Anda di halaman 1dari 70

Jurnal Ilmiah

KEDOKTERAN GIGI TERPADU


Scientific Journal in Integrated Dentistry
Januari 2016. Volume 02. No 01
ISSN : 977 2407841 159

Jurnal Ked.Gigi Vol. 2 No. 01 Hlm. 1-63 Januari ISSN


Terpadu 2016 977 2407841 159
Jurnal Ilmiah

KEDOKTERAN GIGI TERPADU

Penasehat :
Prof.Dr.Tri Erri Astoeti A., drg., MKes (Dekan FKG USAKTI)

Penanggung Jawab:
Dr. Wita Anggraini, MBiomed., drg., PAK., SpPerio

Pemimpin Redaksi:
Enrita Dian Rahmadini, drg.Sp.KGA

Dewan Redaksi:
Caroline D. Marpaung, drg.Sp.Pros
Tri Putriany Agustin, drg.Sp.KGA
Arianne Dwimega, drg. Sp.KGA
Armelia Sari, drg..MBiomed

Mitra Bestari:
Prof.Dr. Boedi Oetomo R., drg., M.Biomed (Usakti)
Prof. Dr.Melanie H.Sadono,drg., M.Biomed (Usakti)
Prof.Dr. Bambang S.Trenggono, drg.,MBiomed (Usakti)
Prof. Dr. Lies ZubardiahM. Qosim, drg., Sp.Perio (Usakti)
Prof.Dr.F.Loes Djimahit S, drg., M.Kes (Usakti)
Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg., M.Kes (Usakti)
Prof.Dr. E.Arlia Budiyanti,drg., SU (Usakti)
Prof.Dr. Suzan Elias, drg., Sp.Prost (Usakti)
Prof.Dr.S.S. Winanto, drg., Sp.KG (Usakti)
Prof. Anton Margo, drg., Sp.Pros (Usakti)
Prof. Janti Sudiono, drg., MDSc (Usakti)

Alamat Redaksi:
Bagian Kesehatan Gigi Anak
Fakultas Kedokteran Gigi-Universitas Trisakti
Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta 11440 Indonesia
Telepon: 021-5672731 ext. 1604
Email: enritadian@gmail.com
Kata Pengantar

Pembaca yang budiman

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha esa, karena dengan
pertolongannya Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu dapat terbit di awal
tahun 2015. Berkala ilmiah ini akan terbit setahun dua kali yaitu pada bulan
Januari dan Juli. Di dalam volume pertama ini kami menyajikan artikel-artikel
yang beragam dari berbagai bidang ilmu, yang meliputi: Biologi Oral, Ilmu
Anatomi, Mikrobiologi, Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, Radiologi, Ilmu Bedah
Mulut, Ilmu Penyakit Mulut, Ortodonsia, Periodonsia, Prostodonsia dan Ilmu
Konservasi Gigi.
Kami berharap sajian kali ini dapat memperkaya khasana Ilmu Kedokteran Gigi
secara terpadu. Redaksi berharap masukan serta dukungan para penulis dan
pembaca demi kelanggengan berkala ilmiah ini.

Salam Redaksi
Jurnal Ilmiah

KEDOKTERAN GIGI TERPADU


ISSN 977 2407841 159 Vol. 02, No. 01 Jan 2016

Daftar Isi

Preventive Resin Restoration Pada Gigi Permanen Muda 1 – 4


Tri Putriany
Penatalaksanaan Kelainan Gigi dan Mulut pada Anak dengan 5 – 10
Cleidocranial Dysplasia (Tinjauan Pustaka)
Arianne Dwimega
Pengaruh Bruxism Pada Gigi Dan Jaringan Periodontal Serta 11 – 16
Perawatannya
Jessica Purnadjaja, Lies Zubandriah
Gambaran Keluhan Subyektif Pasien Selama dan Pasca Radioterapi 17 – 22
Kanker Kepala Leher
Rahmi Amtha, Yunita Caroline Lukman
Peranan Lingkungan Fisik dan Sosial Dalam Menciptakan Kepuasan 23 – 28
Pasien Klinik Gigi
Goalbertus
Odontologi Forensik Dalam Disaster Victim Identification (Dvi) 29 – 35
Sudhana, Jw
Daya Hambat Kitosan Terhadap Candida Albicans pada Denture Soure 38 – 41
Mouth
Rahmi Amtha, Asa Dria Tabitha
Tahapan Pembedahan Pada Pasien Dengan Kelainan Celah Bibir Dan 42 – 45
Palatum (Tinjauan Pustaka)
Anggraeny Putri Sekar Palupi
Perawatan Apeksifikasi Gigi Nekrosis Imatur antara Menggunakan 46 – 51
MTA (Mineral Trioxide Aggregate) (Laporan Kasus)
Elline
Efek Ekstrak Tanaman Sambiloto Terhadap Pertumbuhan 52 – 56
Porphyromonas Gingivalis Secara In Vitro
Armelia Sari W, Nicholas Yanuar
Pemanjangan Mahkota Klinis Secara Bedah 57 – 63
Trijani Suwandi
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 1-4

Preventive Resin Restoration Pada Gigi Permanen Muda


Tri Putriany Agustin
Staf Pengajar Bagian IKGA FKG USAKTI

ABSTRACT

Preventive Resin Restoration (PRR) is one of the treatments on pits and fissures caries in occlusal and
buccal surfaces of young permanent molars. PRR is divided into three types based on the depth of the
cavity: the PRR type A, type B, and type C. The material used is a material containing resin, such as
composite or compomer. The success of this treatment to prevent occlusal caries is quite good based on
studies conducted for 6 and 9 years.

Keywords: Young permanent molar, pit and fissure, Preventive Resin Restoration (PRR)

PENDAHULUAN waktu.1,2 Keempat faktor tersebut baru akan


Prevalensi karies pada permukaan oklusal menyebakan karies bila saling berinteraksi.1,2
gigi anak masih merupakan masalah dalam bidang Permukaan gigi merupakan host atau
Kedokteran Gigi. Survey yang dilakukan oleh faktor utama terjadinya karies, terdapat beberapa
National Dental Caries pada tahun 1979-1980 di hal yang mendukung kepekaan gigi terhadap karies
Amerika Serikat, dijumpai karies sebesar 84% yaitu bentuk anatomi dan morfologi seperti
pada anak usia 5 sampai 17 tahun termasuk karies kedalaman pit dan fisura serta daerah kontak
pit dan fisura.1 Pada gigi permanen muda dijumpai proksimal yang datar.3 Disamping itu kondisi gigi
prevalensi karies di permukaan oklusal sebesar berjejal, gangguan penyusunan matriks email dan
20% pada anak usia 8 tahun dan 70% pada anak mineralisasi serta faktor usia erupsi gigi juga
usia 17 tahun.1 mempengaruhi kerentana gigi terhadap karies.3
Salah satu usaha pencegahan karies pada Permukaan oklusal gigi permanen hanya
permukaan oklusal gigi adalah penutupan pit dan 12,5% dari total permukaan tetapi karies pada
fisura prosedur ini hanya dilakukan pada gigi yang permukaan oklusal pada anak sekolah dijumpai
bebas karies. Apabila telah terjadi karies kecil pada sebesar 50%.4 Survey yang dilakukan oleh
pit dan fisura, maka dilakukan perawatan yang National Dental Caries pada tahun 1979-1980 di
dikenal dengan preventive resin restoration (PRR). Amerika Serikat, dijumpai karies sebesar 84%
Perawatan ini merupakan alternatif pada anak usia 5 sampai 17 tahun termasuk karies
perawatan untuk merestorasi gigi permanen muda pit dan fisura.1 Pada gigi permanen muda dijumpai
dengan karies kecil karena tidak diperlukan prevalensi karies di permukaan oklusal sebesar
preparasi kavitas yang luas. Prosedur yang 20% pada anak usia 8 tahun dan 70% pada anak
dilakukan hanya membuang karies pada pit dan usia 17 tahun.1
fisura kemudian di restorasi dengan penggabungan Bentuk anatomi dan morfologi pit dan
antara bahan resin komposit dan aplikasi sealant. fisura cukup bervariasi ada bentuk V, U, Y
Di dalam makalah ini akan dibahas terbalik, IK dan I seperti yang diperlihatkan pada
mengenai tehnik preventif resin restoration pada gambar 1. Bentuk V yaitu pit dengan permukaan
gigi permanen muda lebar dan berangsur-angsur menyempit kearah
dasar. Bentuk U bagian permukaan dan dasar
TINJAUAN PUSTAKA hampir sama lebar. Bentuk Y terbalik,
Karies merupakan multifactorial disease menunjukkan adanya percabangan pada dasar pit.
karena disebabkan oleh empat faktor yang sangat Bentuk IK seperti jam pasir, terdapat celah yang
kompleks. Keyes (1969) mengemukakan bahwa sangat sempit dengan ruangan besar didasarnya.
terdapat 4 faktor utama penyebab karies yaitu (1) Bentuk I memperlihatkan celah yang sangat
host/permukaan gigi (2) plak (3) substrat dan (4) sempit.5

1
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 1-4

karies email atau karies dentin kecil pada pit dan


fisura dapat dilakukan perawatan yang disebut
dengan Preventive Resin Restoration (PRR) 1,7
Perawatan ini pertama kali diperkenalkan oleh
Simonsen dan Stallard pada tahun 1978,
merupakan alternatif perawatan untuk merestorasi
gigi permanen muda dengan karies kecil karena
tidak diperlukan preparasi kavitas yang luas.1,7
Preventif Resin Restoration (PRR) diindikasikan
pada gigi permanen muda dengan karies email pit
dan fisura, karies yang baru mencapai dentin dan
karies kelas I kecil.1,7 Terdapat tiga tipe PRR yang
diklasifikasikan berdasarkan luas dan kedalaman
karies. PRR tipe A karies yang terbatas pada email,
Gambar 1. Bentuk Pit dan Fisura.5 tipe B karies kecil pada dentin dan tipe C seperti
tipe B tetapi sudah lebih dalam seperti terlihat pada
gambar 2.1
Penelitian yang dilakukan Bossert
memperlihatkan angka kejadian karies yang
dihubungkan dengan bentuk pit dan fisura. Pada
shallow fissure karies hanya terjadi pada 20% gigi
yang diperiksa, pada medium deep fissue karies
terjadi pada 25% gigi, pada deep fissure angka
kejadian karies meningkat menjadi 46%,
sedangkan pada very deep fissure terjadi 60%
karies dari 25 gigi yang diperiksa. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa makin dalam fisura A B
angka kejadian karies semakin tinggi.6 Gbr 2. A. PRR tipe A dan B. PRR Tipe B1
Karies pada fisura terjadi lebih cepat
karena bentuk anatomisnya yang sulit dibersihkan Bahan yang dipergunakan untuk
sehingga merupakan tempat pertumbuhan bakteri melakukan perawatan ini sesuai dengan namanya
yang ideal. Karies ini dimulai dari daerah lateral tentunya yang berbahan dasar resin, yaitu resin
dinding fisura, lesi ini cepat menyebar ke komposit atau kompomer. Saat ini dengan
dentintino enamel junction karena email didaerah berkembangnya bahan-bahan kedokteran gigi,
fisura lebih tipis dan terbentuk kavitas menggaung banyak dipergunakan flowable composite resin
dibawah permukaan oklusal dengan email masih atau compomer karena memiliki keunggulan
menutup.3 mudah dalam pengaplikasiannya dan dapat
Bentuk ceruk dan fisura gigi molar dua mencegah kebocoran tepi.2
sulung dan gigi molar pertama permanen cukup Pada PRR tipe A, sebelum pengaplikasian
kompleks oleh sebab itu kedua gigi tersebut rentan bahan permukaan gigi dibersihkan dan gigi
terjadinya karies. Pencegahan karies pit dan fisura diisolasi, lalu bagian pit dan fisura yang
dilakukan dengan melakukan penutupan pit dan mengalami dekalsifikasi dibersihkan dengan bur
fisura dengan istilah pit and fissure sealant. bulat kecepatan rendah. Kemudian permukaan
Prosedur ini paling baik dilakukan pada gigi yang oklusal gigi dietsa selama 20-60 detik, bilas selama
baru erupsi sampai 4 tahun setelah erupsi karena 20 detik dan keringkan selama 10 detik. Bahan
pada saat tersebut mineralisasi gigi belum diaplikasikan pada daerah pit dan fisura lalu
sempurna.3 dipolimerisasi selama 20 detik. Selanjutnya
Penutupan pit dan fisura hanya dilakukan diperiksa apakah ada bagian yang belum terisi
pada gigi yang bebas karies, pada gigi dengan

2
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 1-4

bahan sealant dan terakhir dilakukan pengecekan F. Aplikasi bahan sealant.


oklusi.1 G. Polimerisasi
Berbeda dengan PRR tipe A, PRR tipe B H. Penyesuaian oklusi.
sebelum pengaplikasian bahan sealant harus
terlebih dahulu perlu diberikan bahan pelindung
Teknik PRR tipe C tahapan pengaplikasian
pulpa. Setelah pembersihan karies, diletakkan
bahannya sama dengan PRR tipe B. Tetapi karena
Ca(OH)2 sebagai pelindung pulpa baru kemudian
kavitas sudah lebih besar dan dalam, maka perlu
permukaan oklusal gigi dietsa selama 20-60 detik,
dilakukan penambahan waktu polimerisasi menjadi
dicuci 20 detik dan dikeringkan selama 10 detik.
30 detik agar didapatkan pengerasan bahan yang
Aplikasikan bonding, polimerisasi kemudian
lebih baik. (Gambar 4)1
diaplikasikan bahan resin komposit, dikondensasi
agar padat lalu polimerisasi. Setelah mengerasi
dilakukan aplikasi bahan sealant diatasnya. Tahap
terakhir adalah penyesuaian oklusi, seperti terlihat
pada gambar 3.1

Gbr. 4 Skema PRR tipe B dan C.1

A B
Keberhasilan jangka panjang perawatan ini
baik. Evaluasi yang dilakukan selama 6 tahun
memperlihatkan bahwa 83% gigi yang dilakukan
PRR tidak memerlukan perawatan lanjutan, 37%
gigi membutuhkan sealant dan 21% membutuhkan
perawatan lanjutan karena terjadi karies
C D interproksimal.7 Evaluasi yang dilakukan selama 9
tahun menunjukkan bahwa gigi geligi yang
dilakukan PRR 54% gigi masih tetap utuh, 25%
mengalami lepas bagian sealant sebagian dan 20%
mengalami lepas sealant seluruhnya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perawatan PRR memberikan
hasil yang cukup baik.7
E F
PEMBAHASAN

Berbagai upaya telah dilakukan untuk


menurunkan prevalensi karies. Walaupun demikian
angka karies tetap tinggi. Karies pada permukaan
oklusal terutama karies pada ceruk dan fisura
G H masih cukup tinggi yaitu diatas 50%, hal ini
Gambar 3. Tahap Pengaplikasian PRR1 disebabkan karena anatomi permukaan oklusal gigi
A. Pembersihan karies dan aplikasi Ca(OH)2 permanen dengan bentuk dan kedalaman pit dan
B. Etsa pada permukaan gigi C. Aplikasi Bonding. fisura yang bervariasi sehingga menyulitkan
D. Aplikasi bahan Resin Komposit. pembersihannya. Hal tersebut dikarenakan bulu
E. Kondensasi Resin Komposit.

3
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 1-4

sikat gigi tidak dapat masuk sampai ke dasar ceruk KESIMPULAN


dan fisura 1. Prosedur PRR hanya memerlukan
Bentuk ceruk dan fisura berhubungan preparasi minimal.
dengan angka terjadinya karies yang ditunjukkan 2. Dari segi estetik baik karena menggunakan
oleh suatu penelitian yang dilakukan oleh Bossert bahan sewarna gigi.
(1933). Semakin dalam pit dan fisura semakin 3. Penggunaan bahan yang mengeluarkan
tinggi prevalensi karies. Disamping itu karies pada fluor dapat menghambat terjadinya karies
pit dan fisura lebih cepat terjadi dan menyebabkan sekunder.
karies menggaung yang sering tidak terdeteksi 4. Dengan ditunjang keberhasilan mulut dan
sampai timbul keluhan dari pasien. kontrol diet yang baik, perawatan ini akan
Salah satu cara pencegahan karies adalah memberikan keberhasilan jangka panjang
dengan pemberian topikal fluor aplikasi dan n yang baik.
penutupan ceruk dan fisura. Pengaplikasian fluor
secara topikal hanya efektif untuk permukaan
halus, hal tersebut dikarenankan fluor sulit untuk DAFTAR PUSTAKA
dapat masuk kedalam ceruk dan fisura.1 Sedangkan 1. Mathewson, R.J., Primosch, R.E. 1995.
untuk permukaan oklusal, pencegahan karies Fundamentals of Pediatric Dentistry. 3th
dengan penutupan ceruk dan fisura cukup efektif. ed. Quentessence Pub Co Inc. Hal. 119-
Penutupan ceruk dan fisura hanya 133.
diindikasikan untuk gigi posterior permanen 2. Cameron, A., Widmer, R. 2008. Handbook
dengan ceruk dan fisura dalam dan sempit. Bila of Pediatric Dentistry. 3th ed. Cv Mosby.
telah terjadi karies kecil pada pit dan fisura maka 3. McDonald, R.E., Avery, D.R., Stookey,
perlu dilakukan restorasi pencegahan yang dikenal G.K., Chain, J.R., Kowolik, J.E., 2011.
dengan Preventive Resin Restoration (PRR). Hal Dental Caries in Child and Adolescent.
tersebut seperti yang dikemukakan oleh Simonsen Dalam Dentistry for The Child and
dan Stallard pada tahun 1978, PRR merupakan Adolescent. R.E.McDonald., D.R.Avery.,
alternatif perawatan untuk merestorasi gigi J.A.Dean (editor) 9th ed. CV Mosby.
permanen muda dengan karies kecil karena tidak 4. Welbury, R., Millett D. 2005. Clinical
diperlukan preparasi kavitas yang luas sehingga Problem Solving in Orthodontics and
dapat mempertahankan jaringan gigi sehat Paediatric Dentistry. Elsevie Churchil
semaksimal mungkin. Livingstone. Hlm. 83-85.
Prosedur PRR tergantung kedalaman 5. Hicks, M.J. 1994. The Acid-Etch Tehnique
kavitas, untuk kavitas sebatas pada email (tipe A) in Caries Prevention: Pit and Fissure
maka cukup diaplikasikan bahan sealant setelah Sealants and Preventive Resin
pembersihan karies. Untuk PRR tipe B karena Restorations. Dalam Pediatric Dentistry
telah mencapai dentin tetapi kavitas kecil maka Infancy through Adolescent. J.R. Pinkham
perlu aplikasi pelindung pulpa sebelum (editor). Ed. Ke-2. W.B.Saunder Co.
pengaplikasian resin komposit dan sealant. Hlm.454-455.
Sedangkan untuk PRR tipe C karena telah 6. Volker, J.F., Thomas, J.P. 1973.
melibatkan dentin yang lebih dalam maka perlu Prophylactic and Operative Technique in
penambahan waktu polimerisasi agar bahan dapat Dental Caries Prevention. Dalam Clinical
mengeras dengan sempurna. Pedodontic. S.B.Finn (editor). Ed. Ke-9
Perawatan dengan Preventive Resin W.B. Saunders Co. Hlm. 554-555.
Restoration ini memberikan keberhasilan cukup 7. Sander, B.J., Feigal, R.J., Avery, D.R.
baik seperti yang diperlihatkan dari hasil penelitian 2004. Pit and Fissure Sealants and
Walker dan Houpt. Tentunya pemeliharaan Preventive Resin Restorations. Dalam
kebersihan mulut serta kontrol diet yang baik akan Dentistry for The Child and Adolescent.
menunjang keberhasilan perawatan. R.E.McDonald., D.R.Avery., J.A.Dean
(editor) 9th ed. CV Mosby

4

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 5-10

Penatalaksanaan Kelainan Gigi dan Mulut pada Anak dengan Cleidocranial Dysplasia
(Tinjauan Pustaka)
Arianne Dwimega
Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT
Background: Cleidocranial dysplasia is a syndrome due to genetic abnormality that causes disorder
of growth and development in bones and teeth . Many cleidocranial dysplasia patients were often left
without treatment in the past, but now a growing number of approaches managing oral manifestations
in cleidocranial dysplasia patients can be addressed with a comprehensive dental team work. The role
of dentist is very important in early diagnosis and to plan a timely appropriate treatment procedures.
Purpose: This literature review aims to discuss the etiology, clinical presentation, oral manifestations
in pediatric dental patients with cleidocranial dysplasia and its management. Review: Cleidocranial
dysplasia is a dominant, inherited autosomal disorder. In patients with cleidocranial dysplasia,
mutations occur in CBFA1 gene that affect bones and teeth development. Skeletal bone
malformations, craniofacial and various oral manifestations can be found in these patients. Patient
management requires a comprehensive cooperation in various fields such as radiology, oral
maxillofacial surgery, prosthodontics, orthodontics and pediatric dentistry. Conclusion: Management
of patients with cleidocranial dysplasia is a challenge for pediatric dentist. The earlier diagnosis is
established and treatment initiated then the better is the prognosis. An appropriate and timely dental
management in cleidocranial dysplasia patients can improve appearance and provide a functioning
masticatory mechanism.

Keywords: cleidocranial dysplasia, oral manifestations, management

PENDAHULUAN
gigi permanen, dan impaksi multiple
supernumerary teeth. Maloklusi juga dapat
Cleidocranial dysplasia (CCD) adalah
diamati pada penderita CCD ini , terutama
suatu kelainan kongenital yang mengenai tumbuh
berupa hubungan rahang kelas III dan palatum
kembang tulang dan gigi.1-5 CCD diturunkan
yang tinggi dan sempit. 3,5,-7,10,12,15,16,28,29
secara autosomal dominan dengan penetrasi
Martin, pertama kali melaporkan
lengkap, namun ekspresi yang bervariasi. CCD
kelainan ini pada pasien dengan kelainan
dapat pula terjadi karena adanya mutasi spontan
kongenital berupa aplasia tulang klavikula pada
dari gen terkait tanpa sebab yang jelas.1,3,6-12
tahun 1765. Pada tahun 1898 , Marie dan Sainton
Penderita CCD mengalami osifikasi
merumuskan nama kelainan ini sebagai
yang tertunda dan tidak sempurna pada kranium
Cleidocranial dysostosis dengan nama
kepalanya, berperawakan pendek, dan dapat
“Dysostose Cleido-Cranienne Hereditaire”. Pada
mengalami berbagai kelainan pada tulang
awalnya diduga kelainan ini melibatkan tulang
lainnya. Penderita CCD dapat dikenali dengan
yang berasal dari osifikasi intramembranosa
adanya aplasia atau hipoplasia pada tulang
namun ternyata kemudian diketahui bahwa
klavikula yang mengakibatkan bahu penderita
tulang yang mengalami osifikasi endokhondral
terlihat sempit dan turun serta kedua bahu kiri
juga terpengaruh , maka kelainan ini sekarang
dan kanan dapat saling ditempelkan di garis
lebih tepat diklasifikasikan sebagai suatu
tengah tubuh.8,10,13-20 Tanda lainnya yaitu
dysplasia.1-3,6,12,16,18-21,25,27,28,30
hipoplasia pada sepertiga tengah wajah, kelainan
pada tangan seperti brakhidaktili, tapering pada
jari tangan dan ibu jari yang lebar dan TINJAUAN PUSTAKA
pendek.5,21-27 Cleidocranial dysplasia (CCD) adalah
Manifestasi oral yang terutama dapat suatu kelainan kongenital yang mengenai tumbuh
diamati pada penderita CCD adalah persistensi kembang tulang dan gigi. CCD disebabkan
gigi sulung, keterlambatan atau kegagalan erupi karena mutasi gen RUNX2 / CBFA1 (core
binding factor alpha 1) yang berada pada lengan

5

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 5-10

pendek kromosom 6p21. Mutasi gen ini bersifat klavikula yang hipoplastik maupun aplastik dan
herediter, diturunkan secara autosomal dominan disertai cacat otot yang terkait, menyebabkan
dengan penetrasi lengkap dan ekspresi yang hipermobilitas dari bahu serta kedua bahu kiri
bervariasi. CCD dapat pula terjadi karena adanya dan kanan dapat saling ditempelkan di garis
mutasi spontan dari gen terkait tanpa sebab yang tengah tubuh. (Gambar 2) 1,3,8,9,11,12,26,27
jelas.1,2,11-14,24,26,27,30 Insidensi CCD di seluruh
dunia sekitar 1 dari 1.000.000 kelahiran. Gen
CBFA1 bertugas mengontrol diferensiasi sel
prekursor / sel induk menjadi osteoblas yang
penting untuk pembentukan tulang
intramembranosa dan endokhondral. Hal ini
menjelaskan hubungan CCD dengan kelainan
tulang terutama pada kranium, tulang panggul ,
ekstremitas dan gigi 1-3,9,11,14,27,30-35
Penderita CCD menunjukan gambaran Gambar 2. Gambaran klinis pada bahu seorang anak
klinis yang khas pada kepala dan wajah, juga laki-laki penderita CCD.8
pada penampilan fisiknya secara umum . Seperti
dapat dilihat pada gambar 1 , individu yang
terkena biasanya pendek, dengan laki-laki rata- Tulang lain juga dapat terpengaruh
rata 156,6-168,8 cm dan perempuan 144,6-148,5 termasuk tulang panjang, tulang belakang,
cm. 1,3,6,7,11,12,18,22,25,27 panggul, dan tulang tangan dan kaki. Temuan
lainnya termasuk scoliosis, kelainan tulang
belakang spina bifida occulta, kyphoscoliosis dan
kelainan pada paru-paru penderita.1,3,11
Penampilan penderita CCD ini biasanya
patognomonik. Patognomonik artinya
memberikan gambaran karakteristik yang
mengindikasikan secara khas dari kelainan
tersebut. Pada penderita CCD ditemukan
brachycephaly , “bossing” pada tulang frontal
dan parietal. Kelainan pada hidung penderita
CCD dapat berupa pangkal hidung yang lebar
dan datar disertai pula hypertelorism yaitu jarak
antar orbita mata lebih jauh dari normal.
(Gambar 3) 1,-3,6,7,9,11,18,25,29,33

Gambar 1. Seorang wanita penderita CCD, bertubuh


pendek dengan penampilan fisik yang khas.6

Leher penderita CCD terlihat panjang,


bahu sempit dan turun. Tulang klavikula pada
penderita CCD umumnya hipoplastik bahkan
Gambar 3. Gambaran klinis kepala dan wajah
aplastik. Aplastik atau tidak adanya tulang
penderita CCD.6
klavikula samasekali terjadi pada sekitar 10%
kasus. Biasanya hanya ujung akromial dari
tulang klavikula yang tidak ada. Pada tulang

6

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 5-10

Dapat dilihat pada gambar 4, pada dari gigi seri rahang atas merupakan penyebab
penderita CCD juga biasanya ditemukan penderita CCD datang ke dokter gigi . (Gambar
keterlambatan penutupan pada sutura dan 6) 1,2,11,12,14,22,28,30,35
fontanel , bahkan pada sebagian penderita masih
belum menutup sempurna sampai usia dewasa.
Wajah terlihat relatif kecil bila dibandingkan
dengan kranium penderita. Tulang lakrimal,
zygomatik dan sinus paranasal kurang
berkembang. Sebagai hasil dari pola osifikasi
abnormal terbentuk wormian bones pada
penderita CCD, terutama di regio koronal dan
lambdoid. 1,3,7,11,18,25,27,29,30
Gambar 6. Gambaran gigi-gigi permanen yang
tidakerupsi dan persistensi gigi-gigi sulung.22

Selain itu, seperti dapat dilihat pada


gambar 7, penderita CCD seringkali memiliki
banyak gigi supernumerary yang impaksi dengan
bentuk yang seringkali menyerupai gigi
premolar. Penyebab mengapa banyak terdapat
gigi supernumerary pada penderita CCD masih
belum jelas diketahui. Gigi supernumerary ini
tidak hanya menghalangi erupsi sehingga
Gambar 4. Wormian bones dan sutura yang terbuka menyebabkan impaksi gigi permanen pengganti
pada penderita CCD.18
tetapi juga menyebabkan displasia morfologi
pada mahkota dan akar gigi permanen karena
kekurangan ruang yang cukup untuk
Masalah lain pada penderita CCD seperti
pembentukan yang normal. Kadang dapat juga
hambatan pendengaran konduksi , kista
ditemukan tidak adanya beberapa gigi secara
arachnoid temporal dapat juga ditemukan.
kongenital. Pembentukan kista terutama kista
Meskipun perkembangan mental biasanya
dentigerous dapat terjadi terutama pada gigi
normal, beberapa pasien dengan keterlambatan
supernumerary di regio
mental ringan pernah dilaporkan.2,3 1,3,10,11,12,14,16,20,27,30,35
premolar.
Maksila dan mandibula juga mengalami
hipoplasia. Seiring bertambahnya usia,
mandibula memanjang dengan inklinasi lebih ke
anterior dan maksila kurang berkembang
sehingga memberi kesan pendek secara vertikal.
Kondisi ini mengakibatkan mandibula menjadi
prognatik dan penderita cenderung memiliki
hubungan rahang kelas III.1,5,7,10,14,25,28,29,30,35
Pembentukan dan erupsi gigi sulung
penderita CCD biasanya normal. Namun,
masalah signifikan yang sering ditemukan pada
gigi permanen yaitu keterlambatan bahkan
kegagalan erupsi gigi permanen. Hal ini bisa
Gambar 7. Gambaran radiologis gigi supernumerary
disebabkan karena persistensi gigi sulung , pada penderita CCD.8
kepadatan berlebihan dan masalah resorpsi pada
tulang rahang maupun karena terhalang adanya
gigi supernumerary. Biasanya, erupsi geraham Perawatan gigi dan mulut penderita CCD
pertama dan gigi seri rahang bawah masih dalam antara lain bertujuan terutama untuk mengatasi
batas normal. Seringkali keterlambatan erupsi akibat dari persistensi gigi sulung, adanya

7

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 5-10

banyak gigi supernumerary yang impaksi, Pada penderita CCD diketahui banyak
hambatan erupsi gigi permanen dan ditemukan gigi supernumerary yang impaksi dan
kemungkinan maloklusi serta masalah masalah pada eksfoliasi normal gigi sulung,
periodontal yang dapat disebabkannya. Tumbuh maka tumbuh kembang gigi permanen pasien
kembang tulang kraniofasial juga perlu dipantau CCD perlu dipantau dengan seksama. Ketika
guna mencapai estetika wajah penderita yang panjang akar gigi permanen normal telah
lebih baik. Semakin dini perawatan dimulai, mencapai sekitar sepertiga panjang akar,
semakin baik prognosisnya. Dokter gigi anak sebaiknya dilakukan pencabutan gigi sulung,
dapat menjadi orang pertama yang bertemu bersama dengan pembuangan tulang dan gigi
dengan pasien penderita CCD. Dalam merawat supernumerary di regio tersebut . 1,2,3 Hal ini
pasien dengan kelainan ini seorang dokter gigi lebih disarankan sebab selain lebih mendukung
anak memerlukan kerja sama yang melibatkan keberhasilan erupsi gigi permanen dibandingkan
bidang dental dan kraniofasial seperti ahli bila hanya dilakukan pencabutan gigi sulung
radiologi, ahli bedah oromaksilofasial, saja, juga mengingat resiko adanya kista
prosthodontists dan orthodontists yang dentigerous yang erat kaitannya dengan impaksi
komprehensif untuk mencapai keberhasilan gigi.
perawatan, baik fisik secara umum sekaligus Pembuatan gigi palsu juga dapat
memperbaiki estetika wajah dan fungsi gigi yang bermanfaat untuk penderita CCD. Penderita
lebih baik.1,2,7,9,10,20,21,28,33 CCD dapat mengalami tidak adanya gigi yang
Perawatan gigi dan mulut pada penderita mungkin disebabkan karena tidak ada benih
CCD antara lain yaitu pembuatan gigi palsu baik secara kongenital, tidak erupsi karena impaksi,
dengan atau tanpa dilakukan ekstraksi terhalang gigi supernumerary ataupun karena
sebelumnya , eliminasi gigi supernumerary hambatan erupsi lainnya serta gigi-gigi permanen
diikuti oleh reposisi gigi permanen dengan yang terpaksa diekstraksi. Pilihan perawatan
pembedahan, kombinasi perawatan bedah dan dapat berupa implan gigi , gigi tiruan lepasan ,
ortodontik, untuk menyelaraskan baik gigi-gigi kombinasi antara keduanya maupun kombinasi
permanen yang sedang dalam tahap erupsi di dengan perawatan lain.1,2,3 Bagi pasien gigi anak
dalam mulut dan yang impaksi.1,8,9,10,27-29 penderita CCD yang masih dalam tahap tumbuh
kembang tentu perlu dilakukan penyesuaian dan
PEMBAHASAN penggantian gigi palsu tersebut secara berkala.
Dalam merawat pasien penderita CCD, Perawatan ortodonti juga diperlukan penderita
dokter gigi anak dapat menjadi orang pertama CCD, alignment seluruh gigi permanen pada
yang bertemu dengan pasien penderita CCD. rahang atas dan rahang bawah disesuaikan serta
mengenali pasien penderita CCD. Oleh karena skeletal discrepancy (paling sering maloklusi
itu, seorang dokter gigi selain harus dapat skeletal Kelas III) dapat diperbaiki melalui bedah
mengenali gambaran klinis secara umum dan ortognatik.
manifestasi oral penderita CCD serta bekerja Selain masalah pada gigi dan mulut ,
sama dengan dokter spesialis anak , ahli pada penderita CCD dapat ditemukan berbagai
radiologi , psikolog dan berbagai bidang terkait masalah baik secara fisik , mental maupun
lainnya dalam merawat penderita psikologis sebagai akibat kelainan yang
1,2,7,9,10,20,21,28,33
CCD. dideritanya. Dokter gigi perlu mengetahui dan
Perawatan gigi dan mulut penderita CCD memperhatikan hal-hal tersebut ini dalam
adalah terutama untuk meningkatkan estetika merawat pasiennya. Hal-hal yang dapat
wajah dan mempersiapkan fungsi gigi serta dilakukan seorang dokter gigi antara antara lain,
pengunyahan yang lebih baik . Peran dokter gigi memperhatikan posisi duduk pasien agar nyaman
sangat penting dalam melakukan diagnosa sedini pada kursi dental pada pasien CCD yang
mungkin dan merencanakan prosedur perawatan mengalami kelainan tulang belakang,
gigi dan mulut yang sesuai dan tepat waktu. menyesuaikan cara komunikasi pada pasien
Diagnosis dini CCD memungkinkan untuk penderita CCD yang mengalami hambatan
melakukan perencanaan perawatan yang pendengaran konduksi, dan lain sebagainya
diperlukan secara tepat dan pada waktu yang sesuai dengan kondisi individual masing-masing
sesuai. pasien tersebut.

8

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 5-10

KESIMPULAN 8. Aldred, JM., Cameron, AC., King,


NM., Widmer, RP. Dental Anomalies.
1. Cleidocranial dysplasia (CCD) adalah suatu
Dalam Handbook of Pediatric Dentistry.
kelainan kongenital akibat mutasi pada gen
Cameron, AC dan Widmer, RP (editor).
RUNX2 / CBFA1 yang penting dalam
4th ed CV Mosby. 2013; 281-3.
mengatur tumbuh kembang tulang dan gigi.
9. Reddy, AP. Cleidocranial dysplasia - A
2. Penderita CCD menunjukan gambaran klinis case report and review of literature.
yang khas dan manifestasi oral yang perlu NMJ. 2012;1(1):1-3
diketahui oleh seorang dokter gigi. 10. McNamara, CM., O’Riodan, BC., Blake,
3. Dokter gigi anak dapat menjadi orang pertama M., Sandy, JR. Cleidocranial
yang bertemu dengan pasien penderita CCD. dysplasia:radiological appearances on
4. Perawatan pasien penderita CCD merupakan dental panoramic radiography.
team work, dokter gigi anak harus dapat Dentomaxillofacial Radiology.
menjalin kerjasama komprehensif dengan 1999;28:89-97
berbagai bidang terkait. 11. Mundlos, S. Cleidocranial
5. Penatalaksanaan pasien penderita CCD sedini dysplasia:clinical and molecular
mungkin , dengan rencana perawatan yang genetics. J Med Genet.1999;36:177–82
sesuai dan tepat waktu dapat meningkatkan 12. McDonald, RE., Avery, DR., Dean, JA.
penampilan dan mengembalikan fungsi sistem Eruption of the Teeth: Local, Systemic,
mastikasi pasien. and Congenital Factors That Influence
the Process. Dalam Dentistry for the
DAFTAR PUSTAKA Child and Adolescent. McDonald, RE.,
Avery, DR., Dean, JA (editor). 9th ed CV
1. Sudarshan, R., Vijayabala, S.
Cleidocranial dysplasia - A review. Mosby. 2011;166-8
SEAJCRR. 2012;1(1):1-7 13. Zupan, AB., Sedano, H., Scully, C.
2. Verma, P., Verma, KG., Gupta, SD. Supernumerary Teeth. Dalam
Dento/Oro/Craniofacial Anomalies and
Cleidocranial dysplasia : a dilema in
diagnosis. Archives of Orofacial Genetics. 1st ed Elsevier. 2012;75-8
Sciences. 2010;5(2):61-4 14. Chaudhary, M., Chaudhary, SD., Dixit,
M. Bone pathology in Children. Dalam
3. Toptanci, IR., Colak, H., Koseoglu, S.,
Cleidocranial dysplasia: Etiology, Essentials of Pediatric Oral Pathology.
clinicoradiological presentation and Chaudhary, M dan Chaudhary, SD
(editor). 1st ed. Jaypee Brothers Medical
management. JCEI. 2012;3(1):133-6
4. Counts, AL., Rohrer, MD., Prasad, H., Publishers Ltd. 2011;257-8
Bolen, P. An Assessment of Root 15. Duggal, M., Cameron, A., Toumba, J.
Cementum in Cleidocranial Dysplasia. Paediatric Dentistry at a Glance. 1st ed
Wiley-Blackwell Ltd. 2013;86-87
Angle Orthod. 2001;71:293-8
5. Farronato, G., Maspero, C., Farronato, 16. Slayton, RL. Congenital Genetic
D., Gioventu, S. Orthodontic Treatment Disorders and Syndromes. Dalam
Pediatric Dentistry Infancy Through
in a Patient with Cleidocranial
Dysostosis. Angle Orthod. 2009;79:178- Adolescence. Pinkham, JR., dkk (editor).
85 4th ed. Elsevier Saunders. 2005;268-9
6. Reddy, ESP. Cleidocranial Dysplasia – 17. Rao, A.,dkk. Development and Eruption
of Teeth. Dalam Principles and Practice
A case report. J.Academy Adv Dental
Research. 2011;2(2):37-40 of Pedodontics. Rao, A (editor). 3rd ed.
7. Golan, I., Baumert, U., Hrala, BP., Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd.
2012;92
Mubig, D. Dentomaxillofacial variability
of cleidocranial 18. Sharma, A., Yadav, R., Ahlawat, K.
dysplasia:clinicoradiological Cleidocranial Dysplasia. Indian
Pediatrics. 1995;32:588-92
presentation and systematic review.
Dentomaxillofacial Radiology. 19. Masthan, KMK. Textbook of Pediatric
2003;32:347–54 Oral Pathology. Jaypee Brothers Medical
Publishers Ltd. 2011;204-205

9

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 5-10

20. Li, Y., dkk. RUNX2 Mutations in 27. Kolokitha, OE dan Loannidou, L. 13-
Chinese patients with Cleidocranial year-old Caucasian Boy with
Dysplasia. Mutagenesis. 2009;24(5):425- Cleidocranial Dysplasia: a Case Report.
31 BMC Research Notes. 2013;6:1-6
21. Hartsfield, JK. The Benefits of Obtaining 28. Olszewska, A. Dental treatment
the Opinion of a Clinical Geneticist strategies in a 40-year-old patient with
Regarding Orthodontic Patients. Dalam cleidocranial dysplasia. J Appl Genet.
Integrated Clinical Orthodontics. 2006;47(2):199–201
Krishnan, V dan Davidovitch, Z (editor). 29. Park, TKN., Vargervik, K., Oberoi, S.
1st ed. Blackwell Publishing Ltd. Orthodontic and surgical management of
2012;118-9 cleidocranial dysplasia. Korean J Orthod.
22. Garg, RK., Agrawal, P. Clinical 2013;43(5):248-60
spectrum of cleidocranial dysplasia: a 30. Silva, C., DiRienzo, SBS., Serman, N.
case report. Cases Journal. Cleidocranial Dysostosis: A Case
2008;1(1):377 Report. Col Dent Rev. 1997;2:26-32
23. Zhou, G., dkk. CBFA1 Mutation 31. The National Craniofacial Association.
Analysis and Functional correlation with Cleidocranial Dysplasia. Available:
phenotypic variability in cleidocranial www.faces-cranio.org_Disord_CCD
dysplasia. Human Molecular Genetics. 32. Rizvi, S., Raihan, H., Rizvi, T.
1999;8(12):2311-6 Cleidocranial Dysplasia - A case report.
24. Katsambas, AD., Genetic Diseases of Biomedical Research. 2006; 17(2):129-
Oral Mucos. Dalam Oral Diseases 32
Textbook and Atlas. Lotti, TM., dkk 33. Qiam, F. Cleidocranial Dysplasia-
(editor). 1st ed. Springer. 1999;45-6 Literature Review and an Evidence
25. Gupta, KC. When, Why and Where in Clinical Report. JKCD. 2010;1(1):48-51
Oral and Maxillofacial Surgery. Jaypee 34. Ozkan, G., Kanli, A. Clinical and
Brothers Medical Publishers Ltd. 1st ed. radiological manifestations of
2012;323 cleidocranial dysplasia: A case report.
26. Rasool, SR., dkk. Cleidocranial Indian Journal of Dentistry. 2013;4: 174-
Dysplasia in a Young Girl. Cleidocranial 7
Journal of the College of Physicians and 35. Seow, WK., Hertzberg, J. Dental
Surgeons Pakistan. 2008;18 (10): 664- Development and Molar Length in
6A Children with Cleidocranial Dysplasia.
Pediatric Dentistry. 1995;17(2): 101-5

10

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 11-16

PENGARUH BRUXISM PADA GIGI DAN JARINGAN PERIODONTAL SERTA


PERAWATANNYA
Jessica Purnadjaja*, Lies Zubardiah**
**Departemen Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT
Bruxism defines as parafunctional activities including clenching and grinding of teeth that can occur
during sleep and waking hours. The prevalence of bruxism ranged between 14-20% in children, 5-8%
in adults and decreased to 3% in people over age 60. The etiology of bruxism is divided into two:
peripheral and central factors. However it is known that the central factor has more influence on the
occurrence of bruxism. Physiopathological and psychological factors are included to central factor,
whereas the morphological factor is included to peripheral factors. Although it is not a direct cause of
periodontal disease, bruxism can potentially lead to tooth wear, tooth fracture, fracture restoration,
myalgia, masticatory muscle hypertrophy, trauma to the tissues of the periodontium, headaches,
temporo mandibular joint disorders, tooth mobility,and tooth loss. Bruxism can be treated with
behavioral treatment, pharmacological treatment and occlusal treatment.

Key words: bruxism, etiology, treatment

PENDAHULUAN Antara bruxism, peradangan gingiva dan


Bruxism adalah suatu gerakan mengggesekan periodontitis tidak ditemukan adanya hubungan,
atau mengerotkan gigi–geligi rahang bawah akan tetapi bruxism mempunyai potensi
terhadap gigi–geligi rahang atas dengan tekanan penyebab keausan gigi, gigi fraktur, gigi goyang,
besar. Gangguan mental dan emosional sering rasa sakit pada jaringan periodontal dan
terekspresi pada saat tidur, sebagai aktivitas kelelahan otot-otot pengunyahan. Kebiasaan
parafungsional berupa bruxism dan clenching.1 neurologis ini dapat ditanyakan kepada orang
Di Amerika Serikat diduga sebanyak 8-16% yang tidur bersebelahan atau satu kamar dengan
penduduk memiliki tanda dan gejala bruxism yang bersangkutan. Pada dasarnya ada dua
sewaktu tidur dan 20% mengalami bruxism kelompok faktor penyebab bruxism, yaitu faktor
sewaktu terjaga. Prevalensi bruxism berkisar oklusal perifer dan faktor fisiopatologis sentral.
antara 14% - 20% pada anak-anak, 5% - 8% pada Menurut hasil penelitian terakhir ternyata faktor
orang dewasa serta menurun menjadi 3% pada oklusi dan bentuk gigi hampir tidak berperan.
usia di atas 60 tahun. Bruxism dapat dialami baik Saat ini, bruxism lebih mengarah ke etiologi
pada laki-laki maupun perempuan, dan sentral daripada periferal.1,2,4
kebanyakan dari mereka tidak menyadarui Perawatan bruxism tidak hanya satu jenis saja
kondisi bruxism ini.2 karena harus mempertimbangkan pula
Bruxism merupakan salah satu penyebab mekanisme fisiopatologisnya. Perawatan bruxism
trauma oklusi primer. Trauma oklusi primer ialah sulit dievaluasi karena berbagai alasan
tekanan oklusi berlebihan yang mengenai variabilitas yang besar, intensitas dan frekuensi
jaringan periodontal yang sehat. Ttrauma oklusi bruxism antar individu, kondisi medis dan
berkontribusi lebih jauh dan lebih cepat odontologis, serta simtom subjektif. Perawatan
menyebabkan peradangan di daerah apikal dan bruxism membutuhkan kombinasi dari perawatan
kerusakan tulang. Resorpsi tulang merupakan perilaku, perawatan gigi dan perawatan
adaptasi fisiologis dari ligamen periodontal dan farmakologis.2
tulang alveolar terhadap trauma oklusi. Tekanan
oklusi saja tidak dapat menginduksi kerusakan PEMBAHASAN
jaringan periodontal, tetapi trauma oklusi yang Bruxism merupakan aktifitas parafungsi yang
disertai peradangan akibat plak dapat dilakukan pada siang ataupun malam hari berupa
meningkatkan keparahan penyakit periodontal. gerakan clenching ataupun grinding dari gigi-
Bruxism merupakan kontributor potensial geligi.5,6,7 Aktifitas parafungsi adalah aktifitas
penyakit periodontal ketika tekanan ini yang tidak termasuk dalam aktifitas fungsional
menyebabkan trauma oklusi.3 seperti mengunyah, berbicara, dan menelan,

11

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 11-16

seperti bruxing, clenching dan kebiasaan oral penderita dewasa sebanyak 20%, sedangkan
lainnya.8 Clenching adalah kebiasaan sleep bruxism 8%.15 Bruxism merupakan salah
mengatupkan rahang bawah terhadap rahang atas satu kebiasaan parafungsi utama yang
secara terus menerus ataupun intermiten dengan menghasilkan keausan gigi. Dampak bruxism
tekanan vertikal tanpa pergerakan lateral. akan menjadi lebih besar apabila struktur gigi
Grinding adalah penggesekan gigi rahang bawah sudah menipis atau telah mengalami erosi.12
terhadap rahang atas dengan pergerakan rahang Berbagai teori dikemukakan untuk
secara lateral.6,9 Seiring dengan kemajuan ilmu menjelaskan adanya kontroversi etiologi bruxism
kedokteran gigi, terjadi perkembangan istilah dan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Etiologi
definisi bruxism.10 bruxism dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
Bruxism adalah kebiasaan bawah sadar atau periferal (morfologis) dan sentral (fisiopatologis
sering tidak disadari walaupun ada juga yang dan psikologis). Saat ini, bruxism lebih mengarah
melakukannya ketika tidak tidur. Kebiasaan ke etiologi sentral daripada periferal. Hasil riset
neurologis ini dapat ditanyakan kepada orang akhir-akhir ini mengindikasikan adanya faktor
yang tidur bersebelahan atau satu kamar dengan genetik berperan sebagai etiologi bruxism.
yang bersangkutan. Bruxism dapat dilakukan Berbagai studi memperlihatkan pula berbagai
dengan tekanan keras sehingga menimbulkan faktor resiko yang memperburuk bruxism seperti
suara yang keras, tapi dapat juga tanpa suara merokok, kafein dan konsumsi alkohol.2
yang berarti. Jika bruxism dilakukan dengan Faktor periferal pada waktu lalu
tekanan kerot yang keras, akan terjadi keausan dipertimbangkan sebagai etiologi utama
gigi yang parah dan berlangsung dalam waktu bruxism.2 Jarak overjet dan overbite yang besar
cepat.1,11 serta maloklusi dapat mendukung terjadinya
Bruxism terdiri atas bruxism diural dan bruxism sehingga penyesuaian oklusi dibutuhkan
bruxism noktural. Bruxism diural atau sering dalam perawatan bruxism.16 Dilaporkan tidak ada
disebut dengan bruxomania adalah kegiatan data yang dapat diandalkan yang menunjang
parafungsi yang muncul pada saat terjaga atau peran oklusi sebagai penyebab bruxism.
tidak tidur. Oleh sebab itu, bruxism diural juga Sebaliknya dibuktikan bahwa susunan saraf pusat
disebut sebagai awake bruxism. Awake bruxism dan perilaku yang lebih berperan.4,12
terutama dikarakterisasi sebagai clenching atau Bruxism dapat dihilangkan dengan
mengetuk gigi.12,13 Bruxism noktural ditandai penyesuaian oklusi, dengan alasan faktor oklusi
dengan grinding atau clenching gigi-geligi mempengaruhi terjadinya bruxism. Dari berbagai
sewaktu tidur, dan sering disebut sebagai sleep studi ditemukan bahwa hubungan antara bruxism
bruxism.4 Siklus tidur pertama-tama diawali oleh dan faktor oklusi lemah atau bahkan tidak ada.
fase non-rapid eye movement (NREM) yang Hambatan oklusi artifisial telah digunakan untuk
kemudian diikuti oleh fase REM (rapid eye mengetahui hubungan oklusi dengan terjadinya
movement). Fase NREM terdiri atas empat tahap. bruxism, namun hambatan oklusi tersebut justru
Tahap 1 dan 2 merupakan tahapan tidur yang mengurangi tingkat bruxism hingga 90%. Hal
lebih ringan, sedangkan tahap 3 dan 4 merupakan tersebut memberi pengaruh yang besar sehingga
tahapan yang lebih dalam. Bruxism dapat terjadi para peneliti beranggapan bahwa oklusi bukan
pada fase NREM maupun REM. Namun, merupakan penyebab bruxim.17 Namun faktanya,
bruxism lebih sering terjadi selama tahap 1 dan 2 dilaporkan beberapa pasien merasakan hasil yang
non-rapid eye movement (NREM).11 Telah positif setelah menjalani rehabilitasi oral maupun
ditemukan bahwa bruxism yang terjadi pada fase perawatan ortodonti. Hal ini dipengaruhi oleh
REM lebih berdampak negatif bagi sistem hubungan pasien dan dokter gigi, kepercayaan
mastikasi. Hal tersebut menjelaskan mengapa pasien dalam menjalani perawatan, dan kesiapan
beberapa penderita bruxism bangun dengan pasien.15
disertai rasa sakit dan penderita lainnya tidak. 8,14 Faktor sentral terdiri atas faktor fisiopatologis
Awake bruxism lebih sering terjadi pada dan psikologis. Fisiopatologis bruxism sewaktu
perempuan, sedangkan pada sleep bruxism tidak tidur belum dapat dijelaskan sepenuhnya, tetapi
ditemukan perbedaan antara laki-laki dan mungkin disebabkan oleh respon berlebih
perempuan. Sleep bruxism biasa terjadi pada terhadap keinginan–keinginan kecil
anak, setahun setelah gigi insisivus sulung (microarousals). Microarousals adalah suatu
tumbuh.7 Prevalensi awake bruxism pada periode singkat (3-15 detik) dari aktivitas

12

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 11-16

kortikal sewaktu tidur, yang berhubungan dengan psikis serta psikiatrik seperti kecemasan
peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik.18 patologis, kondisi hati (mood) dan kelainan
Arousal adalah kesiapan fisiologis dan kognitif personaliti. Pada kondisi tersebut seorang
untuk merespon suatu rangsang.19 Hampir 80% psikolog sangat diperlukan.2
episode bruxism terjadi dalam kelompok sewaktu Dalam menangani bruxism ditemukan
tidur dan berhubungan dengan microarousal.18 kesulitan karena adanya beberapa faktor
Pada penelitiannya, Kydd dan Daly (cited. penyebab, seperti peran stres dan kecemasan
Okeson, 2008) menemukan aktivitas bruxism yang menyebabkan perubahan sistem saraf
pada 10 0ramg penderita menunjukan total durasi otonom serta motorik. Keberagaman psikososial
kegiatan bruxism berlangusng selama 11,4 menit dan penanda biologis akan saling mempengaruhi,
per malam.8 sehingga sulit untuk mendapatkan deskripsi yang
Mengerotkan gigi didahului dengan urutan jelas hubungan antara stres, kecemasan dan
kejadian fisiologis peningkatan aktivitas saraf bruxism.2 Pasien dengan clenching dan bruxism
simpatik pada 4 menit sebelum mengerot menahun menggunakan organ pengunyahannya
dimulai13, diikuti aktivasi kortikal 1 menit sebagai ’katup’ stres psikis dan ini terjadi di luar
sebelumnya dan peningkatan ritme jantung dan kesadarannya. Hal ini menguatkan hipotesis
tonus otot pembukaan mulut 1 detik sebelumnya. bahwa parafungsi oral merupakan ’jalan keluar’
Bukti terbaru mendukung hipotesis bahwa untuk stres atau agresivitas pada manusia,
bruxism dimediasi secara sentral di bawah sehingga dapat mengurangi efek stres pada
rangsangan saraf otonom dan otak. Bukti tersebut susunan saraf pusat.4
mendukung peran saraf sentral dan sistem saraf Trauma oklusi dapat merupakan faktor risiko
otonom pada awal aktivitas oromandibular dalam perkembangan penyakit periodontal, tetapi
selama tidur malam.2 trauma oklusi tidak menyebabkan gingivitis
Hasil studi menujukkan bahwa pemakaian ataupun periodontitis. Trauma oklusi yang
jangka pendek dari obat L-Dopa (prekursor- disertai peradangan akibat plak dapat
dopamin) dapat menghambat bruxism, sedangkan meningkatkan keparahan penyakit periodontal.
pemakaian jangka panjang akan meningkatkan Tekanan oklusi merupakan kontributor potensial
aktivitas bruxism. Serotonin reuptake inhibitors penyakit periodontal ketika tekanan ini
memberikan efek tidak langsung terhadap sistem merupakan trauma, namun tekanan oklusi saja
dopaminergik yang menjadi sebab terjadinya tidak dapat menyebabkan gingivitis ataupun
bruxism, setelah dipakai dalam jangka panjang. periodontitis. 3
Amfetamin diketahui meningkatkan aktivitas
bruxism dengan cara memfasilitasi pelepasan
dopamin. Nikotin menstimulasi aktivitas
dopaminergik sentral. Hal tersebut menjelaskan
resiko bruxism 2 kali lebih besar terjadi pada
perokok.7 Dari hasil penelitian Miyawaki dkk
(cited. Hartono, 2011), terdapat hubungan antara
aktivitas bruxism dengan posisi tidur terlentang,
refluks gastroesofageal, episode penurunan pH
esofageal dan penelanan.2
Pengalaman stres dan faktor psikososial Gambar 1. Keausan gigi akibat bruxism.6
berperan penting sebagai penyebab terjadinya
bruxism. Keausan gigi merupakan satu cara
untuk menilai bruxism dalam hubungannya Bruxism dianggap merupakan faktor
dengan kecemasan dan stres. Namun ada penyebab paling penting terjadinya kelainan
keterbatasan dari metoda tersebut karena keausan sendi (Temporomandibular disorders), disfungsi
gigi digambarkan sebagai indikator yang lemah otot pengunyahan, keausan gigi geligi, gigi ngilu
dari konsep bruxism dan tidak membedakan dan kerusakan jaringan periodontal pendukung.
clenching dan grinding. Besarnya keausan gigi Meskipun demikian, ditemukan bahwa hilangnya
dipengaruhi oleh kepadatan enamel atau kualitas gigi geligi merupakan faktor paling penting
saliva dan efektivitas lubrikasinya. Dokter gigi dalam terjadinya gangguan pada sendi. Bila ada
perlu memperhatikan dan mengenal kelainan gigi yang hilang, fungsinya diambil alih oleh

13

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 11-16

gigi-gigi lainnya sehingga beban pada masing- occlusal appliances.20 Perawatan ini bertujuan
masing gigi tersebut bertambah.4 untuk mencapai hubungan oklusi yang harmonis
Temporomandibular disorder merupakan melalui penyesuaian oklusi, rehabilitasi oklusi,
gangguan kronis sistem muskuloskeletal rahang dan perawatan ortodonti. Pada beberapa kasus,
yang meliputi otot dan sendi, berupa kumpulan oklusi yang tidak normal dapat disesuaikan, dan
dari beberapa gejala.10 daerah oklusal yang lebih tinggi dapat diasah
Perawatan bruxism membutuhkan kombinasi sehingga didapatkan okusi yang tepat.
perawatan perilaku, oklusi dan farmakologis.2 Pengasahan tersebut merupakan prosedur yang
Perawatan perilaku meliputi sleep hygiene, bersifat ireversibel, sehingga dibutuhkan
biofeedback, tehnik relaksasi, pengendalian stres pemeriksaan yang cermat sebelum dilakukan
serta terapi hipnosis.19 (26) Sleep hygiene adalah perawatan. Apabila ada gigi yang hilang, dapat
pengendalian perilaku dan faktor lingkungan dilakukan rehabilitasi oklusi dengan pembuatan
untuk meningkatkan kualitas tidur. Hal ini dapat protesa, sedangkan perawatan ortodonti
dilakukan dengan cara menghindari konsumsi diaplikasikan pada gigi maloklusi. Ditemukan
kopi, teh, cokelat, obat-obatan yang mengandung bukti yang mendukung bahwa ‘true’ occlusal
kafein, alkohol, rokok, dan makan berat sebelum interventions dapat memberikan hasil yang
tidur. Biofeedback adalah teknik relaksasi dengan positif bagi penderita bruxism.21,22
mengawasi beberapa variabel fisiologi, seperti Occlusal splint dapat digunakan untuk terapi
elektromiografi, temperatur kulit, frekuensi oklusal bagi penderita bruxism. Splin ini
jantung, tekanan darah, dan aktivitas merupakan alat lepasan terbuat dari hard acrylic-
elektrodermal. Pasien dilatih untuk menjadi resin yang dibuat secara khusus sehingga cocok
relaks.16,20 dengan permukaan oklusal gigi rahang atas
Teknik relaksasi rahang meliputi beberapa maupun rahang bawah, namun, alat ini sering
metode untuk relaksasi otot mandibula yaitu kali digunakan pada rahang atas. Penggunaan
merelaksasi rahang dengan membuka mulut dan hard acrylic-resin yang tidak nyaman bagi
metutup mulut yang dilakukan beberapa kali pasien dapat digantikan dengan splin yang lebih
dalam sehari. Pada tahap ini pasien diminta tipis atau soft splint. Namun, diketahui bahwa
melakukan Clenching, kemudian selanjutnya penggunaan hard splint lebih efektif dalam
dilakukan unclenching masing-masing selama 5 mengatasi bruxism. Occlusal splint sering
detik. Latihan ini dilakukan 5 kali per set. Satu disebut juga sebagai occlusal bite guard, bruxism
hari terdiri atas 6 set yang dilakukan selama 2 appliance, bite plate, night guard (retainer),
minggu. Terapi ini merupakan teknik relaksasi occlusal device.21,23
yang spesifik. Studi membuktikan bahwa terapi Secara umum terdapat dua macam occlusal
hipnotis memberikan dampak yang positif bagi splint, yaitu stabilization (flat plane) appliance
penderita bruxism setelah 36 bulan menjalani dan anterior repositioning appliance.22
perawatan.20 Stabilization appliance menutupi bagian oklusal
Bruxism tidak dapat diatasi dengan obat dan insisal gigi-geligi sehingga memisahkan gigi
khusus, namun dari berbagai studi telah dievalusi rahang atas dan rahang bawah. Splin ini berguna
berbagai obat-obatan yang memiliki efek untuk relaksasi otot-otot pengunyahan, stabilisasi
terhadap bruxism. Golongan obat relaksasi otot, sendi, mencegah terjadinya kerusakan gigi dan
sedatif dan anxiolitik seperti diazepam, jaringan periodontal pada penderita bruxism,
clonazepam, metocarbamol dan zolpiden. Agen serta menghilangkan hambatan oklusi yang
dopaminergik seperti L-dopa, beta-adregenik berhubungan dengan bruxism. Pendapat ini tidak
agonist seperti clonidin, antidepresan seperti disetujui oleh Bailey dan Rugh (cited. Tanzil,
buspirone dan botulinum toxin A2. Perawatan 2008), sebab pada penelitian mereka penyesuaian
farmakologis hanya digunakan dalam jangka oklusi tidak menghilangkan bruxism waktu
waktu yang pendek dan dilakukan apabila tidur18, namun telah dibuktikan bahwa
perawatan oklusi dan perawatan perilaku dirasa penyesuaian oklusi dapat mengurangi sleep
tidak efektif. Dalam melakukan perawatan ini bruxism walaupun hanya dalam waktu yang
dokter gigi harus bekerja sama dengan dokter singkat.4,8,23,24
spesialis.20 Alat ini dapat membuat kondil berada pada
Perawatan oklusi untuk penderita bruxism posisi yang paling stabil dan gigi-geligi
terdiri atas ‘true’ occlusal interventions dan berkontak secara merata tanpa mengubah posisi

14

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 11-16

rahang ke anterior ataupun ke posterior. Bagian berpengaruh besar terhadap kegoyangan gigi,
posterior harus berkontak secara merata dan hingga kehilangan gigi. Bruxism dapat ditangani
bilateral sehingga dicapai posisi fisiologis yang dengan perawatan perilaku, perawatan oklusi dan
stabil, karena itu splin ini harus disesuaikan farmakologis.
kembali pada setiap kunjungan. Stabilization Perawatan perilaku dan perawatan oklusi
appliance biasa digunakan pada rahang atas, dapat dibantu dengan perawatan farmakologis
karena lebih banyak menutupi jaringan. Alat ini menggunakan golongan obat relaksasi otot,
harus selalu digunakan kurang lebih 24 jam sedatif dan anxiolitik seperti diazepam,
sehari selama 4 hingga 6 bulan dan hanya dilepas clonazepam, metocarbamol dan zolpiden. Agen
pada saat makan.4,23,24 dopaminergik seperti L-dopa, beta-adregenik
agonist seperti clonidin, antidepresan seperti
buspirone dan botulinum toxin A2 Namun,
perawatan ini hanya boleh diberikan dalam
waktu yang singkat dan diawasi oleh dokter
spesialis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nurul D. Peran Stress Terhadap Kesehatan
Jaringan Periodonsium. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2008: 7
Gambar 2. Stabilization Appliance.23 2. Hartono SWA, Rusminah N, Adenan
A.Bruxism. 2011. FKG NPAD Bandung.
Available:
pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/Bru
Anterior repositioning appliance adalah alat
xism-makalah.doc.
interoklusal yang memungkinkan mandibula
3. Tulak FO. Peranan Trauma Oklusi terhadap
berada pada posisi yang lebih anterior daripada
Terjadinya Periodontitis, Jurnal e-Gigi
normal. Indikasi splin ini adalah gangguan
2013; 1(2).
primer pada diskus artikularis sendi
4. Tanzil A. Peran ‘Oral Splint’ pada Bruxism.
temporomandibula dan berfungsi untuk
Indonesian Journal of Dentistry 2008; 15
mengembalikan diskus yang posisinya berubah
(1): 36-43.
sehingga diperoleh hubungan kondil-diskus yang
5. Carranza FA, Newman M.G. Carranza’s
stabil.19 Anterior repositioning appliance lebih
Clinical Periodontology. Ed. ke-9.
jarang digunakan dan hanya dipakai dalam
Philadelpia: W.B. Saunders Elsevier
jangka pendek, karena dapat menyebabkan
Company; 2002: 699.
perubahan oklusal yang bersifat ireversibel,
6. Perry DA, Beemsterboer PL, Essex G.
seperti gigitan terbuka posterior yang
Periodontology for the Dental Hygienist.
membutuhkan perawatan prostetik lebih lanjut.
Ed. ke-4. Saunders; 2014: 177-178.
Alat ini biasa digunakan pada rahang atas dan
7. Shetty S, Pitti V, Babu CLS, Kumar GPS,
dibuat dengan guide ramp yang memungkinkan
Deepthi BC. Bruxism: A Literature Review,
perubahan posisi mandibula ke anterior.23.25
J Indian Prosthodont Soc 2010; 10 (3): 141–
148.
RINGKASAN
8. Okeson JP.Management of
Etiologi bruxism terdiri atas faktor perifer dan
Temporomandibular Disorder and
faktor sentral. Faktor sentral seperti stres dan
Occlusion. Ed. ke-6. St.Louis: Mosby; 2008:
kecemasan lebih berpengaruh terhadap terjadinya
149-152.
bruxism. Bruxism tidak secara langsung
9. Titu Maiorescu University, Osterreichish-
menyebabkan penyakit periodontal, namun
Rumanischer Akademischer Verein. The
merupakan faktor pemicu apabila terdapat plak.
International Conference Education and
Bruxism berpotensi mengakibatkan keausan gigi,
Creativity for a Knowledge based Society –
fraktur gigi, fraktur restorasi, myalgia, hipertropi
Medine and Dental Medicine. Ed. ke-6.
otot mastikasi, trauma pada jaringan
Brindusa Covaci; 2012: 140.
periodonsium, sakit kepala, kelainan TMJ, dan

15

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 11-16

10. Wijaya Y, Himawan LS, Odang RW. 17. Lobbezoo F, Naije M. Bruxism is mainly
Occlusal Grinding Pattern during Sleep regulated centrally, not peripherally.
Bruxism and Temporomandibular Disorder, Journal of Oral Rehabilitation 2001; 28:
Journal of Dentistry Indonesia 2013; 20 (2): 1085-1091.
25-31. 18. Huynh N, Manzini C, Rompre PH, Lavigne
11. Megananda H.P, Eliza H, Neneng N. Ilmu GJ. Weighing the Potential Effectiveness of
Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Various Treatments for Sleep Bruxism,
Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: Penerbit JCDA 2007; 73(8): 727-730b.
Buku Kedokteran EGC; 2009. 19. McMorris T. Acquisition and Performance
12. Craig A. Pettengill, dds. Interaksi Erosi Gigi of Sports Skills. UK: John Wiley & Sons;
dan Bruxism: Dampak Luas Pemakaian Gigi 2005: 242.
(Keausan gigi), CDA Journal 2012; 36 (4). 20. Alóe F. Sleep Bruxism Treatment. Sleep
Available: Science 2009; 2(1): 49-54.
http://www.scribd.com/doc/88392631/Trans 21. Lobbezoo F, Zaag J, Selms MKA,
late-Bruxism. Hamburger HL, Naeije M. Principles for the
13. Gupta R, Mohit G, Bhavna G, Rajat K. Management of Bruxism. Journal of Oral
Bruxism: A Literature Review. IJRID 2014; Rehabilitation 2008; 35: 509-523.
4: 38-41. 22. Ollendick TH, Schroeder CS. Encyclopedia
14. Carranza FA, Newman M.G. Carranza’s of Clinical Child and Pediatric Psycholog.
Clinical Periodontology. Ed. ke-11. Springer Science & Business Media; 2003:
Philadelpia: W.B. Saunders Elsevier 73.
Company; 2012: 187. 23. Miloro M, Ghali GE, Larsen P, Waite P.
15. Lavigne GJ, Khoury S, Abe S, Yamaguchi Peterson's Principles of Oral and
T, Raphael K. Bruxism Physiology and Maxillofacial Surgery. Vol 1. Hamilton: BC
Pathology. Journal of Oral Rehabilitation Decker inc; 2004: 958-959.
2008; 35: 476-494.
16. Lobbezoo F, Zaag J, Naejie M. Bruxism: its
multiple causes and its effects on dental
implants. Journal of Oral Rehabilitation
2006; 33: 293-300.

16

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 17-22

Gambaran Keluhan Subyektif Pasien Selama dan Pasca Radioterapi


Kanker Kepala Leher
(Kajian pada RSK Dharmais Jakarta)
(Laporan Penelitian)
Rahmi Amtha*, Yunita Caroline Lukman**
*
Bagian Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
*
Mahasiswa Program Profesi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
Korespodensi :
rahmi.amtha@gmail.com

ABSTRACT
Radiotherapy is one of the therapies in patients with cancer of the head and neck. Biologically a
radiotherapy treatment is not only preventing the cancer cell division, but the radiation may also
inhibit the mitosis of normal cell. The side effects in the oral mucosa are one of the reasons that
patients discontinue the treatment. The purpose of this study was to describe subjective symptoms
most commonly found in patients with head-neck cancer that can increase dentist’s knowledge and
also help to overcome the side effects that occur so that the patient may be able to complete the entire
treatment. Method: A descriptive-analytic study was carried out in Dharmais hospital. A total of 24
patients who met the inclusion criteria and signed the informed consent participated in the
sociodemographic data collection by filling the questionnaire. The subjective symptom of pain was
measured using a Visual Analog Scale (VAS). Data were analyzed descriptively and chi2 to see the
corelation. Results: The type of cancer most commonly performed radiotherapy on was naso pharynx
cancer (87.5%). The average age was the fourth and fifth decade (75%), and the total radiation
received by patients with head neck cancer was mostly rad 5000 (33.3%). There were more than half
patients (66.7%) with at least 3 subjective symptoms complaints during and after radiotherapy and the
subjective symptoms most commonly found was xerostomia (95.8%), followed by altered taste.
Conclusion: All respondents in this study had subjective symptoms, and mostly complained of dry
mouth (xerostomia) and altered taste.

Keywords : Radiotherapy, subjective symptoms

PENDAHULUAN radioterapi2. Radioterapi adalah terapi yang


Kanker merupakan salah satu penyebab dilakukan untuk mengatasi pembelahan sel
kematian terbesar di dunia, salah satunya kanker secara in situ dan tidak memerlukan
termasuk kanker kepala dan leher. Kanker kepala pembuangan jaringan. Radioterapi menggunakan
dan leher ini menempati urutan ke-7 dari pancaran sinar atau partikel- partikel terionisasi
keganasan di seluruh dunia. Di Indonesia belum tinggi yang dapat membunuh sel kanker dan
ada angka insidens yang pasti, namun Bagian mengecilkan tumor dan hampir 60% pasien
Patologi Badan Registrasi Kanker Indonesia di kanker leher kepala mendapat terapi radiasi2.
bawah pengawasan Dirjen Kesehatan RI (2002) Dasar terapi radiaoterapi adalah karena
melaporkan bahwa kanker daerah kepala dan kemampuan reparasi sel kanker terhadap
leher menempati urutan ke-4. Tingginya kerusakan lebih rendah daripada sel normal
insidensi kanker sebagai salah satu penyebab biasanya, sehingga akibat radiasi ini sel kanker
kematian, mengharuskan pemberian terapi untuk lebih banyak yang mati dan rusak dibandingkan
meningkatkan ketahanan tubuh pasien, baik dengan sel normal. Sel-sel yang masih dapat
tindakan untuk menyembuhkan dari kanker bertahan hidup akan mengadakan reparasi
maupun tindakan untuk meringankan atau kerusakan DNA-nya dan kemampuan reparasi
mengurangi gejala-gejala akibat kanker1. DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari
Terapi kanker terdiri dari bedah, sel kanker2. Namun selain itu sinar radioterapi
radioterapi, dan kemoterapi. Terapi ini dapat juga dapat merusak sel-sel normal di area radiasi
dilakukan secara tunggal atau pun kombinasi1. yang dapat menimbulkan komplikasi akut
Terapi kombinasi yang paling sering dilakukan (mukositis, infeksi dan penurunan ketajaman rasa
untuk kanker leher kepala adalah dengan

17

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 17-22

/dysgeusia) dan kronis (xerostomia, trismus, dapat membantu dokter gigi dan pihak lain yang
karies radiasi dan osteoradionekrosis)3. terkait untuk dapat melakukan pencegahan dan
Mukositis adalah salah satu komplikasi pengobatan kepada pasien sebelum dan sesudah
akut yang sering timbul akibat proses inflamasi menjalani radioterapi sehingga dapat mendukung
dan ulserasi pada mukosa mulut yang disebabkan kesembuhan pasien.
oleh efek lokal dari radioterapi. Mukositis terjadi
karena sel mukosa mulut yang aktif membelah METODE PENELITIAN
merupakan jenis sel yang menjadi target sinar Penelitian desktriptif analitik dilakukan
radiasi pada radioterapi3. Mukositis biasanya untuk mengetahui gejala subyektif pada pasien
terjadi pada pemberian dosis sekitar 1000 rad selama dan pasca radioterapi kepala dan leher.
atau pada awal minggu kedua setelah perawatan Subjek penelitian adalah pasien dengan penyakit
dimulai1,3. Intensitas perawatan terus berlanjut kanker kepala leher di RSK Dharmais Jakarta
dan akan mengalami penyembuhan 2- 3 minggu yang sedang (1 minggu sampai 1 tahun) pasca
setelah perawatan selesai(3,4,5). radioterapi dan bersedia mengikuti penelitian
Efek kronis yang paling banyak dengan menandatangani informed consent. Data
ditemukan setelah perawatan radioterapi adalah mengenai keluhan subjektif yang paling sering
xerostomia karena kelenjar saliva terdiri dari sel dialami di dapat dengan menggunakan kuisioner
yang sangat sensitif terhadap radiasi, walaupun yang diajukan kepada pasien selama dan pasca
kelenjar saliva memiliki tingkat mitosis yang radioterapi kepala dan leher. Keluhan rasa sakit
rendah. Tingkat keparahan dan kekronisan dicatat dengan menggunakan visual analog scale
xerostomia ini berhubungan dengan dosis, area (VAS). Data disajikan secara deskriptif
radiasi dan banyaknya kelenjar saliva yang (prosentase) dan chi-square untuk melihat
terlibat pada saat terapi radiasi dilakukan(3,6,7). hubungan antara variabel.
Komplikasi yang dirasakan oleh pasien
sesudah menjalani radioterapi dapat HASIL PENELITIAN
menimbulkan gejala obyektif (klinis) dan Sebanyak 24 orang pasien kanker kepala
subyektif. Gejala subyektif adalah gejala yang leher memenuhi kriteria penelitian. Sebagian
dirasakan oleh pasien yang dapat meliputi besar pasien leher kanker kepala berusia 41-60
perasaan tidak nyaman, kesulitan menelan dan tahun (75%) dan laki-laki lebih banyak
rasa sakit akibat mukositis. Gejala subyektif yang menderita dari pada perempuan (Tabel 1).
kompleks dapat mempengaruhi keberhasilan Sebagian besar (87%) kasus penderita yang
perawatan. Pasien kanker leher kepala yang mendapat perawatan radioterapi leher dan kepala
menjalani perawtan radioterapi dapat adalah penderita kanker naso faring (KNF).
menghentikan kelanjutan perawatannya karena
efek sampingnya dapat membuat nafsu makan Tabel 1. Gambaran pasien kanker kepala leher
pasien berkurang karena xerostomia, penyebaran Pasien Kanker
infeksi di rongga mulut. Hal ini secara tidak Kepala Leher
langsung dapat menurunkan daya tahan tubuh n %
dan kualitas hidup pasien3. Berbagai literatur Usia
menyatakan bahwa salah satu cara untuk a. 21-30 tahun 1 4,2 %
menekan tingginya keluhan subyektif pasien b. 31-40 tahun 2 8,3%
tersebut adalah dengan melibatkan dokter gigi c. 41-50 tahun 9 37,5%
sebelum selama dan pasca radioterapi d. 51-60 tahun 9 37,5%
dilaksanakan. Dokter gigi perlu memepersiapkan e. 61-70 tahun 2 8,3%
semua area dalam rongga mulut yang akan f. 71-80 tahun 1 4,2%
terpapar sinar sehingga efek samping yang Jenis Kelamin
ditimbulkan dapat diminimalkan. Gambaran a. Laki - laki 17 70,8%
keluhan subyektif yang sering diekspresikan oleh b. Perempuan 7 29,2%
pasien kanker dengan radioterapi belum banyak
disajikan secara deskriptif. Studi ini dilakukan Diagnosis Kanker
untuk mengetahui gejala subjektif yang paling a. Kanker Nasofaring 23 87,5%
banyak ditemukan pada pasien kanker kepala b. Kanker Lidah 1 12,5%
leher selama dan pascaradioterapi. Diharapkan

18

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 17-22

Dosis (rad)
a. 5000 rad 8 33,3% Berdasarkan usia pada Tabel 3 menunjukkan
b. 6000 rad 7 29,2% semakin meningkatnya usia gejala subyektif
c. 7000 rad 4 16,7% yang dimiliki semakin bertambah, namun secara
d. 8000 rad 2 8,3% statistik tidak ada perbedaan bermakana
e. 9000 rad 3 12,5% (p=0.119). Berdasarkan total dosis radiasi yang
Gejala Subjektif paling sering diterima oleh penderita kanker
a. 1-3 gejala 16 66,7% leher kepala adalah dosis 5000rad dan yang
b. 4-5 gejala 8 33,3% paling jarang adalah 8000 rad. Tidak ada
perbedaan bermakna antara besarnya radiasi
yang diterima penderita dengan gejala subyektif
Pada Tabel 2 diketahui bahwa 23 (95,8%) yang dikeluhkan (p=0,139). Namun banyaknya
responden paling banyak mengeluh xerostomia gejala subyektif yang dikeluhkan penderita
dan keluhan trismus yang paling jarang terjadi. kanker leher kepala selama dan sesudah
Sebagian besar responden mengeluh xerostomia radioterapi tampak berbeda bermakna
dengan derajat yang sangat parah (62,4%) atau berdasarkan jenis kelamin (p=0,029).
sangat kering. Hal ini berakibat dengan
tingginya jumlah keluhan dysgeusia dengan Tabel 3. Hubungan antara gejala subjektif dan usia,
derajat parah dan parah sekali (52,6 %) akibat dosis radiasi dan jenis kelamin
mulut kering tersebut. Gejala subyektif p value
Usia 1-3 >3
21-30 1 0
Tabel 2. Distribusi frekuensi gejala-gejala subjektif 31-40 1 1
pada pasien kanker kepala leher selama dan paska 41-50 8 1 0.119
radioterapi
Gejala Subjektif n % 51-60 6 3
Xerostomia 23 95.8 61-70 0 2
Ringan 3 13.1 71-80 0 1
Sedang 5 21.7
Total dosis radiasi
Parah 7 30.4
Sangat parah 3 13.1 5000 5 3
Sangat parah sekali 5 21.7 6000 7 0
Disgeusia 19 79.2
7000 1 3 0.139
Ringan 2 10.5
Sedang 4 21.1 8000 1 1
Parah 3 15.8 9000 2 1
Sangat parah 5 26.3 Jenis Kelamin
Sangat parah sekali 5 26.3
Mual dan muntah 9 37.5 Laki-laki 9 8 0.026
Ringan 4 44.5 Perempuan 7 0
Sedang 1 11.1
Parah 1 11.1
Sangat parah 1 11.1
Sangat parah sekali 2 22.2
PEMBAHASAN
Trismus 8 33.3 Hasil sosiodemografi studi ini
Ringan 2 25 menunjukkan sesuai dengan data demografi
Sedang 4 50 penderita kanker leher kepala pada studi lain
Sangat parah 2 25 yaitu didominasi oleh laki-laki dengan
Rasa sakit 6 25.0 perbandingan kurang lebih 2:1. Hal ini sesuai
Sedang 2 33.3 dengan penelitian oleh Argiris dan Eng yang
Parah 3 50 menyebutkan bahwa secara global kanker kepala
Sangat parah sekali 1 16.7 leher lebih banyak terjadi pada laki-laki yaitu
sebanyak 634.000 kasus dan pada perempuan
sebanyak 226.000 kasus pada tahun 19998 dan

19

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 17-22

menurut hasil penelitian Hickey yaitu laki-laki sampai sangat parah sekali, sedangkan derajat
dua kali lebih banyak dibanding perempuan9. ringan hanya 13,1%. Berdasarkan penelitian ini
Selain itu kanker kepala dan leher lebih banyak maka dapat diartikan bahwa penderita kanker
ditemukan pada individu berusia 41-50 (37,5%) kepala dan leher yang mengalami xerostomia
dan 51-60 (37,5%). Menurut penelitian Hickey sebagian besar mengalami derajat yang parah
menyatakan bahwa usia penderita kanker kepala sampai parah sekali. Gejala subjektif yang
leher banyak diderita di atas 40 tahun9. diderita oleh pasien ini tentu dapat menurukan
Sedangkan Eipstein dan Bailey menyatakan kualitas hidupnya, karena seperti kita tahu bahwa
bahwa kanker kepala dan leher banyak diderita salah satu fungsi saliva adalah membantu
oleh pria dibandingkan wanita dan terjadi pada aktivitas fungsional seperti makan, menelan,
usia dekade keempat dan kelima10,11. berbicara, mediator kimia pengecapan, mencegah
Radioterapi paling banyak dilukan pada iritasi dan menyeimbangkan flora normal dalam
jenis kanker naso faring dibandingkan kanker mulut. Pada penelitian Galitis, Kouloulias,
lidah karena radioterapi merupakan modatitas Lontou, et al16 pada tahun 2011, didapatkan hasil
terapi utama pada KNF, sedangkan pada kanker bahwa derajat ringan (mild) sampai sedang
lidah pembedahan atau kemoterapi merupakan (moderate) diderita sebanyak 81,7% dan derajat
pilihan utama dan radioterapi dapat manjadi parah sampai sangat parah sekali (severe) hanya
terapi ajuvan. Pada penelitian ini gejala subyektif 18,3% dari 131 pasien setelah menjalani
pada rongga mulut dimiliki oleh semua penderita radioterapi. Perbedaan tingkat keparahan pada
kanker leher kepala selama atau paska penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan
radioterapi. Hal ini dapat membuktikan bahwa oleh peneliti lain mungkin disebabkan oleh
dokter gigi merupakan tenaga kesehatan yang perbedaan kriteria penilaian visual analog scale
harus terlibat dan bertanggung jawab untuk yang terdapat pada total dosis radiasi dan cara
membantu mengatasi keluhan tersebut. terapi radiasi yang dilakukan pada masing-
Gejala subjektif yang paling sering masing pusat penelitian. Menurut literatur tingkat
ditemukan adalah xerostomia (95,8%), diikuti keparahan xerostomia ini bisa terjadi karena
gangguan pengecapan rasa (79,2%). Gejala dipengaruhi oleh total dosis, area radiasi dan
subjektif xerostomia ini berhubungan dengan banyaknya kelenjar saliva yang terlibat pada saat
tanda klinis penurunan laju aliran saliva. Hal ini terapi radiasi dilakukan6.
sesuai dengan penelitian Garg dan Malo pada Dysgeusia atau gangguan pengecapan rasa
tahun 1997 serta didukung oleh literatur, bahwa adalah gejala subjektif kedua yang banyak
xerostomia adalah efek samping yang terbanyak dirasakan, terlihat berdasarkan hasil penelitian
pertama terjadi pada pasien kanker kepala dan 52,6 % pasien merasakan gejala subjektif yaitu
leher3,14,15. sangat parah dan sangat parah sekali, dan yang
Bedasarkan total dosis radiasi yang paling jarang dirasakan adalah derajat keparahan
diterima oleh pasien kanker kepala dan leher ringan yaitu sebanyak 2 subjek (10,5%). Hal ini
yang berkisar antara 5000 rad sampai dengan disebabkan karena gangguan rasa pengecapan
9000 rad, maka gejala subjektif yang paling dapat timbul pada pasien yang menerima total
banyak ditimbulkan adalah xerostomia. Hal ini dosis diatas 3000 rad, dan menetap apabila
sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa menerima total dosis lebih besar dari 6000 rad3.
meningkatnya kemungkinan terjadi xerostomia Selain itu, menurut literatur gangguan
apabila mendapat dosis radiasi yang diterima pengecapan rasa terjadi karena efek dari
diatas 3000 rad, dan apabila mendapat radiasi radioterapi ini terjadi kerusakan mikrofili dan
lebih dari 6000 rad dapat mengalami kerusakan permukaan luar sel pengecap, hal ini semakin
kelenjar saliva yang ireversibel. Xerostomia pada diperparah akibat adanya penurunan jumlah
pasien yang mengalami kemoradiasi terjadi saliva yang dapat menyediakan lingkungan yang
akibat kelenjar liur yang memiliki tingkat mitosis baik (mediator kimia) untuk fungsi kuncup kecap
rendah namun sangat sensitif terhadap sinar agar dapat merasakan rasa6,9,7,17.
radiasi yang menyebabkan pengerutan kelenjar Derajat keparahan rasa sakit dalam
asinar dan mengakibatkan produksi saliva rongga mulut pada penderita kanker kepala dan
menjadi sedikit3,6,7. leher dapat dilihat bahwa yang paling banyak
Dilihat dari derajat keparahan xerostomia, dirasakan adalah derajat parah yaitu 50% dari 6
64,2% pasien mengalami derajat yang parah subjek yang merasakan mulut sakit. Hal ini sama

20

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 17-22

dengan penelitian oleh Galitis, Kouloulias, yang kedua tersering adalah gangguan
Lontou, et al16 pada tahun 2011 yaitu derajat rasa pengecapan rasa.
sakit parah sebanyak 57,2% dan sakit sangat
parah sebanyak 47,8% . Rasa sakit ini hanya
dialami oleh 6 subjek karena sebagian besar DAFTAR PUSTAKA
subjek sudah selesai menjalani perawatan 1. Ginting R, Ivanameilyn. Efek samping
kemoradiasi, hal ini didukung oleh literatur yang radioterapi kanker daerah kepala dan leher
mengatakan bahwa rasa sakit yang ditimbulkan terhadap rongga mulut. Dentika Dental
akibat mukositis merupakan efek akut Journal 2009; 14:82-86.
kemoradiasi dan akan mengalami penyembuhan 2. Sukardja ID. Onkologi Klinik. Ed. ke-2.
2-3 minggu setelah perawatan selesai3,4,5. Hal Surabaya: Airlangga University Press;
diatas disebabkan karena dalam 2-3 minggu 2000:212-213,229-235,252.
adalah masa regenerasi sel, sehingga mukosa 3. A Robert, Blanchaert RH. Oral Cancer : The
yang mengalami penipisan dan yang Dentist’s Role in Diagnosis, Management,
menyebabkan sakit itu mengalami regenerasi dari Rehabilitation, and Prevention. China:
sel basal dan terjadi penyembuhan. Quintessence Publishing Co, Inc; 2000:
Berdasarkan hasil uji statistik antara usia 149-159.
dengan gejala subjektif, ditemukan adanya 4. Carl W, Sako K. Oral and Dental Care of
hubungan yang tidak bermakna.Dapat dilihat Patients Receiving Radiation Therapy for
gejala yang paling banyak ditemukan adalah 1-3 Tumors in and Around the Oral Cavity.
gejala pada usia 41 -50 tahun sebanyak 8 subjek Dalam Cancer and the Oral Cavity. U.S.A:
dan pada usia 51 – 60 tahun sebanyak 6 subjek. Quintessence Publishing Co, Inc; 1986:
Hal ini disebabkan karena gejala subjektif dapat 167-173.
dirasakan pada setiap dekade usia, tetapi menurut 5. Davies AN, Epstein JB.Oral Complications
literatur usia yang paling sering ditemukan of Cancer and its Management. United
kanker kepala dan leher adalah pada dekade ke 4 States: Oxford University Press; 2010:144.
dan 5. Jadi dapat dilihat bahwa banyak gejala 6. Langdon JD, Henk JM. Malignant Tumours
subjektif yang timbul pada dekade 4 dan 5. of the Mouth, Jaws and Salivary Glands.
Hubungan antara jenis kelamin dengan gejala Ed. ke-2. America: Little, Brown and
subjektif menunjukan hasil yang bermakna. Company; 1995:112-120.
Terlihat pada laki-laki lebih banyak merasakan 7. Wong RT.Saliva. Saliva Secretion in Health
1-3 gejala subjektif dibandingkan dengan and Disease. Dalam Salivary
perempuan. Hal ini disebabkan karena pada Diagnostics.Ed. ke-1. Singapore:Wiley-
sampel terdapat lebih banyak jumlah sampel Blackwell;2008:64-65.
pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. 8. Argiris A,Eng C. Etiology, Staging and
Pada penelitian ini mukositis bukanlah Screening of Head and Neck Cancer.Dalam
gejala subjektif yang paling banyak ditemukan , Head and Neck Cancer : Cancer Treatment
mungkin dikarenakan dokter gigi di Rumah Sakit and Research. Brockstein B , Masters G
Dharmais telah melakukan perawatan pra- (editor).United States of America. Kluwer
radioterapi kepada pasien kanker kepala leher Academic Publishers.2003:1,16-20.
yang akan menerima radioterapi. 9. Hickey M. The Challanges of Postoperative
Radiotherapy for Post-surgical Head and
Neck Cancer. Perspective Recovery
KESIMPULAN Strategies from the OR to Home.2000;3:2-8.
Kanker kepala dan leher yang paling banyak 10. Epstein JB. Burket’s Oral Medicine
menerima perawatan radioterapi di RSK Diagnosis & Treatment. Ed Ke-10.Ontario:
Dharmais adalah kanker naso faring. Sebagian BC Decker Inc. 2003:195,206-208,213,216-
besar penderita kanker leher kepala adalah pria 227.
dengan perbandingan 2:1 dengan predileksi usia 11. Bailey BW,Pervan V.Head and Neck
dekade keempat dan kelima. Gejala subjektif Cancer.Dalam Oncologyy for Health-Care
pada penderita kanker kepala leher yang Professionals. Pervan V.Cohen LH, Jaftha T
menerima radioterapi yang paling banyak (editor).Republic of South Africa. Creda
ditemukan adalah 1-3 gejala dengan gejala yang Press, Elliot Ave, Epping II.1995:377.
paling sering ditemukan adalah xerostomia dan

21

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 17-22

12. Brady LW, Heilmann HP, Molls M, Nieder 16. Galitis ON, Kouloulias V, Lountou AS,
C.Nasopharyngeal Cancer Multidisciplinary Dardoufas K, Polychronopoulou A,
Management. Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM Athanassiadou P, et al.Oral Mucositis,Pain
(editor). Germany.Springer.2010:1. adn Xerostomia in 135 Head and Neck
13. Hiremath SS. Textbook of Preventive and Cancer Patients Receiving Radiotherapy
Community Dentistry. Ed Ke-2.India. with or without Chemotherapy. The Open
Elsevier.2011:158. Cancer Journal. 2011;4:7-17.
14. Weiss GR.Oral Complications of Cancer 17. Goldman HS, Marder MZ. Physicians’
Therapy. Dalam Clinical Oncology. United Guide to Diseases of The Oral Cavity.
States of America: Appleton & United States of America:Medical
Lange;1993:331-334. Economics Compant;1982:206-208.
15. Garg AK, Malo M. Manifestations and 18. Perwitasari AD. Pengukuran Kualitas Hidup
Treatment of Xerostomia and Associated Pasien Kanker Sebelum dan Sesudah
Oral Effects Secondary to Head and Neck Kemoterapi dengan EORTC QLQ-C30 di
Radiation Therapy. Journal of the American RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. Majalah
Dental Association. 1997;128:1128-1133. Farmasi Indonesia.2009;20:68-72.

22
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 23-28

Peranan Lingkungan Fisik dan Sosial Dalam Menciptakan Kepuasan Pasien


Klinik Gigi
Goalbertus*
*Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat dan Kedokteran Gigi Pencegahan
FKG Universitas Trisakti

ABSTRACT
The presence of good service environment played a very important role in the process of providing a good
service to patients. Service environment in dental clinic can develop patient emotion even before they
received the services. Service process in a physical environment consists of ambient and design factor.
Ambient factor cannot be seen but it can be felt by the patient, such as cleanliness, air quality, lightning
and safety. Design factors are related with spatial layout such as room design, room color and furniture.
Otherwise, good social environment should be created for patient satisfaction. Employee-displayed-
emotion and customer climate have a great effect in building patient emotion. Service environment can
influence patient’s perception about the service quality of dental clinic. Combination of good physical and
social environment can provide a pleasant experience for the patient during service process. It has
contributed to create a patient satisfaction and loyalty with a dental clinic.

Keyword : service environment, physical and social environment, patient satisfaction

PENDAHULUAN memiliki peranan yang penting dalam membentuk


Lingkungan pelayanan memiliki suatu peranan pengalaman emosional konsumen, pengalaman
penting dalam pelayanan jasa kesehatan seperti emosional ini akan mempengaruhi loyalitas
klinik maupun klinik gigi. Hal ini dapat terjadi konsumen terhadap layanan jasa yang digunakan.5
karena lingkungan pelayanan dapat memberikan Makalah ini akan membahas tentang
perasaan yang menyenangkan kepada konsumen, peranan lingkungan fisik dan lingkungan sosial
dan seiring dengan timbulnya perasan tersebut dalam menciptakan kepuasan pasien pada suatu
akan semakin kuat pula retensi konsumen terhadap layanan jasa kesehatan khususnya bidang
suatu layanan jasa termasuk layanan jasa kedokteran gigi. Tujuan penulisan makalah ini
kesehatan.1 adalah agar setiap dokter gigi ataupun pemilik
Wong mengatakan bahwa suatu perasaan klinik gigi dapat memahami peranan dari setiap
yang menyenangkan akan memberikan kepuasan aspek lingkungan pelayanan kesehatan dalam
yang tidak terbatas bagi konsumen. Kepuasan ini menciptakan kepuasan serta membentuk loyalitas
akan menimbulkan keinginan konsumen untuk pasien terhadap suatu jasa layanan kesehatan.
datang atau menggunakan kembali suatu layanan
jasa, dan lebih jauh akan menimbulkan suatu TINJAUAN PUSTAKA
loyalitas yang tercermin dari sikap konsumen A. Lingkungan Fisik
untuk mengatakan hal-hal positif tentang suatu Lingkungan fisik memiliki peranan yang
layanan jasa bahkan merekomendasikan layanan penting dalam suatu pelayanan jasa, hal ini bisa
jasa tersebut kepada konsumen yang lain.2 terjadi karena hampir keseluruhan suatu
Aspek fisik dalam suatu layanan jasa pelayanan jasa terjadi dalam suatu lingkungan
memiliki peranan yang cukup penting dalam fisik yang merupakan tempat seorang
membentuk suasana hati/perasaan dari konsumen.3 konsumen menerima sebuah proses pelayanan.6
Meskipun demikian, terkadang lingkungan sosial Suatu layanan jasa langsung diterima serta
suatu pelayanan jasa seringkali memiliki peranan dikonsumsi secara simultan pada suatu
yang lebih besar dari lingkungan fisik.4 Baik lingkungan fisik.7 Hal ini menyebabkan
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial lingkungan fisik memiliki peranan yang penting

23
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 23-28

dalam menunjang terwujudnya kepuasan dari konsumen terhadap kualitas pelayanan jasa
konsumen ketika sedang menerima ataupun yang akan diterima.16
setelah menerima suatu pelayanan jasa.
Sebuah lingkungan fisik tidak hanya 2. Design Factor
penting dipandang dari sisi konsumen saja, Design factor merupakan faktor-
namun juga penting bagi penyedia layanan faktor dari aspek lingkungan fisik yang
untuk bisa menciptakan serta memberikan suatu bersifat visual, sehingga bisa dilihat dan
pelayanan jasa yang mampu memenuhi bahkan dirasakan oleh konsumen.10 Design factor
melebihi kebutuhan serta keinginan dari seringkali juga disebut sebagai spatial
konsumen.8 Lingkungan fisik yang baik dapat layout yang meliputi pengaturan serta tata
membuat seorang konsumen merasa nyaman, letak ruangan di dalam suatu bangunan,
sehingga memiliki keinginan untuk tetap berada dekorasi, warna ruangan serta perabotan-
dalam lingkungan tersebut, selain itu akan perabotan yang berfungsi untuk membantu
membuat pegawai perusahaan memiliki suatu proses pelayanan jasa.7,12
keinginan untuk bisa melayani konsumen Desain lingkungan fisik yang baik
sebaik mungkin.9 dapat membuat efek visual positif bagi
Lingkungan fisik terdiri atas dua faktor setiap konsumen sehingga menimbulan
yang meliputi ambient factor dan design factor. suatu respon emosi yang positif pada diri
1. Ambient Factor konsumen ketika sedang menerima
Ambient factor merupakan faktor- layanan jasa.17 Desain yang baik akan
faktor lingkungan fisik yang sifatnya non- mengurangi perasaan-perasaan negatif dari
visual, dengan kata lain merupakan faktor seorang konsumen serta akan
lingkungan fisik yang tidak bisa dilihat, mempermudah proses penyampaian
namun bisa dirasakan oleh setiap layanan jasa kepada konsumen.7,12
konsumen ketika menerima pelayanan jasa
di lingkungan tersebut.10 Pengaruh dari B. Lingkungan Sosial
setiap ambient factor ini dapat dirasakan 1. Employee Displayed Emotion
secara langsung berupa persepsi sensoris Employee Displayed Emotion
ketika seorang konsumen berada dalam merupakan salah satu hal yang paling
suatu lingkungan fisik tertentu.11 tangible dan mudah mempengaruhi
Ambient factor ini meliputi persepsi konsumen ketika menerima suatu
elemen-elemen seperti kualitas udara, pelayanan jasa. Keadaan emosi yang
pencahayaan, musik, aroma ruangan, positif akan mempengaruhi pegawai
tingkat keamanan dan kebersihan.12,13 penyedia layanan jasa dalam memberikan
Elemen-elemen seperti ini dianggap dapat pelayanan kepada konsumen. Apabila
memberikan suatu harmoni yang bisa seorang pegawai mampu mengontrol
membuat setiap konsumen merasa nyaman keadaan emosi termasuk ekspresi
sekaligus membangun suatu keadaan wajahnya, maka akan semakin mudah pula
emosi positif dari setiap pengguna layanan untuk membangun suatu relasi yang baik
jasa.14 kepada konsumen.18
Pencahayaan yang baik dapat Employee Displayed Emotion
membuat konsumen merasa nyaman ketika meliputi berbagai ekspresi wajah dari
berada di dalam lingkungan pelayanan dan pegawai penyedia layanan jasa ketika
merasa senang untuk menerima suatu memberikan pelayanan kepada konsumen.
layanan jasa.15 Rasa aman membuat tiap Ketika seorang pegawai melayani
konsumen merasa bebas untuk berinteraksi konsumen dengan tersenyum, selalu
dengan seluruh aspek di dalam lingkungan berusaha menciptakan kontak mata ketika
fisik itu sendiri sedangkan tingkat berbicara untuk memperlihatkan suatu
kebersihan sangat mempengaruhi kehangatan dan selalu menyapa konsumen,

24
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 23-28

hal ini akan memberikan suatu pengalaman Interaksi positif antara konsumen
yang menyenangkan bagi konsumen ketika dapat menghasilkan suatu pengalaman
menerima pelayanan jasa tersebut.19 yang menyenangkan selama proses
Pegawai penyedia layanan jasa pelayanan jasa berlangsung. Hal ini akan
dituntut untuk selalu bisa menampilkan memberikan sebuah kontribusi untuk
ekspresi wajah yang sebaik mungkin terciptanya kepuasan serta loyalitas
ketika melayani konsumen, walaupun konsumen terhadap suatu layanan.21,25
mungkin ekpresi wajah yang ditampilkan
tidak sesuai dengan keadaan perasaan PEMBAHASAN
mereka saat itu.20 Hal ini perlu Kepuasan pasien yang datang berobat ke
diperhatikan karena ekspresi yang sebuah klinik gigi tidak hanya berdasarkan hasil
ditampilkan oleh pegawai penyedia perawatan saja, melainkan berdasarkan pada
layanan jasa turut membentuk perubahan keseluruhan proses pelayanan dari awal sampai
emosi atau perasaan dari seorang akhir. Pasien-pasien yang datang ke sebuah
konsumen yang secara tidak langsung juga penyedia layanan jasa kesehatan tentunya memiliki
mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen kondisi kesehatan tubuh yang bervariasi dan
tersebut.1 membutuhkan suatu suasana yang nyaman ketika
mereka berada dalam lingkungan pelayanan, mulai
2. Customer Climate dari proses menunggu di ruang tunggu sampai
Customer climate berhubungan menerima perawatan dari tenaga medis.
dengan persepsi konsumen terhadap Lingkungan fisik memiliki peranan yang
lingkungan di mana pelayanan jasa itu penting karena hampir keseluruhan suatu
berlangsung, persepsi konsumen dapat pelayanan jasa terjadi dalam suatu lingkungan fisik
timbul karena kehadiran konsumen yang di mana seorang konsumen menerima sebuah
lain ketika suatu pelayanan jasa proses pelayanan.6 Design factor dan ambient
berlangsung dalam satu waktu yang factor memiliki peranan yang saling melengkapi
sama.21 Kehadiran konsumen lain juga dalam suatu lingkup pelayanan kesehatan termasuk
merupakan bagian dari lingkungan klinik gigi. Warna ruangan dalam klinik beperan
pelayanan karena kehadirannya turut besar dalam meredam kecemasan serta
mempengaruhi perasaan konsumen yang menciptakan suasana yang nyaman bagi pasien
juga turut membentuk persepsi konsumen baik sebelum maupun selama menerima perawatan
terhadap suatu penyedia layanan jasa.22 gigi. Tata letak ruangan serta perabotan yang ada
Interaksi yang terjadi di antara di dalam kinik harus diatur dengan baik agar
konsumen dalam suatu lingkungan pasien bisa menggunakan setiap fasilitas yang ada
pelayanan yang sama turut mempengaruhi di klinik dengan mudah serta mendapatkan
keadaan emosi serta perasaan dari masing- pelayanan dari tenaga medis semaksimal mungkin.
masing konsumen. Hal ini bisa terjadi Desain lingkungan fisik yang baik dapat membuat
karena kehadiran konsumen lain berkaitan efek visual positif bagi setiap konsumen sehingga
erat dengan tingkah laku serta kebiasaan menimbulkan suatu respon emosi yang positif pada
yang mereka miliki, terkadang ada suatu diri konsumen ketika sedang menerima layanan
perilaku dari konsumen yang membuat jasa.17
konsumen lain merasa tidak nyaman Design factor yang dilengkapi dengan
sehingga menimbulkan persepsi yang ambient factor sangat berpengaruh pada persepsi
kurang baik terhadap suatu lingkungan pasien terhadap kualitas pelayanan sebuah klinik
pelayanan.23 Pengalaman kurang bahkan sebelum pasien tersebut menerima
menyenangkan yang timbul akibat perawatan. Sebagai penyedia layanan kesehatan,
kehadiran konsumen lain dapat sebuah klinik gigi harus memiliki tingkat
membentuk persepsi negatif terhadap kebersihan yang tinggi, hal ini merupakan sebuah
keseluruhan pelayanan yang diberikan.24 aspek penting yang bisa membentuk persepsi

25
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 23-28

positif pasien terhadap kualitas pelayanan jasa Kenyamanan lingkungan fisik sebuah
yang akan diterima.16 Ruangan yang bersih, klinik bisa berkurang ataupun menghilang apabila
kualitas udara serta pencahayaan yang baik serta dipadati oleh sejumlah pasien. Kondisi demikian
aroma ruangan yang harum dan segar tentunya dapat membuat seorang pasien mudah merasa
akan memberikan kenyamanan kepada pasien dan terganggu dengan kehadiran pasien lain.
tenaga medis untuk bisa berinteraksi dalam suatu Pengalaman kurang menyenangkan yang timbul
lingkungan pelayanan yang baik dan sehat. akibat kehadiran konsumen lain dapat membentuk
Kehadiran design factor dan ambient persepsi negatif terhadap keseluruhan pelayanan
factor memiliki peranan yang penting dalam yang diberikan.24 Lebih jauh, kehadiran pasien lain
menciptakan sebuah lingkungan fisik klinik gigi juga dapat mengganggu proses pelayanan,
yang nyaman. Lingkungan klinik yang nyaman termasuk ketika tenaga medis memberikan
akan membuat pasien mau mengikuti seluruh perawatan kepada pasien. Hal ini tentu akan
proses pelayanan termasuk menunggu giliran berimbas pada kualitas perawatan yang turut
perawatan dengan emosi yang positif. Hal ini tentu mempengaruhi tingkat kepuasan pasien terhadap
sangat mempengaruhi kepuasan serta loyalitas keseluruhan proses pelayanan yang diterima.
pasien terhadap suatu layanan kesehatan. Sebuah klinik gigi harus mengantisipasi
Tenaga medis yang bekerja dalam industri antrian pasien yang cukup panjang pada satu waktu
kesehatan seperti klinik gigi akan menghadapi bersamaan, hal ini perlu dilakukan untuk
pasien yang berbeda dengan situasi dan kondisi menciptakan suasana yang nyaman bagi pasien
yang berbeda-beda pula. Mengingat tingkat baik yang sedang menunggu giliran maupun
kecemasan pasien terhadap perawatan gigi cukup menerima perawatan, sehingga interaksi yang
tinggi, tenaga medis perlu menampilkan suatu positif di antara pasien bisa terjalin dengan baik.
ekspresi positif yang bisa menenangkan dan Interaksi positif antara pasien dapat menghasilkan
meredakan kecemasan pasien sebelum dan selama suatu pengalaman yang menyenangkan selama
menerima perawatan. Employee displayed emotion proses pelayanan jasa berlangsung. Hal ini akan
merupakan aspek non-verbal yang paling mudah memberikan sebuah kontribusi untuk terciptanya
mempengaruhi konsumen.26 Hal ini menunjukkan kepuasan serta loyalitas konsumen terhadap suatu
bahwa apabila tenaga medis bisa menampilkan layanan.21,25
ekspresi yang baik dan menyenangkan serta
membangun komunikasi yang hangat, maka akan
semakin mudah pula untuk menciptakan emosi KESIMPULAN
yang positif dari pasien. Interaksi yang positif Lingkungan pelayanan sangat
antara tenaga medis dan pasien sangat berpengaruh mempengaruhi persepsi pasien terhadap kualitas
terhadap keseluruhan proses dan hasil perawatan, pelayanan sebuah klinik gigi. Kombinasi antara
hal tersebut juga turut berperan penting dalam lingkungan fisik dan sosial yang baik dapat
menciptakan kepuasan pasien terhadap suatu memberikan pengalaman menyenangkan bagi
layanan kesehatan. pasien selama proses pelayanan jasa. Hal ini
Kehadiran konsumen lain juga merupakan memiliki kontribusi untuk menciptakan kepuasan
bagian dari lingkungan pelayanan karena serta loyalitas pasien terhadap suatu layanan klinik
kehadirannya turut mempengaruhi perasaan gigi.
konsumen yang juga turut membentuk persepsi
konsumen terhadap suatu penyedia layanan jasa.22
Pasien yang datang berobat tentunya ingin berada DAFTAR PUSTAKA
pada kondisi yang senyaman mungkin pada 1. Tsai, W.C. and Huang, Y.M. Mechanism
keseluruhan proses pelayanan mulai dari ruang linking employee affective delivery and
tunggu sampai ruang perawatan, namun terkadang customer behavioral intentions. Journal of
kehadiran pasien lain yang dianggap mengganggu Applied Psychology. 2002; 87(5): Vol.1001-8.
dapat memberikan persepsi yang kurang baik
sehingga membentuk emosi negatif dari pasien.

26
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 23-28

2. Wong, A. The role of emotional linking 13. Pantouvakis, A. The relative importance of
satisfaction in service encounters. Managing services features in explaining customer
Service Quality. 2004; 14(5); 365-76. satisfaction. Managing Service Quality. 2010;
3. Burns, D.J. and Neisner, L. Customer 20(4); 366-87.
satisfaction in a retail setting – the 14. Harris, L.C. and Ezeh, C. Servicescape and
Contribution of emotion. International loyalty intentions: an empirical investigation.
Journal of Retail & Distribution Management. European Journal of Marketing. 2008; 42(3);
2006; 34(1); 49-66. 390-422.
4. Tombs, A. and McColl-Kennedy, J.R. Social- 15. Ryu, K. and Jang, S.S. The effect of
servicescape conceptual model, Marketing environmental perceptions on behavioral
Theory. 2003; 3(4);447-75. intentions through emotions: the case of
5. Sherman, E., Mathur, A., and Smith, R.B. Upscale Restaurant. Journal of Hospitality
Store environment and consumer purchase and Tourism Research. 2007; 31(1); 56-72.
behavior: mediating role of consumer 16. Lucas, A.F. The determinants and effects of
emotions , Psychology & Marketing. slot servicescape satisfaction in A Las Vegas
1997;14(4); 361-78. hotel casino. UNLV Gaming Research and
6. Walter, U., Edvarsonn, B. and Öström, Ä. Review Journal. 2003; 7(11); 1-17.
Drivers of customers service experiences: a 17. Jang, S.C.S. and Namkung, Y. Effects of
study in restaurant dentistry. Managing perceived service fairness on emotions, and
Service Quality. 2010; 20(3); 236-58. behavioral intentions in restaurants. European
7. Nguyen, N. and Leblanc, G. Contact Journal of Marketing. 2008; 44(9); 1233-59.
personnel, Physical environment and the 18. Brotheridge, C.M. and Grandey, A.A.
perceived corporate image of intangible Emotional labor and burnout: comparing two
service by new client. Journal of Service perspective of people work. Journal of
Industry Management. 2002; 3(2); 242-62. Vocational Behavior. 2002; 60(1);17-39.
8. McGuire, D. and McLaren, L. The impact of 19. Pugh, S.D. Service with a smile: emotional
physical environment on employee contagion in the service encounter. Academy
commitment in call center. Journal of Team of Management Journal. 2001; 44(5); 1018-
Performance Management. 2009;15(1); 35- 27.
48. 20. Lin, J.S.C. dam Lin, C.Y. What makes service
9. Bitner, M.J. Servicescape: the impact of employees and customers smile: Antecedents
physical surroundings on customer and and consequences of the employees affective
employees. Journal of Marketing. 1992; 6(2); delivery in the service encounters. Journal of
57-71. Service Management. 2011; 22(2); 183-201.
10. Baker, J., Grewal, D. and Parasuraman, A. 21. Brocato, E.D. and Kleiser, S.B. Influence of
The influence of store environment on quality other customers: a scale development.
inferences and store image. Journal of the American Marketing Association, Conference
Academy of Marketing Science. 1994; 22(4); Proceedings. 2005; 16; 128.
328-39. 22. Huang, W.H. The impact of other customer
11. Mattila, A.S. and Wirtz, J. Congruency of failure on service satisfaction. International
scent and music as a driver of in-store Journal of Service Industry Management.
evaluations and behavior. Journal of 2008; 19 (4); 521-36.
Retailing. 2001; 77(2); 273-89. 23. Moore, R., Moore, M.L, and Capella, M. The
12. Lin, J.S.C. and Liang, H.Y. The influence of impact of customer-to-customer interactions
service environments on customer emotion in a high personal contact service setting.
and service outcomes. Journal of Managing Journal of Service Marketing. 2005; 19(7);
Service Quality. 2011;21(4); 350-72. 482-91.

27
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 23-28

24. Bitner, M.J. Evaluating service encounters: 26. Dallimore, K.S., Sparks, B.A. and Butcher, K.
the effect of physical surroundings on The influence of angry customer outbursts on
customers and employees. Journal of service provider’ facial displays and affective
Marketing. 1990; 56(2); 57-71. states. Journal of Service Research. 2007;
25. Prahalad, C.K. and Ramaswamy, V.Co-opting 10(1); 78-93.
customer competence, Harvard Business
Review. 2000; 78(1); 79-87.

28

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 29-35

Odontologi Forensik Dalam Disaster Victim Identification (DVI)


Sudhana, Jw
Bagian Kesehatan Gigi Masyarakat dan Pencegahan, Universitas Trisakti

ABSTRACT
Forensic odontology essentially deals with criminal identification by their dental record. In the
time of mass disasters occurring in the modern world, the focus of this discipline has been
expanded to include the identification of the victims of these natural or man-made disasters.
Although articles in the recent past suggested the importance of the forensic odontologist in the
disaster victim identification (DVI) team, only few have provided the difficulties faced by the
team and the actual figures where forensic odontologists have helped. The recent tragedies like
suicide bombing and airplane accident in Indonesia has redirected our focus on mass disasters.
Numerous experts have emphasized on the importance of forensic dentistry and the role of a
general dental practitioner in providing dental records. These records provide valuable
information as they serve to be ante-mortem records. A detailed knowledge of maintenance of
ante-mortem records will provide a great help in identification of the deceased, reducing the
work load of the DVI team. The basic principle procedures of DVI operation will be described
and discussed in this paper.

PENDAHULUAN agar dapat diserahkankan kepada keluarganya serta


Indonesia merupakan salah satu negara mengetahui sebab kematiannya dan membantu
yang sering mengalami kejadian bencana, penegak hukum dalam menetapkan pelaku pada
termasuk bencana akibat ulah manusia seperti aksi kasus-kasus tindak pidana kriminal.
teror bom, kecelakaan transportasi, pembunuhan, Odontologi forensik merupakan salah satu
kerusuhan massal dan lain-lain, juga bencana alam cabang ilmu forensik yang dapat membantu
seperti gempa bumi, tsunami, banjir, letusan identifikasi korban bencana alam maupun
gunung berapi, tanah longsor, dan lain-lain. Badan kriminalitas melalui pemeriksaan rongga mulut
Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan seperti gigi. Penggunaan gigi sebagai alat
data sebaran kejadian bencana di Indonesia sejak identifikasi diketahui memberikan tingkat
tahun 1815 – 2012 serta angka kejadian bencana keakuratan yang tinggi setelah uji DNA3-5.
cenderung meningkat dalam sepuluh tahun Identifikasi menggunakan gigi tidak membutuhkan
terakhir. waktu yang lama seperti halnya uji DNA. Salah
Menurut Undang-undang Nomor 24 tahun satu prosedur identifikasi yang dapat dilakukan
2007 bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau adalah dengan membandingkan data antemortem
rangkaian peristiwa yang mengancam dan dan postmortem. Tinjauan pustaka ini disusun
mengganggu kehidupan dan penghidupan untuk memberi pemahaman prosedur identifikasi
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam korban bencana serta untuk mengetahui peran
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia odontologi dalam identifikasi antemortem dan
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa postmortem.
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis1. Melalui Undang- TINJAUAN PUSTAKA
undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Disaster Victim Identification (DVI)
telah diamanatkan kepada pemerintah dan Proses identifikasi korban bencana yang
masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi bersifat massal seperti serangan teroris atau gempa
terhadap jenazah korban bencana yang tidak bumi jarang melibatkan metode identifikasi visual.
dikenal2. Upaya identifikasi korban bencana Hal ini disebabkan terlibatnya daya rusak bencana
dimaksudkan untuk mengembalikan hak korban semacam itu yang menghancurkan dan

29


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 29-35

menghilangkan bagian-bagian tubuh korban memblokir situs bencana untuk orang yang tidak
sehingga sulit dikenali. Upaya yang sering berkepentingan dengan memasang garis polisi,
dilakukan untuk mendapatkan identifikasi yang menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana,
meyakinkan adalah melakukan perbandingan sidik menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah
jari, catatan gigi, atau metode perbandingan DNA. bagi yang berkepentingan, menyediakan petugas
Dalam budaya manusia saat ini dimana orang yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa
sering bepergian, ada kemungkinan yang tinggi saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi
bahwa dalam satu bencana akan mengakibatkan bencana, memeriksa semua individu yang hadir di
kematian warga dari berbagai negara. Oleh sebab lokasi untuk menentukan tujuan kehadiran dan
itu perlu dikembangkan suatu prosedur baku yang otorisasi.
mampu menangani suatu kejadian bencana dengan Selanjutnya, pada langkah mengumpulkan,
korban lintas kewarganegaraan. Disaster victim organisasi yang memimpin komando DVI harus
investigation (DVI) adalah suatu prosedur baku mengumpulkan jasad korban-korban bencana yang
yang dikembangkan oleh Interpol (International telah meninggal dunia dan mengumpulkan properti
Criminal Police Organization) untuk yang terkait dengan korban yang mungkin dapat
mengidentifikasi korban yang meninggal akibat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.
bencana massal. Dalam prosedur baku tersebut Pada langkah mendokumentasikan dan pelabelan
pelaksanaan disaster victim identification terbagi organisasi yang memimpin komando DVI
atas lima fase, yaitu5 : mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara
1. Pengolahan awal tempat kejadian bencana memfoto area bencana dan kemudian memberikan
Merupakan tindakan awal yang dilakukan nomor dan label pada jasad korban beserta properti
di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. sesuai lokasi letaknya di TKP. Setelah ketiga
Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling langkah tersebut dilakukan maka korban yang
utama adalah untuk mengetahui seberapa luas sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke
jangkauan memastikan koordinasi personil dan dalam kantung jenazah untuk kemudian
sumber daya material yang efektif dalam dievakuasi.
penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, 2. Pengumpulan Data Post Mortem
polisi memikul tanggung jawab komando untuk Pengumpulan data post-mortem atau data
operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh unit
(kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas post-mortem yang dibentuk dan diberi wewenang
polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk oleh organisasi komando DVI. Pada fase ini
mengevaluasi beberapa situasi, yaitu: (1) pemetaan dilakukan berbagai pemeriksaan dengan tujuan
jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk memperoleh dan mencatat data selengkap-
area bencana, (2) perkiraan jumlah korban, (3) lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan
keadaan jenazah, (4) evaluasi waktu yang pencatatan data jenazah yang dilakukan
dibutuhkan untuk melakukan DVI, (5) institusi diantaranya meliputi : (1) dokumentasi korban
medikolegal yang mampu merespon dan dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban,
membantu proses DVI, (6) metode untuk (2) pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar
menangani jenazah, (7) transportasi jenazah, (8) maupun pemeriksaan dalam jika diperlukan, (3)
penyimpanan jenazah, dan (9) kerusakan properti pemeriksaan sidik jari, (4) pemeriksaan rontgen,
yang terjadi. (5) pemeriksaan odontologi forensic, (6)
Pada fase tindakan awal yang dilakukan di pemeriksaan DNA, (7) pemeriksaan antropologi
situs bencana, dilaksanakan tiga langkah utama, forensik. Data ini dicatat dalam pink form
yaitu: (1) mengamankan, (2) mengumpulkan, serta berdasarkan standar Interpol. Data-data hasil
(3) mendokumentasikan dan pelabelan. Pada pemeriksaan tersebut kemudian dikelompokkan ke
langkah mengamankan, organisasi yang memimpin dalam data primer, yang meliputi hasil
komando DVI harus mengambil langkah untuk pemeriksaan visual, fotografi, properti jenazah,
mengamankan TKP agar tidak menjadi rusak. medik dan antropologi (tinggi badan, ras, dan lain
Langkah-langkah tersebut antara lain dengan lain).

30


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 29-35

Selain mengumpulkan data post mortem, mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi
pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan tanggung jawab organisasi komando DVI.
untuk mencegah perubahan-perubahan paska Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal
kematian pada jenazah yaitu dengan meletakkan serta administratif untuk pemakaman menjadi
jenazah pada ruang atau lemari pendingin untuk tanggung jawab pihak yang memakamkan jenazah.
memperlambat dekomposisi. 5. Debriefing
3. Pengumpulan Data Ante-mortem Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua
mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini orang yang terlibat dalam proses identifikasi
biasanya diperoleh dari keluarga korban maupun berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap
orang yang terdekat dengan korban. Data yang semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, proses identifikasi korban bencana, baik sarana,
interpretasi ciri-ciri spesifik korban (tahi lalat, tato, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil
tindikan, bekas luka, dan lain-lain), rekam medik identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus
gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, dilakukan di masa yang akan datang, apa yang bisa
sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak boleh terulang
serta informasi-informasi lain yang relevan dan lagi di masa datang, kesulitan apa yang ditemui
dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan
misalnya informasi mengenai pakaian dan properti masalah yang sama di kemudian hari, adalah
terakhir yang dipakai oleh korban. Data ante- beberapa hal yang wajib dibahas pada saat
mortem dicatat dalam yellow form sesuai standar debriefing.
Interpol. Odontologi forensik
4. Rekonsiliasi Metode odontologi forensik telah lama
Pada fase ini dilakukan pembandingan digunakan dalam upaya mengidentifikasi jenazah
data post-mortem dengan data ante mortem. Ahli yang tidak dikenal. Secara khusus, odontogram,
forensik dan profesional lain yang terkait dalam rekam medik gigi atau catatan perawatan gigi yang
proses identifikasi menentukan apakah temuan dibuat oleh dokter gigi dianggap paling dapat
post-mortem pada jenazah sesuai dengan data ante- diandalkan untuk mengidentifikasi korban karena
mortem milik korban yang dicurigai sebagai gigi dan tulang sebagai anggota tubuh yang sangat
jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti tahan lama dan cukup banyak orang memiliki
cocok, paling sedikit 1 petunjuk primer (primer catatan gigi, terutama warga negara-negara yang
identifier) maka dikatakan identifikasi positif. telah berkembang. Sebagai data ante mortem, di
Identifikasi positif ini akan lebih baik apabila samping catatan rekam medik gigi, berbagai
disertai 1 atau lebih secondary identifiers yang dokumentasi juga berharga seperti foto-foto sinar
terdiri dari analisis medik, properti, dan fotografi. X (periapikal, panoramik, dan sefalometrik lateral
Namun, secondary identifiers sendiri tidak maupun frontal), foto-foto intra dan ekstra oral,
memiliki kekuatan untuk menjadikan suatu upaya cetakan gigi, dan lain-lain6.
identifikasi positif. Apabila data yang Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan
dibandingkan ternyata tidak cocok maka ciri khusus dari seseorang, sehingga dapat
identifikasi dianggap negatif dan data post-mortem dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik
jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data pada dua orang yang berbeda. Menjadikan
ante-mortem yang sesuai dengan temuan post- pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai yang tinggi
mortem jenazah. Selanjutnya, korban yang telah dalam hal penentuan identitas seseorang.
diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan Pemeriksaan gigi ini menjadi lebih penting bila
kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan keadaan korban sudah rusak atau membusuk,
pada keluarganya untuk dimakamkan. Dalam kasus dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan sidik
korban tidak teridentifikasi maka data post-mortem jari sudah tidak memungkinkan untuk dilakukan,
jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data sehingga dapat dikatakan gigi merupakan
ante-mortem yang sesuai dengan temuan post- pengganti sidik jari5.

31


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 29-35

Gigi-geligi terutama juga dapat digunakan 3. Tahap pertumbuhan gigi susu: berkisar
untuk menentukan umur korban, di samping ras antara usia 6 - 36 bulan, saat
dan jenis kelamin korban7, 8. Hal-hal tersebut bermunculannya gigi susu ke dalam mulut.
dibutuhkan sebagai data tambahan dan metode Dengan memperhatikan gigi mana yang
mempersempit pencarian untuk memudahkan sudah tumbuh dan belum tumbuh, umur
proses identifikasi. Ahli antropolog forensik paling dapat diperkirakan dengan kisaran yang
sering memberikan rincian studi osteologi, namun relatif sempit.
dokter gigi forensik dapat membantu identifikasi 4. Tahap statis gigi susu: berkisar antara
secara lebih mendalam6, 7. Penentuan jenis kelamin umur 3 - 6 tahun. Pada masa ini penentuan
dan keturunan dapat dinilai dari bentuk tengkorak umur melihat tingkat keausan gigi susu
dan bentuk gigi. Umumnya, dari penampilan dan jika diperlukan dengan bantuan
tengkorak, dokter gigi forensik dapat menentukan roentgen untuk melihat tahap pertumbuhan
ras dalam tiga kelompok utama: Kaukasoid, gigi tetap.
Mongoloid, atau Negroid. Karakteristik tambahan 5. Tahap gigi-geligi campuran: berkisar
dari gigi, seperti cusp Carabelli, gigi seri berbentuk antara 6 - 12 tahun. Pada masa ini umur
sekop (shovel incisor) dan multi-cusp premolar, dapat dilihat dari gigi susu yang tanggal
juga dapat membantu dalam penentuan ras. dan gigi tetap yang tumbuh.
Penetapan jenis kelamin biasanya didasarkan pada 6. Tahap penyelesaian pertumbuhan gigi
penampilan kranial, sampai saat ini belum tetap: yaitu saat tidak adanya gigi susu
ditemukan metode yang memuaskan untuk yang tanggal dan selesainya pembentukan
membedakan jenis kelamin melalui morfologi akar gigi yang terakhir tumbuh, yaitu
gigi7. molar kedua tetap.
Penentuan umur korban atau lebih Setelah masa pertumbuhan gigi tetap
tepatnya perkiraan umur juga dapat dilakukan selesai, maka pertumbuhan dan perkembangan gigi
melalui pemeriksaan gigi-geligi. Mengestimasi tidak banyak lagi memberikan bantuan untuk
usia dilakukan dengan membuat persamaan regresi memprediksi umur karena proses perkembangan
berbasis pertumbuhan dan perkembangan gigi8. dapat dikatakan telah menetap. Untuk
Perkembangan gigi mulai diobservasi sejak proses memecahkan masalah tersebut Gustafson (1950)
mineralisasi gigi susu, yaitu umur 4 bulan dalam menggunakankan metode dalam menentukan umur
kandungan hingga mencapai saat sempurnanya dengan meninjau 6 fenomena, yaitu: (1) atrisi
gigi molar kedua tetap. Pemanfaatan molar ketiga email gigi akibat penggunaan rutin pada saat
mulai terbatas karena sudah mulai banyaknya makan, sehingga permukaan gigi mengalami
molar tersebut yang tidak tumbuh sempurna9-13. keausan, (2) penurunan tepi gusi sesuai dengan
Dalam upaya mengestimasi usia dikenal beberapa pertumbuhan gigi dan pertambahan umur, maka
tahap yang dapat diamati dengan baik, yaitu14-19: tepi gusi akan bergerak ke arah apical, (3)
1. Tahap intrauteri: diobservasi melalui pembentukan dentin sekunder sebagai upaya
preparat mikroskopik, dengan melihat perlindungan alami pada dinding pulpa gigi akan
tahap mineralisasi gigi dapat diketahui usia dibentuk dentin sekunder yang bertujuan menjaga
kandungan. ketebalan jaringan gigi yang melindungi pulpa,
2. Tahap postnatal tanpa gigi: berkisar antara semakin tua seseorang semakin tebal dentin
umur 0 - 6 bulan, yaitu saat tumbuhnya sekundernya, (4) pembentukan semen sekunder
gigi susu yang pertama. Penentuan umur dengan bertambahnya umur, maka semen sekunder
secara tetap disini masih memerlukan di ujung akar pun bertambah ketebalannya, (5)
sediaan mikroskopis dengan melihat transparansi dentin karena proses kristalisasi pada
mineralisasi. Selain itu dapat juga bahan mineral gigi, maka jaringan dentin gigi
dilakukan pemeriksaan terhadap tahap berangsur menjadi transparan yang dimulai dari
perkembangan gigi yang belum tumbuh ujung akar gigi meluas ke arah mahkota gigi, (6)
atau masih di dalam tulang dengan bantuan penyempitan atau penutupan foramen apicalis yang
roentgen.

32


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 29-35

semakin menyempit dengan bertambahnya umur Identifikasi jenazah berbasis gigi memiliki
dan bahkan akan menutup20. beberapa keuntungan, yaitu3, 21: (1) gigi-geligi
merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis,
PEMBAHASAN antropologis, dan morfologis mempunyai letak
Keberhasilan suatu proses DVI bukan yang terlindung oleh otot-otot, bibir, dan pipi
didasarkan pada cepat atau tidaknya proses apabila terjadi trauma, (2) gigi-geligi tidak
tersebut berlangsung tapi lebih didasarkan pada mengalami dekomposisi walaupun telah dikubur,
akurasi atau ketepatan identifikasi. Dalam sementara organ-organ lain bahkan tulang akan
beberapa kasus DVI di Indonesia, sering ditemui mengalami dekomposisi, (3) gigi-geligi setiap
hambatan-hambatan, terutama disebabkan akibat individu tidak ada yang sama dengan probablitas
buruknya sistem pencatatan yang ada di negara untuk sama adalah 1 : 2.000.000.000, (4) gigi-
kita sehingga untuk mengumpulkan data ante- geligi mempunyai ciri-ciri yang khusus bahkan
mortem yang dibutuhkan, misalnya data sidik jari setiap ras memiliki ciri yang berbeda, (5) gigi-
dari SIM (Surat Izin Mengemudi), rekam medik geligi tahan asam keras, (6) gigi-geligi tahan
gigi dan lain-lain, tim ante-mortem sering panas, tidak akan hancur apabila terbakar sampai
menemui kendala. dengan suhu 400°C, (7) gigi-geligi dan tulang
Seperti yang kita tahu, tidak semua rahang secara radiografik mudah diinterpretasi, (8)
penduduk Indonesia memiliki SIM dan tidak apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi
semua penduduk Indonesia yang memiliki SIM umumnya ia memakai gigi tiruan dengan berbagai
catatan sidik jarinya adalah asli miliknya sendiri. macam model gigi tiruan dan gigi tiruan tersebut
Lebih jauh, tidak semua penduduk Indonesia dapat ditelusuri atau diidentifikasi.
pernah melakukan pemeriksaan gigi yang tercatat, Analisis DNA dapat dipakai karena dapat
sehingga pengumpulan data profil gigi memang menunjukkan secara genetik apakah benar ada
masih sulit untuk dilakukan. Dalam hal kedua persamaan genetik antara sampel korban dengan
petunjuk primer tersebut mustahil didapatkan, orang yang mengakui korban adalah keluarganya.
proses DVI masih dimungkinkan dengan Sampel DNA dapat diperoleh dari bermacam-
menjalankan pemeriksaan DNA4. Namun, macam bagian tubuh korban seperti: usapan
pemeriksaan DNA pada pengumpulan data post- mukosa pipi, darah, rambut beserta akarnya, kulit,
mortem juga tergolong pemeriksaan yang berbiaya kuku, dan lain lain.
tinggi sehingga menghambat operasi DVI. Idealnya identifikasi positif harus
Keadaan ini sangat memprihatinkankan berdasarkan pada 2 identifikasi atau lebih.
karena biaya untuk identifikasi korban seharusnya Identifikasi visual adalah metode yang paling
menjadi tanggung jawab pemerintah yang umum dilakukan. Namun metode ini tidak dapat
dibayarkan pada institusi-institusi yang melakukan dilakukan bila jenazah mengalami kerusakan yang
operasi DVI. Namun, terkadang birokrasi untuk sangat parah, terbakar atau terdekomposisi.
pencairan dana operasionl DVI sangat sulit Terutama apabila terjadi bencana alam yang
sehingga institusi-institusi pelaksana operasi DVI menghasilkan banyak korban, identifikasi secara
harus mendanai sendiri pelaksanaan visual nyaris tidak bisa dilakukan3. Identifikasi
identifikasinya. Keadaan ini tentunya sangat melalui sidik jari pun tidak selalu memberi hasil
merugikan masyarakat terutama keluarga korban postif, karena tidak semua orang memiliki catatan
yang tentunya sangat segera ingin mengetahui mengenai sidik jari mereka, atau sidik jari
kebenaran mengenai nasib sanak keluarganya. mengalami kerusakan saat kejadian atau
Pemerintah seharusnya lebih tanggap mengenai mengalami proses dekomposisi. Dengan beberapa
hal-hal yang dibutuhkan untuk menjamin kelemahan yang ada pada metode lainnya,
kelancaran proses DVI, terutama karena Indonesia identifikasi secara dental menjadi salah satu
merupakan daerah yang rawan bencana alam, metode yang diandalkan.
sehingga tentunya proses DVI yang baik akan Metode mengestimasi usia menggunakan
sangat diperlukan di Indonesia. proses tumbuh kembang gigi masih merupakan
bahan riset yang terus diteliti sampai saat ini22-25.

33


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 29-35

Di samping proses tumbuh kembang gigi, beberapa eastern Turkish children. J Forensic Sci.
metode mengestimasi usia menggunakan gigi terus 2012;57:679-82.
dikembangkan, antara lain dikembangkannya 7. Adachi H. Studies on sex determination using
metode kombinasi analisis rasemisasi asam human dental pulp. II. Sex determination of
aspartat dan radiokarbon26. teeth left in a room. Nippon Hoigaku Zasshi
1989; 43: 27-39.
KESIMPULAN 8. Nik-Hussein NN, Kee KM, Gan P. Validity of
Rekonsiliasi sebagai salah satu fase DVI dibangun Demirjian and Willems methods for dental
berdasarkan primary identifiers yang terdiri dari age estimation for Malaysian children aged 5-
sidik jari, gigi, dan analisis DNA, serta secondary 15 years old. Forensic Sci Int.
identifiers yang terdiri atas analisis medik, 2011;204:208.e1-6.
properti, dan fotografi. Gigi merupakan suatu cara 9. Panchbhai AS. Radiographic Evaluation of
identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila Developmental Stages of Third Molar in
odontogram, rekam medik, dan foto gigi ante- Relation to Chronological Age as
mortem yang pernah dibuat masih tersimpan Applicability in Forensic Age Estimation.
dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat Dentistry. 2012. S1:002.
penting apabila jenazah sudah dalam keadaan 10. Lee SS, Byun YS, Park MJ, Choi JH, Yoon
membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran CL, Shin KJ. The chronology of second and
atau kecelakaan pesawat udara. Data ante-mortem third molar development in Koreans and its
adalah data yang diperoleh sebelum terjadi application to forensic age estimation. Int J
bencana dan dibuat dan disimpan oleh dokter Legal Med 2010; 124 : 659-65.
ataupun dokter gigi. Secara khusus, bagi profesi 11. Thevissen PW, Pittayapat P, Fieuws S,
dokter gigi harus meningkatkan pembuatan Willems G. Estimating age of majority on
odontogram dan rekam medik gigi serta third molars developmental stages in young
mendokumentasikannya dengan baik dengan adults from Thailand using a modified scoring
tujuan sebagai acuan pencocokan dengan data technique. J Forensic Sci 2009; 54 : 428-32.
post-mortem pada saat dibutuhkan. 12. Thevissen PW, Fieuws S, Willems G. Third
molar development: measurements versus
DAFTAR PUSTAKA scores as age predictor.Arch Oral Biol. 2011
1. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 56(10):1035-40
24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan 13. Legovic M, Sasso A, Legovic I, Brumini G,
Bencana Cabov T, Slaj M. The reliability of
2. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor chronological age determination by means of
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mandibular third molar development in
3. Ata-Ali J, Ata-Ali F. Forensic dentistry in subjects in Croatia. J Forensic Sci.
human identification: A review of the 2010;55:14-8
literature. J Clin Exp Dent. 2014;6(2):e162-7. 14. Baghdadi ZD. Dental Maturity in Saudi
4. Pinchi V, Torricelli F, Nutini AL, et al. Children Using the Demirjian Method: A
Techniques of dental DNA extraction: some Comparative Study and New Prediction
operative experiences. Forensic Sci Int 2011; Models. ISRN Dentistry. 2013. 1-9.
204:111-4. 15. Nur B, Kusgoz A, Bayram M, Celikoglu M,
5. Interpol. Disaster Victim Identification Guide. Nur M, Kayipmaz S, Yildirim S. Validity of
2009. Demirjian and Nolla methods for dental age
www.interpol.int/Public/DisasterVictim/guide estimation for Northeastern Turkish children
/guide.pdf. aged 5–16 years old. Med Oral Patol Oral Cir
6. Cantekin K, Celikoglu M, Miloglu O, Dane Bucal. 2012 Sep 1;17 (5):e871-7.
A, Erdem A. Bone age assessment: the
applicability of the Greulich-Pyle method in

34


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 29-35

16. Phillips VM, van Wyk Kotze TJ. Testing 22. Pradhuman V, Jatindra S, Kanika V, Som G,
standard methods of dental age estimation by Guruprasad R. Age estimation of adolescents
Moorrees, Fanning and Hunt and Demirjian, and young adults based on development of
Goldstein and Tanner on three South African mandibular third molars – a panoramic study.
children samples. J Forensic Odontostomatol J Indian Acad Oral Med Radiol 2011;23:9‑13.
2009;27:2:20-28 23. Kumar VJ, Gopal KS. Reliability of age
17. Bagherian A, Sadeghi M. Assessment of estimation using Demirjian’s 8 teeth method
dental maturity of children aged 3.5 to 13.5 and India specific formula. J Forensic Dent
years using the Demirjian method in an Sci 2011;3:19‑22.
Iranian population. Journal of Oral Science. 24. Carneiro Almeida MS, dos Anjos Pontual A,
2011.53, No. 1: 37-42. Beltrao RT, Beltrao RV, dos Anjos Pontual
18. Bagherpour A, Imanimoghaddam M, ML. The chronology of second molar
Bagherpour MR, Einolghozati M. Dental age development in Brazilians and its application
assessment among Iranian children aged 6-13 to forensic age estimation. Imaging Sci Dent
years using the Demirjian method. Forensic 2013; 43 : 1-6.
Sci Int 2010; 197 : 121.e1-4. 25. Bassed RB, Drummer OH, Briggs C,
19. Chen JW, Guo J, Zhou J, Liu RK, Chen TT, Valenzuela A. Age estimation and the medial
Zou SJ. Assessment of dental maturity of clavicular epiphysis: analysis of the age of
western Chinese children using Demirjian’s majority in an Australian population using
method. Forensic Sci Int 2010; 197 : 119.e1-4. computed tomography. Forensic Sci Med
20. Bajpai M, Pardhe N, Kumar M, Agrawal S. A Pathol. 2010; 10:1007-10
Comparative Evaluation of Gustafson’s 26. Alkass K, Buchholz BA, Ohtani S, Yamamoto
Formula and New Formula for Age T, Druid H, Spalding KL. Age Estimation in
Estimation in India – A Forensic Study. Forensic Sciences, Application of Combined
Prague Med Rep. 2015; 116(3): 203-9 Aspartic Acid Racemization and Radiocarbon
21. Maber M, Liversidge HM, Hector MP. Analysis. Mol Cell Proteomics. 2010 May;
Accuracy of age estimation of radiographic 9(5): 1022–1030.
methods using developing teeth. Forensic Sci
Int. 2006;159 Suppl 1:68-73.

35


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 36-41

Daya Hambat Kitosan Terhadap Candida Albicans pada Denture Soure Mouth
Rahmi Amtha*, Asa Dria Tabitha**
*
Bagian Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
**
Mahasiswa Program Profesi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT
Background: Oral candidiasis is an oral infection caused mainly by C. albicans. Chitosan is a natural
polymer made from the reaction between crustacean shell and sodium hydroxide alkali. Recent studies
showed that the polycationic nature of chitosan is responsible for its antifungal properties. Aim: to
investigate the inhibitory effects of chitosan on the growth of C. albicans in vitro on patients with oral
candidiasis. Method: The laboratoric study was conducted using experimental tube dilution method.
Chitosan nanoparticles was prepared using 0.2% chitosan solution with drops of tripolyphosphate under
continuous stirring of homogenizer. Nanoparticles was then diluted into Saboraud Dextrose Broth in 4
different tubes. Each tube contains 1 to 4ml of chitosan nanoparticles. In this study nystatin and distilled
water was used as positive and negative control respectively. After 24 hours of incubation, mixture of
media, chitosan, and fungal was spread onto SDA for Candidal colony calculation using Kruskal walis
test. Results: A significant decrease in candidal count (P < 0.05) was found with the use of chitosan
nanoparticles. An optimum volume of 3ml, concentration 2.4mg/ml, was found to have the most effective
antifungal activities with average candidal count of 50. Discussion: Positively charged chitosan particles
interact with negatively charged fungal cell wall thus increasing its permeability resulting in cellular
leakage. Nano-sized chitosan particle has a greater inhibitory effect on C. albicans. Conclusion:
Chitosan nanoparticles can inhibit the growth of C. albicans up to the normal oral flora population
making it a good candidate as an alternative oral candidiasis treatment.
Key words: Chitosan, nanoparticles, Candida albicans

PENDAHULUAN C. galbrata, C. parapsilosis, C. stellatoidea, C.


Candida sp ditemukan dalam flora mulut dan krusei, C. kefyr, C. dubliniensis3. Faktor risiko
traktus gastrointestinal normal orang sehat. sistemik yang menyebabkan kandidiasis oral antara
Prevalensi C. albicans dalam flora mulut normal lain adalah : pola makan kaya karbohidrat2,
dilaporan berkisar antara 3% sampai 48% dengan perawatan kemoradioterapi2, diabetes mellitus2,
prevalensi lebih tinggi ditemukan pada anak-anak defieinsi imun4, penggunaan obat-obatan3,5,
sehat dan dewasa. Patogenitas dari C. albicans perokok6, xerostomia1, hormon tidak seimbang2.
sebenarnya rendah. Infeksi dan invasi dari Candida Sedangkan faktor risiko lokal yang paling sering
terjadi ketika daya tahan tubuh host menurun adalah penggunaan gigi tiruan4,5,7. Kandidiasis oral
akibat faktor sistemik atau lokal serta lingkungan akibat gigi tiruan dikenal sebagi denture sore
mikrooral mendukung pertumbuhan dan perlekatan mouth. Secara klinis terdiri dari 3 jenis, yaitu tipe I
dari C. albicans1 Infeksi dimulai dengan terjadinya pint point hyperaemi, tipe 2 diffuse erythema dan
transformasi morfologi Candida dari bentuk tipe 3 papilari hyperplasia8.
blastospora menajdi bentuk hifa dan germ tube Dengan terus meningkatnya prevalensi oral
yang ditandai dengan adanya pertumbuhan hifa2. candidiasis, banyak diteliti pengobatan yang tepat
Oral Candidiasis disebabkan oleh jamur C. untuk mengatasi penyakit ini. Penatalaksanaan
albicans yang secara normal ada di dalam rongga penyakit ini adalah dengan menghilangkan faktor
mulut. dan yang paling banyak (80%) diisolasi penyebabnya. Pengobatan yang digunakan untuk
dari lesi oral kandisiasis. Selain itu ada juga strain oral candidiasis adalah anti jamur topikal seperti
yang lebih jarang ditemukan seperti C. tropicalis, nystatin ointment. Walaupun cukup efektif, ada

36


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 36-41

beberapa efek samping dari nystatin yang toksik, non-imunogenik, dan non-kariogenik14.
dikeluhkan oleh pasien seperti reaksi alergi dan Solubilitas kitosan dalam air dan berbagai pH bisa
adanya rasa pahit yang bertahan setelah pemakaian didapatkan dengan proses modifikasi kimia,
nystatin tablet9. Oleh karena itu belakangan ini contohnya N-trimethyl chitosan(TMC)10. Kitosan
berkembang pengobatan alternatif untuk oral juga bertindak sebagai chelating agent yang
candidiasis yang efektif termasuk tang berasal dari mengikat ion metal transisional. Selain itu kitosan
bahan alam. Salah satu bahan natural yang juga bersifat biokompatibel dan non-toksik11.
popularitasnya meningkat di bidang kedokteran Berdasarkan latar belakang di atas, perlu
dan kedokteran gigi adalah kitosan. Kitosan adalah diketahui bagaimana pengaruh kitosan secara in
polimer natural yang terbuat dari reaksi antara vitro dalam menghambat pertumbuhan C. albicans.
cangkang udang atau cangkang krustasea lainnya Diharapkan bahan alam ini dapat menjadi pilihan
dengan alkali sodium hydroxide10. Kitosan di alternatif Untuk mengetahui perawatan kandidiasis
deasetilasi dari kitin yang merupakan compound dalam rongga mulut dalam hal ini pasien dengan
organik natural. Menurut Mohire kitosan banyak gigi tiruan dengan denture sore mouth.
dipakai dalam bidang kedokteran dan kedokteran
gigi karena diketahui memiliki banyak properti
menguntungkan seperti antifungal, antibakterial, BAHAN DAN METODE
antiprotozoal, antikanker, antiplak, antitartar, Penelitian uji laboratorik dimulai dengan
hemostatik, menyembuhkan luka, dan pembuatan nanopartikel kitosan melalui tahapan
meningkatkan potensi respon anti-inflamasi, demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Pada
menghambat pertumbuhan bakteri kariogenik, penelitian ini kitosan nanopartikel yang didapat
immunopotensiasi, anti hipertensi, menurunkan berasal dari kitosan dengan derajat deasetilasi 92%
serum kolesterol, meningkatkan absorpsi, yang dilarutkan dengan asam asetat dengan
meningkatkan sekresi saliva, dan membantu konsentrasi 4%. Candida albicans diisolasi dari
formasi bahan substitusi tulang7,11. basis gigi tiruan penderita denture sore mouth
Selain banyak manfaatnya, penggunaan kitosan setelah menandatangai informed consent. Kandida
juga merupakan salah satu bentuk pemanfaatan dibiakan pada media Saboraud Dextrose Agar
limbah cangkang krustasea. Oleh karena (CFU/mL) dan dilakukan uji hambat Candida
jumlahnya yang banyak ditemukan di alam, terhadap kitosan nanopratikel dengan metode
penggunaan kitosan relatif murah dan bisa dilusi tabung dari berbagai volume kitosan,
didapatkan dimana saja. Selain itu berdasarkan selnajutnya jumlah koloni dicatat. Data diuji
studi in vivo yang telah dilakukan sebelumnya, normalitas dan selanjutnya perbandingan 4
kitosan tidak menyebabkan toksisitas serta MIC kelompok perlakuan yang diberikan nano kitosan,
dari kitosan berada dibawah level toksisitas10 kontrol positif dan kontrol negatif dianalisis
karena hasil degradasi kitosan juga besifat non- dengan Kruskal-Wallis test.
toksik serta dapat diserap oleh tubuh. Properti anti Persiapan kitosan nanopartikel adalah sebagai
jamur dari kitosan telah banyak diteliti. Pada berikut:
dasarnya, menurut Ing dkk.10,11,12. Nanopartikel 1. Buat larutan kitosan dengan konsentrasi 2%
High Molecular Weight Chitosan (HMWC) yang telah dicampur dengan asam asetat 4%
diketahui menunjukkan MIC90 1mg/ml terhadap C. 2. Encerkan kitosan 2% menjadi 0.2% dengan
albicans dari 1mg/ml High Molecular Weight mencampur larutan kitosan 2% sebanyak
kitosan11. Menurut Dutta dkk. (2004), kitin dan 25mL dengan milliQ sebanyak 225mL.
kitosan merupakan salah satu contoh polisakarida 3. Letakkan kitosan yang telah dicairkan di
basa. Kitin juga sangat hidrofobik sehingga tidak dalam gelas beaker di bawah homogenizer
bisa larut dalam air dan kebanyakan pelarut sambil meneteskan STPP 0,1% sebanyak 60
organik. Hidrolisis dari kitin dengan asam mL dengan kecepatan 1,5 mL/menit.
konsentrasi tinggi di bawah kondisi drastis 4. Setiap 20 mL STPP masuk ke dalam kitosan,
menghasilkan gula amino murni, D-glucosamine13. hentikan homogenizer untuk melihat apakah
Produk degradasi dari kitosan ini bersifat non- nanopartikel kitosan telah terbentuk. Akan

37


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 36-41

terlihat larutan yang terlihat berawan tanpa


pengendapan ketika homogenizer dihentikan.
5. Diamkan nanopartikel kitosan yang telah
dibuat selama 24 jam untuk memastikan HASIL PENELITIAN
bahwa tidak ada pengendapan yang terjadi. Uji pengaruh kitosan dari berbagai volume
Uji hambat kitosan nanopartikel : terhadap pertumbuhan C. albicans yang dilakukan
1. Siapkan Saboraud Dextrose Broth/SDB (pada menunjukkan adanya penurunan jumlah rata-rata
tabung) dan Saboraud Dextrose Agar/SDA koloni C. albicans dengan meningkatnya volume
(cawan petri) kitosan yang digunakan dalam media SDB (Tabel.
2. Masukkan koloni C. albicans dengan 1)
menggunakan sengkelit ke dalam SDB
kemudian diinkubasi selama 24 jam. Tabel 1. Uji dilusi tabung pengaruh kitosan
3. Masukan SDB yang telah disiapkan, ke dalam terhadap pertumbuhan C. albicans
5 tabung reaksi untuk 5 perlakuan sesuai Volume Rata-rata p
dengan skema. Volume (mL) SDB(m Jumlah value
4. Inkubasi keenam tabung reaksi selama 24 jam L) Koloni* **
dalam suhu 37oC di dalam incubator.
5. Setelah 24 jam tabung 2, 3, 4, dan 5 Kitosan 1 mL 4 1789
diencerkan menjadi 103 kali pengenceran. 100
mikroliter cairan dari tabung reaksi dicampur
Kitosan 2 mL 3 674
dengan 900 mikroliter air distilasi steril.
Sedangkan tabung 1 diencerkan sebanyak 106 0.048
kali. Kitosan 3 mL 2 60
6. Hasil pengenceran dituang sebanyak 1 mL
pada SDA kemudian disebar secara merata Nystatin 1 mL 4 31
pada SDA.
7. SDA diletakkan di dalam inkubator untuk Air distilasi 1 mL 4 59000
melihat pertumbuhan C. albicans serta
menghitung koloni yang tumbuh selama 24 *Rata-rata jumlah koloni dihitung dalam
jam dengan suhu 37oC. pengenceran 1000
8. Setelah 24 jam, hitung koloni C. albicans
** p<0.05
yang tumbuh pada SDA dan bandingkan
jumlah koloninya pada semua perlakuan.

Skema perlakuan sampel

SDB+ C. albicans Tuangkan ∑ koloni C.


Ke-1 + 1mL air dis:lasi pada SDA albicans

SDB+ C. albicans+
1mL nysta:n Tuangkan ∑ koloni C.
Ke-2 pada SDA albicans
suspension

SDB+ C. albicans + Tuangkan ∑ koloni C.


Ke-3 1 mL nanokitosan pada SDA albicans
Tabung

SDB+ C. albicans + Tuangkan ∑ koloni C.


Ke-4 2 mL nanokitosan pada SDA albicans

SDB+ C. albicans + Tuangkan ∑ koloni C.


Ke-5 3 mL nanokitosan pada SDA albicans

SDB+ C. albicans + Tuangkan ∑ koloni C.


Ke-6 4 mL nanokitosan pada SDA albicans
Gambar 1. Hasil rata-rata pengaruh kitosan
terhadap pertumbuhan C. albicans

38


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 36-41

Hasil uji normalitas menunjukkan nilai sig sebesar meningkatnya volume kitosan nanopartikel yang
0.040 < 0.05 maka disimpulkan distribusi data dari berbeda dalam tabung. Hasil penelitian ini
variabel koloni tidak berdistribusi normal, oleh menunjukkan bahwa 3mL nanopartikel kitosan
karena itu pengujian perbedaan kelompok (konsentrasi 2.4 mg/mL) dalam 2mL media cair
menggunakan analisis Kruskal-Wallis test dan uii dapat menghambat pertumbuhan C. albicans
beda tiap kelompok menunjukkan adanya paling efektif (50 CFU/mL) dengan angka hambat
perbedaan bermakna pada jumlah koloni terhadap jamur sebesar 99,9%. Jumlah koloni ini sesuai
jumlah volume kitosan yang diberikan p= 0.048 dengan jumlah koloni C. albicans yang ditemukan
(p<0.05) pada saliva individu sehat yaitu kurang dari 100
CFU/mL saliva3. Jumlah koloni C. albicans yang
umumnya ditemukan pada pasien yang
menunjukkan gejala klinis oral candidasis
biasanya lebih dari 400 CFU/mL3,15.
Berdasarkan penelitian yang sebelumnya
A B C dilakukan oleh Ing dkk. (2012), High Molecular
Weight Chitosan Nanoparticles dapat menghambat
pertumbuhan C. albicans dengan MIC90
1mg/mL10,16. Hasil ini lebih rendah dari yang
ditemukan dalam penelitian ini yaitu 2,4mg/mL.
D E Perbedaan ini dapat terjadi karena berbagai faktor
Gambar 2. Jumlah C. albicans terhadap kitosan antara lain perbedaan metode persiapan kitosan
dengan berbagai volume. dan konsentrasi awal kitosan yang digunakan,
A. Kontrol Positif, B. Kontrol negatif, C. 1mL perbedaan metode penelitian, masa inkubasi,
Kitosan , D. 2mL Kitosan, E. 3mL Kitosan jumlah sel C. albicans yang dicampurkan dalam
media cair dan faktor-faktor lainnya.
Kitosan menghambat pertumbuhan C.
PEMBAHASAN albicans oleh karena sifat polikationiknya.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Mekanisme utama sifat antijamur kitosan adalah
metode dilusi tabung dan menunjukkan bahwa dari gugus amino yang ada pada kitosan bermuatan
nanopartikel kitosan dapat menghambat positif sehingga dapat berikatan dengan komponen
pertumbuhan C. albicans sesuai dengan penelitian fosfolipid pada membran jamur yang bermuatan
yang dilakukan oleh Ing dkk10. Hal ini terlihat dari negatif sehingga meningkatkan permeablitias dari
penurunan jumlah koloni antara kelompok dengan membran dan menyebabkan kebocoran konten
pemberian kitosan dan kelompok kontrol negatif. selular yang akhirnya menyebabkan kematian sel10.
Metode dilusi tabung digunakan untuk menghitung Menurut Palma-Guerrero dkk. (2010), peningkatan
Konsentrasi Hambatan Minimum (KHM) yaitu permeablitias membran sel jamur ini dipengaruhi
konsentrasi antijamur terendah yang masih efektif oleh fluiditas mebran sel jamur yang ditentukan
untuk mencegah pertumbuhan patogen dan oleh komposisi polyunsaturated fatty acid. Pada
mengindikasikan dosis yang efektif dalam polyunsaturated membran dengan fluiditas tinggi,
mengontrol oral candidiasis. Metode ini dinilai perlekatan kitosan meningkatkan rigiditas
paling tepat untuk penelitian ini karena dengan membran pada daerah yang berlekatan. Hal ini
metode ini dapat terlihat volume kitosan mana meningkatkan perbedaan fluiditas antara regio
yang paling efektif dalam menghambat membran yang bebeda sehingga menyebabkan
pertumbuhan C. albicans dari tabung dan dapat peningkatan permeabilitas membran. Pada
langsung dilakukan penghitungan koloni jamur. membran yang lebih rigid perubahan membran
Tabel 1 menunjukkan kitosan mempunyai yang terjadi lebih sedikit sehingga perubahan
pengaruh pada peekembangbiakan C. albicans. permeabilitas yang terjadi juga lebih sedikit.
Terlihat adanya penurunan jumlah koloni C. Dalam penelitian ini diketahui bahwa C. albicans
albicans yang mendapat perlakuan seiring dengan merupakan salah satu jamur yang sensitif terhadap

39


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 36-41

kitosan dan ini menunjukkan bahwa membran sel besar untuk menghambat pertumbuhan jamur
C. albicans memiliki komponen polyunsaturated karena ukurannya yang kecil dapat melakukan
fatty acid dan fluiditas membran yang tinggi16,17. penetrasi yang lebih hebat ke dalam dinding sel C.
Kitosan nanopartikel memiliki daya antimikroba albicans.
yang lebih besar karena ukurannya yang kecil dan Faktor lain yan dapat mempengaruhi
memiliki muatan permukaan yang lebih besar kemampuan daya hambat kitosan adalah
sehingga dapat berinteraksi lebih mudah dengan kandungan asam asetat. Asam asetat yang
dinding sel C. albicans18. Oleh karena itu ukuran digunakan sebagai pelarut kitosan secara kimiawi
partikel dari nanokitosan sangat penting dalam dapat menghambat mikroorganisme termasuk
menentukan efektifitas daya hambat kitosan jamur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
terhadap C. albicans. Nanokitosan juga dapat Alburquenque dkk. (2010) ditemukan bahwa asam
berpenetrasi ke dalam dinding sel jamur, berikatan asetat menghambat pertumbuhan C. albicans pada
dengan DNAnya dan menghambat sintesis mRNA konsentrasi di atas 1%16. Maka pada penelitian ini
dan mengganggu pembentukan protein esensial digunakan asam asetat dengan konsentrasi 0,4%
dan enzim C. albicans10. sebagai pelarut agar asam asetat tidak
Pembuatan nanokitosan dilakukan dengan mempengaruhi hasil penelitian.
memecah partikel kitosan dalam larutan asam Aplikasi klinis dari kitosan, dari penelitian ini
asetat dengan menggunakan homogenizer. Setelah dapat dilihat bahwa kitosan sebanyak 3 mL dapat
homogenisasi ukuran partikel seragam. Partikel menghambat pertumbuhan C. albicans hampir
kitosan yang telah dipecah menjadi partikel nano setara dengan penggunaan nystatin yang digunakan
dibungkus dengan TPP (tripoliphosphat) sehingga dengan dosis 1-6mL per hari. Nanokitosan juga
partikel nano yang telah terbentuk menjadi lebih dapat digunakan dengan cara yang sama seperti
stabil dan mengurangi kemungkinan aglomerasi nystatin karena sama-sama berada dalam bentuk
partikel. Ukuran partikel nanokitosan dipengaruhi suspensi.
oleh konsentrasi kitosan dan TPP. Volume TPP
yang digunakan harus tepat karena penggunaan KESIMPULAN
TPP yang berlebihan akan menghasilkan partikel Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
kitosan yang lebih besar sehingga terjadi kitosan nanopartikel dapat menghambat
pengendapan partikel. Pada pembuatan pertumbuhan C. albicans dengan volume paling
nanopartikel dalam penelitian ini, digunakan TPP efektif sebanyak 3mL. Kitosan dengan volume
sebanyak 60 mL. volume ini lebih banyak dari 3mL dapat menghambat pertumbuhan C. albicans
yang digunakan pada penelitian Ing dkk.10 hingga mencapai batas populasi normal C.
sehingga kemungkinan partikel nano yang albicans dalam mulut yaitu di bawah 100
dihasilkan dalam penelitian ini juga lebih besar. CFU/mL. Kitosan memiliki potensi untuk bisa
Pemberian kitosan nanopartikel sebanyak 4 mL digunakan sebagai pengobatan alternatif oral
ke dalam media cair sebanyak 1 mL tidak candidiasis menggantikan nystatin yang saat ini
menghambat pertumbuhan C. albicans. Hal ini digunakan sebagai acuan baku terapi antijamur.
terlihat dari banyaknya koloni yang tumbuh pada
media SDA. Koloni yang tumbuh melebihi koloni
yang tumbuh dalam tabung kontrol negatif yang DAFTAR PUSTAKA
diberi perlakuan dengan air distilasi yang tidak 1. Hoshing C, Dixit S, Mootha A, Diwan N.
berpengaruh terhadap pertumbuhan C. albicans. Role of Candida albicans in Denture
Hal ini disebabkan karena dalam volume kitosan Stomatitis. Kailasam S, editor. Journal of
yang lebih besar dua kali lipat dari media agarnya Indian Academy of Oral Medicine and
akan menyebabkan partikel nanokitosan Radiology. 2011; 23 : 617–9
beraglomerasi (melekat ssatu sama lain) sehingga 2. Krishnan PA. Fungal infections of the oral
membentuk partikel yang lebih besar sehingga mucosa. Indian Journal of Dental Research.
efektifitas daya hambat jamur dari kitosan 2012; 23 : 650-9.
berkurang. Nanokitosan memiliki potensi lebih

40


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 36-41

3. Farah C, Lynch N, McCullough M. Oral 12. Mohire N, Yadav A. Chitosan-based


fungal infections: an update for the general polyherbal toothpaste: As novel oral hygiene
practitioner: Oral fungal infections. product. Indian Journal of Dental Research.
Australian Dental Journal. 2010; 55 : 48–54. 2010; 21(3) : 380.
4. Naik AV, Pai RC. A Study of Factors 13. Dutta PK, Dutta J, Tripathi VS. Chitin and
Contributing to Denture Stomatitis in a North Chitosan: Chemistry, properties and
Indian Community. International Journal of applications. Journal of Scientific & Industrial
Dentistry. 2011; 2011 : 1–4. Research. 2004; 63 : 20-31
5. Dawson T. Denture stomatitis: prevention and 14. Palmeira-de-Oliveira A, Ribeiro MP,
management. Dental Nursing. 2010; 6(2) : 82- Palmeira-de-Oliveira R, Gaspar C, Costa-de-
83 Oliveira S, Correia IJ, et al. Anti-Candida
6. Dos Santos CM, Hilgert JB, Padilha DMP, Activity of a Chitosan Hydrogel: Mechanism
Hugo FN. Denture stomatitis and its risk of Action and Cytotoxicity Profile.
indicators in south Brazilian older adults: Risk Gynecologic and Obstetric Investigation.
indicators for denture stomatitis. 2010; 70(4) : 322–7.
Gerodontology. 2009; 27(2) : 134–40. 15. Burket LW. Burket’s oral medicine. 11th ed.
7. Gendreau L, Loewy ZG. Epidemiology and Hamilton, Ont: BC Decker; 2008. 79-84.
Etiology of Denture Stomatitis: Denture 16. Alburquenque C, Bucarey SA, Neira-Carrillo
Stomatitis. Journal of Prosthodontics. 2011; A, Urzúa B, Hermosilla G, Tapia CV.
20(4) : 251–60. Antifungal activity of low molecular weight
8. Pattanaik S, Vikas B, Pattanaik B, Sahu S, chitosan against clinical isolates of Candida
Lodam S. Denture Stomatitis: A Literature spp. Medical Mycology. 2010; 48(8) :1018–
Review. Journal Of Indian Academy Of Oral 23.
Medicine & Radiology. 2010; 22(3) : 136-40 17. Palma-Guerrero J, Lopez-Jimenez JA, Pérez-
9. Niimi M, Firth NA, Cannon RD. Antifungal Berná AJ, Huang I-C, Jansson H-B, Salinas J,
drug resistance of oral fungi. Odontology. et al. Membrane fluidity determines
2010; 98(1) : 15–25. sensitivity of filamentous fungi to chitosan.
10. Ing LY, Zin NM, Sarwar A, Katas H. Molecular Microbiology. 2010; 75(4) :1021–
Antifungal Activity of Chitosan Nanoparticles 32.
and Correlation with Their Physical 18. Singh T, Singh VAP, Daniel G. Effect of
Properties. International Journal of Chitosan on Physiological, Morphological,
Biomaterials. 2012; 2012 : 1–9. and Ultrastructural Characteristics of Wood-
11. Jarmila V, Vavríková E. Chitosan derivatives degrading Fungi. International Bio-
with antimicrobial, antitumour and deterioration and Biodegradation. 2008;
antioxidant activities--a review. Current 62(2) :116-24.
Pharmaceutical Design. 201; 17(32) : 3596-
607.

41


Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 42-45

Tahapan Pembedahan Pada Pasien Dengan Kelainan Celah Bibir Dan Palatum
(Tinjauan Pustaka)
Anggraeny Putri Sekar Palupi*
*Staf Pengajar Bagian IBM FKG Universitas Trisakti

ABSTRACT

Cleft lip and palate are one of the most common congenital deformities seen at birth. The etiopathogene-
sis of clefts has been widely studied but is still poorly understood and the etiology still remains a mystery.
The aim of treatment of cleft lip and palate is to correct the cleft and associated problems surgically and
thus hide the anomaly so the patient can lead normal lives. There are many problems that are associated
with this patients so these have to be treated complete the comprehensive rehabilitation of these patient.

Key words : cleft lip and palate, labioplasty, palatoplasty

PENDAHULUAN berat merupakan kesulitan dalam koreksi pembe-


Bibir sumbing satu sisi merupakan salah satu dahan. Ketiga, pasien dengan bibir sumbing sebe-
deformitas kongenital yang cukup sering. Presen- lumnya mungkin telah menjalani beberapa inter-
tasi klinis bervariasi mulai bibir sumbing tidak vensi pembedahan, yang menghasilkan jaringan
komplit minimal, lebih lebar, melibatkan alveolus parut yang signifikan pada daerah operasi. Keem-
maksila dan palatina dengan tulang nasal yang pat, waktu untuk koreksi hidung, bersamaan atau
terlihat diantara celah.1 tidak dengan koreksi bibir sumbing masih berla-
Bibir sumbing dan lelangit sumbing meru- wanan. Kelima, anomali hidung dan pertumbuhan
pakan malformasi kongenital dengan frekuensi pasien mempengaruhi hasil pembedahan.3
88-175 per 100.000 kelahiran hidup pertahun.2 Perawatan untuk kelainan ini sudah banyak
Kejadian bibir sumbing dan lelangit sumbing kemajuan yang mengarah ke estetik pada operasi
(hampir 45%), diikuti dengan lelangit sumbing primer, teknik insisi baru dan ukuran yang tepat,
(35%) dan bibir sumbing (hampir 20%). Bibir walaupun demikian tidak peduli bagaimana ba-
sumbing satu sisi lebih sering dibandingkan gusnya prosedur yang dilakukan dan hasil pasca
dua sisi dan lebih sering terjadi pada sisi kiri operasinya, biasanya tetap terdapat asimetris
( kiri:kanan:dua sisi=6:3:1).3 wajah, sehingga membutuhkan prosedur tamba-
Bibir sumbing dapat di operasi pada umur han seperti alveolar bone graft, secondary dan
berapa saja, dari saat lahir sampai umur tua, tetapi tertiary labioplasty dan rhinoplasty, dan perlunya
kalau yang dipentingkan adalah hasil operasinya perbaikan wajah tengah dengan bedah ortognatik.2
maka sebaiknya operasi pertama dilakukan setelah Menurut Amaratungga (1988) bahwa tidak ada
berumur 3 bulan, agar komponen hidung dan bibir metode satupun yang lebih baik dibandingkan
diberi kesempatan tumbuh dan berat badan bayi + yang lain. Setiap metode ada kelebihan dan
10-12 pon, kemudian ditentukan syarat “rule over kekurangannya yang dapat menjadi pertimbangan
ten”., yaitu : berat badan lebih dari 10 pon, kadar pada masing-masing koreksi tipe bibir sumbing.5
haemoglobin lebih dari 10 gr, dan umur lebih dari Sejak dahulu orang telah mencari sebab ter-
10 minggu.4 jadinya cacat bawaan, sampai kini telah terdapat
beberapa hal yang dianggap dapat menyebabkan
TINJAUAN PUSTAKA cacat bawaan pada umumnya dan juga cacat sum-
Frekuensi kejadian sumbing yang cukup be- bing pada khususnya. Faktor penyebab yang
sar dan ukuran celah yang bervariasi merupakan memainkan peranan dalam terjadinya bibir
tantangan ahli bedah untuk melakukan koreksi. sumbing yaitu mutasi gen, gangguan kromosom,
Pertama, presentasi klinis yang bervariasi lebar- faktor lingkungan dan keturunan. 6
nya membutuhkan teknik bedah yang tepat. Insidensi di Indonesia belum terdapat data
Kedua, deformitas dengan asimetris yang cukup yang akurat untuk bibir sumbing. Celah orofasial
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 42-45

terlihat memiliki kecenderungan rasial, jarang celah bibir (labioplasty). 12-18 bulan dapat
terjadi pada orang kulit hitam tetapi sering meng- dilakukan operasi celah palatum (palatoplasty) .
enai orang dari ras Timur. Anak laki-laki lebih Pada saat pasien berusia 6-11 tahun dapat
sering terkena daripada anak perempuan, dengan dilakukan terapi bicara. Usia 7-14 tahun dapat
rasio 3:2. Bibir sumbing lebih sering terjadi pada dilakukan perawatan orthodontik. Usia 9-19 tahun
anak laki-laki, sementara lelangit sumbing saja jika diperlukan dapat dilakukan pharyngoplasty
lebih sering terjadi pada anak perempuan.7 Per- dan usia 17-19 tahun dapat dilakukan bedah
bandingan penderita bibir sumbing 25%, bibir orthognatik.11
sumbing dan sumbing lelangit 50% dan lelangit Untuk tahapan awal, yaitu operasi celah
sumbing saja hanya 25%.8 bibir, banyak metode yang dapat dilakukan. Pada
Orang tua mungkin cemas bila anaknya yang prinsipnya semua tehnik bertujuan untuk
baru lahir segera dioperasi dan menganggap soal mengembalikan estetik dan fungsi otot orbikularis
kesulitan makan adalah persoalan kecil. Bila bibir oris yang sangat penting dalam pertumbuhan dan
sumbing disertai lelangit sumbing dengan jarak perkembangan bibir atas serta penting
celah alveolar yang lebar, operasi yang segera memperhatikan garis jaringan parut ataupun
perlu dianjurkan.9 deformitas kontraksi garis insisi.11
Syarat pembedahan sebagai berikut : 1). Be- Terdapat banyak klasifikasi mengenai ke-
rat badan 10 pon, 2). Kadar Haemoglobin 10 lainan bibir sumbing dan lelangit sumbing. Pada
gram, 3). Jumlah Lekosit 10.000/ml yang disebut saat ini diadopsi klasifikasi baru untuk kelainan
sebagai “rule of ten”. Bayi setelah berumur satu bibir sumbing dan lelangit sumbing.12 Pada klasi-
bulan, mempunyai kemampuan penyesuaian kar- fikasi ini foramen insisivus merupakan titik
diovasculer yang lebih baik, transisi dan kemam- pembagi dari dua kelompok kelainan bibir sum-
puan melawan infeksi.4 bing dan lelangit sumbing.
Pada saat ini yang dilakukan ialah menunggu
sampai paling sedikit umur 3 bulan, bahkan dapat
ditunda sampai berumur 4 atau 5 bulan lagi bagi
bibir sumbing tunggal yang tak komplit dengan Tabel 1. Klasifikasi bibir sumbing dan lelangit sum-
bing.12
syarat kadar Hb 10 gr dan bebas dari pera-
Bibir Sumbing Satu sisi Komplit
dangan.4,10 kanan/kiri Tidak
Anak dengan sumbing mulut 20 kali lebih
komplit
besar mengalami anomali kongenital lainnya Median Komplit
dibandingkan anak normal, tidak ada korelasinya Tidak
dengan anomali lain yang terjadi pada zona komplit
anatomik spesifik. 38% anak-anak dengan lelangit Dua sisi Komplit
sumbing saja dan 21% anak-anak dengan bibir Tidak
sumbing, dengan atau tanpa lelangit sumbing, komplit
memiliki anomali-anomali yang terkait. Populasi Bibir Sumbing dan Satu sisi Komplit
penderita celah secara keseluruhan, sekitar 30% alveolus kanan/kiri Tidak
memiliki anomali lain selain celah facial, mulai (Foramen in- komplit
dari club foot hingga gangguan neurologist, 10% sisivum-palatum Median Komplit
Primer) Tidak
mengalami penyakit jantung kongenital, dan 10%
memiliki retardasi mental dalam berbagai ting- komplit
katan. Sehingga anak dengan celah fasial mem- Dua sisi Komplit
Tidak
butuhkan perawatan tambahan yang berada dalam
komplit
cakupan sebuah tim bedah.7 Lelangit Sumbing Satu sisi Komplit
Tahapan rekonstruksi pada pasien dengan (Foramen in- kanan/kiri Tidak
celah bibir dan palatum dimulai sejak minggu sisivum-palatum komplit
pertama sampai minggu keempat, yaitu konseling Sekunder) Median Komplit
orang tua dan pembuatan alat orthopedik Tidak
pra-bedah. 8-12 minggu dapat dilanjutkan operasi komplit
43
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 42-45

Dua sisi Komplit simal dan adanya malposisi gigi geligi dapat
Tidak mempengaruhi keberhasilan pembedahan. Untuk
komplit mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan
Bibir Sumbing,alveolus Satu sisi Komplit penanganan sedini mungkin agar tidak berakibat
Dan lelangit mulut kanan/kiri Tidak lebih buruk. Karena faktor sosial ekonomi dan
komplit kurang pengertian dari orang tua, maka
Median Komplit penanganan sedini mungkin sering sering tidak
Tidak
dapat dilaksanakan.
komplit
Dua sisi Komplit
Tidak
komplit
KESIMPULAN
Tahapan rencana rekonstruksi pasien dengan
kelainan kongenital celah bibir dan palatum perlu
memperhatikan usia dan perkembangan struktur
anatomis pasien sehingga di dapatkan hasil yang
terbaik. Kerjasama yang baik antara dokter gigi
dari berbagai disiplin ilmu dan orang tua sangat
diperlukan untuk keberhasilan perawatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.emedicine.com/plastic/topic170.ht
m., Han, H., Craniofacial, Unilateral Cleft Lip
Repaire, 2002, p.1-4.
2. Anastassov, G.E. dan Joos, U., Comprehen-
sive Management of Cleft Lip and Palate
Deformities, J Oral Maxillofac Surg, 2001,
59:1062-1075.
Gambar. 1. Pasien dengan celah bibir dan palatum 3. http://www.emedicine.com/ent/topic137.htm.,
Lam, S.M., Cleft Lip Nasal Deformity, 2005,
satu sisi komplit
p.1-10.
4. Musgrave, R.H. dan Garret, W.S., The
Unilateral Cleft Lip, In : Converse J.M. (ed),
PEMBAHASAN Reconstructive Plastic Surgery 2nd ed., W.B.
Bibir sumbing merupakan kelainan bawaan Saunders Company, Philadelphia, 1977, 4:
yang didapat sejak lahir dan insidensinya cukup 2043-2045.
banyak yaitu 1,47 per 1000 kelahiran hidup.13 5. Amaratungga, N.A., A Comparison of Mil-
Namun operasi bibir sumbing yang pertama dila- lard’s and Le Mesurier’s Methods of Repair of
kukan oleh siapa hingga kini belum diketahui.14 the Complete Unilateral Cleft Lip Using a
Secara embryologis bibir sumbing meru- New Symmetry Index, J Oral Maxillofac
Surg., 1998, 46:353-356.
pakan suatu kelainan bawaan sebagai akibat ga-
6. Fraser, F.C., 1971, Etiology of Cleft Lip and
galnya penyatuan frontonasalis dan premaksila Palate, In : Grabb, W.C., Rosenstein, S.W.
yang akan membentuk palatum primer, pada masa and Bzoch, K.R. (eds), Cleft Lip and Palate,
embryo kehamilan minggu ke 5 dan ke 7. Kelain- Little Brown and Company, Boston, 1971,
an bibir dapat terjadi sendiri atau bersamaan p. 54.
dengan adanya celah langit-langit. 7. Peterson, L.J., Contemporary Oral and Max-
Pembedahan pada bibir sumbing sebaiknya illofacial Surgery, 3rd. Mosby, St.Louis,
segera dilakukan sedini mungkin, karena hasil p.57-63,656-665.Malmgren B et al.
pembedahan pada anak-anak dan dewasa akan Guidelines for the Management of Trau-
berbeda oleh karena adanya perubahan pertum- matic Dental Injuries: 3. Injuries in the
buhan dan perkembangan pada sisi sumbing. Primary dentition. Reference manual
Akibatnya hasil yang didapat tidak dapat mak- 1998;36(614):336-42.

44
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 42-45

8. Morley, Cleft Palate and Speech, 7th ed., The 12. Kernahan, D.A. dan Stark, R.B., A New Clas-
Winclas and wiley Co., Baltimore, 1970, sification For Cleft Lip and Cleft Palate,
p.1-22. Plastic & Reconstructive Surgery,
9. Sitanggang, R.D., Waktu yang tepat untuk 22(5):435-441Torriani DD, Baldisseira E,
operasi bibir sumbing dan palatum pada anak, Goettems ML. Management of riit
Majalah PDGI., Journal of The Indonesian dilacerations in a cental incisor after
Dental Association, 1977, 15(III):45.
avulsion of primary tooth:a case report
10. Fonseca, R.J., Baker S.B., dan Wolford L.M.,
2000, Cleft/Craniofacial/Cosmetic Surgery.,
with a 6-year follow up. Rev Odonto
In : Fonseca R.J. (ed), Oral and maxillofa- Cienc 2011;26(4):355-8.
cial Surgery 1st.ed., Vol.6, W.B.Saunders 13. Hisako Hikiji, Tomoaki Eguchi, Toshiyuki
Company, Philadelphia, p.3-5. Koizumi, Hideto Saijo, Daichi Chikazu,
11. George Dimitroulis, Illustrated Lecture Yoshiyuki Yonehara, Tsuyosi Takato,
Notes in Oral and Maxillofacial Simplified Nasoalveolar Moulding Technique
for Treatment of infants with Cleft Lip and
Surgery,Quintessence Publishing Co, Inc,
Palate, Asian Journal of Oral and Maxillofa-
2008, p. 221-222 cial Surgery, Vol. 18, Number 1
14. Brescia N.J., 1971. Anatomy of the lip and
palate. In Clef Lip and palate. Grabb, W.C.,
Rosenstein, S.W., Bzoch K.R.ed. Boston :
Little Brown and company. p 7-8.

45
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 46-51

Perawatan Apeksifikasi Gigi Nekrosis Imatur antara Menggunakan MTA


(Mineral Trioxide Aggregate)
(Laporan Kasus)
Elline*
*Departemen Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT
The purpose of this case report was to perform apexification treatment in young permanent immature
teeth using MTA(Mineral Trioxide Aggregate) material. Apexification treatment was performed to a
20-year-old male patient with trauma history in the right upper central incisive. Patient was insecure
about his appearance and having mastication problem due to tooth fracture. Case treatment was per-
formed with opening the cavity access, measuring working length using apex locator and radiograph,
giving intracanal medicament between visits. Canal preparation was performed using conventional tech-
nique. In the second visit, MTA was applied in the apical region of the tooth using MAP (Micro Apical
Placement) system. The day after, root canal was obturated using custom-made gutta-percha.
Evaluation after 3 months showed healing process, there were no complain, and radiolucency in the peri-
apical area was reduced. The tooth can function normally. Conclusion : MTA has a good seal ability in
young permanent immature tooth.

Key words : apexification, MTA, Immature tooth

PENDAHULUAN
Sebagai seorang praktisi di kedokteran Sekarang ini bahan MTA telah populer
gigi, seringkali ditemukan pasien dengan kondisi digunakan sebagai bahan apeksifikasi pada salu-
gigi yang telah nekrosis tetapi pertumbuhan akar ran akar yang belum terbentuk sempurna. MTA
gigi belum terbentuk sempurna. Kondisi ini akan diperkenalkan oleh Lee pada tahun 90 an. MTA
menyulitkan dalam perawatan saluran akar, kare- terdiri dari tricalcium silicate , tricalcium alumi-
na penutupan apikal secara hermetis dan keadaan nate, silicate oxide dan mineral oxide lainnya.
steril dari saluran akar tidak dapat dicapai. MTA memiliki sifat biokompatibel, bersifat alka-
Pertumbuhan akar gigi yang belum sem- li, dan ,mendukung terbentuknya jaringan keras.
purna menyebabkan tidak diperolehnya apical MTA dapat membentuk suatu hidroksiapatit wa-
stop untuk memberikan fasilitas obturasi saluran laupun dalam situasi terkena cairan jaringan.¹
akar yang efektif. Ujung apikal gigi terbuka lebar Gaitonde dan Bishop,2007 mengatakan
sehinga tidak ada barrier untuk menahan sehingga evaluasi setelah 6 bulan dan 12 bulan menunjuk-
instrumen dapat melukai jaringan periodonsium.¹ kan apeksifikasi dengan kalsium hidroksida tern-
Untuk menanggulangi masalah ini dibutuhkan yata lebih banyak menunjukkan kegagalan
suatu perawatan yang dapat memberikan pe- dibandingkan penggunaan MTA.² Hal ini
nutupan yang baik pada apikal gigi, yaitu disebabkan adanya inflamasi periradikuler yang
perawatan apeksifikasi. persisten, tetapi ada pendapat lain yang menya-
Bahan yang seringkali digunakan sebagai takan keberhasilan dan perawatan apeksifikasi
bahan apeksifikasi, di antaranya kalsium hi- didasarkan pada eliminasi dari isi saluran akar,
droksida dan MTA (Mineral Trioxide Aggregate). pembersihan dan pembentukan barier jaringan
Kalsium hidroksida telah digunakan sejak dahulu keras pada apeks yang terbuka.³ Jadi penggunaan
dan terbukti masih cukup efektif untuk kalsium hidroksida pun dapat memberikan
menginduksi terbentuknya jaringan keras daerah keberhasilan yang baik.
apeks gigi. Prinsip kerja dari kalsium hi-
droksida adalah terjadinya iritasi dari jaringan
yang nantinya akan menstimulasi suatu per-
tahanan dan perbaikkan.¹

46
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 46-51

LAPORAN KASUS
Kasus I
Apeksifikasi / Apical Plug Gigi Nekrosis Imatur
Menggunakan Bahan MTA (Mineral Trioxide
Aggregate)
Seorang pria umur 19 tahun datang untuk
dirawat gigi depan kanan maksila yang terlihat Gambar 2. Terlihat adanya apeks gigi 11 belum ter-
berubah warna dan gigi ini juga patah pada per- tutup sempurna, disertai kelainan periapikal ±1 mm
mukaan kunyah. Pasien ini pernah terjatuh 5 ta-
hun yang lalu. Tampak gigi fraktur pada sepertiga Diagnosis : Gigi 11 pulpa nekrosis, disertai
tengah sampai ke palatal. Ada perubahan warna. apeks terbuka dengan abses periapikal
Mukosa mulut terlihat normal,sondasi tidak
dilakukan, perkusi + , palpasi-, tes termal tidak Rencana Perawatan
dilakukan • Apeksifikasi / apical plug
menggunakan MTA (Mineral Trioxide
Aggregate)
• Obturasi saluran akar dengan
menggunakan custom gutapeca
• Pembuatan retensi intra radikuler
• Labial veneer dengan menggunakan resin
komposit pada gigi 11 dan melakukan
penutupan diastema gigi 11 dan 21

Gambar 1a. Gigi 11 terlihat berubah warna dan fraktur Prosedur Perawatan
sampai mencapai 1/3 tengah. Gigi 11 dan 21 terlihat Kunjungan I, tanggal 1 Agustus 2008
ada diastema ± 3 mm. Mukosa labial terlihat normal Pasien dijelaskan mengenai rencana
perawatan yang akan dilakukan dan menan-
datangani informed consent,dilakukan pemasan-
gan rubber dan preparasi kavitas dengan
menggunakan endo accsess bur (Dentsply).
Setelah itu dilakukan eksplorasi awal dan negosi-
asi dengan menggunakan K-file #15 dan pen-
gukuran panjang kerja dengan menggunakan
bantuan apex locator dan dikonfirmasi dengan
radiograf dan diperoleh panjang kerja. Preparasi
biomekanik dengan menggunakan metode kon-
vensional, menggunakan K-file dengan
Gambar 1b. Gigi 11 dilihat dari arah palatal dan ter-
menggunakan bahan pelumas saluran akar EDTA
lihat gigi 1 berubah warna. mukosa palatal terlihat
normal gel 19% (RC-Prep).
Selama preparasi biomekanik, saluran akar
diirigasi dengan menggunakan larutan sodium
hipoklorit 0,5% dan chlorhexidine 0,2 %
Pada pemeriksaan radiograf terlihat apeks sebanyak 2,5 ml. Preparasi dilanjutkan sampai
gigi belum menutup sempurna dan terdapat lesi didapatkan jaringan dentin yang bersih. Preparasi
periapikal ± 2mm. menggunakan k-file #80.Saluran akar diirigasi
dengan chlorhexidine 0,2% sebanyak 2,5 ml dan
salin 2,5 ml kemudian dikeringkan dengan
47
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 46-51

menggunakan paper point steril yang dimasukkan


secara perlahan dan tanpa tekanan. Selanjutnya
dilakukan pemberian medikamen intrakanal
kalsium hidroksida (ultracal) dan gigi ditumpat
dengan tumpatan sementara.
Pada kunjungan kedua, pemeriksaan
subjektif terlihat tidak ada kelainan pada mukosa
labial maupun palatal. Pemeriksaan objektif Gambar 3. Evaluasi hasil obturasi, terlihat lesi peri-
apikal mangalami penyembuhan
perkusi dan palpasi tidak memberikan keluhan.
Warna gingiva sekitar gigi terlihat normal dan
Pada kunjungan keempat, pada pemeriksaan
tidak ada tanda – tanda peradangan. Setelah itu
subjektif pasien tidak ada keluhan sakit dan gigi
perawatan diawali dengan memasang isolator ka- dapat berfungsi secara normal. Pemeriksaan ob-
ret kemudian tumpatan sementara dibuka. Dil-
jektif, perkusi dan palpasi pasien tidak mem-
akukan irigasi dengan chlorhexidine 0,2 %
berikan respon sakit ataupun nyeri. Mukosa labial
sebanyak 2,5 ml dan salin. Saluran akar dik- dan palatal terlihat normal. Gambaran radiografi
eringkan dengan menggunakan paper point steril, menunjukkan kelainan periapikal mengecil.
kemudian dilakukan penutupan ujung apeks
(gambar 4, 5,6)
dengan menggunakan Mineral Trioxide Aggre-
gate (MTA).
MTA diaduk sesuai petunjuk pabrik,
kemudian dengan bantuan Micro Apical Place-
ment (MAP system) yang diberi tanda dengan
stopper silicone, MTA dimasukkan ke dalam
saluran akar dengan panjang kerja 22 mm. MTA
dipadatkan menggunakan gutaperca yang sudah Gambar 4. Mukosa labial terlihat normal
diberi tanda pada panjang 22 mm, kemudian dil-
akukan evaluasi letak MTA pada daerah apial
dengan radiograf. Setelah itu cotton pellet yang
sudah dibasahi aquadest dimasukkan ke dalam
saluran akar, kemudian gigi ditumpat sementara.
Pada kunjungan ketiga, dilakukan pemeri-
kaan subjektif dan pasien mengatakan tidak ada
keluhan sakit setelah dilakukan perawatan Gambar 5. Mukosa palatal terlihat normal
apeksifikasi. Pemeriksaan objektif , perkusi dan
palpasi pasien tidak memberikan respon sakit
ataupun rasa nyeri. Perawatan dilanjutkan dengan
mengisolasi daerah kerja dengan menggunakan
isolator karet. Tumpatan sementara dibuka, cotton
pellet dikeluarkan. Selanjutnya dilakukan per-
siapan obturasi saluran akar dengan
menggunakan custom gutaperca. Gutaperca dibu-
at dengan menyatukan beberapa gutperca menjadi
satu bagian dengan menggulungnya di atas glass
plate. gutaperca diinsersikan ke dalam saluran
akar sesuai dengan panjang kerja yang telah Gambar 6. Gambaran radiograf gigi 11 setelah
ditentukan, yaitu 18mm. Evaluasi hasil obturasi perawatan, terlihat penyembuhan daerah
periapikal
dengan pengambilan gambaran radiograf (Gam-
bar 3).

48
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 46-51

PEMBAHASAN sebagian besar fraktur horizontal, (2) replacement


Di masyarakat seringkali ditemukan resorption (ankilosis), (3) akar yang sangat pen-
pasien dengan kondisi gigi nekrosis tetapi apikal dek.6
dari gigi ini belum menutup sempurna. Kondisi Menurut beberapa literatur ada dua bahan
seperti ini akan menyulitkan dalam perawatan yang dapat digunakan sebagai material apeksifi-
saluran akar, karena penutupan apikal secara kasi, yaitu kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan
hermetis tidak dapat dicapai, oleh karena itu MTA. Bahan kalsium hidroksida telah lama
dibutuhkan suatu perawatan apeksifikasi. digunakan,tetapi bahan ini memiliki beberapa
Secara etimologi apeksifikasi berasal dari kekurangan, yaitu waktu perawatan yang lama,
kata apex + facere, to make atau memiliki arti sulit dalam mengikuti perkembangan pasien dan
membuat, yaitu suatu proses untuk membuat pe- memungkinkan gigi tersebut menjadi fraktur
nutupan akar bagian apikal pada gigi yang setelah pengunaan Ca(OH)2 (kalsium hidroksida)
dirawat endodontik dengan meletakkan bahan
dalam waktu yang lama8, sehingga digunakan
kalsium hidroksida ataupun material lain yang
bahan alternatif sebagai bahan penutupan apikal
memiliki toleransi terhadap jaringan pada saluran
yang bersifat biokompatibel dan memiliki kondisi
akar setelah proses apikoektomi; atau proses
optimal untuk perbaikan adalah MTA (Mineral
menginduksi pertumbuhan akar ataupun pe-
nutupan apikal akar dengan cara deposisi jaringan Trioxide Aggregate).9
keras; Arti apeksifikasi lainnya adalah suatu Keuntungan dari MTA adalah kemam-
stimulasi pembentukan apeks pada gigi dengan puan dari material ini untuk memberi penutupan
yang rapat, bahkan melebihi amalgam dan ZOE,
pulpa nekrosis.4
menstimulasi jaringan pulpa untuk regenerasi se-
Apeksifikasi adalah suatu cara untuk
hingga dapat mempertahankan kevitalan dari
menginduksi perkembangan apeks akar suatu gigi
jaringan pulpa. Kerugian dari bahan ini adalah
imatur (belum matang), tanpa pulpa, dengan
harganya yang cukup mahal dan bahan ini baru
pembentukan osteosementum atau jaringan me-
saja diperkenalkan sehingga keberhasilan dalam
nyerupai tulang lainnya.5 jangka waktu yang lama belum terbukti.
Indikasi dari apeksifikasi adalah gigi dengan Pada umumnya, gigi nonvital adalah gigi
apeks terbuka atau gigi dengan dinding dentin yang terinfeksi oleh karena itu dibutuhkan fase
yang tipis sehingga obturasi saluran akar yang perawatan disinfeksi saluran akar sehingga proses
baik tidak dapat diperoleh secara efektif. Pada penyembuhan periapikal dapat berjalan baik.
kasus ini apeks gigi terbuka sangat lebar , se- Panjang estimasi dari saluran akar ditentukan
hingga tidak ada barrier pada apikal untuk berdasarkan preoperatif radiograf dan dikonfir-
mencegah masuknya bahan pengisi ke jaringan masi kembali secara radiograf dengan
periodontal. Hal ini dapat menyebabkan trauma menggunakan instrumen pertama yang masuk
pada jaringan periodonsium apikal. Selain itu, sesuai panjang kerja. Preparasi saluran akar dil-
masalah lain yang sering timbul adalah dinding akukan dengan sangat ringan serta menggunakan
dentin yang tipis sehingga gigi dapat fraktur cairan irigasi sodium hipoklorit 0,5%. Saluran
ketika digunakan berfungsi ataupun pada saat akar dikeringkan menggunakan paperpoint dan
perawatan. Penanggulangan adalah dengan men- kalsium hidroksida dimasukkan ke dalam saluran
stimulasi pembentukan jaringan keras sehingga akar, paling sedikit 1 minggu. Perawatan selan-
obturasi saluran akar yang optimal dapat dicapai jutnya harus dilakukan sebelum 1 bulan sehingga
dan dapat memperkuat struktur dentin yang kalsium hidroksida tidak larut oleh cairan jarin-
lemah.¹ Indikasi apeksifikasi menurut gan yang dapat masuk melalui apeks yang ter-
Ford,2002 adalah gigi belum sempurna pertum- buka.¹
buhannya dan pulpanya nekrosis, gigi harus dapat Apeksifikasi dengan menggunakan
direstorasi, sedangkan kontraindikasi dari apeksi- metode MTA juga merupakan material yang
fikasi adalah : (1) semua fraktur vertikal dan seringkali digunakan untuk pembentukan barrier
49
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 46-51

apikal. MTA dapat meningkatkan produksi IL-1, penutupan apikal. Walaupun merupakan teknik
IL-6 dan osteocalcin. IL-1 mempunyai fungsi tradisional,dan membutuhkan waktu yang lebih
menstimulasi osteoklas. Osteocalcin merupakan lama dalam menghasilkan suatu penutupan
indikator produksi matriks tulang, MTA juga apikal, apeksifikasi kalsium hidroksida terbukti
menginduksi IL-6 dan macrofag colony stimulat- dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan
ing factor. IL-6 diproduksi oleh osteoblast dan perawatan. Di samping kalsium hi-
merupakan faktor yang berperan dan droksida,material MTA juga terbukti dapat
menginduksi perkembangan pembuluh darah dan menghasilkan penutupan apikal yang baik dalam
mengaktifkan prekusor osteoklas. Macrofag waktu yang cukup singkat, sehingga MTA ini
stimulating factor berperan dalam perkembangan cukup populer di kalangan klinisi dewasa ini.
dan pematangan osteoklas. MTA memacu pen- Material MTA juga merupakan bahan obturasi
ingkatan sintesis DNA sehingga menghasilkan alternatif yang potensial dalam mencegah ke-
efek positif dalam regenerasi kompleks dentin bocoran mikro, bersifat biokompatibel, mudah
pulpa.10 dimanipulasi secara klinik, respon penyembuhan
Zarabi dkk (2005), mengatakan bahwa normal tanpa adanya inflamasi dan meningkatkan
aplikasi MTA dan pengerasannya tidak di- regenerasi jaringan sewaktu bersentuhan dengan
pengaruhi oleh adanya kontaminasi darah. Jika pulpa gigi atau jaringan periapikal.5
berkontak langsung dengan jaringan perio-
donsium akan membentuk jaringan ikat fibrosa KESIMPULAN
dan sementum, Sementoblas dapat diaktifkan Kesimpulan dari laporan kasus ini adalah
dengan kehadiran bahan MTA untuk Pada perawatan apeksifikasi gigi imatur, bahan
menghasilkan matriks yang dapat merangsang MTA merupakan bahan yang mulai umum
pertumbuhan sementum, sehingga bahan ini ber- digunakan dalam dunia kedokteran gigi dan san-
sifat sementokonduktif.11 Sifat biokompatibel gat berguna dalam perawatan endodontik. materi-
bahan MTA dapat berkontak langsung dengan al MTA merupakan bahan yang bersifat biokom-
jaringan yang vital, merangsang regenerasi dari patibel dan mudah dimanipulasi secara klinik,dan
meningkatkan regenerasi jaringan dentin, se-
jaringan tersebut.12
hingga bukan tidak mungkin bahan ini dapat
Penempatan bahan MTA pada apeksifikasi
menggantikan kalsium hidroksida dalam perawa-
menggunakan teknik barier apikal, dengan cara
tan apeksifikasi di masa mendatang. Pada laporan
pengadukan dan penempatan seperti diatas. Pros-
kasus ini dapat dilihat bahwa bahan ini mem-
es pengerasan bahan MTA membutuhkan kelem-
berikan hasil keberhasilan yang sama baik.
baban, dan akan mengeras 4-6 jam kemudian.9
Pada kasus ini apeksifikasi juga dilakukan pada
pasien pria usia 20 tahun. Setelah dilakukan dis- DAFTAR PUSTAKA
infeksi saluran akar, MTA diletakkan kurang 1. Ingle,J,I., Bakland,L,K.,Baumgartner,J,I.
lebih 3 – 4 mm dari apikal, dan cotton pellet 2008. Ingle’s Endodontics. BC Decker Inc.
lembab dimasukkan ke dalam saluran akar dan Hamilton. Hlm: 1338 – 1339
ditinggalkan minimal 6 jam. Pada hari berikutnya 2. Gaitonde,P dan Bishop,K, 2007. Apexifica-
dilakukan pengisian saluran akar. Setelah evalua- tion with mineral trioxide aggregate: an over-
si 3 bulan kemudian, terlihat penyembuhan dae- view of the material and technique, Eur J
rah apikal dan pada gambaran radiograf daerah Prosthodont Restor Dent,15,41-5
apikal terlihat radiopak. Secara klinis pasien tidak 3. Fadlan,M. 2008. Apeksifikasi Pada Gigi In-
ada keluhan dan gigi dapat berfungsi secara nor- sisivus Satu Atas Permanen Muda. USU Re-
mal. pository.
Dari kedua kasus di atas apeksifikasi http://library.usu.ac.id/index.php?option=co
menggunakan kalsium hidroksida dan MTA m_jour nal_review&id=3561&task=view
ternyata menunjukkan hasil yang sama dalam hal

50
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 46-51

4. Farlex, 2010. The Free Dictionary : Apexifi- 9. Gutmann, J.L., Dumsha, T.C., dan Lovdahl,
cation, P.E. 2006. Problem Solving in Endodontics
http://medical-dictionary.thefreedictionary.co : Prevention, Identification and Management.
m/apexification. 4th ed. Elsevier Inc. : St. Louis. hlm. 72,
5. Fellipe, M.C.S, Marques, M.M., dan Antoni- 89, 547
azzi, J.H. 2006. The Effect of Mineral Triox- 10. Walker, M.P., Diliberto, A., dan Lee, C.
ide Aggregate on the Apexification and Peri- 2006. Effect of Setting Conditions on Mineral
apical Healing of Teeth with Incomplete Root Trioxide Aggregate Flexural Strength. J. En-
Formation. Int. Endod. J. 39: 2-9. dod. 32:334-336.
6. Ford,T,R,P, Rhodes,J,S, Ford,H,E,P. 2002. 11. Zarabi, M.H., Mohtasham, N., Nezamy. M.S.,
Endodontics : Problem Solving in Clinical dan Bidar, M. 2005. A Comparative
Practice,Taylor & Francis. Hlm : 183. Study of Apical Healing of Open Apices Us-
7. DiFiore,P,M, Piters,D,D, Setter- ing MTA and Ca(OH)2 Apical Plugs in Cats.
storm,J,A,Lorton,L. The antibacterial effects J. Dent. 2:58-63.
of calcium hydroxide apexification pastes on 12. Torabinejad, M. 2005. Clinical Applications
Streptococcus sanguis. Oral Surg Oral Med of MTA. Dalam Contemporary Endodontics.
Oral Pathol. 55 :91-4 2005. Stephen, H.Y. Wei (editor). Hlm.
8. Shabahang, S., dkk. 1999. A Comparative 20-23.
Study of Root-End Induction Using Osteo-
gening Protein-1, Calcium Hidroxide and
Mineral Trioxide Aggregate in Dogs.
J.Endod. 25:1-5.

51
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 52-56

Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees) Extract Antibacterial Effect On Porphyromonas


Gingivalis In Vitro
Armelia Sari W*, Nicholas Yanuar
*Microbiology Department, Faculty of Dentistry, Trisakti University

ABSTRACT
Introduction: Periodontitis is the common problem in dentistry and its has high prevalence in Indonesia.
The main bacteria that caused periodontitis is Porphyromonas gingivalis. Herbal medicines development
is needed for medical teraphy, because herbal medicines can reduce side-effects compared to those of
chemical-based medicines. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) is herbal plantation that contains
nutrients and substances that have antibacterial activity such as andrographolide, tanin, saponin dan fla-
vonoid. Objective: To investigate the effect of Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) extract on P.
gingivalis growth in vitro. Methods: Sambiloto were blended into powder and dissolved with ethanol.
After the ethanol evaporated, the extract will be obtained in the form of gel. Sambiloto extract was diluted
into concentration of 100%, 80%, 60%,40 and 20% using aquadest . Bacteria were cultured in blood agar
medium. Each concentration of sambiloto and aquadest as the negative control were inserted into the me-
dium and incubated 72 hours then observed. Result: Measurement of the inhibition zones after the in-
cubation showed that the inhibition zones (± standard deviation) of the extract of 100% 31,13 mm ± 0,14
and concentration 20% 14,95 mm ± 0,50. The result of one way Anova showed there was significant dif-
ference with p < 0,05. Tukey HSD test result showed there were significant result on each concentration
of the extract on the growth of bacteria. Conclusion: Sambiloto extract has an inhibition effect on the
growth of P. gingivalis in vitro.

Keywords: Sambiloto, Porphyromonas gingivalis, periodontitis, inhibition zone

PENDAHULUAN menyesuaikan diri dengan keadaan gigi1.


Kesehatan diri seseorang dapat terlihat Penyakit periodontal menyerang hampir sekitar
dari kondisi rongga mulutnya, sebab kesehatan 70% dari seluruh penduduk dunia, termasuk
gigi khususnya dan rongga mulut secara Indonesia. Penyakit ini menduduki urutan kedua
keseluruhan merupakan bagian dari kesehatan setelah karies yang persentasenya mencapai
tubuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan 90%3. Penyakit periodontal adalah kerusakan
yang lainnya. Rongga mulut juga merupakan yang terjadi pada jaringan penyangga gigi yang
pintu masuk dan tempat berkembangnya banyak bersifat kompleks dan multifaktorial4. Penyebab
mikroorganisme. Lebih dari 300 spesies mikroba utama dari penyakit periodontal adalah invasi
dalam rongga mulut manusia telah teridentifikasi bakteri, terutama bakteri Negatif Gram anaerob.
dan bisa berkolonisasi di dalam rongga mulut Salah satu bakteri Negatif Gram anaerob yang
manusia. Di dalam rongga mulut manusia banyak ditemukan pada penyakit periodontal,
terdapat beberapa jaringan dan salah satu jaringan terutama pada periodontitis kronis adalah
terpentingnya adalah jaringan periodontal, yang Porphyromonas gingivalis4,5.
secara umum diketahui sebagai jaringan P. gingivalis merupakan bakteri indikator
pendukung gigi1. WHO melaporkan bahwa dari kelainan periodontal terutama periodontitis
hampir semua populasi dewasa di dunia pernah kronis. Kehadiran dari bakteri ini meningkatkan
menderita penyakit periodontal2 resiko terjadinya kehilangan perlekatan gingiva6.
Jaringan periodontal adalah jaringan yang Periodontitis kronis merupakan diagnosa yang
mengelilingi gigi dan berfungsi sebagai digunakan untuk menyebut bentuk penyakit
penyangga gigi, yang terdiri dari gingiva, periodontal destruktif. Dalam penanggulangan
sementum, ligamen periodontal, dan tulang penyakit dalam rongga mulut, tenaga medis biasa
alveolar. Sebelum memahami kerusakan jaringan menggunakan obat-obatan antimikroba seperti
periodontal, sebaiknya dimulai dengan gingiva amoxicillin, metronidazole, clindamycin,
yang sehat. Gingiva yang sehat dapat azithromycin, tetracyclin dan ciprofloxacin7.

52
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1,52-56

Namun pada penggunaan obat- obatan tersebut, TUJUAN


terdapat banyak efek samping akibat kandungan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kimia dari obat- obatan tersebut. Untuk mengatasi kemampuan daya hambat ekstrak daun
efek samping tersebut, telah dilakukan beberapa Andrographis paniculata Nees terhadap
penelitian terhadap tanaman herbal sebagai pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis,
pengganti obat-obatan dengan bahan sintetis juga untuk mengetahui hubungan antara
Di Indonesia terdapat sumber daya alam konsentrasi ekstrak daun Andrographis
yang sangat melimpah, dengan keanekaragaman paniculata Nees dengan zona hambat
tanamannya dimana belum seluruhnya dikenal pertumbuhan Porphyromonas gingivalis.
dan diketahui manfaatnya. Sudah lebih dari 1000
jenis tanaman yang dimanfaatkan sebagai METODE
tanaman obat, diantaranya yaitu daun sambiloto Ekstrak sambiloto dikeringkan, kemudian di-
(Gambar 1). Sambiloto berasal dari Taiwan, tumbuk hingga menjadi bubuk dan ditimbang
daratan China dan India, biasa digunakan untuk seberat 200 gram. Serbuk kemudian dilarutkan
mengobati kelainan hati, kelainan usus pada dengan menggunakan etanol sebanyak 400mL
anak- anak, juga dapat melepaskan panas, (perbandingan air/bubuk = 2:1), lalu diuapkan
meredakan inflamasi dan rasa sakit, serta sebagai dengan suhu ruangan (27oC) selama 3 hari dan
detoksifikasi8. setelahnya disentrifugasi selama 15 menit hingga
Penelitian menunjukan bahwa daun diperoleh bentuk gel. Gel tersebut diencerkan
sambiloto berdaya antioksidasi, antiseptik, dengan aquades sehingga terbentuk ekstrak
bakterisida dan fungisida9. Sambiloto juga dengan konsentrasi 100%, 80%, 60%, 40%, dan
terbukti memiliki kandungan antimikroba seperti 20% (skala rasio). Bakteri dibiakkan dengan
andrographolide, flavonoid, polifenol (2,4 media agar darah. Tiap konsentrasi sambiloto dan
di-tert-butylphenol dan 2,4 bis (tert-butyl) aquades sebagai kontrol negatif ditanam dalam
phenol)10. Beberapa penelitian sebelumnya telah agar darah dan diinkubasi selama 72 jam dengan
membuktikan bahwa daun sambiloto dapat suhu 37oC. Koloni Porphyromonas gingivalis
membunuh beberapa bakteri penyebab penyakit yang telah terbentuk di dalam agar darah diambil
seperti Staphylococcus aureus, Pseudomonas dan dimasukkan kedalam tabung berisi 1000 µL
aeruginosa, Aeromonas hydrophyla, Proteus perbenihan cair BHI broth dan dibiarkan selama
vulgaris, Shigella dysentriae dan Eschericia coli. 24 jam. Setelah homogenisasi, koloni bakteri dari
Sehingga penulis mengharapkan Andrographis dalam tabung tersebut diambil sebanyak 100 µL
paniculata Nees mampu untuk menghambat lalu dimasukkan ke dalam media agar darah,
Porphyromonas gingivalis9. dengan cara di-swab dan dibuat sumuran, yang
dibuat dengan pipet plastik steril berdiameter
5mm, pada media agar. Ekstrak Andrographis
paniculata yang telah diencerkan dengan etanol
hingga terbentuk konsentrasi 100%, 80%, 60%,
40%, dan 20% dimasukkan ke dalam sumuran.
Ekstrak, media agar darah, dan bakteri yang telah
diswap kemudian diinkubasi selama 72 jam
dengan suhu 37oC. Setelah diinkubasi selama 72
jam, dilakukan uji daya hambat ekstrak sambiloto
(A. paniculata) dengan metode difusi sumuran.
Zona yang keruh diindikasikan sebagai daerah
Gambar 1. Tanaman sambiloto (Andrographis kolonisasi bakteri, sementara zona yang jernih
paniculata Nees) disekitar bahan ekstrak disebut zona hambat. Zo-
na hambat diukur dengan menggunakan jangka

53
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 52-56

sorong dalam satuan milimeter (mm) dan skala Tabel 1. Hasil diameter zona hambatan ekstrak A.
rasio. Data yang diperoleh dianalisis dengan paniculata terhadap Porphyromonas gingivalis
menggunakan metode uji normalitas, uji statistik
ANOVA 1 jalan kemudian jika terlihat Konsentrasi n Rata – Simpang Kekuatan Daya
Ekstrak (%) rata baku Hambat
perbedaan bermakna, maka dilanjutkan dengan
(mm) (Klasifikasi
uji Tukey-HSD. Greenwood)
100 3 31,13 0,14 Kuat: diameter >
20 mm
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan 80 3 16,04 0,07 Sedang:
untuk melihat efek antibakteri ekstrak A. diameter 15- 20
paniculata terhadap Porphyromonas gingivalis mm
dengan metode cakram, menunjukkan adanya 60 3 15,69 0,41 Sedang:
zona hambat pada daerah sekitar sumuran yang diameter 15- 20
berisi ekstrak A. paniculata. Masing-masing mm
40 3 15,64 0,23 Sedang:
sumuran berisi ekstrak A. paniculata dengan
diameter 15- 20
konsentrasi 100%, 80%, 60%, 40%, 20% sebagai mm
kelompok perlakuan dan pelarut aquades sebagai 20 3 14,95 0,50 Lemah: diameter
kontrol negatif. Zona hambat di sekeliling sumu- 10- 15 mm
ran dapat terlihat setelah media agar diinkubasi
selama 3 x 24 jam. Kontrol 3 0 0 Tidak ada daya
Hasil pengukuran diameter zona hambat ekstrak negatif hambat
ekstrak A. paniculata terhadap Porphyromonas (Aquades)
gingivalis didapatkan rata – rata (± simpang
baku) pada konsentrasi 100% 31,13 mm ± 0,14;
konsentrasi 80% 16,04 mm ± 0,07; konsentrasi
60% 15,69 mm ± 0,41; konsentrasi 40% 15,64
mm ± 0,23; konsentrasi 20% 14,95 mm ± 0,50 35
30
(tabel 1, gambar 2). 25
20
15
10
5
0

Gambar 3. Grafik hasil diameter zona


hambatan ekstrak A. paniculata terhadap
Porphyromonas gingivalis

Gambar 2. Zona hambatan yang terbentuk pada; A. PEMBAHASAN


Kontrol negatif (aquades); B. Konentrasi 20%; C. Andrographis paniculata Nees atau lebih
Konsentrasi 40%; D. Konsentrasi 60%; E. Konsentrasi dikenal sebagai tanaman sambiloto merupakan
100%. tanaman khas Indonesia yang berasal dari India,
Taiwan dan China. A. paniculata Nees sudah
biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia sebagai
tanaman herbal untuk mengobati kelainan hati,
54
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1,52-56

meredakan panas, anti-inflamasi juga sebagai pertumbuhan Porphyromonas gingivalis, dan


detoksifikasi8. Pada penelitian ini digunakan daun ditemukan adanya zona hambat pada semua
sambiloto (A. paniculata Nees) karena merupakan konsentrasi. Hal ini membuktikan bahwa terdapat
bahan alami dan mempunyai kandungan senyawa dalam Andrographis paniculata Nees
antimikroba seperti andrographolide, flavonoid, yang berfungsi sebagai antibakteri. Kemudian
polifenol (2,4 di-tert-butylphenol dan 2,4 bis pada penelitian tahap II, terbukti adanya respons
(tert-butyl) phenol)10. Kegunaan sambiloto dalam hambatan yang bervariasi. Daya hambat
bidang kedokteran gigi masih jarang diketahui, maksimal dicapai pada konsentrasi ekstrak 100%
maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan daya hambat minimal dicapai pada
efek antibakteri dari Andrographis paniculata konsentrasi ekstrak 20%. Greenwod
Nees terhadap pertumbuhan bakteri mengklasifikasikan respon hambatan
Porphyromonas gingivalis. pertumbuhan menjadi 4 kategori. Jika diameter
Kelainan periodontal adalah suatu zona hambat lebih dari 20 mm maka respon
kelainan multifaktor yang melibatkan bakteri hambatan dikategorikan kuat dan zona hambat
anaerob Negatif Gram yang berinteraksi dalam antara 20-15 maka dikategorikan sedang. Suatu
rongga mulut. Kombinasi keduanya mengawali respon hambatan pertumbuhan dikatakan lemah
terjadinya kerusakan dari gigi dan jaringan apabila diameter zona hambatnya antara 15-10,
pendukung sekitarnya. Dua golongan penyakit dan tidak memiliki respon hambatan
periodontal yaitu gingivitis dan periodontitis. pertumbuhan apabila diameter zona hambatnya
Beberapa penelitian sebelumnya telah adalah nol11.
membuktikan bahwa daun sambiloto dapat Hasil penelitian menyatakan bahwa
membunuh beberapa bakteri penyebab penyakit pada konsentrasi ekstrak daun sambiloto100%,
seperti Staphylococcus aureus, Pseudomonas dikatergorikan kuat karena zona hambatannya
aeruginosa, Aeromonas hydrophyla, Proteus lebih dari 20 mm. Pada konsentrasi 80%, 60%
vulgaris, Shigella dysentriae dan Eschericia coli9. dan 40% dikategorikan sedang karena diameter
Untuk mengetahui efek antibakteri zona hambatnya antara 15- 20 mm. Pada
Andrographis paniculata Nees terhadap konsentrasi 20% dikategorikan lemah karena
Porphyromonas gingivalis, metode yang dipilih menunjukkan diameter zona hambatnya ada
pada penelitian ini adalah metode difusi sumuran diantara 15- 10 mm. Sebagai pembanding untuk
yang menggunakan medium agar darah. Metode mengetahui efek antibakteri ekstrak A. paniculata
difusi sumuran ini dilakukan dengan cara terhadap pertumbuhan P.gingivalis, pada
membuat lubang pada agar darah padat yang telah penelitian ini digunakan aquades sebagai kontrol
diinokulasi dengan bakteri P. gingivalis, negatif, dan dihasilkan bahwa aquades tidak
kemudian ekstrak P. gingivalis diinjeksikan ke menunjukkan adanya zona hambat terhadap
dalam lubang tersebut dalam berbagai konsentrasi Porphyromonas gingivalis. Diperkirakan
yang akan diuji. Pertumbuhan bakteri diamati mekanisme yang berperan dalam efek antibakteri
setelah diinkubasi pada 37oC selama 72 jam ini adalah dengan cara mengganggu proses
dalam suasana anaerob, untuk melihat ada atau terbentuknya membran atau merusak
tidaknya zona hambat di daerah sekeliling permeabilitas dinding sel sehingga tidak
sumuran. Medium agar darah digunakan dalam terbentuk atau terbentuk tidak sempurna sehingga
penelitian ini sebagai media pertumbuhan karena menyebabkan pertumbuhan sel terhambat atau
agar darah merupakan medium yang baik untuk bahkan mati12.
pertumbuhan bakteri anaerob Negatif Gram Data dari hasil penelitian yang diperoleh
seperti P. gingivalis. dianalisis dengan meggunakan 3 metode analisis,
Pada penelitian awal, dilakukan yaitu uji normalitas, uji ANOVA 1 jalan dan uji
pengukuran zona hambat ekstrak daun Tukey. Pada uji normalitas penelitian ini
Andrographis paniculata Nees terhadap dihasilkan bahwa penelitian ini dinyatakan

55
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 52-56

normal. Berdasarkan rangkuman hasil uji statistik 5. Zahlten J, Riep B, Nichols FC, Walter C,
dengan analisis ANOVA 1 jalan antar konsentrasi Schmeck B, Bernimoulin JP, dll.
ekstrak A. paniculata Nees yang digunakan yaitu Porphyromonas gingivalis Dihydroceramides
100%, 80%, 60%, 40%, dan 20% dan yang Induce Apoptosis in Endothelial Cells. J Dent
berperan sebagai kelompok perlakuan Res 2007; 86(7): 635-40.
menunjukkan perbedaan yang bermakna. 6. Ready D, Aiuto FD, Spratt DA, Suvan J,
Perbedaan yang bermakna ini dapat dilihat dari Tonetti MS, Wilson M. Disease Severity As-
nilai p yang didapat dari hasil uji statistik yang sociated with Presence in Subgingival Plaque
menunjukan perbedaan yang bermakna memiliki of Porphyromonas gingivalis, Aggregatibacter
p < 0,05. Pada hasil uji statistik menggunakan uji actinomycetemcomitans, and Tannerela for-
Tukey, hasil memperlihatkan adanya perbedaan sythia, Singly or in Combination, as Detected
yang bermakna pada konsentrasi 100% terhadap by Nested Multipplex PCR. Journal of Clini-
konsentrasi 80%, 60%, 40%, 20%, konsentrasi cal Microbiology. 2008; 46:3380-3383
80% terhadap konsentrasi 20%. Hal ini 7. Boyanova L, Setchanova L, Gergova G, Kos-
menunjukkan bahwa ekstrak A. paniculata Nees tyanev T, Yordanov D, Popova C, dkk. Mi-
dengan konsentrasi 100%, 80%, 60%, 40%, dan crobiological Diagnosis Of The Severe
20% memiliki efek yang cukup berbeda dalam Chronic Periodontitis. Journal of IMAB 2009;
menghambat pertumbuhan Porphyromonas 2: 89-94
gingivalis namun masih mempunyai efek 8. Chao and Lin Chinese Medicine. Isolation and
hambatan hingga konsentrasi terkecil (Gambar 3). identification of bioactive compounds in An-
drographis paniculata (Chuanxinlian). 2010.
KESIMPULAN Available:
Berdasarkan dari hasil penelitian ini, dapat http://www.cmjournal.org/content/5/1/17
disimpulkan bahwa ekstrak daun sambiloto 9. Sugianti, Budi. Pemanfaatan Tumbuhan Obat
(Andrographis paniculata Nees) mempunyai daya Tradisional Dalam Pengendalian Penyakit
hambat terhadap pertumbuhan Porphyromonas Ikan. Institut Pertanian Bogor; 2005. Availa-
gingivalis. ble:
http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/10245/bu
DAFTAR PUSTAKA di_sugianti.pdf
1. Newman GM, Takei HH, Carranza FA. The 10.Samy RP dan Gopalakrishnakone P.
Normal Periodontium. Dalam Carranza’s Therapeutic Potential of Plants as
Clinical Periodontology. Newman (editor). Antimicrobial for Drug Discovery. Juni 2008.
Ed. ke-9. Philadelphia : Saunders; 2002 : 15 National University of Singapore. Available:
2. Eley BM, Manson JD. Periodontics. Ed. ke-5. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PM
London: Wright; 2004: 1, 26, 37, 39-44, C2887332/pdf/nen036.pdf?tool=pmcentrez
55-68, 78-9, 123. 11. Greenwood. Antibiotics. Susceptibility (Sen-
3. Situmorang N. Profil Penyakit Periodontal. sitivity) Test Antimicrobial and Chemother-
Dentika Dental Journal 2004; 9: 71-7 apy. Mc. Graw Hill Company. USA.1995
4. Andrian E, Grenier D, Rouabhia M. 12. Navarre WE dan Scheewind O. Surface Pro-
Porphyromonas gingivalis-Epithelial Cell teins of Gram-Positive Bacteria and Mecha-
Interactions in Periodontitis. J Dent Res 2006; nisms of Their Targeting to the Cell Wall En-
85: 392-403. velope. Microbiology and Molecular Biolo-
gy Review. 1999, 63: 174–229.

56
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 57 - 63

Pemanjangan Mahkota Klinis Secara Bedah


(Surgical Crown Lengthening)
Trijani Suwandi
Bagian Periodonti FKG Universitas Trisakti

ABSTRACT
The appearance of gingival tissue around the anterior teeth important play an important role in shaping
aesthetic and nice smile. Asymmetric tooth and abnormality contour will have the effect of disharmony in
appearance of the teeth. Procedure that can give solutions to aesthetic, periodontal and restorative
problem is crown lengthening. Crown lengthening is a surgical procedure aimed at removal of perio-
dontal tissue to increase the clinical crown height. The procedure may be accomplished with external
bevel gingivectomy, internal bevel gingivectomy with or without osseous reduction, apically position
mucoperiosteal flap with or without the osseous reduction and combination technique.

Keywords: crown lengthening, surgery, gingivectomy

PENDAHULUAN
Salah satu alasan pasien datang ke dokter gigi terkandung di dalamnya, senyum mempunyai
adalah pasien menginginkan gigi geligi khu- peran sosial yang sangat penting dan ditinjau
susnya gigi anterior tampak lebih menarik dan secara psikologi, senyuman memberikan efek
senyum yang lebih estetis, sehingga alasan utama yang baik dan positif bagi yang memberikan
adalah perbaikan senyum. Kondisi gigi anterior maupun yang menerimanya. Kerusakan atau ke-
ini disebabkan antara lain karena kerusakan lainan pada jaringan keras dan lunak dalam
jaringan keras dan lunak pada rongga mulut sep- rongga mulut seperti karies, diastema, gigi yang
erti karies, diastema, gigi hilang, hipoplasi enam- hilang, pewarnaan gigi, hipoplasia email, gigi
el, gigi yang berubah warna dan sebagainya, se- yang berubah warna dan sebagainya dapat mebu-
hingga orang tersebut sengaja atau tidak sengaja at seseorang secara sadar ataupun tidak sadar un-
menyembunyikan senyumnya.1,2 tuk menyembunyikan senyumannya. Secara
Penampilan jaringan gingiva di sekeliling umum, salah satu alasan pasien datang ke dokter
gigi memegang peranan penting dalam hal estetis. gigi adalah untuk memperbaiki senyum mereka.1.2
Asimetris gigi dan kontur yang abnormal akan Adapun komponen-komponen senyum ideal
memberikan efek disharmoni dalam penampilan yang dapat dijadikan orientasi estetik :
gigi. Salah satu prosedur yang dapat memberikan Lip line, smile line atau smile arc, lateral nega-
solusi untk masalah estetik, periodontal dan tive space, frontal occlusal plane, komponen
restoratif ini adalah crown lengthening.1 dental dan komponen gingiva. Lip line atau garis
Crown lengthening merupakan prosedur be- bibir adalah banyaknya penampilan vertikal gigi
dah dengan mengambil jaringan gingiva dengan saat tersenyum, atau ketinggian bibir atas ter-
atau tanpa pengurangan tulang untuk lebih hadap gigi incisif sentral rahang atas. Upper lip
mengekspos struktur gigi sehingga diperoleh ra- line membantu dokter gigi untuk mengevaluasi
sio mahkota gigi dan gingiva yang lebih baik.1 panjang insisif rahang atas yang terlihat dan po-
sisi margin gingiva saaat tersenyum. Lower up
SENYUM DAN KOMPONENNYA line membantu dokter gigi mengevaluasi posisi
Estetika merupakan sebuah konsep individu- incisal edge gigi insisif rahang atas. Sebagai ac-
al dan subyektif. Masing-masing individu mem- uan, lip line optimal saat tersenyum apabila bibir
iliki cara tertentu untuk menilai penampilan dan atas menyentuh margin gingiva dan memper-
kecantikan sendiri dan orang lain. Senyum meru- lihatkan keseluruhan servikoinsisal gigi insisif
pakan ekspresi wajah yang paling penting dan sentral dengan sedikit gingiva interproksimal.2
esensial dalam menunjukkan pertemanan, Smile line atau smile arc adalah relasi antara
persetujuan dan penghargaan.3 Apapun emosi garis imajiner yang dibentuk oleh ujung insisal
yang gigi anterior rahang atas dengan kontur bagian

57
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 57-63

dalam bibir saat tersenyum. Smile line optimal Adapun indikasi crown lengthening adalah
apabila kurva yang dibentuk insisal gigi anterior untuk keperluan restoratif dan estetik, menin-
rahang atas menyentuh atau paralel dengan bor- gatkan tinggi mahkota klinis yang disebabkan
der bibir bawah saat tersenyum.2 oleh karies atau fraktur, untuk mencapai akses
Frontal oclusal plane atau dataran karies subgingiva, untuk mendapatkan efek
oklusal frontal diwakili oleh garis yang dibentuk ferrule pada restorasi, altered passive eruption,
ujung gigi kaninus kanan ke ujung gigi kaninus gummy smile, membuat kesimetrisan gingiva pa-
kiri. Relasi ini tidak dapat dilihat pada foto in- da garis senyum, mengoreksi posisi marginal
traoral atau model studi. Salah satu cara restorasi ketika terdapat invasi pada biologic
pemeriksaan yang optimal adalah menginstruksi- width, hiperplasia gingiva. 4,5,6,7,8 Kontraindikasi
kan pasien menggigit dental mirror di regio pre- crown lengthening adalah rasio mahkota-akar
molar saat pemeriksaan klinis. Frontal occlusal tidak adekuat, kariesatau fraktur yang tidak dapat
plane optimal bila sejajar dengan interpupillary direstorasi, estetik kompromise, furkasi tinggi,
line. 3 tindakan bedah yang menyebabkan hasil tidak
Lateral negative space adalah daerah estetis, ruang restoratif yang tidak memadai,
gelap pada bagian bukal yang terbentuk antara pasien tidak dapat melakukan maintenance
gigi posterior dengan sudut mulut saat tersenyum. dengan baik. 9
Tidak adanya lateral negative space karena terla- Klasifikasi aesthetic crown lengthening
lu besarnya ukuran kaninus, lengkung gigi yang meliputi tipe I sampai IV. Tipe I yaitu jaringan
terlalu lebar, atau restorasi yang over kontur akan lunak cukup untuk membuka jaringan gingiva
membuat senyum menjadi tidak menarik. Atau tanpa eksposur kres tulang alveolar atau tanpa
pada kasus hilangnya gigi premolar atau adanya melewati biologic width. Type II yaitu jaringan
gigi posterior yang malposisi ke arah palatal juga lunak cukup memungkinkan eksisi gingiva tanpa
dapat menyebabkan senyum menjadi tidak es- ekdpodur kres tulang aveolar tapi melewati bio-
tetik.2 logic width. Typ III yaitu eksisi gingiva untuk
Komponen dental pada senyum meliputi meningkatkan panjang mahkota klinis yang di-
ukuran, bentuk, proporsi, warna, kesejajaran, an- inginkan, akan tetapi mengekspos kres tulang
gulasi atau inklinasi, posisi midline dan kesime- alveolar. Type IV yaitu eksisi gingiva yang akan
trisan lengkung. Komponen gingiva pada senyum menghasilkan ketidakadekuatan attached gingi-
meliputi warna, kontur, tekstur, ketinggian gingi- va.3
va. Keadaan inflamasi, papil yang tumpul, black
triangle dan margin gingiva yang tidak seimbang EVALUASI JARINGAN SEBELUM CROWN
akan mengurangi kualitas estetika senyuman.1,2 LENGTHENING
Pertama dilakukan pengukuran kedalaman
CROWN LENGTHENING sulkus gingiva untuk menentukan apakah terma-
Crown lengthening merupakan prosedur suk poket pseudo atau poket periodontal.
yang didesain untuk menambah struktur gigi su- Prosedur pembedahan akan berbeda sesuai jenis
pragingiva untuk tujuan restoratif dan estetik.4 poketnya. Sulkus gingiva normal 0,79mm. Kedua
Tujuan crown lengthening adalah memben- penentuan Biologic width, dimana terdapat pada
tuk gingiva margin yang simetris dan ideal, servikal gigi dan didefinisikan sebagai dimensi
membuat dimensi mahkota klinis yang tepat, fisiologik dari perlekaan junctional epithelium
memastikan harmonisasi senyum dari premolar dan jaringan ikat. Konsep biologic width
pertama dan kedua kanan sampai premolar per- digunakan sebagai petunjuk klinis selama evalua-
tama dan kedua kiri, seta mempertahankan hasil si hubungan timbal balik antara periodon-
dengan biologic width yang optimal, yang berja- tal-restorasi. Proporsi vertikal konstan jaringan
rak 3 mm dari gingival margin yang baru untuk lunak supra alveolar yang sehat dengan dimensi
pembentukan kembali kres tulang alveolar.5 rata rata aproksimal sekitar 2 mm, diukur dari
dasar sulkus ke kres tulang alveolar. 1,6
58
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 57-63

Biologic width meliputi junctional epitheli- Kelima adalah Rasio mahkota dan akar yang
um dan perlekatan jaringan ikat. Berdasarkan diperbolehkan adalah sekitar 1:1. Pengurangan
penelitian rata-rata dimensi dari junctional epi- tulang yang berlebihan dapat menyebabkan
thelium adalah 0.97 mm dan jaringan ikat 1,07 penurunan rasio mahkota akar.10,11,12
mm. Gabungan dari keduanya adalah 2,04 yang PERAWATAN CROWN LENGTHENING
disebut dengan biologic width (Gambar 1). Oleh Prosedur crown lengthening dapat dilakukan
karena itu, sebaiknya terdapat paling sedikit 3 dengan gingivektomi, internal bevel gingivektomi
mm antara margin gingiva dan kres tulang alveo- dengan atau tanpa ostektomi (reduksi tulang)
lar sehingga tercipta biologic width yang adekuat. yang sering disebut bedah flap mukoperiosteal
10,11,12
dengan atau tanpa reduksi tulang), apically posi-
tion flap dengan atau tanpa reduksi tulang, tehnik
kombinasi (bedah dan non bedah) ortodontik.13,18
A. Gingivektomi dengan eksternal bevel
Tehnik ini secara umum dilakukan
pada kedalaman sulkus yang baik serta
jaringan berkeratin, sehingga tidak
merusak biologic width atau menyebab-
kan terbukanya tulang. Tehnik ini dapat
dilakukan secara konvensional (scalpel
Gambar 1. Biologic width 12 atau pisau kirkland), laser atau el-
ektrocauter.
Biologic width merupakan pertahanan alami Insisi dimulai dari apikal dari
dari periodonsium, yang berperan menjaga jarak bleeding point yang kita tentukan, insisi
antara restorasi dan puncak tulang alveolar. sudut 45 derajad ke arah koronal, dapat
Prosedur yang melanggar biologic width dapat secara kontinu atau diskontinu mengikuti
membuat masalah di interproksimal. Pelanggaran pola festooned gingiva. Jaringan dieksisi,
terhadap biologic width dapat menyebabkan kuret jaringan granulasi, kalkulus dan
inflamasi atau iritasi pada marginal gingiva yang sementum nekrotik, bersihkan dan halus-
membuat pasien tidak nyaman, mudah berdarah, kan permukaannya. Penutupan luka
dan estetik yang tidak baik, serta kerusakan dengan pek periodontal. 13
jaringan periodontal. Hal tersebut berkaitan denga B. Gingivektomi dengan internal bevel
biotipe jaringan periodontal tiap individu. Ada dengan atau tanpa reduksi tulang (undis-
dua tipe biotipe periodontal yaitu : jaringan peri- placed flap).
odontal yang tipis dan tebal. Pada jaringan perio- Pada tehnik flap tanpa reduksi tulang
dontal yang tipis, ketebalan attached gingiva ku- dilakukan pada keadaan yang tidak
rang dari 1 mm, lebar 3,5 mm, marginal tulang adanya problem mukogingiva. Klinisi
tipis.16. Pada jaringan periodontal tebal, sebaiknya menentukan jumlah attached
ketebalan attached gingiva 1,3 mm, lebar 5-6 mm gingiva yang adekuat setelah insisi
dan marginal tulang tebal. 10,11,12. dibuat. Insisi insial atau inverse bevel
Keempat adalah penentuan Bone sounding. dibuat tergantung berapa banyak dibu-
Level krest alveolar harus ditentukan sebelum tuhkan pembukaan mahkota. Insisi kedua
pertimbangan apapun tentang crown lengthening. atau crevicular dimulai dari dasar sulkus
Tingkat klinis pemanjangan mahkota berkaitan ke tulang untuk membebaskan jaringan
dengan posisi tulang alveolar yang akan menen- ikat dari tulang. Flap dibuka, kemudian
tukan kelayakan, aspek bedah dan urutan insisi ketiga atau interdental untuk mem-
perawatan.10,11,12 buang tag jaringan. Setelah itu lakukan

59
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 57-63

skeling penghalusan akar, kemudian flap kemudian lakukan skeling dan penghalu-
dikembalikan. san akar. Bila diperlukan reduksi tulang
Pada tehnik flap dengan reduksi tu- maka dilakukan ostektomi. Flap ditutup
lang merupakan prosedur yang umum dan dijahit dengan sling suture. 15,16
dilakukan untuk crown lengthening. D. Tehnik kombinasi (bedah/non bedah serta
Lakukan mukoperiosteal flap seperti ortodontik)
prosedur di atas. Tulang alveolar Pada tehnik ini, perawatan ortodon-
direduksi dengan ostectomy dan osteo- tik dapat berjalan bersama dengan tehnik
plasty menggunakan diamond bur atau bedah. Peningkatan mahkota klinis
carbide bur, kemudian dengan chisel dengan ekstrusi ortodontik berguna bila
ochsenbein digunakan untuk menipiskan jumlah reduksi tulang secara bedah
tulang, lalu lakukan skeling penghalusan disekitar gigi dan gigi tetangganya. Ke-
akar. Final bone level minimal 3-5 mm untungan besar pada prosedur ini mengu-
dari tinggi gigi yang dicapai secara cir- rangi hazard pada gigi tetangganya
cumferential. Flep dikembalikan dan dil- dengan sedikit perubahan rasio mahkota
akukan penjahitan dan ditutup dengan akar terjadi. Ekstrusi ortodontik pada
pek periodntal. Provisional restorasi dapat crown lengthening sangat penting, khu-
dibentuk 3-4 minggu setelah bedah tetapi susnya pada daerah estetik, karena akan
margin harus diempatkan supragingiva. menghasilan rasio mahkota akar lebih
Prosedur restoratif baru dilakukan 3-6 baik dan meningkatkan estetik
bulan paska bedah. 13 dibandingkan prosedur bedah saja (Gam-
C.
Apically positioned Flap dengan atau bar 2 ). Prosedur ini dikontraindikasikan
tanpa ostectomy 13,14 pada keadaan rasio panjang akar pendek
Prosedur apically positioned flap dan bentuk akar yang buruk, akan
dengan rekonturing digunakan untuk menghasilkan rasio mahkota akar yang
mengekspos struktur gigi. Secara umum, tidak adekuat setelah ekstrusi. 17
minimal 4 mm struktur gigi sehat harus Ekstrusi ini dapat dilakukan dengan
diekspos pada saat bedah. Selama 2 cara yaitu low orthodontic force dan
penyembuhan jarngan suprakrestal akan rapid orthodontic extrusion. Pada low
berproliferasi ke arah koronal untuk me- orthodontic force, gigi digerakkan perla-
nutup 2-3 mm dari akar, yang han. Gigi diekstrusi sampai bone level,
menghasilkan struktur gigi dengan 1-2 setelah tercapai kondisi baik lalu dil-
mm supragingiva. akukan bedah untuk mengoreksi level tu-
Adapun indikasinya adalah pada gigi lang dan jaringan gingiva. Pada rapid or-
dengan gingiva tidak adekuat, penem- thodontic extrusion, gigi diekstrusi secara
patan insisi inisial ditempatkan in- cepat. Selama ekstrusi dilakukan supra-
trasulkular, flap mukoperiosteal dibuka crestal fibrotomi setiap minggu dalam
dan dilakukan apically untuk mendapat- usaha untuk mencegah kerusakan tulang
kan panjang mahkota, crown lengthening dan jaringan yang mengelilingi gigi.12
dilakukan pada beberapa gigi pada satu
kuadran. Keadaan ini dikontraindikasikan
pada gigi tunggal di daerah estetik. 12
Pada tehnik ini dilakukan insisi
inisial 1 mm dari gingival margin secara
full thicknes, kemudian dilakukan pem-
bukaan flap dengan raspatorium, diikuti
insis crevikular dan interdental. pada Gambar 2. Ekstrusi vs bedah crown lengthening. (A).
tehnik ini dilakukan 2 insisi vertikal, Normal rasio mahkota dan akar rata rata insisif sentral

60
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 57-63

11:14. (B). Gigi fraktur 3 mm diatas cementoenamael ekuat untuk prosedur restoratif. Variasi tehnik
junctio. (C). Bedah crown lengthening saja dan metode crown lengthening dilakukan
menghasilkan rasio mahkota akar yang tidak stabil dan mencegah terkenanya biologic width yang dapat
tidak estetik 14:11. (D). Ekstrusi disertai crown menghasilkan efek yang merugikan jaringan per-
lengthening menghasilkan rasio mahkota akar yang
iodonsium seperti peradangan gingiva, ke-
stabil 11:11 yang lebih estetik, panjang mahkota nor-
mal. 18 hilangan perlekatan dan resorpsi tulang alveolar.12
Tujuan crown lengthening yaitu untuk me-
nyediakan panjang mahkota klinis yang baik un-
PROSEDUR CROWN LENGTHENING. 6 tuk menghasilkan restorasi gigi yang optimal.
1. Membuat model kerja pasien dari dental Indikasi crown lengthening adalah karies subgin-
stone giva, fraktur subgingiva, gigi pendek karena per-
2. Pada modelMembuat model kerja pasien luasan karies atau fraktur, mahkota klinis pen-
dari dental stone dek.5
3. Pada model kerja, diberikan tanda atau Analisis radiografik dalam melakukan
batas yang akan dilakukan tindakan, crown lengthening adalah level alveolar crest,
tanda dapat menggunakan teori gigi in- batas apikal fraktur atau karies, keterlibatan pul-
sisif sentral, yang merupakan komponen pa, panjang akar, bentuk akar, furkasi dan rasio
gigi anterior, dengan rasio tinggi dan mahkota-akar (sebelum dan setelah perawa-
lebar ideal 10:8. Pada marginal gingiva tan).17
gigi incisif lateral harus 1 mm dari incisif Perawatan berdasarkan klasifikasi crown
sentral, dan untuk marginal gigi caninus lengthening berdasarkan tipe I sampai IV.
sama dengan tinggi marginal gingiva gigi Tipe I estetik crown lengthening digambarkan
incisif sentral. Oleh karena itu konsep ini dengan gingiva yang cukup dari koronal ke kres
diterapkan dengan memastikan tinggi dan alveolar, yang memungkinkan bedah pada mar-
lebar gigi incisif sentral. Pada kasus yang ginal gingiva tanpa melibatkan tulang, yaitu
memiliki pseudo atau true pocket, dengan prosedur gingivektomi atau gingivoplasti
penandaan yang dilakukan berdasarkan yang biasa menghasilkan posisi margin gingiva
kedalaman poket, dan kasus dengan yang diinginkan dan secara mencegah terlang-
kedalam sulkus gingiva yang normal garnya biologic width. Tipe I ini merupakan tipe
dengan pemaparan mahkota klinis yang yang paling sering ditemukan dan banyak dil-
tidak adekuat maka penandaan berdasar- akukan oleh dokter gigi. Pembedahan ini juga
kan dasar sulkus gingiva dapat dilakukan dengan laser yang memberikan
4. Tahap selanjutnya menggunakan resin keuntungan hemostasis selama pembedahan.
akrilik untuk mencetak tanda pada model Pembedahan dengan pisau menghasilkan
sebagai media untuk memindahkan tanda perdarahan.5,18
tersebut. Tipe II estetik crown lengthening digam-
5. Resin akrilik kemudian diinsersi pada barkan dengan dimensi jaringan lunak yang
pasien sebagai tanda atau batasan dil- memungkinkan reposisi margin gingiva tanpa
akukannya crown lengthening paparan tulang, tapi dapat melanggar biologic
6. Dilakukan gingivektomi atau apically width. Pada biotipe jaringan yang tipis dapat me-
mucoperiosteal flap dengan atau tanpa nyebabkan resorpsi tulang dan resesi, sedangkan
melibatkan tulang berdasarkan rencana pada biotipe tebal dapat menyebabkan inflamasi
perawatan gingiva kronis, yang akan berdampak negatif pa-
da keberhasilan akhir dari restorasi di dalam zona
DISKUSI estetika. Oleh karena itu koreksi tulang diper-
Crown lengthening merupakan prosedur be- lukan setelah eksisi gingiva, dengan tujuan
dah untuk memanjangkan struktur gigi yang ad- rekonturing kres tulang ke tingkat dimana ruang

61
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 57-63

biologic width dibangun kembali. Jika reaksi DAFTAR PUSTAKA


jaringan gingiva setelah melanggar biologic width 1. Dewi MH, Lessang R. Crown Lengthening
tidak terlihat, maka bedah rekonturing dapat dil- as an alternative supporting therapy in or-
akukan secara terpisah. Perawatan awal dapat thodontics and restorative dentistry.
dilakukan gingivektomi, terus penempatan KPPIKG 2009;352-362.
restorasi sementara panjang mahkota klinis yang 2. Eron A. Kurnikasari E. Smile reconstruction
diinginkan pada saat yang sama, meskipun sadar with
melanggar biologic width. Setelah penyembuhan 3. Musskopft ML. Mariano J. Rossing CK.
jaringan lunak, bila diperlukan dapat dilakukan Perception of Smile Esthetics varies between
flap mucoperiosteal untuk mendapatkan akses ke patients and dental professionals when Re-
kres tulang. Karena margin gingiva telah diten- cession defects are present. Brazillian Dental
tukan insisi sulkular dapat digunakan dalam hub- Journal. 2013;24(4):385.
ungannya dengan pendekatan pemeliharaan 4. Camargo PM, Melnick PR, Camargo LM.
papila untuk mempertahankan volume jaringan Clinical Crown Lengthening in Esthetic
ikat dan mencegah resesi paska operasi.5,18 Zone . CDA Journal 2007; 3 (7):487-498.
Tipe III estetik crown lengthening. Pada tipe 5. Saadoun AP. Esthetic Soft Tissue Manage-
III, bone sounding dapat menunjukkan reposisi ment of Teeth and Implant. Wiley-Blacwell.
margin gingiva yang menyebabkan eksposur 2013:69-70.
kres tulang. Pada keadaan ini tidak dapat 6. Lee EA. Aesthetic Crown Lengthening:
diselesaikan dengan gingivektomi, tetapi harus Classification, Biologic Rationale, and
dilakukan bedah flap dengan konturing tulang.5,18 Treatment Planning Consideration. New
Tipe IV estetik crown lengthening. Tipe IV York; 2004; !6 (10): 769-778
dikhususkan dimana tingkat eksisi gingiva 7. Murali KV. Shahabe SA. Patil SG. Ahmed
dikompromikan dengan jumlah attached gingiva BMN. Bhandi S. Esthetic Crown Lengthen-
yang tidak adekuat. Posisi margin yang ideal ing:Theoritical Concepts and Clinical Pro-
hanya dapat dicapai melalu apically positioned cedures. IJCD 2012; 3(3):33-7.
mucoperiosteal flap, dengan atau tanpa rekontur- 8. Danesh M. Surgical crown lengthening
ing tulang. 5,18 building a solid foundation for restorative
excellence. Australian Dental Practice.
KESIMPULAN 2012:58-60.
Crown lengthening merupakan prosedur be- 9. Cohen ES. Atlas of Cosmetic and Recon-
dah dengan melakukan pengambilan jaringan structive Periodontal Surgery. Inc. 2007:9,
periodontal untuk peningkatan panjang mahkota 249-250
klinis. Hal ini dilakukan pada kondisi mahkota 10. Hempton TJ. Dominici JT. Contemporary
klinis yang pendek, karies subgingiva, fraktur Crown Lengthening Therapy. A review.
gigi subgingiva pada dentogingival junction, se- American Dental Association
hingga menghasilkan kondisi ideal yang dapat 2010;141:648-650.
memberikan hasil yang baik dalam hal fungsi dan 11. Sonick M. Esthetic Crown Lengthening for
estetik. Maxillary Anterior Teeth. Compendium.
Tehnik bedah crown lengthening adalah 1997; 18(8) : 807-812.
gingivektomi eksternal bevel, gingivektomi in- 12. Planiunas I. Puriene A. Mackeviciene G.
ternal bevel dengan atau tanpa reduksi tulang, Surgical Lengthening of the clinical tooth
apically positioned flap dengan atau tanpa re- crown. Baltic Dental and Maxillofacial
duksi tulang dan tehnik kombinasi (bedah dan Journal 2006;8:88-95.
ortodontik). Pemilihan tehnik tersebut harus 13. Carranza FA, Takei HH. The flap technique
memperhatikan parameter seluruh jaringan keras for Pocket Therapy. Clinical Periodontology
dan lunak dalam mulut. . Tenth Edition

62
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2016, Vol.2, No.1, 57-63

14. Wennstrom JL, Heijl L, Linde. J. Periodon- 18. Herrero F, Scott JB, Maropis PS, Yukna RA.
tol Surgery : Access Therapy. Clinical Peri- Clinical comparison of desired versus actual
odontology and Implant dentistry. 4th ed amount of surgical crown lengtheningJ. Per-
15. Herrero F, Scott JB, Maropis PS, Yukna RA. iodontol 1995:66:568-571.
Clinical comparison of desired versus actual 19. Pontoriero R, Carnevale G. Surgical crown
amount of surgical crown lengtheningJ. Per- lengthening. A 12 month clinical wound
iodontol 1995:66:568-571. healing stufy. J Periodontol 2001; 72:
16. Pontoriero R, Carnevale G. Surgical crown 841-848.
lengthening. A 12 month clinical wound 20. Wennstrom JL, PiniPrato GP. Mucogingival
healing stufy. J Periodontol 2001; 72: therapy-periodontal plastic surgery. Clinical
841-848. Periodontology and Implant Dentostry. 4th
17. Wennstrom JL, PiniPrato GP. Mucogingival ed.
therapy-periodontal plastic surgery. Clinical 21. Gupta G, Gupta R, Gupta N, Gupta U.
Periodontology and Implant Dentostry. 4th Crown Lengthening Procedures- A Review
ed. article. IOSR-JDMS 2015; 14(4):27-37.

63
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2015, Vol.2, No.1

perlu dengan tabel, ilustrasi (gambar, grafik, dia-


Tata Cara Penulisan gram) atau foto. Hasil yang telah dijelaskan
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu dengan tabel atau ilustrasi tidak perlu diuraikan
panjang-lebar dalam teks. Garis-garis vertikal
Aturan umum: dibuat seminimal mungkin, agar memudahkan
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu hanya penglihatan. Perhatikan:
menerima naskah asli yang belum pernah dipub- 1. Persamaan Matematis dikemukakan dengan
likasikan di dalam maupun di luar negeri. jelas. Jika simbol matematis tidak ada pada
Naskah dapat di tulis dalam bahasa Indonesia atau word proccesor dapat ditulis menggunakan
bahasa Inggris dengan gaya bahasa efektif dan pensil/pena dengan hati-hati. Kalau perlu beri
akademis. keterangan simbol dengan tulisan tangan (pen-
sil tipis).
Sistematika penulisan artikel: 2. Angka desimal ditandai dengan koma untuk
Judul, bahasa Indonesia dan titik untuk bahasa
Hendaknya menggambarkan isi pokok tulisan Inggris.
secara ringkas dan jelas, ditulis dalam bahasa 3. Tabel, ilustrasi atau foto diberi nomor dan di-
Indonesia atau bahasa Inggris. Judul terdiri dari acu berurutan dengan teks, judul ditulis dengan
maksimal 15 kata. Nama Penulis, ditulis nama singkat dan jelas. Keterangan diletakkan pada
penulis tanpa gelar, disertai instansi tempat penu- catatan kaki, tidak boleh pada judul. Semua
lis bekerja. singkatan atau kependekan harap dijelaskan
pada catatan kaki.
Abstract Pembahasan, menerangkan hasil penelitian,
Ditulis dalam bahasa Inggris, tidak lebih dari bagaimana hasil penelitian yang dilaporkan dapat
250 kata, font Times New Roman dengan ukuran memecahkan masalah, perbedaan dan persamaan
font 12 dan spasi 1, merupakan intisari seluruh dengan penelitian terdahulu serta kemungkinan
tulisan dan ditulis terstruktur sebagai berikut: pengembangannya. Kesimpulan dan saran dile-
Laporan Penelitian: Pendahuluan, tujuan, takkan pada bagian akhir pembahasan yang
metode, hasil dan kesimpulan merupakan paragraf penutup.
Laporan Kasus: Pendahuluan, kasus, pe- Ucapan terima kasih, dapat ditujukan pada semua
natalaksanaan kasus, pembahasan dan kesimpulan pihak yang membantu bila memang ada dan harus
Tinjauan Pustaka: Pendahuluan, tujuan, tinjauan diterangkan sejelas mungkin. Diletakkan pada
pustaka, Pembahasan dan kesimpulan akhir naskah, sebelum daftar pustaka.
Keywords, diletakkan di bawah abstrak 3-5 kata Daftar Pustaka, disusun menurut sistem Vancou-
kunci. Correspondence, Alamat korespondensi ver. Setiap nama pengarang diberi nomor urut
yang berisi nama lengkap contact person, afili- sesuai dengan urutan pemunculannya dalam
asi/nama institusi, alamat pos lengkap dengan naskah, dan mencantumkan (a) untuk buku: na-
kode pos, dan alamat email. ma-nama penulis, editor (bila ada), judul lengkap
buku, kota penerbit, tahun penerbitan, volume,
Petunjuk penulisan LAPORAN PENELITIAN edisi dan nomor halaman. (b) untuk terbitan
Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, berkala: nama-nama penulis, judul tulisan, judul
rumusan masalah serta tujuan penelitian dan terbitan (disingkat sesuai dengan Index Medicus),
manfaat untuk waktu yang akan datang. Bahan tahun penerbitan, volume dan nomor halaman. (c)
dan Metode, berisi penjelasan tentang ba- acuan dari internet harus ditulis nama penyusun,
han-bahan dan alat-alat yang digunakan, waktu, nama website/ blog, alamat website dan tanggal
tempat, teknik, dan rancangan percobaan. Metode akses internet. Pustaka yang diacu diusahakan
harus dijelaskan selengkap mungkin agar peneliti merupakan terbitan/produksi 10 (sepuluh) tahun
lain dapat melakukan uji coba ulang. Acuan (ref- terakhir, kecuali memang merupakan hal yang
erensi) diberikan pada metode yang kurang langka.
dikenal. Hasil, dikemukakan dengan jelas bila
Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2015, Vol.2, No.1

Petunjuk penulisan LAPORAN KASUS Informasi penting lain


Pendahuluan, meliputi latar belakang kasus, Naskah yang dikirim diketik dalam CD dengan
permasalahan, kekhususan atau kelangkaan kasus, program MS Word, disertai cetakan pada kertas
tujuan laporan kasus dan manfaat untuk waktu HVS ukuran A4 (210 x 297 mm) maksimal 12
yang akan datang. Kasus, identifikasi pasien, an- halaman. Ukuran font 12 dengan jenis Times New
amnesa, keluhan utama, pemeriksaan ekstra oral, Roman, dengan spasi 1,5. Print out naskah dis-
intra oral, hasil pemeriksaan penunjang seperti erahkan rangkap 2 (Dua).
foto profil wajah, hasil rontgen foto dental atau
panoramik, hasil laboratorium dan diagnosa..
Tatalaksana Kasus, rencana terapi, penatalaksa-
naan kasus disertai foto, monitoring, evaluasi
Alamat pengiriman naskah:
klinis dan atau laboratoris, dan hasil perawatan
Drg. Enrita Dian R SpKGA
berikut penjelasannya. Pembahasan, men-
erangkan telaah teori dari hasil perawatan kasus FKG USAKTI Bagian IKGA Lt. 5
yang dilaporkan, bagaimana hasil perawatan kasus Jl. Kyai Tapa Grogol Kampus B FKG USAKTI
tersebut dapat memecahkan masalah, perbedaan Email: enritadian@gmail.com
dan persamaan dengan kasus-kasus terdahulu ser-
ta kemungkinan aplikasinya. Kesimpulan dan sa-
ran diletakkan pada bagian akhir pembahasan
yang merupakan paragraf penutup. Daftar
pustaka. Sama dengan di atas.

Perhatian:
Petunjuk penulisan TINJAUAN PUSTAKA Naskah yang telah diterima beserta semua ilustrasi
Pendahuluan, meliputi latar belakang topik, per- yang menyertainya menjadi milik sah penerbit,
masalahan, kekhususan topik, tujuan tinjauan serta tidak dibenarkan untuk diterbitkan dimana-
pustaka dan manfaat untuk waktu yang akan da- pun, baik secara keseluruhan atau sebagian, dalam
tang. Tinjauan pustaka, telaah teori dari berbagai bentuk cetakan maupun elektronika tanpa ijin ter-
sumber acuan mutakhir. Pembahasan. men- tulis dari penerbit. Semua data, pendapat, atau
erangkan pemikiran penulis dari hasil telaah pernyataan yang terdapat pada naskah adalah
pustaka, bagaimana hasil tsb dapat memecahkan merupakan tanggung jawab penulis. Penerbit dan
masalah, perkembangan dan aplikasinya. Sim- dewan redaksi tidak bertanggung jawab atau tidak
pulan dan saran diletakkan pada bagian akhir bersedia menerima kesulitan maupun masalah
pembahasan yang merupakan paragraf penutup. apapun sehubungan dengan konsekuensi dari
Daftar pustaka. Acuan yang digunakan untuk ketidak akuratan, kesalahan data, pendapat, mau-
artikel tinjauan pustaka usahakan minimal 25 pun, pernyataan tersebut.
(tiga puluh lima) buah, yang disusun menurut sis-
tem Vancouver. Tata cara sama dengan di atas.

Anda mungkin juga menyukai