Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN DISKUSI INDIVIDUAL

BLOK 19 (Edentulus Sebagian)

PEMICU 4: “Aku Ingin Gigi Tiruan yang Nyaman”

DISUSUN OLEH:

INDAH ALIFIA

200600023 (Kelas A)

DOSEN PENYUSUN :
Syafrinani, drg., Sp.Pros(K)

Dr. Wilda Hafni Lubis, drg., M. Si

Cut Nurliza, drg., M.Kes., Sp.KG(K)

Fasilitator : Drg. Eddy Dahar., M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kehilangan gigi merupakan keadaan terlepasnya gigi dari soketnya. Kehilangan gigi
dapat secara langsung berdampak pada kualitas hidup. Mukosa rongga mulut akan mengalami
perubahan pada struktur, fungsi, dan juga elastisitas jaringan mukosa rongga mulur. Kehilangan
gigi dapat terjadi karena adanya interaksi faktor kompleks seperti, karies, penyakit periodontal,
dan trauma, kasus yang paling sering terjadi diakibatkan karena adanya karies (Nevry et al, 2019;
Widyagdo et al, 2017)

Gigi tiruan cekat adalah restorasi yang direkatkan secara permanen pada gigi yang terlah
dipersiapkan untuk memperbaiki sebagian atau seluruh permukaan gigi yang mengalami
kerusakan atau kelainan maupun menggantikan kehilangan gigi. Gigi tiruan cekat dapat berupa
mahkota tiruan dan gigi tiruan jembatan. Mahkota tiruan adalah restorasi yang disemen secara
ekstrakoronal, menutupi atau melapisi permukaan luar mahkota klinis gigi (Aschi, 2013;
Shillingburg et al, 2012).

1.2 Deskripsi Topik

Seorang perempuan usia 52 tahun, pegawai BUMN, datang ke RSGM USU, dengan
keluhan gigi tiruan lepasan yang dibuatnya ± 6 bulan yang lalu tidak nyaman dipakai dan ingin
menggantinya dengan gigi tiruan yang tidak dapat dibuka pasang. Pasien mengaku sedang dalam
perawatan dokter spesialis untuk penyakit hipertensi yang dideritanya selama 5 tahun. Tekanan
darah 155/90 mmHg. Obat yang digunakan yaitu Amlodipine yaitu clas calcium channel bloker.
Pasien juga mengeluh tentang mulut terasa kering. Pasien mempunyai kebiasaan merokok.

Dari hasil pemeriksaan klinis dijumpai :

- Gigi 21 sudah dicabut ± 6 bulan yang lalu akibat kecelakaan (jatuh dari sepeda motor).
- Gigi 11 terdapat klas IV RK dan terjadi perubahan warna.

Dari hasil pemeriksaan radiografi pada gigi 11 terlihat adanya gambaran radiolusen pada daerah
periapikal. Lamina dura terputus-putus.

- Gigi lainnya sehat.


- Oklusi normal.
- Terdapat kalkulus pada regio lingual rahang bawah.
- Hiposalivasi

1.3 Learning Issue


1. Indikasi dan kontra indikasi pembuatan GTJ
2. Perawatan pendahuluan pada GTJ
3. Desain GTJ
4. Preparasi gigi penyangga
5. Pencetakan fisiologis
6. Pemasangan sementara
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Berdasarkan data yang ada di atas, sebutkan dan jelaskan paling sedikit 7 alasan yang
menjadi pertimbangan saudara bahwa kasus tersebut dapat dibuatkan gigi tiruan yang
tidak dapat dibuka pasang (GTJ).

Jawaban :

a) Gigi penyangga kondisi dan posisi dari gigi asli yang masih ada dijadikan pertimbangan
untuk dijadikan gigi penyangga. Gigi penyangga tidak boleh goyang dan mempunyai
kedudukan sejajar dengan gigi lainnya. Maka, berdasarkan kasus gigi penyangga yaitu
gigi 22 dalam keadaan dan posisi yang baik serta gigi 11 juga dapat dirawatkan untuk
menjadikan sebagai gigi penyangga untuk kasus ini.
b) Jumlah gigi yang diganti luas permukaan selaput periodontal dari gigi-gigi penyangga
hendaknya sama atau lebih besar dari luas permukaan selaput periodontal dari gigi-gigi
yang akan diganti. Jika gigi yang diganti lebih banyak dari gigi penyangga, maka akan
merusak gigi penyangga itu sendiri dan jaringan- jaringan disekitarnya. Keadaan yang
baik adalah jika ada dua gigi penyangga ditiap ujung yang memenuhi syarat untuk
menggantikan satu gigi. Maka, pada kasus ini untuk penggantian gigi 21 dengan GTJ
terdapat dua gigi penyangganya ditiap ujung giginya.
c) Umur Penderita. Gigi tiruan jembatan sebaiknya tidak dibuat pada usia dibawah 17 tahun
karena ruang pulpa masih besar, gigi belum tumbuh sempurna, dan tulang rahang belum
cukup padat atau keras. Usia yang paling tepat untuk GTJ adalah diantara 20-55 tahun.
Berdasarkan kasus diatas ternyata bahwa pasien berusia 52 tahun yang sesuai untuk
dibuatkan GTJ.
d) Kesehatan gusi, selaput akar dan tulang. Pada sekitar gigi penyangga keadaan gusi harus
sehat, warna dan konsistensi gusi dapat dijadikan pedoman untuk gusi yang normal.
Oklusi traumatis dapat menyebabkan selaput periodontal meradang dan tulang alveolar
mengalami resorbsi, sehingga dapat menjadikan gigi goyang dan tidak mampu untuk
dijadikan penyangga yang kuat. Berdasarkan kasus, jaringan periodonsium juga dalam
keadaan normal.
e) Oklusi normal. Tekanan kunyah pada oklusi abnormal seperti gigitang silang dapat
menekan retainer pada gigi penyangga. Maka, untuk dibuatkan GTJ oklusi dan jaringan
periodonsium harus dalam keadaan normal untuk stabilitas setelah pemakaian GTJ.
Berdasarkan kasus diatas, pasien juga mempunyai oklusi yang normal yang menjadi salah
satu pertimbangan untuk dibuatkan GTJ.
f) Keadaan atau posisi gigi antagonis. Posisi gigi antagonis harus dalam keadaan normal
seperti pada kasus diatas yaitu tidak boleh ada kehilangan gigi, jika ada harus segera
digantikan. Gigi antagonisnya juga tidak boleh dalam keadaan migrasi atau ekstrusi yang
parah yang akan mengganggu membuatan GTJ. Maka, gigi antagonis pada pasien diatas
dalam keaadaan normal dan baik yang menjadi pertimbangan untuk membuat GTJ.
g) Faktor sosio-ekonomi pasien tersebut adalah baik. Contohnya menurut, kasus pasien
tersebut seorang pegawai yang tidak mempunyai masalah ekonomis untuk dibuatkan
GTJ. Pasien juga pada tingakt ekonomi yang tinggi yang mesti mementingkan estetik gigi
seperti meneyerupai gigi aslinya.
h) Mudah diadaptasi. Jika pasien yang menggunakan gigi tiruan jembatan dapat
diadaptasikan dengan segera pada usia ini berbanding gigi tiruan lepasan karena GTJ
karena tidak ada basis seperti pada GTL. Bagian lingual dari pontik dibuat bentuk dan
ukuran yang sama dengan gigi asli sehingga pasien mudah dan cepat berbicara dan rasa
nyaman. Contohnya, menurut kasus, pasien juga mengeluhkan tidak nyaman untuk pakai
GTL yang dipertimbangakan bahwa dapat dibuat GTJ pada kasus ini.

Sumber:

1. J. Cunha-Cruz, P. P. Hujoel, dan P. Nadanovsky, “Tren sekuler dalam kesenjangan


sosial- ekonomi dalam edentulism” Journal of Dental Research 2007; 86(2): 131-6.
2. C. W. Douglass, A. Shih, dan L. Ostry, “Apakah akan ada kebutuhan untuk gigi palsu
lengkap di Amerika Serikat pada tahun 2020?” Jurnal Kedokteran Gigi Prostetik 2002;
87(1): 5-8.

2.2 Jelaskan diagnosa dan rencana perawatan pada gigi 11 untuk persiapan pembuatan
gigi tiruan yang tidak dapat dibuka pasang (GTJ) pada gigi tersebut!

Jawaban :
Diagnosa gigi 11 adalah periodontitis apikalis kronis et causa nekrosis pulpa.
Nekrosis adalah matinya pulpa yang terjadi akibat suatu inflamasi, dan terjadi setelah injuri
traumatic yang pulpanya rusak sebelum terjadi reaksi inflamasi. Gigi dengan nekrosis pulpa
tidak merasakan sakit, penampilan mahkotanya opak, terkadang gigi mengalami perubahan
warna keabuabuan atau kecoklat-coklatan. Dari hasil pemeriksaan radiografi pada gigi 11 terlihat
adanya gambaran radiolusen pada daerah periapikal serta tampak lamina dura terputus-putus.

Pada pemeriksaan klinis terlihat gigi 11 terdapat klas IV RK dan terjadi perubahan warna.
Pada kasus ini, diskolorasi terjadi karena nekrosis pulpa. Nekrosis pulpa biasanya terjadi karena
bakteri, iritasi mekanis atau iritasi kimia pada pulpa. Produk nekrosis pulpa ini masuk ke tubulus
dentin dan menyebabkan diskolorasi. Terbentuknya lesi periapikal terjadi akibat produksi
respons inflamasi pada daerah apikal gigi. Setelah pulpa mengalami nekrosis, sistem saluran akar
menjadi tempat berkembangnya kolonisasi mikroorganisme. Akibat dekatnya hubungan
fisiopatologis antara pulpa dan periapikal, maka bakteri, jamur dan komponen sel memicu
terjadinya proses inflamasi pada jaringan periapikal. Proses inflamasi tersebut secara progresif
mampu mempengaruhi fenomena resorpsi. Sehingga, mekanisme inumopatologis tersebut akan
mengarah pada terjadinya abses, granuloma atau kista periapikal. Oleh sebab itu, pasien perlu
dilakukan perawatan saluran akar guna menghilangkan lesi pada jaringan periapikal.

Berikut tahapannya:1,2,3

1) Dilakukan pemasangan rubber dam, saliva ejector dan sterilisasi daerah kerja
2) Pemberian anastesi local
3) Dilakukan pembukaan akses kavitas menggunakan Endoaccess bur dan pembukaan atap
ruang pulpa dengan bur Diamendo.
4) Saluran akar diirigasi menggunakan NaOCl 2,5%. Irigasi saluran akar dilakukan sebelum,
selama dan sesudah preparasi saliran akar. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan kotoran
dan serbuk dentin dari saluran akar dan sebagai pelumas
5) Keringkan dengan paper point steril
6) Kemudian dilakukan pengukuran panjang kerja dengan menggunakan foto radiografis dan
apex locator.
7) Selanjutnya dilakukan eksplorasi dan negosiasi saluran akar menggunakan K-File #10. K-
File dimasukkan ke dalam saluran akar sepanjang 2/3 panjang kerja.
8) Preparasi saluran akar menggunakan teknik step back:
a. Preparasi di bagian apikal dengan jarum maksimal sampai no 25 dengan jarum awal
terkecil (no. 10 atau 15) dengan pengulangan sampai dirasa halus
b. Kurangi 1mm, gunakan jarum mulai dari jarum terakhir (no 25) sampai jarum paling
besar dengan tetap mengacu ke panjang kerja. Irigasi debridement dengan NaOCl 2,5%
c. Gunakan Gates Glidden-drill untuk membentuk preparasi dinding saluran akar dibagian
tengah hingga bagian orifisi. Biasanya digunakan no 2,3,4
d. Haluskan kembali saluran akar dengan jarum File no 25 sesuai panjang kerja. Irigasi
debridement dengan NaOCl 2,5%
e. Hasil akhir memberikan preparasi yang berkesinambungan membuat bentuk saluran akar
melebar dari persimpangan cementodentinoenamel ke mahkota/
9) Tahap kedua adalah preparasi badan saluran akar. File yang dipakai sampai dengan 3 nomor
lebih besar dari Master Apical File (MAF) yaitu no 25 dengan panjang kerja masing-masing
dikurangi 1mm setiap pergantian ke nomor yang lebih besar. Preparasi badan saluran akar
dimulai dari file #30, file #35, file #40.
10) Setiap pergantian file dilakukan rekapitulasi dengan file MAF
11) Setelah preparasi saluran akar dilakukan coronal flaring menggunakan headstroem file dan
dilakukan finishing dengan gerakan sirkumferensial.
12) Setiap pergantian file dilakukan irigasi menggunakan NaOCl 2,5% kombinasi dengan EDTA
15%.
13) Setelah preparasi saluran akar selesai dilakukan irigasi dengan larutan klorheksidin 2%
dengan cara digenangi selama 30 detik.
14) Tahap selanjutnya adalah pengepasan gutta percha sesuai MAF dan dilanjutkan dengan
pengambilan radiograf
15) Pengisian saluran akar dengan teknik kondensasi lateral
16) Sealer dimasukkan kedalam saluran akar menggunakan lentulo yang digerakkan dengan
handpiece low speed.
17) Gutta percha utama no 25 dioleskan sealer pada 1/3 apikal dan dimasukkan ke dalam saluran
akar
18) Spreader dimasukkan di antara gutta percha dan dinding saluran akar, kemudian dilakukan
kondensasi ke arah apikal
19) Gutta percha dipotong sampai batas orifis menggunakan plugger yang dipanaskan kemudian
dipadatkan
20) Kavitas ditutup dengan semen fosfat dan tumpatan sementara, kemudian dilakukan radiograf
untuk melihat hasil pengisian saluran akar
21) Radiograf harus menunjukkan hasil pengisian yang hermetic
22) Restorasi tetap klas IV dengan resin komposit.

Sumber:

1. Chandra S. Grossman’s endodontic practice. Wolters Kluwer India Pvt Ltd; 2014.
2. Santoso L, Kristanti Y. Perawatan saluran akar satu kunjungan gigi molar kedua kiri
mandibula nekrosis pulpa dan lesi periapikal. MKGK (Majalah Kedokteran Gigi Klinik)
(Clinical Dental Journal) UGM. 2016;2(2):65-71.
3. Triharsa S, Mulyawati E. Perawatan Saluran Akar Satu Kunjungan Pada Pulpa Nekrosis
Disertai Restorasi Mahkota Jaket Porselin Fusi Metal dengan Pasak Fiber Reinforced
Composit (Kasus Gigi Insisivus Sentralis Kanan Maksila). Majalah Kedokteran Gigi
Indonesia. 2013;20(1):180588.

2.3 Jelaskan pengaruh penyakit hipertensi dengan proses pembuatan gigi tiruan yang akan
dilakukan!
Jawaban :
Perawatan GTJ sering menggunakan anastesi lokal. Bahan vasokonstriktor yang menjadi
kontraindikasi pasien hipertensi adalah noradrenalin dan levonordefrin karena akan
meningkatkan tekanan darah secara drastis, akibat merangsang reseptor β1 lebih banyak dan
sedikit aktivitas di reseptor β2.
 Pada saat pencetakan fisiologis dibutuhkan suatu tindakan yaitu retraksi gingiva.
Kandungan epinefrin pada benang retraksi gingiva pada pasien dengan penyakit
hipertensi dikontraindikasikan karena dalam benang retraksi dosis epinefrinnya setara
hampir 12 catridge standar dan cepat diserap ke sistemik pasien. Pada dosis rendah
epinefrin hanya bekerja pada reseptor β adenergik yang menghasilkan efek berupa
peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung, sedangkan dengan dosis
yang lebih tinggi epinefrin bekerja pada reseptor α adenergik di pembuluh darah perifer
yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan darah.
 Pasien dengan penyakit kardiovaskular memiliki resiko tinggi komplikasi karena
endogenous catecholamines (adrenalin dan noradrenalin) yang dikeluarkan akibat rasa
sakit dan stress. Katekolamin ini juga dapat meningkatkan tekanan darah secara drastis.
 Obat antihipertensi dapat mengakibatkan manifestasi oral berupa xerostomia dan
hiposalivasi ditandai dengan mulut kering dan terkadang terasa rasa terbakar pada rongga
mulut yang dapat mengakibatkan rongga mulut pasien teriritasi akibat dari penurunan
lubrikasi saliva dan dapat mempengaruhi retensi gigi tiruan menurun1,2.
Hubungan Oral Manifestasi Hipertensi
Terdapat hubungan terkait penyakit hipertensi dengan perawatan GTJ dimana pasien
penderita hipertensi mempunyai resiko tinggi berkembangnya septicaemia ketika melakukan
perawatan prosthodontik. Karena rongga mulut adalah daerah yang baik dan ideal untuk
berkembangnya bakteri dan pada pasien yang dikasus memiliki permasalahan periodontal hal ini
beresiko meingkatkan bakteri yang dapat berpotensi memasuki aliran darah melalui jaringan
periodontal yang terinfeksi.3
Hubungan Hipertensi dengan Bahan Anastetikum.
Tekanan darah 155/90 mmHg dimana untuk klasifikasi hipertensi itu sendiri pasien
berada dalam stage I.
Pada perawatan GTJ ini memerlukan preparasi gigi dan gigi yang akan dipreparasi adalah gigi
yang vital. Sehingga diperlukan pemberian anestesi lokal pada pasien untuk mengurangi rasa
sakit yang dialami. Akan tetapi anestesi lokal yang mengandung adrenalin sebagai
vasokontriktor sangat kontraindikasi dengan pasien hipertensi.
Vasokonstriktor ini merangsang jantung dan mengakibatkan peningkatan denyut jantung
serta kekuatan kontraksi jantung sehingga jika tidak hati-hati dalam pemberiannya dapat
meningkatkan resiko serangan jantung, henti jantung, stroke dll. Dan juga dikaitkan jika dalam
perawatan kita membutuhkan gingival retraction cord dimana mengandung vasokontriktor
sehingga absorbs vasokontriktor itu sendiri saat melakukan perawatan justru mengkhawatirkan
karena dapat meningkatkan tekanan darah dan menybabkan elevasi akut yang bisa berakibat
stroke dll.
Lalu perawatan GTJ bukanlah perawatan yang sebentar sehingga ditakutkan stress dan
cemas berlebihan. Mengapa? Karena stress dan cemas berlebihan ini juga akan mengeluarkan
katekolamin endogen yang berdampak pada meningkatnya tekanan darah. Dengan kondisi pasien
tekanan darah 140/80mmHg masih dapat dilakukannya perawatan asal mendapat persetujuan
dari dokter spesialis yang merawat serta jadwal kunjungan lebih baik dijadwalkan dipagi hari
untuk terhindar dari hal yang tidak diinginkan dan memberikan anestesi dengan vasokontriktor
dengan takaran sekitar 1:100.000 sampai 1:50.000.3,4,5
Sumber:
1. Wijaya MA. Blood Pressure Changes on Tooth Extraction Using Local Anesthesia
Contains 1:80.000 Epinephrine at Jatinangor Primary Health Care. Journal of Medicine
and Health, 2018;2(2).
2. Fofescu SM, et al. Hypertensive Patients and Their Management in Dentistry. Hindawi
Journal, 2013: 1-8.
3. Sevty, A. (2019). Hubungan Laju Alir dan Viskositas Saliva Dengan Tingkat Kecekatan
Gigi Tiruan Penuh Pada Pasien Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Andalas
(Doctoral dissertation, Universitas Andalas).
4. Little WJ, dkk. Dental Management of The Medically Compromised Patient 9 ed. St.
Louis, Missouri: Mosby Elsevier, 2018 : 44-7.
5. Shetty G, dkk. Hypertension and Prosthodontics Care . International Journal of Science:
Basic and Applied Reasearch. 2015; 20(1): 260-5.) Hubungan Hipertensi dengan Retensi
Gigi Tiruan.
2.4 Apakah penyebab hiposalivasi pada pasien tersebut?
Jawaban :
Hiposalivasi adalah penurunan atau tidak adanya flow saliva sehingga menyebabkan
mukosa menjadi kering. Gejala yang timbul berupa rasa tidak nyaman pada rongga mulut,
kesulitan dalam menelan, gangguan pengecapan, rasa terbakar pada rongga mulut, bibir pecah-
pecah dan terkelupas. Secara umum penyebabnya adalah keadaan fisiologis (umur pasien 52
tahun), keadaan lokal pada rongga mulut seperti bernafas melalui mulut dan merokok, penyakit
pada kelenjar saliva dan faktor-faktor sistemik seperti penyakit sistemik, efek samping obat-
obatan dan faktor psikis.1
Pada kasus penyebab hiposalivasi pasien adalah disebabkan oleh efek samping obat-
obatan yaitu obat antihipertensi serta faktor usia dimana seiring dengan meningkatnya usia,
terjadi proses aging yang akan mengakibatkan perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva,
kelenjar parenkim akan hilang digantikan oleh jaringan lemak dan penyambung, mengakibatkan
berkurangnya jumlah aliran saliva.2,3
Golongan obat antihipertensi yang paling sering digunakan pasien hipertensi ialah
calcium channel blocker (CCB). Berdasarkan penelitian obat hipertensi tersebut dapat
mengakibatkan hiposalivasi pada pasien. Penurunan laju aliran saliva karena obat antihipertensi
disebabkan oleh depresi saraf otonom. Yang dimana saraf otonom pada kelenjar saliva berfungsi
untuk sekresi kelenjar saliva.3
Umumnya penderita yang mengalami hipertensi mengonsumsi obat amlodipine yang
merupakan obat hipertensi golongan calcium channel blocker dan terdapat beberapa laporan
bahwa calcium channel blocker dapat menyebabkan xerostomia.
Mekanisme kerja amlodipine adalah menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel
otot jantung dan otot polos pembuluh darah, dengan demikian amlodipine memiliki efek
relaksasi otot polos sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah. Pada kelenjar saliva, obat
ini menekan sekresi air dengan menutup channel kalsium sehingga pintu klorida tidak dapat
terbuka. Pintu klorida yang tidak terbuka menyebabkan klorida dari intraseluler tidak dapat
keluar melewati membran apikal sel asinar dan air juga tidak dapat masuk menuju lumen asinar.
Mekanisme tersebut mempengaruhi keseluruhan saliva yang terdiri dari 99% air sehingga
menyebabkan xerostomia.4
Sumber:
1. Amalian Siti Z, Restadiamawati. Pengaruh penggunaan katopril pada penderita hipertensi
terhadap laju aliran saliva dan pembesaran gingiva. 2015; 4(4): 345-354.
2. Tambuwun P, dkk. Gambaran Keluhan di Rongga Mulut Pada Pengguna Obat
Antihipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Tingkat III Robert Wolter
Monginsidi Manado. Jurnal e-GiGi (eG) 2015; 3(2): 244.
3. Alamsyah R, Nagara C. Xerostomia pada pasien hipertensi di Puskesmas Sering dan
Sentosa Baru Medan. Jurnal PDGI 2015; 64 (2): 110–115.
4. Villa A, dkk. Diagnosis and Management of Xerostomia and Hyposalivation.
Therapeutics and Clinical Risk Management. 2015; 1(1): 45-51.
2.5 Bagaimana tatalaksana hiposalivasi untuk pasien tersebut?
Jawaban :
Tatalaksana berupa pendekatan palliative untuk mengurangi gejala dan mencegah
komplikasi. Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk menanggulangi hiposalivasi adalah
menyingkirkan faktor etiologi. Pada kasus, penyebab pasien hiposalivasi adalah obat
antihipertensi yang digunakan dalam jangka waktu 5 tahun. Maka, hal tersebut dapat
ditanggulangi dengan mengganti obat dengan bahan aktif yang serupa dari golongan yang
berbeda.
 Perawatan Multidisiplin
Sebagai dokter gigi, perawatan terbaik adalah perawatan multidisiplin sehingga kita dapat
merujuk kembali pasien tersebut ke dokter spesialis yang merawat terkait penyakit hipertensinya
unuk memberi pertimbangan penggantian medikasi lainnya yang memiliki efek xerogenic yang
minimal atau bisa dengan menurunkan dosis medikasi sebelumnya. Karena pada dasarnya pasien
yang xerostomia lebih dapat ditangani dengan reduksi dosis medikasi dan replacement medikasi.
 Edukasi
Memberikan instruksi dan edukasi kepada pasien berupa:
a) Menyikat gigi secara teratur 2 kali sehari dengan menggunakan pasta gigi yang
mengandung floride dan sikat gigi yang lembut.
b) Stimulus saliva dengan mengunyah permen tanpa gula dan permen karet untuk
merangsang aliran saliva.
c) Tidak berkumur dengan obat kumur yang mengandung alcohol karena dapat
menyebabkan mulut kering.
d) Pasien diinstruksikan untuk sering berkumur menggunakan air putih. Lalu pasien
dimonitor kebersihan mulutnya dan keaadaan mukosa rongga mulut dengan kunjungan ke
dokter gigi setiap 3 bulan, pemeriksaan ulang dan tindakan profilaksis akan membantu
mencegah dan mengontrol efek dari mulut kering.
Sumber:
1. Moore PA dan Guggenheimer J. Medication-Induced Hyposalivation: Etiology,
Diagnosis, and Treatment. Compend Contin Educ Dent, 2008; 29 (1): 50-5.
2. Soeprapto A. Pedoman dan Tata Laksana Praktik Kedokteran Gigi, Yogyakarta: STPI
Bina Insan Mulia, 2017; 203-14.
2.6 Jika sekiranya GTJ yang akan saudara buatkan adalah GTJ logam keramik, jelaskan
desain dari GTJ tersebut, berserta ALASANNYA meliputi:

Jawaban :

a. Tipe GTC
Tipe GTJ yang digunakan pada kasus adalah fixed bridge. Fixed bridge ialah desain
dimana pontik terhubung ke abutment (penyangga) dikedua sisi, memberikan kekuatan
yang diinginkan dan stabilisasi. Kedua ujungnya direkatkan secara kaku (rigid) pada gigi
abutmentnya. Bahan yang digunakan pada fixed bridge ini adalah porcelain fused to
metal (logam keramik).
b. Gigi yang dipilih sebagai penyangga
Gigi yang dipilih sebagai penyangga adalah gigi 11 dan 22, dimana kedua gigi tersebut
merupakan gigi yang paling dekat dengan area edentulus. gigi 22 dipilih menjadi gigi
penyangga karena gigi tersebut sehat tanpa adanya kelainan, yang membutuhkan
perawatan terlebih dahulu. gigi 11 yang nonvital yang akan dijadikan penyangga GTJ,
terlebih dahulu harus dilakukan PSA. PSA yang dilakukan harus sempurna dan gigi
penyangga tersebut harus telah dipersiapkan dengan pasak dan inti sebagai retensinya.
c. Jenis retainer
Retainer yang dipilih adalah complete veneer crown (Metal ceramic crown) pada gigi 22,
dan retainer dowel crown pada gigi 11. Dowel crown dipilih karena gigi 11
membutuhkan PSA sebagai perawatan pendahuluan karena gigi 11 nekrosis pulpa.
Retainer dowel crown menggunakan retensinya yang berupa pasak yang telah
disemenkan ke saluran akar yang telah dirawat dengan sempurna. Complete veneer
crown, yaitu metal ceramic crown dipilih pada gigi 22 karena diindikasikan pada gigi
yang membutuhkan estetika, yaitu gigi anterior, dan mempunyai kekuatan yang tinggi
karena adanya unsur metal, dan retensi yang dihasilkan kuat.1,2
d. Tipe dasar pontik:
Tipe pontik yang digunakan untuk kasus ini adalah modified ridge lap. Pontik ini
memiliki permukan fasial yang menutupi residual ridge dan bagian lingual yang tidak
berkontak dengan ridge, sehingga indikasi dari pontik ini adalah digunakan pada daerah
yang memerlukan estetik (gigi anterior). Pada kasus , pasien kehilangan gigi anteriornya
(gigi 21).3
e. Bentuk akhiran servikal
Bentuk akhiran servikal preparasi yang digunakan pada kasus ini adalah preparasi
shoulder. Preparasi shoulder ini adalah preparasi yang mempunyai bahu mengelilingi
seluruh servikal sehingga disebut full shoulder. Preparasi ini lebih menjamin adanya
ruangan yang cukup di daerah servikal terutama untuk kelompok restorasi metal porselen.
Bur yang digunakan dalam pembuatan akhiran tepi servikal ini adalah bur bentuk fisur
runcing yang ujungnya rata. Bur ini digunakan apabila diperlukan ruangan untuk
penempatan restorasi yang terbuat dari porselen.4

Sumber:

1. Prajitno HR. Ilmu Geligi Tiruan Jembatan. Buku Kedokteran Gigi. Jakarta, 1991: 10.
2. Martanto P. Teori dan praktek ilmu mahkota dan jembatan. Jilid I. Bandung: Penerbit
Alumni; 1981. 61.
3. Tiku YGS, Jubhari EH. Selection of pontic design. Makkasar Dent J 2019; 8(3): 136.
4. Machmud E, Desain preparasi gigitiruan cekat mempengaruhi kesehatan jaringan
periodontal. Dentofasial 2008; 7(1): 13-8.

2.7 Jelaskan prosedur preparasi gigi penyangga untuk kasus diatas.

Jawaban :

Gigi yang dijadikan sebagai gigi penyangga adalah gigi 11 yang sudah dilakukan
perawatan saluran akar dan gigi 22. Preparasi gigi penyangga harus memenuhi prinsip
kesejajaran antar gigi penyangga dan pengambilan jaringan seoptimal mungkin. Seluruh bidang
aksial hasil preparasi dari masing-masing gigi penyanggaharus sejajar. Bidang aksial ini
mencakup antar bidang proksimal, bukal/labial dan palatal/lingual. Prosedur preparasi gigi
penyangga untuk kasus ini adalah:

1. Persiapan alat
Alat yang akan digunakan untuk preparasi (mikromotor, contraangle handpiece dan bur
diamond)
2. Pembuatan Depth Guide
Tujuannya mencegah pergeseran ke lingual atau labial dan mendapatkan ketebalan preparasi
di daerah tersebut.
- Kedalaman bagian labial/bukal 1,3 mm
- Kedalaman bagian insisal 1,8 mm
- Kedalaman bagian oklusal 1,3 mm
3. Preparasi permukaan insisisal (occlusal reduction)
Pengurangan insisal 2 mm => ketebalan material porcelain => translusensi. Pengurangan
permukaan oklusal harus diperhitungkan agar jangan banyak dilakukan, hal ini bertujuan
untuk mempertahankan tebal lapisan dentun sehingga sanggup melindungi kesehatan
jaringan pulpa yang berada di bawahnya, namun pengasahan juga harus cukup ketebalannya
untuk menjamin kekuatan restorasi yang akan dihasilkan memadai dan kualitas estetis yang
baik.
4. Preparasi Permukaan Labial dan Lingual
Tujuannya memeroleh ruangan yang cukup untuk logam pemaut yang memberi kekuatan
pada pemaut dan supaya beban kunyah dapat disamaratakan. Membuat 3 alur panduan
(groove) dengan flat end tapered diamond bur sedalam 1,5mm, groove dibuat sejajar sumbu
gigi. Bidang labial pada bagian mesial dikurangi terlebih dahulu, sisi distalnya sebagai
panduan ataupun sebaliknya.
5. Preparasi Bagian Proksimal
Pengurangan bagian proksimal membentuk konus, kemiringan 5-10˚. Tujuannya membuat
bidang mesial dan distal preparasi sesuai arah pasang jembatannya dan mengurangi
kecembungan permukaan proksimal yang menghalangi pemasangan jembatan. Menggunakan
bur tapered dengan preparasi sedikit demi sedikit memakai ujung mata bur mulai dari oklusal
menuju ke servikal dan berakhir ±1,5 mm dari margin gingiva. Hindari gigi tetangganya
tidak ikut terasah. Preparasi dengan ketebalan ± 1,5 mm dan tidak boleh ada daerah undercut.
6. Pembulatan Sudut Preparasi Bidang Aksial
Menggunakan bur kerucut, sudut pertemuan antara dua bidang preparasi ditumpulkan.
Sedikit pengasahan bertambah kelancipan menyebabkan retensi berkurang cukup besar.
7. Pembentukan Tepi Servikal
Tujuannya batas servikal harus rapi dan jelas batasnya untuk memudahkan pembuatan pola
malamnya. Batas akhir preparasi pada bagian servikal harus dibentuk, dipertegas dan berada
setinggi margin gingival untuk mengakomodasi faktor estetik dan kesehatan jaringan
gingiva. Periksa hasil preparasi dengan sonde, hasilnya harus halus dan licin.

Gambar 1. Preparasi Gigi Penyangga


Sumber:

1. Rosenstiel SF, Land MF, Fujimoto J. Contemporary Fixed Prosthodontics. 5th ed., St.
Louis: Elsevier Inc, 2016: 173 - 80.

2.8 Jelaskan 4 (empat) hal yang harus diperhatikan dalam preparasi gigi penyangga.

Jawaban :

1) Petimbangan biologis
a. preparasi tidak boleh membahayakan jaringan sekitar dan pulpa.
b. restorasi harus dibuat sedemikian rupa,sehingga tidak mudah terjadinya penumpukan
sisa makanan dan plaque.
c. biokompatibel.
2) Pertimbangan mekanis gigi penyangga yang dipreparasi harus tetap mencerminkan
kekuatan, retensi dan resistensi restorasi.
3) Pertimbangan estetis Restorasi yang ditempatkan pada gigi penyangga harus memiliki
tampilan metal minimum, ketebalan porselen maksimum, kesesuaian warna, ukuran dan
bentuk serta susunan yang tepat dengan gigi-gigi disekitarnya dan antagonis.
4) Pertimbangan psiko-sosial tindakan pengasahan hampir selalu timbul rasa sakit/ngilu
terutama pada gigi yang masih vital, meskipun gradasinya bervariasi sesuai ambang
rangsang individu dan tipe kepribadiannya. Disamping itu tindakan pengasahan
menimbulkan bunyi yang cukup menakutkan, dengan demikian operator perlu
memperhatikan faktor psiko-sosial dalam melakukan perawatan pada penderita untuk
menghilangkan atau mengurangi rasa takut. Timbulnya rasa sakit tidak hanya muncul
dari rangsangan dan respon fisik, tetapi juga berkaitan dengan respon emosi. 1,2

Adapun hal yang harus diperhatikan, yaitu :3

a. Kemiringan dinding-dinding aksial


Preparasi gigi yang terlalu konus mengakibatkan terlalu banyak jaringan gigi yang
dibuang sehingga dapat menyebabkan terganggunya vitalitas pulpa seperti
hipersensitifitas, pulpitis dan bahkan nekrose pulpa. Kemiringan dinding aksial preparasi
yang ideal adalah berkisar antara 5-10o dan idealnya adalah 6°.
b. Ketebalan preparasi
Pengambilan jaringan gigi harus mempunyai ketebalan yang cukup untuk
memberi ketebalan pada bahan retainer agar cukup kuat untuk menahan daya kunyah
tanpa berubah bentuk. Jaringan gigi hendaklah diambil seperlunya karena dalam
melakukan preparasi kita harus mengambil jaringan gigi seminimal mungkin. Ketebalan
preparasi berbeda sesuai dengan kebutuhan dan bahan yang terbuat dari logam sebagai
retainer, maka ketebalan pengambilan jaringan berkisar antara 1-1,5 mm, sedangkan
apabila menggunakan gabungan logam-porselen pengambilan jaringan gigi berkisar
antara 1,5-2 mm. Ketebalan pengambilan jaringan gigi yang terbuat dari porselen seperti
pada pembuatan mahkota jeket porselen adalah sebesar 1 mm.
Pengambilan jaringan gigi yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan
terganggunya vitalitas pulpa seperti hipersensitifitas, pulpitis hingga nekrosis pulpa.
Pengambilan jaringan gigi yang terlalu sedikit dapat mengurangi retensi retainer karena
retainer terlalu tipis sehingga dapat berubah bentuk akibat daya kunyah. Perubahan
bentuk ini mengakibatkan ikatan semen akan hancur akibat retainer akan lepas dari
penyangga.
c. Kesejajaran preparasi gigi penyangga
Preparasi gigi penyangga pada pembuatan jembatan harus membentuk arah
pemasangan dan pelepasan yang sama antara satu gigi penyangga dengan gigi penyangga
yang lain. Bila tidak sama maka jembatan tidak dapat dapat dipasangkan dengan baik.
Oleh karena itu, sebelum memulai preparasi gigi, perlu ditentukan terlebih dahulu arah
pemasangan jembatan. Untuk menentukan arah pemasangan dengan melakukan survei
pada model. Arah pemasangan harus diilih yang paling sedikit mengorbankan jaringan
keras gigi, tetapi dapat menyebabkan jembatan duduk sempurna pada tempatnya.
d. Preparasi mengikuti bentuk anatomi gigi
Preparasi gigi harus mengikuti bentuk anatomi gigi aslinya. Preparasi yang tidak
mengikuti anatomi gigi seperti bentuk yang membulut di samping dapat membahayakan
vitalitas pulpa juga dapat mengurangi retensi retainer gigi tiruan jembatan. Preparasi pada
permukaan oklusal harus disesuaikan dengan morfologi oklusal gigi. Apabila todak
mengikuti morfologi oklusal dapat mengurangi retensi yang dihasilkan oleh preparasi.
Gigi mempunyai pulpa yang bentuknya sama dengan bentuk morfologi gigi. Gigi dengan
tonjol yang sangat menonjol akan mempunyai pulpa dengan bentuk yang sama. Apabila
preparasi tidak mengikuti bentuk anatomi gigi maka pulpa dapat terkena sehingga
menimbulkan reaksi negatif pada pulpa seperti hipersensitifitas, pupitis hingga nekrose
pulpa.
Sumber:
1. Ananda, N., Sulistyani, L. D., & Bachtiar, E. W. (2017). Pertimbangan penggunaan
implan gigi pada lansia. Insisiva Dent J, 6(1), 47-8.
2. Machmud, E. (2008). Desain preparasi gigitiruan cekat mempengaruhi kesehatan jaringan
periodontal. J Dentomaxillofacial Sci, 7(1), 13-18.
3. Nordlander J, Weir D, Stoffer W, Ochi S. The taper of clinical preparation for fixed
prosthodontics, J Prosthet Dent 1988; 60: 148-55.
BAB III

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Kehilangan gigi permanen pada rongga mulut menyebabkan menurunnya kualitas hidup
pasien. Pada kasus diatas pasien akan dibuatkan gigi tiruan jembatan. Gigi tiruan jembatan
merupakan salah satu alternatif perawatan di bidang kedokteran gigi khususnya bidang
prostodonsia. Seseorang yang kehilangan gigi perlu dilakukan tindakan rehabilitasi untuk
mengembalikan fungsi pengunyahan, bicara dan sekaligus memperbaiki fungsi estetik.
Ketepatan dalam perencanaan pembuatan gigi tiruan jembatan, prinsip-prinsip pembagian daya
atau beban dan melakukan prosedur gigi tiruan jembatan yang sesuai dengan bentuk anatomi dan
sesuai dengan gigi antagonis merupakan kunci sukses keberhasilan pencapaian proses
rehabilitasi fungsi kunyah secara fisiologis. Adanya gangguan pada fungsi kunyah berupa bentuk
mahkota gigi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, adanya kontak antara bidang oklusal yang
tidak merata, bentuk anatomi yang tidak sesuai dengan gigi-gigi antagonis dan terdapat
ketidaksesuaian dengan pergerakan rahang pada saat mengunyah, dapat menyebabkan timbulnya
gangguan pada transmisi persyarafan sensorik dan motorik penggerak rahang, kelainan patologis
pada sendi rahang dan gigi-gigi yang dipergunakan sebagai pendukung atau penyangga mahkota.
Pasien diatas merupakan pasien kompromis medis sebab memiliki penyakit hipertensi. Kondisi
kompromis medis perlu dipertimbangkan dalam menangani masalah kesehatan gigi pasien
dengan medically-compromised, hubungan masalah medik tersebut dengan masalah perawatan
gigi, pencegahan komplikasi, efek atau pengaruh komplikasi tersebut terhadap perawatan gigi.

Anda mungkin juga menyukai