Anda di halaman 1dari 14

Membaca Jurnal

Manajemen Fraktur Nasal

Ҫiğdem Firat Koca dan Ahmet Kizilay

Journal Emergenci Medicine Trauma Surgical Care

disusun untuk memenuhi tugas kepanitraan klinik


SMF Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan – Kepala Leher
RSD dr. Soebandi Jember

Disadur oleh :
Olyvia Yulyani Khairul Putri
112011101073

Pembimbing:
dr. Bambang Indra, Sp.THT

SMF Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan – Kepala Leher


RSD dr. Soebandi Jember
Fakultas Kedokteran Universitas Jember
2016
ABSTRAK
Trauma hidung mempunyai peranan yang penting dalam kasus trauma
craniofasial. Dibutuhkan sebuah penelitian mengenai pemeriksaan rinci dan initial
history. Tujuan dari bacaan ini pendekatan dalam manajemen, patofisiologi,
diagnosis dan tatalaksanan dalam fraktur nasal.
Kata kunci : fraktur nasal, fraktur septum, reduksi tertutup, reduksi terbuka

PENDAHULUAN
Fraktur nasal adalah kejadian terbanyak dalam kasus cidera wajah pada
orang dewasa dan kejadiannya lebih dari 50% dari semua kasus fraktur wajah
[1,2]. Kasus yang paling banyak terjadi adalah truama tumpul pada wajah. Kasus
ini umumnya disebabkan karena perkelahian, olahragga, dan kecelakaan
kendaraan bermotor [2,3].
Tulang hidung terdiri atas tulang dan tulang rawan yang menyokong
struktur skeletal. Struktur penyokong ini sangat dibutuhkan sebagai fungsi estetika
pada wajah serta inspirasi. Untuk melindungi fungsi ini perlu dilakukan evaluasi
segera. Pemeriksaan awal mungkin akan sulit dilakukan karena terjadi edema
pada hidung. Sebagian fraktur hidung, sering pada trauma berat memerlukan
tindakan operatif seperti rhinoplasty [4,5].
Fraktru nasal jarang terjadi pada naka dibawah 5 tahun, karena less facial
trauma eksposure. Kejadian ini meningkat seiring dengan peningkatan usia,
terutama pada pria usia 16-20 tahun [6]. Fraktur nasal murni banyak terjadi pada
pria usia dibawah 25 tahun, umumnya dikarenakan perkelahian [7].
Pada anak-anak dan wanita yang mengalami kekerasan fisik harus
secepatnya dievaluasi. Fraktur nasal dapat berdiri sendiri atau diikitu oleh trauma
wajah lainnya [8].
Trauma nasal yang signifikan dengan deviasi septum menyebabkan
obstruksi jalan nafas sehingga memerlukan tiindakan pembedahan seperti
rhinoplasty [2].
ANATOMI
Penting untuk mengerti struktur anatomi dari hidung untuk mengerti
patofisiologinya. Tulang maksila, ethmoid, frontal, vomer dan tulang hidung
bersama menbentuk struktur hidung. Fraktur paling sering muncul pada struktur
hidung bagian distal, struktur dimana tulang hidung menjadi lebih tipis dan lebih
lebar. Trauma nasal proksimal termasuk dalam fraktur nasoorbitoethmoid dan
memebutuhkan terapi tambahan [2].
Pasangan kartilago lateral superior dan inferior dan septum nasi membentuk
struktur kartilago nasi. Pada posisi garis tengah quadriangular kartilago dibentuk
oleh kartilago lateral superior [9]. Zona transisi antara bagiaan proksimal yang
tebal dan bagian distal yang lebih tipis dibawah 1/3 sampai ½ dari tulang hidung
rentan untuk terjadi fraktur. Hampir 80% fraktur nasal terjadi pada zona transisi
ini. Trauma pada struktur kartilago sering menyebabkan dislokasi, displacement,
atau avulsi [10]. Karilago lateral superior dan tulang hidung superior, kartilago
medial quadrangular, dan kartilago lateral inferior dihubungkan oleh aktikuatio
fibrosa. Artikulasio ini mempertahankan aliran udara inspirasi dan area ini disebut
katub nasal interna [11].
Kartilago septum secara posterior berada di antara perpenducular plate
tulang ethmoid dan vomer dengan hubungan osseochondral. Daerah lemah dari
dorsum kartilago dan hubungan yang lemah antara semptum dan puncak maksila
mempunyai insidensi yang besar terjadinya fraktur-dislokasi septum [10].
Susunan lateral inferior bertanggung jawab memberikan unsur estetik pada
hidung. Bagian kartilago yang kuat ini resisten terhadap terjadinya trauma.
Kartilago quadriangular membentuk septum nasi. Bagian posterior yang lebih
tebal menyokong bagian 2/3 atas dari hidung. Septum nasi adalah bagian yang
pertumbuhannya cepat pada anak-anak hingga usia 12-13 tahun. Pada semua usia
struktur tengah ini disokong oleh crus medial dari dua kartilago lateral. Vomer
adalah bagian yang menyokong bagian dasar hidung dan tulang ethmoid bagian
superior dan posterior.
Hidung mendapat vaskularisasi dari a. Carotis inter dan a. Carotis eksterna.
Sebagian besar berasal dari a. Palatina, a. Infraorbita dan a. Sfenopalatina yang
merupakan cabang dari a. Maksilaris. Konka media dan inferior mendapar
vaskularisasi dari a. Carotis eksterna serta a. Ethmoidalis anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. Carotis interna.
Epistaksis dalah gejala yang paling sering muncul pada kasus fraktur nasal
dikarenakan trauma pada mukosa khususna dari pleksus kisselbach yang terletak
di daerah septum anteroinferior. Epistaksis posterior berasal dari anteri
spenopalatina dan/atau a. Ethmoidalis. Kontrol pada epistaksis posterior akan sulit
dilakukan, mungkin memerlukan tampon internal, kateter, serta intervensi
pencegahan emboli.
Cabang oftalmicus dan maksilaris dari N. Trigeminus mempersarafi daerah
nasal. Sensasi pada dorsum atas nasi dan sisi luar hidung dipersarafi oleh N.
Infratochlearis, sedangkan dorsum bagian bawah dipersarafi oleh N. Ethmoidalis
anterior [2]. Sel epitel penghidu berasal dari olfactory placode dan neural crest.
Epitel ini, yang membatas regio septum, lamina cribiformis, konka superior dan
konka media diinervasi oleh reseptor olfactorius yang serabutnya berasal dari N.
Trigeminus dan N. Terminalis (N. Cranialis 0) serta dari ganglion servicalis
superior. Ketika sebuah bau memasuki cavum nasi, akan diserap oleh lendir yang
melapisi epitel penghidu. Lendir ini berasal dari kelenjar spesial Bowmans [12].

PERJALANAN PENYAKIT DAN PEMERIKSAAN


Evaluasi tanda clinis adalah dasar untuk mendiagnosis. Riwayat perjalanan
penyakit pasien dan pemeriksaan fisik yang mendetail sangat penting dalam
proses. Pemilahan pasien dan perbaikan yang tepat adalah dasar pada pertolongan
pertama. Bagaimana kerjadiannya, waktu saat kerjadian, usia pasien, harus di
perhatikan. Harus ada prioritas untuk pasien yang membutuhnya reduksi segera.
Penyebab cidera harus dipertimbangkan (olahraga, senjata, jatuh,
kecelakaan lalu-lintas, dsb.) mekanisme terjadi nya trauma sangat penting untuk
mengetahui arah dan kecepatan cidera. Perubahan fisik biasnaya disebabkan oleh
truama dengan kekuatan rendah pada sebelah lateral hidung. Internal fractur
tulang hidung biasnaya terjadi pada sisi ipsilateral trauma, sedangkan eksternal
trauma biasanya pada sisi kontralateral, dan biasanya diikuti deformitas septum.
Kecelakaan kendaraan bermotor dan sering menyebabkan cidera frontal [2].
Trauma hidung tidak sengaja sering pada bayi atau anak-anak korban
kekerasan fisik. Karena alasan ini penilaian pada trauma hidung yang tidak
disengaja menjadi sangat penting. Pasien dengan fraktur yang tidak jelas harus
diberikan perhatian [13].
Untuk terapi yang tepat, ketapatan waktu trauma sangat penting. Prosebur
perawata berbeda antara satu pasien dan pasien lainnya bergantu pada waktu
trauma, dalam hitungan bebrapa jam atau minggu setelah trauma. Pada jam-jam
pertama setelah trauma sebelum terjadi edema adalah waktu yang sangat baik
untuk menilai deforsmitas secara menyeluruh pada hidung. Setelah terjadi edema,
pemeriksaan akan sulit dilakukan dan reduksi harus ditunda sampai endema
membaik [14].
Riwayat truama dan oprasi hidung harus dipertimbangkan. Hal ini sangat
penting untuk membandingkan keadaan post-trauma pada hidung dengan riwayat
photograph. Dan harus ditanyakan tentang penggunaan obat alergi jangka panjang
atau inhaler pada pasien [2].
Kejang atau kondisi media maedis lainnya dapat memicu terjadinya truma
hidung. Pasien dengan epilepsi lebih rentan untuk terjadi trauma wajah [15].
Fraktur hidung sering pada lansia. Mode of Injury, komoribid, kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri adalah bagian penting pada pasien lansia
dibandingkan yang lebih muda. Resiko jatuh dan kondisi tulang yang lemah
merupakan faktor utama penyebab fraktur nasal pada lansia. Pada fraktur ini
cenderung memerlukan tatalaksana non-operatif. Yang paling penting adalah
tatalaksana trauma lanjutan. Dikarenakan adanya trauma lanjutan ini, seringkali
memrpukan perawatan intensive dibandingkan pada anak muda. Tindakan bedah
dapat dipertimbangkan bila tingkat keselamatan dan kulitas kehidupan pasien baik
[16].
Pemeriksaan fisik harus melibatkan baik bagian dalam maupuan luat
hidung. Kedua pemeriksaan ini dapat memberikan informasi lebih banyak. Pada
cidera yang berat , malposisi hidung akan mudah diperiksa. Tetapi adanya cidera
pada jaringan seperti laserasi, perdarahan, dan/atau edema akan memerlukan
kontrol internal yang lebih. Paling penting adalah melakukan palpasi. Adanya
krepitasi, kekakuan, step-off, pemendekan atau pelebaran hidung merupak indikasi
adanya fraktur nasal [2].
Fraktur nasal bisa pula akibat trauma cideran minor atau trauma kompleks.
jika ada trauma yang komplerks, dokter harus ingat cedera lainnya sampai
dikesampingkan. Adanya rhinore harus dieavaluasi kemungkinan cairan
serebrospina (CSS), evaluasi kebocoran dengan kadar cairan serta glukosa dan
bthe-transferin [17].
Perhatikan bilamana ada fraktur maja atau mandibula. Palsasi manual
dengan hati-hati semua tulang wajah, termasuk eminence malar, rima orbital,
arcus sygomaticus, mandubula, dan gigi-geligi [8].
Manajemen fraktur nasal pada pasien dengan terapi antikoagulan merupakan
prosedur yang sulit. Tingginya resiko perdarahan pada pasien bila dosis
antikoagulan tidak diturunkan. Tetapi, menurunkan dosis antikoagulan akan
menyebabkan tinggikanresiko terbentuk trombosis pada pasien. Kontrol epistaksis
sangat sulit menjadi sangat sulit bila hendak dilakukan pembedahan. Sebagai
contoh, pada pengguna heparin, heparin sebaiknya diganti dengan low molecular
weigh heparin setidaknya selama 4-5 hari sebelum operasi, untuk resiko
terjadinya trmboemboli, heparin sebaiknya sebaiknya dihentikan 6 jam sebelum
operasi, dan kembali diteruskan 6 jam setelah operasi [18].
Anosmia atau hiposmia bisa muncul bersama trauma nasal akut, efek
sekunder dari edema mukosa, pengumpulan darah dan sekret, atau kerusakan
internal hidung, tetapi harus disingkirkan kiemungkinana keterlibatan lamina
cribrosa. Harus dievaluasi kembali adanya gangguan penciuman. Trauma nasal
dapat menyebabkan gangguan penghidu. Disfungsi olfaktoriuspaling sering
muncul sebagai akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, truma, serta
rhinosinusitis kronis. Hilangnya sebagaian atau seluruh fungsi olfaktorius bila ada
obstruksi jalur pernafasan, cidera N. Olfaktorius atau konsutio atau perdarahan
pada pusat olfaktorius di otak. Gangguan penghidu dapar terjadi ringan, sedang,
berat atau hilang sama sekali. Uji penghidu secara kuantitatif, yang mudah
dilakukan penting dilakukan untuk menetukan sifat dan tingkat kerusakan pada
pasien [12].
Dekongestan semprot dan atau obat vasokonstriktor topikal mungkin
bermanfaat untuk melakukan pemeriksaan dalam hidung. Lampu kepala dan
spekulum hidung membantuk dokter dalam melakukan kontrol dan evaluasi yang
mendetail. Pada pemeriksaan yang tepat pasien harus dalam posisi duduk.
Pemeriksaan endoskopi mungkin akan memberikan informasi lebih mengenai
konka inferior, meatus inferios, septum dan postero inferior septal junction [20].
Masalah paling penting adalah kemungkinan adanya hematom septum.
Hematum septum adalah kumpulan darah diantara kartilago dan perikondrium.
Harus diperhatikan terapi yang tepat pada hamtom septum. Drainase yang tidak
adekuat dapat menyebabkan infeksi dan nekrosis pada kartilago dan pada
akhirnya tidak dapat dihindari terjadinya deformitas. Perlu pemasanan drain untuk
menghindrasi rekurensi. Pemasangan bidai atau jahit mungkin berguna untuk
kedua sisi septum untuk memberikan tekanan serta penyokong. Tampon anterior
mungkin juga akan berguna.

PENCITRAAN
Walaupun hanya cidera minor, fraktur tulang hidung tetap mempunyai
potensi untuk menjadi cidera yang serius. Fraktur hidung dapat merupakan single
fraktur atau bersama cidera kepala wajah lainnya. Diagnosis fraktur hidung
terutama berdsarkan keadaan klinis. Pemeriksaan radiografi merupakan step
pertama untuk mengevaluasi fraktur nasal. Sensitifitas dan spesifisitas dari
pemeriksaan radiografi masih menjadi perdebatan sejak beberapa tahun yang lalu
melalui berbagai penelitian [22].
Diangsosis fraktur nasal terutama berdasarkan keadaan klinis. CT-Scan
mungkin bermanfaat untuk fraktur nasal dengan komplikasi bersamaan dengan
fraktir wajah lainnya, seperti fraktur mandibula. Laporan pada penelitian
sebelumnya menunjuukan bahwa teknik radiografi , negatif pada 25% pasien yang
membutuhkan prosedur pembedahaan sedangkan CT-Scan wajah memiliki resiko
radiasi pada lensa [23].
Ultrasonografi resolusi tinggi (USGRT) menjadi pilihan lain. USGRT
mempunyi biaya yang lebih rendah, tekniknya simpel dan yang peling penting
tidak memiliki resiko radiasi. USGRT memiliki nilai diagnostik yang tinggi. Ini
diperlihatkan dari berbagai hasil penelitian. CT-Scan memberikan gambaran
anatomi yang lebih jelas pada dokter bedah. Tidak berdasarkan operator. Tetapi
garis fraktur mungkin silut dievaluasi dari efek artefak yang ditimbulkan. USGRT
bahkan dapat menujukkan gangguan sebesar 0,1 mm dari tulang hidung yang
tidak mungkin tidak dapat diberdakan antara garus fraktur yang akut atau kronis
oleh USG biasa. USGRT dapat memperkirakan waktu terjadinya fraktur. USGRT
juga merupakan indikator yang baik untuk menilai struktur kartilago dan
bagaiaman pengaruhnya. Bentuk proyeksi eksternal hidung meupakan kerugian
pada USGRT. Linear probes yang telah ada telalu besar untuk men-scan tulang
hidung dan celah udara dapat dilihat antara os nasal dan os zygoma. USG hidung
sudah populer sejak bebrapa tahun terakhir, karena memberika informasi lebih
detail tentang area superfisial dari bebrapa posisi [22].

KLASIFIKASI FRAKTUR HIDUNG


Stranc dan robertson mengkategorikan fraktur hidung berdasarkan arah
trauma dan temuan klinis. Murray et al., mendiskripsikan berdasarkan kriteria
patologis [2]. Penulis senior melaporkan modifikasi klasifikasi murray
berdasarkan temuan klinis.
Tipe 1 : cidera terbatas pada soft tissue
Tipe IIa : simpel, unilateral, fraktur nondisplaced
Tipe Iib : simpel, bilateran, fraktur nondisplaced
Tipe III : simpel, fraktur displaced
Tipe IV : fraktur kominutif tertutup
Tipe V : fraktur kominutif terbuka tau fraktur kompleks [2,17].
Berdasarkan gambara CT-Scan, fraktur nasal dibedakan menjadi 4 tipe :
Tipe I : simple tanpa perubahan tempat
Tipe II : simpel, ada perubahan tempat,
Tipe IIA : unilateral
Tipe IIAs : unilateral dengan frraktur septum
Tipe IIB : bilateral
Tipe IIB : bilateran dengan fraktur septum
Tipe III : fraktur kominutif dengan depresi tulang [25].

MANAJEMEN PRE-OPERATIV
Tatalaksana fraktur nasal berbeda antara satu pasien dan pasien lainnya
bergantung pada beberapa faktor penting, seperti usia, waktu trauma, tipe
pembiusan, kebutuhan untuk penundaan reduksi, atau pendekatan pembedahan.
Manajemen pada pasien dengan usia sangat mudah atau sangat tua sulit.
Pendekatan konservatif perlu dipertimbangkan. Anak usia 13-14 tahun tepat untuk
dilakukan pembedahan septum karena proses pertumbuhan fokus pada bagian
sentral [2].

PEMBIUSAN (ANESTESI)
Pasien anak mungkin memerlukan general anestesi, sedangkan kebanyakan
orang dewasa dengan fraktur nasal yang cukup parah dapar dilakukan reduksi
menggunakan kombinas anestesi topikal dan infiltrasi. Teknik infiltasi mungkin
berguna pada penggunaaan eksternal hingga dorsum nasi dan mungkin lebih baik
toleransinya dairpada blok internal bilateral [2].
Anestesi lokal mengandung topikal dan infiltasi anestesi. Lidocain 40%
juga oksimetazolin atau penileprin hidroklorida dapat digunakan. Tiga tampon
untuk 8-10 menit untuk setiap lubang hidung cukup adekuat. Fokus area
sebaikanya sepanjang dorsal septum dekat arteri nervus ehtmoidalis anterior,
proksimal konka media, dan basis nasi berdekatan dengan N. Nasopalatian dan A.
Sfenopalatina [17].

WAKTU UNTUK REDUKSI


Dalam 5-10 hari setelah terjadi cidera, tulang hidung dapat membentuk suat
perletakan dan akan sulit untuk digerakkan. Fiksasi biasanya diobservasi dalam 2-
3 minggu. Dokter bedah sebaiknya memilih waktu yang tepat untuk reduksi,
kapan evaluasi akan akurat serta tulang hidung masih dapat digerakkan.
Rekomendasi yang diberikan adalah reduksi tertutup dalam 3-7 hari untuk anak-
anak dan dalam 5-10 hari pada orang dewasa.

REDUKSI TERTUTUP
Cocok untuk fraktur simpel, non kominutif fraktur. Manuplasi penting untuk
menjaga kekuatan dari arah berlawanan dari trauma. Pada keadaan ini reduksi
sebaiknya dilakukan. Goldman elevator dapat digunakan. Ini berguna untuk
mereposisi tulang secara manual. Harus memperhatikan pula lamina cribiformis
untuk kemungkinan terjadi trauma. Teknik reduksi tertutup pada fraktur nasi
bergantung pada kemampuan membalikkan arah dari kekuatan yang
menyebabkan cidera. Langkah pertama adalah mengurangi tulang hidung
selanjutnya langkah kedua adalah reduksi dan stabilisasi septum. Baris goldman
sebaiknya dimasukkan ke hidung dibawah tulang hidung. Manuplasi digital dam
tekanan intranasal dipertahankan.
Incomplete fraktur mungkin membutuhkan mobilisasi osteotom untuk
reduksi yang lebih baik [17].

REDUKSI TERBUKA
Metode ini digunakan untuk pasien yang tidak dapat ditangani dengan
reduksi tertutup. Fraktur kominutif yang banyak kehilangan penyokong hidung,
cidera septum yang berat, dan membutuhkan pemeriksaan dengan cara terbuka.
Reduksi terbuka membutuhkan pencahayaan yang detail dan baik. Cara ini
mempermudah memeriksa struktur anatomi dan informasi dari struktur nasi.
Pencahayaan yang kuat pada septum, dorsum dan puncak hidung memberikan
operasi yang sukses. Pada fraktur nasi yang berat butuhkan septorhinoplasty,
karena hasil dari reduksi tertutup kurang memuasakan dan perbaikan lebih awal
harus dilaksanakan sebelum terbentuk jaringan parut [26]. Insidensi kejadian
deformitas setelah reduksi tertutup yang membutuhkan rhinoplasty dilaporkan
sebanyak 14-40% [17-29]. Sebagai akibat dari fraktur nasi, deviasi dari septum
nasi memberikan efek stress pada tulang hidung, ini akan menginisiasi tulang
hidung untuk bergeser ke arah reduksi. Kesimpulannya, tulang hidung mengikuti
posisi dari septum [30]

PEMBIDAIAN DAN PEMBALUTAN


Baik reduksi tertutup maupun terbuka sanama-sama membutuhkan
pembidaian setelah operasi. Bidai sebaiknya dipasang internal dan eksternal. Bidai
ini menghindarkan bergesernya. Mereka mempertahankan stabilisasi dan
menghindari terbentuknya sinekia setelah bedah [31]. Bidai eksternal
mempertahankan stabilisasi dari pengurangan tulang katilago, sering setelah
pembedahan. Pembalutan merupakan cara lama dan sudah jarang digunakan
dewasa ini. Diduga sebagai penyebab nyeri, ketidaknyamanan, laserasi palatum,
perforasi septum, bakhan syok toksik [32,33]. Bidai intranasal sebaiknaya
dipertahakan 2-3 minggu setalah operasi, sedangkan pembaluran dipertahankan
maksimal 72 jam
Follow up terus dilakukan hingga 6-12 minggu post operasi. Waktu ini
sangat kritis untuk intregitas struktur hidung. Pasien dievaluasi untuk
kemungkinan terjadi kolpas nasi. Septorhinoplasty mungkin dibutuhkan untuk
pada situasi ini. Graft tulang rawan mungkin bermanfaat pada kasus ini. Tulang
ida dapat digunanakan untuk teknik ini [2].

KESIMPULAN
Penanganan paling penting pada pasien fraktur nasal adalah untuk kembali
ke kondisi seperti sebelum terjadinya cidera,. Evaluasi dan manajemen klinis
harus harus bersifat individual sesuai dengan tipe dan beratnya cidera. Sangat
bergantung dengan timing. Penialaian yang baik akan mempertahakan fungsi yang
baik, pernapasan, dan penghidung. Dengan cara yang sulit ini, mengetahui
perjalanan pernyakit pasien dapat memberikan hasil yang baik.

REFERENSI
1. Renner GJ (1991) Management of nasal fractures. Otolaryngol Clin North
Am 24: 195-213.
2. Kelley BP, Downey CR, Stal S (2010) Evaluation and reduction of nasal
trauma.Semin Plast Surg 24: 339-347.
3. Dingman RO, Natvig P (1969) The Nose. In: Natvig P (eds.). Surgery of
Facial Fractures. Philadelphia, PA: Saunders.
4. Murray JA, Maran AG (1980) The treatment of nasal injuries by
manipulation. J Laryngol Otol 94: 1405-1410.
5. Bailey BJ, Tan LKS (1998) Nasal and Frontal Sinus Fractures. In: Bailey BJ
(eds.). Head and Neck Surgery-Otolaryngology. (2nd edn). Lippincott-Raven,
Philadelphia, PA, USA.
6. Azevedo AB, Trent RB, Ellis A (1998) Population-based analysis of
10,766hospitalizations for mandibular fractures in California, 1991 to 1993. J
Trauma 45: 1084-1087.
7. Çil Y, Kahraman E (2013) An analysis of 45 patients with pure nasal
fractures. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg 19: 152-156.
8. Kucik CJ, Clenney T, Phelan J (2004) Management of acute nasal fractures.
Am Fam Physician 70: 1315-1320.
9. Vora NM, Fedok FG (2000) Management of the central nasal support
complex in naso-orbital ethmoid fractures. Facial Plast Surg 16: 181-191.
10. Arden RL, Mathog RH (1993) Nasal Fractures. In: Cummings CW,
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Mobsy-Year Book Inc., St. Louis,
MO, USA.
11. Rubinstein B, Strong EB (2000) Management of nasal fractures. Arch Fam
Med 9: 738-742.
12. Doty RL, Kamath V (2014) The influences of age on olfaction: a review.
Front Psychol 5: 20.
13. Roberton DM, Barbor P, Hull D (1982) Unusual injury? Recent injury in
normal children and children with suspected non-accidental injury. Br Med J
(Clin Res Ed) 285: 1399-1401.
14. Rohrich RJ, Adams WP Jr (2000) Nasal fracture management: minimizing
secondary nasal deformities. Plast Reconstr Surg 106: 266-273.
15. Nonato ER, Borges MA (2011) Oral and maxillofacial trauma in patients with
epilepsy: prospective study based on an outpatient population. Arq
Neuropsiquiatr 69: 491-495.
16. Zelken JA, Khalifian S, Mundinger GS, Ha JS, Manson PN, et al. (2014)
Defining predictable patterns of craniomaxillofacial injury in the elderly:
analysis of 1,047 patients. J Oral Maxillofac Surg 72: 352-361.
17. Higuera S, Lee EI, Cole P, Hollier LH Jr, Stal S (2007) Nasal trauma and the
deviated nose. Plast Reconstr Surg 120: 64-75.
18. Wazir S, Khan M, Ud Din Q (2012) Management of a Maxillofacial Trauma
Patient on Warfarin. Pakistan Oral & Dental Journal 32: 36-38.
19. Akdogan Ö, Selçuk A, Gürbüz D, Dere H (2008) Analysis of Simple Nasal
Bone Fracture and the Effect of it on Olfactory Dysfunction. Kbb-Forum 7:
68-70.
20. Park CH, Kwon TK, Lee JH, Hong SJ, Joung HH, et al. (2009)
Endoscopically assisted reduction of nasal bone fractures. Rhinology 47: 301-
304.
21. Bartkiw TP, Pynn BR, Brown DH (1995) Diagnosis and management of
nasal fractures. Int J Trauma Nurs 1: 11-18.
22. Chou C, Chen CW, Wu YC, Chen KK, Lee SS (2014) Refinement treatment
of nasal bone fracture: A 6-year study of 329 patients. Asian J Surg .
23. Mohammadi A, Ghasemi-Rad M (2011) Nasal bone fracture—
ultrasonography or computed tomography? Med Ultrason 13: 292-295.
24. Lee MH, Cha JG, Hong HS, Lee JS, Park SJ, et al. (2009) Comparison of
high-resolution ultrasonography and computed tomography in the diagnosis
of nasal fractures. J Ultrasound Med 28: 717-723.
25. Hwang K, You SH, Kim SG, Lee SI (2006) Analysis of nasal bone fractures;
a six-year study of 503 patients. J Craniofac Surg 17: 261-264.
26. Fernandes SV (2004) Nasal fractures: the taming of the shrewd.
Laryngoscope 114: 587-592.
27. Ziccardi VB, Braidy H (2009) Management of nasal fractures. Oral
Maxillofac Surg Clin North Am 21: 203-208, vi.
28. Waldron J, Mitchell DB, Ford G (1989) Reduction of fractured nasal bones;
local versus general anaesthesia. Clin Otolaryngol Allied Sci 14: 357-359.
29. Crowther JA, O’Donoghue GM (1987) The broken nose: does familiarity
breed neglect? Ann R Coll Surg Engl 69: 259-260.
30. Green KM (2001) Reduction of nasal fractures under local anaesthetic.
Rhinology 39: 43-46.
31. Doyle DE, House LF, Hall WP (1977) Description of a New Device: An
Intranasal Airway/Splint. Laryngoscope 87: 608–612.
32. Fairbanks DN (1986) Complications of nasal packing. Otolaryngol Head
Neck Surg 94: 412-415.
33. Stucker FJ, Ansel DG (1978) A case against nasal packing. Laryngoscope 88:
1314-1317.

Anda mungkin juga menyukai