengan gigi berjejal
Dari hasil uji korelasi Pearson Chi-Square untuk umumnya terkena gingivitis (derajat sedang).
hubungan antara jenis kelamin dengan gigi Pasien dengan gigi berjejal yang terkena gingivitis
berjejal didapat nilai p=0,345 (p>0,05) yang jumlahnya lebih banyak daripada pasien tanpa
menunjukkan tidak ada hubungan bermakna gigi berjejal. Kemungkinan pasien pada
antara jenis kelamin dengan gigi berjejal. kelompok usia 31 – 36,9 tahun memiliki stres
Berdasarkan dari hasil uji korelasi Pearson Chi- emosional yang tinggi. Pada penelitian ini, stres
Square untuk hubungan antara usia dengan gigi emosional pada usia awal dewasa kemungkinan
berjejal menunjukkan tidak ada hubungan terjadi ketika seseorang kesulitan mendapatkan
bermakna yang didapat dengan nilai p=0,817 pekerjaan ataupun kesulitan di bidang ekonomi
(p>0,05). Pasien pria yang datang sebagian besar ataupun kesulitan dalam menyeimbangkan
terkena gingivitis (derajat sedang) baik pada pria hidupnya baik bekerja, berumah tangga, dan
tanpa gigi berjejal maupun dengan gigi berjejal. mengurus keluarga.17,18
Pria tanpa gigi berjejal dengan gingivitis, Stres emosional dapat memicu terjadinya
jumlahnya lebih banyak daripada pria dengan gigi penyakit periodontal. Stres dan depresi dapat
berjejal. Pria dengan gigi berjejal kemungkinan menurunkan fungsi sistem imun dan
menyadari akan giginya yang berjejal sehingga ia memfasilitasi respon inflamasi. Penurunan sistem
berusaha untuk meningkatkan kebersihan imun dimediasi oleh kelenjar hipotalamus,
mulutnya. pituitari, dan adrenal. Kortisol dibentuk sehingga
Pasien wanita yang datang baik tanpa gigi menurunkan sistem imun dengan cara
berjejal maupun dengan gigi berjejal sebagian menghambat immunoglobulin A dan G serta
besar terkena gingivitis (derajat sedang). Wanita fungsi neutrofil. Hal ini menyebabkan
dengan gigi berjejal yang terkena gingivitis, meningkatnya kolonisasi biofilm dan
jumlahnya lebih banyak daripada wanita tanpa menurunkan kemampuan tubuh melawan invasi
gigi berjejal. Wanita dengan gigi berjejal bakteri.19
kemungkinan kurang seksama dalam melakukan Pada kelompok usia 37 – 42,9 tahun tanpa
oral hygiene karena kesibukannya dalam gigi berjejal umumnya terkena gingivitis sedang,
mengurus rumah tangga. Dari hasil uji korelasi sedangkan pada kelompok usia yang sama dengan
Pearson Chi-Square untuk hubungan antara jenis gigi berjejal memiliki jumlah yang sama untuk
kelamin dengan gingivitis didapat nilai p=0,787 gingiva sehat, gingivitis ringan, sedang dan berat.
(p>0,05) yang menunjukkan tidak ada hubungan Hal ini menunjukkan kesehatan gingiva
bermakna antara jenis kelamin dengan gingivitis. ditentukan dari tingkat oral hygiene setiap
Pada kelompok usia 13 – 18,9 tahun tanpa individu. Apabila tingkat oral hygiene sangat
gigi berjejal sebagian besar memiliki gingiva baik, maka gingiva akan sehat. Apabila tingkat
sehat, sedangkan pada kelompok usia yang sama oral hygiene sangat buruk, maka ditemukan
dengan gigi berjejal umumnya terkena gingivitis gingivitis.
ringan. Kemungkinan pasien pada kelompok ini Pada kelompok usia 43 – 48.9 tahun tanpa
masih berusia muda sehingga masih kurang gigi berjejal dan dengan gigi berjejal umumnya
kesabaran dalam membersihkan gigi-geliginya. terkena gingivitis (derajat ringan). Pasien pada
Pada kelompok usia 19 – 24,9 tahun tanpa gigi kelompok usia 43 – 48.9 tahun kemungkinan lebih
berjejal umumnya terkena gingivitis sedang, banyak pengetahuan mengenai pemeliharaan
sedangkan pada kelompok usia yang sama dengan kebersihan gigi dan mulut dibandingkan usia yang
gigi berjejal umumnya terkena gingivitis ringan. lebih muda sehingga baik pasien tanpa gigi
25
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27
berjejal maupun dengan gigi berjejal memiliki bermakna antara jumlah keterlibatan rahang pada
inflamasi gingiva yang lebih ringan jika gigi berjejal dengan gingivitis.
dibandingkan pada kelompok usia yang lain. Dari
hasil uji korelasi Pearson Chi-Square untuk
hubungan antara usia dengan gingivitis didapat KESIMPULAN
nilai p=0 (p<0,05) yang menunjukkan ada Dalam hubungan antara gigi berjejal
hubungan bermakna antara usia dengan gingivitis. dengan gingivitis dapat disimpulkan bahwa jenis
Pasien dengan gigi berjejal maupun tanpa kelamin tidak berhubungan dengan gingivitis.
gigi berjejal umumnya terkena gingivitis sedang. Gingivitis dapat terjadi baik pada pria maupun
Hal ini disebabkan karena rata-rata pasien yang wanita dengan gigi berjejal. Faktor usia pada gigi
datang ke RSGM FKG Usakti tergolong dalam berjejal berhubungan dengan gingivitis. Gigi
sosio-ekonomi menengah ke bawah, yang berjejal sama halnya dengan gigi tidak berjejal,
menyebabkan kurangnya pengetahuan akan keduanya dapat terjadi gingivitis. Pelaksanaan
melakukan oral hygiene dengan baik. Hal ini teknik oral hygiene yang baik dapat mencegah
ditandai baik pasien yang memiliki gigi berjejal terjadinya gingivitis. Terdapat hubungan antara
dan tidak berjejal, banyak disertai karies, plak dan jumlah keterlibatan rahang pada gigi berjejal
kalkulus. dengan gingivitis. Semakin banyak jumlah gigi
Beberapa pasien juga diduga memiliki yang berjejal maka semakin banyak akumulasi
periodontitis kronis lokal baik pada pasien dengan plak pada permukaan gigi sehingga memperberat
gigi berjejal maupun tidak berjejal. Hal ini inflamasi gingiva.
ditandai dengan adanya tanda-tanda klinis seperti
gingivitis, plak dan kalkulus yang terasa saat SARAN
dilakukan probing di subgingiva, perdarahan yang Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
spontan saat probing, dan dirasakan ada dengan jumlah sampel yang lebih besar agar dapat
kegoyangan pada gigi. Oleh karena itu, dari hasil memberikan hasil yang lebih akurat. Subyek perlu
uji korelasi Pearson Chi-Square untuk hubungan diberikan edukasi terlebih dahulu dalam
antara gigi berjejal dengan gingivitis melakukan teknik oral hygiene agar dapat
menunjukkan tidak ada hubungan bermakna yang diperoleh keseragaman dan dapat meningkatkan
didapat dari nilai p=0,321 (p>0,05). keakuratan hasil penelitian. Penelitian selanjutnya
Pasien dengan gigi berjejal pada 1 rahang sebaiknya mengklasifikasikan gigi berjejal dalam
umumnya terkena gingivitis ringan, sedangkan kelompok ringan, sedang, dan berat agar dapat
gigi berjejal pada 2 rahang umumnya terkena melihat tingkat keparahan gigi berjejal yang
gingivitis sedang. Jumlah gigi berjejal memengaruhi gingivitis.
berpengaruh pada kesehatan gingiva. Semakin
banyak jumlah gigi berjejal maka semakin banyak
akumulasi plak pada permukaan gigi sehingga DAFTAR PUSTAKA
memperberat inflamasi gingiva. 1. Perry DA, Beemsterboer PL. Periodontology
Pasien dengan gigi berjejal pada 1 rahang, for Dental Hygienist. Ed ke- 3. St.Louis:
umumnya terkena gingivitis ringan pada rahang Saunders Elsevier; 2007: 66-70, 103-4
atas sedangkan rahang bawah umumnya terkena 2. Reddy S. Essentials of Clinical
gingivitis sedang. Hal ini mungkin berhubungan Periodontology and Periodontics. Ed ke-2.
dengan muara kelenjar saliva pada rahang bawah. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Lingual rahang bawah terdapat 2 duktus yang Publishers; 2008: 145-6
terus mensekresikan saliva yaitu duktus Warthon 3. Laskaris G. Color Atlas of Oral Diseases in
dan Bartholin.20 Children and Adolescents. New York:
Saliva yang disekresikan mengandung Thieme; 2000
mineral-mineral anorganik yang kemudian 4. Permana H. Promosi Doktor Yuniarti
mengalami kalsifikasi berupa kalkulus. Kalkulus Soeroso. 2011. Jakarta: Universitas
yang terbentuk pada gigi rahang bawah dapat Indonesia (cited 2011 Sept 2). Available
memudahkan retensi plak apabila oral hygiene from:
tidak dilakukan dengan baik.21 Dari hasil uji http://old.ui.ac.id/id/news/archive/5185
korelasi Pearson Chi-Square untuk hubungan 5. Howe RP, McNamara JA, O’Connor KA. An
antara jumlah keterlibatan rahang pada gigi examination of dental crowding and its
berjejal dengan gingivitis didapat nilai p=0,023 relationship to tooth size and arch. Am J
(p<0,05) yang menunjukkan ada hubungan Orthod.1983; 83:363
26
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27
27
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32
Loes D Sjahruddin
Departemen Pedodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
ABSTRACT
Background: Thalassemia is an inherited genetic disorder of hemoglobin synthesis. Stunted growth
of bones and growth retardation are found in Thalassemia β mayor patients. Objective: The aim of
this paper was to provide knowledge that the growth of the body can be observed through
anthropometric measurements. Literature review: There are several anthropometric measurements
that are used as indicators of general growth, including weight, height, head circumference
measurement, soft tissue measurements, measurement of chest circumference and growth of dentition.
Normal weight and height have a relationship with a proportional dentofacial bones. Therefore, in a
thalassemia β mayor patient, disharmony of the growth of the dentofacial bones are due to the
deviation of growth in the dentofacial complex, and the short stature of an individual is a growth
deviation due to less optimal linear growth. Conclusion: In Thalassemia β mayor patients, stunted
growth of bones is apparent due to growth retardation.
28
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32
buah tulang. Setelah proses osifikasi selesai, 14 prosesus koronoideus, prosesus kondiloideus,
dari 22 buah tulang membentuk tulang ramus, korpus mandibula dan dagu. Lebar
fasial/viserokranium dan 8 buah tulang mandibula mengikuti pertumbuhan kranium
membentuk kranium/ neurokranium.6 karena tulang kondilus mandibula berhubungan
Tulang kranium/neurokranium terdiri dari dengan tulang kranium. Pertumbuhan kompleks
tulang kalvarium atau tulang tempurung kepala nasomaksila mencapai 80% pada umur 6 tahun
dan basis kranium atau dasar kepala tempat otak dan tidak banyak mengalami akselerasi
terletak. Tulang fasial/ viserokranium terdiri dari pertumbuhan puber. Jika pertumbuhan tulang
kompleks nasomaksila dan mandibula. Pola maksila tidak sesuai dengan pertumbuhan
pertumbuhan neurokranium yaitu kalvarium dan mandibula, maka akan terjadi anomali
basis kranium posterior mengikuti sistem neural, dentofasial.8
tetapi pertumbuhan basis kranium anterior
mengikuti pola pertumbuhan neural dan somatik. Gangguan Pertumbuhan Linier pada
Pertumbuhan viserokranium yang terdiri dari Penderita Talasemia Beta
kompleks nasomaksila dan mandibula mengikuti Pertumbuhan linier seorang individu
pola pertumbuhan somatik. Neurokranium dipengaruhi oleh faktor intrinsik maupun faktor
bertumbuh dengan cepat pada periode prenatal ekstrinsik yang saling berkaitan satu sama
untuk otak yang juga berkembang dengan cepat. lainnya. Nutrisi merupakan faktor lingkungan
Menjelang usia 2 tahun ukuran kranium yang penting untuk mencapai tumbuh kembang
mencapai 87%, usia tujuh tahun telah mencapai yang optimal oleh karena nutrisi mutlak
90% volume dewasa dan pada usia 10 tahun diperlukan oleh setiap mahluk hidup untuk
telah mencapai 95% volume dewasa.7 bertumbuh dan berkembang serta berfungsi
Sebaliknya pertumbuhan tulang fasial lebih secara maksimal.9
lambat dibandingkan kranium tetapi berlangsung Pertambahan tinggi badan yang paling
lebih lama. pesat terjadi dalam kurun waktu 2 tahun sesudah
Pertumbuhan kompleks nasomaksila atau kelahiran, kemudian menjadi lambat sampai
wajah bagian atas dipengaruhi oleh pertumbuhan kira-kira usia 10 tahun pada anak perempuan dan
basis kranial. Pertumbuhan fasial meliputi kira-kira usia 12 tahun pada anak laki-laki.
pertumbuhan tinggi fasial (arah vertikal), Setelah itu laju pertumbuhan dimulai lagi sampai
pertumbuhan lebar fasial (arah transversal), dan kira-kira usia 16 tahun pada perempuan dan kira-
pertumbuhan kedalaman fasial (arah kira usia 18 tahun pada laki-laki.10
anteroposterior). Pusat pertumbuhan maksila Gangguan pertumbuhan pada penderita
terdapat pada sutura-sutura dari kompleks talasemia dapat berupa berat badan dan
nasomaksila. Pertumbuhan fasial yang paling panjang/tinggi badan lebih rendah dari standar
nyata adalah adanya penambahan ukuran tinggi rata-rata, kecepatan pertumbuhan yang kurang,
fasial 3 – 4 kali, pertumbuhan lebar fasial 2 kali berkurangnya ketebalan lemak tubuh sampai
dan pertumbuhan anteroposterior 1.5 kali. Hasil berupa gangguan pubertas.11 Tinggi badan
akhir pertumbuhan maksila mengubah fasial terutama digunakan sebagai indikator untuk
bawah orang dewasa menjadi relatif lebih tinggi, mengamati suatu proses pertumbuhan. Berat
lebih lebar dan lebih panjang. badan lebih erat kaitannya dengan status gizi dan
Wajah bagian bawah dibentuk dari sebuah keseimbangan cairan, namun dapat digunakan
tulang yang berdiri sendiri yaitu mandibula. sebagai data tambahan untuk menilai
Mandibula pada anak yang baru lahir sangat pertumbuhan. Deviasi pertumbuhan ini selain
kecil, yang berbentuk melengkung hampir lurus oleh karena masukan nutrien yang kurang, juga
dan terdiri atas dua bagian yang sama besar. karena berbagai faktor seperti hipoksia seluler
Perkembangan kondilus masih sangat sedikit. dan gangguan endokrin akibat hemolisis dan
Kedua bagian mandibula ini dipisahkan dibagian anemia kronik.12
tengah oleh simfisis menti yang terdiri dari Pada penderita talasemia sebagai respons
jaringan fibrosa. Kedua rami mandibula ini pada terhadap hemolis yang terjadi, maka secara
waktu lahir berbentuk amat pendek dan kondilus fisiologik akan terjadi peningkatan eritropoiesis.
sama sekali belum berkembang.7 Pada akhir Eritropoiesis yang terjadi pada sumsum tulang
kehidupan pertama, kedua bagian mandibula akan mengakibatkan deformitas pada tulang.
yang terpisah itu akan menutup oleh simfisis Fusi prematur bagian epifisis tulang-tulang
yang mengalami perkapuran menjadi tulang. panjang menyebabkan memendeknya bagian
Pusat pertumbuhan mandibula terjadi pada proksimal tulang humerus. Penyimpangan
29
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32
pertumbuhan ini mengakibatkan banyak perkembangan dan hal ini dikaitkan dengan
penderita talasemia mempunyai perawakan yang kemungkinan adanya perubahan pada kelenjar
pendek.13,14 hipofise.17 Gangguan pertumbuhan akibat anemia
Batas antara gizi baik dan gizi kurang yang khronis dan kekurangan gizi ini
menurut World Health Organization (WHO) menyebabkan banyak penderita talasemia
adalah persentil 3 sedangkan batas antara gizi mempunyai perawakan tubuh yang pendek.16
baik dan gizi lebih adalah persentil 97. Bila Hemosiderosis pada hati menyebabkan
dilihat perbandingan tinggi badan terhadap umur, penurunan produksi somatomedin, yaitu faktor
maka anak yang berada di bawah garis persentil yang bertanggung jawab terhadap sekresi
3 disebut perawakan pendek, yang berada di atas hormon pertumbuhan dan menstimulasi
garis persentil 97 disebut perawakan tinggi, pertumbuhan tulang rawan.16,18 Pengobatan
sedangkan anak yang berada di antara persentil talasemia pada dasarnya hanya bersifat
97 dan 3 disebut perawakan normal. Dalam simtomatik dan suportif berupa transfusi darah
menentukan pertumbuhan normal, laju secara teratur seumur hidup dan pemberian kelasi
pertumbuhan lebih bermanfaat daripada kurva besi, karena sampai saat ini belum ada
pertumbuhan standar. Pertumbuhan merupakan pengobatan kausal.
proses aktif, maka dianjurkan melakukan
pengukuran secara berkala. Untuk anak di bawah Gangguan Pertumbuhan Dentokraniofasial
satu tahun dianjurkan pemeriksaan berkala setiap pada Penderita Talasemia Beta
bulan, usia 1 – 5 tahun setiap 3 bulan, dan di atas Pengukuran pada tulang fasial dapat
5 tahun setiap 6 bulan.15 dilakukan baik secara antropometri, melalui
pengukuran langsung pada kepala dan fasial
Gangguan Tumbuh Kembang pada Penderita subjek maupun dengan bantuan radiografi, yaitu
Talasemia Beta melalui radiografik sefalometri. Pengukuran
Telah diketahui talasemia adalah suatu antropometri dan sefalometri dapat menunjukkan
penyakit genetik yang disebabkan oleh gangguan perubahan fasial dalam arah anteroposterior,
sintesis rantai globin yang menyusun vertikal, dan mediolateral.
hemoglobin. Gangguan berupa kekurangan rantai Penyimpangan pertumbuhan pada
globin tersebut menimbulkan serangkaian gejala komponen dentofasial dapat diketahui melalui
klinis. Namun pada penderita tertentu gejala pengukuran linier dan anguler pada sefalometri,
klinis sangat minim atau bahkan tidak ada. kemudian membandingkannya dengan norma
Talasemia beta merupakan bentuk talasemia ukuran baku subjek normal yang disesuaikan
yang paling banyak ditemukan. Secara klinis dengan kelompok ras, umur, dan jenis kelamin.
talasemia beta dibagi menjadi 3 golongan: Kelainan dentofasial tersebut dapat terjadi antara
talasemia mayor yaitu bentuk homozigot yang hubungan maksila dan mandibula terhadap
memberikan gejala klinis berat, talasemia kranium serta hubungan antara mandibula dan
intermedia, dan talasemia minor yang tidak maksila dalam arah anteroposterior, vertikal, dan
memperlihatkan gejala klinis.2,16 mediolateral.18
Pada penderita talasemia terjadi proses Bentuk penyimpangan dalam arah vertikal
hemolisis sehingga terjadi anemia kronis dan dapat berupa gigitan terbuka (open bite) dan
selanjutnya berakibat terjadinya hipoksia gigitan dalam (deep bite). Untuk menegakkan
jaringan. Sebagai respons terhadap hemolisis diagnosis pada kelainan dentofasial dalam arah
yang terjadi, maka secara fisiologik akan terjadi vertikal, proporsi fasial lebih penting daripada
peningkatan eritropoiesis. Eritropoiesis yang nilai absolut.19
terjadi pada sumsum tulang akan mengakibatkan
deformitas tulang terutama ceper seperti pada Pembahasan
tulang wajah. Apabila penyakit ini tidak Kemungkinan diskrepansi yang besar
ditangani dengan baik maka dalam antara tulang mandibula dan maksila pada
pertumbuhannya anak akan tampak pucat, tidak penderita talasemia terjadi akibat mandibula
ada nafsu makan, diare, berkurangnya lemak yang kurang bertumbuh dibandingkan maksila..
tubuh dan jaringan otot serta dapat disertai Asumsi ini diperkuat dengan hasil penelitian
demam yang berulang akibat infeksi. Hal lain Pusaksrikit dkk.yang menemukan pada penderita
yang tampak pada penderita talasemia akibat talasemia laki-laki lebih banyak menderita
anemia yang berat dan proses hemolisis adalah maloklusi kelas II dibandingkan penderita
terjadinya gangguan pertumbuhan dan retardasi talasemia perempuan. Hal ini mengisyaratkan
30
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32
bahwa mandibula pada laki-laki tumbuh lebih Gangguan pertumbuhan tulang dentofasial
lambat dan mengalami hambatan oleh sejalan dengan pertumbuhan linier (stature) pada
pertumbuhan maksila yang luar biasa.14 penderita talasemia.
Demikian pula hasil evaluasi sefalogram
terhadap 32 anak talasemia usia 6 – 18 tahun TINJAUAN PUSTAKA
dijumpai maloklusi skeletal kelas II sebanyak 1. Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga
90,6% namun tidak terdapat perbedaan jenis A, Porter J. Guidelines for the Clinical
kelamin yang berarti (Retno Hayati, 1993). Pola Management of Thalassaemia, 2nd
dentoskeletal anak talasemia menurut Retno Revised edition. Thalassaemia International
Hayati (1998) lebih cembung dibandingkan Federation; 2008.
dengan anak normal sebagai akibat posisi 2. Weatherall DJ, Clegg JB. The β thalassemias.
mandibula yang retrognati dan ukuran korpus Dalam: Gibbons R, Higgs DR, Old JM,
mandibula yang lebih pendek. Tampaknya Oliveri NF, Thein SL, Wood WG,
bagian kortikal padat dari mandibula menahan penyunting. The Thalassemia Syndromes.
perluasan pertumbuhan tulang mandibula. Blackwell Science Ltd, London, 2001. h.287-
Tampaknya bagian kortikal padat dari mandibula 344.
menahan perluasan pertumbuhan tulang 3. Ismael, S. Tumbuh Kembang Anak dalam
mandibula. Perubahan-perubahan pada tulang itu Pencapaian Potensi Sumber Daya
dapat terjadi diawal kehidupan dan cenderung Manusia yang Tangguh. Pidato Pengukuhan
menetap, terutama pada tulang tengkorak.20 Guru Besar FKUI. Jakarta. 1991.
Selanjutnya respon terhadap anemia dan 4. Sularyo, TS. Pertumbuhan Linier (stature)
eritropoeisis yang tidak efektif pada penderita Anak dan Upaya Pemantauannya dengan
talasemia menyebabkan terjadinya hiperplasia Minat pada Perawakan Pendek/Terlalu
eritroid yang hebat dalam sumsum tulang dengan Pendek. Dalam: Rukman Y dkk, Penyunting
akibat terjadinya deformitas pada tulang, Masalah Penyimpangan Pertumbuhan
terutama pada tulang tengkorak, tulang panjang, Somatik pada Anak dan Remaja. Naskah
kaki dan tangan. 17,21 lengkap PKB IKA FKUI, 16-17 Februari
Hasil penelitian Retno Hayati 1993. Hlm: 29-47
menyatakan retardasi pertumbuhan gigi dan 5. Proffit WR, Fields HW. Contemporary
skelet kraniofasial pada subyek talasemia sejalan Orthodontics. 5rd ed. St. Louis : Mosby Co,
dengan retardasi pertumbuhan somatik. Dari 2012. p. 42-55; 165-105.
hasil beberapa penelitian yang sudah dilakukan 6. Graber TM. Orthodontics, Principle and
rd
dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan Practice: 3 ed. Philadelphia: W.B Saunders
penyimpangan pertumbuhan tubuh secara linier Co. 1972. h. 40-75.
dengan penyimpangan pertumbuhan pada tulang 7. Ranly, D.M. A Synopsis of Craniofacial
komponen dentofasial. Perubahan pada tulang Growth. 2th ed. London: Prentice-Hall
akibat proses perluasan rongga sumsum tulang International Inc. 1988. P 82-123.
akan mengakibatkan penipisan pada bagian 8. Foster, TD. A Textbook of Orthodontics. 2nd
korteks tulang (osteoporosis) sehingga dapat ed. Blackwell Scientific Publications. 1993. p.
terjadi fraktur patologis. 1-25, 75-82.
9. Nasar SS. Aspek Gizi pada Anak dengan
KESIMPULAN Perawakan Pendek. Dalam : Rukman Y,
Gangguan pertumbuhan yang terjadi pada Batubara J, Tridjaja B, penyunting. Masalah
seorang penderita talasemia yang tidak diobati Penyimpangan Pertumbuhan Somatic
berupa perubahan pada tulang akibat proses pada Anak dan Remaja. Naskah lengkap
perluasan rongga sumsum tulang. Pemberian PKB- IKA XXVIII, FKUI. 1993, 16-17
transfusi untuk mengurangi akibat anemia kronik Februari. Jakarta; Balai Penerbit FKUI; 1993.
yang dapat menimbulkan hipoksia pada jaringan p.63-72.
akan mengakibatkan terjadinya kelainan pada 10.Enlow DH. Facial Growth. WB Saunders
berbagai organ, tulang dan gigi. Comp. 3th ed. 1990. p. 58-148; 433-34.
Transfusi harus diberikan dengan disertai 11.Fuchs GJ, Tienboon P, Khaled MA, Nimsakul
kelasi besi untuk mengeluarkan kelebihan besi S, Linpisarn S, Faruque ASG. Nutritional
dalam tubuh. Jika diagnosis cepat ditegakkan Support and Growth in Thalassemia Major.
dan anak mendapat transfusi darah secara teratur, Archives of Disease in Childhood 1997,
pertumbuhan selanjutnya menjadi relatif normal. 76:509-12.
31
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32
32
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40
Mita Juliawati
Staf Pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat dan Kedokteran Gigi Pencegahan Gigi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Trsakti
ABSTRACT
Background: In the competitive era, the implementation of Occupational Safety and Health (OSH)
management, especially in the field of dentistry, is not only for protecting patients, but also for dentists.
Ergonomics is part of Occupational Safety and Health Management. The importance of ergonomic
factors for dentists, among others, is to prevent disorders of the musculoskeletal system that often
occur in the lower back which may causes discomfort. Objective: This literature review aims to raise
awareness of the importance of ergonomic factors in the application of occupational health and safety
management in preventing low back pain in dentists. Conclusion: Ergonomics factors play a role in
preventing lower back pain in dentists. The application of awkward posture correction, ergonomic
equipment design and the application of four-handed dentistry affect the success of occupational health
and safety management systems in the prevention of lower back pain.
Keyword: ergonomics, occupational safety and health, lower back pain, dentist
33
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40
bidang kedokteran gigi yaitu nyeri punggung secara seimbang pada dua kaki, sedang posisi
bawah yang kerap menyerang dokter gigi. duduk adalah saat kaki tidak terbebani dengan
berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja.
TINJAUAN PUSTAKA b. Proses Kerja, Para pekerja dapat menjangkau
Ergonomi peralatan kerja sesuai dengan posisi waktu
Sejarah dan Pengertian Ergonomi bekerja serta sesuai dengan ukuran
Pada tanggal 16 Februari 1950 terminologi anthropometrinya.
ergonomi diadopsi dan ergonomi menjadi suatu c. Tata Letak Tempat Kerja, Tata letak
disiplin ilmu.4 Menurut Syamsyul ma’arif dan merupakan rencana fasilitas, menganalisa,
Hendri Tanjung ergonomi adalah studi tentang membentuk konsep, dan mewujudkan sistem
bagaimana manusia secara fisik berinteraksi pembuatan barang atau jasa.
dengan alat-alat yang digunakannya sehingga d. Mengangkat Beban, Berbagai cara dalam
didapatkan kondisi dimana pekerjaan menjadi mengangkat beban yaitu, dengan bahu, tangan,
sehat, aman dan nyaman. 5 kepala atau punggung. Beban yang terlalu
berat dapat menimbulkan cedera tulang
Ruang Lingkup dan Tujuan Ergonomi punggung, jaringan otot dan persendian akibat
Ruang lingkup ergonomi berhubungan gerakan yang berlebihan.8
dengan karakter psikologi seseorang yang Setiap pekerjaan mempunyai sistem, dan pada
mempengaruhi disain dan kegunaan dari tempat ergonomi dikenal sistem kerja yang terdiri dari:
dan, posisi bekerja, dan atau suatu pengoperasian Manusia sebagai pekerja, Pekerjaan yang akan
untuk memastikan apakah disain tersebut dikerjakan, Peralatan yang digunakan dan
berhubungan dengan tugas, peralatan, lingkungan kerja dimana pekerja bekerja.9 Dalam
perlengkapan serta prosedur yang sesuai dengan bidang kedokteran gigi ergonomi mencakup
keterbatasan manusia dan kapasitas banyak konsep seperti, bagaimana dokter gigi
penggunaannya. Intinya sebagai studi tentang memposisikan diri pada pasien, menggunakan
aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya peralatan, disain tempat atau lingkungan kerjanya
yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, dan bagaimana semua ini berdampak pada
engineering, manajemen dan disain.6 kesehatan dokter gigi.
Tujuan-tujuan dari penerapan ergonomi
adalah sebagai berikut: Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental Kerja
melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit Pengertian Manajemen
akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan Manajemen berasal dari kata “to manage”
mental, mengupayakan promosi dan kepuasan yang berarti mengatur. Hasibuan berpendapat
kerja. manajemen adalah ilmu seni mengatur proses
b. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-
peningkatan kualitas kontak sosial dan sumber lainnya secara efisien dan efektif untuk
mengkoordinasi kerja secara tepat, guna mencapai tujuan. 10 Arti lain adalah suatu proses
meningkatkan jaminan sosial baik selama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.11
kurun waktu usia produktif maupun setelah Manajemen identik dengan pengelolaan,
tidak produktif. pembinaan, ketatalaksanaan, ketatausahaan, dan
c. Menciptakan keseimbangan rasional antara ketatapengurusan, walau sebenarnya memeiliki
aspek teknis, ekonomis, dan antropologis dari konsep lebih luas dari daripada hal tersebut.12
setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga
tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang Fungsi Manajemen
tinggi.7 Fungsi manajemen menurut Fayol di awal
Guna mencapai tujuan-tujuan tersebut abad ke-20 adalah elemen-elemen dasar yang
perlu penerapan ergonomis yang tepat untuk akan selalu ada dan melekat di dalam proses
mencegah cedera yang dapat berkembang serta manajemen yang akan dijadikan acuan oleh
menyebabkan cacat jangka panjang. Dalam seorang manajer dalam melaksanakan kegiatan
bekerja penerapan Ergonomi yang perlu untuk mencapai suatu tujuan. Empat fungsi
diperhatikan adalah: manajemen terdiri dari:
a. Posisi Kerja, Terdiri dari posisi berdiri serta 1. Perencanaan (Planning),
duduk, posisi berdiri dimana posisi tulang 2. Pengorganisasian (Organizing),
belakang vertikal dan berat badan tertumpu 3. Pengarahan (Comanding/Actuating)
34
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40
35
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40
36
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40
Punggung Bawah low back pain terdiri dari: Penelitian terhadap nyeri leher & punggung
a. Lumbar Spinal Pain bawah pada dokter gigi dengan menggunakan
Nyeri di daerah yang di batasi: superior oleh penyebaran kuesioner hasilnya prevalensi nyeri
garis transversal imajiner yang melalui ujung punggung bawah yang didapatkan dari partisipan
prosesus spinosus dari vertebra thorakal adalah 63%. 28
terakhir, inferior oleh garis transversal Studi pada dokter gigi bersuku Flandria
imajiner yang melalui ujung prosesus spinosus yang tinggal di Belgia didapatkan hasil prevalensi
dari vertebra sakralis pertama dan lateral oleh sebanyak 54% dokter gigi bersuku Flandria
garis vertical tangensial terhadap batas lateral mengalami nyeri punggung bawah.29
spina lumbalis.
b. Sacral Spinal Pain PEMBAHASAN
Nyeri di daerah yang dibatasi superior oleh Dokter gigi wajib profesional saat melayani
garis transversal imajiner yang melalui ujung pasien dalam berbagai kondisi, saat fokus kepada
prosesus sinosis vertebra sakralis pertama, pasien maka dokter gigi tidak dapat melalaikan
inferior oleh garis transversal majiner yang manajemen Keselamatan dan kesehatan kerja
melalui sendi sakrokoksigeal posterior dan (K3) untuk dirinya sendiri. Dampak fisik dari
lateral oleh garis imajiner melalui spina iliaka kelalaian manajemen (K3) yang kerap menyerang
superior posterior dan inferior. dokter gigi adalah gangguan muskuloskeletal
c. Lumbosacral Pain terutama nyeri punggung bawah. Kondisi itu
Nyeri didaerah 1/3 bawah daerah lumbar menimbulkan nyeri yang bila tidak diatasi dapat
spinal pain dan 1/3 atas daerah sacral spinal mengganggu aktivitas yang akan berdampak pada
pain.24 penurunan produktivitas dan kualitas kerja.
Penerapan sistem manajemen K3 dalam
pencegahan nyeri punggung bawah yang dapat
dilakukan dokter gigi adalah perbaikan ergonomi
dengan cara koreksi postur janggal pada saat
mengerjakan pasien, pemilihan desain peralatan
yang ergonomis serta menerapkan konsep four-
handed dentistry. Dengan penerapan sistem
manajemen K3 seperti apa yang telah disebutkan
diatas akan didapatkan pergerakan tubuh yang
baik dan diharapkan dapat mengurangi resiko
Gambar 3. Spine anatomy. nyeri pada punggung bawah dan meningkatkan
produktivitas kerja.
Gejala Nyeri Punggung Bawah
Gejala utama pada nyeri punggung bawah Koreksi Postur Janggal
adalah rasa nyeri. Nyeri terjadi setelah melakukan Duduk statis dalam waktu lama adalah hal
aktivitas, gerakan tiba-tiba atau setelah yang sering dilakukan dokter gigi ketika bekerja.
mengangkat benda atau beban yang berat.25 Nyeri Demi kenyamanan pasien dokter gigi tidak sadar
biasanya diibaratkan dengan kerusakan jaringan, bahwa posisi duduk yang ia lakukan kurang
akan tetapi dapat juga timbul tanpa luka dimana ergonomis. Terlalu lama duduk dengan posisi
nyeri timbul tanpa berhubungan dengan sumber salah akan menyebabkan ketegangan otot-otot
yang dapat diidentifikasi. 26 dan ligamentum tulang belakang yang membuat
tekanan abnormal dari jaringan sehingga
Data Kasus Nyeri Punggung Bawah pada menyebabkan rasa sakit.
Dokter Gigi Penerapan sikap duduk yang baik dan benar
Posisi duduk yang salah serta tidak bagi Dokter gigi sehingga dapat meminimalisir
ergonomis yang dilakukan selama berjam-jam postur janggal pada saat mengerjakan pasien
dan terus menerus menempatkan dokter gigi dengan mencegah agar postur tubuh tidak tegang;
sebagai profesi yang sangat rentan untuk terlalu miring kesamping, memuntir tulang
mengalami nyeri punggung bawah, karena saat punggung, membengkok ke depan/membungkuk
praktek dan merawat pasien dokter gigi harus menuju posisi tubuh yang baik. Disarankan
duduk atau berdiri membungkuk dalam jangka beberapa hal seperti, yaitu: Tubuh bagian atas
waktu lama. Terlebih jika jumlah pasien per hari tegak simetris, punggung dipertahankan tegak dan
cukup banyak. 27 tulang panggul (pelvis) sedikit dimiringkan ke
37
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40
depan (tidak lebih dari 20 derajat); Kepala dengan sistem pencahayaan yang baik dapat
condong ke depan terhadap tubuh tidak lebih dari meningkatkan efisiensi penglihatan yang lebih
20 – 25 derajat; Lengan atas bebas tergantung rinci dan tidak ada hambatan bayangan pada
pada tubuh dan tidak lebih dari 10 derajat ke daerah operasi.
depan; Lengan bawah (forearm) sedikit terangkat c. Dental Light ialah lampu sorot yang terdapat
tidak lebih dari 25 derajat; Sudut antara tungkai pada kursi praktik dokter gigi. Dental light
atas dan bawah adalah 105 – 110 derajat atau yang dianjurkan adalah yang tidak terlalu
lebih, sehingga terdapat lebih banyak ruangan besar dan lebar, pilih yang sempit, hanya
antara tungkai atas dan lengan bawah untuk terfokus pada mulut pasien dan tidak
menempatkan sandaran kursi dan kepala pasien di menghasilkan bayangan yang mengganggu.
antara ruangan ini; Tungkai atas kiri dan kanan Lebih dianjurkan menggunakan dental light
membentuk sudut tidak lebih dari 45 derajat untuk dengan sensor, atau monitor untuk lampu
mencegah posisi sendi pinggul (hip joint) dalam ditempatkan pada lokasi yang mudah dicapai
keadaan terkunci; Telapak kaki sejajar terhadap tanpa harus memegang tangkai lampu. Pada
lantai atau agak ke belakang dan segaris dengan dental unit yang dirancang dengan sistem
tungkai atas; bila menggunakan pandangan. 17 ergonomi, tombol untuk menyalakan dan
memadamkan dental light sudah menyatu pada
meja kursi dental dan pada assistant console,
sehingga lebih mudah dijangkau dan operator
tidak perlu lagi menyentuh tombol dental light
untuk mengatur posisinya.3
38
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40
tidak perlu melakukannya sendiri. Idealnya dalam hal perencanaan, pelaksanaan serta
penanganan peralatan yang dilakukan asisten evaluasi.
adalah 80 – 90% dari waktu kerja, sehingga Adapun hal-hal yang dapat mempengaruhi
dokter gigi hanya berkonsentrasi pada keberhasilan sistem manajemen keselamatan dan
perawatan pasien. kesehatan kerja dalam pencegahan nyeri
d. Letak peralatan yang harus ditangani asisten punggung bawah adalah dengan menerapkan:
lebih banyak berada pada sisi asisten untuk Koreksi postur janggal, desain peralatan
memudahkan pemindahan alat ke dokter gigi. ergonomis dan penerapan four-handed dentistry.
Posisi alat harus berada di depan asisten dan
jangan di samping asisten, agar tidak perlu
melakukan pergerakan tubuh memutar. DAFTAR PUSTAKA
e. Asisten juga harus berada di daerah yang bebas 1. Tommy D.P dan Muhammad Ilyas. Low
agar mudah memindahkan alat. Alat yang Back Pain in Dentists of Indonesia [Online
dipindahkan sebaiknya melewati batas dagu Article]. 2012. [cited: 25 Juli 2014].
pasien. Bidang perawatan (operatory-field) Available:
dibentuk sedemikian rupa sehingga terdapat http://www.podj.com.pk/Dec_2012/p-22.pdf
ruang bebas, baik bagi asisten, dokter gigi dan 2. Furlong A. Ergonomic and Dentistry. ADA
pasien. Kondisi seperti ini menyebabkan News 2000; 31(18): 16-9.
pasien tidak merasa terkurung oleh dokter gigi 3. Andayasari L, Anorital. Gangguan
maupun asisten. Biasanya ruangan dalam four- Musculoskeletal pada Praktik Dokter Gigi
handed dentistry dibagi atas empat daerah dan Upaya Pencegahannya [Media Litbang
aktivitas (zona) berdasarkan arah jarum jam, Kesehatan]. 2012. [cited 19 Juli 2014].
yaitu daerah operator pada posisi arah jarum Available:
jam 7-12, daerah asisten berada pada posisi http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.ph
arah jarum jam 2-4, daerah statis (untuk p/MPK/article/view/2629/612
instrument dan bahan) berada pada posisi arah 4. Oborne, David J. Ergonomic at Work:
jarum jam 12-1, dan daerah transfer berada Human Factors in Design and Development.
pada posisi arah jarum jam 4-7.3 England: John Wiley and Sons Ltd; 1995: 5-
8
5. Ma’arif, syamsyul dan Tanjung, Hendri.
Manajemen Operasi. Jakarta: PT. Grasindo.
2003: 393
6. Nurmianto, Eko. Ergonomi, Konsep Dasar
dan Aplikasinya. Ed. Ke-2. Jakarta:
Gunawidya; 2008: 1-30
7. Tarwaka, Solichul H.B, Lilik S. Ergonomi
untuk Keselamatan Kerja dan Produktivitas.
Surakarta: Uniba Press; 2004: 1-20
8. Pusat Kesehatan Kerja Departemen
Kesehatan RI. Ergonomi. [cited: 16 Juli
2014]. Available:
http://www.depkes.go.id/downloads/Ergono
mi.PDF
9. Sarkar PA dan Shigli AL. Ergonomics in
Gambar 5. Zona kerja four-handed dentistry General Dental Practice. People’s journal of
berdasarkan arah jarum jam. Scientific Research 2012; 5:56-60.
10. Hasibuan, Malayu, S.P. Manajemen Dasar,
Pengertian dan Masalah. Jakarta: PT Toko
KESIMPULAN Gunung Agung; 2003: 1-5
Dari uraian masalah, telaah pustaka dan 11. Herujito, Yayat M. Dasar-dasar
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen. Jakarta: PT. Grasindo; 2001: 1-
sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan 2
kerja berperan dalam pencegahan nyeri punggung 12. Sastrohadiwiryo, B.S. Manajemen Tenaga
bawah pada dokter gigi. Guna menunjang peran Kerja Indonesia Pendekatan Administratif
tersebut, maka perlu diperhatikan tatalaksana
39
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40
dan Operasional. Jakarta: PT. Bumi Aksara; 27. Chowanadisai S, Kukiattrakoon B, Yapong
2005: 1-20 B, Kedjarune U, Leggat PA. Occupational
13. Harahap SS. Sistem Pengawasan Manajemen Health Problems of Dentists in Southern
(Mangement Control System). Jakarta: Thailand. Int Dent J 2000;50(1):36-40.
Quantum; 2001: 4-5 28. Duygu Geler Külcü, Gülçin Gülşen, Tuba
14. OSHA Standard. (2003). Accident Çiğdem Altunok, Davut Küçükoğlu, Sait
investigation guide Naderi. Neck and Low Back Pain Among
15. Efendi, Ferry dan Makhfudli. Keperawatan Dentistry Staff. Turkish Jurnal of
Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik Rheumatology 2010; 25:122-129.
29.
dalam Keperawatan. Jakarta: Penerbit Peter Leggat, Ureporn Kedjarune and Derek
Salemba Medika; 2009: 232-233 R. Smith. Occupational Health Problems in
16. Tresnaningsih E. Kesehatan dan Modern Dentistry: Review. Industrial Health
Keselamatan Kerja di Laboratorium 2007; 45: 611-621
[Departemen Kesehatan RI] 2010 [cited 18
Juli 2014]. Available:
http://www.depkes.go.id/downloads/Keseha
tan%20Kerja%20di%20Labkes.PDF
17. Ma’aruf MT. Perubahan Sikap Kerja Dokter
Gigi. Interdental Jurnal Kedokteran Gigi
2007; 5(1): 37-42
18. Wijaya AT, Darwita RR, Bahar A. The
Relation between Risk Factors and
Musculoskeletal Impairment in Dental
Students: a Preliminary Study. Journal of
Dentistry Indonesia. 2011; 18(2):33-37.
19. Shrestha BP, Singh GK, Niraula SR. Work
Related Complaints among Dentists. J Nepal
Med Assoc 2008; 47(170):77-81.
20. Kurniawidjaja, Meily. Teori dan Aplikasi
Kesehatan Kerja. Ed. Ke-1. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2010: 1-20, 106-108
21. Hoy D, Brooks P, Blyth F, Buchbinder R.
The Epidemiology of low back pain. Best
Practice & research clinical rheumatology
2010; 24:769-781.
22. Purba JS, Ng DS. Nyeri punggung bawah:
patofisiologi, terapi farmakologi dan non-
farmakologi akupunktur. Medicinus 2008;
21(2): 38-42.
23. Brendan D. Lewis. Lower Back pain.
Canadian journal of CME. 2001.
http://www.stacommunications.com/journal
s/cme/images/cmepdf/april01/lowerbackpai
n.pdf
24. Yuliana. Low Back Pain. CDK 2011; 38 (4):
270-273
25. Healthwise staff. Low Back Pain [Medical
Website]. 2013. [cited 19 Juli 2014].
Available:
http://www.cigna.com/healthwellness/hw/m
edical-topics/low-back-pain-hw56429
26. Dedi Ardinata. Multidimensional nyeri.
Jurnal keperawatan rufaidah Sumatera utara
2007; 2(2):77-81
40
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45
ABSTRACT
Background: In two decades, surgical orthodontics to correct severe malocclusion and skeletal
deformities have been done. Corrective jaw surgery also called orthognathic surgery is performed by
an oral and maxillofacial surgeon to correct a wide range of major skeletal irregularities, including
misalignment of jaws and teeth. Objective: Skeletal dentofacial deformities are associated with
numerous problems including esthetic, functional, and mastication. Collaboration between the
orthodontist and the surgeon is critical. The ability of an orthodontist and a surgeon to coordinate
during treatment is what will lead to a successful outcome. Although much has changed in the field of
orthognathic surgery, the role of an orthodontist in postsurgical orthognathic surgery is critical.
Literature review: Following a recovery period, orthodontic treatment post-surgical orthognathic
surgery is to settle the teeth in good occlusion and alignment and correct any possible skeletal relapse
following surgery. Orthodontic treatment is needed to make adjustments and ensure the stability of the
realigned bite. Examination of the face including evaluation of facial and dental photographs,
cephalometric radiographs should be done postsurgical orthognathic surgery. Conclusion: Achieving
successful treatment outcomes requires implementing an effective treatment plan.
41
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45
42
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45
Perawatan ortodonti yang dilakukan paska dipertimbangkan juga besarnya reposisi yang
bedah ortognatik mempunya tujuan untuk akan dilakukan.
menyempurnakan perawatan ortodonti dan bedah 2. Besarnya reposisi yang dilakukan. Perubahan
ortognatik yang telah dilakukan serta memperoleh paska bedah merupakan multifaktorial
interdigitasi yang baik. Agar perawatan ortodonti fenomena. Adanya variasi individual dan
ini dapat berhasil, ortodontis harus melakukan besarnya pergerakan yang dilakukan dalam
evaluasi pasien dengan cermat, sekitar satu prosedur bedah mempengaruhi stabilitas hasil
minggu paska bedah untuk mengetahui oklusi dan perawatan.
stabilitas paska bedah.8,9 3. Metode fiksasi. Penting bagi ahli bedah mulut
Secara umum, perawatan ortodonti paska untuk mendiskusikan dengna ortodontis tehnik
bedah meliputi perbaikan komponen-komponen fikasis yang akan digunakan. Ada tiga tehnik
alat ortodonti seperti koordinasi archwire, fikasi yaitu :
prosedur rutin perawatan ortodonti dan retensi. a. Total rigid fixation (anterior and posterior
Respon skeletal dan dental setelah prosedur bedah plates). Seluruh segmen difiksasi dengan
ortognatik perlu juga diperhatikan. Stabilitas menggunakan plas dan screw sehingga
skeletal paska bedah mempengaruhi besarnya peran ortodontis paska bedah terbatas pada
pergerakan gigi yang dilakukan pada perawatan perawatan ortodonti.
ortodonti lanjutan. 5,8,9 b. Anterior rigid fixation with posterior
Setelah tercapai stabilitas paska operasi, suspension wires. Segmen anterior
sekitar 4 minggu, perawatan ortodonti dapat mulai difiksasi dengan menggunakan plat dan
dilakukan. Alat-alat fiksasi dilepas dan digantikan screw, sedangkan pada segmen posterior
dengan kawat aktif untuk menggerakkan gigi ke menggunakan suspension wires secara
posisi yang diinginkan. Kawat yang digunakan bilateral. Pada tehnik ini, segmen posterior
adalah kawat yang lentur (stainless steel .016, masih dapat bergerak.
coaxial, beta titanium wire (TMA) sehingga c. Infraorbital suspension wires. Apabila
memiliki gayang yang ringan. Pada tahap ini juga infraorbital suspension wires digunakan
digunakan elastic box/vertical untuk membantu untuk stabilisasi skeletal perawatan orto
fikasis rahang. Elastik dipakai pasien secara terus paska bedah segera dilakukan setelah
menerus termasuk pada saat makan selama 4 oklusal splint dilepaskan. Spesialis bedah
minggu pertama. Kemudian elastik dipakai terus mulut akan melepaskan suspension wires,
menerus kecuali saat makan selama 4 minggu sedangkan splint wire pada gigi rahang atas
kedua, dan diteruskan hanya dipakai pada malam tetap ada. Peran ortodontis adalah
hari selama 3-4 minggu berikutnya. Apabila melepaskan splind dan segera melakukan
oklusi sudah stabil, pemakaian elastik dapat perawatan ortodonti.
dihentikan.5-10 d. Peran ortodontis, menghilangkan
Penggunaan alat retensi pada perawatan kompensasi dental, koreksi diskrepansi
ortodonti paska bedah ortognatik tidak berbeda gigi, leveling rahang atas dan rahang
dengan pasien ortodonti pada umumnya. bawah, dan koreksi diskrepansi transversal.
Disarankan retensi dilakukan minimal dua tahun
setelah perawatan ortodonti selesai untuk
mengetahui stabilitas jangka panjang dari PEMBAHASAN
perawatan ortodonti.5-8 Selama dua dekade terakhir, intervensi
bedah ortognatik dalam merawat deformitas
Stabilitas Paska Bedah Ortognatik skeletal telah banyak dilakukan. Kombinasi
Stabilitas paska bedah sangat penting bagi perawatan ortodonti dan bedah memberikan hasil
ortodontis karena mempengaruhi perawatan yang lebih baik dalam merawat pasien dengan
ortodonti yang akan dilakukan. Ada beberapa hal skeletal dan dental displasia.1-3
yang mempengaruhi stabilitas paska bedah Tujuan dari bedah ortognatik adalah
ortognatik, yaitu :5-9 memperbaiki deformitas skeletal, estetika, dan
1. Mobillisasi jaringan lunak. Setelah bedah oklusi. Penatalaksanaan pasien secara
ortognatik, jaringan lunak (periosteum, menyeluruh tergantung pada evaluasi dan
ligament, otot-otot dan jaringan submucosa diagnosa deformitas. Untuk menegakkan
yang ikut teregang akan cenderung untuk diagnosis dan merencanakan perawatan yang
kembali ke posisinya semula sehigga perlu tepat, diperlukan pengetahuan yang mendalam
43
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45
mengenai pertumbuhan dan perkembangan kranio menerus kecuali saat makan selama 4 minggu
dentofasial, biomekanika pergerakan gigi, model kedua, dan diteruskan hanya dipakai pada malam
studi, foto fasial, foto intraoral dan foto ronsen hari selama 3-4 minggu berikutnya. Apabila
panoramik.1-5 oklusi sudah stabil, pemakaian elastik dapat
Potensi relaps setelah bedah ortognatik dihentikan.2,5-13
menjadi bahasan penting dimana perlu Penggunaan alat retensi pada perawatan ortodonti
diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi paska bedah ortognatik tidak berbeda dengan
stabilitas skeletal paska bedah ortognati. Tipe pasien ortodonti pada umumnya. Disarankan
fiksasi dan besarnya pergerakan yang dilakukan retensi dilakukan minimal dua tahun setelah
dalam operasi bedah turut mempengaruhi perawatan ortodonti selesai untuk mengetahui
kestabilan bedah ortognatik. Selain itu, stabilitas jangka panjang dari perawatan
keberhasilan koreksi bedah tergantung dari ortodonti.12
stabilitas serta respon skeletal dan dental setelah
perawatan bedah ortognatik.5-8 KESIMPULAN
Paska bedah ortognatik, penting bagi Diperlukan kerjasama yang baik antara ahli bedah
ortodontis melakukan evaluasi, observasi dan mulut dan ortodontis dalam menangani pasien
melanjutkan perawatan akhir. Adanya paska bedah ortogantik. Stabilitas perawatan
keterbatasan dan kemungkinan komplikasi paska paska bedah sangat penting karena akan
bedah patut diketahui oleh ortodontis. Perawatan mempengaruhi perawatan ortodonti paska bedah.
orto lanjutan ditujukan untuk mencapai hasil akhir Perawatan ortodonti paska bedah dilakukan
perawatan yang optimal.3 apabila kondisi pasien sudah stabil. Ortodontis
Perawatan ortodonti yang dilakukan harus memahami segala hal tentang perawatan
paska bedah ortognatik mempunya tujuan untuk ortodonti paska bedah dan hal-hal yang dapat
menyempurnakan perawatan ortodonti dan bedah mempengaruhi stabilitas perawatan.
ortognatik yang telah dilakukan serta memperoleh
interdigitasi yang baik. Agar perawatan ortodonti
ini dapat berhasil, ortodontis harus melakukan DAFTAR PUSTAKA
evaluasi pasien dengan cermat, sekitar satu 1. John BP, Richard AS. Skeletal and dental
minggu paska bedah untuk mengetahui oklusi dan responses to orthognathic surgical treatment.
stabilitas paska bedah.6-9 Angle Ortho 1997;67(6): 447-454.
Peran ortodontis, menghilangkan 2. William RP, L Tanya JB, Ceib P. Long-term
kompensasi dental, koreksi diskrepansi gigi, stability of surgical open bite correction by Le
leveling rahang atas dan rahang bawah, dan Fort I Osteotomy. Angle Ortho 2000;70(2):
koreksi diskrepansi transversal. Secara umum, 112-117.
perawatan ortodonti paska bedah meliputi 3. Bishara SE. Textbook of Orthodontics. WB
perbaikan komponen-komponen alat ortodonti Saunders CO, St.Louis 2001; 550-560.
seperti koordinasi archwire, prosedur rutin 4. Proffitt WR, Fields HR. Contemporary
perawatan ortodonti dan retensi. Respon skeletal orthodontics. 4th Ed. St.Louis, Missouri :
dan dental setelah prosedur bedah ortognatik perlu Mosby Elsevier; 2007; 705-718.
juga diperhatikan. Stabilitas skeletal paska bedah 5. Epker BN, Stella JP, Fish LC. Dentofacial
mempengaruhi besarnya pergerakan gigi yang Integrated Orthodontic and Surgical
dilakukan pada perawatan ortodonti lanjutan. 2-12 Correction. 2nd Ed. Mosby Year Book Inc. St
Setelah tercapai stabilitas paska operasi, Louis. 1986; 138, 146-157, 155-157, 178.
sekitar 4 minggu, perawatan ortodonti dapat mulai 6. Paul AD, Lisen E, Leiv. LeFort I maxillary
dilakukan. Alat-alat fiksasi dilepas dan digantikan advancement 3 year stability and risk factors
dengan kawat aktif untuk menggerakkan gigi ke for relapse. AJODO 2005. 128: 556-7.
posisi yang diinginkan. Kawat yang digunakan 7. Bailey LJ, Cavidanes, LHS. Stability and
adalah kawat yang lentur (stainless steel .016, Predictability of Orthognathic Surgery.
coaxial, beta titanium wire (TMA) sehingga AJODO. June, 2004.
memiliki gaya yang ringan. Pada tahap ini juga 8. Moyes RE. Handbook of Orthodontics. 4th Ed
digunakan elastic box/vertical untuk membantu Year Book Medial Pub Inc. 1988. 497-510.
fikasis rahang. Elastik dipakai pasien secara terus 9. Harry LL. Scott C. Biomechanical factors in
menerus termasuk pada saat makan selama 4 surgical orthodontics. In Nanda R.
minggu pertama. Kemudian elastik dipakai terus Biomechanic and Esthetic Strategies in
44
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45
45
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52
ABSTRACT
Background: Clinacanthus nutans (C. nutans) is a plant that is easily found in South-East Asia.
Traditionally, this plant has been used for treatment of snake bite, cancer, and diabetes. In addition,
leaves extract of C. nutans have been investigated and biological activity of this plant has potentially
support wound healing in the oral cavity. Objectives: The aim of this review is to help researchers and
clinicians to understand the reason why C. nutans has potential as a drug to accelerate wound healing
in oral cavity. Literature review: Wound healing is a complex process that is regulated by cellular,
humoral and molecular mechanism. The main aim of wound healing is regeneration and repair. Wound
healing depends on many factors including cells, growth factor, and cytokines. Wound healing also
has phases: inflammation phase, proliferation phase and remodelling phase. C. nutans is known to
contain anti-inflammatory, antivirus, antioxidant, antibacteria, and analgesic. Wound healing agents
must have the ability of anti-inflammation, antivirus, antioxidant, antibacteria and analgesic. The anti-
inflammatory activity of C. nutans is expected to shorten inflammation phase in wound healing, so the
wound will heal faster. Antibacteria activity of C. nutans can prevent infection during wound healing.
Antioxidant activity of C. nutans is also needed to prevent damage of healthy tissue from reactive
oxygen species (ROS). However, there is no research on the effect of C. nutans on osteoblast
proliferation, which has role to restore bone density after tooth extraction. Conclusion: C. nutans have
a lt of the biological activity needed to accelerate wound healing in oral cavity.
46
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52
Tumbuhan C. nutans dilaporkan memiliki cell line (SNU-1), human colon adenocarcinoma
berbagai variasi phenolic, terpenoid dan beberapa cell line (LS-174T), human erythroleukemia cell
molekul murni seperti benzenoid, line (K-562), human cervical cancer cell line
glycoglycerolipids, glycosylglycerides, turunan (HeLa), dan human Burkitt's lymphoma cell line
klorofil, asam lemak, fitosterol, cerebrosides. (Raji). Ekstrak C. nutans juga tidak menunjukkan
stigmasterol, lupeol, β-sitosterol. vitexin toksisitas terhadap sel HUVEC (human umbilical
(apigenin/8-beta-D-glucopyranosyl-5,7dihydroxy veins endothelial cell), hal ini membuktikan
-2-(4hydroxyphenyl)-4H-1-benzopyran-4-one) , bahwa C. nutans aman terhadap sel normal.16
isovitexin (saponaretin /6-beta-D- Pada penelitian terdahulu ekstrak metanol
glucopyranosyl-4',5,7-trihydroxyflavone), dievaluasi dengan menggunakan model oedem
schaftoside (shaftoside), isomollupentin 7-O-b- tikus yang diinduksi dengan carrageenan dan
glucopyranoside, orientin (lutexin/luteolin), ethyl phenylpropiolate (EPP). Penelitian ini
isoorientin (homoorientin/luteolinn6-C-beta-D- menunjukkan aktivitas anti-inflamasi melalui
glucopyranoside), clinacoside A, clinacoside B, efek inhibisi fungsi respon netrofil tanpa adanya
clinacoside C, cycloclinacoside A1, efek toksisitas yang signifikan.17
cycloclinacoside A2, 13-hydroxy-(13-S)- Kemampuan antibakteri C. nutans
phaeophytin b, pupurin-18-phytyl ester, dan menunjukkan hasil positif ketika diuji terhadap
pheophorbide. 2 5-8 Dari seluruh molekul murni bakteri S. aureus, E. coli, P. acnes, S. epidermis
yang berhasil diisolasi dari C. nutans, hanya dan B. cereus. Hal ini mungkin berhubungan
molekul chlorophyll related yang sudah terbukti dengan lupeol, β-sitosterol, flavonoid, dan
secara ilmiah mempunyai aktivitas biologis, yaitu terpenoid yang terkandung di dalam C. nutans.18-
antivirus terhadap virus herpes simpleks.9 20
Aktivitas analgesik tumbuhan ini diinvestigasi
dengan menggunakan ekstrak butanol. Hasilnya
menunjukkan C. nutans memiliki aktivitas
TINJAUAN PUSTAKA analgesik yang menyerupai aspirin.10
Aktivitas biologis C. nutans Secara tradisional, di Thailand dan
Dari penelitian terdahulu, baik in vivo Malaysia bagian pedalaman tumbuhan ini sudah
maupun in vitro, ekstrak daun C. nutans diketahui digunakan sebagai obat untuk mengobati gigitan
mempunyai kemampuan antivirus, antioksidan, ular atau kalajengking. Namun setelah dilakukan
antikanker, antiinflamasi, antibakteri, dan penelitian, tidak ditemukan adanya aktivitas
analgesik.10-15 Di Thailand, obat yang berasal dari antivenin di C. nutans.21 Ekstrak etanol bagian
ekstrak daun C. nutans untuk mengobati herpes daun dan batang tumbuhan C. nutans mempunyai
simpleks sudah dijual secara komersil dengan kemampuan anti-dengue pada penelitian yang
harga yang jauh dibawah harga obat dilakukan dengan menggunakan galur sel Huh-7.8
konvensional. Penelitian C. nutans sebagai penyembuh
Ekstrak etanol menunjukkan inhibisi luka juga sudah dilakukan. Salah satunya adalah
terhadap produksi peroksida yang diproduksi oleh penelitian in vitro dengan menggunakan human
makrofag tikus setelah distimulasi oleh phorbol gingival fibroblast (HGF) untuk melihat efek
myristate acetate (PMA). Ekstrak ini juga ekstrak kloroform dan heksana C. nutans terhadap
mempunyai efek proteksi terhadap sel darah kecepatan migrasi HGF dengan teknik scratch
merah tikus yang diinduksi oleh 2,2′-azobis (2- assay. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua
amidinopropane) hydrochloride (AAPH).12 ekstrak pada dosis 10 g/ml mempercepat migrasi
Kemampuan antikanker C. nutans sudah diteliti HGF dibandingkan dengan grup lain.22 Hal ini
dengan menggunakan berbagai galur sel. Dalam membuktikan bahwa dengan dosis seminimal 10
penelitian sitotoksisitas C. nutans, diketahui g/ml, Dandang Gendis mampu menginduksi
tumbuhan ini mempunyai kemampuan migrasi HGF.
antiproliferasi dan antikanker terhadap berbagai Selain itu, tumbuhan ini juga sudah
galur sel. Penelitian yang dilakukan juga dilakukan uji klinik mengevaluasi pengobatan
menggunakan berbagai ekstrak yang berbeda terhadap stomatitis aftosa dengan metode double
(non-polar, semipolar dan polar). Ekstrak blind controlled trial terhadap 43 subyek.
kloroform, metanol dan air menunjukkan Hasilnya, ekstrak C. nutans menunjukkan
kemampuan antiproliferasi terhadap human liver penyembuhan yang lebih baik dibanding plasebo,
hepatocellular carcinoma (HepG2), human namun triamcinolone acetonide lebih baik dari
neuroblastoma cell line (IMR-32), human lung ekstrak C. nutans.23
cancer cell line (NCI-H23), human gastric cancer
47
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52
Kombinasi C. nutans dan Elephantopus berproliferasi dan migrasi ke daerah luka. Untuk
scaber juga sudah diteliti untuk penyembuhan dapat membuka ruang untuk sel berproliferasi,
luka pada kulit tikus. Fraksi etil asetat membran basalis dan matriks ekstraselular
menunjukkan hasil positif pada luka eksisi dan terdegradasi. Proses ini dikenal dangan
insisi, sedangkan fraksi air memperlihatkan hasil sprouting.29, 30
yang positif pada luka bakar. Dari hasil LC-MS Angiogenesis distimulasi oleh faktor
diketahui adanya beberapa molekul berbasis pertumbuhan dan hipoksia jaringan.31
flavonoid yang bekerja secara sinergi.24 Lingkungan hipoksia terjadi karena adanya
Tulisan ini akan mengulas potensi penutupan permukaan luka oleh bekuan fibrin.
kemampuan C. nutans untuk mempercepat Penutupan permukaan luka sangat diperlukan
penyembuhan luka di rongga mulut berdasarkan untuk membentuk lingkungan hipoksia luka.
penelitian-penelitian yang sudah dilakukan secra Bekuan fibrin yang terbentuk selama hemostasis
in vitro dan in vivo. menyediakan penutupan sementara sehingga
angiogenesis dapat berlangsung. Lingkungan
Proses penyembuhan luka hipoksia juga menginduksi makrofag mensekresi
Penyembuhan luka adalah proses faktor angiogenesis seperti fibroblast growth
menggantikan struktur selular dan jaringan yang factor (bFGF or FGF-2) dan acidic FGF (aFGF
rusak melalui tahap yang kompleks dan dinamis. atau FGF-1) yang dilepaskan segera setelah
Terdiri atas berbagai proses biokimia yang adanya gangguan sel.32, 33
terorganisir untuk memperbaiki jaringan yang Fase terakhir adalah fase remodeling yang
rusak. Pada orang dewasa, penyembuhan luka akan berlangsung selama beberapa bulan. Selama
dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase proses ini kolagen dan matriks protein akan terus
inflamasi, proliferasi dan remodeling.25 disintesis agar daerah luka kembali seperti
Fase inflamasi mulai segera setelah terjadi sediakala. Tujuan utama penyembuhan luka
luka, yang diawali dengan mekanisme hemostasis adalah untuk mempercepat waktu penyembuhan
yang bertujuan untuk menghentikan pendarahan. atau untuk meminimalisir efek samping yang
Karakteristik yang khas pada tahap ini adalah mungkin akan terjadi.10
vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk Parameter yang digunakan untuk menilai
menginduksi vasodilatasi dan fagositosis, aktivitas penyembuhan luka:
sehingga terjadi inflamasi di daerah luka. Fase 1. Parameter fisik
berikutnya adalah fase proliferasi.26 Ciri khas fase Karakteristik fisik seperti kompresi luka,
proliferasi adalah granulasi, kontraksi luka, dan epitelisasi, dan bekas luka dapat diamati
epitelisasi. Selama proses granulasi, fibroblas dengan mengukur penutupan luka dan
membentuk dasar kolagen yang diikuti oleh mencatat perubahan fisik bekas luka.34
produksi kapiler baru.26 Selama kontraksi luka, 2. Parameter mekanis
myofibroblas memperkecil ukuran luka dengan Kemampuan mekanis seperti kualitas
dengan mencengkeram daerah pinggir luka dan kerapuhan dan elastisitas dapat diamati dengan
berkontraksi dengan cara sama seperti yang mengukur kekuatan yang dibutuhkan untuk
dilakukan oleh otot polos. Setelah tugas sel ini merusak luka atau jaringan.35
hampir selesai, sel-sel yang tidak dibutuhkan akan 3. Parameter biokimia
apoptosis.27 Epitelisasi melibatkan proliferasi sel Kolagen berkontribusi sangat besar dalam
epitel, yang akan memanjat ke atas daerah luka, menentukan kualitas penyembuhan luka.
menutupi jaringan baru yang terbentuk. Asam amino di kolagen, yaitu hydroxyproline,
dapat dievaluasi untuk menentukan jumlah
Angiogenesis kolagen di luka dengan cara teknik
Pembentukan pembuluh darah baru calorimetric, spectrometric atau
(angiogenesis) sangat penting dalam proses chromatographic.36
penyembuhan luka dan terjadi secara bersamaan 4. Parameter histologis
dengan semua tahap proses perbaikan.28 Tahap Pengecekan kualitas secara histologis,
pertama pada pembentukan pembuluh darah baru mengevaluasi komponen sel dan
adalah perlekatan faktor pertumbuhan dengan jumlahkandungan kolagen adalah parameter
reseptor nya masing-masing pada sel endotel yang penting dalam pemulihan luka.37
pembuluh yang ada. Sel endotel yang teraktivasi
mensekresi enzim proteolitik untuk melarutkan
lamina basal, sehingga sel endotel dapat
48
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52
49
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52
50
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52
(Acanthaceae) leaf extracts. Trop J Pharm 27. Kirsner RS, Eaglstein WH. The wound
Res, 2014;13:1455-1461. healing process. Dermatol Clin 1993;11:629-
16. Yong YK, Tan JJ, Teh SS, Mah SH, Ee GC, 640.
Chiong HS, et al. Clinacanthus nutans 28. Velnar T, Bailey T, Smrkolj V. The wound
Extracts Are Antioxidant with healing process: an overview of the cellular
Antiproliferative Effect on Cultured Human and molecular mechanisms. J Int Med Res
Cancer Cell Lines. Evidence-based 2009;37:1528-1542.
complementary and alternative medicine : 29. Reinke JM, Sorg H. Wound repair and
eCAM 2013;462751. regeneration. European surgical research
17. Wanikiat P, Panthong A, Sujayanon P, Europaische chirurgische Forschung
Yoosook C, Rossi AG, Reutrakul V. The Recherches chirurgicales europeennes
anti-inflammatory effects and the inhibition 2012;49:35-43.
of neutrophil responsiveness by Barleria 30. Robson MC, Steed DL, Franz MG. Wound
lupulina and Clinacanthus nutans extracts. J healing: biologic features and approaches to
Ethnopharmacol 2008;116:234-244. maximize healing trajectories. Curr Probl
18. Dorman HJ, Deans SG. Antimicrobial agents Surg 2001;38:72-140.
from plants: antibacterial activity of plant 31. Giordano FJ, Johnson RS. Angiogenesis: the
volatile oils. J Appl Microbiol 2000;88:308- role of the microenvironment in flipping the
316. switch. Curr Opin Genet Dev. 2001;11:35-
19. Kuete V, Kamga J, Sandjo LP, Ngameni B, 40.
Poumale HM, Ambassa P, et al. 32. Gurtner GC, Werner S, Barrandon Y,
Antimicrobial activities of the methanol Longaker MT. Wound repair and
extract, fractions and compounds from Ficus regeneration. Nature 2008;453:314-321.
polita Vahl. (Moraceae). BMC Complement 33. Strodtbeck F. Physiology of wound healing.
Altern Med 2011;11:6. Newborn Infant Nurs Rev 2001;1:43-52.
20. Singh B, Sahu PM, Sharma MK. Anti- 34. Mustapha N. Glue as a Cell-Delivery Vehicle
inflammatory and antimicrobial activities of in Wound Healing. J Trauma Treat
triterpenoids from Strobilanthes callosus 2015;4:250:
nees. Phytomedicine 2002;9:355-359. 35. Casacó A, Fuente D, Ledon N, Ferandez A,
21. Cherdchu C, Poopyruchpong N, Crombet T. Anti- epidermal growth
Adchariyasucha R, Ratanabanangkoon K. factor/epidermal growth factor receptor
The absence of antagonism between extracts therapeutic anticancer drugs and the wound
of Clinacanthus nutans Burm. and Naja naja healing process. J Cancer Sci Ther
siamensis venom. Southeast Asian J Trop 2012;4:324-329.
Med Public Health 1977;8:249-254. 36. Koyama Y. Effects of Collagen Ingestion
22. Roeslan M, Ayudhya T, Koontongkaew S. and their Biological Significance. J Nutr
Characteristics of Clinacanthus nutans Food Sci 2016;6:504:
extraction from Thailand and Indonesia 37. Knott ME, Minatta JN, Roulet L, Gueglio G,
(Preliminary Study). Sci-Health 2 2012; Pasik L, Ranuncolo SM, et al. Circulating
23. Siriporn T. Clinical evaluation of Fibroblast Growth Factor 21 (Fgf21) as
Clinacanthus nutans Lindau in orabase in the Diagnostic and Prognostic Biomarker in
treatment of ruccurent aphtous stomatitis. Renal Cancer. J Mol Biomark Diagn 2016;1:
Mahidol Dent J 2013;14(1):10-16. 38. Hanna JR, Giacopelli JA. A review of wound
24. Aslam MS, Ahmad MS, Mamat AS, Ahmad healing and wound dressing products. J Foot
MZ, Salam F. Antioxidant and Wound Ankle Surg 1997;36:2-14; discussion 79.
Healing Activity of Polyherbal Fractions of 39. Albritton JS. Complications of wound repair.
Clinacanthus nutans and Elephantopus Clin Podiatr Med Surg 1991;8:773-785.
scaber. Evid Based Complement Alternat 40. Lazarus GS, Cooper DM, Knighton DR,
Med: eCAM 2016;2016:4685246. Percoraro RE, Rodeheaver G, Robson MC.
25. Flanagan M. The physiology of wound Definitions and guidelines for assessment of
healing. J Wound Care 2000;9:299-300. wounds and evaluation of healing. Wound
26. Gantwerker EA, Hom DB. Skin: histology Repair Regen 1994;2:165-170.
and physiology of wound healing. Clin Plast 41. LaVan FB, Hunt TK. Oxygen and wound
Surg 2012;39:85-97. healing. Clin Plast Surg 1990;17:463-472.
51
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52
52
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58
ABSTRACT
Background : Bacterial endocarditis is one of cardiac disorders which is closely related to dentistry.
Infective endocarditis is a serious infection associated with significant morbidity and mortality. It
remains a serious issue in early age. Approximately 10% of the cases are with children below the age
of 10. Tooth extraction, surgery, gingival trauma, scalling, or focal infection on other regions in
children with predelection factor will induce the risk of bacterial endocarditis. The risk of systemic
complication can occur in suscebtible patient. For the susceptible patient, the risk includes serious
sistemic complications. Purpose: A dentist should know the dental management of pediatric dental
patient with cardiac disorders risk. Reviews: Bacterial endocarditis is an bacterial infection
characterized by inflamation or infection of the inner surface of heart (endocardium). Infective
endocarditis is an uncommon but potentially life-threatening infection of the inner heart that is
presumed to be associated with dental procedure that compromise mucosal integrity and lead to
transient bacteremia. Conclusion : A dentist should be capable to identify the patient with the history
of heart disease, to take the history of illness properly, to perform clinical examination, to
communicate with other colleagues, to establish the diagnosis, and perform treatment plan.
53
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58
54
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58
prosthetic heart valve, pasien dengan riwayat Tabel 1. Profilaksis endocarditis untuk prosedur
infeksi endokarditis, pasien dengan penyakit dental.9,23,24
jantung bawaan, dan pasien paska transplantasi Profilaksis Profilaksis tidak
jantung.16 American Heart Association direkomendasikan direkomedasikan
merekomendasikan pemberian profilaksis Ekstraksi gigi Injeksi rutin anestesi
Tindakan Periodontal pada jaringan yang tidak
antiobiotik untuk mencegah terjadinya
(pembedahan, skeling, terinfeksi
endokarditis bakterialis. Tetapi masih terdapat root planing, probing Tindakan radiografi
keraguan tentang pemberian antibiotika dan recal maintenance) dental
profilaksis pada pasien anak dengan oral hygiene Pemasangan implan dan Pemasangan atau
yang baik.17 reimplatasi gigi yang pelapasan piranti
Profilaksis berupa terapi antibakterial avulsi. ortodontik atau
direkomendasikan pada tindakan perawatan yang Instrumentasi prostodontik
diperkirakan terjadi bakterimia yang melibatkan Endodontik atau bedah Aktivasi piranti
organisme penyebab bakterialis endokarditis. pada daerah apeks ortodontik
Tindakan tersebut salah satu contohnya adalah Pemasangan Sheeding of primary teeth
Subgingival antibiotics Pemasangan rubber dams
ekstraksi gigi. Ampisilin telah direkomendasikan
fibers or strips Pemasangan rubber dams
sebagai obat profilaksis bakterialis endokarditis Pemasangan awal Post operative suture
untuk anak yang menjalani perawatan di rongga orthodontic bands removal
mulut, dan saluran nafas. Pada pasien dengan Intraligamentary local Taking oral impressions
alergi penisilin obat dapat diganti dengan anesthetic infections Aplikasi fluoride
cephalosporin, clindamycin, azithrocyn atau Prophylactic cleaning
clarithromycin.18 of teeth or implants,
Pemberian resep antibiotika dapat where bleeding is
dilakukan oleh dokter gigi, dokter spesialis anak, anticipated
ataupun dokter spesialis jantung.19 Secara Insisi dan drainase atau
prosedur lain yang
umum, perawatan di bidang kedokteran gigi
melibatkan jaringan
yang beresiko terjadinya endokarditis bakterialis yang terinfeksi
adalah ekstraksi gigi, tindakan periodontal
(scaling, root planning, probing, dan perawatan),
dental implant, reimplant gigi avulsi, perawatan American Heart Association
endodontik, subgingival placement of antibiotic menyampaikan rekomendasi tentang penggunaan
fibers or strips, pemasangan band orthodontic, antibiotic pencegahan infeksi endocarditis
anestesi intraligamen, prophylactis cleaning of bakterialis untuk meminimalkan risiko
teeth or implant, dan perawatan bidang resistensi pada obat. Rekomendasi tercantum
kedokteran gigi yang lain dimana terdapat pada tabel 2.1
kemungkinan terjadi perdarahan.20-21 Kebiasaan Anak-anak yang sebelumnya telah
menjaga oral hygiene yang baik pada anak, mengkonsumsi antibiotik jangka panjang, harus
merupakan tahap penting dalam pencegahan diberi resep obat alternatif sesuai protokol untuk
bakterialis endokarditis. Pemeriksaan rutin ke menghindari perkembangan organisme oral yang
dokter gigi sangat diperlukan. Pemeliharaan oral resisten. Obat kumur antiseptik oral pra operasi,
hygiene yang baik dan tepat sangat penting, seperti chlorhexidine gluconate 0,2%,
termasuk di dalamnya menyikat gigi dan direkomendasikan untuk mengurangi bakteri
flossing.6 mulut. Teknik manajemen perilaku pada anak,
Tindakan di bidang kedokteran gigi yang dalam hal ini bermanfaat. Analgesia nitrous
dapat menyebabkan terjadinya bakteremia oxide-oxygen sedasi sadar telah terbukti
transien, dan perlu atau tidaknya profilaksis bermanfaat dalam mengurangi kecemasan pada
endocarditis, dituliskan pada tabel 1. pasien anak. Jika sedasi sadar digunakan, tanda
vital dan saturasi oksigen selama prosedur harus
dimonitor secara hati-hati, dan peralatan
resusitasi kardio-pulmoner harus siap pakai.9,25,26
55
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58
56
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58
57
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58
58
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65
Trijani Suwandi
Staf Pengajar Bagian Periodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,
ABSTRACT
Background: Implant treatment has a high success rates and stability, but failure can occur,
an in fact it is hard to know the causes of such failure. Objective: This article reviews
infection in dental implants, risk factor for dental implant, classified according to the
treatment phase : infection prior to the implant, peri-surgical infection, severe post-syrgical
infection, peri-implant disease. Literatur review: Difficulties can arise in any area of
biological function, however implant dentistry has been fraught with compromises and
complication. Hence, it is mandatory for every clinician to know, how and why the failures
occur and how best we can prevent then in order to give the upcoming branch of dentistry a
new horizon. Conclusion: Early detection and treatment of early progressive bone loss
around dental implants by mechanical debridement, antimicrobial therapy and regenerative
therapy.
59
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65
imaging. Radiografi periapikal terdapat pada analisis 5 tahun melaporkan bahwa 35%
pembesaran 14% dan panoramik dengan dari keseluruhan implan gagal pada tipe tulang
pembesaran 25%. Hal ini dapat menyebabkan kelas IV dengan kortek yang tipis, kekuatan
kesalahan dalam perencanaan dan kinerja modular buruk, dan kepadatan trabecular
implan, sehingga perlu membuat metode khusus rendah. Osteoporosis sistemik merupakan faktor
untuk merekam pengukuran anatomi yang tepat.6 resiko yang menyebakan kegagalan
Pemanasan dari friksi peralatan dengan torsi osseointegrasi.11
yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan Efek samping dari radiasi berupa
implant bed. Sekitar 3,6% kegagalan implan osteoradionecrosis. Meskipun terapi radiasi
berhubungan dengan trauma bedah. Faktor lain bukan menjadi kontra indikasi absolut pada
adalah penempatan implan yang tidak ideal perawatan implan, tetapi Jacobsson dkk
sehingga menyebabkan pembebanan non-axial menunjukkan peningkatan hilangnya implan
selama mastikasi, peningkatan resiko dari pada waktu yang lama. Restorasi dental implant
fraktur implan dan fraktur tulang peri-implan yang optimal tetap dapat menyebabkab
biasa terjadi pada regio posterior pada pasien kehilangan tulang peri-implan, karena implan
dengan kepadatan tulang rendah.6 gigi tidak memiliki reseptor stress yang berada
Desain mahkota yang tidak tepat dalam ligamentum periodontal dan sistem
berkontribusi terhadap kegagalan. Cusp terlalu stomatognatik kurang peka dibandingkan gigi
tinggi dan alignment oklusal yang terlalu tinggi yang sehat. Beban diterima langsung oleh
dapat meningkatkan tekanan oklusal sampai pada jaringan keras implant karena implan tidak
tingkat yang tidak dapat diterima. Lebar terlindungi oleh ligamentum periodontal.12
mahkota, tinggi cusp, guidance dan alignment
oklusal dapat digunakan untuk mengontrol Klasifikasi Infeksi Peri-Implan
tekanan oklusal.7 Quirynen membagi dalam empat
Material dental implan dan karakteristik klasifikasi infeksi : 1). infeksi sebelum implan
permukaan serta relasi posisi implan 2). infeksi saat bedah, 3). infeksi paska bedah
berpengaruh terhadap keberhasilan implan. dan 4). penyakit peri-implan.13
Material implan ideal sebaiknya biokompatibel,
kekakuan yang tepat untuk fungsi prostetik, Klasifikasi 1 : infeksi sebelum implan
dapat beradaptasi dengan baik pada tulang dan Pada keadaan septik aktif sebaiknya
gingiva, resisten terhadap mikroba peri-implan. dikontraindikasikan untuk penempatan implant
Penggunaan material implan yang tidak karena kemungkinan terjadi septik emboli yang
biokompatibel menyebabkan kegagalan implant menyebabkan infeksi segera maupun lanjut
yang diinisiasi respon host yang merugikan.8 sesudah bedah (osteomyelitis, peri-implant
Coating permukaan implan dengan titanium abscess). Hal ini disebabkan adanya sisa-sisa
oxide (TiO2), ceramic coating atau diamond epitel yang membahayakan osseointegrasi.
coating. Umumnya material dental implan yang Daerah infeksi tersebut harus dilakukakan
digunakan biokompatibel seperti titanium, dekontaminasi secara sempurna supaya
14
titanium–aluminium-vanadium (Ti-6Al 4V), didapatkan daerah implant yang steril.
cobalt-chromium-molybdenum, dan jarang Perawatan dapat digunakan laser Er:Yag
menggunakan alloy.9 atau laser diode yang efektif dalam daerah
Insiden kegagalan karena posisi implan infeksi.15 Pasien dengan riwayat penyakit
diestimasi 10%. Kegagalan tersebut dapat periodontal dapat mengontaminasi implan dalam
dihindari dengan rencana perawatan yang tepat, mulut. Studi Ellegard menunjukkan bahwa
penggunaan surgical guide dan penguasaan pasien dengan riwayat penyakit periodontal
restoratif yang baik. Malposisi implan dengan kerusakan tulang yang besar dapat
menyebabkan masalah biomekanikal pada berhasil dilakukan perawatan implan dan dapat
sambungan screw atau pada implan itu sendiri mencapai osseointegrasi16, akan tetapi Karoussis
yang menyebabkan tekanan yang besar.10 menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan
Faktor host dibagi menjadi faktor resiko implan karena hilangnya gigi disebabkan oleh
lokal dan sistemik. Faktor resiko lokal terdiri dari periodontitis mempunyai rate survival rendah
kualitas dan kuantitas tulang, tulang iradiasi, dan komplikasi besar dibanding pasien
tekanan oklusal biomekanik. Pasien dengan kehilangan gigi karena penyebab yang lain.17
kuantitas dan kepadatan tulang rendah Hasil konsensus implantologi
mempunyai resiko kegagalan. Jaffin dan Berman menyimpulkan bahwa pasien dengan penyakit
60
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65
periodontal mempunyai tingkat keberhasilan sebagian berasal dari bedah bone graft
implan rata-rata 91-92 % dan pasien tanpa dihubugkan dengan penempatan implan,
penyakit periodontal mempunyai tingkat berhubungan dengan reaksi immunologikal.22
keberhasilan 97%.18 Akan tetapi insidensi peri- Dalam melakukan regerenasi tulang
implantitis dan kerusakan tulang marginal sebaiknya mengikuti prinsip Gottlow Nyman dkk
meningkat secara signifikan pada pasien dengan antara lain persiapan daerah regenerasi dengan
penyakit periodontal. Subyek dengan resiko memelihara vaskularisasi graft dengan baik,
periodontits mempunyai kegagalan implan lebih sehingga didapatkan nutrisi yang cukup dan
tinggi.19 mencegah nekrosis awal, yang akan
Pertimbangan khusus perawatan implan memfasilitasi regenerasi dan proses
pada pasien penyakit periodontal antara lain : penyembuhan luka dan mencegah jaringan
Resorpsi progresif pada edentulous maksila sekitar kolaps bertujuan untuk mempertahankan
mempunyai hubungan langsung dengan ruangan untuk regenerasi. Guided Tissue
prognosis implan dan tinggi tulang yang tersisa. Regeneration diaplikasikan untuk mencegah
Gigi dengan prognosis buruk yang tidak infiltasi jaringan lunak ke dalam graft. Beberapa
mendapatkan perawatan teratur sebaiknya prinsip dasar penggunaan GTR yaitu : imobilitas
dilakukan ekstraksi dan memerlukan perawatan material graft, menjaga daerah bersih,
pendahuluan untuk mengatasi penyakit vascularisasi berjalan baik, aman dan
periodontal.20 biokompatibel.22
61
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65
62
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65
Terapi Antibiotik pada penyakit peri-implan sistemik, dan pasien dengan faktor risiko infeksi
Pertanyaan klasik dari banyak penulis lokal diikuti bakteremia. Pada pasien group 1
mempertanyakan apakah penggunaan antibiotik tidak diperlukan catatan, akan tetapi mengikuti
diindikasikan untuk penyakit peri-implan.25 tipe penyakit yang termasuk dalam profil resiko
Bascones menyarankan penggunaan antibiotik seperti peradangan sendi : rheumatois arthritis,
untuk penyakit periodontal mempunyai banyak systemic lupus erythematous, immunosupresion
fungsi : mengurangi kebutuhan bedah, terhadap penyakit, obat, transplantasi dan
meningkatkan klinin pasien, meningkatkan radioterapi, Diabetes Mellitus tipe I, infeksi
kesuksesan graft. Study Gutierrez Perez dkk. endocarditis, malnutrisi.30
menyimpulkan bahwa strategi perawatan pada Profilaksis antibioik direkomendasikam
penyakit periodontal dan peri-implan sebaiknya untuk pasien resiko yang akan dilakukan
fokus pada penggunaan rasional terapi prosedur invasif resiko tinggi. Penggunaan
antimikrobial, dan menyatakan pentingnya profilaksis antibiotik tidak jelas pada
pemberian antibiotik sistemik pada poket peri- implantologi. Probabilitas infeksi di sekeliling
implan lebih dari 5 mm, karena antiseptik lokal implant secara fundamental tergantung dari
tidak dapat mencapai dasar poket.28 bagaimana traumatik dan berapa lama
Amoksisilin-asam clavulanic adalah pembedahan. Diyakini bahwa kehilangan
pilihan perawatan untuk penyakit peri-implan implant awal disebabkan karena kontaminasi
karena sensitivitas bakteri dan mempunyai selama pemasangan implant. Ada 2 situasi
resisten yang rendah . Clindamycin dan penggunaan antibiotik sebagai profilaksis : 1.
metronidasol juga diindikasikan, tetapi ketika pasien dengan faktor resiko sistemik
efektivitas lebih kecil melawan residual mayor dan 2. Jika bedah diperkirakan lama
streptococcus dan actinomyces.28 dan/atau traumatik30,31.
63
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65
64
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65
18. Neukam FW, Flemmig TF. Local and element study. Clin Oral Implant Res
systemic conditions potentially compromising 2002;13(3):327-33.
osseointegration. Consesnsus report of 30. Esposito M, Coutlthard P, Oliver R, Thomas
working group 3. Clin Oral Implants Res P, Worthington HV. Antibiotics to prevent
2006;17 Suppl 2:160-2. complications following dental implant
19. Hard CR, Grondahl K, Lekholm U, treatment. Cochrane Database Sys Rev
wennstrom JL. Outcome of implant therapy in 2003;3:4152.
relation to experience loss of periodontal bone 31. Espsito M, Hirsch JM, Lekholm U, Thomsen
support: a retrospective 5-year study. Clin P. Biological factors contributing to failure of
Oral Implants Res 2002;13(5):488-94 osseointegrated oral implants (1). Success
criteria and epidemiology. Eur J Oral Sci
20. Sheldon W, Harold FM, Shigeru O. Implant 1998;106:527-51.
Survival to 36 months as related to length and 32. Redlich M, Reichenberg E, Harari D, Zaks B,
diameter.Annals of Periodontology Shoshan S, Palmon A. The effect of
2000;5:22-31. mechanical force on mRNA levels of
21. Haanaes HR. Implants and infections with collagenase, collagen type I, and tissue
special reference to oral bacteria. J od Clin inhibition of metalloproteinases in gingivae of
Periodontol 1990;17:516-24. dogs. J dent Res 2001;80(12):2080-84.
22. Gottlow J, Nyman S, Lindhe J, Karring R,
wennstrom J. New attachment formation in
the human periodontium by guided tissue
regeneration. J Clin Periodontol 1986;13:604-
16.
23. Mombelli A, Muhle T, Bragger U, Lang NP,
Burgin WP. Comparison of periodontal and
peri-implan probing by depth-force pattern
analysis. Clin Oral Implant Res 1997;
8(6):448-454.
24. Leonhardt A, Renvert S, Dahlen G. Microbial
findings at failing implants. Clin Oral Implant
Res 1999;10(5):339-45.
25. Bascones MA, Aquirre Urizar JM, Bermenjo
FA.Consensus statement on antimicrobial
treatment of odontogenic bacterial infections.
Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2004;9:363-
76.
26. Slot J, Bragd L, Wikstrom M, Dahlen GI.
The occurrence of Actinobacillus
actinomyceemcomitans, Bacteroides
gingivalis and Bacteroides intermedius in
destructive periodontal disease in adults. J
Clin Periodontol 1986;13(6):570-7.
27. Jovanovic SA. Diagnosis and treatment of
peri-implant disease. Curr Opin Periodontol
1994;2:194-204.
28. Guiterrez JL, Bagan JV, Bascones A, Liamas
R, Liena J, Morales A, Noguerol B, Planelis
P, Prieto J. Salmeron JL. Consensus
document on the use of antibiotic prophylaxis
in dental surgery and procedures. Med Oral
Patol Oral Cir Bucal 2006;11(2):188-205.
29. Van Oosterwyk H, Duyck J, Vander Sloten J,
van der Perre G, Naert I. Peri-implan bone
tissue strains in cases of dehiscence: a finite
65
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73
Prevalensi Premature Loss Gigi Molar Kedua Sulung Dan Gambaran Maloklusi
Kajian pada Pasien ortodonti RSGM Universitas Trisakti tahun 2013– 2016
(Laporan Penelitian)
ABSTRACT
Background: The premature loss of the primary second molar can cause first permanent molar mesial
drifting and result in loss of space for second premolar to erupt. Space loss can reduce arch length
required for succeeding tooth, tooth rotation, arch asymmetry and hence predisposes of malocclusion.
Objective: To provide the description of deciduous second molar premature loss in the classification
of Angle malocclusion. Method: Descriptive observational study using medical record and study
model on orthodontic patient at RSGM Trisakti University FKG year 2013 - 2016 with premature loss
of deciduous second molars as etiology. Result: Prevalence rates of premature loss of second
deciduous second molar in patients with age range between 7 - 10 years are 13% . The rates of
children age 7 years (16%), age 8 years (31%), age 9 years (32%), and age 10 years (21%). By
gender: female 56.5% and male 43.5%. Premature loss tooth 75 is 52%, 85 is 39%, 55 is 6% and 65 is
3%. The most common deciduous second molars premature loss is in the mandible (92%) then in both
(mandible and maxillary) (5%) and in the maxillary (3%). Premature loss of tooth 55 causes class I
malocclusions (75%) and class II malocclusions (25%). Premature loss of tooth 65 and 85 only causes
class I malocclusion and premature loss of 75 causes class I malocclusion (97%) and class III
malocclusions (3%).Conclusions: The prevalence of deciduous second molar premature loss is 13%,
and molar relationships most commonly found are class I.
66
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73
Penelitian yang dilakukan di Medan tahun bercampur. Kriteria eksklusi adalah rekam medik
2015 menyatakan bahwa 32,5% pasien dengan data tidak lengkap dan model studi rusak
mengalami premature loss molar sulung,11 selain atau patah.
itu penelitian yang dilakukan oleh Hanindira Definisi operasional variabel premature
tahun 2016 di RSGM FKG Universitas Trisakti loss adalah gigi molar kedua sulung yang hilang
menunjukan prevalensi premature loss sebesar lebih dari enam bulan sebelum waktu erupsi gigi
18,5% dengan presentase premature loss gigi permanen penggantinya pada rahang atas atau
insisivus kedua sulung 30%, gigi insisivus rahang bawah. Pemeriksaan dilakukan dengan
pertama sulung 21,25%, gigi molar kedua sulung melihat rekam medik pasien kemudian
25%, gigi molar pertama sulung 12,50%, dan mencocokkan dengan melihat foto panoramik
gigi kaninus sulung 11,25%.12 dengan keadaan gigi molar kedua sulung hilang
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di dan benih gigi premolar kedua masih berada di
atas, menunjukan bahwa prevalensi premature dalam tulang. Usia kronologis pasien yang
loss gigi molar kedua sulung cukup tinggi. Gigi dijadikan sampel adalah usia erupsi gigi yang
molar kedua sulung sangat berpengaruh pada dilihat berdasarkan tanggal, bulan, dan tahun
perkembangan oklusi gigi karena hubungan kelahiran dimulai sejak awal kelahiran hingga
molar pertama permanen rahang atas dan rahang pasien berkunjung ke RSGM FKG Universitas
bawah bergantung pada hubungan distal gigi Trisakti untuk mendapatkan perawatan.
molar kedua sulung rahang atas dan rahang
bawah (flush terminal plane).10 HASIL
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan Setelah dilakukan seleksi sesuai dengan
untuk mengetahui lebih jauh tentang prevalensi kriteria inklusi dan eksklusi terhadap 480 rekam
premature loss molar kedua sulung dan medik, didapatkan sebanyak 62 rekam medik
gambaran hubungan molar menurut klasifikasi yang memiliki etiologi premature loss gigi molar
Angle sehingga bisa mendapatkan diagnosis dan kedua sulung dan 418 rekam medik lainnya
rencana perawatan yang tepat. Serta dapat memiliki etiologi selain premature loss gigi
memberikan manfaat guna meningkatkan molar kedua sulung, yaitu seperti presistensi gigi
pelayanan kesehatan gigi dan mulut serta sulung, kebiasaan buruk atau premature loss
memberi informasi kepada dokter gigi dan dengan jenis gigi lain selain molar kedua sulung,
masyarakat agar dapat meningkatkan sehingga didapatkan prevalensi premature loss
pengetahuan serta perhatian orang tua terhadap gigi molar kedua sulung pada pasien ortodonti di
kesehatan gigi dan mulut terutama tentang RSGM FKG Universitas Trisakti sebesar 13%
pencegahan terjadinya premature loss gigi molar (Gambar 1).
kedua sulung.
67
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73
Tabel 1. Distribusi premature lossgigi molar kedua premature loss, kehilangan gigi terbanyak adalah
sulung pasien ortodonti RSGM FKG Universitas kehilangan gigi 75 yaitu sebanyak 34 gigi (52%),
Trisakti berdasarkan tahun. kemudian gigi 85 sebanyak 26 gigi (39%), lalu
Tahun Frekuensi Presentase (%) gigi 55 sebanyak 4 gigi (6%) dan yang paling
2013 11 2.29% sedikit mengalami premature loss adalah gigi 65
2014 24 5.09% yaitu sebanyak 2 gigi (3%) (Tabel 3).
2015 22 4.58%
2016 5 1.04% Tabel 3. Distribusi frekuensi premature loss gigi
Total 62 13% molar kedua sulung berdasarkan jenis gigi yang
hilang
68
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73
80% 75%
Premature loss gigi 85 hanya
60% menyebabkan maloklusi kelas I (100%) tidak
menyebabkan maloklusi kelas II dan maloklusi
40% kelas III (Gambar 8).
25%
20%
0%
0%
kelas I kelas II kelas III
69
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73
70
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73
perawatan akan menjadi sumber infeksi jika menunjukkan bahwa premature loss gigi molar
tidak dilakukan ekstraksi, hal ini juga merupakan kedua sulung dapat terjadi pada rahang bawah,
salah satu penyebab dari premature loss. Anak – rahang atas maupun pada kedua lengkung rahang
anak biasanya menyukai makanan yang manis, yaitu rahang atas dan rahang bawah.
tingginya kandungan gula dalam minuman dan Premature loss gigi molar kedua sulung
makanan yang manis dapat dikaitkan dengan dapat menyebabkan maloklusi kelas I, kelas II
karies gigi. Oleh karena itu peran orang tua maupun kelas III, gambar 13 menunjukan bahwa
sangat penting untuk menanamkan perilaku yang premature loss gigi 55 menyebabkan maloklusi
sehat pada anak-anak mereka sejak usia dini.22 kelas I dan kelas II dengan hubungan molar kelas
Berdasarkan letak gigi yang hilang, I sebesar 75% dan kelas II sebesar 25%. Dari 66
premature loss terbanyak adalah premature loss sampel yang didapat, yang mengalami premature
gigi molar kedua sulung pada rahang bawah loss gigi 55 adalah sebanyak 4 gigi. 3 gigi
(92%) kemudian premature loss gigi molar diantaranya termasuk ke dalam klasifikasi kelas I
kedua sulung pada kedua lengkung rahang yaitu karena apabila dilihat dari model studi, terlihat
rahang atas dan rahang bawah (5%) dan paling tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas
sedikit terjadi pada rahang atas (3%). Hasil berkontak dengan bukal groove molar pertama
penelitian ini sejalan dengan pernyataan pada rahang bawah dan 1 gigi lainnya termasuk
hasil penelitian Ahamed dkk., yang menyatakan klasifikasi kelas II karena bila dilihat dari model
bahwa premature loss terbanyak dialami pada studi terlihat tonjol distobukal gigi molar
rahang bawah,23 namun ada perbedaannya yaitu pertama rahang atas berkontak dengan bukal
setelah premature loss yang terbanyak pada groove molar pertama permanen rahang bawah.
rahang bawah adalah pada rahang atas dan yang Premature loss gigi 65 hanya
paling sedikit adalah pada kedua lengkung menyebabkan maloklusi kelas I. Hal ini
rahang yaitu rahang atas dan rahang bawah.23 disebabkan karena dari 66 sampel yang didapat
Hasil penelitian ini ada perbedaan dengan hasil hanya 2 gigi yang mengalami premature loss
penelitian Ahamed dkk kemungkinan gigi 65 dan bila dilihat dari model studi terlihat
dikarenakan jumlah sampel yang digunakan tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas
berbeda sehingga ada perbedaan pada jumlah berkontak dengan bukal groove molar pertama
kehilangan gigi yang premature loss. rahang bawah. Namun premature loss gigi 75
Prevalensi premature loss gigi molar menyebabkan maloklusi kelas I dan kelas III
kedua sulung pada pasien ortodonti RSGM FKG dengan hubungan molar kelas I sebesar 97% dan
Universitas Trisakti dilihat berdasarkan rentang hubungan molar kelas III sebanyak 3%. Dari 66
usia adalah terbesar di usia 9 tahun yaitu sampel pada penelitian ini, yang mengalami
sebanyak 20 anak (32%), usia 8 tahun sebanyak premature loss gigi 75 adalah sebanyak 34 gigi.
19 anak (31%), usia 10 tahun sebanyak 13 anak Dari 34 gigi tersebut, 33 gigi termasuk dalam
(21%) dan usia 7 tahun merupakan usia paling klasifikasi kelas I karena dilihat dari model studi
sedikit yang ditemukan premature lossgigi molar terlihat tonjol mesiobukal molar pertama rahang
kedua sulung yaitu sebanyak 10 anak (16%). atas berkontak dengan bukal groove molar
Hasil ini berbeda dengan penelitian penelitian pertama rahang bawah dan 1 gigi lainnya bila
Hanindira yang menyatakan bahwa premature dilihat dari model studi terlihat tonjol mesiobukal
loss paling sering terjadi pada usia 8 tahun,12 molar pertama rahang atas berada lebih distal
tetapi penelitian ini sejalan dengan penelitian dari bukal groove molar pertama rahang bawah.
Cavalcanti dkk yang menyatakan bahwa Premature loss gigi 85 hanya
premature loss paling sering terjadi pada usia 9 menyebabkan maloklusi kelas I. Hal ini
tahun.20 disebabkan karena dari 66 sampel yang didapat,
Terdapat 23 gigi molar kedua sulung yang gigi yang mengalami premature loss gigi 85
mengalami premature loss dari total 20 anak usia sebanyak 26 gigi dan bila dilihat dari model studi
9 tahun pada pasien ortodonti di RSGM Fakultas gigi tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas
Kedokteran Gigi Universitas Trisakti. berkontak dengan bukal groove molar pertama
Kehilangan gigi terbanyak adalah kehilangan rahang bawah.
gigi 75 yaitu sebanyak 10 gigi (43,5%) kemudian
gigi 85 yaitu sebanyak 8 gigi (34,8%) lalu KESIMPULAN
kehilangan gigi 55 sebanyak 4 gigi (17,4%) dan Berdasarkan penelitian yang telah
yang paling sedikit adalah kehilangan gigi 65 dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan
yaitu sebanyak 1 gigi (4,3%). Hasil ini yaitu: prevalensi premature loss gigi molar
71
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73
kedua sulung pada pasien ortodonti di RSGM 10. Kusnoto J, Fajar HN, dan Haryanto AG.
Universitas Trisakti sebesar 13%. Premature loss Buku Ajar Orthodonti jilid 1. Jakarta: EGC.
gigi molar kedua sulung paling banyak dialami 2016; 92 – 212.
oleh pasien berjenis kelamin perempuan. Usia 9 11. Harahap S. Prevalensi Premature loss Gigi
tahun merupakan usia paling banyak Molar Desidui pada Pasien Ortodonsia di
ditemukannya premature loss gigi molar kedua RSGMP FKG USU Tahun 2010-2014.
sulung yaitu sebesar 32%. Kehilangan gigi Available from:
terbanyak yaitu kehilangan gigi 75 sebesar 52%, http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/
dan hubungan molar yang paling sering 55974. 2015
ditemukan adalah hubungan molar kelas I 12. Hanindira M. Prevalensi Maloklusi Dengan
sebesar 97%. Etiologi Premature loss Gigi Sulung Pada
Pasien Ortodonti Di Rsgm Fkg Universitas
DAFTAR PUSTAKA Trisakti ( Periode Tahun 2013 – 2015 ). 2017;
1. Millet, Declan dan Richard W. Orthodontics 23 - 26.
and Paediatric Dentistry. Sydney: Chruchill 13. Dahlan MS. Evidence Based Medicine Seri 3:
Livingstone; 2000: 5. Langkah – Langkah Membuat Proposal
2. Rakosi T, Jonas I, dan Graber TM. Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan.
Orthodontic Diagnotstic Color Atlas of Edisi II. Jakarta: CV Sagung Seto; 2016; 80.
Dental Medicine. Ratheitschak HK. Wolf HF. 14. Bhalajhi SI. Orthodontics The Art and
Editor. Thieme Medical Publisher Inc. 1993; Science. 3rd edition. New Delhi: Arya (Medi)
35 – 87. Publishing House. Oktober 2003; 91 – 95.
3. Profit WR, Fields HW dan Sarver DM. 15. Song K, Nam O, Kim M, Lee H, Choi S.
Contemporary Orthodontics. 5th Edition. Management of Premature loss of Primary
Canada. Elsevier. 2013; 3. Molars with Flexible Denture. J Korean Acad
4. Samad R. dan Gazali S., Hubungan Pediatr Dent. 2016. 43(2); 187 – 191.
Kebiasaan Mendorong Lidah, Menghisap Ibu 16. Herawati H, Novita S, dan Rainisa DU.
Jari dan Premature loss Terhadap Jenis Hubungan Premature loss Gigi Sulung
Maloklusi Murid SD di Kota Makassar. Dengan Kejadian Maloklusi Di Sekolah
Available from: Dasar Negeri Kota Cimahi. Journal of
http://repository.unhas.ac.id/handle/12345678 Medicine and Health. Augustus 2015. 1(2):
9/20202. 2016. 156 – 169.
5. Graber TM, Vanarsdall RL dan Vig KWL. 17. Murshid SA, Al-Labani MA,Aldhorae
Orthodontics Current Principle and KA,Rodis OM. Prevalence of prematurely
Teqniques. 5th Edition. USA: Elsevier. 2012; lost primary teeth in 5-10 year-old children in
15 Thamar City, Yemen : A cross-sectional
6. McDonald RE,Avery DR, Dean JA. Dentisry study. J Int Soc Preven Communit Dent 2016
for the child and adolescent.9th ed. St Louis : ; 6, Suppl S2: 126-30
Mosby: 2011. 150-3,220,518,559-63 18. Saloom HF. Early Loss of Deciduous Teeth
7. Alexander SA, Askari M, Lewis P. The and Occlusion. Iraqi Orthod J. 2005;1(2):36–
premature loss of primary first molars: Space 39.
loss to molar occlusal relationships and facial 19. Aslam K, Nadim R, Rizwan S. Prevalence of
patterns. Angle Orthod. 2015;85(2):218–223. angles malocclusion according to age groups
8. Al-Shahrani N, Al-Amri A, Hegazi F, Al- and gender. Pakistan Oral Dent J.
Rowis K, Al-Madani A, Hassan KS. The 2014;34(2):362-365.
prevalence of premature loss of primary teeth 20. Cavalcanti, A.L., Alencar, C.R.B.D., Bezerra,
and its impact on malocclusion in the Eastern P. and Granville-Garcia AF. Pediatric
Province of Saudi Arabia. Acta Odontol dentistry prevalence of early loss of primary
Scand. 2015;73(7):544–549. molars in school children in Campina Grande,
9. Pokorná H, Marek I, Kucera J, Hanzelka T. Brazil. Pakistan Oral Dent J. 2008;28(1):113.
Space Reduction After Premature loss of A 21. Law CS. Management Of Premature Primary
Deciduous Second Molar – Retrospective Tooth Loss in the Child Patient. CDA J.
Study. IOSR Journal of Dental and Medical 2013;41(8):612–618.
Sciences (IOSR-JDMS). November 2016. 22. López-Gómez SA, Villalobos-Rodelo JJ,
15(11); 1 – 8. Ávila-Burgos L. Relationship between
premature loss of primary teeth with oral
72
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73
73
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1
Perhatian:
Petunjuk penulisan TINJAUAN PUSTAKA Naskah yang telah diterima beserta semua ilustrasi
Pendahuluan, meliputi latar belakang topik, per- yang menyertainya menjadi milik sah penerbit,
masalahan, kekhususan topik, tujuan tinjauan serta tidak dibenarkan untuk diterbitkan dimana-
pustaka dan manfaat untuk waktu yang akan da- pun, baik secara keseluruhan atau sebagian, dalam
tang. Tinjauan pustaka, telaah teori dari berbagai bentuk cetakan maupun elektronika tanpa ijin ter-
sumber acuan mutakhir. Pembahasan. men- tulis dari penerbit. Semua data, pendapat, atau
erangkan pemikiran penulis dari hasil telaah pernyataan yang terdapat pada naskah adalah
pustaka, bagaimana hasil tsb dapat memecahkan merupakan tanggung jawab penulis. Penerbit dan
masalah, perkembangan dan aplikasinya. Sim- dewan redaksi tidak bertanggung jawab atau tidak
pulan dan saran diletakkan pada bagian akhir bersedia menerima kesulitan maupun masalah
pembahasan yang merupakan paragraf penutup. apapun sehubungan dengan konsekuensi dari
Daftar pustaka. Acuan yang digunakan untuk ketidak akuratan, kesalahan data, pendapat, mau-
artikel tinjauan pustaka usahakan minimal 25 pun, pernyataan tersebut.
(tiga puluh lima) buah, yang disusun menurut sis-
tem Vancouver. Tata cara sama dengan di atas.