OLEH
HERI HERLIANA
NPM.160121090007
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Definisi
jaringan lunak serta jaringan keras di daerah wajah, mulut dan dentoalveolar.
Cedera pada pada jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, luka bakar dan
laserasi. Cedera dentoalveolar dapat berupa fraktur tulang alveolar serta fraktur
pada gigi geligi yang dapat disertai dengan kegoyangan gigi, pergeseran letak
gigi, dan avulsi. Sedangkan fraktur wajah meliputi fraktur mandibula, fraktur
midface atau wajah bagian tengah, dan laserasi wajah (Hupp dkk, 2008).
disebabkan oleh tekanan fisik, adanya benda asing, gigitan binatang ataupun
manusia. Luka bakar yang terjadi pada wajah juga dikategorikan termasuk dalam
trauma maksilofasial, yang dapat disebabkan oleh karena benda panas, gesekan,
sayat atau vulnus scisssum disebabkan oleh benda tajam,luka tusuk yang disebut
vulnus punctum akibat benda runcing, luka robek atau laserasi disebut vulnus
laceratum merupakan luka yang tepinya tidak rata atau compang-camping yang
disebabakan oleh benda yang permukaannya tidak rata, luka lecet akibat gesekan
2
yang disebut eskoriasi dan luka akibat panas dan zat kimia menyebabkan vulnus
1.2. Etiologi
Kecelakaan akibat arus listrik dapat terjadi karena arus listrik mengaliri
dapat pingsan lama dan mengalami henti nafas.dapat juga terjadi oedem
masuk dan keluar arus listrik paling kuat (Syamsuhidajat & De Jong, 2003).
Kecelakaan akibat bahan kimia biasanya luka bakar dan ini dapat terjadi
kecelakan dil laboratorium dan akibat penggunaan gas beracun pada peperangan.
Bahan kimia dapat bersifat oksidator seperti fenol dan fosfor putih, juga larutan
3
basa seperti kalium hidroksida menyebabkan denaturasi protein.asam sulfat
merusak sel karena bersifat cepat menarik air. Gas yang dipakai dalam
peperangan menimbulkan luka bakar dan menyebabkan anoksia sel bila berkontak
tanat, kromat, formiat, pikrat, dan posfor dapat merusak hati dan ginjal kalau di
De Jong, 2003).
1.3. Klasifikasi
Pada makalah ini akan dibahas lebih pada aspek cedera jaringan keras atau
kompleks yang meliputi sepertiga wajah bagian atas, tengah dan bawah disebut
juga dengan fraktur Panfasial. Tulang – tulang yang biasanya terlibat dalam
4
BAB II
ANATOMI MAKSILOFASIAL
1. Os. Frontale
2. Os. Parietale
3. Os. Temporale
4. Os. Sphenoidale
5. Os. Occipitalis
6. Os. Ethmoidalis
1. Os. Maksilare
2. Os. Palatinum
3. Os. Nasale
4. Os. Lacrimale
5. Os. Zygomatikum
7. Vomer
8. Os. Mandibulare
5
Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sutura - sutura. Tulang-tulang yang tebal berhubungan
dengan tulang- tulang berdinding tipis. Tulang – tulang pembentuk wajah atau
lengkungan yang sangat rentan untuk terhadap fraktur jika mendapat suatu trauma.
Tulang – tulang tersebut dihubungkan oleh sutura – sutura yang juga dapat
berbeda. Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai 'buttress' yang
6
menopang/penyangga proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan proyeksi
posterior. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem penyangga unit-unit fungsi
BAB III
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
7
3.1. Anamnesis
Riwayat trauma yang akurat dapat menjadi informasi yang bernilai untuk
mendapat cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak memungkinkan
untuk menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini, riwayat
trauma dapat diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang
mendampingi yang pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana
adalah sulit, karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik.
Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan
yang sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik
polisi, atau pekerja pada unit gawat darurat. Penting dicatat mengenai tanggal,
waktu, tempat kejadian, dan peristiwa yang khusus. Apabila cedera disebabkan
jatuh atau tidak sadar. Kondisi medis resiko tinggi, alergi, dan tanggal imunisasi
tetanus juga harus dicatat. Penting juga dicatat ada tidaknya tanda-tanda
8
obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan minum yang terakhir
Menurut Hupp dkk, 2008, langkah pertama pada setiap proses diagnostik
adalah memperoleh sebuah riwayat trauma yang akurat. Riwayat trauma yang
akurat sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi informasi tentang who,
kepada pasien, orangtua pasien, atau seseorang yang menyertainya, antara lain :
2. Kapan trauma itu terjadi? Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan
gigi avulsi dapat direposisi, maka semakin baik prognosisnya. Sama halnya
dengan hasil yang diperoleh dari perawatan fraktur alveolar yang disebabkan
perkiraan tentang hasil cedera jaringan akan seperti apa nantinya. Sebagai
kekuatan besar, selain dapat merusak beberapa gigi juga dapat menyebabkan
5. Perawatan apa yang telah diberikan sejak trauma terjadi (bila ada)? Dari
9
cedera. Seperti pertanyaan, bagaimana gigi yang avulsi disimpan sebelum
6. Apakah ditemukan adanya gigi atau serpihan gigi ditempat kejadian trauma?
diketahui jumlah gigi pasien sebelum trauma terjadi. Jika selama pemeriksaan
klinis ditemukan adanya gigi atau mahkota gigi yang hilang dan tidak dapat
diperkirakan apakah gigi atau mahkota gigi tersebut hilang di tempat kejadian,
dada, dan regio perut untuk memastikan ada atau tidaknya gigi atau mahkota
gigi tersebut di dalam jaringan atau rongga badan lainnya (gambar 3 dan 4).
Gambar.4. Rontgen dada menunjukan adanya gigi caninus yang masuk kedalam
rongga dada (Hupp dkk, 2008)
10
7. Bagaimana status kesehatan umum pasien? Penting diketahui tentang riwayat
meliputi ada atau tidaknya alergi terhadap obat, kelainan jantung, kelainan
darah, penyakit umum lainnya, dan riwayat penyakit terakhir yang diderita
sebelum trauma.
berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap
dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih dahulu.
(paling tidak mengenai tingkat kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan
11
membuka matanya jika diberi stimuli tertentu, termasuk stimuli yang
indikator yang baik untuk menunjukkan tingkat kerusakan otak, bila ada
(Pedersen, 1996).
atau benda asing. Pemeriksaan fisik baru dapat dilakukan setelah pasien dalam
1. Pemeriksaan Kepala
jaringan lunak disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua darah dan benda
asing secara hati-hati. Seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak sebaiknya
dicatat pada saat ini, begitu juga dengan cedera yang mengenai tulang. Trauma
pada jaringan lunak dapat dikarakteristikan menjadi abrasi, kontusio, luka bakar,
avulsi, dan laserasi. Seluruh luka laserasi dan avulsi harus dicatat kedalaman dan
pemeriksaannya harus meliputi ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas,
12
2. Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah
mobilitas dari maksila sebagai struktur maksila itu sendiri atau hubungannya
dengan zygoma atau tulang nasal. Untuk memeriksa adanya mobilitas maksila,
kepala pasien harus distabilisasikan dengan cara menekan kening pasien cukup
kuat dengan satu tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan lainnya
mencengkram maksila pada satu sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang stabil
sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas maksila
mempalpasi dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa pasien yang
dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan
saluran nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi
dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari
yang mengalami nyeri tekan, dan baal juga dicatat, karena hal ini menunjukkan
adanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus zygomatikus dipalpasi bilateral dan
diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari aspek posterior atau superior.
Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya
13
Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih dahulu,
tengah wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang akurat sulit dilakukan
Mastoid harus diperiksa dari kemungkinan adanya ekimosis yang disertai dengan
tulang kranial. Adanya laserasi dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda
2009).
terjadinya nekrosis tulang rawan septum hidung yang pada akhirnya dapat
anestesi atau parestesi (Marciani dkk, 2009). Saraf kranialis ketiga, empat, lima,
enam dan tujuh dites untuk mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien
mengangkat alisnya dan meretraksi sudut mulut? Apakah bola mata bisa bergerak
bebas, dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar dan berakomodasi? (Pedersen,
1996)
14
3. Pemeriksaan Mandibula
apabila ada penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah
dan jarak interinsisal dicatat. Apabila ada meatus akustikus eksternus penuh
dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan telapak
caput condilus pada saat istirahat dan bergerak. Pada fraktur subcondilus tertentu,
bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang Amat sangat atau caput mandibula tidak
terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari prosesus
kondilaris sampai ke simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dan
yaitu kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah prossessus
koronoid (gambar 5). Selain itu fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan
15
Gambar 5. Distribusi anatomik dari fraktur mandibula (Hupp dkk, 2008)
Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dapatkah gigi
mengalami pergeseran karena trauma atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi,
juga dicatat. Apabila pasien menggunakan protesa, maka protesa tersebut harus
dilepas dan diperiksa apakah ada rusak atau tidak. Jaringan lunak mulut diperiksa
dalam kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi, ekimosis, dan hematom. Lidah
16
disisihkan, sementara itu dasar mulut dan orofaring diperiksa, apakah terdapat
serpihan-serpihan gigi, restorasi, dan beku darah. Arcus zygomatikus dan basisnya
pada prosesus alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Akhirnya
gigi-gigi dan prosesus alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri tekan atau
hilang. Adanya gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan melakukan
radiografi pada dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkan
lateral (open bite lateral) juga dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibula
atau gangguan TMJ. Sedangkan gigitan terbuka anterior (open bite anterior)
mengindikasikan adanya fraktur Le Fort (I, II, ataupun III) (Marciani, 2009).
diperlukan radiograf oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi
dan avulsi), dan sebagian besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgen
pembuatan radiografis untuk mengetahui adanya fraktur bila bukti klinis kurang
mendukung. Film panoramik merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur
17
Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau
lebih gambaran radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu (1)
panoramik, (2) proyeksi Towne, (3) proyeksi posteroanterior , dan (4) proyeksi
18
Rontgen yang paling baik untuk fraktur wajah bagian tengah adalah
proyeksi submental verteks (Hupp dkk, 2008). Fraktur pada arkus zygomatikus
Gambar 8.Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur wajah bagian tengah
(Hupp dkk, 2008).
19
Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan
maka bisa dilakukan CT. CT mempunyai keunggulan dalam hal tidak adanya
gambaran yang tumpang tindih dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak.
Kedua sifat tersebut merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukan
diagnosis yang akurat dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan
prosedur penyaringan standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan dapat
20
Dengan kemajuan tehnologi saat ini, dengan dikembangkannya CT Scan tiga
dimensi akan memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan keadaan fraktur
21
BAB IV
Secara berurutan primary survey dalam perawatan gawat darurat disingkat dengan
adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur gigi, dental prothesa, fraktur
laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi
vertebra servikal, adapun cara yang dapat dilakukan yaitu chin lift, headtilt
atau jaw trust. Pada penderita yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa
jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus
tetap dilakukan. Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS sama
boleh ada ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan
servikalis dan vertebra torakalis perrtama dapat dilihat dengan foto lateral,
walaupun tidak semua jenis fraktur akan terlihat dengan foto ini. Dalam
22
keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat
imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara maka terhadap kepala harus
2) Breathing dan Ventilasi, airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang
baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran
oksigen dan mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini
harus dievaluasi secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat
atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan
flail chest dengan kontusio paru dan open pneumothorax. Keadaan ini harus
pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di
nadi. Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang akan
23
wajah pucat, keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda
kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya
merupakan tanda normovalemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda
primary survey. Perdarahan luar luar dihentikan dengan penekanan pada luka.
panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari luka
dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak.
oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Bila diperlukan konsul ke ahli bedah syaraf.
24
4.2. Perawatan Definitif
pasien lebih baik, terkontrol dan telah melewati masa krisis melalui perawatan
seluruh perbaikan dari semua fraktur fasial dan kranial yang individual.
secara ideal dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa penulis menganjurkan untuk
fiksasi primer pada 12-48 jam paska trauma. Namun dalam jangka waktu tersebut
pengelolaan gigi geligi yang adekuat terutama pada pasien dalam keadaan koma dan
tidak kooperatif. Pada periode tersebut jaringan lunak berada dalam keadaan
proyeksi wajah dan kesimetrisan wajah sulit dicapai. Selain itu adanya rhinorrhoea
25
serebrospinal atau aerocele intrakranial merupakan alasan lain keterlambatan
union pada tulang dan kontraktur jaringan lunak sehingga diperlukan diseksi
jaringan lunak yang ekstensif untuk mendapatkan pemaparan tulang yang baik
dalam rangka reduksi dan fiksasi fraktur tulang. Selain itu diperlukan osteotomi pada
mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak
stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal dan
yaitu dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke
Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada fossa
kranial anterior atau fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang atau
regio midfasial dapat direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun bila
kranial dan diskontinuitas pada dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik
referensi, pendekatan dilakukan dalam arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar
mereposisi maksila. Selain itu bila basis kranial frontalis diperbaiki dan dilekatkan
26
terhadap tengah wajah dapat menaikkan resiko kerusakan atau perubahan letak
kondilus baik unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi
Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah atas ke bawah dan bertemu dengan segmen
maksilomandibula yang telah terfiksasi. Bila terdapat fraktur sagital pada maksila
sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai. Fiksasi dapat
pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai dari jarak
yang cukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis kranial. Ketidakakuratan
dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus akan menyebabkan asimetri wajah.
(Miloro, 2004)
27
Gambar 11. Teknik Bottom up (Miloro, 2004)
rangka fasial (outer facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung
pada bagian dalam rangka fasial (inner facial frame) atau pada kompleks naso-
rekonstruksi pada maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress.
28
Gambar 12. Teknik top to bottom (Miloro, 2004)
dan hidung. Selain itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila
29
Gambar 13. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior (Miloro, 2004)
mengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal, insisi
pemaparan yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka kraniofasial bagian
atas. Selain itu insisi ini dapat memberikan akses yang optimal untuk dapat
30
BAB V
KESIMPULAN
jaringan lunak serta jaringan keras di daerah wajah, mulut dan dentoalveolar.
Cedera pada pada jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, luka bakar dan
laserasi. Cedera dentoalveolar dapat berupa fraktur tulang alveolar serta fraktur
pada gigi geligi yang dapat disertai dengan kegoyangan gigi, pergeseran letak
gigi, dan avulsi. Sedangkan fraktur wajah meliputi fraktur mandibula, fraktur
mendapatkan lapang pandang yang cukup luas, reduksi yang cermat dan fiksasi
dari fraktur. Prinsip dalam merekonstruksi adalah dengan mereduksi daerah yang
anatomi yang memberikan panduan rangka wajah yang maksimal yaitu pada
kerangka wajah luar. Daerah-daerah yang mengalami kehilangan tulang yang luas
31
DAFTAR PUSTAKA
32
33