Anda di halaman 1dari 46

BLOK DENTAL REHABILITATIVE

LAPORAN KELOMPOK
TAHAPAN GIGI TIRUAN LEPASAN (GTSL)

Disusun Oleh:
PUTRI SILVIA NURCAHYANI G1B016002
VIOLENTRI MULTRI G1B016007
IRENE PUTRI JAYANTI G1B016008
LINDA RAMADANTI G1B016010
MAITSA FARRASOYA G1B016011
FAHMI HIDAYATULLA G1B016032
DEAN PIAGIO ASHARI G1B016033
ASA OLADA AKHIRA G1B016035
AUDRIA ELFAR DINAR G1B016039
FEISAL HAMZAH G1B016044
ISAULA ALMAS SANA G1B016045

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2020
TAHAPAN GIGI TIRUAN SEBAGIAN LEPASAN (GTSL)

1. Definisi GTSL
Gigi tiruan sebagian lepasan adalah gigi tiruan yang menggantikan
satu atau beberapa gigi pada rahang atas atau rahang bawah dan dapat
dibuka-pasang oleh pasien. Gigi yang tidak diganti dapat menyebabkan
masalah bagi gigi yang masih ada dan jaringan pendukungnya seperti
bergesernya gigi ke ruang yang kosong (migrasi), memanjangnya gigi
antagonis ke arah ruang yang kosong, gigi antagonis akan kehilangan
kontak, resesi gingiva, trauma pada jaringan pendukung, dan resorpsi
linggir alveolar (Carr, 2011).

2. Indikasi GTSL
Indikasi GTSL, antara lain:
a. Area edentulous panjang akan membutuhkan support dan stabilisasi dari
gigi sisi rahang belawanan, jaringan residual, dan gigi abutment.
b. Kennedy Kelas I/II dengan GTSL cantilever menyebabkan torque yang
mengakibatkan resorpsi tulang, gigi goyang, dan restorasi gagal.
c. Kehilangan tulang yang berlebihan pada residual ridge menyebabkan
perluasan basis untuk dukungan tambahan.
d. Masalah fisik.psikis.
e. Hubungan maksila-mandibula unfavourable.
f. Keinginan pasien.
g. Gigi tiruan immediate.
h. Kontraindikasi dari GTC, yaitu usia kurang dari 17 tahun dan ruang pulpa
masih lebar (Soeprapto, 2016).

3. Tahapan Pembuatan GTSL


a. Kunjungan pertama
1) Pemeriksaan subjektif: Anamnesa
Anamnesis merupakan keterampilan klinik dasar yang harus dikuasai
untuk mengetahui riwayat masa lalu dari suatu penyakit atau kelainan

1
berdasarkan ingatan penderita pada waktu dilakukan wawancara dan
pemeriksaan medik/ dental (Rehatta dkk, 2014). Menurut Gunadi dkk
(2016) komponen anamnesis terdiri dari beberapa macam, antara lain:
a) Identitas pasien
 Nama lengkap.
 Usia.
 Jenis kelamin.
 Pekerjaan.
 Alamat dan nomor telepon
b) Keluhan utama (chief complaint). Keluhan utama merupakan keluhan
yang membawa pasien untuk memperoleh pertolongan dan
permintaan perawatan sesuai yang diinginkan pasien.
c) Riwayat penyakit sekarang (present ilness). Hal ini berisi deskripsi
yang menerangkan keluhan utama dan gejala yang menyertainya.
Penyebab gigi hilang sangat perlu ditanyakan, apabila kehilangan gigi
disebabkan oleh karies, kemungkinan besar pasien kurang
memperhatikan kebersihan mulutnya, dengan demikian pengetahuan
kesehatan giginya harus ditingkatkan. Namun, jika disebabkan karena
gigi goyang, dokter gigi harus memperhatikan penyakit sistemik dan
penyakit periodontal dengan menggali informasi lebih dalam lagi,
sedangkan apabila gigi hilang karena benturan, terkadang perlu
dilakukan rontgen foto untuk mengetahui apakah masih ada sisa akar
gigi yang tertinggal, atau adakah tulang yang tajam. Waktu atau posisi
pencabutan terakhir perlu diketahui oleh dokter gigi yang bertujuan
untuk memperkirakan kecepatan resorbsi tulang alveolar dan
pergeseran gigi atau penyakit sistemik. Pengalaman pasien dengan
pemakaian gigi tiruan dan lamanya penggunaan perlu ditanyakan,
apakah dahulu pernah memakai gigi tiruan, kapan mulai dipakai, apa
yang disukai dan yang tidak disukai dari gigi tiruan, hal ini perlu
ditanyakan oleh dokter gigi supaya diketahui apa yang dikehendaki
oleh pasien.

2
d) Riwayat kesehatan umum (past medical history). Berisi informasi
mengenai riwayat kesehatan umum pasien mulai pada saat anak-anak
hingga keadaan saat ini. Beberapa penyakit yang harus diperhatikan
dalam pembuatan gigi tiruan, antara lain:
 Diabetes mellitus. Gejala yang biasanya terlihat pada rongga mulut
penderita diabetes mellitus, yaitu gigi mudah goyang, gusi mudah
bengkak, tercium bau aceton, luka akan sukar sembuh dan
xerostomia. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap rencanan
perawatan, desain gigi tiruan, cara kerja, dan prognosis, sehingga
dengan adanya kondisi demikian hindari terjadinya trauma pada
gigi penyangga dan jaringan pendukung, hindari terjadinya luka
dalam mulut pada saat bekerja, hindari tindakan pembedahan yang
terlalu besar, gunakan bahan cetak yang dapat mengalir bebas, dan
buat desain rangka gigi tiruan yang mudah dibersihkan.
 Penyakit kardiovaskular. Pasien dengan kondisi ini biasanya mudah
cepat lelah, sehingga waktu perawatan tidak diperbolehkan terlalu
lama. Perhatikan pula pada waktu pencabutan, hindari penggunaan
bahan anestetikum mengandung vasokontriktor karena bahan ini
dapat mempengaruhi tekanan darah penderita.
 Kelainan darah (anemia, hemophilia, dan leukemia). Pasien dengan
kondisi ini biasanya memiliki prognosis yang kurang memuaskan
karena kebanyakan pasien mengeluh adanya rasa sakit meskipun
kedudukan protesa sudah baik.
 Gastrointestinal. Pasien dengan kondisi ini biasanya mudah cepat
lelah dan lebih senditif, sehingga perawatan tidak diperbolehkan
terlalu lama dan harus lebih berhati-hati dalam proses pencetakan
karena pasien mudah muntah.
 Penyakit infeksi (tuberkulosis, hepatitis, dan AIDS). Pasien dengan
kondisi ini umumnya lemah. Proteksi terhadap operator dan pasien
lain harus di tingkatkan dengan cara memakai alat pelindung diri
dengan baik dan setelah alat digunakan maka lakukan pensterilan
dengan baik dan benar.

3
e) Riwayat kesehatan gigi dan mulut (past dental history). Berisi
informasi mengenai kesehatan dental yang pernah dijalankan, seperti
pernah ke dokter gigi atau tidak, jenis perawatan yang dilakukan, dan
waktu perawatan gigi. Kebiasaan buruk yang berkaitan dengan rongga
mulut pasien juga harus digali agar dokter gigi dapat
mempertimbangkan gigi tiruan yang akan digunakan.
f) Riwayat kesehatan keluarga (family history). Riwayat keluarga ini
penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial, atau
penyakit infeksi.
g) Riwayat Sosial (social history). Berisi informasi mengenai riwayat
sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan-kebiasaan pasien (Gunadi
dkk, 2016; Carr dan Brown, 2011; Zarb, 2013).
2) Pemeriksaan objektif
a) Pemeriksaan ekstra oral
 Muka: Bentuk muka seseorang dapat dibedakan atas bentuk
lonjong / persegi / segitiga / kombinasi. Muka pasien juga harus
diperiksaan terhadap kemungkinan adanya abnormalitas seperti
asimetri, pembengkakan, hemiatropi, dan hemihiperatropi. Bentuk
muka berhubungan dengan bentuk gigi insisivus sentral atas yang
berpengaruh terhadap pembuatan gigi tiruan. Bentuk profil wajah
seseorang dapat dibedakan atas bentuk lurus / cembung / cekung.
Bentuk dan profil muka perlu diperiksa untuk pemilihan bentuk
dan susunan elemen gigi, serta sebagai pedoman untuk penentuan
hubungan rahang atas dan rahang bawah.
 Pupil: sama tinggi / tidak sama tinggi. Garis interpupil ditentukan
untuk kesejajaran dengan bidang insisal galengan gigit anterior.
 Tragus: sama tinggi / tidak sama tinggi. Garis Camper ditentukan
untuk kesejajaran dengan bidang oklusal galengan gigit posterior.
Selain itu, garis yang ditarik dari tragus ke foramen infraorbita juga
dapat dipakai sebagai pedoman untuk mencetak rahang atas, yaitu
garis tersebut harus sejajar dengan lantai.

4
 Hidung: simetris / asimetris, pernafasan lancar / tidak. Cara
bernafas pasien diperiksa menggunakan kaca mulut yang
ditempelkan pada lubang hidung pasien, apabila kaca mulut terlihat
berembun, maka pernafasan melalui hidung lancar. Namun apabila
kaca mulut tidak terlihat berembun, dapat disimpulkan bahwa
orang tersebut bernafas dengan mulut, sehingga hal ini
menimbulkan kesulitan pada waktu dilakukan pencetakan karena
pasien sulit bernafas yang mengakibatkan rasa ingin muntah. Salah
satu jalan keluarnya adalah memilih bahan cetak dengan waktu
pengerasan yang cepat
 Bibir
Bibir atas: hipotonus / normal / hipertonus, tebal / tipis, simetris /
asimetris, panjang / pendek.
Bibir bawah: hipotonus / normal / hipertonus, tebal / tipis, simetris /
asimetris, panjang / pendek.
Tonus dan tebal tipisnya bibir berhubungan dengan inklinasi labio-
lingual gigi anterior. Penilaian simestris dan simetris bibir juga
perlu dilakukan, karena pada bibir yang asimetris, penyusunan gigi
harus dibuat sedemikian rupa sehingga keadaan tersebut tidak
begitu terlihat (dentogenik). Panjang pendeknya bibir berperan
dalam menentukan letak bidang insisal dan garis tertawa.
 Sendi rahang:
Kanan: bunyi / tidak, sejak kapan.
Kiri: bunyi / tidak, sejak kapan.
Buka mulut: deviasi ke kanan / deviasi ke kiri / tidak ada deviasi.
Trismus: ada / tidak.
Pemeriksaan sendi rahang ini digunakan untuk mengetahui
pergerakan dari sendi tersebut. Pergerakan sendi rahang dapat
dilaukan dengan tiga cara, baik inspeksi, palpasi maupun auskultasi
dengan pasien diminta untuk membuka dan menutup mulutnya
berkali-kali secara perlahan-lahan, dan periksa apakah terlihat,
teraba maupun terdengar abnormalitas pada sendi rahang pada

5
waktu membuka atau menutup mulut. Pada saat pasien membuka
dan menutup mulutnya, perhatikan juga apakah ada penyimpangan
gerak (deviasi), dan apakah pasien mengalami kesulitan pada
waktu membuka mulutnya (trismus). Bila ketiga gejala tersebut
ada, pasien mungkin mempunyai kelainan sendi rahang, dan
dianjurkan untuk memeriksakan ke bagian Gnatologi.
b) Pemeriksaan intra oral
 Oral hygiene: pemeriksaan kebersihan mulut ini meliputi adanya
kalkulus, debris, plak, dan stain pada gigi geligi pasien. Kebersihan
mulut yang berburuk dapat menyebabkan berbagai penyakit
periodontal, oleh karena itu perawatan periodontal ini hendaknya
mendahului pemberian perawatan prostodontik agar hasil
perawatan tidak mengalami kegagalan.
 Saliva:
Kuantitas: Sedikit / Normal / Banyak.
Kualitas: Encer / Normal / Kental.
Kuantitas dan kualitas dari saliva dapat mempengaruhi retensi
terutama untuk gigi tiruan lengkap
 Lidah:
Ukuran: Kecil / Normal / Besar. Ukuran lidah dapat mempengaruhi
proses pencetakan dan pemasangan gigi tiruan. Lidah yang
berukuran besar akan menyulitkan operator pada saat pencetakan
dan pemasangan gigi tiruan. Pasien akan merasakan ruang lidahnya
sempit, sehingga terjadi gangguan bicara dan kestabilan protesa.
Lidah yang berukuran kecil juga tidak dapat memberikan
penutupan yang memadai untuk protesa rahang bawah.
Posisi: Kelas I / II / III. Posisi Kelas I: posisi ujung lidah terletak
di atas gigi anterior bawah. Kelas II : posisi lidah lebih tertarik ke
belakang. Kelas III: lidah menggulung ke belakang sehingga
terlihat frenulum lingualis.Posisi yang paling menguntungkan
adalah Kelas I.

6
Mobilitas: Normal / Aktif. Aktifitas lidah diperiksa dengan cara
menyentuh pada salah satu bagian menggunakan sebuah alat. Lidah
yang aktif atau mobilitas aktif/tinggi, sentuhan ringan saja sudah
menyebabkan gerakan yang sangat aktif sehingga hal ini akan
mengganggu retensi dan stabilisasi gigi tiruan.
 Refleks muntah: Tinggi / Rendah. Refleks muntah pasien sangat
mempengaruhi proses mencetak. Jika seorang pasien memiliki
refleks muntah yang tinggi, maka perlu mengalihkan perhatian
pasien pada hal-hal, mengajak pasien mengobrol, mengatur posisi
duduk pasien, serta menggunakan bahan cetak yang tidak terlalu
cair dan menggunakan bahan yang cepat setting.
 Mukosa mulut: Sehat / Ada Kelainan. Pemeriksaan dilakukan
untuk melihat apakah terdapat kelainan, iritasi atau keadaan
patologik pada jaringan mukosa mulut. Mukosa mulut yang kurang
sehat akan menyebabkan rasa sakit jika pasien memakai gigi tiruan
lepasan.
 Gigitan: Ada / Tidak Ada
Bila ada: Stabil / tidak stabil. Gigitan dikatakan ada dan stabil bila
model rahang atas dan rahang bawah dapat dikatupkan dengan baik
di luar mulut, dan terlihat adanya 3 titik bertemu yaitu 1 titik di
bagian anterior, dan 2 titik di bagian posterior. Tetapi bila terlihat
banyak gigi yang aus dan kontak antara rahang atas dan bawah
kurang meyakinkan, dikatakan gigitan ada ,tetapi tidak stabil.
Tumpang gigit anterior: ..... mm, posterior : ..... mm.
Jarak gigit anterior: ..... mm, posterior : ..... mm.
Tumpang gigit adalah overbite, sedangkan jarak gigit adalah
overjet, keduanya diukur dengan milimeter. Dalam keadaan
normal, overbite dan overjet berkisar antara 2-4 mm. Bila lebih,
harus diwaspadai adanya perubahan dalam relasi maksilo-
mandibula. Dengan demikian, oklusi yang lama tidak dapat dipakai
sebagai pedoman penentuan gigit.
Gigitan terbuka: Ada / Tidak Ada, regio berapa.

7
Gigitan silang: Ada / Tidak Ada, regio berapa.
Apabila saat dilakukan pemeriksaan terdapat gigitan terbuka atau
gigitan silang, tuliskan regionya. Hal ini harus diperhatikan
terutama pada pembuatan gigi tiruan cekat yang mempunyai
antagonis dengan regio tersebut.
 Hubungan rahang: Ortognati / Retrognati / Prognati. Hubungan
rahang ditentukan dengan meletakkan jari telunjuk pada dasar
vestibulum anterior rahang atas dan ibu jari pada dasar vestibulum
anterior rahang bawah. Dikatakan ortognati, jika ujung kedua jari
terletak segaris vertikal; retrognati, jika ujung ibu jari lebih ke arah
pasien; dan prognati, jika ujung jari telunjuk lebih ke arah pasien.
Hubungan rahang dapat juga diperiksa dengan cara mengatupkan
model rahang atas dan bawah, kemudian dilihat hubungan yang
ada.
 Artikulasi: Artikulasi diperiksa untuk mengetahui adanya
hambatan (blocking). Pemeriksaan artikulasi Ini dilakukan denga
cara meminta pasien mengoklusikan giginya, kemudian rahang di
artikulasikan ke kiri dan kanan, serta depan dan belakang. Jika
terdapat gigi yang tidak berkontak, menandakan gigi tersebut
mengalami hambatan.
 Daya kunyah: Normal / Besar. Apabila terlihat banyak gigi
geligi yang aus atau atrisi dengan faset yang tidak tajam dan
permukaan yang mengkilap, kemungkinan tekanan kunyah pasien
ini besar sehingga harus memperhatikan pembuatan gigi tiruannya.
 Kebiasaan buruk. Kebiasaan buruk seseorang dapat diketahui
dengan cara anamnesis, pasien ditanya mengenai adanya
kebiasaan buruk sehari-hari. Adanya bruxisem atau clenching juga
dapat dilihat dari adanya faset tajam pada gigi. Adanya kebiasaan
ini dapat menyebabkan gigi tiruan yang dibuat menjadi cepat aus,
tidak stabil, dan dapat merupakan etiologi kelainan sendi rahang.
Kebiasaan menggigit bibir atau benda keras berkaitan dengan
pembuatan gigi tiruan cekat pada gigi anterior, yaitu dalam

8
penentuan bahan yang akan dipakai. Kebiasaan mendorong lidah
dan mengunyah satu sisi biasanya menyebabkan stabilitas gigi
tiruan berkurang, selain itu mengunyah satu sisi juga dapat
menimbulkan kelainan sendi rahang. Pada hipermobilitas rahang,
kesulitan yang akan timbul adalah kesulitan pada penentuan relasi
sentrik.
 Pemeriksaan gigi geligi dan tulang alveolar:
Bentuk umum gigi / besar gigi : Besar / Normal / Kecil. Fraktur
gigi. Apabila terlihat adanya gigi yang fraktur, tuliskan elemennya,
arah garis fraktur, lokasi garis fraktur dan diagnosis gigi fraktur
tersebut. Perbandingan mahkota dan akar. Lain-lain: gigi kerucut /
mesiodens / diastema / impaksi / miring / berjejal/labio versi /
linguo versi / hypoplasia. Ketinggian tulang alveolar (sesuai
dengan foto panoramik)..
 Vestibulum
Rahang atas:
Posterior kanan: Dalam / Sedang / Dangkal.
Posterior kiri: Dalam / Sedang / Dangkal.
Anterior: Dalam / Sedang / Dangkal.
Rahang bawah
Posterior kanan: Dalam / Sedang / Dangkal.
Posterior kiri: Dalam / Sedang / Dangkal.
Anterior: Dalam / Sedang / Dangkal.
Vestibulum adalah ruangan yang terdapat di antara mukosa
bukal/labial prosesus alveolaris dan pipi/bibir. Kedalamannya
diperiksa menggunakan kaca mulut nomor 3 yang dimasukkan ke
dalam ruangan tersebut. Jika pada regio tersebut terdapat gigi yang
hilang, maka pengukuran dilakukan pada regio yang tidak bergigi,
yaitu batas atas diukur dari puncak prosesus alveolaris (alveolar
crest) sampai ke dasar vestibulum (batas mukosa bergerak dan
tidak bergerak). Namun, jika masih ada gigi geligi, batas atasnya
adalah servikal gigi, dan batas bawahnya adalah dasar

9
vestibulum.Vestibulum dikatakan dalam bila pada pemeriksaan,
lebih dari setengah kaca mulut terbenam, dikatakan sedang bila
setengah kaca mulut terbenam, dan dikatakan dangkal bila yang
terbenam kurang dari setengah kaca mulut.Vestibulum yang
menguntungkan pada pembuatan gigi tiruan adalah yang dalam,
karena sayap gigi tiruan dapat dibuat lebih panjang, sehingga
menambah retensi.
 Prosesus alveolaris. Bentuk prosesus alveolaris berpengaruh terhadap
retensi dan stabilisasi gigi tiruan lepas, serta pemilihan desain pontik
pada gigi tiruan cekat. Ketinggian prosesus alveolaris mencerminkan
besarnya resorpsi yang terjadi. Bila resorpsi besar, prosesus menjadi
rendah. Hal tersebut diperiksa dengan cara dibandingkan dengan gigi sisa
di sebelahnya. Bila pasien sudah tidak mempunyai gigi sama sekali,
tingginya diukur dengan menggunakan kaca mulut nomor 3 seperti pada
pemeriksaan kedalaman vestibulum. Tahanan jaringan berpengaruh
terhadap cara pencetakan. Cara pemeriksaannya adalah dengan
menekankan burnisher pada mukosa di atas prosesus alveolaris. Apabila
burnisher tidak terlalu terbenam, dan warna mukosa menjadi pucat, maka
mukosa dikatakan keras, atau tahanan jaringannya rendah. Apabila
burnisher bisa ditekan lebih dalam, mukosa dikatakan lunak, atau tahanan
jaringannya tinggi. Mukosa dikatakan flabby bila mukosa bisa bergerak
dalam arah bukolingual saat ditekan dengan burnisher. Tahanan jaringan
pada usia muda, biasanya rendah karena mukosanya masih padat.
Sedangkan pada pasien yang sudah pernah memakai gigi tiruan yang
kurang baik, mukosanya cenderung menjadi lunak dan flabby.Tahanan
jaringan yang tinggi biasanya terdapat pada regio gigi yang baru dicabut,
dan pada regio retromolar pad pada kasus free-end. Bentuk permukaan:
Rata / Tidak Rata.
 Frenulum. Frenulum adalah tempat perlekatan otot bibir / pipi /
lidah terhadap prosesus alveolaris. Frenulum dikatakan tinggi bila
perlekatan ototnya mendekati puncak prosesus alveolaris,
dikatakan rendah bila menjauhi, dan sedang bila berada di tengah

10
antara puncak prosesus alveolaris dengan dasar
vestibulum.Frenulum yang tinggi dapat mengurangi retensi gigi
tiruan lepas karena mengganggu sayap gigi tiruan.
Labialis superior: Tinggi / Sedang / Rendah.
Labialis inferior: Tinggi / Sedang / Rendah.
Bukalis rahang atas kanan: Tinggi / Sedang / Rendah.
Bukalis rahang atas kiri: Tinggi / Sedang / Rendah.
Bukalis rahang bawah kanan: Tinggi / Sedang / Rendah.
Bukalis rahang bawah kiri: Tinggi / Sedang / Rendah.
Lingualis: Tinggi / Sedang / Rendah.
 Palatum
Bentuk: Persegi / Oval / Segititiga.
Kedalaman: Dalam / Sedang / Dangkal. Bentuk dan dalam palatum
berkaitan dengan retensi dan stabilisasi gigi tiruan lepas
Torus palatinus: Besar / Kecil / Tidak Ada. Torus yang besar akan
mengganggu stabilitas gigi tiruan. Pada torus yang besar, agar tidak
terjadi fulkrum, dilakukan relief pada saat dilakukan pencetakan
fisiologis.
Palatum molle: kelas I / II / III. Palatum molle merupakan jaringan lunak
di bagian posterior palatum durum. Daerah ini memiliki jaringan yang
sangat kuat yang disebut aponeurisis, sebagai tempat posterior palatal
seal (postdam).
 Tuber Maksilaris. Tuber mempunyai peran penting dalam memberikan
retensi kepada suatu gigi tiruan. Daerah ini ditutup oleh jaringan fibrous
dengan ketebalan yang berbeda-beda. Disebut kecil bila tuber ini lebih
kecil dari prosesus alveolaris, dan besar bila tuber melebar atau menonjol
ke arah oklusal atau lateral. Tuber yang besar dapat mengganggu retensi
gigi tiruan.
Kanan: Besar / Kecil.
Kiri: Besar / Kecil.
 Undercut
Rahang atas

11
Kanan: Ada / Tidak Ada.
Kiri: Ada / Tidak Ada.
Rahang bawah
Kanan: Ada / Tidak Ada.
Kiri: Ada / Tidak Ada.
Undercut biasanya mengganggu perluasan basis protesa yang dapat
mempengaruhi retensi dan stabilisasi gigi tiruan, serta menghalangi
pemasukan dan pengeluaran gigi tiruan.
 Ruang retromilohioid
Kanan: Dalam / Sedang / Dangkal.
Kiri: Dalam / Sedang Dangkal.
Ruang retromilohiod berada di antara prosesus alveolaris rahang bawah
dan lidah. Kriteria penentuannya adalah sama dengan vestibulum, yaitu
dengan menggunakan kaca mulut nomor 3. Ruang retromilohiod yang
dalam memungkinkan sayap lingual gigi tiruan penuh dibuat lebih
panjang, sehingga dapat menambah retensi dan stabilitasnya.
 Bentuk lengkung rahang :
Rahang atas: Persegi / Oval / Segitiga.
Rahang bawah: Persegi / Oval / Segitiga.
Bentuk lengkung rahang segitiga adalah yang paling menyulitkan
terutama saat penyusunan elemen gigi tiruan penuh yang tidak
mengganggu artikulasi dan selanjutnya tidak mengganggu stabilisasi.
(Gunadi dkk, 2016; Carr dan Brown, 2011; Zarb, 2013).
c) Pemeriksaan radiografi
Pemeriksaan rontgen foto yang digunakan untuk mengetahui karies
tersembunyi, gigi vital atau non vital, perluasan dan kondisi pulpa,
bentuk dan panjang akar gigi, fraktur akar, tebal atau tipisnya jaringan
periodontal, apabila terdapat granuloma, kista pada akar, apakah terdapat
resorbsi tulang alveolar, serta mengetahui apakah terdapat sisa akar pada
area edentulous (Soelarko dan Wachjati, 1980; Rahn, 2009).
d) Proses pencetakan anatomis. Cetakan rahang yang pertama kali dibuat
sehingga sering disebut sebagai cetakan pendahuluan atau cetakan awal

12
atau preliminary impression. Tujuannya untuk membuat duplikasi atau
tiruan dari gigi geligi maupun jaringan disekitarnya baik pada rahang atas
maupun pada rahang bawah yang sesuai dengan bentuk anatomisnya dan
mempelajari masalah yang timbul selama pembuatan gigi tiruan dan
digunakan sebagai penunjang diagnostik sehingga hasil cetakan tersebut
disebut sebagai model studi atau model diagnostik atau model anatomis.
a) Alat: Sendok cetak.
b) Bahan Cetak: Hydrokoloid Irreversible (alginat) dan stone gips (Tipe
III)
c) Metode mencetak: Mukostatik. Mukostatis adalah metode pencetakan
yang dilakukan pada saat jaringan lunak mulut berada dalam keadaan
istirahat. Pencetakan yang demikian dilakukan dengan menggunakan
bahan yang mempunyai viskositas yang sangat rendah, dimana hanya
sejumlah kecil tekanan yang dibutuhkan sehingga pada keadaan ini
hanya terjadi sedikit atau tidak ada sama sekali pergerakkan dari
mukosa.
d) Posisi operator:
Rahang atas: Operator berada pada posisi di belakang kanan penderita.
Rahang bawah: Operator berada di samping depan kanan pasien
(Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini dan Syafrinani,
2016).
e) Posisi pasien:
Rahang atas: Pasien dalam keadaan duduk tegak.
Rahang bawah: Pasien dalam keadaan duduk tegak atau agak
bersandar untuk memudahkan masuknya sendok cetak ke dalam
rongga mulut (Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini
dan Syafrinani, 2016).

13
Gambar . Proses pencetakan (Gunadi, 1995)
f) Cara mencetak:
 Mula-mula dibuat adonan sesuai dengan perbandingan P/W yaitu
3:1, setelah dicapai konsistensi yang tepat dimasukkan ke dalam
sendok cetak dengan merata.
 Kemudian, dimasukkan ke dalam mulut pasien dan tekan posisi ke
atas atau ke bawah sesuai dengan rahang yang dicetak.
 Muscle triming haru dilakukan agar bahan cetak mencapai lipatan
mukosa.
 Posisi dipertahankan sampai setting.
 Kemudian, sendok dikeluarkan dari mulut dan dibersihkan dari
saliva.
 Hasil cetakan diisi dengan stone gips (gips tipe III) dan di-boxing
(Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini dan
Syafrinani, 2016).

Gambar . Pencetakan model kerja (Suhono dkk., 2017)

14
Gambar . Pengecoran cetakan negatif (Universitas udayana, 2017)
e) Survei pendahuluan pada model anatomis. Survei pendahuluan pada
model anatomis untuk melihat adanya undercut, menetapkan gigi yang
akan dijadikan retainer, penempatan cangkolan serta arah pasang dan
lepas terbaik untuk gigi tiruan (Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995;
Yuliharsini dan Syafrinani, 2016).
f) Tindakan preprostetik. Tindakan prepostetik dilakukan sebelum
pembuatan gigi tiruan, diantaranya penyelarasan oklusal pencabutan gigi,
perawatan periodontal, dan perawatan konservasi (Suryatenggara dkk.,
1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini dan Syafrinani, 2016).
g) Diagnosis (Penentuan klasifikasi edentulous berdasarkan klasifikasi
Kennedy atau Applegate-Kennedy. Diagnosis adalah suatu analisis
terhadap kelainan atau salah penyesuaian dari pola gejala-gejalanya,
diagnosis dapat pula diartikan sebagai segala kegiatan untuk menentukan
jenis penyakit dengan meneliti gejala-gejalanya (Suryatenggara dkk.,
1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini dan Syafrinani, 2016). Berikut
klasifikasi Kennedy, antara lain:
Kelas I: Adanya ujung bebas pada dua sisi (bilateral free end),
mempunyai daerah tanpa gigi di belakang gigi yang tertinggal pada
sebuah sisi rahang (Gunadi, 1995).

Gambar . Kelas I (Gunadi, 1995)

15
Kelas II: Adanya ujung bebas pada satu sisi (unilateral free end),
mempunyai daerah tanpa gigi di belakang gigi yang tertinggal pada satu
sisi rahang saja (Gunadi, 1995).

Gambar . Kelas II (Gunadi, 1995)


Kelas III: Bila tidak ada ujung bebas (free end), mempunyai gigi yang
tertinggal di bagian belakang kedua sisi (Gunadi, 1995).

Gambar . Kelas III (Gunadi, 1995)


Kelas IV: Adanya letak sadel pada gigi anterior dan melewati median
line. Bila terdapat daerah tidak bergigi tambahan oleh Kennedy disebut
sebagai modifikasi, kecuali kelas IV tidak ada modifikasi (Gunadi,
1995).

Gambar . Kelas IV (Gunadi, 1995)


Applegate membuat 8 ketentuan berikut ini.
 Klasifikasi hendaknya dibuat setelah semua pencabutan gigi selesai
dilaksanakan.
 Bila gigi molar tiga hilang dan tidak akan diganti, gigi ini tidak masuk
dalam klasifikasi.

16
 Bila gigi molar tiga masih ada dan akan digunakan sebagai gigi
penahan, gigi ini dimasukkan ke dalam klasifikasi.
 Bila gigi molar dua sudah hilang dan tidak akan diganti, gigi ini tidak
dimasukkan ke dalam klasifikasi. Contoh: bila gigi antagonis molar 2
hilang tidak akan diganti.
 Bagian tak brgigi paling posterior selalu menentukan kelas utama
dalam klasifikasi.
 Daerah tak bergigi lain dari pada yang sudah ditetapkan dalam
klasifikasi, masuk dalam modifikasi dan disebut sesuai dengan jumlah
daerah atau ruangannya.
 Luasnya modifikasi atau jumlah gigi yang hilang tidak dipersoalkan;
yang dipersoalkan adakah jumlah tambahan daerah (ruang)tak bergigi.
 Tidak ada modifikasi bagi lengkung rahang kelas IV (Gunadi, 1991).
Kelas I: daerah tak bergigi sama dengan Kelas I Kennedy. Keadaan ini
sering dijumpai pada rahang bawah dan biasanya telah beberapa tahun
kehilangan gigi.
 Derajat resorbsi residual ridge bervariasi.
 Tenggang waktu pasien tidak bergigi akan mempengaruhi stabilitas
gigi tiruan yang akan dipasang.
 Jarak antar lengkung rahang bagian posterior biasanya sudah
mengecil.
 Gigi asli yang masih tinggal sudah migrasi ke dalam berbagai posisi.
 Gigi antagonis sudah ekstrusi dalam berbagai derajat.
 Jumlah gigi yang masih tertinggal bagian anterior umumnya sekitar 6
10 gigi.
 Ada kemungkinan dijumpai kelainan sendi temporomandibula
(Gunadi, 1991).

17
Gambar . Kelas I (Gunadi, 1991)
Kelas II: Daerah tidak bergigi sama dengan kelas II kennedy. Kelas ini
sering tidak diperhatikan pasien. Secara klinis dijumpai keadaan :
 Resorbsi tulang alveolar terlibat lebih banyak.
 Gigi antagonis relatif lebih ekstrusi dan tidak teratur.
 Ekstrusi menyebabkan rumitnya pembuatan restorasi pada gigi
antagonis.
 Pada kasus ekstrim karena tertundanya pembuatan gigi tiruan untuk
jangka waktu teretntu karena perlu pencabutan satu atau lebih gigi
antagonis.
 Karena pengunyahan satu sisi, sering dijumpai kelainan sendi
temporomandibula (Gunadi, 1991).

Gambar . Kelas II (Gunadi, 1991)


Kelas III: Keadaan tidak bergigi paradental dengan kedua gigi tetangga,
tidak lagi mampu memberi dukungan kepada gigi tiruan secara
keseluruhan. Secara klinis dijumpai keadaan:
 Daerah tidak bergigi sudah panjang.
 Bentuk dan panjang akar gigi kurang memadai.
 Tulang pendukung mengalami resorbsi cervikal dan atau disertai
goyangnya gigi secara berlebihan.
 Beban oklusal berlebihan (Gunadi, 1991).

Gambar . Kelas III (Gunadi, 1991)

18
Kelas IV: Daerah tidak bergigi sama dengan kelas IV Kennedy. Pada
umumnya untuk kelas ini dapat dibuat gigi tiruan sebagian lepasan bila:
 Tulang alveolar sudah banyak hilang, seperti pada kasus akibat
trauma.
 Gigi harus disusun dengan overjet besar, sehingga dibutuhkan banyak
gigi pendukung.
 Dibutuhkan distribusi merata melalui lebih banyak gigi penahan, pada
pasien dengan daya kunyah besar.
 Diperlukan dukungan danretensi tambahan dari gigi penahan.
 Mulut pasien depresif, sehingga perlu penebalan sayap untuk
memenuhi faktor estetik (Gunadi, 1991).

Gambar . Kelas IV (Gunadi, 1991)


Kelas V: Daerah tak bergigi paradental, dimana gigi asli anterior tidak
dapat dipakai sebagai gigi penahan atau tak mampu menahan daya
kunyah. Kasus seperti ini banyak dijumpai pada rahang atas karena gigi
caninus yang dicabut karena malposisi atau terjadinya kecelakaan
(Gunadi, 1995)

Gambar . Kelas V (Gunadi, 1991)


Kelas VI: Daerah tak bergigi paradental dengan ke dua gigi tetangga gigi
asli dapat dipakai sebagai gigi penahan. Kasus seperti ini sering kali
merupakan daerah tak bergigi yang terjadi pertama kalinya dalam mulut.
Biasanya dijumpai keadaan klinis:
 Daerah tak bergigi yang pendek.

19
 Bentuk atau panjang akar gigitetangga memadai sebagai pendukung
penuh.
 Sisa processus alveolaris memadai.
 Daya kunyah pasien tidak besar (Gunadi, 1991)

Gambar . Kelas VI (Gunadi, 1991)


h) Rencana perawatan. Pasien diberikan dan dijelaskan beberapa alternatif
perawatan (Yuliharsini dan Syafrinani, 2016).
b. Kunjungan kedua
1) Pencetakan fisiologis. Cetakan rahang kedua yang diperoleh setelah
dilakukannya pembuatan model studi. Cetakan fisiologis ini sering
disebut sebagai cetakan akhir. Tujuannya adalah untuk membuat gigi
tiruan. Hasil dari cetakan fisiologis disebut sebagai model kerja.
a) Alat: Sendok cetak fisiologis. Sendok cetak perseorangan (personal
tray) yang diperoleh dari model studi yang telah dibuat.
b) Bahan: Bahan yang digunakan untuk membuat sendok cetak
perseorangan ini dapat berupa resin akrilik self curing atau shellac
baseplate. Bagian bergigi menggunakan alginat dan bagian edentulous
menggunakan elastomers monophase.
c) Metode mencetak: Mukokompresi. Mukokompresi adalah proses
pencetakan dilakukan pada saat jaringan lunak mulut di bwah
penekanan. Pencetakan dilakukan dengan menggunakan bahan yang
mempunyai viskositas yang tinggi sehingga tekanan lebih dibutuhkan
ke arah mukosa di bawahnya.
d) Posisi operator:
Rahang atas: Operator berada pada posisi di belakang kanan penderita.
Rahang bawah: Operator berada di samping depan kanan pasien
(Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini dan Syafrinani,
2016).

20
e) Posisi pasien:
Rahang atas: Pasien dalam keadaan duduk tegak.
Rahang bawah: Pasien dalam keadaan duduk tegak atau agak
bersandar untuk memudahkan masuknya sendok cetak ke dalam
rongga mulut (Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini
dan Syafrinani, 2016).

Gambar . Proses pencetakan (Gunadi, 1995)


f) Cara mencetak:
 Membuat cetakan fisiologis perserorangan.
 Menggambar desain atau batas-batas personal tray yaitu ± 2 mm
dari batas mukosa bergerak dan mukosa tidak bergerak. Pemberian
jarak ± 2 mm ini bertujuan untuk memberikan ruang guna
manipulasi wax pada tahapan border moulding.
 Pada sendok cetak perseorangan berbahan shellac baseplate, proses
dimulai dengan melunakkan shellac baseplate di atas bunsen lalu
ditekan tekan di atas model studi hingga membentuk struktur
anatomis model. Kelebihan shellac baseplate kemudian dipotong
dengan pisau malam ketika masih lunak. Pada pembuatan sendok
cetak perseorangan berbahan resin akrilik self cure, proses dimulai
dengan cara meletakkan selapis tipis malam pada model studi dan
kemudian dipotong sesuai outline. Bagian model yang tidak
tertutupi malam merah diulasi dengan bahan separator berupa
Could Mould Seal. Adonan akrilik yang sudah selesai dicampur
keudian dilektakkan pada model dan dilapisi dengan kertas

21
chellophan. Resin akrilik diadaptasikan dengan bentuk outline.
Setelah kedua bahan tersebut dipotong sesuai bentuk outline.
 Kemudian, sendok cetak perseorangan tersebut dibuatkan pegangan
dan lubang guna mengalirkan bahan cetak yang berlebih.
 Landasan sendok cetak bagian tepi dipotong 3-4 mm dari bukal
fold dan lingual.
 Tepi sendok cetak yang tidak bebas diberi green stick untuk
mendapatkan pheriperal seal yang baik (Itjiningsih, 1996).
 Rahang atas: Bahan cetak diaduk, setelah mencapai konsistensi
tertentu dimasukkan ke dalam sendok cetak. Masukkan sendok
cetak dan bahan cetak ke dalam mulut, sehingga garis tengah
sendok cetak berimpit dengan garis median wajah. Setelah
posisinya benar, sendok cetak ditekan ke atas. Sebelumnya bibir
dan pipi penderita diangkat dengan jari telunjuk kiri, sedang jari
manis, tengah dan kelingking turut menekan sendok dari posterior
ke anterior. Untuk memperoleh AHA-Line, pasien diinstruksikan
untuk mengucapkan “Ah” kemudian lihat area yang bergetar
(vibrating line) dan tandai dengan menggunakan pensil tinta
kemudian masukkan kembali cetakan ke mulut pasien sehingga
akan diperoleh gambaran AHA-Line. AHA-Line merupakan area
yang memisahkan antara palatum durum dan palatum molle.
Fungsi dari AHA-Line ini adalah untuk mendapatkan letak
perluasan landasan rahang atas yang tepat pada bagian posterior
(Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini dan
Syafrinani, 2016).
 Rahang bawah: Bahan cetak diaduk, setelah mencapai konsistensi
tertentu dimasukkan ke dalam sendok cetak. Pasien dianjurkan
untuk membuang air ludah. Posisi operator di samping kanan
depan. Masukkan sendok cetak dan bahan cetak ke dalam mulut,
kemudian sendok ditekan ke prosesus alveolaris. Pasien
diinstruksikan untuk menjulur lidah dan mengucapkan huruf U.
Muscle trimming supaya bahan mencapai lipatan mukobukal. Posisi

22
dipertahankan sampai setting (Suryatenggara dkk., 1991; Watt dan
MacGregor, 1993; Gunadi, 1995; Yuliharsini dan Syafrinani,
2016).
 Dilakukan pembuatan boxing dengan menggunakan utility wax
yang tebalnya 5 mm dan jarak anatara batas tepi cetakan dengan
utility wax kurang lebih 3 mm diletakkan di sekeliling tepi batas
cetakan untuk mengamankan bentuk tepi cetakan (Itjiningsih,
1996).

Gambar . Percetakan fisiologis (Angelina dan Syafrinani, 2015)


2) Survei model fisiologis dengan menggunakan surveyor untuk
menentukan daerah undercut menguntungkan dan tidak menguntungkan.
Pertama, meletakkan model kerja pada cast holder, kemudian cast holder
diletakkan pada platform atau table, selanjutnya dilakukan tilting dengan
analizing rood untuk menentukan kesejajaran daerah undercut pada
model kerja terutama pada model gigi yang akan dijadikan gigi
penjangkaran. Setelah itu, gunakan carbon marker untuk memberi tanda
berupa garis survey dan untuk mengetahui daerah undercut. untuk
memberi tanda berupa garis survey dan untuk mengetahui daerah
undercut (Rathee, 2010).

23
Gambar . Survey (Rathee, 2010).
Menentukan jenis dukungan, jenis penahan, dan jenis konektor. Jenis
dukungan, yaitu gigi (saddle kurang dari 3 gigi), mukosa (gigi tiruan
lengkap), dan gigi-mukosa (unilateral free end dan bilateral free end).
Jenis penahan, terdiri dari cengkraman 2 jari (lengan retentif dan lengan
pengimbang untuk gigi posterior), cengkraman 3 jari (lengan retentif,
lengan pengimbang, dan rest untuk gigi posterior), dan cengkraman C
(gigi anterior dan gigi posterior). Jenis konektor adalah frame (batang
dan plat) atau akrilik (plat) (Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995;
Yuliharsini dan Syafrinani, 2016).

Gambar . Desain gigi tiruan (Universitas udayana, 2017)


3) Black out. Daerah gigi yang sudah disurvey dan mendapatkan undercut
tidak menguntungkan diblock out. Block out dilakukan dengan
menggunakan gips dan dirapihkan menggunakan lecron (Rathee, 2010).

Gambar . Black out (Rathee, 2010)


4) Pembuatan cangkolan yang akan digunakan untuk retensi gigi tiruan
dengan melakukan survey model terlebih dahulu pada gigi yang akan
dipakai sebagai tempat cangkolan berada nantinya (Suryatenggara dkk.,

24
1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini dan Syafrinani, 2016). Cengkeram
dibuat sesuai dengan desain yang ada pada model kerja, yaitu
menggunakan cengkeram half jackson pada gigi premolar satu kiri dan
kanan rahang atas, premolar satu kanan, premolar dua kiri, molar dua kiri
rahang bawah dan molar satu kanan rahang bawah. Cengkeram C pada
gigi premolar satu kanan rahang bawah. Diameter kawat untuk
cengkeram half jackson dan cengkeram C adalah 0,8 mm. Setelah itu,
membentuk koil atau retensi yang nantinya ditutup basis akrilik dan
membulatkan ujung cengkeram sehingga tidak tajam (Rathee, 2010).

Gambar . Pembuatan cengkraman (Rathee, 2010)


5) Pembuatan basis gigi tiruan dengan menggunakan malam merah yang
dibuat sesuai dengan desain gigi tiruan (Suryatenggara dkk., 1991;
Gunadi, 1995; Yuliharsini dan Syafrinani, 2016). Pembuatan lempeng
dan galengan gigit harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a) Lempeng gigit harus beradaptasi dengan baik pada permukaan model.
b) Lempeng gigit harus mengikuti denture outlineI.
c) Galengan gigit harus melekat dengan baik pada lempengan gigit.
d) Lengkung galengan gigit harus sesuai dengan lengkungan rahang .
e) Bidang labial dan bukal galengan gigit tidak boleh melebihi sulkus
labialis dan bukalis.
f) Penampang galengan gigit berbentuk trapesium.
g) Tinggi galengan gigit untuk rahang atas adalah 20-22 mm, sedangkan
rahang bawah adalah 16-18 mm.
h) Lebar galengan gigit untuk daerah anterior adalah 5 mm, premolar 7
mm dan molar adalah 10 mm.

25
i) Galengan gigit rahang atas dibuat sampai distal molar pertama,
sedangkan rahang bawah sampai retromolar pad
j) Galengan gigit anterior rahang atas membentuk sudut 5˚, sehingga
terdapat jarak antara bidang labial galengan gigit rahang atas dan
bawah sebesar 2 mm (Itjiningsih, 1996). Prosedur pembuatan
lempengan gigit (base plate) dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Lempengan gigit (base plate) dapat terbuat dari resin akrilik maupun
dari malam merah khusus.
b) Malam merah khusus dilunakkan diatas api bunsen kemudian malam
yang telah lunak ditekan pada rahang atas dimulai dari bagian palatum
c) Malam merah khusus dilunakkan dan digulung. Gulungan malam
diletakkan dan ditekan pada lempeng gigit (base plate) diatas
processus alveolaris.
d) Membentuk galangan gigit (bite rim) pada bagian bukal, labial, dan
palatal dengan pisau malam panas sesuai dengan besar gigi, yaitu
untuk area gigi anterior sebesar 5 mm, premolar 7 mm, dan molar
sebesar 10 mm. Tepi malam yang berlebih dipotong dengan
menggunakan pisau malam. Selanjutnya malam pada dasar vestibulum
ditekan sehingga menempel dan membentuk lempeng gigit sesuai
dengan model kerja.
e) Pembuatan garis panduan penyusunan gigi yang merupakan garis
puncak ridge pada galengan gigit rahang atas dan rahang bawah. Garis
ini akan membagi bagian oklusal bukal dan palatal 2:1 (RA), 1:1
(RB), dan 1:1 pada bagian anterior (RA dan RB).
f) Melakukan uji coba lempengan dan galengan gigit rahang atas
maupun rahang bawah dengan pasien dalam posisi tegak (try in)
(Itjiningsih, 1996).

26
Gambar . Pembuatan basis gigi tiruan (Silalahi dkk., 2017)
c. Kunjungan ketiga
1) Try-in basis gigi tiruan akrilik dengan cangkolannya. Pembuatan gigitan
kerja yang digunakan untuk menetapkan hubungan yang tepat dari model
RA dan RB sebelum dipasang di artikulator dengan cara : pada basis gigi
tiruan yang telah kita buat tadi ditambahkan dua lapis malam merah
dimana ukurannya kita sesuaikan dengan lengkung gigi pasien. Malam
merah dilunakkan kemudian pasien diminta mengigit malam tersebut
(Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini dan Syafrinani,
2016).
2) Pembuatan bite rim. Bite rim dibuat dari lempengan wax dipanaskan
diatas api sampai melunak, kemudian digulung dan dibentuk sesuai
lengkung rahang. Gulungan yang sudah dibuat diletakkan di atas base
plate. Ruangan kosong antara base plate dan oklusal rims diisi dengan
wax cair hingga ruangan tadi tertutup rapat. Tinggi bite oklusal rims
disesuaikan dengan tinggi gigi sebelahnya dan lebar bite oklusal rims
disesuaikan dengan gigi yang akan diganti. Kelebihan-kelebihan wax
dirapihkan dengan menggunakan lecron. Setelah, rapih dikirim kembali
ke dokter gigi untuk pencobaan pola malam (Rathee, 2010).

27
Gambar . Pembuatan bite oklusal rim (Rathee, 2010)
3) Pengukuran dimensi vertikal. Secara fisiologis, pengukuran dimensi
vertikal dilakukan dengan cara pasien diinstruksikan untuk duduk dengan
tegak serta kepala tidak ditopang. Pasien juga diinstruksikan untuk
berada dalam keadaan relax atau istirahat saat galengan gigit berada
dalam rongga mulut. Setelah galengan gigit dipasang dalam dalam mulut
pasien, pasien diinstruksikan untuk menelan dan mandibula
diistirahatkan. Setelah pasien relax, bibir dibuka untuk melihat besarnya
ruangan yang tersedia diantara galengan gigit. Pasien harus membiarkan
dokter gigi untuk membuka bibirnya tanpa perlu dibantu serta tanpa
harus menggerakkan bibir atau rahangnya. Jarak antar oklusal pada posisi
istirahat adalah sebesar 2-4 mm dilihat di daerah premolar.
Dengan penjabaran rumus,
Dimensi Vertikal = Rest Position – Free Way Space
Untuk mengetahui rest position, pertama mengukur dimensi atau jarak
vertikal pasien dalam keadaan istirahat tanpa menggunakan galengan
gigit. Kemudian dikurangi dengan free way space sebesar 2-4 mm.
Membuat garis pedoman untuk pemilihan dan penyusunan gigi geligi
sebelum galengan gigit dikeluarkan dari mulut pasien, dapat dijabarkan
sebagai berikut.
a) Garis median (midline) berfungsi sebagai pedoman dalam penyusunan
gigi-gigi anterior kanan dan kiri. Menggoreskan garis pada galengan
gigit RA dan RB pada bagian labial menggunakan lecron dan
berpedoman pada tengah-tengah filtrum bibir atau disesuaikan dengan
posisi frenulum labialis atas.

28
b) Garis kaninus (caninus line) berfungsi sebagai pedoman untuk
pemilihan gigi-gigi anterior dan pedoman untuk penyusunan gigi-gigi
caninus rahang atas kanan dan kiri. Menggoreskan garis pada
galengan gigit RA dan RB didaerah sudut mulut kanan dan kiri
menggunakan lecron pada saat otot-otot mulut dalam keadaan relaks.
c) Garis tertawa (upper laugh line) berfungsi sebagai pedoman pemilihan
gigi, karena pada saat tertawa biasanya dua per tiga bagian insisal gigi
insisif sentral terlihat (Itjiningsih, 1996).

Gambar . Pengukuran dimensi vertikal (Yuliharsini dan Syafrinani,


2016)
4) Penentuan oklusi sentrik. Setelah memperoleh dimensi vertikal,
kemudian dapat menentukan oklusi sentrik dengan cara sebagai berikut:
a) Gerakan menelan
 Ujung lidah ditempatkan pada bulatan malam yang ditempatkan
pada garis tengah landasan paling posterior.
 Membantu pasien agar ranag bawah dalam posisi paling posterior.
 Menengadahkan posisi kepala semaksimal mungkin (Itjiningsih,
1996).
b) Memfiksir galengan gigit RA dan RB dengan cara, yaitu:
 Membentuk kunci segi tiga sebanyak 4 buah yang diletakkan pada
regio premolar 2 dan kaninus dengan tujuan agar fiksasi tidak
berubah.
 Pasien dilatih melakukan berbagai gerakan yang menempatkan RB
pada posisi paling posterior.
 Mengaduk gips atau Zink Oxide Eogenol dan diletakkan pada
lekukan segitiga kemudian pasien diinstruksikan untuk menelan.
Selanjutnya cek setelah gips mengeras (Itjiningsih, 1996).
5) Penarikan garis orientasi lain

29
a) High lip line, merupakan garis tertinggi bibir atas sewaktu pasien
tersenyum.
b) Menandai bagian distal kaninus atas kanan dan kiri (garis lacrimal
duct alanasi).
c) Menarik garis bibir sejajar dengan garis insisal galengan gigit dengan
menggunakan penggaris.
d) Setelah semua tahapan selesai, keluarkan dari rongga mulut pasien
dan letakkan kembali pada model kerja (Itjiningsih, 1996).
6) Pada kasus pasien ompong, memilih gigi berpedoman pada bentuk
wajah, jenis kelamin dan umur pasien untuk menentukan warna dan
tingkat keaausanya, sedangkan ukuran gigi disesuaikan dengan garis
orientasi pada tanggul gigitan (Thressia, 2015). Pemasangan model RA
dan RB pada artikulator dengan memperhatikan relasi gigitan kerja yang
telah didapatkan tadi (Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995; Sofia,
2015; Yuliharsini dan Syafrinani, 2016). Membuat retensi berupa takik
seperti huruf “V” pada bagian dasar model. Bagian artikulator upper
member dan lower member diberi separating medium atau vaseline.
Membentuk segitiga bonwill menggunakan karet. Membuat adonan gips,
lalu meletakkan adonan gips pada model kerja rahang atas sampai bidang
oklusal sejajar dengan segitiga bonwill, kedudukan tersebut
dipertahankan dengan modeling clay pada dasar rahang bawah. Setelah
gips mengeras artikulator dibalik, lower member dibuka dan modeling
clay dibuang. Membuat adonan gips dan meletakkannya pada dasar
rahang bawah, kemudian menutup dan merapikan lower member. Upper
member dan lower member diikat dengan karet agar tidak terjadi
peninggian gigit (Rathee, 2010). Pemasangan model kerja pada
artikulator harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
a) Garis median model kerja sejajar dengan garis median artikulator.
b) Bidang oklusal dari galengan gigit harus sejajar dengangaris oklusal
artikulator.
c) Pin horizontal menyentuh titik potong antara garis median dan insisal
indidif rahang atas.

30
d) Garis median anterior tanggul malam menyentuh titik perpotongan
garis median dan garis insisal meja.
e) Petunjuk insisal vertikal harus menyentuh meja insisivus untuk
mempertahankan dimensi vertikal (Itjiningsih, 1996).

Gambar . Pemasangan model pada artikulator (Yuliharsini dan


Syafrinani, 2016)
7) Peradiran dan penyusunan gigi tiruan dimana pada kasus ini akan
dipasang gigi posterior maka perlu diperhatikan bentuk dan ukuran gigi
yang akan dipasang. Posisi gigi ditentukan oleh kebutuhan untuk
mendapatkan oklusi yang memuaskan dengan gigi asli atau gigi tiruan
antagonis untuk mendapatkan derajat oklusi yang seimbang
(Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995; Sofia, 2015; Yuliharsini dan
Syafrinani, 2016). Meletakkan elemen gigi pada daerah tak bergigi pada
galangan gigit yang sudah dibuat. Penyusunan elemen gigi tiruan
disesuaikan dengan antagonis dan gigi yang masih ada (Rathee, 2010).
Hal-hal yang harus diperhatikan saat penyusunan gigi.
a) Penyusunan Gigi Anterior Rahang Atas
1) Insisivus pertama RA (I1)
 Menggambar poros gigi atau long axis mesio distal pada I1
(insisivus pertama).
 Long axis sedikit condong 5˚ ke arah distal terhadap garis tegak
lurus.
 Ujung insisal menyentuh bidang oklusal (Itjiningsih, 1996).
2) Insisivus kedua RA (I2)
 Long axis sedikit condong 10˚ ke distal dibanding I1.
 Ujung insisal kedua insisif berjarak 0,5-1 mm diatas bidang
oklusal (Itjiningsih, 1996).
3) Kaninus RA (C)

31
 Long axis hampir sama dengan I1 atau sumbu gigi juga
condong ke distal dan tegak lurus terhadap bidang oklusi.
 Inklinasi antero-posterior bagian servikal tampak lebih
menonjol dan ujung cups lebih ke palatal dan menyentuh
bdang oklusal (Itjiningsih, 1996).
b) Penyusunan Gigi Anterior Rahang Bawah
1) Insisivus pertama RB (I1)
 Long axis membuat sudut 85˚ atau condong 5˚ dengan bidang
oklusal.
 Tepi insisal 1-2 mm diatas bidang oklusal.
 Inklinasi antero-posterior bagian servikal lebih ke lingual.
 Overbite rahang atas dan rahang bawah ± 1-2 mm, overjet ± 2-3
mm (Itjiningsih, 1996).
2) Insisivus kedua RB (I2)
 Long axis membuat sudut 80˚ atau condong 10˚ terhadap bidang
oklusi.
 Bagian tepi insisal dan servikal sama jaraknya, tepi insisal 1-2
mm diatas bidang oklusal (Itjiningsih, 1996).
3) Kaninus RB (C)
 Long axis miring atau paling condong garis luar distalnya dan
tegak lurus terhadap bidang oklusal. Inklinasi antero-posterior
condong ke lingual.
 Periksa artikulasi ke anterior dan ke lateral dengan
menggerakkan bagian atas artikulator ke posterior dan lateral
serta tepi insisal saling menyentuh (Itjiningsih, 1996).
c) Penyusunan gigi posterior rahang atas
1) Premolar pertama RA (P1)
 Long axis tegak lurus terhadap bidang oklusal.
 Inklinasi antero-posterior cusp bukal menyentuh bidang oklusal
serta cusp palatal tidak menyentuh (Itjiningsih, 1996).
2) Premolar kedua RA (P2). Long axis tegak lurus dengan cusp bukal
dan palatal menyentuh bidang oklusal (Itjiningsih, 1996).

32
3) Molar pertama RA (M1)
 Inklinasi mesio distal porosnya condong ke distal.
 Cusp mesio-palatal menyentuh bidang oklusal.
 Cusp mesio-bukal satu garis dengan permukaan fasial galengan
gigit (Itjiningsih, 1996).
4) Molar kedua RA (M2)
 Sumbu gigi condong ke mesial dan tidak terdapat cusp yang
menyentuh bidang oklusal.
 Letak oklusal gigi posterior rahang atas terhadap bidang oklusal
membentuk curva of spee (Itjiningsih, 1996).
d) Penyusunan gigi posterior rahang bawah
1) Molar pertama RB (M1)
 Penyusunan M1 RB dilihat dari samping, cusp mesio-bukal M1
RA berada pada bukal groove M1 RB
 Inklinasi antero-posterior M1 RA dan RB holding cusp gigi M1
RB terletak pada groove sentral M1 RA (Itjiningsih, 1996).
2) Premolar kedua RB (P2). Inklisasi mesio-distal porosnya tegak
lurus bidang oklusal, cusp bukal berada di fossa sentral gigi P1 dan
P2 RA dan terlihat adanya overjet dan overbite (Itjiningsih, 1996).
3) Molar kedua RB (M2). Inklinasi antero-posterior dari bidang
oklusal cusp bukal berada diatas lingir rahang (Itjiningsih, 1996).
4) Premolar pertama RB (P1). Inklinasi mesio-distal porosnya tegak
lurus terhadap bidang oklusal. Inklinasi antero-posterior cusp bukal
di fossa sentral antara P1 dan C rahang atas (Itjiningsih, 1996).

Gambar . Peradiran dan penyusunan gigi anasir (Yuliharsini dan


Syafrinani, 2016)

33
8) Counturing. Malam dibentuk sesuai dengan kontur alami prosesus
alveolar dan tepi gingiva (Thressia, 2015). Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan kontur gingiva atau gum carving adalah:
a) Root prominance merupakan tonjolan pada gingiva yang
mencerminkan adanya akar gigi di bawahnya.
b) Mc calls feston merupakan daerah servikal gigi yang berupa garis
serta bentuknya membulat.
c) Stippling merupakan bintik-bintik pigmentasi di seluruh permukaan
gingiva.
d) Gingival resection merupakan turunnya gingiva sehingga sebagian
dari akar gigi tampak (biasanya terjadi pada pasien usia lanjut)
(Itjiningsih, 1996).
9) Proses flasking. Flasking merupakan suatu prosedur penanaman model
kerja dalam suatu benda yang terbuat dari metal yang dapat dipisahkan
bagian-bagiannya. Benda ini dapat disebut sebagai kuvet (Itjiningsih,
1996). Prosedur flasking dilakukan dengan metode pulling the casting
yang bertujuan untuk mempermudah mengontrol akrilik masuk ke bagian
yang sempit seperti interdental. Model kerja rahang atas dan rahang
bawah dilepas dari artikulator. Kuvet diperiksa apakah penutupnya rapat
dan besarnya sesuai dengan model rahang. Bagian dalam kuvet diolesi
vaseline. Membuat adonan gips dan mengisi kuvet bagian bawah dengan
adonan gips tersebut. Model dengan pola malam gigi tiruan yang sudah
diberi separating medium dimasukkan kedalam kuvet hingga menyentuh
dasar kuvet. Membiarkan gips mencapai setting time dan mengeras.
Setelah mengeras bagian atas gips diberti vaseline. Kuvet atas dipasang
tanpa penutup, kemudia diisi dengan adonan gips. Menutup kuvet bagian
atas sampai rapat dan dipress pada press meja (Rathee, 2010).

34
Gambar. Flasking (Rathee, 2010)
10) Proses boiling out. Boiling out merupakan suatu prosedur yang dilakukan
untuk membuang sisa malam lempengan dan galengan gigit baik pada
model kerja rahang atas maupun rahang bawah (Itjiningsih, 1996).
Setelah gips mengeras, kuvet dan hand press dimasukkan dalam air
mendidih selama 5 menit. Setelah, 5 menit kuvet diangkat dan dibuka
perlahan-lahan, wax yang masih lunak dikeluarkan dan sisa-sisa wax
yang tertinggal di siram dengan air panas yang dicampur dengan sabun.
Setelah, bersih, diperiksa kembali keadaannya dan tepi-tepi mould space
yang tajam atau tipis dihaluskan dan diberi CMS (Rathee, 2010).

Gambar . Boiling out (Rathee, 2010)


11) Pembuatan relief of chamber. Penambahan tin foil pada torus palatinus
Torus palatinus pada rongga mulut bukan merupakan penyakit atau tanda
dari suatu penyakit, tetapi jika ukurannya besar dapat menyebabkan
masalah dalam pembuatan dan pemakaian gigi tiruan. Dalam pembuatan
gigi tiruan sebelum melakukan packing terlebih dahulu bagian torus
palatinus ditutupi atau dilapisi dengan tin foil agar tidak menekan torus
palatinus (Itjiningsih, 1996; Rathee, 2010).

35
Gambar . Penambahan tin foil (Rathee, 2010)
12) Pembuatan Post dam. Fungsi dari pembuatan post dam adalah untuk
menambah retensi terutama pada oleh gaya gravitasi yang timbul pada gigi
tiruan rahang atas. Post dam dibuat dengan cara menggerakkan dari bagian
hamular notch kanan ke kiri dan berjarak 2 mm (Itjingsih, 1996).
13) Packing. Proses mencampur monomer dan polimer resin akrilik (Thressia,
2015). Mengolesi mold space dan kuvet bagian atas dengan CMS.
Mencampurkan polimer kedalam monomer lalu aduk perlahan-lahan
menggunakan lecron. Menutup mixing jar rapat-rapat dan menunggu
akrilik mencapai dough stage. Adonan akrilik diambil sedikit demi sedikit,
kemudian dimasukkan ke dalam daerah mould space secara perlahan-lahan
hingga semua daerah tertutupi. Kemudian, menutup dengan cellophane
dan memasang kuvet atas dengan tutupnya, kemudian melakukan press
pada press meja. Membuka kuvet dengan hati-hati, mengangkat
cellophane dan memeriksa apakah akrilik sudah memenuhi mould space
sampai kebagian sayapnya. Membuang kelebihan akrilik tetapi tidak
merusak mould spacenya. Mengepress kembali sampai tidak ada lagi
kelebihan akrilik serta kuvet atas dan bawah benar-benar rapat (metal to
metal kontak). Pada press yang terakhir cellophane tidak lagi dipakai
(Rathee, 2010).

36
Gambar. Packing (Rathee, 2010)
14) Curing. Proses curing adalah polimerisasi antara monomer yang bereaksi
dengan polimer bila dipanaskan atau ditambah zat kimia lainnya. Kuvet
direbus kedalam air mulai dari suhu kamar, tunggu sampai air mendidih
kurang lebih 90 menit (sesuai petunjuk pabrik). Kuvet didiamkan sampai
dingin dengan sendirinya, kemudian dapat dilakukan deflasking (Rathee,
2010).

Gambar . Curing (Rathee, 2010).


15) Proses deflasking. Deflasking dengan menggunakan palu dan tang
gipsBila curing telah selesai, maka flask dibiarkan sampai pada suhu
kamar, kemudian flask boleh dibuka (Thressia, 2015). Melepaskan gigi
tiruan resin akrilik dari bahan tanam dilakukan dengan memotong-
motong gips untuk kemudian dibersihkan, tetapi tidak boleh lepas dari

37
model rahangnya agar gigi tiruan dapat dilakukan remounting (Rathee,
2010).

Gambar . Deflasking (Rathee, 2010)


16) Remounting. Gigi tiruan akrilik dan model dipasang kembali dalam
artikulator yang bertujuan untuk mengoreksi hubungan oklusi yang tidak
harmonis dari gigi tiruan yang baru selesai diproses. Sebelum gigi tiruan
dilepas dari model kerjanya, setiap perubahan dalam kontak oklusal dari
gigi tiruan yang baru selesai diproses harus diperbaiki dengan
mengembalikan gigi tiruan beserta modelnya pada artikulator
(Itjiningsih, 1996; Rathee, 2010).
17) Selective grinding. Permukaan oklusal gigi tiruan diasah pada tempat-
tempat selektif. Pengasahan dilakukan dengan bantuan articulating
paper yang menendai kontak oklusal yang menyimpang. Selective
grinding dilakukan hingga tidak ada lagi kontak oklusi yang
menyimpang (Rathee, 2010).
18) Finishing. Merapikan gigi tiruan dengan bur fissure dan frasser hingga
mendapatkan ketebalan kurang lebih 2 mm. Daerah tepi yang tajam
dibentuk membulat dan bagian frenulum dibebaskan. Gigi tiruan akrilik
dihaluskan dengan menggunakan amplas kasar dan halus (Thressia,
2015).

38
Gambar . Finishing (Rathee, 2010)
19) Polishing. Gigi tiruan dipoles menggunakan feltcone dan sikat hitam
dengan pumice yang sudah dibasahi air. Setelah permukaan akrilik halus
dan tidak ada lagi goresan, gigi tiruan akrilik dicuci agar sisa-sisa pumice
hilang. Untuk mengkilapkan permukaan akrilik, digunakan CaCO3 yang
dicampur air dan dipoles dengan menggunakan sikat putih. Setelah
mengkilat, gigi tiruan dicuci dan dibersihkan dari sisa-sisa bahan poles
(Rathee, 2010).

Gambar . Polishing (Rathee, 2010)


a. Kunjungan keempat
Insersi gigi tiruan sebagian lepasan ke pasien. Hal-hal yang perlu
diperhatikan antara lain:

39
1) Hambatan pada permukaan gigi atau jaringan yang dijumpai pada saat
pemasangan dan pengeluaran gigi tiruan dapat dihilangkan dengan cara
pengasahan permukaan gigi tiruan (hanya pada bagian yang perlu saja)
(Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995).
2) Retensi. Retensi adalah kemampuan GTS untuk melawan gaya pemindah
yang cenderung memindahkan gigi tiruan ke arah oklusal. Retensi gigi
tiruan ujung bebas di dapat dengan cara:
 Retensi fisiologis, diperoleh dari relasi yang erat antara basis gigi
tiruan dengan membarana mukosa di bawahnya.
 Retensi mekanik, diperoleh dari bagian gigi tiruan yang bergesekan
dengan struktur anatomi. Retensi mekanik terutama diperoleh dari
lengan traumatik yang menempati undercut gigi abutment
(Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995).
3) Stabilisasi. Stabilisasi adalah perlawanan atau ketahanan GTS terhadap
gaya yang menyebabkan perpindahan tempat/gaya horizontal. Stabilisasi
terlihat dalam keadaan berfungsi, misal pada saat mastikasi. Pemeriksaan
stabilisasi gigi tiruan dengan cara menekan bagian depan dan belakang
gigi tiruan secara bergantian. Gigi tiruan tidak boleh menunjukkan
pergeseran pada saat tes ini (Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995).
4) Oklusi. Pemeriksaan aspek oklusi pada saat posisi sentrik, lateral, dan
anteroposterior. caranya dengan memakai kertas artikulasi yang
diletakkan di bawah gigi atas dan bawah, kemudian pasien diminta
melakukan gerakan mengunyah. Setelah itu, kertas artikulasi pasien
diminta melakukan gerakan mengunyah. Setelah itu, kertas artikulasi
diangkat dan dilakukan pemeriksaan oklusal gigi. Pada keadaan normal,
terlihat warna yang tersebar secara merata pada permukaan gigi. Bila
terlihat warna yang tidak merata pada oklusal gigi maka dilakukan
pengurangan pada gigi yang bersangkutan dengan metode selective
grinding (Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995). Instruksi yang harus
disampaikan kepada pasien adalah

40
 Mengenai cara pemakaian gigi tiruan tersebut, pasien diminta
memakai gigi tiruan tersebut terus menerus selama beberapa waktu
agar pasien terbiasa.
 Kebersihan gigi tiruan dan rongga mulut harus selalu dijaga. Sebelum
dipakai sebaiknya gigi tiruan disikat sampai bersih.
 Pada malam hari atau bila tidak digunakan, protesa dilepas dan
direndam dalam air dingin yang bersih agar gigi tiruan tersebut tidak
berubah ukurannya.
 Jangan dipakai untuk makan makanan yang keras dan lengket.
 Apabila timbul rasa sakit setelah pemasangan pasien harap segera
kontrol.
 Kontrol seminggu berikutnya setelah insersi (Suryatenggara dkk.,
1991; Gunadi, 1995).
b. Kunjungan kelima
Kontrol dilakukan untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin
terjadi. Kontrol setelah 24 jam pertama apabila ada daerah yang tertekan
pada mukosa di sekitar soket gigi akibat basis gigi tiruan. Kontrol
berikutnya dilakukan 3 dan 7 hari kemudian. Selanjutnya kontrol dilakukan
setelah pemakaian 1 bulan, 2 bulan, dan 6 bulan (Felim dan Dallmer, 2018).
Tindakan yang perlu dilakukan:
1. Pemeriksaan subjektif. Pasien ditanya apa ada keluhan rasa sakit atau
rasa mengganjal saat pemakaian gigi tiruan tersebut (Suryatenggara dkk.,
1991; Gunadi, 1995; Yuliharsini dan Syafrinani, 2016).
2. Pemeriksaan objektif
a) Melihat keadaan mulut dan jaringan mulut
b) Melihat keadaan GTS lepasan baik pada plat dasar gigi tiruannya
maupun pada mukosa di bawahnya.
c) Melihat posisi cangkolan.
d) Melihat keadaan gigi abutment dan jaringan pendukungnya.
e) Memperhatikan oklusi, retensi, dan stabilisasi gigi tiruan (Soelarko
dan Wachijati, 1980; Suryatenggara dkk., 1991; Gunadi, 1995;
Yuliharsini dan Syafrinani, 2016).

41
4. Prognosis
Prognosis berarti prediksi dari berbagai macam kemungkinan
perkembangan dari pasien didasarkan pada tanda dan gejala dari pasien. Pada
saat ini kita sering dihadapkan pada “prognosticators” atau “faktor prognosis”
yang memiliki efek negatif seperti malnutrisi, lanjut usia, dan keparahan
penyakit yang bisa meningkatkan resiko kematian pada pasien selama
dilakukan perawatan (Samet dkk, 2009).
Pada saat ini faktor prognosis digunakan untuk menjelaskan
karakteristik dari faktor intrinsik dan ekstrinsik yang dapat dihubungkan
dengan hasil dari suatu kondisi pada pasien. Perbedaannya dengan “faktor
resiko” yaitu faktor resiko menjelaskan karakteristik yang berhubungan dengan
awal perkembangan dari suatu kondisi atau penyakit (Watt dan MacGregor,
1993). Baik faktor resiko maupun faktor prognosis memiliki kaitan hubungan
sebab-akibat yang dapat menjelaskan kondisi pasien strong/significant atau
weak/unimportant (Swenson, 1960). Prognosis pada penggunaan gigi tiruan
lengkap:
a. Good Prognosis. Pasien dengan Kelas I hubungan ridge antero-posterior,
ukuran dan fungsi lidah yang pas (tidak terlalu pendek), kualitas dan
kuantitas saliva yang normal, memiliki edentulous ridges yang berbentuk
square atau oval, pernah berhasil menggunakan gigi tiruan lengkap
sebelumnya, dan merupakan tipe pasien yang filosofis. Tipe pasien yang
filosofis ini merupakan pasien yang kooperatif, percaya pada dokter gigi dan
menerima semua anjuran dan rencana perawatan yang diberikan, percaya
pada dokter gigi untuk menentukan rencana perawatan.
b. Poor prognosis. Pasien dengan Kelas II hubungan ridge antero-posterior ,
lidah yang pendek, bilateral undercut pada posterior maksila yang
membutuhkan bedah prostetik, saliva yang kental, dan tipe pasien acuh tak
acuh yang tak peduli dengan penampilan dan kesehatannya serta biasanya
mau menjalani perawatan karena desakan orang-orang sekitar.

42
Faktor psikologis pasien secara garis besar juga dapat mempengaruhi
prognosis dari perawatan prostodonsia. Menurut Basker (1996) terdapat 4
kategori psikologis pasien:
a. Philosophical mind. Sifat orang yang termasuk kelompok ini biasanya
rasional, tenang, dan seimbang. Ia berkeyakinan penuh akan kemampuan
dokter giginya. Prognosis untuk penderita semacam ini baik.
b. Excacting or critical mind. Pasien pada kelompok ini kehidupannya serba
teratur, terlalu hati-hati, ingin segala sesuatu secara tepat dan kadang-
kadang kesehatannya jelek. Mereka sukar menerima pendapat atau nasehat.
Prognosis baik bila tendensi ingin sempurna dam sikap kritisnya sepadan
dengan pengertian dan kecerdasannya. Dokter gigi harus mampu
menunjukkan bahwa ia mempunyai kemampuan merawat dengan cermat
dan tepat.
c. Hysterical mind. Sikap dan tingkah laku kelompok ini biasanya gugup dan
tidak memperdulikan kesehatan mulutnya sendiri. Pasien sering tidak
kooperatif dan mereka sulit menerima alasan. Keberhasilan perawatan
hanyalah sesuatu yang relatif karena pasien selalu cenderung mengeluh dan
mencari kesalahan orang yang merawatnya.
d. Indifferent mind. Pasien tidak peduli dengan penampilan dirinya dan tidak
merasakan pentingnya masalah mastikasi. Mereka tidak ulet dan biasanya
tidak mau merepotkan dirinya sendiri dalam membiasakan memakai
protesa. Upaya dokter gigi yang merawat kurang dihargai dan dietnya
biasanya buruk. Prognosis biasanya tidak menguntungkan, kecuali
penerangan dan instruksi kepadanya berhasil baik.

43
DAFTAR PUSTAKA

Angelina, V., Syafrinani. 2015. Penatalaksanaan gigi tiruan lengkap dengan


linggir datar dan hubungan rahang kelas III disertai cerebrovascular
accident. Jurnal B-Dent. 2(1): 45-50.

Basker, R.M., Davenport. J.C., Tomlin, H.R. 1996. Perawatan Prostodontik bagi
Pasien Tak Bergigi. Edisi III. EGC. Jakarta.

Bortun, C., Lakatos, S., Sandu, L., Negrutiu, M., Ardelean, L., 2006. Metal-free
removable partial dentures made of thermoplastic materials. Timisoara
Medical Journal. 56(1): 80-8.

Carr, A.B., McGivney, G.P., Brown, D.T. 2011. Cracken’s Removable Partial
Prosthodontic 12 th ed. Elsevier. Mosby.

Felim, J., Dallmer, A. 2018. Hubungan derajat keparahan kelainan periodontal


dengan traumatik oklusi pada pemakaian gigi tiruan sebagian lepasan di
RSGM Universitas Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah PANNMED. 12(3): 250-
253.

Gunadi, H.A. 1991. Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan. Jilid I. Hipokrates.
Jakarta.

Gunadi, H.A. 1995. Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan. Jilid II. Hipokrates.
Jakarta.

Gunadi, H.A. 2016. Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan. Jilid I. Hipokrates.
Jakarta.

Itjiningsih, W. H. 1996. Gigi Tiruan Lengkap Lepasan. EGC. Jakarta.

Ismiyati, T., Kusuma, H.A. 2017. Gigi tiruan sebagian lepasan resin akrilik
dengan bare root gigi 45 ekstrusi. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia.
3(1): 1-7.

Rahn, A.O., Ivanhoe, J.R., Plummer, K.D. 2009. Textbook of Complete Dentures.
People’s Medical Publishing House.Shelton.

Rathee, M., Anita H., Pankaj G. 2010, denture hygiene in geriatic person. The
Internet Jour Geriatic and Gerio. 6(1): 4-11.

Rehatta, N.M., dkk. 2014. Pedoman Keterampilan Medik 2 Fakultas Kedokteran


Universitas Airlangga. Airlangga University Press. Surabaya.

44
Samet, Nachum, Jotkowitz, A. 2009. Classification and prognosis evaluation
of individual teeth: a comprehensive approach. Quintessence Jurnal.
40(1): 1-7.

Silalahi, P.R., Catur, S., Mertisia, I. 2017. Prosedur pembuatan gigi tiruan
sebagian lepasan akrilik pada gigi 2 untuk menggantikan gigi tiruan
sebagian nonformal, Jurnal Analis Kesehatan. 6(2): 1-7.

Soelarko, R.M., Wachijati, H. 1980. Diktat Prostodonsia Gigi Tiruan Sebagian


Lepasan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran. Bandung

Sofia, P.A. 2015. Gigi tiruan sebagian overlay. Cakradonya Dental Journal. 7(2):
807-868.

Suryatenggara, F. dkk. 1991. Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan. EGC.


Jakarta.

Swenson, M. G. 1960. Complete denture. C.V. Mosby Co. Saint Louis.

Thressia, M. 2019. Proses pembuatan gigi tiruan lepasan dari bahan kombinasi
logam dan akrilik. Jurnal Kesehatan Perintis. 201(203): 1-4.

Thressia, M. 2015. Proses pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan dari bahan
kombinasi logam dan akrilik. Jurnal Kesehatan Perintis. 3(1):1-4.

Universitas Udayana. 2017. Buku Panduan Keterampilan Klinik Blok Preklinik V.


Universitas Udayana. Bali.

Wagner, 2012. Crown and Bridge Prosthodontics: An Illustrated Handbook.


Hipokrates. Jakarta.

Wahjuni, S., Mandanie, S.A. 2017. Pembuatan protesa kombinasi dengan castable
extracoronal attachments. Journal of Vocational Health Studies. 1(2): 75-81.

Watt D., MacGregor A. 1993. Penentuan desain geligi tiruan sebagian lepasan.
Hipokrates. Jakarta.

Yuliharsini, S., Syafriani. 2016. Gigi tiruan sebagian lepasan kerangka logam
kombinasi bahan fleksibel sebagai upaya memenuhi kebutuhan estetik pada
gigi penyangga dengan resesi gingiva. Jurnal B-Dental. 3(1): 9-17.

Zarb, H.E. 2013. Prosthodontic Treatment for Edentulous Patient. 13 th ed. St.
Louis. Elsevier, Mosby

45

Anda mungkin juga menyukai