Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

FRAKTUR NASO-ORBITO-ETHMOID

DISUSUN OLEH :

Andi Wahyuliana Yusuf C014172060


Nurhidayah Hasan C014172062

RESIDEN PEMBIMBING :
dr. Mariska Regina Kaurrany

SUPERVISOR PEMBIMBING :

Prof. Dr. dr. Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L(K),FICS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini menyatakan bahwa:

Andi Wahyuliana Yusuf C014172060


Nurhidayah Hasan C014172062

Judul Referat: Fraktur Naso-Orbito-Ethmoid

Telah menyesaikan tugas Referat dalam rangka Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar, Agustus 2019

Mengetahui,

SUPERVISOR PEMBIMBING RESIDEN PEMBIMBING

(Prof. Dr. dr. Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L(K),FICS) (dr. Mariska Regina Kaurrany)

DAFTAR ISI

i
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB 1. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3
1. ANATOMI....................................................................................................... 3
2. DEFINISI......................................................................................................... 8
3. EPIDEMIOLOGI............................................................................................. 9
4. ETIOPATOGENESIS...................................................................................... 10
5. KLASIFIKASI................................................................................................. 10
6. DIAGNOSIS.................................................................................................... 12
7. TATALAKSANA............................................................................................ 16
8. KOMPLIKASI................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 18

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Trauma wajah (maksilofasial) merupakan kasus yang sering terjadi


yang dapat menimbulkan masalah pada kesehatan dan kehidupan sosial di
masyarakat. Secara topografis, wajah merupakan bagian tubuh yang tidak
terlindungi dan mudah terpapar trauma sehingga cedera wajah merupakan jenis
cedera yang sangat sering dijumpai. Meningkatnya kejadian tersebut
disebabkan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Trauma merupakan urutan
keempat penyebab kematian, dapat terjadi pada semua usia terutama 1-37
tahun. Hampir 50% di Amerika Serikat disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas.Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan
lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olahraga dan trauma akibat senjata api.
Trauma pada wajah sering mengakibatkanterjadinya gangguan saluran
pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap
fragmen tulang dan rasa sakit. [ CITATION Soe122 \l 1033 ]
Fraktur muka dibagi atas fraktur pada organ yang terjadi yaitu:
[ CITATION Aka122 \l 1033 ]
(1) fraktur tulang hidung,
(2) Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma,
(3) Fraktur tulang maksila (midfacial),
(4) Fraktur tulang orbita,
(5) Fraktur tulang mandibula.

Fraktur tulang hidung terdiri dari fraktur hidung sederhana, fraktur


tulang hidung terbuka dan fraktur tulang Naso-Orbito-Ethmoid (NOE)
kompleks. Fraktur NOE merupakan fraktur wajah yang paling sulit didiagnosis
dan diterapi sehingga perlu dilakukan diagnosis dan penatalaksanaan yang
tepat dan adekuat untuk implikasi fungsional dan kepentingan estetika.
[ CITATION Aka122 \l 1033 ]

1
Jika penanganan Fraktur NOE tidak memadai akan mengakibatkan
deformitas sekunder yang sangat sulit (atau tidak mungkin) untuk mengoreksi.
Komplikasi jangka panjang dari fraktur NOE termasuk kebutaan, telecanthus,
enophthalmos, retrusion midface, cairan tulang belakang otak (LCS) fistula,
anosmia, epiphora, sinusitis, dan kelainan hidung. Diagnosis yang akurat dan
pengobatan bedah yang cepat dari fraktur NOE sangat penting untuk
menghindari komplikasi dan mendapatkan hasil bedah estetika.[ CITATION Tol19
\l 1033 ]

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI

Tengkorak disusun dari beberapa tulang yang saling bersendi pada sendi
yang tidak bergerak disebut sutura. Jaringan ikat di antara tulang-tulang disebut
1igamentum suturale. Mandibula merupakan perkecualian dari sistem ini,
karena tulang ini berhubungan dengan cranium melalui articulatio
temporomandibularis yang bergerak.[ CITATION Sne12 \l 1033 ]
Tulang-tulang tengkorak dapat dibedakan dalam cranium dantulang-tulang
wajah. Calvaria adalah bagian atas dari cranium,dan basis cranii adalah bagian
paling bawah dari cranium.[ CITATION Sne12 \l 1033 ]
Cranium terdiri dari tulang-tulang berikut ini, dua diantaranya
berpasangan:[ CITATION Sne12 \l 1033 ]
Os frontale 1
Os parietale 2
Os occipital 1
Os temporale 2
Os sphenoidale 1
Os ethmoidale 1

Tulang-tulang wajah terdiri atas tulang-tulang berikut ini,dua diantaranya


tunggal:[ CITATION Sne12 \l 1033 ]
Os zygomaticum 2
Maxilla 2
Os nasale 2
Os lacrimale 2
Vomer 1
Os palatinum 2
Konka nasalis inferior 2
Mandibula 1

3
Gambar 1. Anatomi tulang maksilofasial[ CITATION Sne12 \l
1033 ]
Os zygomaticum membentuk tonjolan pipi dan sebagian dinding lateral
serta dasar orbita. Di medial bersendi dengan maxilla, dan di lateral dengan
Processus zygomaticus ossis temporalis membentuk arcus zygomaticus. Os
zygomaticum ditembus oleh dua foramen untuk nervus zygomaticofacialis dan
zygomaticotemporalis.[ CITATION Sne12 \l 1033 ]
Kedua maxilla membentuk rahang atas, pars anterior palatum durum,
sebagian dinding lateral cavum nasi, dan sebagian dasar orbita. Kedua tulang
ini bertemu di garis tengah pada sutura intermaxillaris dan membentuk pinggir
bawah apertura nasalis. Di bawah orbita, maxilla ditembus oleh foramen
infraorbitale. Processus alveolaris menonjol ke bawah dan bersama dengan sisi
lainnya membentuk arcus alveolaris, yang menjadi tempat gigigeligi atas. Pada
tiap maxilla terdapat rongga berbentuk pyramid yang dilapisi membrana
mukosa, disebut sinus maxillaris. Rongga ini berhubungan dengan hidung dan
berfungsi sebagai resonator suara.[ CITATION Sne12 \l 1033 ]
Kedua os nasale membentuk batang hidung. Pinggir bawahnya,
bersama dengan maxilla, membentuk apertura nasalis anterior. Cavum nasi
dibagi dua oleh septum nasi, yang sebagian besar dibentuk oleh os vomer.
Konka nasalis superior dan media merupakan tonjolan os ethmoidale pada
setiap sisi ke dalam cavum nasi, sedangkan konka nasalis inferior merupakan
tulang sendiri.[ CITATION Sne12 \l 1033 ]

4
Os lacrimale merupakan tulang yang tipis dan tulang terkecil
pembentuk wajah. Os lacrimale berada di lateral dan posterior os nasale. Os
nasale berisi fossa lacrimale dan saccus lacrimale.[ CITATION Sne12 \l 1033 ]
Os palatinum berbentuk huruf L yang membentuk bagian posterior
palatum durum, bagian dasar dan lateral rongga nasal. Bagian posterior
palatum durum dibentuk oleh lamina horizontal os palatinum. 2
Mandibula, atau rahang bawah, tediri dari corpus yang terletak
horizontal dan dua ramus yang terletak vertikal.[ CITATION Sne12 \l 1033 ]

Gambar 2. Buttress vertical dan horizontal[ CITATION Les18 \l 1033 ]

Konsep buttress mewakili bidang dengan tulang yang lebih kuat yang
mendukung unit fungsional wajah (otot, mata, oklusi gigi, saluran pernafasan)
dalam hubungan yang optimal dan menentukan bentuk wajah dengan
memproyeksikan jaringan lunak diatasnya. Sistem buttress vertikal mempunyai
7 komponen yaitu:[ CITATION Les18 \l 1033 ]

5
a) Di medial, sepasang nasomaksilaris, buttress mulai dari alveolus
maksilaris anterior sampai ke apertura piriformis dan orbita
medial, melewati os nasal dan lakrimal ke os frontal.
b) Pada lateral, sepasang zigomatikomaksilaris, buttress mulai dari
alveolus maksilaris lateral ke maksilaris lateral, malar dari
zigoma kemudian ke superior sepanjang rima orbita lateral ke os
frontal. Buttress ini juga lateral meluas ke os temporal melalui
arkus zigoma.
c) Sepasang pterigomaksilaris, buttress melewati pada posterior
dari maksila ke pterigoid plate dari os spenoid.
d) Garis tengah tulang septum nasi, terdiri dari vomer dan
perpendicular plate dari os etmoid, menghubungkan prosesus
palatin dari maksila ke os frontal.

Buttress horizontal terdiri dari:rima orbita superior, rima orbita inferior,


maksiloalveolar dan palatum, prosesus zigoma os temporal, pinggir sayap os
sfenoid dan pterigoid plate dari sfenoid.[ CITATION Les18 \l 1033 ]

Gambar 3. Tendon kantus medial


Ligamentum medial palpebral (medial canthus tendon [MCT]) adalah
sebuah band berserat yang berfungsi menstabilkan tarsal medial dan
menghubungkan otot orbicularis oculi dan sistem lacrimalis. Tendon medial
canthal bermula dari border plate tarsal upper dan lower medial. Pada bagian
medial, tendon masuk kedalam crest anterior lacrimal dan tulang nasal. Pada
bagian posterior, ligamen berlanjut sebagai lacrimal facia, melalui crest

6
lacrimal posterior. Border inferiornya bebas, sementara border superiornya
berlanjut menuju periosteum medial orbital.[ CITATION Pat16 \l 1033 ]
Kulit wajah dipersarafi oleh cabang-cabang ketiga divisi nervus
trigeminus yang juga merupakan saraf sensoris untuk mulut, gigi, rongga
hidung dan sinus paranasalis. Saraf sensoris wajah terdiri atas nervus
optalmikus, nervus maksilaris dan nervus mandibularis. Nervus fasialis
merupakan saraf untuk mempersarafi semua otot-otot ekspresi wajah. Nervus
fasialis berjalan kedepan di dalam substansi glandula parotidea. Saraf ini
terbagi atas lima cabang terminal yaitu ramus temporalis, ramus zigomatikus,
ramus buccalis, ramus mandibularis, ramus servikalis.[ CITATION Sne12 \l 1033 ]
Wajah menerima pasokan darah yang banyak dari dua pembuluh utama
yaitu arteri fasialis dan arteri temporalis superfisial. Arteri fasialis
dipercabangkan dari arteri karotis eksterna. Arteri temporalis superfisial
bercabang menjadi arteri fasialis transversa. [ CITATION Sne12 \l 1033 ]
Arteria facialis melengkung ke atas dekat dengan permukaan luar
pharynx dan tonsil. Terletak profunda terhadap glandula submandibularis dan
muncul serta melengkung di sekitar pinggir bawah mandibula. Kemudian
pembuluh berjalan ke atas di wajah dekat dengan pinggir anterior musculus
masseter.Kemudianarteria berjalan ke atas di sekitar pinggir lateral mulut dan
berakhir di sudut medial mata. Cabang-cabang arteria facialis mendarahi tonsil,
glandula submandibularis, otot, serta ku1it wajah. [ CITATION Sne12 \l 1033 ]
Arteria temporalis superficialis berjalan ke atas melalui arcus
zygomaticus, di mana pembuluh ini dapat di raba tepat di depan auricula .
Pembuluh ini berjalan bersama dengan nervus auriculotemporalis, dan
menyarafi kulit kepala. Arteria maxillaris berjalan ke depan medial menuju
collum mandibulae dan masuk ke fossa pterygopalatina di tengkorak. Cabang-
cabangnya mempersarafi rahang atas dan bawah, otot-otot pengunyah, hidung,
palatum, dan meningen di dalam tengkorak. Arteria lingualis melengkung ke
atas dan depan, dan memperdarahi lidah. [ CITATION Sne12 \l 1033 ]

7
Vena fasialis menampung darah dari cabang-cabang arteri fasialis.
Bercabang menjadi vena fasialis profunda, vena fasialis transversa dan vena
maksilaris.[ CITATION Sne12 \l 1033 ]

Gambar 4. Arteri utama kepala dan leher


Otot-otot wajah berguna untuk ekspresi wajah, membuka/menutup
mulut, membuka/menutup mata dan lain-lain. Otot-otot wajah tertanam di
dalam fasia superfisialis, dan hampir seluruhnya berorigo pada tulang
maksilofasial dan berinsersio pada kulit. Otot-otot wajah terdiri dari otot-otot
palpebra, otot-otot lubang hidung, otot-otot bibir dan pipi, dan otot-otot
mastikasi.[ CITATION Sne12 \l 1033 ]

2. DEFINISI

Kompleks nasoorbitoethmoid (NOE) mencakup pertemuan sinus frontal,


Sinus ethmoid, fossa kranial anterior, orbit, tulang frontal, dan tulang hidung.

8
Ethmoid mulai terbentuk dari lahir dan komplit pada usia 12 tahun. Fraktur
Naso-Orbito-Ethmoid (NOE) merupakan fraktur wajah yang paling sulit
didiagnosis dan diterapi. Hal ini dikarenakan secara anatomis terdiri dari
beberapa persendian tulang-tulang kecil seperti tulang frontal, nasal, maksilla,
lakrimal, vomer, ethmoid, dan tulang sphenoid. Karena implikasi fungsional
dan estetika dari fraktur NOE, diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dan
adekuat sangat penting untuk menghindari gejala tidak diinginkan yang
seringkali sulit atau kadang-kadang tidak mungkin diperbaiki. [ CITATION
Aka122 \l 1033 ]

3. EPIDEMIOLOGI
Kecelakaan lalu lintas berkontribusi signifikan terhadap kematian dan
morbiditas di seluruh dunia dan dalam jumlah besar di negara berkembang.
Laporan mengungkapkan bahwa 20% hingga 60% merupakan kasus trauma
maksilofasial dari semua cedera akibat kecelakaan lalu lintas jalan, dan 62%
merupakan kecelakaan sepeda motor. Prevalensi cedera maksilofasial
bervariasi dari 17% hingga 69%, hal tersebut mungkin disebabkan oleh
berbagai faktor lingkungan, kondisi sosial ekonomi, alasan budaya, dan
peraturan lalu lintas.[ CITATION Sin16 \l 1033 ]
Pada penelitian yang dilakukan oleh Singaram dkk di Chennai India,
kecelakaan lalu lintas menyumbang 73,8% dari kejadian trauma maksilofasial,
dan kecelakaan motor adalah penyebab utama (90,9%) dalam trauma tersebut. [
CITATION Sin16 \l 1033 ]
Frekuensi lebih tinggi terhadap kejadian trauma maksilofasial di antara
laki-laki dibandingkan dengan perempuan adalah 74,5% (199/267) pada laki-
laki dan 25,5% (68/267) pada perempuan, dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3: 1.[ CITATION Sin16 \l 1033 ]
Meskipun insidens fraktur NOE jarang dilaporkan, tetapi sebagian besar
ahli bedah melaporkan insiden fraktur NOE sekitar 5% dari semua jenis fraktur
tulang kraniofasial. Sedangkan bedah plastic dan THT melaporkan insidens
fraktur NOE lebih tinggi yaitu sekitar lebih dari 10%. [ CITATION Aka122 \l

9
1033 ]Sementara pada anak-anak memiliki insidens lebih tinggi yaitu hampir
15% dari semua jenis fraktur pada wajah. Berdasarkan penelitian, fraktur naso-
orbita-ethmoidal lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
[ CITATION ShM15 \l 1033 ]

4. ETIOPATOGENESIS
Struktur pada naso-orbita-ethmoidal kompleks khususnya pada daerah
medial orbita sangat rentan terhadap terjadinya fraktur. Trauma tumpul atau
penetrasi energy tinggi adalah penyebab paling umum pada fraktur naso-orbita-
ethmoidal. Penyebab lain dapat dikaitkan dengan kelainan anatomi yang
mungkin disebabkan karena penyakit bawaan. Dimana trauma merupakan
etiologi yang paling umum. Fraktur naso-orbita-ethmoidal biasanya terjadi
karena trauma tumpul yang berasal dari kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan industri, kekerasan fisik, dan jatuh dari ketinggian. Penyebab lain
yang relative jarang seperti neoplasma di region naso-orbita-ethmoidal, seperti
neurofibromatosis, fibrous dysplasia, dan retinoblastoma serta kelainan bawaan
seperti facial cleft, hipertelorism, malformasi limpovenous dan ensefalocele
frontoorbital bilateral.[ CITATION ShM15 \l 1033 \m PVa14]
Cedera pada daerah naso-orbito-ethmoid biasanya terjadi karena
mekanisme trauma tumpul hebat yang mengenai aspek sentral dari sebagian
besar midfasial. Kasus trauma yang sering terjadi yaitu kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan kekerasan fisik. Cedera pada daerah naso-orbito-
ethmoid bias juga terjadi akibat dari hantaman benda kecil yang mengenai
midfasial seperti pada beberapa jenis olahraga contohnya olahraga tennis,
hockey dan tinju. [ CITATION Aka122 \l 1033 ]

5. KLASIFIKASI
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi
Markowitz-Manson. Klasifikasi Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe yaitu[
CITATION Win13 \l 1033 ]:

10
a. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.
b. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun
dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk
memungkinkan osteosynthesis.
c. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat
diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya
osteosynthesis atau telah terlepas total.

Meskipun system klasifikasi yang diperkenalkan oleh Markowitz et al.


adalah system yang paling banyak digunakan oleh ahli bedah plastic namun tidak
memperhitungkan perbedaan dalam proporsi midfasial tengkorak dan
pneumatisasi sinus frontal antara anak-anak dan dewasa, sedangkan klasifikasi
Burstein et al. lebih menyeluruh dan lebih detail pada fraktur naso-orbito-ethmoid
pediatric. [ CITATION ShM15 \l 1033 ]
Klasifikasi Burstein[ CITATION ShM15 \l 1033 ]:
a. Terlokalisasi pada superior kompleks NOE dan tulang frontal, serta bagian
medial dari foramen orbital superior
b. Melibatkan setengah dari dinding orbita superior meskipun tidak
melibatkan NOE
c. Bilateral dan melibatkan dinding orbital superior kompleks NOE, dan
tulang frontal bilateral.

11
6. DIAGNOSIS
1 Anamnesa
Dalam anamnesa dokter harus mendapatkan informasi tentang
alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu, dan
peristiwa seputar cedera. Kemudian ada beberapa aspek yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut [ CITATION JFo18 \l 1033 ]:
a. Bagaimana mekanisme cedera?
b. Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan
status mental? Jika demikian, untuk waktu berapa lama?
c. Apakah terdapat gangguan penglihatan? fotofobia, diplopia,
pandangan kabur, nyeri, atau perubahan dengan gerakan mata?
d. Apakah pasien mengalami tinitus atau vertigo?
e. Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung?
f. Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah atau yang jelas
cairan dari hidung atau telinga?
g. Apakah pasien memiliki kesulitan membuka atau menutup mulut?
h. Apakah ada rasa sakit atau kejang otot?
i. Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien
merasa seperti kedudukan gigi tidak normal?
j. Apakah ada daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah?

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah [ CITATION JFo18 \l
1033 ]:
a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
b. Luka tembus.
c. Asimetris atau tidak.
d. Adanya Maloklusi/ trismus, pertumbuhan gigi yang
abnormal.

12
e. Otorea / rhinorea. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
f. Cedera kelopak mata.
g. Ekimosis, epistaksis.
h. Defisit pendengaran.
i. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
b. Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ekimosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka
terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu
kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi
avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah
pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan
zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal,
temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau
enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman
visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran
pupil, bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan
konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia,
ptosis dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya
laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan,
seperti hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan
kerusakan pada kompleks naso-orbita-ethmoid.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal
terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan

13
canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks
naso-orbita-ethmoid yang retak.
10. Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik
terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa
dicurigai gangguan dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung)
atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol
kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan
rhinorrhea cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan
serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum,
perforasi, atau ekimosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau
bengkak. Secara bimanual meraba mandibula, dan memeriksa
tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang
lainnya di sisi tengah hidung.
16. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi
hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
17. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit,
gingival dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
18. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada
pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan
akan mengalami rasa sakit.
19. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi
temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau
ecchymosis.
20. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di
saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka dan

14
menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus
menunjukkan fraktur.
21. Periksa paresthesia atau anestesi saraf [ CITATION JFo18 \l 1033 ]

Tanda dan gejala Fraktur Nasoorbitoethmoid adalah sebagai


berikut[ CITATION Tol19 \l 1033 ]:
1. Laserasi dan pembengkakan pada hidung dan dahi
2. Nyeri mata, dahi dan hidung
3. Parestesia pada dahi
4. Diplopia
5. Telechantus
6. CSF Rinorhea
Pengukuran jarak interkantus >35mm sugestif kearah trauma telekantus,
jika >40mm diagnosis pasti cedera NOE yang melibatkan MCT. Cara terbaik
untuk konfirmasi diagnosis fraktur NOE yaitu dengan pemeriksaan fisis dan
CT scan.[ CITATION ShM15 \l 1033 ] Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan
adanya edema dan ekimosis di daerah periorbital dan hidung. Serta dilakukan
evaluasi jarak interkantus, rounding kantus medial dan kelemahan ligamentum,
kondisi nasofrontal junction dan dorsum nasal, dan penilaian struktur kelopak
mata serta apparatus lakrimalis juga perlu di evaluasi. [ CITATION PVa14 \l 1033 ]
CT scan maksillofasial dengan potongan 1-2 mm dapat memastikan
adanya fraktur midfasial. CT scan 3D lebih membantu dalam mendiagnosis
fraktur NOE dibandingkan CT tradisional 2 dimensi. Regio medial orbita dan
fossa lakrimal adalah dua bidang utama yang dinilai dalam gambar radiografi.
Dari potongan axial dapat memberikan informasi penting tentang fraktur NOE
kompleks serta tingkat gangguan pada tendon kantus medial. Tanda subjektif
pada fraktur NOE adalah edema pada regio kantus medial, obstruksi ductus
nasolacrimal, diplopia, anosmia dan kongesti nasal. Sedangkan tanda objektif
dari fraktur NOE yaitu kemampuan mobilitas regio interkantus pada palpasi,
edema kantus medial, pelebaran nasal bridge, dan telekantus. [ CITATION
ShM15 \l 1033 ]

15
16
7. TATALAKSANA
Untuk kasus cedera berdasarkan acuan ATLS pertama yang dilakukan adalah:
“initialassessment,” yang terdiri dari[ CITATION The18 \l 1033 ]:
1. Preparation
2. Triage
3. Primary survey (ABCDEs) with immediateresuscitation of patients with
life-threatening injuries
4. Adjuncts to the primary survey and resuscitation
5. Consideration of the need for patient transfer
6. Secondary survey (head-to-toe evaluation andpatient history)
7. Adjuncts to the secondary survey
8. Continued postresuscitation monitoringand reevaluation
9. Definitive care

Medikamentosa bertujuan untuk mengurangi morbiditas pada pasien,


dengan pemberian analgetik, antibiotik, dan antiemetik. [ CITATION Sin12 \l 1033
]
Salah satu tujuan dari penatalaksanaan fraktur tulang wajah adalah untuk
memperbaiki penampilan wajah. Tatalaksana fraktur naso-orbito-ethmoid
membantu dalam memperbaik kerusakan estetika dan fungsional. Selain itu,
juga berfungsi untuk mencegah terjadinya cacat sekunder. [ CITATION Sin12 \l
1033 ]
Tindakan penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi
fragmen fraktur, fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi sehingga fragmen
tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan
penyembuhan tulang selesai. Pada teknik tertutup, fiksasi fraktur dan
imobilisasi fraktur dilakukan dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi
maksilomandibular misalnya dengan arch bar atau interdental wiring. Pada
prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan, dan segmen
direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat (wiring)
atau mini plat dan skrup (mini plate).[ CITATION Sin12 \l 1033 ]

17
8. KOMPLIKASI
Fraktur ini dapat menimbulkan komplikasi dan sekuele di kemudian hari.
Komplikasi yang terjadi tersebut ialah [ CITATION Soe122 \l 1033 ]:
1. Komplikasi neurologic
a. Robeknya duramater
b. Keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya
meningitis
c. Pneumoensefal
d. Laserasi otak
e. Avulsi dari nervus olfaktorius
f. Hematoma epidural dan subdural
g. Kontusio otak dan nekrosis otak
2. Komplikasi pada mata
a. Telekantus traumatika
b. Hematoma pada mata
c. Kerusakan nervus optikus yang mungkin menyebabkan kebutaan
d. Epifora
e. Ptosis
f. Kerusakan bola mata
3. Komplikasi pada hidung
a. Perubahan bentuk hidung
b. Obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh trauma, dislokasi,
atau hematoma pada septum
c. Gangguan penciuman (hiposmia/anosmia)
d. Epistaksis posterior yang hebat yang disebabkan oleh robeknya
artei eitmoidalis
e. Kerusakan ductus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis
frontal atau mukokel

18
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. BUKU AJAR : Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 7th ed. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.


2. Akadiri OA. Naso-Orbito-Ethmoid Fractures: Perspective and Practice of

Nigerian Surgeons. Annals of Ibadan Postgraduate Medicine. 2012

December; 10.
3. Tollefson TT. Nasoorbitoethmoid Fractures. 2019 Juny 26.
4. Snell RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem Suwajo A, Liestyawan YA,

editors. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2012.


5. Lestari DY, Hafiz A, Huriyati E. Diagnosis dan Penatalaksanaan Fraktur Le

Fort I-II disertai Fraktur Palatoalveolar Sederhana. Jurnal Kesehatan

Andalas. 2018;: p. 78-84.


6. Patel BCK. Eyelid Anatomy. 2016 Juni 30.
7. Singaram M, G VS, Udhayakumar RK. Prevalence, pattern, etiology, and

management of maxillofacial trauma in a developing country: a

retrospective study. 2016; 42: p. 174-181.


8. Sh ME, Shahnaseri S, Soltani P, Motamedi MRK. Management of Naso-

Orbito-Ethmoid Fracturea: A 10-Year Review. 2015.


9. P VM, L.K SK, Khalam SA. Naso-Orbito-Eitmoid Fractures: An Overview.

2014; 2(2).
10. J. FR. Oral and Maxillofacial Surgery. 3rd ed. China: Elsevier; 2018.
11. Winegar BA, Murillo H, Tantiwongkosi B. Spectrum of Critical Imaging

Finding in Complex Facial Skeletal Trauma. 2013; 33: p. 3-19.


12. Trauma TCo. Advanced Trauma Life Support. In Merrick C, editor.. America:

American College of Surgeons; 2018.


13. Singh V, Malkunje L, Mohammad S, Singh N, Dhasmana S, Das SK. The

Maxillofacial Injuries: A Study. National Journal of Maxillofacial Surgery.

19
2012 Jul-Dec; 3(2): p. 166-171.

20

Anda mungkin juga menyukai