Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

Pembimbing :
dr. H. Abdul Wahid Usman, Sp. PD
Disusun Oleh :
Raditya Rezha Yanoura (2010730086)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD KELAS B CIANJUR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan laporankasus ini tepat waktu. Tidak lupa penulis mengucapkan
terimah kasih kepada dr. H. Abdul Wahid Usman, Sp. PD selakupembimbing yang
telah membimbing penulis dalam menyelesaikan laporan kasusini. Terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
penulisan laporan referat ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi yang membacanya
dan bermanfaat pula bagi penulis.

Cianjur, September 2015


Penulis

BAB I
KASUS
Identitas Pasien
Nama

: Tn.I

Usia

: 65 tahun

Alamat

: Sindanglaka

Status

: Menikah

Masuk RS

: 14-09-2015 (20:15 WIB)

Anamnesis (Autoanamnesis) pada tanggal

Keluhan utama
Sesak Nafas sejak 3 hari SMRS
Riwayat penyakit sekarang

Os datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari SMRS keluhan dirasa
semakin lama semakin memberat, sesak sampai membuat os tidak bisa banyak
bergerak, dan sesak dirasakan terus menerus, keluhan disertai rasa nyeri dada,
terutama dada kanan, batuk (+), tidak berdahak, demam (+) dirasakan cukup
tinggi, penurunan berat badan (+), keringat malam (+). 3 bulan SMRS, Os
pernah mengalami keluhan yang sama namun tidak seberat kali ini, saat itu Os
berobat ke klinik sampai sesak hilang.

Riwayat Penyakit Dahulu


DM (-). Hipertensi (-), Penyakit jantung (-)

Riwayat penyakit keluarga


Penyakit DM. Penyakit hipertensi, penyakit jantung dan penyakit ginjal dalam

keluarga disangkal
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku tidak rutin minum obat, atau menjalani pengobatan jangka

panjang.
Riwayat Alergi
OS mengaku tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan, makanan dan

cuaca
Riwayat Psikososial
Pasien mengaku sudah berhenti merokok sejak 5 tahun

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Freukuensi nadi

: 80 kali/menit

Pernapasan

: 26 kali/menit

Suhu

: 38oC

Kepala

Bentuk : Normocephal, simetris

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

Mata

: Konjungtiva anemis +/+ , sklera ikterik -/- ,


pupil isokor kanan = kiri, refleks cahaya (+/+)

Telinga : Bentuk normal, simetris kiri dan kanan, liang lapang,


membran timpani intak, serumen (-)

Hidung : Bentuk normal, septum di tengah, tidak deviasi,


Pernafasan cuping hidung tidak ada, sekret tidak ada.

Mulut

: Mukosa bibir basah, lidah tidak kotor, faring dan tonsil


tidak hiperemis, tonsil T1/T1

Leher

Inspeksi : Bentuk normal, deviasi trakea (-)

Palpasi : Pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening (-)


JVP tidak meningkat

Thoraks Anterior

Inspeksi

: Bentuk dada kanan = kiri, pergerakan nafas kanan = kiri


Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: Fremitus taktil dan vokal kanan tertinggal dibanding kiri

Iktus kordis teraba di sela iga V garis midklavikula kiri

Perkusi

Auskultasi : Pernafasan vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

: redup pada paru kanan dari ICS IV ke bawah

Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)


Thoraks Posterior

Inspeksi

: punggung simetris kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus taktil dan vokal kanan tertinggal dibanding kiri

Perkusi

: redup pada paru kanan

Auskultasi : Pernafasan vesikuler, melemah pada ICS IV ke bawah

Abdomen

Inspeksi : Supel, perut tampak datar, dan tidak ada jaringan parut

Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Seluruh lapang abdomen timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas

Superior : Akral hangat, Sianosis (-/-), edema (-/-)

Inferior : Akral hangat, Sianosis (-/-), edema (-/-)

Hasil Pemeriksaan lanoratorium (15 September 2015)

Hemoglobin : 10.4 g/dL

Leukosit

: 15.800

Trombosit

: 316.000

GDS

: 132mg/dL

Ureum

: 24 mg/dl

Kreatinin

:0.76 mg/dl

Diagnosis Sementara
Efusi Pleura e.c. Tuberkulosis Paru
Penatalaksanaan

Ringer Lactat 1000cc/24jam

Ceftriaxone 2x1g IV

Omeprazole 20mg 1x1 IV

Tramadol 2 x 1

Pracetamol 3 x 500 mg

Pro Pungsi Pleura

Prognosis

Dubia ad bonam

Pemeriksaan anjuran
1. Foto rontgen Thorax
Follow up (15 September 2015)
S

Sesak, batuk,

KU/Kes: S.sedang/CM

dan

nyeri

TD: 110/70 mmHg

Thoraks e.c

Ceftriaxone 2x1g IV

pada

dada

RR 24x/menit

Tuberkulosis

Omeprazole

HR 88x/menit

Paru

kanan

Suhu 37,8 C

P
1. Empiema

Inf D5%
20mg

1x1 IV

Mata: KA+/+, SI-/-

Pracetamol 3 x 500
mg

Thorax: Cor BJ1=2 reg

Konsul

Pulmo VBS +/+, Rh-/-,

untuk

Wh -/-, Redup pada ICS 4

Seal Drainage

Spesialis

Bedah

pemasangan

Water

kebawah, nyeri
Abd: supel, NTE
Leukosit : 15.800,
Foto thorax : cairan pada

ronga pleura kanan


Cairan Pleura Pus

Follow up (16 September 2015)


S

Sesak, batuk,

KU/Kes: S.sedang/CM

dan

nyeri

TD: 110/70 mmHg

Thoraks e.c

pada

dada

RR 25x/menit

Tuberkulosis

HR 84x/menit

Paru

kanan

P
1.

Empiema

Inf D5%

Ceftriaxone
IV

Suhu 37,9 C

Omeprazole 20mg
1x1 IV

Mata: KA+/+, SI-/Thorax: Cor BJ1=2 reg

Pracetamol 3 x 500
mg

Pulmo VBS +/+, Rh-/-,

Ketorolac 3 x 1

Wh -/-, Redup pada ICS 4


kebawah, nyeri

Follow up (17 September 2015)


S

2x1g

Sesak,

KU/Kes: S.sedang/CM

batuk, dan

TD: 110/70 mmHg

Thoraks e.c

nyeri pada

RR 24x/menit

Tuberkulosi

dada kanan

HR 84x/menit

s Paru

1.

Empiema

Inf D5%

Omeprazole

20mg

1x1 IV

Mata: KA+/+, SI-/-

Thorax: Cor BJ1=2 reg


VBS

2x1g

IV

Suhu 37,6 C

Pulmo

Meropenem

+/+,

Pracetamol 3 x 500
mg

Rh-/-,

Ketorolac 3 x 1

Wh -/-, Redup pada ICS 4


kebawah, nyeri

Follow up (18 september 2015)


S

Sesak agak

KU/Kes: S.sedang/CM

perbaikan,

TD: 110/70 mmHg

RR 22x/menit

Thoraks

HR 82x/menit

e.c

Suhu 37,6 C

Tuberkul

Mata: KA+/+, SI-/-

osis Paru

batuk,
sedikit
nyeri

P
1.

Empiem

Inf D5%

Omeprazole

Pracetamol 3 x 500
mg

Wh -/-,

Ketorolac 3 x 1

Sudah terpasang WSD

Follow up (19 September 2015)


O

20mg

1x1 IV

Redup pada ICS 4 kebawah, nyeri

2x1g

IV

Thorax: Cor BJ1=2 reg


Pulmo VBS +/+, Rh-/-,

Meropenem

Sesak

agak

perbaikan,
sedikit nyeri

KU/Kes: S.sedang/CM

2.

Empiema

Inf D5%

TD: 110/70 mmHg

Thoraks e.c

RR 22x/menit

Tuberkulosis

HR 80x/menit

Paru

Meropenem 2x1g
IV

Suhu 37,3 C

Omeprazole 20mg
1x1 IV

Mata: KA+/+, SI-/-

Thorax: Cor BJ1=2 reg

Pracetamol

500 mg

Pulmo VBS +/+, Rh-/-,

Ketorolac 3 x 1

Wh -/-, Redup pada ICS 4


kebawah, nyeri

Follow up (20 September 2015)


S

Sesak

KU/Kes: S.sedang/CM

Sudah

TD: 110/70 mmHg

ma

RR 20x/menit

Thora

HR 84x/menit

ks e.c

Suhu 37,6 C

Tuberk

Mata: KA+/+, SI-/-

ulosis

Thorax: Cor BJ1=2 reg

Paru

hilang,
sedikit
nyeri

P
3.

Pulmo VBS +/+, Rh-/-,

Empie

Inf D5%

Meropenem
IV

Omeprazole 20mg
1x1 IV

Pracetamol 3 x 500
mg

Wh

Ketorolac 3 x 1

-/-, , nyeri

Follow up (21 September 2015)

2x1g

Sesak Sudah

KU/Kes: S.sedang/CM

hilang,

TD: 110/70 mmHg

Thoraks e.c

RR 18x/menit

Tuberkulosis

HR 88x/menit

Paru

pada

nyeri
tempat

pemasangan
WSD

4.

Empiema

Inf D5%

Meropenem
2x1g IV

Suhu 36,7 C

Omeprazole
20mg 1x1 IV

Mata: KA+/+, SI-/-

Thorax: Cor BJ1=2 reg

Pracetamol 3 x
500 mg

Pulmo VBS +/+, Rh-/-,

Wh -/-, , nyeri

Ketorolac 3 x 1

Konsul PA mengenai cairan


pleura

Follow up (22 September 2015)


S
Tidak

O
ada

keluhan , nyeri
pada
WSD

bekas

KU/Kes: S.sedang/CM

P
5.

Empiema

TD: 110/70 mmHg

Thoraks e.c

RR 18x/menit

Infeksi

HR 82x/menit

Bakterial

Rawat Jalan

Suhu 37,0 C
Mata: KA+/+, SI-/Thorax: Cor BJ1=2 reg
Pulmo VBS +/+, Rh-/-,
Wh -/-, , nyeri
Hasil PA, non spesifik

ANALISA MASALAH;
10

Empiema Thoraks
-

a.Anamnesis
Demam dan keluar keringat
malam.

Nyeri pleura.
Dispnea.
b. Pemeriksaan Fisik
- Pada auskultasi dada

Pasien pada kasus


-

Demam dan keluar keringat malam.


Nyeri pleura.
Dispnea.

- Pada auskultasi dada ditemukan

ditemukan penurunan suara

penurunan suara napas.

napas.
- Pada perkusi dada ditemukan

suara flatness.
- Pada palpasi ditemukan

Pada palpasi ditemukan penurunan


fremitus
- Sisi yang sakit lebih tertinggal pada
pernapasan

penurunan fremitus.
- Sisi yang sakit lebih cembung,
tertinggal pada pernapasan
- Mediastinum terdorong ke sisi
yang sehat
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi:
-

Foto toraks

Pada pasien empiema, aliran bebas cairan pleura terkumpul di bagian tertentu dari
cavum pleura dan mengaburkan sudut kostofrenikus
Pemeriksaan darah tepi menunjukkan leukositosis dan pergeseran ke kiri seperti pada
infeksi akut umumnya
Selanjutnya dilakukan torakosentesis, cairan yang didapat diperiksa warna, purulensi,
viskositas, bau dan analisis cairan pleura
Pada pasien ini dilakukan tindakan pungsi pleura dilakukan pungsi pleura, keluar
cairan pleura pus, dan dilakukan analisa cairan pleura. terdapat cairan eksudat dan
kemudian dilakukan tindakan pemasangan WSD.

Penatalaksanaan
11

Pengosongan nanah
Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah efek
toksisnya.
Closed drainage-tube toracostory water scaled drainage dengan indikasi:
Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi.
Antibiotik
Biasanya diberikan penicilin. Pemilihan awal didasarkan pada CAP dan HAP
( laktam, penisilin, sefalosporin, kabapenem). Jika dicurigai bakteri anaerob:
ditambah metronidazole atau clindamycin
Prognosis dipengaruhi oleh umur serta penyakit yang melatarbelakanginya. Angka
kematian meningkat pada usia tua, penyakit asal yang berat, dan pengobatan yang
terlambat. Faktor prognosis buruk pada empiema apabila:
1. Didapatkan nanah di rongga pleura
2. Pewarnaan Gram cairan pleura positif
3. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 40mg/dL
4. Biakan cairan pleura positif
5. pH cairan pleura < 7,0
6. Kadar LDH cairan pleura > 3 kali nilai normal serum(4)
Prognosis pada kasus ini adalah dubia ad bonam, karena penanganan yang
cepat dan pemberian antibiotik yang adekuat sehingga keadaan pasien membaik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang
berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik
terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead
space, media biakan pada cairan pleura dan inokulasi bakteri. Empiema adalah

12

akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya (ruang pleura)
yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisi sel-sel darah putih
yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga
berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin). Ketika pus
terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru
sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya
perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi
kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian
paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan yang permanen(4)
B. Etiologi
Stafilokokus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang paling
sering ditemukan dalam isolasi mikrobiologi, selebihnya adalah bakteri gram
negatif. Sering ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan terjadi diantaranya
karena tingginya insidensi resisten karena pemberian antibiotik pada fase awal
pneumonia. Pada penelitian yang dilakukan Yu Chen dkk pada pasien efusi pleura
dengan empiema didapatkan Klebsiella Pneumoniae merupakan penyebab
terbanyak(5). Penyebab terjadinya empiema sendiri terbagi menjadi:
1.
Infeksi yang berasal dari dalam paru :
Pneumonia
Abses paru
Bronkiektasis
TBC paru
Aktinomikosis paru
Fistel Bronko-Pleura
2.
Infeksi yang berasal dari luar paru :
Trauma Thoraks
Pembedahan thorak
Torasentesi pada pleura
Sufrenik abses
Amoebic liver abses (6)

C. Klasifikasi
Empiema dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1. Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada
hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit.
Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdiri
atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72 jam dan kemudian berkembang

13

menjadi

stadium

fibropurulen.

Cairan

pleura

mengalir

bebas

dan

dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat
dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal,
drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan.
2. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional
yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya
kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit
polimorfonuklear, bakteri, dan debris selular. Akumulasi protein dan fibrin
disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi
dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa
menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7-10
hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan
pemasangan tube.
3. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit
fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi
pleura dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba
torakostomi untuk drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi
cairan dan merupakan hasil dari proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi
terperangkap dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya
terjadi selama 2 4 minggu setelah gejala awal.(4)
D. Patofisiologi
Akibat invasi basil piogenik ke pleura akan mengakibatkan timbulnya radang
akut yang diikuti pembentukan eksudat serous. Dengan banyaknya sel PMN yang
mati akan meningkatkan kadar protein dimana mengakibatkan timbunan cairan
kental dan keruh. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantongkantong yang melokalisasi nanah tersebut.
Apabila nanah menembus bronkus, timbul fistel bronkus pleural. Sedangkan
bila nanah menembus dinding thorak dan keluar melalui kulit disebut emphiema
nesessitasis. Emphiema dapat digolongkan menjadi akut dan kronis. Emphiema
akut dapat berlanjut ke kronis. Organisasi dimuli kira-kira setelah seminggu dan
proses ini berjalan terus sampai terbentuknya kantong tertutup.(4)
E. Manifestasi Klinis
Empiema dibagi menjadi dua stadium yaitu :
a. Empiema Akut

14

Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan primer dari pleura.
Pada permulaan, gejala-gejalanya mirip dengan pneumonia, yaitu panas tinggi
dan nyeri pada dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila stadium ini dibiarkan sampai
beberapa minggu maka akan timbul toksemia, anemia, dan clubbing finger.
Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura. Adanya
fistel ditandai dengan batuk yang makin produktif, bercampur nanah dan darah
masif, serta kadang-kadang bisa timbul sufokasi (mati lemas).(1)
Pada kasus empiema karena pneumotoraks pneumonia, timbulnya
cairan adalah setelah keadaan pneumonianya membaik. Sebaliknya pada
Streptococcus pneumonia, empiema timbul sewaktu masih akut. Pneumonia
karena baksil gram negatif seperti E. coli atau Bakterioids sering kali
menimbulkan empiema.(4)
b. Empiema Kronis
Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar ditentukan.
Disebut kronis jika empiema berlangsung selama lebih dari tiga bulan.
Penderita mengeluh badannya terasa lemas, kesehatan makin menurun, pucat,
clubbing fingers, dada datar, dan adanya tanda-tanda cairan pleura. Bila terjadi
fibrotoraks, trakea , dan jantung akan tertarik ke sisi yang sakit.(5)
F. Diagnostik
c. Anamnesis
Demam dan keluar keringat malam.
Nyeri pleura.
Dispnea.
Anoreksia dan penurunan berat badan.(1)
d. Pemeriksaan Fisik
- Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas.
- Pada perkusi dada ditemukan suara flatness.
- Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus.
- Sisi yang sakit lebih cembung, tertinggal pada pernapasan
- Mediastinum terdorong ke sisi yang sehat
- Pada empiema yang kronis hemitoraks yang sakit mungkin sudah mengecil
karena terbentuknya schwarte.(4)
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi:
-

Foto toraks(5)
Pada pasien empiema, aliran bebas cairan pleura terkumpul di bagian

tertentu dari cavum pleura dan mengaburkan sudut kostofrenikus. Jumlah


cairan pleura yang menyebabkan penumpulan sudut kostofrenikus pada
15

foto thorax lateral sekitar 75 ml. Pada foto thorax PA jumlah cairan yang
menyebabkan penumpulan sudut kostofrenikus sekitar 200 ml.
Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral mempunyai
arti penting untuk diagnosis empiema. Pasien yang difoto dengan posisi
berdiri, cairan pleura bebas akan terakumulasi di bagian terendah
hemitoraks dan sudut kostofrenikus. Foto toraks dengan diafragma normal
tetapi tampak gambaran berkantong yang terlokalisir sebaiknya juga
diperiksa ultrasonografi (USG) toraks atau computed tomography
scan (CT scan), terlebih bila terlihat gambaran efusi. Selanjutnya
dilakukan torakosentesis, cairan yang didapat diperiksa warna, purulensi,
viskositas, bau dan analisis cairan pleura. Cairan pleura berupa transudat
tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut(7).

Foto thorax PA

laki-laki

tahun

selama

yang

usia
2

telah

mendapatkan

pengobatan

pneumonia.

50

minggu
Pasien

mengeluh demam persisten dan nyeri dada. Gambaran opasitas patchy bilateral pada
parenkim paru menunjukkan adanya pneumonia. Sudut kostofrenikus kiri yang tumpul
menunjukkan adanya efusi pleura kiri (7).

16

Foto thorax pasien

empiema thorax tanpa

abses paru(9)

Foto thorax pasien empiema

dengan abses paru(9)

Computed
CT scan

tomography.
digunakan

membedakan

kelainan

untuk
parenkim

terhadap pleura, mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan lokulasi,


mengevaluasi permukaan pleura, dan membantu dalam penentuan terapi.
Tidak semua penderita efusi parapneumonia dengan komplikasi
memerlukan pemeriksaan CT toraks, tetapi berguna pada penderita efusi
komplikasi dengan lokulasi untuk pertimbangan terapi, yang akan
menurunkan morbiditas, mortalitas maupun lamanya rawat tinggal(4).
Tergantung pada manajemen klinis yang diharapkan, pasien dapat
menjalani pencitraan dengan atau tanpa bahan kontras intravena. Jika
penyadapan efusi pleura klinis yang signifikan secara klinis diindikasikan,
media kontras intravena tidak diperlukan untuk mengevaluasi keberadaan
dan lokasi cairan pleura.
Yang khas adalah empiema lenticular. CT scan dapat menunjukkan
efusi pleura atipikal sepanjang mediastinum, pleura yang menebal,
loculations dalam celah, septa, atau gelembung gas dalam rongga pleura.

17

CT Scan Thorax Pasien dengan Empiema(4)

Chest

x-

ray menunjukkan

adanya

atelektasis pulmo,

empiema

masiv

yang

dikelilingi oleh kalsifisi dan masa pada bagian bawah dinding empiema, termasuk
semua lapisan dinding dada anterolateral. Chest x-ray menunjukkan ada bayangan
masif pada bagian bawah kanan thorax sampai dinding dada. Masa berdiameter 3 cm.

Kontras computed tomography aksial (CT) scan pada tingkat pembuluh darah paru
inferior, pasien adalah seorang pria berusia 50-an yang memiliki riwayat 2 minggu
pneumonia diobati secara parsial. Gambar menunjukkan cairan terlokalisasi dalam

18

fisura utama kiri, pseudotumor a (panah). Gelembung gas hadir dalam koleksi
tergantung dari cairan pleura (panah) (7).

Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI jarang digunakan untuk


melihat gambaran efusi pleura (tingkat kepercayaan dalam diagnosis
empiema moderat). MRI mungkin berguna untuk mengevaluasi
penebalan membran pleura ketika pemberian kontras merupakan
kontraindikasi.

Ultrasonography (USG). USG merupakan pemeriksaan tambahan yang


penting dalam mendefinisikan karakteristik efusi pleura dan dapat pula
untuk mendeteksi efusi kecil. USG juga menyediakan informasi
tentang viskositas cairan, adanya septa, dan sifat efusi. Diagnosis
empiema tidak hanya berdasarkan USG (7).

Tes kultur dan kepekaan dari drainase hasil aspirasi dari pleura.
d. Diagnosis banding secara radiologis
- Efusi Pleura

Pada foto thorax dalam posisi erek, cairan dalam rongga pleura tampak
berupa perselubungan semiopak, homogen, menutupi paru bawah yang
biasanya relatif radioopak dengan permukaan atas cekung, berjalan dari
lateral atas ke medial bawah (meniscus sign). Penumpukan cairan ini
menyebabkan sinus kostofrenikus menumpul. Karena cairan mengisi
hemithorax maka paru akan terdorong ke arah sentra/hilus, dan kadang-

kadang mendorong mediastinum ke arah kontra latreal(8)


Emfisema Paru

19

Tampak gambaran hiperlusen di kedua lapang paru. Peningkatan volume


paru mendorong diafragma ke bawah, menyebabkan diafragma letak rendah
dan mendatar. Corakan bronkovaskuler tampak lebih jelas selain gambaran
-

fibrosisnya dan vaskuler paru yang relatif jarang(8).


Pneumothorax

Ruang pleura sangat translusen dengan tak tampaknya gambran pembuluh


darah paru. Paru-paru sendiri mungkin berwarna abu-abu, bila masih berisi
udara. Bila kolapsnya lengkap, pneumothorax ini akan menekan pulmo
sampai sekecil-kecilnya sehingga merupakan gambaran suatu bulatan
opaque kecil di daerah hilus. Jantung terdorong ke arah lain yang
berlawanan, spatium intercostal melebar, diaphragma mendatar dan
-

tertekan ke bawah(8).
TB Paru

20

Pada TB primer, foto polos PA tampak gambaran bercak semiopak treletak


di suprahiler (di atas hilus), perihiler (sepanjang limfangitis) dan
parakardial (di samping kor) dengan batas tak tegas. Pada TB sekunder,
tampak bercak semiopak berbentuk amorf seperti kapas berbatas tak tega di
infraklavikula (infiltrat), tampak densitas inhomogen bentuk amorf di
apeks, tampak garis fibrosis dan dapat terdapat gambaran kalsifikasi(8).
G.

Komplikasi
Fistel Bronko pleura
Syok
Sepsis
Gagal jantung kongesti(4)
H. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan empiema adalah
a. Pengosongan nanah
Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah efek
toksisnya.
Closed drainage-tube toracostory water scaled drainage dengan indikasi:
Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi.
Nanah terus terbentuk setelah dua minggu.
Terjadinya piopneumotoraks.
Upaya WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negatif sebesar 1020
cmH2O. Jika setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan, harus diempuh cara lain
seperti empiema kronis.
b. Drainage terbuka (open drainage)
Karena menggunakan kateter karet yang besar, maka perlu disertai juga
dengan reseksi tulang iga. Open drainage ini dikerjakan pada empiema kronis,
hal ini bisa terjadi akibat pengobatan yang terlambat atau tidak adekuat
misalnya aspirasi yang terlambat atau tidak adekuat, drainase tidak adekuat
sehingga harus mengganti atau membersihkan drain.(4)

21

c. Antibiotik
Mengingat kematian sebagai akibat utama dari sepsis, maka antibiotik
memegang peranan penting. Antibiotik harus segera diberikan begitu
diagnosis ditegakkan dan dosisnya harus tepat. Pemilihan antibiotik
didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah. Pengobatan
selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya. Antibiotik dapat
diberikan secara sistematik atau topikal. Biasanya diberikan penicilin.
Pemilihan awal didasarkan pada CAP dan HAP ( laktam, penisilin,
sefalosporin,

kabapenem).

Jika

dicurigai

bakteri

anaerob:

ditambah

metronidazole atau clindamycin. Lama pemberian antibiotik : 2-4 minggu(6)


d. Fibrinolitik Intraeura
Diberikan pada empiema dengan pus yang kental dan atau empiema yang
berkantong-kantong.

Kontraindikasi

fistula

bronkopleura,

gangguan

koagulan . Fibrinolitik intra pleura volume total 50-100ml. Jenis obat yang
-

diberikan:
Streptokinase 200.000 250.000 IU 1-2x/hari
Urokinase 50.000 100.000 IU 1 x 1 hari
Saat pemberian WSD di klem 4 8 jam. Obat diberikan selama 3 hari

berturut-turut(5)
e. Penutupan Rongga Empiema
Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak menutup karena
penebalan dan kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilakukan

pembedahan (dekortikasi) atau torakoplasti.


o Dekortikasi
Tindakan ini termasuk operasi besar dengan indikasi:
- Drain tidak berjalan baik karena banyak kantng-kantung.
- Letak empiema sukar dicapai oleh drain.
- Empiema totalis yang mengalami organisasi padap pleura visceralis.
Torakoplasti
Jika empiema tidak mau sembuh karena adanya fistel bronkopleura atau
tidak mungkin dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari
tulang iga dipotong subperiosteal, dengan demikian dinding toraks jatuh
kedalam rogga pleura karena tekanan atmosfer.(5)
f. Pengobatan Kausal
Misalnya subfrenik abses dengan drainase subdiafragmatika, terapi spesifik
pada amoeniasis, dan sebagainya.(6)
g. Pengobatan tambahan
Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan nafas.
Infeksi dikontrol dengan pemberian obat Antimikrobial, berdasarkan hasil uji
22

sensitivitas kultur organism dari sputum. Pasien mungkin akan diberikan obat
antibiotic selama bertahun-tahun dengan tipe antibiotic yang berbeda sesuai
dengan perubahan dalam interval. Beberapa dokter sering kali memeberikan
penyakit ISPA timbul. Pasien dianjurkan untuk diberikan vaksin ulangan
influenza dan pneumonia.
Postural drainage merupakan dasar dari rencana penatalaksanaan medis
untuk bronkhiektasis. Drainase yang memanfaatkan gaya gravitasi diharapkan
akan mengurangi jumlah sekret dan tingkat infeksi (seringkali sputum
mukopurulen harus diangkat dengan bronchospy). Pada area dada, lakukan
perkusi untuk membantu menaikkan sekresi. Postural drainase dimulai pada
jangka waktu pendek dan selanjutnya meningkat.
Untuk meningkatkan pengenceran dan pengeluaran sputum, dapat
diberikan aerosolized nebulizerdan dapat meningkatkan intake cairan. Facetent
sangat ideal untuk memberikan kelembapan tambahan pada aerosol. Pasien
harus dicegah untuk merokok, karena hal tersebut akan dapat merusak
drainase bronchial akibat dari paralisis kerja siliari, meningkatkan sekresi
bronchial, dan menyebabkan peradangan pada membrane mukosa sehingga
mengakibatkan hyperplasia dari kelenjar mukus.
Intervensi surgical, meskipun sering digunakan, diindikasikan untuk pasien
dengan pengenceran dan pengeluaran sputum yang berlanjut dalam jumlah
besar, serta pasien dengan pneumonia dan hemoptisis berulang karena tidak
berobat secara teratur.(4)

23

I. Prognosis
Prognosis dipengaruhi oleh umur serta penyakit yang melatarbelakanginya.
Angka kematian meningkat pada usia tua, penyakit asal yang berat, dan
pengobatan yang terlambat. Faktor prognosis buruk pada empiema apabila:
7. Didapatkan nanah di rongga pleura
8. Pewarnaan Gram cairan pleura positif
9. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 40mg/dL
10. Biakan cairan pleura positif
11. pH cairan pleura < 7,0
12. Kadar LDH cairan pleura > 3 kali nilai normal serum(4)
24

Daftar Pustaka
1. C.Guyton.MD. Fisiologi Kedokteran.2009 .Penerbit buku kedokteran EGC :10101013.
2. Isselbacher.Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Horison.volume 5. Penerbit Buku
kedokteran EGC : 2200,2201,2211-2214.
3. PriseA.S dan Wilson M.L,Patofisiologi Proses Proses penyakit. Edisi 6 Volume
2,EGC. Jakarta 1259-1269.

25

Anda mungkin juga menyukai