Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

Penatalaksanaan Fraktur Nasal Lama Dengan


Pendekatan Reduksi Terbuka
Oleh
dr. Ida Ayu Alit Widiantari

PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN
Fraktur nasal merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma yang
ditandai dengan patahnya tulang hidung baik sederhana maupun kominutif. Fraktur nasal
biasanya
disebabkan oleh trauma langsung.¹
Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epistaksis, nyeri tekan dan teraba
garis fraktur. Foto rontgen dari arah lateral dapat menunjang diagnosis. Fraktur tulang ini
harus cepat direposisi dengan anestesi lokal dan imobilisasi dilakukan dengan
memasukkan tampon ke dalam lubang hidung dan dipertahankan dalam 3-4 hari. Patahan
dapat dilindungi dengan gips tipis berbentuk kupu-kupu selama 1-2 minggu.¹
Angka kejadian fraktur os nasal di seluruh dunia menduduki posisi ketiga setelah
fraktur klavikula dan fraktur antebrachii dan sekitar 40% dari seluruh kejadian fraktur
tulang wajah. Trauma hidung pada orang dewasa dijumpai pada kasus berkelahi, trauma
akibat olahraga, jatuh dan kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan waktu, trauma hidung
terbagi atas trauma baru bila kalus belum terbentuk sempurna dan trauma lama bila kalus
sudah mengeras. Arah trauma menentukan kerusakan yang terjadi, misalnya bila trauma
datang dari lateral akan terjadi fraktur tulang hidung ipsilateral, sedangkan trauma yang
berat akan menyebabkan deviasi septum nasi dan fraktur tulang hidung kontralateral. 2

1
Penanganan fraktur os nasal bertujuan terutama mengembalikan penampilan
secara sempurna dan mengembalikan patensi jalan napas hidung. Secara garis besar
penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional dan
bentuk hidung dibedakan menjadi konservatif dan operatif.2,3
Operatif dibedakan atas reduksi tertutup dan terbuka. Pada kasus ini dilakukan
reduksi terbuka dengan pertimbangan bahwa pasien mengalami fraktur nasal akibat
trauma lama dan terjadi deformitas nasi.2

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi
Hidung bagian luar berbentuk piramid yang terdiri dari pangkal hidung (bridge),
batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung
(nares anterior). Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan.
Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), procesus frontalis os maksila dan
procesus nasalis os frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa tulang rawan
yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior dan tepi anterior kartilago septum.4
Rongga hidung atau kavum nasi kanan dan kiri dipisahkan oleh septum nasi di
bagian tengah. Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan bagian belakang
disebut nares posterior atau koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
posterior. Dinding medial terdiri dari septum nasi. Pada dinding lateral terdapat 4 buah
konka yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema (biasanya
rudimenter). Diantara konka-konka dan dinding lateral terdapat rongga sempit yang
disebut meatus.4
Septum nasi merupakan sekat yang membagi rongga hidung menjadi dua kavum
nasi serta secara anatomi dibentuk oleh struktur tulang dan tulang rawan. Bagian tulang
adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista
nasalis os palatina. Sedangkan bagian tulang rawan adalah kartilago septum, lamina

2
kuadrangularis dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa
hidung.5-7 Dorsum nasi adalah bagian yang paling menonjol pada wajah dan paling sering
mengalami trauma.

Gambar 1. Struktur tulang dan kartilago hidung

Maksila di bagian anterior dan os palatum di bagian posterior membatasi kartilago


kuadrilateral di anterior dan vomer di bagian posterior. Pertemuan antara os maksila dan
palatina membentuk tonjolan, dimana kartilago kuadrilateral melekat padanya oleh
jaringan fibrosa. Pertemuan antara vomer dan os maksila, pada awal perkembangannya
dihubungkan oleh jaringan fibrosa, yang kemudian menjadi jaringan tulang. Ujung
anterior dari lamina perpendikularis os etmoid adalah lekukan tempat melekatnya
prosesus nasalis os frontalis serta os nasal. Ujung bawah terletak dalam lekukan pada
permukaan superior dari vomer, ketika bergabung dengan septum adalah tempat paling
tebal dan tidak ada lekukan.

2.2 Patofisiologi

Dengan memahami patofisiologi trauma nasal diharapkan, diagnosis dan


management terapi trauma nasal dapat lebih optimal. Trauma nasal yang dihasilkan dari

3
suatu pukulan bervariasi tergantung pada : (1) usia pasien yang sangat berpengaruh pada
fleksibilitas jaringan dalam meredam energi dari pukulan, (2) besarnya tenaga pukulan,
(3) arah pukulan dimana akan menentukan bagian nasal yang rusak, dan (4) kondisi dari
objek yang menyebabkan trauma nasal.2,3
Daerah paling lemah dari hidung adalah kerangka kartilago dan pertemuan antara
kartilago lateral bagian atas dengan tulang dan kartilago septum pada krista maksilaris.
Kekuatan yang besar dari berbagai arah akan menyebabkan tulang hidung remuk yang
ditandai dengan deformitas bentuk C pada septum nasal.3,4

2.3 Diagnosis
Rentang waktu antara terjadinya trauma dan penanganan oleh dokter merupakan
hal yang paling menentukan dalam penatalaksanaan pasien. Meskipun demikian, sangat
penting untuk mengetahui umur penderita, kekuatan penyebab trauma, keluhan pasien
seperti epistaksis, hidung tersumbat, memar, serta adanya riwayat trauma maupun operasi
pada hidung sebelumnya.4,5,6
Pemeriksaan fisik pada pasien trauma nasal yaitu untuk menegakkan diagnosis,
menentukan adakah trauma lain yang berkaitan dengan trauma nasal dan penilaian untuk
tatalaksana kasus. Penegakan diagnosis trauma nasal memerlukan pemeriksaan fisik yang
baik, oleh karena separuh dari pasien trauma nasal yang datang ke ruang emergensi tidak
terdiagnosis yang disebabkan edema pada hidung sering menutupi trauma pada daerah
piramid nasal.5,7
Hal ini sangat penting mengingat fraktur os nasal sering dihubungkan dengan
trauma pada kepala dan leher yang bisa mempengaruhi jalan napas. Inspeksi sisi luar dan
dalam dilakukan untuk mencari adanya perubahan bentuk, pergeseran (deviasi) atau
bentuk yang tidak normal. Adanya hematoma, laserasi dan robekan mukosa perlu
dicurigai adanya fraktur. Edema kelopak mata, ekimosis periorbita, ekimosis sklera,
perdarahan subkonjungtiva dan trauma lakrimal merupakan tanda-tanda klinis tambahan.
Pemeriksaan intranasal didapatkan adanya dekongesti mukosa, terdapatnya bekuan darah,
kebocoran cairan serebrospinal, penyimpangan atau tonjolan septum nasal.4,6,7

4
Pada pemeriksaan fisik dengan palpasi bimanual pada hidung dapat ditemukan
krepitasi, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi iregular. Keterlambatan dalam
mengidentifikasi dan penanganan menyebabkan deformitas hidung pelana (saddle nose).
Pemeriksaan rinoskopi anterior harus didukung dengan pencahayaan yang cukup dan
kondisi pasien yang kooperatif. Penggunaan spekulum hidung dan lampu kepala akan
memperluas lapangan pandang.7
Pemeriksaan penunjang berupa foto polos nasal, Water’s dan bila diperlukan
dapat dilakukan pemeriksaan CT scan. Tetapi jika tidak dicurigai adanya fraktur os nasal
dengan komplikasi, pemeriksaan radiologi jarang direkomendasikan karena pada
kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga foto nasal view hanya di indikasikan
jika ditemukan keraguan dalam pemeriksaan fisik yang dilakukan.8

Gambar 2. Foto Lateral Os Nasal. Gambar 3. Foto Water’s

Gambar 4. CT Scan potongan aksial dan koronal kepala.

5
2.4 Penatalaksanaan
Tujuan penanganan fraktur os nasal adalah mengatasi kondisi emergensi secara
optimal yaitu dengan penanganan jalan napas (airways), fungsi pernapasan (breathing)
dan sirkulasi (circulation). Tujuan lainnya yaitu untuk mengembalikan patensi jalan
napas hidung, menempatkan kembali septum pada garis tengah, menjaga keutuhan
rongga hidung, mencegah sumbatan setelah operasi, menangani perforasi septum,
mencegah perubahan bentuk punggung hidung, mencegah gangguan pertumbuhan hidung
dan mengembalikan penampilan secara memuaskan. 7,9
Beberapa penanganan pada
fraktur os nasal yaitu:
1. Penanganan di ruang emergensi
Dasar penanganan pasien trauma di emergensi adalah mengatasi Airway
Breathing, Circulation (ABC). Pasien dengan perdarahan hidung yang hebat biasanya
dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika perdarahan tidak berhenti,
diberikan tampon pita dengan vaselin, kateterisasi balon atau ligasi pembuluh
darah.Tampon pita vaselin biasanya diletakkan di kavum nasi selama dua hari sampai
perdarahan berhenti sambil pasien dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operasi.2,4,7
2. Konservatif

Penatalaksanaan fraktur os nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan


fungsional dan bentuk hidung. Banyak ahli percaya bahwa fraktur os nasal tipe tertentu
cukup mendapatkan terapi konservatif di ruang emergensi. Dalam penanganan secara
konservatif pemberian antibiotik bertujuan untuk mengurangi risiko infeksi maupun
komplikasi. Pemberian terapi analgetik berperan untuk mengurangi keluhan nyeri dan
memberikan rasa nyaman pada pasien.7,8
2. Operatif

Deformitas akibat fraktur os nasal sering dijumpai sehingga membutuhkan


reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung. 6,7 Penanganan fraktur
os nasal sederhana dapat dilakukan reposisi fraktur dalam anestesi lokal, akan tetapi pada
anak- anak yang tidak kooperatif sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum. Jika
perdarahan terus berlangsung, hidung harus ditutup dengan kasa pita vaselin selama

6
48 jam. Jika

7
memungkinkan, fragmen tulang harus di reposisi dalam beberapa jam sebelum terjadi
pembengkakan yang akan menyebabkan deformitas. Bidai eksternal digunakan untuk
mempertahankan posisi tulang hidung. Jika bidai tidak digunakan maka kemungkinan
deformitas akan terjadi.2 Berikut merupakan bagan pedoman penatalaksanaan fraktur
nasal:

Bagan 1. Penanganan trauma hidung 10

8
Teknik manipulasi reduksi tertutup merupakan teknik yang digunakan untuk
mereduksi fraktur os nasal yang baru terjadi. Sekitar 2-3 minggu setelah trauma akan
terbentuk jaringan fibrotik pada fragmen tulang di posisi yang tidak seharusnya dan hal
inilah yang menyebabkan reduksi dengan teknik ini tidak mungkin dilakukan.8,9
Deformitas hidung yang kompleks memerlukan area pembedahan yang luas
melalui rinoplasti terbuka agar evaluasi dan hasil operasi yang lebih baik. Rinoplasti
terbuka pertama kali dilaporkan pada tahun 1934 di India, ketika Rethi memperkenalkan
sayatan transkolumela untuk pendekatan struktur hidung. Anderson dkk tahun 1981,
Wright dan Kiedel pada tahun 1982 mulai menggunakan pendekatan ini dan
memperkenalkannya di Inggris.
Indikasi primer rinoplasti terbuka mencakup kasus-kasus yang membutuhkan area
pembedahan yang luas untuk alasan teknik atau diagnosis. Pasien yang memiliki nasal tip
asimetris atau kubah hidung bagian tengah, atau defisiensi struktur hidung menjadi
indikasi kuat rinoplasti terbuka. Deformitas hidung yang spesifik dapat dikoreksi
menggunakan rinoplasti termasuk deviasi septum nasi, saddle nose, celah hidung-bibir,
dan tumor jinak. Rinoplasti terbuka diperlukan untuk kasus yang membutuhkan diseksi
luas.Prinsip teknik pembedahan dengan rinoplasti terbuka adalah diseksi subperikondrial
dan subperiosteal kartilago atau tulang yang akan dimodifikasi atau dieksisi, eksisi
punggung osteokartilago, pemotongan septum nasi jika diperlukan, osteotomi bilateral
prosesus nasalis tulang maksila, mengeluarkan fraktur tulang dinding lateral sebelum
pembentukan akhir, dan eksisi tulang rawan untuk membentuk dan mendukung nasal

tip.11

Gambar 5. Irisan pada kolumela.

Insisi huruf inverted V di daerah kolumela dilanjutkan dengan insisi marginal


9
yang dibuat sepanjang margin dari krus lateral, dan tidak sepanjang lubang hidung. Hal
ini juga

10
disebut sayatan intra kartilago. Insisi dibuat di sekitar tepi kolumela untuk memungkinkan
diseksi dari kartilago ala krus medial.

Gambar 6. Insisi marginal

Setelah insisi marginal pada kolumela, gunakan gunting sudut untuk membuka
krura medial tanpa merusak margin lateral yang letaknya lebih rendah dari tulang rawan.
Diseksi tajam dilakukan diatas kartilago ala krus medial, dilanjutkan ke krus lateral
kartilago alar, kartilago lateral atas, dorsum nasi, sampai dengan sudut fronto-nasal
terpapar.

Gambar 7. Mengangkat kulit tipis vestibulum

Diseksi kemudian digeser ke garis tengah untuk melepaskan jaringan fibrosa dan
mengidentifikasi tulang rawan pada hidung tengah. Diseksi secara tumpul dilanjutkan
menuju persimpangan tulang rawan. Paparan dilanjutkan sepanjang tepi piriformis dan
kartilago lateralis.

11
Gambar 8. Diseksi Tajam

Setelah diseksi, anatomi tulang hidung dapat terlihat dengan jelas. Sebelum
melakukan septoplasti, krus media dipisahkan perlahan-lahan sampai mendapatkan
caudal end septum nasi. Graft kartilago merupakan material ideal untuk rekonstruksi
hidung. Terdapat beberapa keuntungan graft kartilago diantaranya adalah mempunyai
biotoleransi tinggi yaitu angka infeksi dan destruksi yang rendah, elastisitas yang tinggi
yaitu mudah dibentuk serta mempunyai vitalitas yang baik terutama untuk aliran darah
yang buruk, resisten dan mempunyai angka resorpsi yang minimal serta mudah
didapat.11,12
Penempatan jahitan simetris penting agar tip simetri. Setelah operasi selesai,
sayatan transkolumela dapat ditutup dengan jahitan garis tengah menggunakan benang 6-
0 vicryl. Ketika menutup irisan transkolumela untuk menghindari bentuk hidung yang
tidak simetris. Insisi marginal dapat ditutup dengan menggunakan jahitan satu-satu
benang kromat ukuran 5-0. Perawatan pascaoperasi dengan antibiotik dilanjutkan sampai
3-7 hari. Jahitan kolumela diangkat lima hari setelah operasi. Jahitan di transmarginal
kolumela dilepaskan pada hari ke-7. Evaluasi jahitan selama tiga minggu setelah
operasi. Pasien disarankan untuk menghindari latihan aktif selama 3 minggu dan
olahraga untuk 6 minggu. Reposisi terbuka dipertimbangkan untuk dikerjakan bila 1)
telah terjadi fraktur septum terbuka, 2) fraktur dislokasi luas tulang hidung dan
septum nasal, 3) terjadinya dislokasi fraktur septum kaudal, 4) deviasi piramid lebih dari
setengah lebar nasal bridge,
5) perubahan bentuk menetap setelah dilakukan reposisi tertutup, 6) karena reposisi
perubahan bentuk septum yang tidak adekuat, 7) terjadinya hematoma septum, 8)
kombinasi perubahan bentuk septum dan tulang rawan alar, serta 9) terjadinya fraktur
12
displace spina nasi anterior dan adanya riwayat operasi intranasal.2,11

13
2.4 Komplikasi
Komplikasi fraktur os nasal dibagi menjadi komplikasi segera (early complication)
dan komplikasi lambat (late complication).11,12
a. Komplikasi Segera (early)
Komplikasi segera bersifat sementara, meliputi edema, ekimosis, epistaksis,
hematoma, infeksi dan kebocoran liquor. Umumnya sembuh spontan namun hematoma
membutuhkan drainase. Adanya epistaksis dapat sembuh spontan, namun jika perlu dapat
dilakukan kauterisasi, tampon nasal anterior maupun posterior atau ligasi pembuluh
darah.
Pemberian antibiotik untuk profilaksis perlu diberikan pada pasien dengan
kelemahan kronis dan dengan hematoma septum atau dorsal.
b. Komplikasi Lambat (late)
Obstruksi jalan napas, perubahan bentuk sekunder, perlekatan, fibrosis
(pembentukan jaringan ikat) atau kontraktur (pemendekan jaringan otot nasal), hidung
pelana, dan perforasi septum merupakan komplikasi lambat dari fraktur nasal.
Komplikasi ini sebaiknya dapat dicegah lebih awal, disproporsi nasofasial dapat terjadi
dengan terbentuknya hidung yang panjang khususnya pada masa pubertas.

2.5 Prognosis
Kebanyakan fraktur os nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan
sembuh tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi terbuka
dan tertutup akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada pasien.11

III. LAPORAN KASUS


Pasien laki-laki usia 17 tahun, mahasiswa, asal Tabanan datang ke poliklinik
THT- KL RSUP Sanglah pada tanggal 27 Mei 2016 mengeluh hidung tersumbat sejak 3
minggu. Hidung terbentur lutut pemain saat bermain futsal pada tanggal 8 Mei 2016.
Sesaat setelah benturan, pasien mengalami mimisan dari kedua lubang hidung, namun
berhenti beberapa saat kemudian. Pasien tetap dalam kondisi sadar sesaat setelah
kejadian. Saat ini orang tua dan pasien mengeluh hidung berubah bentuk menjadi lebih
14
bengkok.

15
Pemeriksaan fisik umum dan tanda vital dalam batas normal, status THT telinga
dalam batas normal, hidung tampak bengkok pada dorsum nasi.. Pada palpasi tidak
dirasakan nyeri dan tidak teraba krepitasi. Kavum nasi sempit kanan dan lapang kiri
dengan deviasi septum ke kanan. Tidak tampak perdarahan aktif. Tidak tampak stolsel,
konka dekongesti dan tidak tampak adanya sekret. Tak ada kelainan pada pemeriksaan
tenggorok.

A B

Gambar 9. A. Tampak deformitas hidung, B. Tampak


gambaran deviasi septum ke kanan
Pasien telah membawa hasil pemeriksaan penunjang CT Scan Kepala pada
tanggal 26 Mei 2016, dengan hasil tampak diskontinuitas os nasal sisi kiri yang mendesak
cavum nasi ke kanan suspek fraktur os nasal sinistra, tampak deviasi septum nasi ke kiri
dan tidak tampak hematosinus.
Pasien dipersiapkan untuk reduksi terbuka os nasal dengan anestesi umum dan
dilakukan persiapan pre-operasi berupa laboratorium darah lengkap, faal hemostasis dan
foto thorax tidak didapatkan kelainan. Pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam dan
anestesi dengan hasil kondisi umum dalam batas normal dan dinyatakan layak untuk
dilakukan reduksi terbuka.
Pasien dilakukan operasi reduksi terbuka os nasal dengan anestesi umum pada
tanggal 6 Juni 2016. Pasien tidur terlentang di atas meja operasi, dibawah pengaruh

16
anestesi umum dan tuba endotrakeal. Dilakukan disinfeksi lapangan operasi dan
dipersempit

17
dengan doek steril. Dipasang tampon dengan lidokain dan epinephrine dengan
pengenceran 1: 100.000 pada kedua kavum nasi, kemudian dievaluasi pada kedua kavum
nasi tampak lapang, konka dekongesti dan dilakukan reduksi terbuka.
Operasi diawali dengan infiltrasi anestesi lokal pada mukosa septum dari
perikondrium dan periosteum, infiltrasi pada dinding lateral hidung kanan dan kiri
melalui kartilago lateral bawah, kartilago lateral atas dan os nasal, dilanjutkan dengan
infiltrasi pada tepi kaudal dari kartilago lateral bawah krus lateral yang menjadi lokasi
insisi marginal, kemudian infiltrasi melalui tip nasi menuju dasar kolumela dan daerah
interdormal sampai sudut septum anterior serta pada tepi kaudal septum.
Dilanjutkan dengan pembuatan garis insisi pada kolumela berbentuk huruf V
terbalik menggunakan pisau no 15 .

Gambar 10. Marker inverted V pada kolumela.

Gambar 11. Insisi marginal

18
Insisi dilanjutkan dengan insisi marginal dengan menggunakan gunting sudut.
Diseksi tajam dilakukan di atas kartilago ala krus medial, dilanjutkan ke katilago ala krus
lateral, kartilago lateral atas, dorsum nasi hingga sudut nasofrontalis.

Gambar 12. Mengangkat kulit tipis pada kulit dan vestibulum

Gambar 13. Diseksi tajam

Dilanjutkan septoplasti, dimana krus media dipisahkan perlahan-lahan sampai


menemukan caudal end septum. Mukoperikondrium septum dipisahkan dari kartilago
dengan pisau Cottle atau gunting tajam setengah melengkung. Diseksi kaudal septum
dilakukan sehingga tampak bagian kaudal septum dan spina nasalis. Dilanjutkan dengan
undermining dasar hidung dengan gunting tumpul bengkok. Ujung gunting terletak pada
daerah magic plane. Jaringan ikat dipisahkan kearah medial, kanan dan kiri, sampai
perlekatan ala. Dilakukan reseksi septum dengan memotong septum sejajar dengan dasar

19
septum pada tingkat yang diinginkan berbentuk segitiga atau segipanjang. Kemudian
insisi septum dengan arah vertikal. Septum diambil dengan forsep Blakesly kemudian
dilakukan jahitan mukosa septum untuk mencegah perforasi.

Gambar 14. Osteotomi lateral

Dilanjutkan osteotomi lateral kanan, dengan cara undermining, pahat lurus 7 mm


dimasukkan pada tepi kaudal dari piramid tulang, kira-kira 1-2 mm ventral garis dasar
hidung dengan ujung pahat menghadap ke atas. Dengan teknik ketukan ganda dan
dikontrol oleh ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri, pemotongan dilakukan terhadap
tulang. Pada proses pemahatan 2/3 bagian pahat harus dapat diraba dari luar untuk
menghindari terpotongnya mukosa hidung. Setelah 2/3 osteotomi lateral dilakukan maka
posisi pahat diputar 180⁰. Ujung pahat sekarang menghadap ke bawah untuk
mendapatkan hasil pemahatan kearah ventral. Pahatan dihentikan bila sudah simetris
antara dorsum nasi kanan dan kiri.

Gambar 15. Menutup insisi transkolumela.

20
Kemudian dilakukan jahitan interdormal untuk membentuk tip nasi yang lebih
lancip dengan benang ethilon 6-0. Melalui kavum nasi dilakukakan pemasangan tampon
sementara dengan adrenalin 1:100.000. Luka insisi transkolumela dijahit. Tampon diganti
dengan tampon padat yang diolesi salep antibiotik dan pemasangan bidai pada kedua sisi
kavum nasi. Terakhir dilakukan pemasangan gips sebagai fiksasi pada dorsum nasi yang
berbentuk kupu-kupu.

Gambar 16. Pemasangan gips kupu-kupu

Diagnosis pasca bedah adalah post septorinoplasti hari ke- 0. Terapi post operasi
diberikan injeksi seftriakson 2 x 1 gr IV, injeksi metil prednisolon 2 x 62,5 mg IV,
tramadol drip 1 ampul dalam 1 kolf ringer laktat pada hari pertama dilanjutkan dengan
asam mefenamat 3 x 500 mg. Pada tanggal 9 Juni 2016 tampon anterior dibuka. Evaluasi
kavum nasi, kavum nasi lapang, perdarahan tidak ada, septum nasi ditengah lurus. Pasien
dipulangkan dengan terapi sefadroksil 2 x 500 mg peroral, metil prednisolon 2 x 16 mg
peroral diturunkan dosisnya bertahap dan asam mefenamat 3x 500 mg peroral.

21
AB

Gambar 17. A. Tampak deformitas hidung sebelum reduksi terbuka,


B. Tampak septum nasi di tengah-tengah setelah reduksi terbuka

Pada tanggal 20 Juni 2016, 2 minggu post operasi, tidak didapatkan keluhan.
Hidung tersumbat tidak ada, perdarahan tidak ada, demam tidak ada. Pada pemeriksaan
fisik dengan rinoskopi anterior maupun dengan nasoendoskopi terlihat kavum nasi kanan
dan kiri lapang, konka inferior dan konka media eutropi, sinekia tidak ada, septum nasi
ditengah dan perforasi tidak ada. Diberikan terapi cuci hidung 2 x 20 cc kedua kavum
nasi.

PEMBAHASAN
Fraktur os nasal merupakan fraktur yang paling sering terjadi pada daerah wajah
dengan insiden sebesar 39-45% dan merupakan fraktur terbanyak ketiga pada seluruh
fraktur pada tubuh manusia. Berdasarkan umur dan jenis kelamin, disebutkan bahwa
insiden fraktur os nasal rata-rata terjadi pada umur 20-30 tahun dengan kejadian pada
laki- laki dua kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Pada kasus diatas
dilaporkan pasien laki-laki berumur 17 tahun dengan etiologi fraktur hidung yang
disebabkan oleh terbentur lutut pemain lain saat bermain futsal.1,2
Anamnesis pada penderita fraktur os nasal akan sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dan management terapi yang akan dilakukan. Hal-hal penting untuk
diketahui adalah waktu kejadian, arah trauma dan keluhan pasien. Wang dkk,
mengatakan bahwa keluhan epistaksis sesaat setelah trauma merupakan tanda pasti

22
terjadinya fraktur os nasal, yang diakibatkan oleh kerusakan atau robekan pada mukosa
hidung. Pada kasus didapatkan

23
keluhan epistaksis sesaat setelah trauma sebagai salah satu keluhan pada pasien.
Pemeriksaan palpasi hidung dan evaluasi internal hidung teraba garis fraktur dan tampak
deviasi septum ke kanan pada rinoskopi anterior. Pada Inspeksi terlihat deformitas
hidung, dimana hidung tampak bengkok. Hematoma pada dorsum nasi dan nyeri saat
palpasi hidung sudah tidak dirasakan.2,3,6
Pemeriksaan X-Ray sangat membantu dalam menilai fraktur hidung. Diperkirakan
10 - 47% penderita dengan diagnosis fraktur os nasal yang sudah cukup jelas ditetapkan
secara klinis, ternyata pada gambaran radiologi sulit ditentukan adanya gambaran fraktur.
Garis sutura dan pola vaskuler menyulitkan diagnosis dan menghasilkan banyak positif-
palsu dan negatif-palsu kecuali dihubungkan dengan informasi klinis.3,19 Grant dan
Carlos,3 mengatakan bahwa pemeriksaan dengan CT Scan akan memberikan gambaran
yang lebih jelas terhadap fraktur sehingga memudahkan dalam klasifikasi, melakukan
evaluasi terhadap struktur di sekitar hidung dan sebagai pedoman pemilihan dalam
penatalaksanaan.8,9
Chung dkk pada tahun 2007 melaporkan bahwa indikasi rinoplasti pada 106 kasus
yang terbanyak adalah hidung tersumbat 64,6%, untuk memperbaiki akses pada operasi
sinus 34,5%, nyeri wajah 0,9%. Nawaiseh dkk melaporkan 60 tindakan rinoplasti dengan
indikasi obstruksi hidung 91,6% dan sebanyak 23 kasus dilakukan septoplasti saja, 37
kasus dengan rinoplasti.12
Pemilihan metode rinoplasti tergantung pada jenis deviasi septum nasi,
kemampuan operator, dan ketersediaan alat. Penatalaksanaan fraktur nasal dan deviasi
septum nasi akibat trauma pada pasien ini dilakukan rinoplasti dengan teknik terbuka.
Ada dua teknik rinoplasti yaitu rinoplasti tertutup dan rinoplasti terbuka. Pada teknik
tertutup insisi hanya di mukosa septum nasi intranasal, tetapi teknik terbuka insisi
kombinasi insisi mukosa intranasal dan insisi transkutan atau transkolumela. Rinoplasti
tertutup ini lebih umum digunakan karena waktu mengerjakan lebih sedikit, dan jaringan
yang di undermining juga sedikit. Tetapi pendekatan tertutup ini cendrung merusak
mekanisme penunjang mayor dari tip. Pada tahun 2012, Hosseini dkk melakukan
penelitian dengan membandingkan pasien yang dilakukan rinoplasti tertutup dan
terbuka. Pasien yang dilakukan rinoplasti
24
terbuka tidak mempunyai keluhan hidung tersumbat setelah dioperasi dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan teknik tertutup mempunyai keluhan hidung tersumbat
setelah operasi. 12,13
Rinoplasti merupakan tindakan bedah yang melibatkan septum nasi dan bagian
dorsum nasi. Teknik septorinoplasti diawali suntikan lidokain dan epinefrin 1 : 100.000
yang disuntikan ke ujung hidung, columella, dan sepanjang margin krus lateral. 15 Insisi
yang digunakan yaitu insisi transcolumellar dan insisi marginal bilateral. Bentuk insisi
bervariasi dari stairstep atau insisi camar dan insisi huruf Z atau inverted V. Celik M,
melaporkan bahwa para ahli bedah lebih menyukai menggunakan insisi bentuk inverted
V daripada Z. Hal ini dikarenakan insisi inverted V dilakukan pada bagian tersempit dari
columella sehingga lebih pendek, kurang terlihat dan mengurangi resiko kontraktur.
Untuk mobilisasi tulang piramid dilakukan osteotomi. Osteotomi lateral dilakukan untuk
mengoreksi bentuk dan lebar dorsum nasi. 11,12,13

IV. KESIMPULAN
Telah dilaporkan Pasien PDM, laki-laki usia 17 tahun, dengan fraktur nasal
setelah mengalami trauma sejak 3 minggu sebelum datang ke Poliklinik THT KL.
Awalnya pasien mengeluh hidung tersumbat dan telah dilakukan reduksi terbuka. Pasien
kemudian kontrol pada hari ke-lima pasca operasi di poliklinik THT-KL dengan keluhan
sedikit nyeri pada hidung dan tidak dikeluhkan lagi hidung tersumbat pasca operasi,
evaluasi pada kedua kavum nasi tampak lapang dan septum ditengah. Pasien selanjutnya
kontrol pada hari ke
14 pasca operasi tanpa keluhan nyeri maupun hidung tersumbat dan pasien dapat
beraktivitas seperti biasa. Pasien menunjukkan perbaikan pasca tindakan reduksi terbuka.
Fraktur os nasal merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma dengan
ditandai dengan diskontinuitas tulang hidung baik sederhana maupun kominutif. Fraktur
os nasal merupakan fraktur pada wajah yang paling sering dijumpai, pada kasus trauma
wajah sekitar 39-45 % adalah fraktur nasal. Trauma hidung pada masa pertumbuhan
mempunyai dampak yang lebih besar dibandingkan dengan trauma hidung yang dialami
pada usia dewasa.
25
Anamnesis dan pemeriksaan yang baik sangat berperan dalam menentukan
diagnosis, derajat fraktur, sehingga pemilihan penatalaksanaan dapat dilakukan dengan
tepat. Reduksi tertutup (closed reduction) dan reduksi terbuka (open reduction)
merupakan penatalaksanaan terhadap fraktur nasal. Pemilihan terapi yang tepat akan
meningkatkan kesuksesan penanganan terhadap fraktur nasal serta mengurangi
komplikasi yang mungkin ditimbulkan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Donald PD, Sykes J. Facial Fracture. In: Ballenger JJ, Snow JB. Ballenger’s
Otolaryngology Head and Neck Surgery.6th ed. Hamilton: BC Decker Inc; 2003.
p.900-46.
2. Grant S, Carlos M. Nasal Fracture. In: Byron J Bailey, et al. Otolaryngology Head
and Neck Surgery. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins: 4 thed. 2006.
71A. p996-1008.
3. Tardy ME. Koreksi Bedah Kerusakan Wajah. Dalam Ballenger JJ. Penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Alih bahasa Staf Ahli Bagian
THT RSCM-FKUI. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994. h.28-99.
4. Munir, M., Widiarni, D., Trimartani. Trauma Muka dan Leher. 2012. Dalam:
Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D., Editor. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. VII. Jakarta.
FKUI; VIII: hal. 181-5.
5. Mountain Roudney E. Surgical Correction of Nasal Fraktur. Bleach Nigel et all.
In Operative Otorhino-Laryngology. Oxford; Blackwell Science Ltd: 1997.
22.p.161- 164.
6. Brian P, Kelley B.S, Cara R, Samuel S. Evaluation and Reduction of Nasal
Trauma. Journal of Plastic Surgery, Facial Trauma. 2010; 339-47. (diakses
tanggal 22 Mei 2015). Diunduh dari: http://www.medscape.co.id.
7. Gregory Staffel. Nasal Fracture. Current Therapy in Otolaringology–Head and
Neck Surgery. 6th ed. Saints Louis; Mosby Company: 1998. p.133-4
8. Smith JE, et al. Nasal Fraktur Imaging. (Diakses tanggal 19 Juli 2015). Diunduh
dari http: //e medicine. medscape.com /article/ 391863-overviewl.
9. Lalwani AK. Nasal Trauma. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Second ed. New York; Lange Mc Graw-Hill Companys:
2007. Chapter 11.

27
10. Soetjipto D, Wardhani RS. Trauma Muka. Dalam Kelompok Sudi Plastik dan
Rekontruksi. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia. Jakarta: 2003. hal.82.
11. Kentjono WA. Penatalaksanaan Trauma Maksilofasial. PKB IX Ilmu Kesehatan
THT-KL. Penatalaksanaan Kegawadaruratan di Bidang Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala dan Leher. Editor Ario Kentjono Widodo
dkk.Departemen/SMF Ilmu kesehatan THT-KL FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo
Surabaya: 2011. hal.165-181.
12. Murphy J, Marshall AH, Jones NS. Restoration of the Impacted Nasal Pyramid
Using Kirschner Wire. J Laringol & Otol 2004; 118: 543-5. (diakses tanggal 22
Mei 2015). Diunduh dari http://www.amedeo.co.id
13. Wang FG, Kern EB. Nasal Fractures. In: Gates A. Current Therapy In
Otolaryngology: Head And Neck Surgery. Philadelphia. PA; BC Decker: 1990:
105-109.

28

Anda mungkin juga menyukai