Anda di halaman 1dari 59

RESUME BIDANG ILMU KONSERVASI GIGI

RESTORASI KOMPOSIT KLAS IV

Dosen Pembimbing:
drg. Pratiwi Nur Widyaningsih, M. Biomed

Disusun Oleh:
Ghina Nurul ‘Adilah
G4B019012

Komponen
Pembelajaran Resume Diskusi
Daring

Nilai &
Tanggal

Tanda
Tangan DPJP

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER GIGI
PURWOKERTO
2021
A. TINJAUAN PUSTAKA
Karies merupakan penyakit pada jaringan keras gigi yang disebabkan oleh
pembentukan asam dari mikroorganisme sehingga menimbulkan demineralisasi
komponen inorganik dan kerusakan-kerusakan komponen organik yang akhirnya
terjadi kavitas atau lubang pada gigi. Faktor etiologi terjadinya karies yaitu
mikroorganisme plak, permukaan gigi, diet dan waktu (Mustika dkk., 2014).
▪ Bakteri yang berkolonisasi di dalam plak biofilm, streptococcus mutans yang
sering dianggap sebagai spesies bakteri penyebab utama yang berperan dalam
proses karies. Bakteri lainnya, seperti spesies Lactobacillus dan
Bifidobacterium kemungkinan berinteraksi dengan lesi di dalam biofilm dan
akan memicu progres karies (Banerjee dan Watson, 2015).
▪ Permukaan gigi yang rentan, lesi karies terjadi pada permukaan gigi yang
memiliki plak yang menumpuk, stagnan dalam waktu lama, yang mungkin
disebabkan karena hal-hal berikut ini (Banerjee dan Watson, 2015).
- Kedalaman lubang dan fisura pada permukaan oklusal / bukal posterior
gigi yang tidak dapat dibersihkan secara efektif oleh pasien dengan sikat
gigi.
- Daerah-daerah pada gigi geraham yang baru tumbuh sangat rentan
terhadap karies.
- Permukaan proksimal (mesial dan distal) serviks ke titik kontak gigi yang
berdekatan (di mana pasien mungkin tidak membersihkan benang secara
teratur, atau tidak sama sekali).
- Permukaan halus yang berdekatan dengan margin gingiva (sekali lagi area
yang mungkin sering terlewatkan oleh pasien dengan sikat giginya),
terutama pada gigi yang diikat, diputar atau berdiri.
- Tepi restorasi yang bergerigi /overhanging/ rusak sehingga seringkali tidak
terlihat oleh pasien, dan tidak dapat diakses oleh sikat gigi atau floss)
▪ Karbohidrat yang dapat difermentasi, bakteri plak mampu memetabolisme
karbohidrat makanan tertentu (termasuk sukrosa dan glukosa), menghasilkan
berbagai asam organik (asam laktat, asetat, dan propionat) di permukaan gigi,
menyebabkan pH plak turun dalam waktu 1-3 menit, dan memulai
demineralisasi jika pH turun hingga di bawah 5,5 (pH kritis email). PH dapat
memakan waktu hingga 60 menit untuk kembali ke level normal, normalisasi
ini dibantu oleh kapasitas buffering saliva (pH 7.0) (Banerjee dan Watson,
2015).
▪ Waktu, meskipun penurunan pH terjadi dengan cepat, diperlukan waktu yang
cukup bagi biofim plak untuk menghasilkan kehilangan mineral bersih yang
setara dengan kerusakan jaringan keras histologis pada permukaan gigi
(Banerjee dan Watson, 2015).

1. Klasifikasi Karies
a. GV Black
Klasifikasi karies gigi berdasarkan l GV Black adalah sebagai berikut
(Garg dan Garg, 2015).
1. Klas I : Kavitas yang terjadi pada pit dan fissure permukaan oklusal pada
gigi posterior, daerah bukal, lingual atau groove palatinal gigi posterior;
area lingual atau palatinal gigi anterior (foramen caecum).
2. Klas II : Kavitas pada dataran aproksimal gigi posterior.
3. Klas III : Kavitas pada dataran aproksimal gigi anterior (insisivus dan
kaninus) yang tidak melibatkan insisal edge dan memerlukan perbaikan
tepi insisal.
4. Klas IV : Kavitas pada dataran aproksimal gigi anterior yang sudah
melibatkan insisal edge.
5. Klas V : Kavitas yang didapatkan pada 1 /3 servikal dataran bukal atau
labial dan kadang-kadang pada dataran lingual gigi anterior atau posterior.
6. Klas VI : Kavitas pada insisal edge gigi anterior atau cups oklusal gigi
posterior
b. GJ Mount
GJ Mount membuat klasifikasi tentang karies gigi berdasarkan lokasi dan
besarnya kerusakan karies (Garg dan Garg, 2015).
▪ Lokasi (site)
Site 1 : Karies terletak pada bagian oklusal (pit fissure, permukaan halus,
groove)
Site 2 : Karies terletak pada bagian proksimal
Site 3: Karies terletak pada bagian servikal hingga mengenai akar
▪ Ukuran (size)
Size 0 : Lesi awal (white spot), belum ada karies;
Size 1 : Karies minimal, baru mengenai lapisan email, atau bagian pit;
Size 2 : Karies sedang, mengenai lapisan email dan dentin, tapi belum meluas
hingga ke cusp incisal edge, jaringan yang tersisa masih cukup kuat
untuk menahan beban kunyah, masih cukup kuat untuk menyokong
restorasi, dapat beroklusi dengan normal;
Size 3 : Karies meluas hingga mengenai cusp / incisal edge, sudah
menghilangkan 1 bagian cusp, jaringan gigi yang tersisa lemah untuk
menahan beban kunyah, kurang kuat untuk menyokong restorasi,
dan tidak dapat beroklusi dengan normal;
Size 4 : luas karies sangat besar, telah terjadi kehilangan lebih dari 1 cusp,
karies hampir mengenai pulpa atau sudah mengenai pulpa.
c. WHO
Klasifikasi ini didasarkan pada bentuk dan kedalaman lesi karies yang
dapat dinilai dengan skala empat poin (Garg dan Garg, 2015).
● D1 Lesi email yang terdeteksi secara klinis dengan permukaan utuh
● D2 Rongga email yang terdeteksi secara klinis
● D3 Rongga dentin yang terdeteksi secara klinis
● D4 Lesi yang meluas ke pulpa

Selain karies, fraktur gigi juga mempengaruhi struktur gigi. Fraktur gigi
terbagi menjadi dua yaitu fraktur longitudinal yang sering terjadi pada semua tipe
gigi dan fraktur horizontal pada gigi anterior. Penyebab kasus fraktur longitudinal
disebabkan oleh prosedur dental dan tekanan oklusal, seperti akibat dari kebiasaan
mengunyah es, permen keras, karies yang merusak kekuatan gigi dan preparasi
kavitas yang berlebihan13. Sedangkan etiologi dari fraktur horizontal terbagi
menjadi trauma gigi yang tidak disengaja, trauma gigi yang disengaja dan
iatrogenik TDI. Trauma gigi yang tidak disengaja meliputi jatuh, benturan, kegiatan
fisik seperti olahraga, kecelakaan lalu lintas, penggunaan gigi yang tidak tepat,
menggigit benda yang keras, adanya penyakit seperti epilepsy dan keterbatasan
fisik. Adapun trauma gigi yang disengaja seperti kekerasan fisik. Sedangkan
iatrogenik TDI yang sering terjadi seperti kerusakan mahkota atau bridges, avulsi
hingga nekrosis pulpa (Farani dan Nurunnisa 2018).
Pemeriksaan pasien yang mengalami fraktur terdiri dari pemeriksaan darurat
dan pemeriksaan lanjutan.
• Pemeriksaan darurat
Pemeriksaan darurat meliputi pengumpulan data vital, riwayat kesehatan pasien,
data dan keluhan pasien. Data vital terdiri dari usia pasien, bagaimana dan
dimana terjadinya trauma serta kapan terjadinya trauma. Apabila terjadinya
trauma ditempat yang kotor atau kemungkinan banyak bakteri dan
mengakibatkan keadaan klinis kemerahan, pembengkakan pada ginggiva, maka
pasien perlu diberikan ATS (Anti Tetanus Serum). Pasien juga ditanyakan
apakah terjadi muntah pada saat trauma, atau pasien menjadi tidak sadar, sakit
kepala serta amnesia setelah mengalami trauma. Apabila hal ini terjadi maka
kemungkinan ada kerusakan pada sistem syaraf pusat. Maka pasien dianjurkan
untuk pemeriksaan lebih lanjut pada bagian neurologi (Fauziah dan Hendrarlin,
2008).
• Pemeriksaan lanjutan
Pemeriksaan lanjutan meliputi pemeriksaan kembali klinis lengkap yang terdiri
dari pemeriksaan ekstra oral dan intra oral serta dilakukan pemeriksaan
penunjang yaitu pemeri-ksaan radiografis, untuk dapat melihat perkembangan
akar, ukuran pulpa dan jarak dengan garis fraktur, kelainan pada dan jaringan
pendukung (Fauziah dan Hendrarlin, 2008).
Pemeriksaan intra oral dilakukan dalam mulut pasien untuk mengetahui kondisi
rongga mulut pasien baik jaringan keras maupun lunak. Beberapa pemeriksaan
yang dilakukan pada gigi diantaranya adalah :
a) Perkusi
Gigi yang memberikan respon nyeri terhadap perkusi vertikal-oklusal
menunjukkan kelainan di periapikal yang disebabkan oleh lesi karies. Gigi yang
memberikan respon nyeri terhadap perkusi horisontal-bukolingual menunjukkan
kelainan di periapikal yang disebabkan oleh kerusakan jaringan periodontal.
Gigi yang dipukul bukan hanya satu tetapi gigi dengan jenis yang sama pada
regio sebelahnya. Ketika melakukan tes perkusi dokter juga harus
memperhatikan gerakan pasien saat merasa sakit (Grossman, dkk, 1995).
Bunyi perkusi terhadap gigi juga akan menghasilkan bunyi yang berbeda.
Pada gigi yang mengalami ankilosis maka akan terdengar lebih nyaring (solid
metalic sound) dibandingkan gigi yang sehat. Gigi yang nekrosis dengan pulpa
terbuka tanpa disertai dengan kelainan periapikal juga bisa menimbulkan bunyi
yang lebih nyaring dikarenakan resonansi di dalam kamar pulpa yang kosong.
Sedangkan pada gigi yang menderita abses periapikal atau kista akan terdengar
lebih redup (dull sound) dibandingkan gigi yang sehat. Gigi yang sehat juga
menimbulkan bunyi yang redul (dull sound) karena terlindungi oleh jaringan
periodontal. Gigi multiroted akan menimbulkan bunyi yang lebih solid daripada
gigi berakar tunggal (Miloro, 2004)
b) Sondasi
Sondasi merupakan pemeriksaan menggunakan sonde dengan cara
menggerakkan sonde pada area oklusal atau insisal untuk mengecek apakah ada
suatu kavitas atau tidak. Nyeri yang diakibatkan sondasi pada gigi menunjukkan
ada vitalitas gigi atau kelainan pada pulpa. Jika gigi tidak memberikan respon
terhadap sondasi pada kavitas yang dalam dengan pulpa terbuka, maka
menunjukkan gigi tersebut nonvital (Tarigan, 1994).
c) Probing
Probing bertujuan untuk mengukur kedalaman jaringan periodontal
dengan menggunakan alat berupa probe. Cara yang dilakukan dengan
memasukan probe ke dalam attached gingiva, kemudian mengukur kedalaman
poket periodontal dari gigi pasien yang sakit (Grossman, dkk, 1995).
d) Tes mobilitas – depresibilitas
Tes mobilitas dilakukan untuk mengetahui integritas apparatus-aparatus
pengikat di sekeliling gigi, mengetahui apakah gigi terikat kuat atau longgar
pada alveolusnya. Tes mobilitas dilakukan dengan menggerakkan gigi ke arah
lateral dalam soketnya dengan menggunakan jari atau tangkai dua instrumen.
Jumlah gerakan menunjukkan kondisi periodonsium, makin besar gerakannya,
makin jelek status periodontalnya. Hasil tes mobilitas dapat berupa tiga
klasifikasi derajat kegoyangan. Derajat pertama sebagai gerakan gigi yang nyata
dalam soketnya, derajat kedua apabila gerakan gigi dalam jarak 1 mm bahkan
bisa bergerak dengan sentuhan lidah dan mobilitas derajat ketiga apabila gerakan
lebih besar dari 1 mm atau bergerak ke segala arah. Sedangkan, tes depresibilitas
dilakukan dengan menggerakkan gigi ke arah vertikal dalam soketnya
menggunakan jari atau instrumen (Burns dan Cohen, 1994).
e) Tes vitalitas
Tes vitalitas merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
apakah suatu gigi masih bisa dipertahankan atau tidak. Tes vitalitas terdiri dari
empat pemeriksaan, yaitu tes termal, tes kavitas, tes jarum miller dan tes elektris.
• Tes termal, merupakan tes kevitalan gigi yang meliputi aplikasi panas dan
dingin pada gigi untuk menentukan sensitivitas terhadap perubahan termal
(Grossman, dkk, 1995).
• Tes dingin, dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai bahan, yaitu etil
klorida, salju karbon dioksida (es kering) dan refrigerant (-50oC). Aplikasi
tes dingin dilakukan dengan cara sebagai berikut.
o Mengisolasi daerah gigi yang akan diperiksa dengan menggunakan
cotton roll maupun rubber da
o Mengeringkan gigi yang akan dites.
o Apabila menggunakan etil klorida maupun refrigerant dapat
dilakukan dengan menyemprotkan etil klorida pada cotton pellet.
o Mengoleskan cotton pellet pada sepertiga servikal gigi.
o Mencatat respon pasien.
Apabila pasien merespon ketika diberi stimulus dingin dengan keluhan
nyeri tajam yang singkat maka menandakan bahwa gigi tersebut vital. Apabila
tidak ada respon atau pasien tidak merasakan apa-apa maka gigi tersebut nonvital
atau nekrosis pulpa. Respon dapat berupa respon positif palsu apabila aplikasi
tes dingin terkena gigi sebelahnya tau mengenai gingiva (Grossman, dkk, 1995).
Respon negatif palsu dapat terjadi karena tes dingin diaplikasikan pada gigi yang
mengalami penyempitan (metamorfosis kalsium).
• Tes panas, pemeriksaan ini jarang digunakan karena dapat menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah apabila stimulus yang diberikan terlalu
berlebih. Tes panas dilakukan dengan menggunakan berbagai bahan yaitu
gutta perca panas, compound panas, alat touch and heat dan instrumen yang
dapat menghantarkan panas dengan baik (Grossman, dkk, 1995). Gutta
perca merupakan bahan yang paling sering digunakan dokter gigi pada tes
panas. Pemeriksaan dilakukan dengan mengisolasi gigi yang akan di
periksa. Kemudian gutta perca dipanaskan di atas bunsen. Selanjutnya gutta
perca diaplikasikan pada bagian okluso bukal gigi. Apabila tidak ada respon
maka oleskan pada sepertiga servikal bagian bukal. Rasa nyeri yang tajam
dan singkat ketika diberi stimulus gutta perca menandakan gigi vital,
sebaliknya respon negatif atau tidak merasakan apa-apa menandakan gigi
sudah non vital (Walton dan Torabinejad, 2008).
• Tes kavitas, bertujuan untuk mengetahui vitalitas gigi dengan cara
melubangi gigi. Alat yang digunakan bur tajam dengan cara melubangi atap
pulpa hingga timbul rasa sakit. Jika tidak merasakan rasa sakit dilanjutkan
dengan tes jarum miller. Hasil vital jika terasa sakit dan tidak vital jika tidak
ada sakit (Grossman, dkk, 1995).
• Tes jarum miller, diindikasikan pada gigi yang terdapat perforasi akibat
karies atau tes kavitas. Tes jarum miller dilakukan dengan cara memasukkan
jarum miller hingga ke saluran akar. Apabila tidak dirasakan nyeri maka
hasil adalah negatif yang menandakan bahwa gigi sudah nonvital,
sebaliknya apabila terasa nyeri menandakan gigi masih vital (Walton dan
Torabinejad, 2008).
• Tes elektris, merupakan tes yang dilakukan untuk mengetes vitalitas gigi
dengan listrik, untuk stimulasi saraf ke tubuh. Alatnya menggunakan
Electronic pulp tester (EPT). Tes elektris ini dilakukan dengan cara gigi
yang sudah dibersihkan dan dikeringkan disentuh dengan menggunakan alat
EPT pada bagian bukal atau labial, tetapi tidak boleh mengenai jaringan
lunak. Sebelum alat ditempelkan, gigi yang sudah dibersihkan diberi
konduktor berupa pasta gigi. Tes ini dilakukan sebanyak tiga kali supaya
memperoleh hasil yang valid. Tes ini tidak boleh dilakukan pada orang yang
menderita gagal jantung dan orang yang menggunakan alat pemacu jantung.
Gigi dikatakan vital apabila terasa kesemutan, geli, atau hangat dan gigi
dikatakan non vital jika sebaliknya. Tes elektris tidak dapat dilakukan pada
gigi restorasi, karena stimulasi listrik tidak dapat melewati akrilik, keramik,
atau logam. Tes elektris ini terkadang juga tidak akurat karena beberapa
faktor antara lain, kesalahan isolasi, kontak dengan jaringan lunak atau
restorasi., akar gigi yang belum immature, gigi yang trauma dan baterai
habis (Grossman, dkk, 1995).
Pemeriksaan objektif pada kasus fraktur gigi adalah sebagai berikut.
a) inspeksi untuk melihat sejauh mana gigi mengalami fraktur, apakah pulpa
sudah terbuka atau tidak (Pary dan Kristanti, 2015). Pemeriksaan jaringan
lunak apakah ditemukan ulserasi atau trauma di mukosa (Haryuni dan
Fauziah, 2018). Cedera pulpa dapat menyebabkan perubahan warna, bahkan
walaupun beberapa hari terjadi. Perubahan awal biasanya adalah merah
muda. Kemudian jika pulpanya tidak sembuh dan menjadi nekrotik, mahkota
menggelap menjadi keabu-abuan, sering disertai dengan hilangnya
translusensi. Perubahan warna juga bisa terjadi akibat calcific metamorphosis
yang meningkat. Perubahan warnanya biasanya kuning sampai coklat dan
tidak mengindikasikan adanya patosis pulpa (Walton dan Torabinejad, 2008).
b) tes perkusi dilakukan untuk melihat apakah fraktur tersebut hingga
melibatkan jaringan periodontal atau tidak
c) tes palpasi dilakukan sekitar mukosa sekitar gigi, untuk melihat apakah ada
kemungkinan fraktur tersebut mengenai pulpa dan membentuk suatu infeksi
bila fraktur sudah terjadi cukup lama
d) tes mobilitas dilakukan untuk melihat prognosis gigi apakah masih dapat
dipertahankan atau lebih baik di ekstraksi
e) tes vitalitas dilakukan untuk menentukan apakah fraktur tersebut sudah
mengenai pulpa atau tidak dan untuk menentukan perawatan yang tepat.
Pemeriksaan fraktur melalui radiografi dapat diperiksa ada idaknya
fraktur tulang atau fraktur gigi dan tahap perkembangan gigi. Pada kasus
fraktur horizontal dan luksasi lateral karena pemotretan dengan angulasi
konvensional kadang-kadang tidak dapat memperlihatkan ketidakaturan yang
tidak dapat memperlihatkan ketidakaturan yang tidak sejajar dengan berkas
sinar-x. Oleh karena itu, pemotretan vertikal oklusal biasanya akan banyak
membantu. Hendaknya dibiasakan untuk membuat beberapa radiograf dalam
memeriksa trauma pada gigi guna menjamin diperolehnya data yang cukup
bagi penegakan diagnosis suatu cedera (Walton dan Torabinejad, 2008).
Radiografi awal sangat penting sebagai evaluasi cedera umum pada gigi
dan tulang alveolus serta berperan sebagai dasar bagi perbandingan dengan
radiografi selanjutnya. Radiografi lanjutan dibuat dengan interval yang sama
dengan pengetsaan pulpa. Dari radiografi ini ditelusuri apakah ada resorpsi,
baik eskterna maupun interna atau perubahan ulang periradikuler. Perubahan
resorptif terutama resorpsi eksterna dapat terjadi segera setelah cedera. Jika
tidak ada upaya untuk menghentikan proses destruktif ini maka banyak
bagian akar yang segera akan hilang. Resorpsi akibat inflamasi dapat diatasi
atau diintersepsi dengan perawatan endodonsia yang tepat waktu (Walton dan
Torabinejad, 2008).
a. untuk melihat kondisi pulpa apakah sudah terbuka atau belum (Pary dan
Kristanti, 2015).
b. area diperiapikal apakah radiolusen atau tidak (Pary dan Kristanti, 2015).
c. kondisi akar apakah membelok ke arah distal atau mesial, ekstrusi, intrusi
(Pary dan Kristanti, 2015).
d. Jarak garis fraktur, apakah fraktur melibatkan enamel, dentin, atau pulpa
(Pary dan Kristanti, 2015).
e. Kondisi pembentukan akar apakah sudah mencapai 1/3 apikal (Haryuni
dan Fauziah, 2018).
f. Kondisi apeks akar apakah masih terbuka atau sudah tertutup, dan
pelebaran di ujung apeks (Haryuni dan Fauziah, 2018).

2. Bahan
a. Etsa Asam
Preparasi gigi menggunakan bur atau instrumen dalam restorasi akan
menghasilkan sisa-sisa material organik maupun anorganik, seperti debris smear
layer pada permukaan. Smear layer secara umum mengandung hidroksiapatit
dan kolagen yang terdenaturasi (Roberson, 2006). Larutan etsa menyebabkan pH
rendah dan ion hidrogen (H+) akan bereaksi dengan kelompok fosfat, sehingga
terjadi proses pengubahan PO43- dalam kandungan hidroksiapatit (HA/
Ca10(PO4)6(OH)2) pada enamel menjadi PO42-, (Widyaningsih dkk., 2014).
Ketika kehilangan ion PO43- HA menjadi tidak stabil sehingga kristal HA larut
dan ion kalsium ikut terlarut (Ghom dan Ghom, 2014). Prinsip etsa asam pada
enamel adalah melarutkan smear plug serta menurunkan permeabilitas dentin
hingga 90% (Fibryanto, 2018). Smear layer yang larut membuat prisma email
terbuka dan menyebabkan terjadinya celah-celah (retensi mikromekanika untuk
melekatkan resin) sehingga penetrasi resin ke dalam celah membentuk bangunan
yang disebut resin tag yang akan meningkatkan adhesi resin komposit pada
struktur gigi (Bakar, 2012).
Smear layer yang menutup dan memenuhi lubang pada tubulus dan
membentuk “smear plug” yang akan menurunkan permeabilitas dentin hingga
86% (Roberson, 2006). Etsa yang diaplikasi akan menghilangkan lapisan smear
plug menyebabkan tubulus dentin terbuka dan serabut-serabut kolagen dapat
terbuka (Susin dkk., 2007). Pengetsaan terhadap intertubular dan peritubular
dentin mengakibatkan penetrasi dan perlekatan bagi bahan bonding sehingga
membentuk hybrid layer. Hybrid layer merupakan perlekatan resin adhesif yang
terpolimerisasi dengan fibril kolagen (pada sistem total etch) dan sisa kristal
hidroksiapatit (pada sistem self-etch) menghasilkan struktur interfasial
(Sahelangi dkk., 2010).
Konsentrasi asam fosfat yang sering digunakan adalah 30-50%, namun
yang paling sering dijumpai di pasaran adalah asam fosfat konsentrasi 37%
(Goldstein, 2018). Penggunaan asam fosfat dengan. konsentrasi 50% akan
menyebabkan terbentuknya endapan garam Ca(H2PO4)2H2O yang sulit
dilarutkan ketika dilakukan pencucian, sedangkan penggunaan dibawah 30%
dapat menyebabkan terbentuknya endapan garam CaHPO4 yang dapat
mengganggu perlekatan (Manappallil, 2010). Penelitian tentang efek asam fosfat
terhadap pulpa gigi telah cukup banyak diteliti, salah satunya menyatakan bahwa
asam fosfat 37% dapat menyebabkan infiltrasi sel inflamasi yang mampu
mendegradasi sel kolagen tipe 1 yang merupakan penyusun utama matriks
ekstraseluler dalam dentin (Roberson dkk., 2018).
Aplikasi etsa menggunakan mikrobrush dilakukan pada email terlebih
dahulu dan didiamkan selama 5 detik kemudian etsa dilakukan pada dentin
selama 15 detik. Sehingga total pengaplikasian etsa 20 detik. Setelah itu
permukaan email dan dentin dibilas dengan air. Aplikasi etsa yang terlalu lama
pada enamel akan menyebabkan lingkungan terlalu asam sehingga enamel
mudah rapuh. Aplikasi etsa yang terlalu lama pada dentin akan menyebabkan
kerusakan kolagen atau kolagen kolaps sehingga ikatan mekanik atau antara
bonding dengan dentin tidak terbentuk.
Sistem adhesif terdiri dari dua sistem yaitu sistem adhesif total etch dan
sistem adhesif self etch (Dey dkk., 2016).
1) Adhesif total etch
Sistem adhesif total etch merupakan suatu tindakan pengangkatan smear
layer saat melakukan etsa dan bonding kemudian dilakukan pembilasan
(Puspitasari, 2014). Prsedur dalam melakukan etsa, bonding, dan pengeringan
membutuhkan waktu pengaplikasian yang cukup lama. Pengeringan juga harus
diperhatikan agar kavitas tetap dalam keadaan moist. (Chandki dan Kala., 2011).
Pembentukan resin tag dan lapisan hybrid dalam sistem adhesif total etch akan
terhambat karena di dalam tubulus dentin terdapat cairan tubulus, sehingga
menyebabkan terjadi kegagalan proses bonding (Sahelangi dkk., 2010).
2) Adhesif self etch
Bahan adhesif self-etch dapat diaplikasi secara langsung pada permukaan
dentin yang sudah dipreparasi. Bahan self-etch mengandung monomer asam
yang digabungkan dengan monomer hidrofilik sehingga etsa dan primer bekerja
secara stimulan. Bahan primer yang terkandung didalam bahan adhesif dapat
berpenetrasi langsung ke dalam tubuli dentin bersamaan dengan asam dan resin
bonding. Unsur-unsur yang terkandung di dalam bahan primer berpolimerisasi
di dalam tubuli dentin dan bergabung dengan debris di dalam saluran (smear
plug) sehingga dapat mengurangi atau bahkan mencegah sensitivitas setelah
perawatan. Hal ini juga akan menghasilkan nilai kekuatan rekat komposit resin
yang tinggi pada dentin (Sundari dan Triaminingsih, 2008).
Sistem adhesif self etch dengan menggabungkan bahan etsa dan primer
dalam satu kemasan sehingga dapat mengurangi periode waktu manipulasi.
Aplikasi sistem self etch dilakukan tanpa pembilasan karena etsa memiliki pH
2,5-4,5 yang telah dikombinasikan dengan primer, dengan demikian dapat
membuat primer berpenetrasi dan memodifikasi smear layer serta dapat
berikatan dengan kolagen pada dentin membentuk ikatan hybrid layer yang
dapat mencegah kolapsnya kolagen pada dentin (Jaya dan Eriwati, 2012). Bahan
etsa pada sistem adhesif self etch menghasilkan demineralisasi yang superfisial,
hal ini menyebabkan smear layer tetap dipertahankan dan menjadi bagian dari
lapisan hibrida sehingga meminimalkan sensitifitas post operatif (Puspitasari,
2014).
Adhesif self etch memiliki kelemahan yaitu kebocoran tepi dan lemahnya
kekuatan rekat resin komposit terhadap permukaan gigi terutama pada
permukaan dentin (Sundari dan Triaminingsih, 2008). Lemahnya perlekatan
pada permukaan dentin disebabkan karena primer adhesive self etchtidak dapat
menembus smear layeryang tebal (Neri dkk., 2011). Sistem self etch
menghasilkan demmineralisasi dentin yang tidak terlalu dalam hal ini
disebabkan oleh tubulus dentin yang tertutup plug smear. Tubulus yang
terterinfiltrasi oleh resin hanya sebagian sehingga resin tag yang terbentuk pada
self etch lebih pendek dan lapisan hybrid tidak terlalu tebal (Sahelangi dkk.,
2010).

b. Bonding
Secara umum bahan bonding dentin dapat di kelompokkan menjadi dua
kategori, pertama yaitu total etch merupakan bahan bonding yang bekerja dengan
mendemineralisasi tubulus dentinalis dan melarutkan smear layer dengan etsa
asam. Selanjutnya yaitu self etch merupakan bahan bonding yang tidak
melarutkan smear layer tetapi memodifikasinya sehingga lebih permeabel
terhadap monomer yang ber-penetrasi (Dahniar dkk., 2014).
Prinsip bonding adalah sebagai berikut (Bakar, 2012).
1) pelekat antara dua permukaan
2) material yang dapat melekatkan dua permukaan yang berbeda (permukaan
struktur gigi dan bahan restorasi)
3) syarat untuk terjadinya adhesi yang baik yaitu dua material yang saling
berikatan harus saling berkontak cukup dekat dan wetting adhesive terjadi
apabila surface tension lebih rendah dari surface
4) Adhesi ke email lebih mudah dicapai dibanding adhesi ke dentin
disebabkan tinggi, energy adherend. email mengandung hidroksi apatit
sehingga tekanan permukaan sedangkan dentin mengandung hidroksi
apatit dan kolagen (dua substrat yang berbeda menyebabkan energi
permukaan rendah).
Perkembangan Bonding adalah sebagai berikut (Bakar, 2012).
a) Generasi 1
Teknik etsa email, kekuatan bonding rendah, contoh: polyurethanes,
cyanoacrylate, NPG-GMA.
b) Generasi 2
Phosphate ester berdasarkan interaksi kutub negatif (fosfat pada bahan
bonding) dan kutub positif (ion kalsium smear layer) sehingga kekuatan
bonding lebih baik daripada generasi 1, menggunakan smear layer sebagai
substrat bonding.
c) Generasi 3
Menggunakan etsa asam untuk menghilangkan smear layer
d) Generasi 4
Merupakan three-step etch & rinse adhesive, yaitu aplikasi conditioner,
primer, dan adhesive resin sehingga kekuatan bonding lebih baik.
e) Generasi 5
Menyederhanakan penggunaan bahan bonding generasi 4 teknik etch-
rinse: aplikasi conditioner/etsa, aplikasi primer dan adhesive yang terdapat
dalam satu botol (one bottle system) dan kekuatan bonding sama baik
dengan generasi 4. Bonding ini tidak sekuat bonding 6 dan 7 karena
tubulus dentin yang tebuka akan mengkontaminasi komposit dan
berpengaruh terhadap kekuatan komposit.Generasi ini sebaiknya dihindari
pada pasien dengan hipersensitif dentin karena pembukaan tubus dentin
adakan merespon cairan dentin menuju pulpa sehingga gigi lebih sensitive.
f) Generasi 6
Self-etch adhesive, yaitu self-etching primer (dalam satu paket) dan
adhesive resin (paket lain), mengkombinasi conditioner, primer &
adhesiye resin tetapi memerlukan pencampuran, hampir sama dengan
bonding generasi 2 : menggunakan smear layer pada permukaan email dan
dentin sebagai substrat bonding, perbedaannya terdapat pada keasaman
bahan primer. Generasi 6 mengandung acidic monomer (4-MET & 10-
MDP) dan lebih hidrofilik.
g) Generasi 7
Pencampuran (truly one bottle system). Campuran komponen bersifat
hidrom dan hidrofobik. Lapisan adhesif sebagai membran permiabel.
Single component: one step self-etch adhesive. Generasi 7
mengkombinasikan conditioner, primer dan resin adhesif dalam satu botol
dan tidak memerlukan
Sistem bonding pada dentin dapat diperoleh dengan adanya interaksi
kimia antara gugus fungsi amina kolagen dengan gugus karbonil resin yang
selanjutnya membentuk ikatan peptida yang merupakan ikatan primer kovalen
yang kuat. Sistem bonding pada dentin terdiri dari bahan anorganik seperti
kolagen serta smear layer, mengandung lebih banyak air karena dentin
merupakan jaringan yang selalu basah oleh cairan yang dikeluarkan oleh tubuli
dentin, sehingga bersifat hidrofilik. Perlekatan dentin bonding pada fibril
kolagen dentin juga merupakan interaksi yang penting. Dentin bonding dapat
berpenetrasi masuk ke dalam rongg-rongga nano interfibriler kemudian
berpolimerasi membentuk penjangkaran secara mekanis (Adioro, 2006).
Idealnya agen pengikat dentin harus memiliki ujung hidrofilik dan
hidrofobik. Ujung hidrofilik menggeser cairan dentinal untuk membasahi
permukaan. Ikatan ujung hidrofobik ke resin komposit (Garg dan Garg, 2015).
- Ikatan ke bagian anorganik dentin melibatkan interaksi ionik antara gugus
bermuatan negatif pada X (misalnya, fosfat, asam amino dan amino alkohol,
atau dikarboksilat) dan ion kalsium bermuatan positif. Sistem ikatan yang
umum digunakan menggunakan fosfat
- Ikatan ke bagian organik dentin melibatkan interaksi dengan gugus Amino
(-NH), Hidroksil (-OH), Karboksilat (-COOH), Amida (-CONH) yang ada
di kolagen dentin. Agen pengikat dentin memiliki isosianat, aldehida,
anhidrida asam karboksilat dan asam karboksilat klorida yang
mengekstraksi hidrogen dari gugus yang disebutkan di atas dan mengikat
secara kimiawi

c. Komposit
Komposit merupakan suatu material solid yang terbentuk dari dua atau
lebih material berbeda (seperti partikel filler yang terlarut dalam matriks
polimer) yang menghasilkan sifat lebih baik jika dibandingkan dengan sifat
masing-masing komponen (Istikharoh, 2018).
Komposisi komposit adalah sebagai berikut (Garg dan Garg, 2015).
▪ Matriks resin terdiri dari monomer polimer mono-, di- atau trifungsional
seperti Bisphenol-A-Glycidyl Methacrylate (Bis-GMA) atau Urethane
dimethacrylate (UDMA) (Garg dan Garg, 2015). Matriks resin organik
berperan untuk membentuk fisik resin komposit agar mudah diaplikasikan
(Manappallil, 2010).
▪ Filler anorganik yang biasa digunakan adalah silikon dioksida, boron
silikat, dan lithium aluminium silikat. Partikel filler disilanasi sehingga
filler hidrofilik dapat berikatan dengan matriks resin hidrofobik. Komposit
dengan partikel yang lebih kecil menunjukkan penurunan keausan karena
lebih sedikit rongga dan jarak antar partikel yang lebih kecil (Garg dan
Garg, 2015). Filler berperan terhadap kekuatan resin komposit
(Manappallil, 2010).
▪ Bahan Pengikat (Coupling agent) berupa silane (silane coupling agent)
berfungsi untuk mengikat anorganic filler pada matriks resin sehingga
dapat menambah kekuatan komposit dan mengurangi kelarutan dan
absorpsi air (Garg dan Garg, 2015).
▪ Inisiator berfungsi untuk resin komposit aktivasi kimia inisiator berupa
benzoyl peroxide dan untuk resin komposit aktivasi sinar tampak inisiator
berupa α-diketon (Garg dan Garg, 2015).
▪ Aselerator, tertiery amine bereaksi dengan inisiator mempercepat reaksi
polimerisasi (Garg dan Garg, 2015).
▪ Inhibitor, agen ini menghambat radikal bebas yang dihasilkan oleh
polimerisasi spontan monomer, misalnya butylated hydroxyl toluene
(0.01%) (Garg dan Garg, 2015).
▪ Agen pewarna, sebagian besar oksida logam seperti titanium oksida dan
aluminium oksida ditambahkan untuk meningkatkan opasitas resin
komposit (Garg dan Garg, 2015).
Indikasi restorasi komposit adalah sebagai berikut (Istikharoh, 2018).
▪ sebagai material restorasi direct pada seluruh kavitas gigi, baik yang karies
maupun non-karies
▪ lebih banyak digunakan sebagai material restorasi direct yang memerlukan
estetik yang baik, seperti pada gigi anterior, tetapi dapat digunakan pada
gigi posterior
▪ sebagai material restorasi indirect dan material luting.
▪ resin komposit, terutama yang flowable komposit, juga bisa digunakan
sebagai core-build up dalam proses post-perawatan saluran akar, material
splinting periodontal pada gigi yang goyang,
▪ gigi yang tidak terdapat karies sebagai salah satu tindakan pencegahan
karies
Resin komposit juga memiliki beberapa kontraindikasi, antara lain
kebersihan rongga mulut/oral hygine (OH) pasien yang sangat buruk, kavitas
yang sangat besar sehingga hanya tersisa sedikit struktur mahkota gigi atau
kontak oklusi yang berat karena dikhawatirkan material resin komposit tidak
adekuat menahan beban pengunyahan, serta pengalaman atau kompetensi dokter
gigi yang kurang (Istikharoh, 2018).
Resin komposit yang ideal harus memiliki beberapa sifat penting, yaitu
sebagai berikut (Istikharoh, 2018).
• Memiliki biokompatibilitas yang cukup baik.
Resin komposit tidak memiliki rasa, tidak memiliki bau, tidak bersifat
toksik, tidak mengiritasi serta membahayakan mukosa dan jaringan di
sekitarnya. Resin komposit tidak dapat larut di dalam saliva atau cairan
lainnya yang ada di rongga mulut. Resin komposit bisa melekat dengan
baik pada struktur gigi dengan bantuan bahan etsa-bonding. Pelekatan
resin komposit yang baik pada permukaan gigi dapat mencegah
pertumbuhan bakteri di antara gigi dan restorasi.
• Memiliki sifat mekanis dan fisik yang baik
Resin kompasit cukup kuat untuk menahan beban kunyah, terutama resin
komposit nanofiller, tidak mudah pecah dengan permukaan kavitas gigi.
Resin komposit juga harus memiliki stabilitas dimensi yang tinggi dan
tidak berubah bentuk, termasuk ketika terdapat perubahan suhu dan
tekanan yang terjadi di dalam rongga mulut terutama selama proses
pengunyahan. Resin komposit ini juga memiliki sifat termal konduktor
yang sangat rendah, sehingga tidak berpotensi untuk menyalurkan panas
ke dalam ruang pulpa yang dapat mengiritasinya.
• Mudah dimanipulasi
Resin komposit mudah dimanipulasikan pada kavitas gigi, sehingga dapat
dibentuk sesuai dengan anatomi gigi yang diperlukan. Material ini cukup
terkenal dengan memiliki teknik sensitifitas yang baik. Teknik sensitifitas
merupakan suatu karakteristik yang dapat memengaruhi dalam proses
manipulasi (handling-placement) material tersebut. Yang termasuk dalam
Teknik sensitifitas antara lain stickiness, slump resistance, dan viskositas.
Stickiness merupakan kecenderungan resin komposit untuk tetap bertahan
pada dental instrument selama proses manipulasi. Slump resistance
merupakan kemampuan resin komposit untuk mempertahankan bentuknya
ketika diaplikasikan pada kavitas gigi selama akan dilakukan proses
polimerisasi.
• Resin komposit memiliki setting time yang pendek.
Setting time merupakan waktu yang diperlukan suatu material untuk
mengeras. Material ini juga mudah dipoles di akhir manipulasi untuk
mendapatkan hasil restorasi yang baik sesuai estetik yang dibutuhkan.
• Memiliki kualitas estetik yang sangat baik
Resin komposit memiliki translusensi dan transparansi yang cukup
bervariasi, sehingga dapat dimanipulasi sesuai dengan permukaan gigi
sebenarnya. Perbedaan transparansi dan translusensi terletak pada sinar
cahaya yang mampu menembus material tersebut. Material dapat
dikatakan dengan transparan apabila diberikan sinar cahaya, sinar tersebut
dapat menembus dan meneruskan cahaya seluruhnya. Sedangkan suatu
material disebut translusen apabila material tersebut diberikan sinar
cahaya, material tersebut dapat meneruskan cahaya namun tidak
seluruhnya, akan tetapi hanya sebagian saja.
• Harga yang cukup terjangkau
Harga resin komposit cukup terjangkau jika dibandingkan dengan material
restorasi lainnya. Ketika memanipulasikan resin komposit, tidak
memerlukan banyak dental instrument, sehingga memudahkan dokter gigi
untuk merestorasi gigi pasien.
Kelemahan dari komposit adalah tidak dapat melekat dengan baik pada
struktur gigi apabila tidak diberikan material adhesif etsa- bonding. Sehingga,
sebelum mengaplikasikan komposit perlu mengaplikasikan bahan etsa-bonding
pada daerah kavitas gigi. Hal ini membuat pengaplikasikan komposit
memerlukan waktu yang cukup panjang. Selain itu, komposit memiliki
kemampuan bertahan di kavitas rongga mulut yang terbatas. Kemungkinan hal
ini disebabkan oleh tekanan internal atau pengerutan yang dihasilkan selama
proses polimerisasi (Istikharoh, 2018).
Macam-macam komposit berdasarkan ukuran filler adalah sebagai berikut.
a) Makrofiller Composite (konvensional/tradisional): mempunyai ukuran
partikel 8-12 μm. Kelebihannya adalah bentuk fisik dan mekanik lebih
baik dari resin akrilik unfilled. Resin komposit macrofilled baik digunakan
untuk restorasi gigi posterior karena memiliki kekuatan yang tinggi
sehingga cocok untuk menahan beban kunyah (Ireland,
2012). Kekurangan adalah permukaan akhir yang kasar, kemampuan
polesan yang buruk, dan lebih banyak keausan (Garg dan Garg, 2015).
Selain itu, komposit ini memiliki translusensi yang rendah dan permukaan
yang kasar menyebabkan mudahnya perlekatan sisa makanan dan stain
sehigga restorasi mudah berubah warna (Manappallil, 2010).
b) Small Particle-Filled Composite mempunyai ukuran partikel 1-5 μm.
Penggunaan untuk restorasi area dengan tekanan yang keras, seperti, kelas
I dan II, atau persiapan kelas III dan IV yang besar. Bahan ini memiliki
beberapa kelebihan, diantaranya sifat pemolesan dan tekstur yang baik,
ketahanan abrasi dan aus yang baik, koefisien muai panas yang lebih
rendah, penurunan penyusutan polimerisasi, penyerapan air lebih sedikit,
peningkatan modulus elastisitas dan kekuatan tekan, dan estetika yang
bagus. Kekurangannya adalah daya tahan jangka panjang resin komposit
ini dipertanyakan karena adanya pengisi kaca logam berat karena pengisi
ini lebih lembut dan rentan terhadap hidrolisis (Garg dan Garg, 2015).
Kekuatan dan kekerasan komposit small particle filler yang tinggi serta
penampakan dan durabilitas yang cukup baik, dapat digunakan sebagai
bahan restorasi gigi anterior meski translusensi komposit ini masih rendah
(Anusavice, 2012).
c) Microhybrid composite merupakan kombinasi dari dua komposit dengan
ukuran partīkel yang berbeda, dalam hal ini komposit microhybrid
merupakan gabungan dari komposit macrofilled dengan microfilled.
Ukuran partikel microhybrid adalah 0.4-1 um (Manappallil, 2010).
Komposit microhybrid dikembangkan dalam rangka memperoleh
kehalusan permukaan yang lebih baik dibandingkan dengan komposit
small particle filler sehingga estetisnya setara dengan komposit
microfilled. Keuntungan lainnya yaitu sifat fisik dan mekanik komposit
microhybrid berada diantara komposit macrofilled dan microfilled,
sehingga sifat fisik dan mekaniknya lebih unggul dibandingkan dengan
komposit microfilled (Anusavice, 2012).

d) Mikrofiler Composite mempunyai ukuran partikel 0,04–0,4 μm.


Penggunaan untuk restorasi gigi anterior. Komposit ini diindikasikan
untuk restorasi gigi anterior dan lesi abfraksi serviks. Komposit mikrofiler
memiliki modulus elastisitas yang rendah dan daya poles yang tinggi,
tembus cahaya yang sangat baik, sangat mudah dipoles, dan estetika yang
bagus. Kekurangan komposit ini adalah sifat mekanik yang buruk karena
kandungan matriks yang lebih banyak, stabilitas warna yang buruk,
ketahanan aus yang rendah, modulus elastisitas dan kekuatan tarik yang
lebih sedikit, lebih banyak penyerapan air, dan koefisien muai panas yang
tinggi (Garg dan Garg, 2015). Penggunaan komposit microfilled sebagai
bahan restorasi gigi posterior terutama proksimal dan oklusal, merupakan
kontraindikasi karena berpotensi untuk fraktur atau pecah (Anusavice,
2012).

e) Nanohybrid composite merupakan kombinasi dari resin komposit


microfilled dan nanofilled dengan ukuran filler 0.02-2.5 um. Komposit
nanohybrid dari segi estetik dan sifat mekanis memiliki keunggulan karena
menggabungkan sifat mekanis dari komposit mikrofilled dan estetik dari
komposit nanofilled (Sakaguchi dan Powers, 2012).
f) Nanofilled composite memiliki ukuran filler terkecil yaitu 0.005-0.02 um.
Ukuran partikel yang sangat kecil membuat komposit nanofilled mudah
untuk dipoles dan menghasilkan permukaan yang halus serta stabilitas
warna yang baik. Keuntungan lain dari komposit nanofilled yaitu memiliki
translusensi yang tinggi menyerupai gigi asli sehingga cocok untuk
restorasi gigi anterior yang membutuhkan estetik yang baik. Sifat mekanis
dari resin komposit nanofilled lebih unggul dibandingkan dengan
komposit lainnya (Sakaguchi dan Powers, 2012). resin komposit
nanofilled memiliki sifat mekanik yang lebih tinggi dibandingkan dengan
microfilled baik dari segi tensile strength, flexural strength dan flexural
modulus yang dapat mendukung kekuatan oklusal gigi (Pontes dkk.,
2013).

Macam-macam komposit berdasarkan sediaannya adalah sebagai berikut.


1) Komposit flowable
Komposit flowable memungkinkan komposit diinjeksikan ke dalam
sediaan kecil yang baik untuk restorasi pit dan fisur. Tetapi penggabungan
konten pengisi yang lebih rendah menghasilkan sifat mekanik yang buruk
dari komposit ini daripada komposit konvensional (Garg dan Garg, 2015).
Sifat komposit flowable adalah sebagai berikut (Bakar, 2012).
- Komposit dengan viskositas rendah.
- Perlu aktivasi sinar.
- Terutama untuk lesi servikal, restorasi untuk gigi decidui, restorasi
kecil dan bebas dari tekanan pengunyahan.
- Dimethacrylate resin & bahan pengisi anorganik dengan ukuran 0,4-
3 um. Volume bahan pengisi: 42-53%.
- Mempunyai modulus elastisitas rendah.
- Pengkerutan polimerisasi tinggi karena bahan pengisi sedikit.
- Aplikasinya langsung dari syringe karena mempunyai viskositas
rendah
Indikasi komposit flowable adalah sebagai berikut (Garg dan Garg,
2015).
● Restorasi resin preventif
● Sealant pit dan fissure kecil
● Lesi kelas V bersudut kecil
● Untuk memperbaiki margin amalgam yang sudah dibuang
● Perbaikan patah tulang porselen kecil
● Lapisan dalam untuk penempatan resin komposit posterior Kelas
II untuk menutup margin gingiva
● Pelapisan ulang restorasi komposit atau semen ionomer kaca yang
aus
● Untuk memperbaiki kerusakan email
● Untuk memperbaiki margin mahkota
● Perbaikan margin resin komposit
● Untuk luting porselen dan veneer resin komposit
● Restorasi Kelas I.
● Restorasi Kelas III Kecil
● Sebagai alas atau liner
● Restorasi terowongan.
Kontraindikasi komposit flowable adalah pada daerah yang
memiliki tekanan tinggi seperti rongga kelas I dan II karena kekuatan
rendah dan lebih banyak keausan (Garg dan Garg, 2015).
2) Komposit packable
Komposit packable memiliki basis utama berupa Polymer Rigid
Inorganic Matrix Material (PRIMM). Di sini komponen pengisi anorganik
resin dan keramik yang tergabung dalam jaringan silanasi serat keramik.
Fiber terdiri dari alumina dan silikon dioksida yang digabungkan satu
sama lain di situs tertentu untuk membentuk jaringan kompartemen kecil
yang berkelanjutan. Konten pengisi dalam komposit yang dapat dikemas
berkisar antara 48 hingga 65% volume dengan ukuran partikel rata-rata
berkisar antara 0,7 hingga 20 μm (Garg dan Garg, 2015).
Sifat komposit packable adalah sebagai berikut (Garg dan Garg,
2015).
● Komposit yang dapat dikemas memiliki sifat mekanik yang lebih baik
karena adanya serat keramik.
● Sifat penanganan yang lebih baik karena adanya persentase yang lebih
tinggi dari pengisi tidak beraturan atau berpori, pengisi berserat dan
matriks resin
● Konsistensi komposit seperti amalgam yang dapat didorong ke dalam
kavitas gigi posterior dan memiliki kendali yang lebih besar atas kontur
proksimal dari preparasi Kelas II.
● Kedalaman perawatan yang tinggi karena sifat konduksi cahaya dari
serat keramik. Setiap penambahan komposit dapat dipadatkan seperti
amalgam dan diawetkan hingga kedalaman lebih dari 4 mm.
● Penyusutan polimerisasi rendah.

Perlekatan resin komposit dengan gigi melalui proses kimiawi dan mekanik.
Ada dua komponen penting dalam perlekatan antara gigi dan bahan resin komposit,
yaitu etsa agent dan bonding agent. Perlekatan mekanik resin komposit komposit
dengan struktur gigi bias melalui pengetsaan, yaitu pembuatan undercut, atau
pemberian pin/skrup. Sedangkan lubang-lubang mikroskopik akibat dari larutnya
hidroksi apatit pada prisma email. Lubang-lubang mikro tersebut adalah retensi
mekanis yang nantinya akan terisi oleh resin bonding yang membentuk resin tag.
Reaksi perlekatan antara resin komposit dan bonding agent ini merupakan reaksi
kimiawi. Bahan bonding untuk email berisi Bis-GMA dengan sedikit filler. Bahan
bonding dentin terdiri atas: dentin conditioner, yang berfungsi menghilangkan
smear layer dan primer, yang berfungsi sebagai adhesive. Bonding dentin memiliki
dua sifat hidrofilik yang melektakan pada dentin dan hidrofobik yang melekat pada
bahan resin (Irawan, 2018).
Derajat polimerisasi dapat diketahui dengan adanya sisa monomer akibat
polimerisasi yang tidak sempurna. Derajat polimerisasi resin komposit sinar tampak
dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik (Mahn, 2013). Faktor intrinsik
antara lain komposisi material resin komposit, bahan organik (matriks), anorganik
(tipe dan kandungan bahan pengisi), viskositas, dan ketebalan lapisan resin
komposit. Faktor ekstinsik antara lain light curing unit (LCU), intensitas dan waktu
pemaparan sinar, metode aktivasi sinar tampak dan temperature (Tolidis dkk.,
2011). Menurut metode polimerisasi, resin komposit dapat dibagi menjadi dua
kategori utama, yaitu
1. Self-curing
Resin komposit self-curing paling awal dicampur sebagai bubuk dan cairan.
Saat ini resin komposit telah tersedia dalam sistem campuran pasta / pasta
dalam bentuk katalis dan base. Satu bagian terdiri dari akselerator amina
tersier organik dan bagian lainnya terdiri dari inisiator benzoil peroksida.
Katalis dan bahan dasar dicampur dengan perbandingan sekitar 1: 1. Pada
pencampuran, proses polimerisasi mereka diaktifkan secara kimiawi (Garg
dan Garg, 2015).
2. Light-cured
Aktivasi cahaya ultraviolet (UV) light cured dalam curing cahaya tampak
berkisar antara 460 dan 470 nm panjang gelombang. Saat aktivasi,
fotoinisiator (camphorquinone) bergabung dengan akselerator amina dan
melepaskan radikal bebas yang memulai polimerisasi. Karena reaksi ini
menghilangkan kebutuhan akan amina tersier, resin komposit yang diawetkan
dengan cahaya tampak menunjukkan peningkatan dalam stabilitas warna
resin komposit (Garg dan Garg, 2015).
Tipe light curing yang sering digunakan dalam proses polimerisasi
adalah QTH (quartztungsten-halogen), PAC (plasma arc curring), LED
(light emiting diode), dan Argon laser lamp (Garg dan Garg, 2015).
a) QTH (quartztungsten-halogen)
Quartztungsten-halogen (QHL) adalah lampu pengawet konvensional dan
paling umum digunakan untuk resin komposit dengan lampu pijar yang
menggunakan cahaya tampak dalam panjang gelombang antara 410
hingga 500 nm. Lampu halogen memiliki masa pakai efektif terbatas
sekitar 100 jam. Pada awal siklus curing, cahaya ini memancarkan
kepadatan daya yang rendah (400-900 mW / cm2) yang berarti terjadi
polimerisasi yang lebih rendah pada awal siklus dan polimerisasi
maksimum pada akhir siklus. Beberapa kekurangan QHL adalah umur
lampu yang terbatas (sekitar 100 jam), intensitas lampu berkurang seiring
waktu dan time consuming (Garg dan Garg, 2015).
b) PAC (plasma arc curring)
Mekanisme PAC adalah medan listrik frekuensi tinggi dibangkitkan
menggunakan tegangan tinggi. Medan ini mengionisasi gas xenon menjadi
campuran ion, elektron, dan molekul, di sana dengan melepaskan energi
dalam bentuk plasma. Panduan cahaya membantu dalam menyaring
cahaya ke spektrum cahaya tampak (450-500 nm) untuk penyerapan
puncak kamperinon. PAC menghasilkan cahaya intensitas tinggi lebih dari
1800 mW / cm2 siklus curing dalam PAC adalah 6 hingga 9 detik.
Kekurangan PAC adalah mahal, ukuran besar, polimerisasi yang cepat
dapat mengakibatkan penyusutan polimerisasi (Garg dan Garg, 2015).
c) LED (light emiting diode)
Light Emitting Diode (LED) merupakan lampu berbasis sinar biru dengan
daya rendah. LED generasi pertama menggunakan silikon karbida dengan
output daya 7 μW, sedangkan LED generasi kedua dibuat dengan
menggunakan teknologi gallium nitride dengan output daya lebih besar
yaitu 3 mW (Tolidis, dkk., 2011; Mahn, 2013). LED biasanya memiliki
masa pakai yang lama dan memancarkan cahaya biru yang kuat. Cahaya
ini jatuh dalam kisaran panjang gelombang yang sempit dari 455 nm
sampai 486 nm. Ini sesuai dengan kisaran fotoinisiator kamperokuinon
yang ditemukan di sebagian besar resin komposit (Garg dan Garg, 2015).
Keuntungan LED diantaranya konsumsi daya rendah, dapat digunakan
dengan baterai juga, tidak membutuhkan filter, umur panjang (kurang
lebih 10.000 jam), dan perubahan pada keluaran cahaya minimal dari
waktu ke waktu (Garg dan Garg, 2015). Kelebihan LED dibandingkan
dengan QTH antara lain LED tidak memerlukan filter karena
memancarkan cahaya pada panjang gelombang tertentu pada kisaran photo
absorption comphorquinoneyaitu 400 nm –500 nm, sinar yang
dipancarkan LED berguna semua dalam proses polimerisasi. LED
mempunyai kemampuan yang konstan tanpa penurunan intensitas karena
pemakaian dan tidak terlalu sering memerlukan penggantian dioda, panas
tidak dihasilkan selama pemakaian LED sehingga tidak diperlukan kipas
pendingin (Silva dkk., 2009).
Kerugian LED diantaranya hanya cocok untuk komposit berbasis
kamperinon (karena spektrum panjang gelombangnya terbatas) (Garg dan
Garg, 2015). Light curing LED yang dikembangkan saat ini dilengkapi
dengan beberapa teknik penyinaran yaitu metode konvensional (fast
curing) dan metode lambat (soft start). Macam-macam tehnik penyinaran
yang ada saat ini direkomendasikan untuk mengatasi masalah yang
berhubungan dengan pengerutan polimerisasi (Ghareecb dkk., 2014).
Teknik penyinaran soft start dibagi menjadi 3 macam tehnik, yaitu
stepped, ramped, dan pulse-delayed.
· Teknik stepped
Teknik stepped dimulai dari sinar intensitas rendah diaplikasikan pada
periode awal, kemudian diikuti sinar dengan intensitas tinggi pada
periode berikutnya (Sakaguchi dkk., 2012)
· Teknik ramped
Teknik ramped dimulai dari sinar intensitas rendah, kemudian secara
perlahan meningkat selama beberapa saat sampai mencapai intensitas
tinggi, dan dipertahankan sampai beberapa saat sampai penyinaran
selesai (Sakaguchi dkk., 2012)
· Teknik pulse delay
dimulai dari sinar intensitas rendah selama beberapa saat, kemudian ada
fase penundaan dan terakhir penyinaran lama dengan intensitas penuh
(Sakaguchi dkk., 2012).
d) Argon laser lamp
Resin komposit di lakukan cure dengan menggunakan laser argon. Sinar
laser argon memiliki panjang gelombang 470 nm yang bersifat
monokromatik dengan intensitas 200 hingga 300 mW. Keuntungan argon
laser lamp adalah polimerisasi seragam dan tidak terpengaruh oleh jarak,
kedalaman pengeringan yang lebih baik dicapai dengan cahaya ini, tingkat
polimerisasi lebih tinggi dengan bayangan gelap dibandingkan dengan
lampu halogen konvensional, serta kecil dan portabel. Kekurangan argon
laser lamp adalah dapat mempengaruhi restorasi yang berdekatan,
kemungkinan kerusakan pulp dapat terjadi karena kenaikan suhu, dan
kurang efektif untuk polimerisasi warna yang lebih gelap (Garg dan Garg,
2015).
Aplikasi komposit berdasarkan instrument yang digunakan terdiri dari hand
instruments, composite gun, dan syringe (Garg dan Garg, 2015).
1) hand instruments digunakan untuk menempatkan komposit biasanya terbuat
dari bahan pelapis dengan Teflon agar komposit tidak menempel pada
instrumen. Instrumen ini sederhana dan mudah digunakan tetapi masalah
udara yang terperangkap selama pemasangan komposit dapat terjadi.
2) composite gun terbuat dari plastik yang biasanya digunakan dengan ampul
berisi komposit. Untuk penggunaan, kompul komposit dipasang di pistol dan
tekanan diterapkan sehingga komposit keluar dari ampul.
3) Syringe: Syringe komposit biasanya mengandung komposit dengan
viskositas rendah yang dapat dengan mudah mengalir melalui jarum. Teknik
ini memiliki keuntungan mudah untuk pengaplikasian komposit dengan
kemungkinan kecil terjadinya udara yang terjebak. Terlepas dari lokasi
restorasi, komposit harus ditempatkan dan dipolimerisasi secara bertahap
untuk memastikan polimerisasi terjadi sempurna dari seluruh massa komposit
dan membantu pembentukan anatomi restorasi. Setiap penambahan tidak
boleh lebih dari 2 mm, karena sulit untuk dilakukan curing dan menghasilkan
lebih banyak tegangan penyusutan polimerisasi.

Aplikasi komposit berdasarkan penempatan komposit terdiri dai teknik


incremental dan teknik bulk fill.
1) Teknik incremental
Teknik ini didasarkan pada polimerisasi lapisan komposit berbasis
resin dengan ketebalan kurang dari 2 mm (Garg dan Garg, 2015).
Kelebihan teknik incremental adalah sebagai berikut.
- Teknik ini membantu untuk mencapai kualitas marginal yang baik
(Garg dan Garg, 2015).
- Mencegah deformasi dinding preparasi (Garg dan Garg, 2015).
- memastikan polimerisasi lengkap dari komposit berbasis resin
- penambahan lapisan komposit dentin dan enamel menciptakan lapisan
dengan difusi tinggi yang memungkinkan transmisi cahaya optimal di
dalam restorasi, sehingga meningkatkan estetika dan dapat mencegah
pembentukan celah yang diakibatkan oleh tekanan pada saat
polimerisasi dan dapat menghasilkan ikatan yang lebih baik antara resin
komposit dan jaringan gigi (Garg dan Garg, 2015).
- Penumpatan dan penyinaran resin komposit secara inkremental akan
membuat faktor C dari setiap lapisan akan terjadi peningkatan kekuatan
ikatan yang akan menghasilkan ikatan yang lebih baik antara resin
komposit dengan dinding kavitas, sehingga hasil tumpatan akan lebih
baik. Sehingga salah satunya banyak digunakan pada proses tumpatan
terutama tumpatan posterior dan konfigurasi pada kavitas atau faktor C
(Summit dkk, 2006).
Kekurangan teknik incremental adalah kemungkinan terjadinya
kontaminasi diantara lapisan, kegagalan bonding diantara lapisan,
kesulitan dalam penempatan bahan restorasi karna terbatasnya akses pada
preparasi, serta diperlukannya waktu yang lebih banyak untuk
menempatkan dan mempolimerisasikan setiap lapisan (Lovan dkk, 2011).
Macam-macam teknik incremental adalah sebagai berikut (Garg dan Garg,
2015).
a) Horizontal Technique, teknik dilakukan dengan membentuk lapisan
oklusogingiva dilakukan. Biasanya diindikasikan untuk restorasi kecil.
Teknik ini meningkatkan faktor C.
b) U-shaped Layering Technique, komposit ditempatkan di bagian dasar,
baik gingiva maupun oklusal kemudian dilanjutkan dengan horizontal
dan obliq terakhir dilakukan curing dari semua sisi.
c) Vertical Layering Technique, pola vertikal mulai dari satu dinding,
misalnya bukal atau lingual dan dibawa ke dinding lain, polimerisasi
dari belakang dinding, yaitu jika riap bukal ditempatkan pada dinding
lingual, maka curing dari luar dinding lingual. Kelebihan dari Teknik
ini adalah mengurangi celah pada dinding gingiva yang terbentuk
karena penyusutan polimerisasi, sehingga menimbulkan sensitivitas
pasca operasi dan karies sekunder.
d) Oblique Technique, komposit ditempatkan secara obliq untuk
mencegah deformasi dinding preparasi. Teknik ini dilakukan untuk
mengurangi faktor C. polimerisasi dimulai terlebih dahulu dinding
preparasi dan kemudian dari permukaan oklusal. Teknik ini
mengarahkan vektor polimerisasi menuju permukaan perekat, ini
adalah polimerisasi tidak langsung teknik.
e) Three-site Technique, vektor polimerisasi diarahkan ke margin gingiva.
Teknik ini menggunakan matriks yang jelas dan irisan reflektif.
f) Successive Cusp Build-up Technique, penambahan komposit pertama
diterapkan pada satu permukaan dentin tanpa menyentuh dinding
preparasi yang berlawanan kemudian peletakan tiap komposit
berbentuk baji. Teknik ini meminimalkan faktor C dalam preparasi gigi
tiga dimensi.
2) Teknik bulk fill
Teknik bulk fill sering dipilih karena waktu yang lebih efisien dengan
aplikasi penempatan bahan restorasi kedalam seluruh kavitas diisi dalam satu
kali tumpatan kemudian dilanjutkan dengan penyinaran (Christensen, 2012).
Resin komposit tipe bulk-fill merupakan modifikasi dari resin komposit
packable dengan sediaan padat (sculpatable) dan cair (flowable). Resin
komposit bulk-fill mempunyai kelebihan shrinkage yang rendah dan dapat
dipolimerisasi dengan kedalaman penyinaran hingga 4 mm dengan teknik
bulk sehingga dapat mempercepat waktu pengerjaan. Translusensi yang
tinggi pada tipe bulk-fill membantu photon berpenetrasi lebih dalam dan
mengaktifkan photo initiator pada lapisan dalam, sehingga tipe bulk-fill, dapat
ditumpat dengan kedalaman 4 mm (Nurhapsari, 2016).
Kekurangan dari teknik bulk fill adalah teknik ini dilakukan dengan
sekali penumpatan dan penyinaran sehingga mudah terjadinya penyusutan
polimerisasi, polimerisasi akan mempengaruhi hasil dari bahan restorasi dan
sifat mekanik dari hasil tumpatan (Christensen, 2012)

Resin komposit yang diaktivasi sinar akan mengalami pengerutan


polimerisasi ke arah sumber sinar. Pengerutan polimerisasi berhubungan dengan
c-faktor (faktor konfigurasi). Cavity configuration atau C-factor merupakan
perbandingan antara permukaan yang berikatan dengan permukaan bebas.
Semakin luas permukaan terikat, kontraksi akan semakin besar. Ukuran partikel
dan komposisi matriks resin mempengaruhi besarnya pengerutan atau
penyusutan dan modulus elastisitas bahan (Sari dkk., 2016). Semakin tinggi C-
factor maka semakin tinggi potensi terjadinya pengerutan polimerisasi (Ahsanti
dkk., 2019).
Faktor C memainkan peran penting ketika preparasi gigi meluas ke
permukaan akar menyebabkan pembentukan celah berbentuk 'V' antara komposit
dan permukaan akar karena penyusutan polimerisasi. Hal ini menyebabkan
degradasi marginal, kebocoran mikro, pewarnaan, dan retakan email. Kelas I dan V
memiliki faktor C tertinggi (paling tidak menguntungkan) dan dengan demikian
lebih berisiko terhadap efek penyusutan polimerisasi. Daerah yang sangat rentan
terhadap celah mikro adalah dinding gingiva pada restorasi Klas II dan Klas V.
Restorasi Klas V sering mengalami kegagalan karena sedikitnya enamel yang
terdapat pada servikal gigi. Pada kavitas Klas V, sebagian dari restorasi menutupi
email dan sebagian lagi menutupi dentin. Email dan dentin memiliki karakteristik
komposisi yang berbeda, yaitu dentin mengandung air yang lebih banyak sehingga
dentin menjadi lembab. Adanya air di dalam dentin akan menurunkan tenaga
permukaan dan mencegah bahan adhesif untuk membentuk suatu retensi mekanis
yang baik. Oleh karena itu, celah mikro dapat terjadi pada restorasi Klas V (Garg
dan Garg, 2015).

Cara pengaplikasian komposit adalah dari permukaan labial dan ditekan


ringan ke arah palatal agar menyebabkan ekspansi bagian proksimal sesuai dengan
titik kontak yang diharapkan. Wooden wedge digunakan untuk membentuk bagian
proksimal dengan cara menekan bagian interdental sehingga dapat membentuk
kontur anatomis pada bagian interdental (Ariningrum, 2001).
Perawatan alternatif yang dapat dilakukan untuk kasus restorasi Klas IV yaitu
dengan teknik mock-up. Mock-up adalah teknik restorasi dimana bertujuan untuk
mendapatkan gambaran yang semirip mungkin dengan hasil akhir yang
direncanakan dan mengetahui hasil akhir yang akan dicapai (Bunashi, 2011).
Beberapa keuntungan menggunakan teknik mock-up adalah sebagai berikut (Gupta
dkk., 2011).
1) Pasien dapat mengetahui hasil restorasi yang akan dicapai karena sesuai
dengan outline gigi yang dibuat dokter gigi,
2) Pemasangan mock-up mudah diadaptasikan sehingga tidak perlu penyesuaian
bagian palatal dan insisal gigi lagi,
3) Tidak memerlukan waktu yang banyak saat aplikasi komposit. Pada teknik
konvensional sering memerlukan waktu yang lama dalam penyesuaian bentuk
palatal, labial, insisal, mesial, distal gigi saat aplikasi komposit.
Adapun kerugian menggunakan teknik mock-up adalah sebagai berikut
(Bunashi, 2011).
1) Membutuhkan waktu lebih dari satu kali kunjungan
2) Apabila terjadi kesalahan saat pencetakan dengan double impression harus
diulangi lagi,
3) Biaya yang reatif mahal dibandingkan dengan teknik konvensional
Indikasi mock up adalah terjadi pada satu gigi atau lebih yang mengalami gigi
patah, restorasi berubah warna, gigi pendek, abrasi karena sikat gigi, bila ingin
menganti bentuk gigi kaninus menjadi bentuk gigi insisivus lateral, peg shape
insisivus, tektur permukaan gigi tidak baik, lesi karies multiple, dan dekalsifikasi,
Kontraindikasi mock up adalah gigi dengan pembentukan email tidak sempurna,
gigi berjejal, oklusi edge to edge, gigi labio versi, dan penderita dengan kebiasaan
buruk seperti clenching atau bruxism.
Tahapan-tahapan mock-up ialah sebagai berikut (Bunashi, 2011).
a. Membuat model kerja gigi dengan melakukan pencetakan gigi rahang atas
dan bawah menggunakan alginat dan pengecoran dengan gips stone, dan
model kerja tersebut dapat ditanam di artikulator
Gambar. Pembuatan model kerja

b. Membuat outline gigi (meliputi permukaan labial, incisal, dan lingual/palatal)


menggunakan malam pada model kerja

Gambar. Pembuatan outline gigi dengan malam


c. Model kerja dicetak dengan double impression hanya pada bagian gigi yang
akan direstorasi dan sekitarnya meliputi gigi tetangganya dan jaringan lunak
sekitarnya, serta cetakan harus tebal dan kaku.
d. Cetakan mock-up tersebut dirapikan hingga menyisakan struktur bagian
palatal dan insisal gigi

Gambar. Menyisakan cetakan bagian palatal dan insisal


e. Pembuatan bevel pada email dengan lebar 0,2 – 0,5 mm dengan bur fissure

Gambar. Pembuatan bevel


f. Aplikasikan etsa pada email menggunakan microbrush lalu biarkan selama 20-
30 detik. Kemudian bilas dan keringkan dengan semprotan udara sampai frosty
white (dentin lembab dan email terlihat putih lembab)

Gambar. Aplikasi Etsa


g. Aplikasikan bonding pada kavitas menggunakan microbrush, biarkan selama
20 detik agar meresap ke porusitas. Kavitas diangin-anginkan dengan
semprotan udara selama 1-2 detik.

Gambar Aplikasi Bonding


h. Melakukan penyinaran dengan LED selama 10 detik.
Gambar. Penyinaran dengan LED

i. Pasang mock up pada gigi dan aplikasikan resin komposit menggunakan plastis
instrumen dari arah labial selapis demi selapis lalu sinari 20 detik sedekat
mungkin dengan bahan sampai memenuhi kavitas. Perhatikan warna email dan
dentin

Gambar. Penyesuaian dengan gigi

Gambar. Aplikasi komposit


Gambar. Aplikasi komposit dan penyesuaian dengan gigi

a. Mock up dilepas, finishing dan polishing

Gambar Mock up dilepas

Gambar. Hasil akhir restorasi dengan teknik mock up

Matriks harus memiliki syarat-syarat, diantaranya harus sangat tipis tetapi


mampu menahan tekanan saat bahan restorasi diaplikasikan, harus fleksibel, cukup
kaku, dan kompatibel dengan bahan restoratif. Secara umum matriks
diklasifikasikan berdasar pada bahannya, yaitu matriks metal dan matriks plastik
transparan (Torres, 2013).
a. Matriks Metal
1) Circumferential metallic matrix
a) Straight bands berupa pita datar yang tersedia dalam dua ketebalan, 0,03
mm (0,0015 inci) atau 0,05 mm (0,002 inci), dan dua tinggi, 5 mm
diindikasikan untuk gigi dengan mahkota klinis yang lebih pendek dan
7 mm untuk gigi dengan mahkota yang lebih panjang. Matriks ini perlu
dipotong sesuai ukuran untuk mengelilingi gigi (Torres, 2013).
b) Straight bands dengan panjangnya 7 cm dan lebar bervariasi untuk
ukuran mahkota yang berbeda. Matriks ini beradaptasi dengan dinding
gingiva ke daerah serviks (Torres, 2013).
2) Sectional metallic matrix
Matriks ini hanya mengelilingi satu permukaan proksimal selama restorasi
dengan bentuknya yang kecil memiliki ketebalan tertentu dalam menempati
suatu ruang lebih spesifik (Torres, 2013).
3) Metallic cervical matrix
Matriks ini digunakan pada restorasi chemical curing kelas 5 untuk
membantu adaptasi dalam kavitas. Matriks ini jarang digunakan karena
kebanyakan dokter gigi melakukan perawatan dengan light cured (Torres,
2013).

Gambar Matriks Metal; a. Straight bands, b. Straight bands, c. Sectional metallic


matrix, d. Metallic cervical matrix

b. Matriks Plastik Transparan


1) Circumferential plastic matrix
Matriks ini disebut straight polyester strip yang mengelilingi gigi dengan
betuk strip datar dan transparan yang digunakan pada restorasi gigi anterior
(Torres, 2013).
2) Special plastic matrix
mahkota gigi memiliki beberapa ukuran untuk disesuaikan dengan
kebanyakan mahkota gigi (Torres, 2013).
Gambar Matriks Metal; a. Circumferential plastic matrix, b. Special plastic matrix

3. Preparasi
Keberhasilan suatu perawatan restorasi untuk dapat bertahan dalam waktu
yang cukup lama di dalam rongga mulut ditentukan oleh desain preparasi kavitas
yang mempunyai prinsip preparasi (Summitt dkk., 2001).
a. Outline form
Tahapan setelah pemilihan warna yaitu tahap preparasi yang diawali
dengan penentuan outline. Bentuk outline preparasi berbeda setiap kelas dan
terbatas pada luasnya karies serta akses untuk menghilangkan jaringan karies.
Pada beberapa kasus titik kontak tidak perlu dihilangkan (Hilton dkk., 2013).
Preparasi awal dilakukan untuk mengambilan jaringan karies biasanya dari arah
lingual menggunakan round bur. Lesi yang sudah meluas hingga kebagian labial
atau kondisi gigi yang crowding preparasi dilakukan dari arah labial dan
dilakukan seminimal mungkin dengan menggunakan pear shaped carbide bur
atau diamond bur. Pengambilan jaringan karies yang berbatasan dengan enamel
dapat menggunakan round bur dengan kecepatan tinggi, sedangkan karies yang
berbatasan dengan dentin dapat dihilangkan menggunakan round bur dengan
kecepatan rendah atau menggunakan eskavator. Karies yang terletak pada
proksimal gigi dan meluas pada daerah servikal hingga ke titik kontak tidak
diperlukan preparasi tambahan secara berlebihan untuk mendapatkan retensi
(Hilton dkk., 2013).
Outline form merupakan margin preparasi akan ditempati pada preparasi
gigi akhir kecuali untuk finishing dinding dan margin email. Outline form
meliputi outline form eksternal dan internal. Outline form eksternal dibuat
terlebih dahulu untuk memperluas semua margin ke jaringan gigi yang sehat
yang terdiri dari kurva halus, garis lurus dan garis bulat dan sudut titik, serta
enamel yang tidak ditopang oleh dentin dan juga enamel yang mengalami
demineralisasi harus dilepas karena dapat menyebabkan fraktur. Outline form
dibuat preparasi minimal dengan mempertahankan kedalaman 1,5 sampai 2,0
mm, dari tepi cavosurface ke lantai pulpa kurang lebih 0,2 sampai 0,5 mm untuk
memberikan kekuatan menahan fraktur akibat gaya pengunyahan (Garg dan
Garg, 2015).
b. Resistance form
Resistance form merupakan bentuk preparasi sehingga memungkinkan
gigi dan restorasi menahan, tanpa patah, tekanan gaya pengunyahan yang
diberikan terutama di sepanjang sumbu panjang gigi (Garg dan Garg, 2015).
c. Retention form
Retention form merupakan bentuk preparasi sehingga memungkinkan gigi
menahan perpindahan atau pelepasan restorasi dari gaya saat mastikasi.
Restorasi komposit besarnya retensi dikaitkan dengan ikatan mikromekanis
antara struktur gigi yang telah dietsa dan dipreparasi dengan membentuk bevel
pada enamel (Garg dan Garg, 2015).
d. Convenience form
Convenience form merupakan bentuk preparasi sehingga dapat
memfasilitasi dan memberikan visibilitas yang memadai, aksesibilitas, dan
kemudahan selama persiapan dan restorasi gigi. Perluasan yang cukup dari
dinding distal, mesial, wajah atau lingual untuk mendapatkan akses yang
memadai ke bagian preparasi yang lebih dalam. Margin permukaan kavitas dari
preparasi harus terkait dengan material restoratif yang dipilih untuk tujuan
kenyamanan dan adaptasi marginal (Garg dan Garg, 2015).
e. Removal of caries
Hapus enamel yang tidak didukung dengan diamond bur, akses lesi
proksimal melalui permukaan oklusal, hanya medial ke ridge marginal yang
relevan. Setelah akses diperoleh ke dentin yang terinfeksi proksimal, hapus ridge
marginal yang rusak dengan excavator atau bur. Ekskavasi karies dentin perifer
ke dentin yang terkena. Tinggalkan tepi enamel yang sehat, bevel jika
memungkinkan / hindari trauma papilla gingiva (Banerjee dan Watson, 2015).
f. Finish of the enamel wall
Finishing of enamel wall dilakukan dengan cara menghaluskan dan
meratakan dinding kavitas (Summitt dkk., 2001).
g. Toilet of cavity
Toilet of Cavity dilakukan dengan membersihkan kavitas dari debris,
cairan darah, saliva dll yang akan meningkatkan adaptasi bahan restorasi
(Summitt dkk., 2001). Cavity cleanser merupakan pembersih kavitas yang dapat
menghilangkan debris, sisa dentin yang dipreparasi, darah, bakteri dan
denaturasi kolagen yang terbentuk karena preparasi gigi (Hansen dkk., 1984).
Cavity cleanser yang ideal harus memiliki tingkat toksisitas yang rendah atau
sama sekali tidak memiliki toksisitas terhadap sel pulpa (Lessa dkk., 2010).
Cavity cleanser yang biasa digunakan dalam kedokteran gigi yaitu
chlorehexidine diglukonat, larutan kalsium hidroksida Ca(OH)2, EDTA
(Ethylene Diamine Tetraacetid Acid), dan sodium hipoklorid (NaOCl)
(Mulyawati, 2011). Aplikasi toilet of cavity pada umumnya menggunakan
chlorhexidine gluconate 0,2% yang diaplikasikan dengan menggunakan
mikrobrush pada kavitas kemudian didiamkan selama 10 detik dan dikeringkan
hingga moist.
Nomenklatur pada preparasi kelas IV terdiri dari 11 sudut garis (line angles)
dan 6 sudut titik (point angles) (Garg dan Garg, 2015).
Line angles Point angles
▪ Faciogingival ▪ Axiofaciopulpal point angle
▪ Linguogingival ▪ Axiolinguopulpal point angle
▪ Mesiofacial ▪ Axiofaciogingival point angle
▪ Mesiolingual ▪ Axiolinguogingival point angle
▪ Mesiopulpal ▪ Distofaciopulpal point angle
▪ Faciopulpal ▪ Distolinguopulpal point angle.
▪ Linguopulpal
▪ Axiogingival
▪ Axiolingual
▪ Axiofacial
▪ Axiopulpal.
Bevel adalah suatu potongan yang dibuat pada tepi cavosurface angle dinding
email (Roberson dkk., 2013). Tujuan dari bevel adalah untuk membantu adaptasi
bahan restorasi dengan permukaan gigi. Tipe-tipe bevel terbagi menjadi sebagai
berikut (Garg dan Garg, 2015).
a. Ultrashort or partial bevel
▪ melibatkan kurang dari 2/3 ketebalan enamel
▪ untuk memotong enamel rods pada margin preparasi
▪ tidak digunakan pada restorasi rigid kecuali untuk menghilangkan jaringan
email dari batas margin
▪ Digunakan untuk tipe I casting alloys.
b. Short bevel
▪ Melibatkan seluruh email tapi tidak melibatkan dentin.
▪ Sebagian besar digunakan untuk restorasi dengan tipe I dan II casting
alloys.
c. Long bevel
▪ Melibatkan seluruh enamel penuh dan ≤ 1/2 ketebalan dentin.
▪ Mempertahankan resistensi dan retensi pada preparasi
▪ digunakan pada preparasi resin komposit terutama karena memberikan
fracture toughness yang baik, selain itu lebih estetik karena memberikan
gradasi warna yang baik antara tambalan dan gigi.
▪ Digunakan utuk cast gold alloys tipe I, II dan III.
d. Full bevel
▪ melibatkan seluruh dinding enamel dan dentin
▪ menghilangkan retensi internal
▪ Biasanya digunakan pada preparasi inlay
▪ Full bevel harus dihindari kecuali pada beberapa kasus yang
mengharuskan.
e. Hollow ground (concave) bevel
▪ berbentuk cekung dan bukan merupakan bevel dalam arti sebenarnya
▪ Jarang digunakan
▪ dahulu digunakan pada teknik penambalan resin komposit pada gigi
anterior karena fungsinya untuk memberikan massa material yang cukup
untuk menerima beban kunyah yang diterima tambalan
f. Counter bevel
▪ digunakan saat ada penutupan cusp (pembuatan crown) untuk melindungi
dan mendukung cusp
▪ bevel yang condong ke arah gingiva yang dibuat berlawanan dengan
dinding aksial dari perparasi (pada permukaan fasial atau lingual dari gigi)
g. Reverse atau inverted bevel
▪ berbentuk inverted atau terbalik dengan bagian tajam menghadap gingiva
/ mengarah ke akar gigi.
▪ pada gigi posterior biasanya digunakan pada preparasi MOD untuk
restorasi logam tuang, untuk mencegah bergeraknya restorasi tuang dan
meningkatkan resistensi dan retensi.
Klasifikasi berdasarkan permukaan ditempatkannya bevel (Roberson dkk., 2013).
a. Gingival bevel :
o pembuangan jaringan email yang tidak ada dukungan dentin
o pada gingival margin akan terbentuk sudut 30o yang dapat dipoles karena
design angularnya
o untuk meingkatkan kesesuaian dari restorasi logam tuang
b. Occlusal bevel :
o untuk memenuhi syarat dinding kavitas ideal
o hanya sedikit melibatkan gigi dan tidak menghilangkan resistensi dan
retensi dari restorasi
c. Functional cusp bevel :
- menyediakan ruangan untuk logam yang adekuat di area yang mempunyai
kontak oklusal yang besar

Ada 2 jenis bevel yang baru diperkenalkan oleh Fahl yaitu infinity bevel
(Gambar 3) dan starburst bevel (Gambar 4). Preparasi infinity bevel dimulai 0,5
mm ke dalam dentin dan dilakukan 2 – 2,5 mm melewati garis fraktur. Sedangkan
starburst bevel adalah bevel yang berbeda panjang, kedalaman, dan volumenya
pada setiap bevel, bentuknya mirip dengan sinar dari bintang (Pennington dan
Parker, 2012).

Infinity bevel
Starburst bevel

Bevel yang dilakukan pada restorasi klas II GV Black diantaranya dilakukan


pada daerah oklusal, disto/ mesial fasial dan lingual line angle axiopulpa line angle,
dan axiogingiva line angle. Bevel dengan long bevel sehingga bahan restorasi
cukup kuat saat oklusi. Daerah axiogingiva line angle dilakukan dengan bevel slight
dengan kemiringan 15-100.
Pemberian bevel pada restorasi kelas IV sangat penting karena selain sebagai
retensi tambahan untuk meningkatkan luas permukaan yang akan dietsa sehingga
meningkatkan luas permukaan untuk tempat penetrasi bahan restorasi juga dapat
meningkatkan nilai estetik karena transisi gigi asli dengan resin komposit dapat
terlihat natural. Pada kasus trauma jika fragmen gigi masih ada, dapat dilakukan
perlekatan kembali dengan pembuatan bevel dan dilakukan manipulasi restorasi
komposit. Perlekatan fragmen gigi sering kali memberikan hasil yang lebih estetik
karena lebih terlihat natural (Hilton dkk., 2013).
Pada permukaan labial pembuatan bevel yang lebih panjang akan
memberikan kesan natural dan estetik yang lebih baik karena transisi dari gigi asli
dan komposit terlihat alami. Bevel pada bagian labial biasanya dengan angulasi 60º
dengan panjang 2-3 mm. Bevel dibuat dengan flame bur dan dicampur dengan
medium-grit polishing disk untuk membentuk sudut tajam yang sesuai dengan
kebutuhan. Pada bagian lingual bevel lebih pendek dibandingkan dengan bagian
labial yaitu terbatas pada panjang sekitar 1 mm dengan angulasi 45º dengan flame
bur. Bevel yang lebih dalam diperlukan pada daerah yang terpapar beban oklusal
untuk memberikan kekuatan perlekatan yang memadai. Lesi pada daerah servikal
yang tidak dibatasi dengan enamel tidak perlu diberi bevel (Hilton dkk., 2013).
Bevel yang digunakan pada restorasi kelas 4 adalah long bevel yang dibuat
pada bagian cavosurface antara dinding palatal/lingual dan mesial/distal dengan
menggunakan tapper fissure bur. kemudian untuk menambah estetik pada bagian
fasial dibuat infinity bevel (menggunakan abrasive disk) atau starburst bevel
(menggunakan tapper fissure bur).
Restorasi gigi anterior (kelas III dan IV) memiliki tahapan preparasi yang
hampir sama. Terdapat beberapa tipe preparasi untuk kelas IV antara lain
konvensional, konvensional bevel, dan direct komposit veneers. Tipe preparasi
konvensional bertujuan untuk membentuk preparasi seminimal mungkin kecuali
pada area margin dan daerah permukaan akar. Preparasi ini memerlukan bevel jika
karies meluas, sehingga ketika struktur gigi banyak yang hilang perlu ditambahkan
retensi pada groove dan pada daerah dengan tekanan yang tinggi. Bevel yang dibuat
bertujuan untuk mendapatkan permukaan yang lebih besar untuk pelapisan etsa
agar memperkuat perlekatan antara komposit dan gigi (Dewiyani, 2017).

4. Prosedur restorasi komposit


Prosedur restorasi komposit klas IV adalah sebagai berikut.
1) Komunikasikan kepada pasien mengenai rencana perawatan yang akan
dilakukan, bila pasien menyetujui maka dilanjutkan dengan pembuatan
inform consent
2) Persiapan alat bahan
Alat Bahan
Diagnostik set cotton pelet dan cotton roll

Bur Etsa

Rubber dam Bonding


Light cure Microbrush

Finishing disk Shade guide

Matrix band

3) Pemilihan warna
Pemilihan warna komposit dengan menggunakan shade guide. Pencocokan
warna harus dilakukan di siang hari. Warna dentin dipilih dari sepertiga
serviks gigi, dan warna enamel dipilih dari sepertiga insisalnya. Untuk
mengkonfirmasi bayangan akhir, sedikit tambahan komposit yang dipilih
ditempatkan berdekatan dengan area yang akan direstorasi dan kemudian
light curing untuk pencocokan (Garg dan Garg, 2015).

4) Preparasi
Tipe preparasi pada kelas IV terdisi dari 3 macam, yaitu
a) Konvensional
Membentuk preparasi seminimal mungkin, kecuali pada area margin
dan daerah permukaan akar. Preparasi konvensional pada kelas IV dengan
karies yang luas memerlukan bevel, sedangkan preparasi modifikasi bisa
untuk kelas IV dengan karies yang kecil. Jika struktur gigi banyak yang
hilang, retensi groove merupakan indikasi dan memberikan tambahan retensi
pada daerah dengan tekanan yang tinggi. Bevel pada email bertujuan
mendapatkan permukaan yang lebih besar untuk pelapisan etching,
menghasilkan ikatan yang kuat antara komposit dengan gigi. Agar
mendapatkan resistensi yang tepat, preparasi dinding dibuat untuk menahan
tekanan kunyah atau kekuatan pada oklusal. Daerah cavosurface bagian
preparasi dinding proksimal dan lingual dihaluskan membentuk sudut 90⁰ dan
merupakan bagian dari preparasi secara konvensional. Bevel di bagian
dinding gingival dipreparasi tegak lurus dengan gigi. Disarankan
menggunakan restorasi boks untuk retorasi gigi yang fraktur dan terkena
tekanan kunyah (Dewiyani, 2017).
b) Konvensional bevel restorasi kelas IV
Konvensional bevel pada restorasi kelas IV diindikasikan untuk
preparasi daerah proksimal yang lebar dan daerah incisal pada gigi anterior.
Pelapisan etching dilakukan pada margin email. Retensi pada restorasi
komposit dengan tipe preparasi konvensional bevel preparasi kelas I,
diperoleh dari groove atau dovetail yang merupakan tahap akhir dari restorasi.
Undercut pada gingival dan incisal bisa menjadi indikasi untuk preparasi
kelasi IV yang besar dan biasanya dilakukan juga untuk kelas III (Dewiyani,
2017).

c) Preparasi Gigi Modifikasi (Konservatif)


Preparasi kelas IV yang dimodifikasi dilakukan pada lesi kelas IV kecil
atau untuk pengobatan cacat traumatis kecil. Tujuan, teknik, prosedur dan
instrumen yang digunakan untuk preparasi ini identik dengan preparasi kelas
III. Persiapan untuk modifikasi sediaan kelas IV harus dilakukan secara
konservatif tanpa menghilangkan struktur gigi normal (Garg dan Garg, 2015).

5) Pemasangan isolasi pada daerah kerja dengan menggunakan rubberdam.


6) Pemasangan seluloid tip akan membantu bahan restorasi menjangkau bagian
proksimal
7) Etsa pada kavitas dengan asam fosfat 37 % selama 20 detik pada enamel dan
15 detik pada dentin, cuci selama 15 detik, keringkan sampai moist
8) Aplikasi bonding pada enamel 15 detik dan 10 detik pada dentin dengan
menggunakan mikrobrush kemudian sinari dengan light curing selama 20
detik.
9) Aplikasi bahan resin composite ke kavitas, sinari dengan light curing selama
20 detik.
10) Finishing dan polishing
Beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu penentuan panjang insisal.
Incisal edge dibuat sedikit membulat pada sudut mesioinsisal dan distoinsisal.
Bagian fasial dan lingual juga perlu diperiksa menggunakan kaca mulut agar
mengetahui apakah terdapat bahan restorasi yang berlebihan. Pembulatan
pada marginal ridge dilakukan dengan abrasive disk dengan kecepatan
rendah sementara stone round digunakan untuk membuat kontur cekung pada
bagian lingual. Pemeriksaan oklusi dilakukan menggunakan articulating
paper yang bertujuan untuk melihat adanya kontak premature (Ariningrum,
2001).
Finishing menggunakan bur abrasive disk pada bagian fasial,
proksimal, kemudian palatal untuk membentuk marginal ridge. Finishing
dilanjutkan dengan penggunaan diamond bur pita kuning pointed end tapper
fissure bur (pada bagian servikal), tapper fissure bur (pada bagian labial), dan
flame bur (pada bagian palatal). Polishing dilakukan dengan menggunakan
polishing bur composite bentuk disk/ rubber (pada bagian labial), bentuk
point (pada bagian palatal). Polishing juga dapat dilakukan dengan bur
polishing composite yang berbentuk twist. Terakhir untuk menghaluskan
bagian proksimal dapat menggunakan finishing strip.
Polishing dilakukan dengan polish stone berbentuk round dan
dihaluskan dengan disk fine grit atau finishing strip. Selanjutnya permukaan
gigi diolesi dengan glaze agar permukaan menjadi mengkilat (Ariningrum,
2001).

Tahapan setelah restorasi selesai yaitu dilakukan pemolesan dengan


abrasive disk grit berurutan (Soft-Lex Pop on, 3M), polishing dilakukan
menggunakan rubber point dan untuk finishing menggunakan feltcon disk dan
pasta poles.

Gambar. Finishing dan polishing tumpatan dengan abrasive disk (a), instrumen
fine diamond rotary (b, c), rubber point (d), dan feltcon disk dengan pasta
polishing (e).
B. LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 15 tahun

2. Hasil Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Subyektif :
CC : pasien mengeluhkan gigi kanan atasnya yang patah
PI : pasien tidak percaya diri dengan giginya yang terlihat patah
PDH : tidak disebutkan dalam kasus
PMH : tidak disebutkan dalam kasus
FH : tidak disebutkan dalam kasus
SH : tidak disebutkan dalam kasus
b. Pemeriksaan Ekstraoral :
Pasien dalam keadaan sehat dan tidak ada kelainan
c. Pemeriksaan Intraoral :
- Gigi 12 dan 11 fraktur kelas 2 menurut WHO yang melibatkan enamel
dan dentin, namun belum mencapai pulpa
- Gigi 12 dan 11 vitalitas positif dan tidak ada kelainan patologis
- Gigi 22 bagian mesial caries klas 3 GV Black.

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiografi tidak ada kelainan

3. Diagnosis
Diagnosis kasus tersebut adalah pulpitis reversibel pada gigi 12 dan 11.
4. Rencana Perawatan
Rencana perawatan pada kasus tersebut adalah direct restoration
composite.

5. Prosedur Perawatan
Kunjungan I
1) Pemeriksaan subjektif, objektif, dan pemeriksaan penunjang
2) Pemilihan warna menggunakan A2D dan A1E yang dilakukan pada siang
hari
3) Restorasi sementara dibuat untuk membentuk palatal silicon sebagai matriks
pada saat preparasi
4) Isolasi menggunakan rubber dam
5) Preparasi dengan membentuk bevel pada cavosurfaces enamel bagian
dengan menggunakan green-banded diamond burr (Acurata, Japan)

6) Kavitas diaplikasikan dengan asam fosfat 37% selama 15 detik, setelah itu
rongga dibilas dan dikeringkan perlahan dengan air syringe sampai
permukaan agak lembab. Kemudian aplikasi bonding dengan microbrush
dan light cure selama 20 detik.
7) Komposit A1E diaplikasikan tipis atau transparan untuk membentuk
permukaan palatal dengan bantuan palatal silicon
8) Agar jaringan dentin terlihat natural, incisal edge notch, labial surface
grooves dan mamellon dibentuk dengan menggunakan komposit A2D untuk
kedua gigi

9) Aplikasi komposit A1E pada bagian labial dilanjutkan dengan finihing dan
polishing

10) Edukasi kepada pasien untuk menjaga kebersihan rongga mulut, tidak makan
dan minum yang dapat menimbulkan pewarnaan pada gigi, serta instruksi
untuk kontrol

Kunjungan II
Kontrol satu tahun kemudian setelah perawatan, tidak ada sensitivitas
atau perubahan warna yang terdeteksi pada gigi atau restorasi.
C. Pembahasan
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi para peneliti mencoba untuk
mencari bahan restorasi yang ideal dengan struktur gigi alami, ketahanan terhadap
gaya oklusal, memiliki sifat fisik dan mekanik, serta estetik menyerupai dengan gigi
asli. Restorasi komposit banyak digunakan sebagai bahan tumpatan pada gigi
anterior karena kelebihannya sebagai estetik. Teknik three-step layering digunakan
untuk meniru struktur multi-lapis dari kondisi gigi asli dan tampak alami dengan
terlihat bayangan enamel dan dentin. Fraktur mahkota yang kompleks yang
membutuhkan rekonstruksi seluruh bagian dari mahkota yang hilang dengan tetap
memperhatikan resistensi dan estetik. Tidak adanya jaringan palatal mengharuskan
untuk membuat matriks dari palatal slikon agar mempermudah dalam membentuk
kontak proksimal dan kontak dengan gigi antagonisnya saat oklusi. Resistensi
didapatkan dari bentuk preparasi dengan membuang seminimal mungkin lapisan
enamel dan membentuk bevel pada cavosurface.
Daftar Pustaka

Adioro, S., 2006, Tensile Bond Strength of Hydroxyethyl Methacrylate (HEMA)


Bonding Agent to Bovine Dentine Surface at Various Humadity, Dental
Journal, 39(2): 54-69, 88-92, 103-128.
Ahsanti, A.A., Nurhapsari, A., Firdausy, M.D., 2019, Kebocoran Tepi Resin
Komposit Bulk Fill Setelah Aplikasi Bahan Desinfeksi Kavitas
Chlorhexidine Digluconate 2% Dan Alkohol 70% - Study In Vitro, ODONTO
Dental Journal, 6(1): 29-33.
Andlaw, R.J., Rock, W.P., 1992, Perawatan Gigi Anak, Widya Medika, Jakarta.
Anusavice, K.J., 2012, Phillips' Science of Dental Materials, Elsevier, United
States.
Ariningrum, R., 2001, Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari segi estetik
tumpatan komposit gigi anterior, JKGUI, 8(3): 24-34.
Bakar, A., 2012, Buku Kedokteran Gigi Klinis, CV Quantum Sinergis Media,
Yogyakarta.
Banerjee, A., Watson, T.F., 2015, Pickard’s Guide to Minimal Invasive Operative
Dentistry, Oxford University Press, London.
Bilqis, N.M., Erlita, I., Deby Kania Tri Putri, D.K.T., 2018, Daya Hambat Ekstrak
Bawang Dayak (Eleutherinepalmifolia (L.) Merr.) Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Lactobacillusacidophilus, Dentin Jurnal Kedokteran Gigi, 2(1): 26-
31.
Bunashi, A., 2011, Easy Esthetic Mock-up, e-Journal of Dentistry, 1: 104-106.
Chandki, R., Kala, M., 2011, Oral Sciences & Research Total Etch Vs Self Etch :
Still A Controversy, The Science Of Bonding, 38–42.
Christensen, G. J., 2012. Advantages and Challenges of Bulk-Fill Resins, Clinical
Report Foundation, 5 (1) : 1-6.
Dahniar, A., Santosa, P., Daradjati, S., 2014, Perbedaan Kebocoran Mikro Restorasi
Resin Komposit Packable menggunakan Bonding Total Etch, Self Etch Dan
Self Adhesive Flowable Dengan Resin Komposit Flowable Sebagai
Intermediate Layer Pada Dinding Gingival Kavitas Kelas II, Jurnal
Kedokteran Gigi, 5(2): 21-28.
Dey, S., Shenoy, A., Kundapur, S. S., Das, M., Gunwal, M., Bhattacharya, R. 2016.
Evaluation of the Effect of Different Contaminants on the Shear Bond
Strength of a Two-step Self-etch Adhesive System, One-step, Self-etch
Adhesive System and a Total-etch Adhesive System. J Int Oral Health.
8(3):378.
Dewiyani, S., 2017, Restorasi Gigi Anterior Menggunakan Teknik Direct
Komposit, Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi, 13(2): 5-9.
Fauziah, E., Hendrarlin S., 2008, Perawatan Fraktur Kelas Tiga Ellis Pada Gigi
Tetap Insisif Sentral Atas (Laporan Kasus), Indonesian Journal of Dentistry,
15 (2):169-174.
Fibryanto, E., 2020, Bahan Adhesif Restorasi Resin Komposit, JKGT, 2(1): 8-13.
Garg, N., Garg, A., 2015, Textbook of Operative Dentistry 3rd Ed., Jaypee Brothers
Medical Publishers, London.
Ghareecb, N.H., Dayem, R.N., Kamel, J.H., Qaizi, S.D., 2014, Evaluation of the
influanenca of three types of light curing systems on temperature rise, dept of
cure and degree of conversion of three resin based composite (an in vitri
study), Journal of interdisciplinary Med.Dent.Sc., 2(1): 1-7.
Ghom, S.A., Ghom, A.G., 2014, Text Book of Oral Medicine, Jaypee Brother
Medical Medical Publisher, New Delhi.
Grossman, Louis, I., 1995, Ilmu Endodontik dalam Praktek, EGC, Jakarta.
Gupta, N., Kathuria, N., Gulati, M., Metha, L. K., 2011, “Bonding”: Foundation of
Dentistry, Journal of Innovative Dentistry, 1(3).
Hansen, E.K., 1984, Effect Of Scotchbond Dependent On Cavity Cleaning, Cavity
Diameter And Cavosurface Angle, Euro. J Oral Sci, 92(2): 141–147.
Haryuni, R.F., Fauziah, E., 2018, Penatalaksanaan fraktur Ellis kelas II pada gigi
tetap muda, Indonesian Journal of Paediatric, 1(2): 166-172.
Hilton, T.J., Ferracane, J.L,, Broome, J.C., 2013, Summitt’s fundamentals of
operative dentistry. 4th ed., Quintessence Publishing Co Inc., China.
Irawan, J., 2018, Material resin komposit dan penggunaannya di kedokteran gigi,
Dentistry article.
Ireland, R., 2012, Clinical Textbook of Dental Hygtene and Therapy, Blackwell
Munksgaard, USA.
Istikharoh, F., 2018, Dental Resin Komposit: Teori, Instrumentasi, dan Aplikasi,
UB Press, Malang.
Lessa, F.C.R., Aranha, A.M.F., Nogueira, I., Giro, E.M.A., Hebling, J., Costa,
C.A.D.S., 2010, Toxicity of chlorhexidine on odontoblast-like cells. J Oral
Sci : Revista FOB, 18(1), 50–58.
Lessa, F.C.R., Aranha, A.M.F., Nogueira, I., Giro, E.M.A., Hebling, J., Costa,
C.A.D.S., 2010, Toxicity of chlorhexidine on odontoblast-like cells, J Oral
Sci: Revista FOB, 18(1), 50–58.
Lovan G., Stoleriu S., Moldovanu A., Morogai S., Adrian S., 2011, Sem Study of
Interface Between the Cavity Wall and Composite Resin in Cavities Filled
Using Vibration, Int J Med Dent.,1: 254-258.
Mahn, E., 2013, Clinical criteria for the succeful curing of composite material, Rev
Clin Periodontia Implantol Rehabil Oral, 6(3):148-53.
Manappallil, J.J., 2010, Basic Dental Materials. 3d Ed., Jaypee Brothers Medical
Publisher, New Delhi.
Mitchell, Laura, Mitchell, David, A., McCaul, Lorna, 2014, Kedokteran Gigi
Klinik, EGC, Jakarta.
Neri, Jiovanne, dkk., 2011, Efficacy of smear layer removal by cavity cleaning
solutions, anatomic force microscopy study, 26(3), 253–257.
Farani, W., Nurunnisa W., 2018, Distribusi Frekuensi Fraktur Gigi Permanen di
Rumah Sakit Gigidan Mulut Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Insisiva Dental Journal, 7(1): 28-36.
Nurhapsari, A., 2016, Perbandingan Kebocoran Tepi Antara Restorasi Resin
Komposit Tipe Bulk-Fill Dan Tipe Packable Dengan Penggunaan Sistem
Adhesif Total Etch Dan Self Etch, ODONTO Dental Journal, 3(1): 8-13.
Parihar, N., dan Pilania, M. 2012. Sem evaluation of effect of 37% phosphric acid
gel, 24% edta gel and 10% maleic acid gel on the enamel and dentin for 15
and 60 second: an in-vitro study, IDJSR, 1(2): 29-41.
Pary, C.F., Kristanti, Y., 2015, Perawatan Gigi Insisivus Lateralis Kanan Maksila
Fraktur Ellis Kelas III, MKGK, 1(2): 155-162.
Pennington, J., Parker, S., 2012, Compendium of Continuing Education in
Dentistry, AEGIS Communication, North America.
Pontes, L.F., 2013, Mechanical properties of nanofilled and microhybrid
composites cured by different light polymerization modes, General Dentistry,
61(3):30-33.
Puspitasari, D., 2014, Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit Pada Dentin
Dengan Sistem Adhesif Self Etch 1 Tahap (One Step) dan 2 Tahap
(TwoStep), J Ked Gigi, 2(1): 89–94.
Roberson, T.M., Heymaann, H.O., Swift J.E.J., 2018, Sturdevant's Art and Science
of Operative Dentistry 7 Ed., Mosby Inc., United States.
Roberson, T.M., Heymann H.O., Swift, E.J., 2013, Sturdevant’s Art & Science of
Operative Dentistry Ed. ke-6. Mosby, St. Louis.
Sahelangi, O.P., Narendra, I.O., Halim, S.F., 2010, Perbedaan Efek Sistem Bonding
Total Etch dan Self Etch Pada Kavitas Kelas II Yang Dilakukan Bevel dan
Tidak Pada Email Dinding Gingiva Restorasi Resin Komposit Terhadap
Kebocoran Tepi, Jurnal Kedokteran Gigi, 1(3): 164-169.
Sakaguchi, R.L., Power, J.M., 2012, Craig’s restorative dental material, Elseiver,
Mosby.
Sakaguchi, R.L., Powers, J.M., 2012, Craig's Restorative Dental Material. 13th
Ed., Elsevier. United States.
Sari, G.P.P., Nahzi, M.Y.I., Widodo, 2016, Kebocoran Mikro Akibat Efek Suhu
Terhadap Pengerutan Komposit Nanohybrid, Dentino Jurnal Kedokteran
Gigi, 1(2): 108-112.
Silva, C., Dias, K., 2009, Compressive strength of esthetic restorative material
polymerized with quartz-tungsten-halogen light and blue LED, Braz Dent J.,
20(1) : 54-57.
Summit J.B., Robbins W.J., Hilton T.J., Schwartz R., 2006, Fundamentals of
Operative Dentistry, Quintessence, China.
Summitt, J.B., Robbins, J.W., Schwartz, R.S., 2001, Fundamentals of Operative
Dentistry A Contemporary Approach, Quintessence, Chicago.
Sundari, I.,Triaminingsih, S., 2008, Kekuatan Rekat Restorasi Komposit Resin
Pada Permukaan Dentin Dengan Sistem Adhesif Self-Etch Dalam Berbagai
Temperatur, Ind J Dent.15(2): 254–260.
Tolidis, K., Boutsioukiu, C., Gerasimou, P., Balkan, 2011, Effect of composite
resin shade and LED light intensity on microhardnes, Balk J. Sto., 15:127-32.
Torres, C.R.G., 2013, Modern Operative Dentistry Principles for Clinical Practice,
Springer, Brazil
Walton, Richard, E., 2008, Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, EGC, Jakarta
Widyaningsih, V., Rahayu, Y.C., Barid, I., 2014. Peningkatan remineralisasi
enamel gigi setelah direndam dalam susu kedelai murni (Glycie max (L-)
Meriil) menggunakan scaning electron microscope (SEM). Artikel Ilmiah,
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember, Jember.

Anda mungkin juga menyukai