Anda di halaman 1dari 12

PERAWATAN SPACE MAINTAINER PADA DELAYED

ERUPTION GIGI 22

PEDODONTICS CASE REPORT

Disusun Oleh:
Salwa Jilan
2195043

Pembimbing:
Anie Aprianie, drg., Sp.KGA.

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
2023
PEDODONTIC CASE REPORT
Seminaris : Salwa Jilan (2195043)
Pembimbing : Anie Aprianie, drg., Sp.KGA.

Salwa Jilan1; Anie Apriani, drg., Sp.KGA2


1
Program Profesi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung,
40164, Indonesia
2
Staf Pengajar Ilmu Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Kristen
Maranatha, Bandung, 40164, Indonesia

ABSTRACT
A primary tooth is retained beyond the time of normal exfoliation in some cases. This
results in an extended life for that tooth and the condition is known as ‘persistence’.
A retained deciduous tooth, with good crown, roots, and supporting alveolar bone,
can offer an adult patient many years of service. Thus, most of the deciduous teeth
studied can continue to function. However, persistence teeth can lead to some
clinical problems including periodontitis, profound caries, and ankylosis.

ABSTRAK

Dalam beberapa kasus, gigi sulung bertahan melebihi waktu normal dari yang

seharusnya . Hal ini menghasilkan umur yang lebih panjang untuk gigi tersebut dan

kondisi ini dikenal sebagai 'persistensi'. Gigi sulung yang tertahan, dengan mahkota,

akar, dan tulang alveolar penyangga yang baik, dapat bertahan selama bertahun-tahun

bagi pasien dewasa. Dengan demikian, sebagian besar gigi sulung yang diteliti dapat

terus berfungsi. Namun, persistensi gigi dapat menyebabkan beberapa masalah klinis

termasuk periodontitis, karies yang parah, dan ankilosis.


1. Pendahuluan

Erupsi gigi digambarkan sebagai gerakan aksial atau oklusal gigi dari lokasi
intraoseus di rahang ke posisi fungsionalnya di dalam rongga mulut. Erupsi normal
gigi sulung dan permanen ke dalam rongga mulut terjadi pada rentang usia kronologis
yang luas. Karena gigi dikelilingi olrh tulang, erupsi bergantung pada remodeling
tulang yang diatur dengan tepat. 1 Erupsi gigi sulung diikuti oleh eksfoliasi dan erupsi
gigi permanen. Peristiwa ini terjadi pada rentang usia kronologis yang luas. Namun,
sebagian besar orang tua menjadi cemas dengan variasi waktu erupsi,
menganggapnya sebagai tahap penting perkembangan anak. Faktor ras, etnis, seksual
dan individu dapat memengaruhi erupsi dan biasanya dipertimbangkan dalam
menentukan standar erupsi normal. 2

Dalam tahap erupsi gigi dapat terjadi erupsi premature dan atau erupsi gigi
tertunda (DTE) yang paling sering ditemui dalam waktu erupsi normal. beberapa
tahun terakhir, pengetahuan tentang erupsi gigi biologis telah meningkat pesat.
Diketahui bahwa erupsi gigi bergantung pada keberadaan folikel gigi, osteoklas yang
membuat jalur erupsi melalui tulang alveolar dan osteoblas untuk membentuk tulang
alveolar yang baru. 3 Jika ada gangguan dalam salah satu proses ini, erupsi gigi tidak
dapat terjadi secara spontan. Gangguan pada erupsi gigi memiliki etiologi
multifaktorial, termasuk kegagalan akibat obstruksi mekanis, sindrom, patologi, atau
gangguan lain pada mekanisme erupsi. Setiap gangguan erupsi yang mungkin terjadi
selama masa transisi dari gigi primer ke gigi permanen sangat penting dilakukan
untuk dapat mencegah potensi masalah klinis, salah satunya adalah persistensi gigi
sulung. 4
Dalam beberapa kasus, gigi sulung tidak tanggal meskipun waktu erupsi gigi
permanen sudah lewat dan gigi sulung di lengkung gigi disebut gigi sulung persisten.
Gigi sulung dapat dipertahankan untuk berbagai jenis alasannya, yang paling umum
adalah tidak adanya pengganti gigi permanen, dengan prevalensi 0,3% -11,3%.5-7
Impaksi atau migrasi dari gigi pengganti dapat disebut sebagai faktor penting lain
yang berperan dalam persistensi gigi sulung.

Jika mahkota, akar, dan tulang alveolar penyangga gigi sulung tetap utuh, maka tidak

akan bermasalah pada lengkung gigi selama bertahun-tahun. Persistensi gigi sulung

memiliki banyak keuntungan; berfungsi sebagai pemelihara ruang, mencegah resorpsi

tulang alveolar, dan menunda kebutuhan rehabilitasi prostetik. Namun, persistensi

gigi sulung cenderung mengembangkan resorpsi akar terus menerus atau infraoklusi.

Selain itu, infraoklusi dapat menyebabkan tipping pada gigi yang berdekatan yang

menyebabkan ketidakseimbangan oklusi.8

2. Laporan Kasus
Pasien datang ke RSGM Maranatha diantar oleh ibunya yang mengeluhkan
terdapat gigi susu di depan gigi permanen yang berada di area depan kanan bawah
sejak kecil. Ibu pasien mengaku bahwa gigi susu tersebut membuat gigi depan
bawahnya tidak rapih. Pasien ingin gigi tersebut dicabut. Tidak ada kelainan pada
riwayat kesehatan umum dan belum pernah ke dokter gigi sebelummnya. Pasien
memiliki sifat pemalu, usia mental sesuai dan perilaku di kursi gigi positif. Tahap gigi
geligi adalah campuran awal.
Gambar 1. Mesiodens gigi 81

Gambar 2. Foto panoramik


Penatalaksanaan untuk kasus mesiodens ini adalah melakukan pencabutan
dengan tahapan yang pertama adalah melakukan tindakan aseptik dengan
menggunakan povidone iodine 10% pada area kerja (Gambar 3), kemudian
mengaplikasikan anestesi topikal dengan sediaan gel dan diamkan selama beberapa
menit (Gambar 4). Setelah itu lakukan anestesi infiltrasi dengan menggunakan
pehacaine dan penetrasikan pada muccobuccal fold area 81 (Gambar 5). Setelah
pasien merasakan kebas pada area tersebut maka dilakukan pelonggaran soket
menggunakan bein dan pencabutan menggunakan tang (Gambar 6 dan 7), lakukan
teknik rotasi dan luksasi ke anterior dan ekstraksi gigi tersebut. Setelah itu irigasi luka
dengan menggunakan NaCl dan gigit tampon dan memberikan instruksi pasca
pencabutan.

Gambar 3. Prosedur aseptik menggunakan povidone iodine


Gambar 4. Aplikasi anestesi topikal

Gambar 5. Anestesi infiltrasi


Gambar 6. Melonggarkan soket gigi menggunakan bein

Gambar 7. Pencabutan menggunakan tang


Gambar 8. Post pencabutan

Gambar 9. Gigi sulung yang persisten


Gambar 10. Kontrol 1 bulan

3. Diskusi
Pasien laki-laki berusia 8 tahun datang mengeluhkan terdapat gigi susu di
depan gigi permanen yang berada di area depan kanan bawah sejak kecil. Ibu
pasien mengaku bahwa gigi susu tersebut membuat gigi depan bawahnya tidak
rapih. Pasien ingin gigi tersebut dicabut.
Berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiografis, diketahui bahwa gigi susu
tersebut merupakan gigi persistensi. Dari pemeriksaan klinis dan rontgen
panoramik, dapat dilihat bahwa keberadaan persistensi gigi mendesak gigi
insisivus kanan permanen ke ke arah lingual dan membuat angulasinya menjadi
distorotasi. Adanya persistensi berpotensi mengakibatkan maloklusi di masa
depan.
Atas pertimbangan tersebut, diputuskan untuk dilakukan pencabutan
persistensi gigi. Karena akar sedikit mengalami resorbsi dan terdapat kegoyangan
grade 1, pencabutan mesiodens dilakukan dalam anestesi infiltrasi. Prosedur yang
dilaksanakan adalah sebagai berikut: aseptik, anestesi topikal, anestesi infiltrasi,
pencabutan, irigasi, dep tampon, instruksi pasca pencabutan, dan kontrol pasca
pencabutan.
Saat pasien datang kontrol, luka bekas pencabutan sudah menutup dengan
baik dan tidak terdapat keluhan apapun. Terdapat crowding anterior rahang bawah
akibat persistensi gigi dan diharapkan perawatan dapat dilanjutkan dengan
pembuatan alat ortodontik lepasan ketika semua gigi permanen erupsi.

4. Kesimpulan

Persistensi gigi merupakan kasus dimana gigi sulung tidak tanggal yang
disebabkan berbagai faktor. Perawatan untuk persistensi gigi biasanya adalah
pencabutan atau cukup dilakukan observasi tergantung dari kasus. Untuk kasus
dimana harus dilakukan pencabutan, sebaiknya memperhatikan usia anak, apabila
anak sudah cukup kooperatif maka dapat dilakukan pencabutan namun apabila
anak belum cukup kooperatif maka hanya dilakukan follow-up saja.
DAFTAR PUSTAKA

1. Matsuzaki H, Yanagi Y, Katase N, Nagatsuka H, Hara M, Ashida M, et al. Case


series: Conditions inhibiting eruption of permanent rst molars. Pediatr Dent
2013;35:67-70.

2. Suri L, Gagari E, Vastardis H. Delayed tooth eruption: Pathogenesis, diagnosis,


and treatment. A literature review. Am J Orthod Dentofacial Orthop
2004;126:432‐45.

3. Wise GE, Frazier‐Bowers S, D’Souza RN. Cellular, molecular, and genetic


determinants of tooth eruption. Crit Rev Oral Biol Med 2002;13:323-34.

4. Noda T, Takagi M, Hayashi‐Sakai S, Taguchi Y. Eruption disturbances in Japanese


children and adolescents. Pediatr Dent J 2006;16:50-6.

5. Vastardis H. The genetics of human tooth agenesis: New discoveries for


understanding dental anomalies. Am J Orthod Dentofacial Orthop
2000;117:650-6.

6. Polder BJ, Van’t Hof MA, Van der Linden FP, Kuijpers‐Jagtman AM. A meta-
analysis of the prevalence of dental agenesis of permanent teeth. Community
Dent Oral Epidemiol 2004;32:217‐26.

7. Buyuk SK, Ozkan S, Benkli YA, Arslan A, Celik E. Evaluation of the skeletal and
dental effects in orthodontic patients with maxillary lateral incisor agenesis. J
Esthet Restor Dent 2017;29:284-90.

8. Robinson S, Chan MF. New teeth from old: Treatment options for retained primary
teeth. Br Dent J 2009;207:315-20.

Anda mungkin juga menyukai