Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelayanan kesehatan gigi dan mulut adalah pelayanan asuhan yang

terencana, diikuti dalam kurun waktu tertentu secara berkesinambungan di bidang

promotif, preventif dan kuratif sederhana untuk meningkatkan derajat kesehatan

gigi dan mulut yang optimal pada individu, kelompok dan masyarakat (Kemenkes

RI, 2016). Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan

gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi dan pemulihan

kesehatan gigi yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.

Pendidikan kesehatan anak adalah bagian dari usaha yang dapat dipandang

sebagai integral dari upaya kesehatan masyarakat. Pendidikan kesehatan

dilakukan oleh keluarga, khususnya orang tua (Pratiwi, dkk, 2014).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, penduduk Indonesia

mempunyai masalah kesehatan gigi dan mulut sebesar 67,3% pada kelompok umur

5-9 tahun. Pada Provinsi Jambi prevalensi penduduk mempunyai masalah kesehatan

gigi dan mulut sebesar 45% hanya terdapat 9,5% yang menerima perawatan dan

pengobatan dari tenaga medis. Adapun rincian masalah kesehatan gigi dan mulut di

provinsi Jambi sebesar 37,7% mengalami gigi rusak/berlubang sakit, 15,6% gigi

hilang karena dicabut/tanggal sendiri dan 2,7% gigi telah ditambal/ditumpat karena

berlubang dan sekitar 6,0% gigi mengalami goyang (Kemenkes RI, 2018).

1
2

Usia yang sangat rentan terhadap kesehatan gigi dan mulut anak adalah anak

sekolah dasar yaitu pada usia 6-12 tahun, oleh karena itu orangtua perlu tahu

pendidikan kesehatan gigi dan mulut. Orangtua memeliki peranan yang sangat

penting dalam tumbuh kembang anak, khususnya masalah pertumbuhan dan

perkembangan gigi anak (Pratiwi, dkk, 2014). Rendahnya pengetahuan mengenai

kesehatan merupakan faktor dari perilaku masyarakat terhadap kesehatan yang

mengarah kepada timbulnya suatu penyakit. Pengetahuan ini erat pula kaitannya

dengan sikap seseorang tentang penyakit dan upaya pencegahannya (Budiharto,

2009).

Dalam pertumbuhan gigi anak diperlukan perhatian dan pengetahuan ibu

khususnya mengenai periode bercampurnya gigi susu dan tetap. Tanggalnya gigi

secara prematur dapat berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya gigi tetap, dan

gigi susu yang bertahan lama dari yang seharusnya juga menyebabkan gangguan

pada pertumbuhan gigi tetap. Hal ini mengakibatkan gigi tetap erupsi pada tempat

yang tidak seharusnya, sehingga menyebabkan gigi bertumpuk (Pratiwi, 2007).

Persistensi gigi sulung adalah suatu keadaan dimana gigi sulung belum

tanggal walaupun waktu tanggalnya sudah tiba. Akibat yang ditimbulkan dari

persistensi gigi antara lain karies gigi, maloklusi dan berkurangnya estetika

terutama pada gigi depan (Yani, 2016). Maloklusi adalah setiap keadaan yang

menyimpang dari oklusi normal. Oklusi dikatakan normal jika susunan gigi dalam

lengkung teratur baik serta terdapat hubungan yang harmonis antara gigi atas dan

gigi bawah. Maloklusi sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi bila tidak dirawat
3

dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, dan

keserasian wajah yang berakibat pada gangguan fisik maupun mental (Laguhi,

dkk, 2014).

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien anak perempuan umur 8 tahun

di Klinik Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Jambi pada tanggal 14

Januari 2021 diperoleh data bahwa pasien tersebut mengeluhkan gigi 84 terasa

goyang dan tidak nyaman.

Dari hasil anamnesa yang dilakukan penulis terhadap pasien anak

perempuan umur 8 tahun ditemukan bahwa pasien memiliki kebiasaan seperti

menyikat gigi pagi ketika mandi, sore ketika mandi, dan malam ketika menjelang

tidur, tehnik menyikat gigi secara horizontal atau tidak menggunakan teknik

kombinasi, serta sering mengonsumsi makanan manis. Selain itu, belum pernah

memeriksa kesehatan gigi ke pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Sehubungan

dengan kasus tersebut, maka perlu dilakukan studi kasus persistensi gigi 84

dengan teknik pencabutan topikal anastesi pada pasien anak usia 8 tahun di Klinik

Jurusan Keperawatan Gigi Jambi Tahun 2021.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, didapat rumusan masalah sebagai

berikut, bagaimanakah penatalaksanaan asuhan keperawatan gigi dan mulut pada

kasus persistensi Gigi 84 dengan teknik pencabutan topikal anastesi pada pasien

anak usia 8 tahun di Klinik Jurusan Keperawatan Gigi Jambi tahun 2021?
4

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui tentang penatalaksanaan asuhan keperawatan gigi dan mulut

pada kasus persistensi gigi 84 dengan teknik pencabutan topikal anastesi pada

pasien anak usia 8 tahun di Klinik Jurusan Keperawatan Gigi Jambi tahun 2021.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengkaji data pengkajian kasus persistensi gigi 84 dengan teknik

pencabutan topikal anastesi pada pasien anak usia 8 tahun di Klinik

Jurusan Keperawatan Gigi Jambi tahun 2021.

b. Mengkaji diagnosa keperawatan gigi kasus persistensi gigi 84 dengan

teknik pencabutan topikal anastesi pada pasien anak usia 8 tahun di Klinik

Jurusan Keperawatan Gigi Jambi tahun 2021.

c. Mengetahui intervensi tindakan keperawatan gigi kasus persistensi gigi 84

dengan teknik pencabutan topikal anastesi pada pasien anak usia 8 tahun di

Klinik Jurusan Keperawatan Gigi Jambi tahun 2021.

d. Mengetahui tindakan atau melakukan implementasi kasus persistensi gigi

84 dengan teknik pencabutan topikal anastesi pada pasien anak usia 8

tahun di Klinik Jurusan Keperawatan Gigi Jambi tahun 2021.

e. Mengetahui kegiatan evaluasi kasus persistensi gigi 84 dengan teknik

pencabutan topikal anastesi pada pasien anak usia 8 tahun di Klinik

Jurusan Keperawatan Gigi Jambi tahun 2021.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Bagi pasien

Dapat meningkatkan status kesehatan gigi dan kebersihan gigi dan

mulutnya.
5

1.4.2 Bagi Peneliti

Untuk meningkatkan wawasan penulis dalam hal penelitian, menambah

ilmu pengetahuan, serta menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh

peneliti selama mengikuti pendidikan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Gigi

Pertumbuhan gigi diawali dengan perkembangan dari maksila (rahang atas)

dan mandibula (rahang bawah). Menurut Sadler, pertumbuhan rahang atas dan

rahang bawah disiapkan untuk tumbuhnya gigi. Sejak usia 6 minggu dalam

kandungan sudah mulai terbentuk bagian gigi yaitu, dentin (lapisan di bawah

email) sebanyak 10 buah tiap rahangnya (Djamil, 2011).

2.1.1 Proses Pertumbuhan Gigi

Proses tumbuh pada pergantiaan gigi sulung ke gigi tetap, pertama akar dari

gigi sulung mengalami pengeroposan dari bawah atau dari ujung akar, sementara

itu benih gigi tetap yang berada di bawahnya bergerak ke atas mengikuti akar gigi

yang makin menghilang. Sementara itu gigi tetap tadi membangun akar mulai

dari leher gigi, ke bawah (ke atas untuk rahang atas) seakan- akan mendorong

mahkota gigi tetap tersebut untuk segera muncul ke ruang mulut. Pada saat akar

gigi sulung habis sampai leher gigi di dalam proses pengeroposan tadi, maka

mahkota gigi sulung akan goyang, siap untuk tanggal dan diganti oleh gigi tetap.

Proses ini dikenal sebagai proses pergantian gigi yang sehat (Djamil, 2011).

Gigi sulung tersebut mengalami kerusakan karena berlubang dan lain-lain

sehingga gigi tersebut mati, maka proses pengeroposan akar gigi sulung tersebut

tidak bisa berlangsung. Akibatnya gigi tetap akan tumbuh tanpa suatu petunjuk

jalan yang betul sehingga mengakibatkan letak dari gigi tetap tersebut salah

6
7

kedudukannya setelah erupsi. Sebagai akibatnya, maka gigi tetap itu bisa menjadi

masalah karena tumbuh terlalu ke dalam,terlalu keluar, atau mungkin berdesak-

desakan, sehingga gigi geligi tersebut dikemudian hari menjadi berjejal (Djamil,

2011).

Sementara itu gigi sulung yang tidak mengalami proses pengeroposan tersebut

akan sulit lepas, karena ada akarnya yang masih menancap terutama di dalam gusi.

Perlu dicatat bahwa pada usia 6-12 tahun adalah masa peralihan antara gigi sulung ke

gigi tetap karena antara usia 6-12 tahun tersebut terdapat baik gigi sulung maupun gigi

tetap, maka diberi nama masa gigi bercampur atau gigi geligi masa peralihan

(Machfoedz, dkk, 2005).

2.1.2 Waktu Erupsi Gigi Sulung

Erupsi gigi sulung dimulai pada usia 6 bulan dan pada usia 2 tahun

gigi sulung sudah lengkap sebanyak 20 gigi. Lebih jelasnya waktu erupsi

gigi sulung dapat dilihat dalam tabel 1 dan tabel 2 di bawah ini Djamil

(2011).

Tabel 1
Erupsi Gigi Sulung Rahang Atas

Rahang Atas Erupsi Lepas / Tanggal


Gigi Insisif Pertama (i1) 8–12 Bulan 6-7 Tahun
Gigi Inssisif Kedua (i2) 9-13 Bulan 7-8 Tahun
Gigi Caninis (c) 16-12 Bulan 10-12 Tahun
Molar Pertama (m1) 13-19 Bulan 9-11 Tahun
Molar Kedua (m2) 25-33 Bulan 10-12 Tahun
Sumber : Djamil, 2011
8

Tabel 2
Erupsi Gigi Sulung Rahang Bawah

Rahang Bawah Erupsi Lepas/ Tanggal


Gigi Insisif pertama (i1) 6 - 10 bulan 6 - 7 tahun
Gigi Insisif kedua (i2) 10 - 16 bulan 7 - 8 tahun
Gigi kaninus (c) 17 - 23 bulan 9 - 12 tahun
Molar pertama (m1) 14 - 18 bulan 9 - 11 tahun
Molar kedua (m2) 23 - 31 bulan 10 - 12 tahun
Sumber : Djamil, 2011

2.1.3 Waktu Erupsi Gigi Tetap

Gigi tetap yang pertama erupsi dalam rongga mulut adalah gigi

molar pertama pada usia 6 tahun yang sering disebut dengan six year

molar dan pada usia 17-21 tahun gigi molar terakhir atau biasa disebut

gigi bungsu mulai erupsi. Adapun urutan waktu erupsi gigi tetap dapat

dilihat dalam tabel 3 di bawah ini (Djamil, 2011).

Tabel 3
Erupsi Gigi Tetap Rahang Atas dan Rahang Bawah

Rahang Atas Erupsi Rahang Bawah Erupsi

Gigi Insisif Pertama (I1) 7-8 Tahun Gigi Insisisif Pertama 7-8 Tahun
Gigi Insisif Kedua (I2) 8-9 Tahun Gigi Insisif Kedua (I2) 8-9 Tahun
Gigi Caninus (C) 11-12 Tahun Gigi Caninus (C) 11-12 Tahun
Gigi Premolar Pertama 10-11 Tahun Gigi Premolar Pertama 10-11 Tahun
(P1) (P1)
Gigi Premolar Kedua 10-12 Tahun Gigi Premolar Kedua 10-12 Tahun
(P2) (P2)
Gigi Molar Pertama (M1) 6-7 Tahun Gigi Molar Pertama 6-7 Tahun
(M1)
Gigi Molar Kedua (M2) 12-13 Tahun Gigi Molar Kedua (M2) 12-13 Tahun
Gigi Molar Ketiga (M3) 17-21 Tahun Gigi Molar Ketiga (M3) 17-21 ahun
Sumber : Djamil,, 2011
9

2.2 Gigi Sulung

Gigi sulung disebut gigi susu yang merupakan panduan jalan gigi tetap. Gigi

sulung erupsi pertama kali terjadi pada usia 6 bulan dan terakhir kira-kira 28

bulan dan gigi sulung tanggal pertama kali terjadi pada usia 6 tahun dan terakhir

kira-kira 12 tahun (Pratiwi, 2007). Fungsi gigi sulung didalam rongga mulut

antara lain sebagai organ pengunyahan yang berperan penting dalam sistem

pecernaan untuk menunjang nutrisi terhadap tumbuh kembang anak. Selain itu,

fungsinya juga menjaga estetik, fungsi bicara, penyedia ruang untuk gigi

permanen yang akan erupsi serta merangsang pertumbuhan dan perkembangan

rahang (Suarniti, 2014).

2.3 Persistensi Gigi

Anak usia Sekolah Dasar merupakan masa-masa periode gigi bercampur

yaitu masa peralihan saat tanggalnya gigi susu dan peralihan gigi tetap dan

merupakan usia yang dianggap rawan terhadap penyakit gigi dan mulut. Masalah

yang terjadi pada gigi anak usia sekolah selain karies yaitu persistensi

(Fenanlampir, dkk, 2014).

2.3.1 Pengertian Persistensi Gigi

Persistensi gigi merupakan suatu keadaan gigi susu masih berada di mulut

atau belum lepas, tetapi gigi tetap yang akan menggantikannya sudah tumbuh.

Pada keadaan persistensi, terkadang gigi susu tidak goyang. Persistensi gigi

sulung atau disebut juga over retained decious teeth berarti gigi sulung yang

sudah melewati waktu tanggalnya tetapi tidak tanggal. Perlu diingat bahwa waktu
10

tanggal gigi sulung adalah apabila gigi permanen pengganti telah erupsi tetapi gigi

sulungnya tidak tanggal (Djamil, 2011).

Gambar 2 : Persistensi Gigi


Sumber : https// kakira.my.id/persistensi-gigi-sulung-ana

2.3.2 Akibat Persistensi Gigi

Akibat yang ditimbulkan dari persistensi gigi antara lain karies gigi,

maloklusi dan berkurangnya estetika terutama pada gigi depan (Yani,

2016).

a. Karies Gigi

Karies gigi merupakan penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan

kerusakan jaringan dimulai dari permukaan gigi kemudian meluas

kearah pulpa (Tarigan, 2014). Karies merupakan suatu penyakit

jaringan keras gigi yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik

dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Tandanya adalah adanya

demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian diikuti oleh

kerusakan organiknya (Kidd dan Bechal, 1991).


11

Beberapa jenis karbohidrat makanan misalnya sukrosa dan glukosa

dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam sehingga pH

plak akan menurun sampai dibawah 5 dalam tempo 1-3 menit.

Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan

mengakibatkan demineralisasi (Kidd dan Bechal, 1991)

b. Maloklusi

Maloklusi adalah setiap keadaan yang menyimpang dari oklusi

normal. Oklusi dikatakan normal jika susunan gigi dalam lengkung

teratur baik serta terdapat hubungan yang harmonis antara gigi atas dan

gigi bawah. Maloklusi sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi bila tidak

dirawat dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pengunyahan,

penelanan, bicara, dan keserasian wajah yang berakibat pada gangguan

fisik maupun mental (Laguhi, dkk, 2014).

Penyebab terjadinya maloklusi diantaranya yaitu, keturunan, trauma,

penyakit, malnutisi, dan kebiasaan buruk. Sehingga akan menimbulkan

dampak diantaranya yaitu, memengaruhi pertumbuhan normal dan

perkembangan rahang, pola penelanan yang abnormal, fungsi otot wajah

yang abnormal, pengunyahan yang tidak sempurna, gangguan dalam

berbicara, mudah terserang karies gigi, posisi gigi yang lebih mudah terkena

trauma misalnya, gigi depan atas yang posisinya ke depan (tonggos)

sehingga mudah patah jika tertumbuk pada sesuatu (Djamil, 2011).


12

2.4 Indikasi dan Kontraindikasi Pencabutan Gigi Sulung

Sebelum melakukan pencabutan pada gigi sulung, perlu

dipertimbangkan beberapa hal, yaitu: (Wirana, 2013).

2.4.1 Indikasi
1. Infeksi diperiapikal dan interradikullar dan tidak dapat disembuhkan

kecuali dengan pencabutan.

2. Gigi yang sudah waktunya tanggal dengan catatan bahwa penggantinya

telah erupsi.

3. Gigi sulung yang persistensi.

4. Gigi sulung yang mengalami impacted, karena dapat menghalangi

pertumbuhan gigi tetap.

5. Mukosa yang mengalami ulkus dekubitus.

2.4.2 Kontra Indikasi


1. Anak yang sedang menderita infeksi akut di mulutnya. Misalnya akut

infections stomatitis, herpetic stomatitis. Infeksi ini disembuhkan

dahulu baru dilakukan pencabutan.

2. Blood dyscrasia atau kelainan darah, kondisi ini mengakibatkan

terjadinya pendarahan dan infeksi setelah pencabutan. Pencabutan

dilakukan setelah konsultasi dengan dokter ahli tentang penyakit darah.

3. Pada penderita penyakit jantung, misalnya: Congenital heart disease,

rheumatic heart disease yang akut, kronis, penyakit ginjal atau kidney

disease.

4. Pada penyakit sistematik yang akut pada saat tersebut resistensi tubuh

lebih rendah dan dapat menyebabkan infeksi sekunder.


13

5. Adanya tumor yang ganas, karena dengan penyabutan tersebut dapat

menyebabkan metastase.

6. Pada penderita Diabetes Militus (DM), tidaklah mutlak kontra indikasi.

Jadi ada kalanya pada penyakit DM ini boleh dilakukan pencabutan

tetapi haruslah konsultasi ke bagian internist. Pencabutan pada

penderita DM dapat menyebabkan:

a. Penyembuhan lukanya agak sukar

b. Kemungkinan besar terjadi sakit setelah pencabutan

c. Bisa terjadi pendarahan berulang kali

2.4 Mobiliti Gigi

Mobiliti untuk melihat derajat ke goyangan gigi (Gultom dan Laut, 2018).

Adapun derajat kegoyangan gigi sebagai berikut :

a. Derajat I : di raba (+), dilihat (-)

b. Derajat II : bisa diraba dan dilihat

c. Derajat III : dapat digoyang dengan ,idah

d. Derajat IV : dapat ditekan vertikal

2.5 Anastesi Lokal

Anastesi lokal sebaiknya menjadi pilihan pertama karena anstesi lokal

menyebabkan gangguan fisiologis yang relatif ringan, karena itu sangat

dianjurkan pada penderita dengan risiko sistemik tinggi. Anastesi lokal

mempunyai angka morbiditas relatif rendah, penggunaannya relatif praktis, serta

biaya yang murah (Kamadjaja, 2019).


14

1. Anastesi Topikal atau Permukaan

Anastesi topikal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan

secara lokal pada jaringan saraf dengan konsentrasi cukup. Anastesi ini bersifat

reversibel, artinya fungsi saraf akan pulih kembali setelah kerja obat habis.

Umumnya pencabutan gigi pada anak-anak hanya dilakukan anastesi topikal

(tanpa penyuntikan), karena umunya akar gigi anak-anak akan hilang pada saat

gigi tetapnya akan muncul. Teknik ini terbukti dapat mengurangi kecemasan pada

anak dibanding anastesi infiltrasi (Probosari dan Wasilah 2011).

2. Anastesi infiltrasi

Teknik yang lebih sering digunakan untuk menghentikan persepsi rasa sakit

adalah dengan mendepositkan larutan anastesi di sekitar filamen saraf, suatu

metode yang disebut anastesi infiltrasi (Howe, 1992). Peralatan yang diperlukan

untuk anastesi lokal harus dapat digunakan dengan mudah dan harus selalu dalam

keadaan steril. Peralatan anastesi lokal yang paling sering digunakan pada praktek

gigi yaitu syringe, cartridge, dan jarum (Howe, 1992).

2.6 Standar Prosedur Operasional Pencabutan Gigi Sulung

Untuk melakukan tindakan pencabutan gigi dengan derajat kegoyangan

mobiliti derajat 3 dengan menggunakan chlor ethyl (Pedersen, 2012), yaitu

sebagai berikut :
15

2.7.1 Persiapan Pasien :

a. Menjelaskan kepada orangtua pasien bahwa akan dilakukan

pencabutan gigi sulung untuk memberi kesempatan gigi permanen

tumbuh dengan baik.

b. Menjelaskan kepada penderita bahwa sebelum pencabutan dilakukan

pembiusan dan setelah itu penderita akan merasakan dingin (jika

menggunakan chlor ethyl).

2.7.2 Persiapan Operator

a. Memakai sarung tangan dan masker.

b. Mengambil kapas steril menggunakan pinset dan menetesi povidon iodine.

c. Mengolesi gusi pada daerah gigi yang akan dicabut dengan gerakan satu

kali.

d. Mengambil kapas 2 buah gulungan kemudian kapas dipegang di tangan kiri.

e. Memegang tabung chlor ethyl dengan tangan kanan kemudian

ujungnya di dekatkan pada kapas dengan jarak 1 cm kemudian

menyemprot kapas dengan chlor ethyl, ditunggu sampai kapas

membentuk kristal es.

f. Meletakkan kapas sambil ditekan pada daerah bukal atau labial dan

lingual atau palatal gigi yang akan dicabut.

g. Meletakkan ujung tang pada bagian bukal atau labial dan lingual atau

palatal gigi sampai dengan cervical gigi/bufurcatio gigi.

h. Pada gigi yang mempunyai akar tunggal, memutar gigi satu arah

sambil ditarik keluar.


BAB III

METODE STUDI KASUS

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan

menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Yusuf (2017) metode

kulatitatif dapat digunakan apabila ingin melihat dan mengungkapkan

suatu keadaan maupun suatu objek dalam konteksnya; menemukan makna,

atau pemahaman yang mendalam tentang sesuatu masalah yang dihadapi

yang tampak dalam bentuk data, baik berupa gambar, kata, maupun

kejadian.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Pelayanan Asuhan Kesehatan

Gigi Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Jambi Tahun 2021.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Maret 2021.

3.3 Subjek Studi Kasus

Subjek penelitian dilakukan terhadap satu orang pasien berjenis

kelamin perempuan berusia 8 tahun yang memiliki keluhan salah satu

16
17

giginya yaitu gigi 84 goyang secara horizontal dengan gigi pengganti telah

erupsi.

3.4 Definisi Operasional dan Focus Studi

Fokus Studi Definisi Operasional


Gigi 84 Persistensi Gigi 84 adalah gigi mular susu pertama yang
terletak di rahang bawah kanan. Persistensi
gigi merupakan suatu keadaan gigi susu masih
berada di mulut atau belum lepas, tetapi gigi
tetap akan menggantikannya sudah tumbuh
Topikal Anastesi Topikal anastesi ialah obat yang menghambat
hantaran saraf bila dikenakan secara lokal
pada jaringan saraf dengan konsentrasi cukup
dengan indikasi gigi susu yang memiliki
molibily o3 dan mobility o4 dengan
menggunakan bahan chlorethyl.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini

adalah metode dokumentasi. Menurut (Walidjo, 2020) metode dokumentasi

dapat di definisikan sebagai pencatatan secara sistematis gejala-gejala yang di

teliti yan terdapat pada dokumen. Data dokumen dapat berupa tulisan atau

gambar.
18

Gambar 3 : Contoh Dokumen Pengkajian

3.6. Metode Uji Keabsahan Data

Menurut (Sajidan, 2017) validasi data atau keabsahan data

merupakan kebenaran dari proses penelitian. Validasi data

dipertanggungjawabkan dan dapat dijadikan sebagai dasar yang kuat

dalam menarik kesimpulan. Di dalam penguji validitas data penguji

menggunakan sumber dokumentasi sebagai sebuah bukti kevaliditas data

dalam penelitian.
19

Gambar 4 : Contoh Dokumen Pemeriksaan Oral

3.7 Metode Analisis Data

Menganalisis data dapat dilakukan dengan cara sebagai berukut :

3.7.1 Perencanaan

a. Memilih pasien yang akan di jadikan sampel

b. Peneliti menyiapkan alat serta bahan yang akan digunakan untuk

penelitian, alat dan bahan sebagai berikut:

1. Bahan : Chlorethyl, povidone iodine, kapas (kassa), alkohol, air

kumur.

2. Alat : Diagnosa Set, Tang Radix Rahang Bawah Susu, Nierbeken,

Dappen Glass, Gelas kumur dan Slaber.

3.7.2 Pelaksaan

a. Peneliti memeriksa keadaan gigi pasien

b. Mengambil alat yang dibutuhkan disaat penelitian

c. Peneliti menyelesaikan kasus yang terdapat pada gigi pasien

3.7.3 Evaluasi

Pada tahap ini peneliti menganalisis dan mengolah data yang telah

di kumpulkan dengan metode yang telah ditentukan

3.7.4. Penyusunan laporan


20

Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah menyusus laporan dengan

data yang telah didapatkan.

3.8. Etika Penelitian

Menurut Dwiastuti (2017), beberapa penelitian berpeluang

mengungkap hal-hal yang bersifat pribadi dari subyek penelitian. Pada

kasus semacam itu, peneliti harus menjelaskan terlebih dahulu

kemungkinan ketidaknyamanan yang dapat timbul dan meminta

persetujuan subyek penelitian. Untuk menggunakan setiap informasi yang

diperoleh. Prinsip etika penelitian juga sebaiknya benar-benar menjamin

kerahasiaan informasi yang telah diperoleh. Berikut adalah lampiran surat

izin pasien dari keluarga.


21

Gambar 5 : Surat Izin Pasien


22

DAFTAR PUSTAKA

Boediharto, 2009. Ilmu Perilaku Kesehatan dan Pendidikan Kesehatan Gigi.


Jakarta : EGC.

Djamil, M. S., 2011. A-Z Kesehatan Gigi, Panduan Lengkap Kesehatan Gigi
Keluarga. Solo : Metagraf.
Dwiastuti, Rini, 2017. Metode Penelitian Sosial Pertanian. Malang : UB Press

Fenanlampir I. J., Mariati N. W., Hutagalung B.,. 2014. Gambaran Indikasi


Pencabutan Gigi dalam Periode Gigi Bercampur pada Siswa SMP Negeri 1
Langowan. Jurnal e-Gigi e G. Vol 2, No 2 tahun 2014.

Gultom E. dan Laut D. M., 2018. Konsep Dasar Pelayanan Asuhan Kesehatan
Gigi dan Mulut II & III. Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia
Kesehatan Edisi 2018

Howe, G.L. 1999. Pencabutan Gigi Geligi Edisi II. Jakarta : EGC.

Kamadjaja, D. B., 2019. Anastesi Lokal di Rongga Mulut. Surabaya : Airlangga


University Press.

Kemenkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta :


Kemenkes RI.

___________, 2016. Izin dan Penyelenggaraan Praktek Terapis Gigi dan Mulut..
Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.

___________, 2018. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Jakarta :
Kemenkes RI

Kidd E. A. M. dan Bechal S. J., 1991. Dasar-Dasar Karies Penyakit dan


Penanggulangannya. Jakarta : EGC
Laguhi V. A., Anindita P. S., Gunawan P. N., 2014. Gambaran Maloklusi dengan
Menggunakan Humar pada Pasien di Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal e-GiGi (eG), Vol. 2, Nomor 2
Hal 6.
Notoatmodjo. S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rinika cipta.

Pedersen G. W., 2012. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta : EGC

Pratiwi A., Sulastri, Hidayati, 2014. Hubungan Tingkat Pengetahuan Orang Tua
Tentang Jadwal Pertumbuhan Gigi dengan Kejadian Persistensi Anak Usia
23

6-10 Tahun di SDN Wojo I Bantul. Jurnal Gigi dan Mulut Vol.1 No.1
Maret 2014.

Pratiwi D. 2007. Gigi Sehat Merawat Gigi Sehari-hari. Jakarta : Kompas.

Probosari. N dan Wasilah. 2011. Penatalaksanaan Pasien Cemas Pada Pencabutan


Gigi Anak Dengan Menggunakan Anastesi Topikal Dan Injeksi.
Stomatognatic (J.K.G. Unej) Vol. 8 No.1 tahun 2011.

Sajidan H., 2018. Forum Komunikasi Pengemabangan Profesi Pendidikan Kota


Surakarta. Jurnal Pendidikan Dwija Utama. Volume 9 Nomor 39.

Suarniti L P, 2014. Pencabutan Gigi Sulung Akibat Karies Gigi dapat


Menyebabkan Gigi Crowding. Jurnal Kesehatan Gigi, Vol.2 No.2 Agustus
2014.

Tarigan, 2014. Karies Gigi. Medan : EGC.

Walidjo. 2020. Kapita Selekta Metodologi Penelitian. Jawa Timur: CV Penerbit


Qiara Media.

Wirana, Wulan, D,N. 2013. “Pencabutan Gigi Sulung”.

Yani R. W. E., 2016. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingginya Kejadian


Persistensi Gigi pada Pasien Anak (6-12 Tahun). Wahana Riset Kesehatan
Volume VI Nomor 1 Ferbuari 2016.

Yusuf, Muri, 2017. Metode Penelitian : Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian


Gabungan Edisi Pertama. Jakarta : Kencana.

Anda mungkin juga menyukai