Disadur oleh :
Olyvia Yulyani Khairul Putri
112011101073
Pembimbing:
dr. Bambang Indra, Sp.THT
PENDAHULUAN
Fraktur nasal adalah kejadian terbanyak dalam kasus cidera wajah pada
orang dewasa dan kejadiannya lebih dari 50% dari semua kasus fraktur wajah
[1,2]. Kasus yang paling banyak terjadi adalah truama tumpul pada wajah. Kasus
ini umumnya disebabkan karena perkelahian, olahragga, dan kecelakaan
kendaraan bermotor [2,3].
Tulang hidung terdiri atas tulang dan tulang rawan yang menyokong
struktur skeletal. Struktur penyokong ini sangat dibutuhkan sebagai fungsi estetika
pada wajah serta inspirasi. Untuk melindungi fungsi ini perlu dilakukan evaluasi
segera. Pemeriksaan awal mungkin akan sulit dilakukan karena terjadi edema
pada hidung. Sebagian fraktur hidung, sering pada trauma berat memerlukan
tindakan operatif seperti rhinoplasty [4,5].
Fraktru nasal jarang terjadi pada naka dibawah 5 tahun, karena less facial
trauma eksposure. Kejadian ini meningkat seiring dengan peningkatan usia,
terutama pada pria usia 16-20 tahun [6]. Fraktur nasal murni banyak terjadi pada
pria usia dibawah 25 tahun, umumnya dikarenakan perkelahian [7].
Pada anak-anak dan wanita yang mengalami kekerasan fisik harus
secepatnya dievaluasi. Fraktur nasal dapat berdiri sendiri atau diikitu oleh trauma
wajah lainnya [8].
Trauma nasal yang signifikan dengan deviasi septum menyebabkan
obstruksi jalan nafas sehingga memerlukan tiindakan pembedahan seperti
rhinoplasty [2].
ANATOMI
Penting untuk mengerti struktur anatomi dari hidung untuk mengerti
patofisiologinya. Tulang maksila, ethmoid, frontal, vomer dan tulang hidung
bersama menbentuk struktur hidung. Fraktur paling sering muncul pada struktur
hidung bagian distal, struktur dimana tulang hidung menjadi lebih tipis dan lebih
lebar. Trauma nasal proksimal termasuk dalam fraktur nasoorbitoethmoid dan
memebutuhkan terapi tambahan [2].
Pasangan kartilago lateral superior dan inferior dan septum nasi membentuk
struktur kartilago nasi. Pada posisi garis tengah quadriangular kartilago dibentuk
oleh kartilago lateral superior [9]. Zona transisi antara bagiaan proksimal yang
tebal dan bagian distal yang lebih tipis dibawah 1/3 sampai ½ dari tulang hidung
rentan untuk terjadi fraktur. Hampir 80% fraktur nasal terjadi pada zona transisi
ini. Trauma pada struktur kartilago sering menyebabkan dislokasi, displacement,
atau avulsi [10]. Karilago lateral superior dan tulang hidung superior, kartilago
medial quadrangular, dan kartilago lateral inferior dihubungkan oleh aktikuatio
fibrosa. Artikulasio ini mempertahankan aliran udara inspirasi dan area ini disebut
katub nasal interna [11].
Kartilago septum secara posterior berada di antara perpenducular plate
tulang ethmoid dan vomer dengan hubungan osseochondral. Daerah lemah dari
dorsum kartilago dan hubungan yang lemah antara semptum dan puncak maksila
mempunyai insidensi yang besar terjadinya fraktur-dislokasi septum [10].
Susunan lateral inferior bertanggung jawab memberikan unsur estetik pada
hidung. Bagian kartilago yang kuat ini resisten terhadap terjadinya trauma.
Kartilago quadriangular membentuk septum nasi. Bagian posterior yang lebih
tebal menyokong bagian 2/3 atas dari hidung. Septum nasi adalah bagian yang
pertumbuhannya cepat pada anak-anak hingga usia 12-13 tahun. Pada semua usia
struktur tengah ini disokong oleh crus medial dari dua kartilago lateral. Vomer
adalah bagian yang menyokong bagian dasar hidung dan tulang ethmoid bagian
superior dan posterior.
Hidung mendapat vaskularisasi dari a. Carotis inter dan a. Carotis eksterna.
Sebagian besar berasal dari a. Palatina, a. Infraorbita dan a. Sfenopalatina yang
merupakan cabang dari a. Maksilaris. Konka media dan inferior mendapar
vaskularisasi dari a. Carotis eksterna serta a. Ethmoidalis anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. Carotis interna.
Epistaksis dalah gejala yang paling sering muncul pada kasus fraktur nasal
dikarenakan trauma pada mukosa khususna dari pleksus kisselbach yang terletak
di daerah septum anteroinferior. Epistaksis posterior berasal dari anteri
spenopalatina dan/atau a. Ethmoidalis. Kontrol pada epistaksis posterior akan sulit
dilakukan, mungkin memerlukan tampon internal, kateter, serta intervensi
pencegahan emboli.
Cabang oftalmicus dan maksilaris dari N. Trigeminus mempersarafi daerah
nasal. Sensasi pada dorsum atas nasi dan sisi luar hidung dipersarafi oleh N.
Infratochlearis, sedangkan dorsum bagian bawah dipersarafi oleh N. Ethmoidalis
anterior [2]. Sel epitel penghidu berasal dari olfactory placode dan neural crest.
Epitel ini, yang membatas regio septum, lamina cribiformis, konka superior dan
konka media diinervasi oleh reseptor olfactorius yang serabutnya berasal dari N.
Trigeminus dan N. Terminalis (N. Cranialis 0) serta dari ganglion servicalis
superior. Ketika sebuah bau memasuki cavum nasi, akan diserap oleh lendir yang
melapisi epitel penghidu. Lendir ini berasal dari kelenjar spesial Bowmans [12].
PENCITRAAN
Walaupun hanya cidera minor, fraktur tulang hidung tetap mempunyai
potensi untuk menjadi cidera yang serius. Fraktur hidung dapat merupakan single
fraktur atau bersama cidera kepala wajah lainnya. Diagnosis fraktur hidung
terutama berdsarkan keadaan klinis. Pemeriksaan radiografi merupakan step
pertama untuk mengevaluasi fraktur nasal. Sensitifitas dan spesifisitas dari
pemeriksaan radiografi masih menjadi perdebatan sejak beberapa tahun yang lalu
melalui berbagai penelitian [22].
Diangsosis fraktur nasal terutama berdasarkan keadaan klinis. CT-Scan
mungkin bermanfaat untuk fraktur nasal dengan komplikasi bersamaan dengan
fraktir wajah lainnya, seperti fraktur mandibula. Laporan pada penelitian
sebelumnya menunjuukan bahwa teknik radiografi , negatif pada 25% pasien yang
membutuhkan prosedur pembedahaan sedangkan CT-Scan wajah memiliki resiko
radiasi pada lensa [23].
Ultrasonografi resolusi tinggi (USGRT) menjadi pilihan lain. USGRT
mempunyi biaya yang lebih rendah, tekniknya simpel dan yang peling penting
tidak memiliki resiko radiasi. USGRT memiliki nilai diagnostik yang tinggi. Ini
diperlihatkan dari berbagai hasil penelitian. CT-Scan memberikan gambaran
anatomi yang lebih jelas pada dokter bedah. Tidak berdasarkan operator. Tetapi
garis fraktur mungkin silut dievaluasi dari efek artefak yang ditimbulkan. USGRT
bahkan dapat menujukkan gangguan sebesar 0,1 mm dari tulang hidung yang
tidak mungkin tidak dapat diberdakan antara garus fraktur yang akut atau kronis
oleh USG biasa. USGRT dapat memperkirakan waktu terjadinya fraktur. USGRT
juga merupakan indikator yang baik untuk menilai struktur kartilago dan
bagaiaman pengaruhnya. Bentuk proyeksi eksternal hidung meupakan kerugian
pada USGRT. Linear probes yang telah ada telalu besar untuk men-scan tulang
hidung dan celah udara dapat dilihat antara os nasal dan os zygoma. USG hidung
sudah populer sejak bebrapa tahun terakhir, karena memberika informasi lebih
detail tentang area superfisial dari bebrapa posisi [22].
MANAJEMEN PRE-OPERATIV
Tatalaksana fraktur nasal berbeda antara satu pasien dan pasien lainnya
bergantung pada beberapa faktor penting, seperti usia, waktu trauma, tipe
pembiusan, kebutuhan untuk penundaan reduksi, atau pendekatan pembedahan.
Manajemen pada pasien dengan usia sangat mudah atau sangat tua sulit.
Pendekatan konservatif perlu dipertimbangkan. Anak usia 13-14 tahun tepat untuk
dilakukan pembedahan septum karena proses pertumbuhan fokus pada bagian
sentral [2].
PEMBIUSAN (ANESTESI)
Pasien anak mungkin memerlukan general anestesi, sedangkan kebanyakan
orang dewasa dengan fraktur nasal yang cukup parah dapar dilakukan reduksi
menggunakan kombinas anestesi topikal dan infiltrasi. Teknik infiltasi mungkin
berguna pada penggunaaan eksternal hingga dorsum nasi dan mungkin lebih baik
toleransinya dairpada blok internal bilateral [2].
Anestesi lokal mengandung topikal dan infiltasi anestesi. Lidocain 40%
juga oksimetazolin atau penileprin hidroklorida dapat digunakan. Tiga tampon
untuk 8-10 menit untuk setiap lubang hidung cukup adekuat. Fokus area
sebaikanya sepanjang dorsal septum dekat arteri nervus ehtmoidalis anterior,
proksimal konka media, dan basis nasi berdekatan dengan N. Nasopalatian dan A.
Sfenopalatina [17].
REDUKSI TERTUTUP
Cocok untuk fraktur simpel, non kominutif fraktur. Manuplasi penting untuk
menjaga kekuatan dari arah berlawanan dari trauma. Pada keadaan ini reduksi
sebaiknya dilakukan. Goldman elevator dapat digunakan. Ini berguna untuk
mereposisi tulang secara manual. Harus memperhatikan pula lamina cribiformis
untuk kemungkinan terjadi trauma. Teknik reduksi tertutup pada fraktur nasi
bergantung pada kemampuan membalikkan arah dari kekuatan yang
menyebabkan cidera. Langkah pertama adalah mengurangi tulang hidung
selanjutnya langkah kedua adalah reduksi dan stabilisasi septum. Baris goldman
sebaiknya dimasukkan ke hidung dibawah tulang hidung. Manuplasi digital dam
tekanan intranasal dipertahankan.
Incomplete fraktur mungkin membutuhkan mobilisasi osteotom untuk
reduksi yang lebih baik [17].
REDUKSI TERBUKA
Metode ini digunakan untuk pasien yang tidak dapat ditangani dengan
reduksi tertutup. Fraktur kominutif yang banyak kehilangan penyokong hidung,
cidera septum yang berat, dan membutuhkan pemeriksaan dengan cara terbuka.
Reduksi terbuka membutuhkan pencahayaan yang detail dan baik. Cara ini
mempermudah memeriksa struktur anatomi dan informasi dari struktur nasi.
Pencahayaan yang kuat pada septum, dorsum dan puncak hidung memberikan
operasi yang sukses. Pada fraktur nasi yang berat butuhkan septorhinoplasty,
karena hasil dari reduksi tertutup kurang memuasakan dan perbaikan lebih awal
harus dilaksanakan sebelum terbentuk jaringan parut [26]. Insidensi kejadian
deformitas setelah reduksi tertutup yang membutuhkan rhinoplasty dilaporkan
sebanyak 14-40% [17-29]. Sebagai akibat dari fraktur nasi, deviasi dari septum
nasi memberikan efek stress pada tulang hidung, ini akan menginisiasi tulang
hidung untuk bergeser ke arah reduksi. Kesimpulannya, tulang hidung mengikuti
posisi dari septum [30]
KESIMPULAN
Penanganan paling penting pada pasien fraktur nasal adalah untuk kembali
ke kondisi seperti sebelum terjadinya cidera,. Evaluasi dan manajemen klinis
harus harus bersifat individual sesuai dengan tipe dan beratnya cidera. Sangat
bergantung dengan timing. Penialaian yang baik akan mempertahakan fungsi yang
baik, pernapasan, dan penghidung. Dengan cara yang sulit ini, mengetahui
perjalanan pernyakit pasien dapat memberikan hasil yang baik.
REFERENSI
1. Renner GJ (1991) Management of nasal fractures. Otolaryngol Clin North
Am 24: 195-213.
2. Kelley BP, Downey CR, Stal S (2010) Evaluation and reduction of nasal
trauma.Semin Plast Surg 24: 339-347.
3. Dingman RO, Natvig P (1969) The Nose. In: Natvig P (eds.). Surgery of
Facial Fractures. Philadelphia, PA: Saunders.
4. Murray JA, Maran AG (1980) The treatment of nasal injuries by
manipulation. J Laryngol Otol 94: 1405-1410.
5. Bailey BJ, Tan LKS (1998) Nasal and Frontal Sinus Fractures. In: Bailey BJ
(eds.). Head and Neck Surgery-Otolaryngology. (2nd edn). Lippincott-Raven,
Philadelphia, PA, USA.
6. Azevedo AB, Trent RB, Ellis A (1998) Population-based analysis of
10,766hospitalizations for mandibular fractures in California, 1991 to 1993. J
Trauma 45: 1084-1087.
7. Çil Y, Kahraman E (2013) An analysis of 45 patients with pure nasal
fractures. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg 19: 152-156.
8. Kucik CJ, Clenney T, Phelan J (2004) Management of acute nasal fractures.
Am Fam Physician 70: 1315-1320.
9. Vora NM, Fedok FG (2000) Management of the central nasal support
complex in naso-orbital ethmoid fractures. Facial Plast Surg 16: 181-191.
10. Arden RL, Mathog RH (1993) Nasal Fractures. In: Cummings CW,
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Mobsy-Year Book Inc., St. Louis,
MO, USA.
11. Rubinstein B, Strong EB (2000) Management of nasal fractures. Arch Fam
Med 9: 738-742.
12. Doty RL, Kamath V (2014) The influences of age on olfaction: a review.
Front Psychol 5: 20.
13. Roberton DM, Barbor P, Hull D (1982) Unusual injury? Recent injury in
normal children and children with suspected non-accidental injury. Br Med J
(Clin Res Ed) 285: 1399-1401.
14. Rohrich RJ, Adams WP Jr (2000) Nasal fracture management: minimizing
secondary nasal deformities. Plast Reconstr Surg 106: 266-273.
15. Nonato ER, Borges MA (2011) Oral and maxillofacial trauma in patients with
epilepsy: prospective study based on an outpatient population. Arq
Neuropsiquiatr 69: 491-495.
16. Zelken JA, Khalifian S, Mundinger GS, Ha JS, Manson PN, et al. (2014)
Defining predictable patterns of craniomaxillofacial injury in the elderly:
analysis of 1,047 patients. J Oral Maxillofac Surg 72: 352-361.
17. Higuera S, Lee EI, Cole P, Hollier LH Jr, Stal S (2007) Nasal trauma and the
deviated nose. Plast Reconstr Surg 120: 64-75.
18. Wazir S, Khan M, Ud Din Q (2012) Management of a Maxillofacial Trauma
Patient on Warfarin. Pakistan Oral & Dental Journal 32: 36-38.
19. Akdogan Ö, Selçuk A, Gürbüz D, Dere H (2008) Analysis of Simple Nasal
Bone Fracture and the Effect of it on Olfactory Dysfunction. Kbb-Forum 7:
68-70.
20. Park CH, Kwon TK, Lee JH, Hong SJ, Joung HH, et al. (2009)
Endoscopically assisted reduction of nasal bone fractures. Rhinology 47: 301-
304.
21. Bartkiw TP, Pynn BR, Brown DH (1995) Diagnosis and management of
nasal fractures. Int J Trauma Nurs 1: 11-18.
22. Chou C, Chen CW, Wu YC, Chen KK, Lee SS (2014) Refinement treatment
of nasal bone fracture: A 6-year study of 329 patients. Asian J Surg .
23. Mohammadi A, Ghasemi-Rad M (2011) Nasal bone fracture—
ultrasonography or computed tomography? Med Ultrason 13: 292-295.
24. Lee MH, Cha JG, Hong HS, Lee JS, Park SJ, et al. (2009) Comparison of
high-resolution ultrasonography and computed tomography in the diagnosis
of nasal fractures. J Ultrasound Med 28: 717-723.
25. Hwang K, You SH, Kim SG, Lee SI (2006) Analysis of nasal bone fractures;
a six-year study of 503 patients. J Craniofac Surg 17: 261-264.
26. Fernandes SV (2004) Nasal fractures: the taming of the shrewd.
Laryngoscope 114: 587-592.
27. Ziccardi VB, Braidy H (2009) Management of nasal fractures. Oral
Maxillofac Surg Clin North Am 21: 203-208, vi.
28. Waldron J, Mitchell DB, Ford G (1989) Reduction of fractured nasal bones;
local versus general anaesthesia. Clin Otolaryngol Allied Sci 14: 357-359.
29. Crowther JA, O’Donoghue GM (1987) The broken nose: does familiarity
breed neglect? Ann R Coll Surg Engl 69: 259-260.
30. Green KM (2001) Reduction of nasal fractures under local anaesthetic.
Rhinology 39: 43-46.
31. Doyle DE, House LF, Hall WP (1977) Description of a New Device: An
Intranasal Airway/Splint. Laryngoscope 87: 608–612.
32. Fairbanks DN (1986) Complications of nasal packing. Otolaryngol Head
Neck Surg 94: 412-415.
33. Stucker FJ, Ansel DG (1978) A case against nasal packing. Laryngoscope 88:
1314-1317.