Anda di halaman 1dari 11

Struktur yang berhubungan dengan pondasi maksila dan mandibula edentulous

Jaringan yang mendukung gigi palsu rahang atas dan rahang bawah sangat penting untuk juga
membantu gigi palsu mendapatkan retensi dan stabilitasnya. Area jaringan/ regio tertentu pada
pondasi edentulous rahang atas dan rahang bawah yang lebih cocok untuk menahan tekanan akibat
pengunyahan disebut area bantalan stres (stress bearing areas). Area jaringan yang tidak cukup
untuk menerima tekanan ini, baik karena anatominya atau strukturnya terletak di bawah bantalan
stres dan disebut area penghilang stres (stress relief areas). Struktur yang membatasi perluasan gigi
tiruan lengkap rahang atas dan rahang bawah disebut daerah pembatas batas (border-limiting areas)
(Sarandha dkk., 2007).
Struktur yang berhubungan dengan pondasi maksila dan mandibula edentulous terdibagi
menjadi dua kategori:
1) Struktur pendukung: struktur yang menopang gigi tiruan. Struktur pendukung pada maksila
diantaranya residual alveolar ridge, Incisive papilla, rugae palatal, midpalatine raphe/
median raphe, maxillary tuberosity, dan fovea palatinae. Sedangkan struktur pendukung
pada mandibula adalah residual alveolar ridge, residual alveolar ridge, dan genial tubercle
(Sarandha dkk., 2007).
2) Struktur pembatas: struktur yang membatasi perluasan batas gigi tiruan rahang atas.
Struktur pembatas pada maksila diantaranya labial frenum, labial vestibule, buccal frenum,
buccal vestibule, hamular notch, dan daerah posterior palatal seal. Sedangkan struktur
pembatas pada mandibula adalah labial frenum, labial vestibule, buccal frenum, buccal
vestibule, masseteric notch area, retromolar pad, lingual frenum, sublingual crescent area
dan retromylohyoid space (Sarandha dkk., 2007).
METODE & PROSEDUR
Hubungan rahang secara vertikal merupakan hubungan antara rahang bawah dengan rahang
atas dalam bidang vertikal (Sarandha dkk., 2007).

Physiologic Rest Position


Posisi fisiologis istirahat (Physiologic Rest Position) adalah posisi postural mandibula ketika
individu beristirahat dengan nyaman dalam posisi tegak dan otot terkait berada dalam
keadaan aktivitas kontraktual minimal (Sarandha dkk., 2007).

Dimensi Vertikal (vertical dimension) adalah pengukuran vertikal wajah antara dua titik yang
dipilih secara sembarangan yang terletak satu di atas dan satu di bawah mulut di garis tengah
(Sarandha dkk., 2007).
Dimensi vertikal saat diam (vertical dimension at rest) adalah dimensi vertikal wajah dengan
rahang dalam posisi diam (Sarandha dkk., 2007).
Dimensi vertikal pada oklusi adalah dimensi vertikal wajah ketika gigi atau pelek oklusal
bersentuhan pada oklusi sentris (Sarandha dkk., 2007).
Freeway space: Ini adalah perbedaan antara dimensi vertikal saat diam dan dimensi vertikal
saat oklusi (Sarandha dkk., 2007).
Metode untuk menentukan dimensi vertikal yaitu metode konvensional dan antropometri
(Chairani dan Rahmi, 2016).
1. Metode konvensional
Metode konvensional secara garis besar dibagi atas metode mekanik dan fisiologis.
Semua hasil perkiraan pengukuran DVO secara mekanis dan fisiologis dianggap sebagai
nilai sementara sampai dilakukan observasi fonetik dan estetik (Chairani dan Rahmi,
2016).

a) Metode mekanis (Mechanical Methods)


Metode mekanis antara lain menentukan relasi linggir, penggunaan gigi tiruan
lama, serta catatan pra-ekstraksi dan pengukurannya. Salah satu pengukuran
catatan pra-ekstraksi menggunakan two dot technique untuk mengukur tinggi
sepertiga bagian bawah (Chairani dan Rahmi, 2016).
1) Ridge relation:
 Distance of incisive papilla from mandibular incisors.
Jarak papilla incisiv dari gigi seri rahang bawah melihat papilla incisive yang
digunakan untuk mengukur hubungan vertikal pasien karena ini merupakan
landmark yang stabil dan sedikit berubah dengan resorpsi residual ridge
alveolar. Jarak insisivus papilla dari tepi insisivus insisivus rahang bawah
sekitar 4 mm pada gigi asli. Tepi insisal insisivus sentral rahang atas rata-rata
6 mm di bawah papilla incisive. Jadi rata-rata tumpang tindih vertikal dari gigi
seri tengah yang berlawanan adalah sekitar 2 mm. Kerugiannya adalah pada
lengkung tak bergigi lengkap tidak terdapat gigi bawah sehingga hanya
berguna untuk perawatan gigi palsu tunggal (Sarandha dkk., 2007).
 Paralelisme ridge
Pada kebanyakan pasien, gigi hilang pada interval yang tidak teratur dan
residual ridge tidak lagi sejajar. Kerugiannya adalah banyak pasien
menunjukkan resorpsi yang terlihat sehingga penggunaan aturan ini tidak
mungkin dilakukan (Sarandha dkk., 2007).
2) Pengukuran gigi palsu lama
Gigi palsu lama pasien dapat digunakan sebagai referensi untuk dimensi vertikal
gigi tiruan baru. Gigi tiruan lengkap yang telah digunakan dalam jangka waktu
lama akan beradaptasi dengan baik dengan struktur mulut dan oleh karena itu
kehati-hatian harus dilakukan jika dimensi vertikal harus diubah pada gigi tiruan
baru. Membandingkan jarak antara rahang atas dan rahang bawah dalam posisi
istirahat dan posisi dengan gigi tiruan lama dalam oklusi, penting untuk
menentukan dimensi vertikal yang sesuai. Kebutuhan untuk meningkatkan
dimensi vertikal harus dibatasi untuk mengkompensasi abrasi gigi tiruan dan
resorpsi tulang. Metode lain yang menggunakan gigi tiruan lama sebagai acuan
adalah dengan mengukur jarak dari papilla incisive ke tepi insisivus sentralis pada
gigi tiruan lama dan mengukur jarak dari papilla incisive pada gigi tiruan atas ke
permukaan interior gigi tiruan. daerah anterior gigi tiruan bagian bawah. Jarak ini
kemudian dibandingkan dengan jarak pelek oklusi atas dan bawah pada posisi
istirahat rahang bawah. Demikian pula, jarak antara basis gigi tiruan lama di regio
molar harus diukur dan dibandingkan dengan jarak antara occlusion rims
(Sarandha dkk., 2007).

3) Catatan pra-ekstraksi (Pre-extraction records)


Seringkali memungkinkan melihat pasien sebelum dia menjadi tidak bergigi.
Dalam kasus seperti itu, hubungan rahang dapat diperoleh dan dialihkan ke situasi
yang tidak stabil. Hal ini dapat dilakukan dengan prosedur yang relatif mudah dan
dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut (Sarandha dkk., 2007).
 Foto radiografi (Profile radiograph)
Paparan radiograf lateral penuh dilakukan dengan gigi dalam keadaan oklusi.
Setelah ekstraksi, dasar percobaan dengan pelek oklusal dibuat pada hubungan
vertikal yang tampak benar dan dimasukkan ke dalam mulut pasien. Radiograf
diperoleh dengan pelek oklusal bersentuhan. Kedua film tersebut dibandingkan
dan penyesuaian yang diperlukan dibuat untuk mensimulasikan posisi yang
benar seperti pada film awal. Gambar harus memiliki rasio sekitar 1: 1 untuk
pasien. Kekurangan adalah ketidakakuratan karena pembesaran gambar,
memakan waktu dan dapat mengakibatkan seringnya paparan radiasi
(Sarandha dkk., 2007).
 Foto profil (Profile photograph)
Foto profil dibuat dan diperbesar ke ukuran aslinya. Foto harus dibuat dengan
gigi dalam oklusi maksimum. Pengukuran landmark anatomis pada foto
tersebut dibandingkan dengan pengukuran pada wajah, menggunakan
landmark yang sama. Pengukuran ini dapat dievaluasi ulang selama kunjungan
percobaan. Kerugian adalah angulasi foto mungkin berbeda dengan postur
tubuh pasien (Sarandha dkk., 2007).
 Adaptasi kawat timbal (Lead wire adaptation)
Kawat timbal dapat disesuaikan dengan hati-hati ke profil wajah pra-ekstraksi,
dan kontur ini ditransfer ke karton. Potongan yang dihasilkan disimpan sampai
setelah ekstraksi. Ketika dokter gigi memperkirakan hubungan vertikal
menggunakan pelat percobaan, potongan karton ditempatkan pada profil untuk
melihat apakah kontur wajah telah dipertahankan atau ditetapkan. Ini tidak
umum digunakan saat ini (Sarandha dkk., 2007).
 Metode Swenson
Swenson menyarankan agar masker wajah resin akrilik (acrylic resin
facemasks) dibuat sebelum ekstraksi, dan kemudian saat pasien mengalami
edentulous, masker dipasang pada wajah untuk melihat apakah hubungan
vertikal telah pulih dengan benar. Kekurangan adalah memakan waktu,
membutuhkan banyak keterampilan dan pengalaman dengan penggunaan
impresi wajah dan gips untuk pembuatan bagian wajah buatan, serta wajah
menggunakan topografi yang berbeda dalam postur tegak dari pada saat
terlentang atau posisi semi terlentang (Sarandha dkk., 2007).
 Articulated casts
Gips yang diartikulasikan (articulated casts) merupakan nilai praktis dalam
penilaian hubungan vertikal. Pengukuran gips dapat dilakukan dengan oklusi
dengan titik-titik yang relatif stabil (Sarandha dkk., 2007).
4) Post-extraction methods
 Metode Niswonger (1934)
Niswonger menyarankan metode untuk menentukan dimensi vertikal yang
umum digunakan saat ini. Pasien didudukkan sehingga garis ala-tragal sejajar
dengan lantai. Dua tanda dibuat, satu di ujung hidung dan yang lainnya di
bagian dagu yang paling menonjol. Pasien diinstruksikan untuk rileks dan
menelan. Jarak antara tanda dicatat. Selanjutnya, pelek oklusal dibuat
sedemikian rupa sehingga ketika menyumbat, jarak yang diukur adalah 2
hingga 4 mm lebih kecil dari ukuran aslinya. Metode ini memiliki kerugian
pada tanda yang bergerak bersama kulit dan terkadang sulit untuk
mendapatkan dua pengukuran konstan dari posisi diam. Namun, jika
digabungkan dengan observasi lain, teknik ini cukup anda (Sarandha dkk.,
2007).

 Willis’s method
Willi percaya bahwa jarak dari pupil mata ke rimaoris harus sama dengan
jarak dari pangkal hidung ke batas inferior dagu ketika occlusal
rimbersentuhan (Sarandha dkk., 2007).
 Concept of equal thirds
Beberapa pengamat menyarankan bahwa wajah dapat dibagi menjadi sepertiga
yang sama. Masing-masing adalah dahi, hidung dan bibir-dagu. Konsep ini
memiliki nilai praktis yang kecil karena titik pengukurannya tidak jelas
(Sarandha dkk., 2007).
 Silverman’s closest speaking space
Ruang bicara terdekat mengukur hubungan vertikal saat mandibula dan otot
terlibat dalam fungsi fisiologis bicara. Pelek oklusal ditempatkan di mulut dan
tingginya disesuaikan sampai minimal ada jarak 2 mm saat pasien
mengucapkan huruf "s." Ini dapat bervariasi dari 1 hingga 10 mm tetapi rata-
rata 2 mm umumnya akan mencegah peningkatan hubungan vertikal.
Kerugiannya adalah pasien yang memiliki ruang bicara terdekat 8 sampai 10
mm akan membutuhkan cara lain untuk menentukan hubungan vertikal
(Sarandha dkk., 2007).
 Boo’s method
Boo menemukan bahwa ada titik kekuatan gigitan maksimum. Dia
menyatakan bahwa pasien mencatat jumlah tekanan terbesar pada
dinamometer pegas pada titik yang jauh lebih terbuka daripada oklusi gigi
tiruan (Sarandha dkk., 2007).
 Electromyography.
Posisi istirahat mandibula dapat ditentukan dengan elektromiografi yang akan
merekam aktivitas minimal otot. Semua otot menunjukkan aktivitas yang lebih
besar pada posisi lain daripada pada posisi istirahat (Sarandha dkk., 2007).
b) Metode fisiologis
Metode fisiologis diantaranya penentuan posisi fisiologis istirahat, estetik, fonetik,
ambang batas penelanan, serta sensasi taktil dan kenyamanan (Chairani dan
Rahmi, 2016).
 Posisi istirahat fisiologis (Physiologic rest position)
Setelah occlusal rims diinsersikan ke dalam mulut pasien, pasien diminta
untuk menelan dan membiarkan rahang rileks. Kemudian bibir dibelah dengan
hati-hati untuk melihat jarak antara pelek oklusal. Pasien harus mengizinkan
dokter gigi untuk memisahkan bibir tanpa menggerakkan rahang atau bibir.
Ruang istirahat interoklusal ini harus 2 sampai 4 mm (Sarandha dkk., 2007).
 Fonetik: Pasien diinstruksikan untuk mengulangi huruf 'm' sampai dia
menyadari adanya kontak bibir. Pasien diminta untuk menghentikan semua
gerakan rahang saat bibir bersentuhan ringan. Bibir dan pipi ditarik dan ruang
inter-oklusal 2 sampai 4mm diperiksa. Saat pasien menggunakan sibilant,
pelek oklusi harus saling berdekatan tetapi tidak bersentuhan (Sarandha dkk.,
2007).
 Ekspresi wajah
Dokter gigi yang berpengalaman mempelajari keuntungan dari mengenali
ekspresi wajah yang rileks saat rahang tidak bergerak. Pada rahang yang
biasanya terkait, bibir akan berada di antero-posterior dan sedikit kontak. Kulit
di sekitar mata dan di atas dagu akan menjadi rileks. Bibir pasien dengan
rahang bawah tidak akan rata; bibir bawah akan distal ke atas dan tidak
bersentuhan. Dalam kasus rahang bawah yang menonjol, bibir tidak akan
terhubung secara merata antero-posterior dan bibir bawah akan berada di
anterior bibir atas dan tidak bersentuhan. Bukti posisi istirahat otot
maxillomandibular ini merupakan indikasi untuk mencatat pengukuran
hubungan vertikal saat istirahat (Sarandha dkk., 2007).
 Ambang menelan (Swallowing threshold)
Posisi mandibula pada awal tindakan menelan telah digunakan sebagai
panduan untuk hubungan vertikal. Teori ini dilakukan ketika seseorang
menelan, gigi bergabung dengan kontak yang sangat ringan pada awal siklus
menelan. Jika oklusi gigitiruan terus hilang selama menelan, dimensi vertikal
oklusal mungkin tidak mencukupi. Teknik ini melibatkan pembuatan kerucut
lilin lunak pada dasar gigi tiruan bawah sehingga kontak tepi oklusal atas
dengan rahang terbuka terlalu lebar. Aliran air liur dirangsang dan tindakan
menelan yang berulang secara bertahap akan mengurangi ketinggian kerucut
lilin untuk memungkinkan mandibula mencapai tingkat hubungan vertikal
oklusal. Namun, sulit untuk menemukan konsistensi dalam posisi vertikal
akhir mandibula dengan metode ini (Sarandha dkk., 2007).
 Indra taktil (Tactile sense)
Indra taktil pada pasien digunakan sebagai panduan untuk menentukan
hubungan vertikal oklusal. Pelek oklusal dimasukkan ke dalam mulut pasien
dan pasien diinstruksikan untuk membuka dan menutup mulut sampai pelek
bersentuhan. Pasien ditanya apakah pelek tampak menyentuh sebelum
waktunya, yaitu apakah rahang tampak menutup terlalu jauh sebelum
bersentuhan atau apakah ketinggiannya terasa pas. Metode ini tidak terlalu
efektif untuk pasien pikun atau mereka yang memiliki gangguan
neuromuskuler (Sarandha dkk., 2007).
2. Metode antropometri
Metode antropometri merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
penentuan DVO (Chairani dan Rahmi, 2016).
a) Wajah
Pengukuran wajah digunakan untuk menentukan DVO, salah satunya proporsi
wajah yaitu tinggi sepertiga wajah bagian bawah (Chairani dan Rahmi, 2016).
b) Jari tangan
Penggunaan antropometri jari tangan banyak diteliti sebagai pembanding dalam
penentuan DVO. Hal karena pengukuran panjang jari relatif lebih mudah dalam
menentukan titik acuan. Antropometri panjang jari yang digunakan untuk
dibandingkan dengan DVO antara lain panjang ibu jari, jari telunjuk, jari tengah,
jari kelingking, serta jarak antara ujung ibu jari dan ujung jari telunjuk. Metode ini
ekonomis,dapat diandalkan, sederhana, inovatif, non-invasif, dan tidak
memerlukan peralatan yang sulit didapatkan (Chairani dan Rahmi, 2016).
c) Pergelangan tangan
Radiografi pergelangan tangan telah digunakan untuk pemeriksaan pertumbuhan
struktur dentofasial sebagai indikator kematangan skeletal tulang dan ossifikasi
dari tulang carpal, metacarpal, dan phalangeal. Pemeriksaan kematangan tulang
biasanya berdasarkan pada derajat penyatuan epifisis dari tulang ulna dan radius
DAFTAR PUSTAKA
Chairani, C.N., Rahmi, E., 2016, Korelasi antara dimensi vertikal oklusi dengan panjang jari
kelingking pada sub-ras Deutro Melayu, Maj Ked Gi Ind., 2(3): 155-163.
Sarandha, D.L., Hussain, Z., Uthkarsh, 2007, Textbook of Complete Denture Prosthodontics,
Jaypee Brothers Medical Publishers, New Delhi.

Anda mungkin juga menyukai