Fraktur Os Nasal
Disusun Oleh:
Nurul Azizah
N 111 20 008
Pembimbing Klinik:
dr. Fatmawati Arsyad Said, M.Kes., Sp.THT-KL
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Tadulako
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako
Palu,
Februari 2022
Pembimbing Co-Assisten
ii
dr. Fatmawati Arsyad Said, M.Kes., Sp.THT-KL Nurul Azizah
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
BAB II ANATOMI
A. Anatomi Hidung ................................................................................................3
B. Histologi Hidung...............................................................................................12
C. Fisiologi Hidung................................................................................................14
BAB III FRAKTUR NASAL
A. Definisi..............................................................................................................16
B. Epidemiologi.....................................................................................................16
C. Etiologi..............................................................................................................16
D. Patofisiologi.......................................................................................................16
E. Klasifikasi..........................................................................................................17
F. Diagnosis...........................................................................................................19
G. Penatalaksanaan.................................................................................................25
H. Komplikasi.........................................................................................................34
I. Prognosis...........................................................................................................34
ALGORITMA FRAKTUR NASAL................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................35
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Hidung merupakan salah satu bagian yang paling menonjol pada wajah
sehingga cenderung mudah untuk mengalami cedera jaringan lunak maupun
fraktur. Fraktur nasal adalah fraktur yang paling sering terjadi pada fraktur kepala
leher dan menempati urutan ketiga dari seluruh fraktur tubuh manusia. Fraktur
nasal umumnya tidak mengancam jiwa, tetapi apabila penanganannya tidak tepat
dapat menimbulkan gangguan fungsi hidung dan kosmetik.1,2
Insidens fraktur nasal sangat tinggi, dan meningkat seiring bertambahnya
usia. Jarang terjadi pada pada anak usia kurang dari 5 tahun. Kasus yang
dilaporkan pada dewasa sekitar 39-45% sedangkan pada remaja sekitar 45%.
Insidens fraktur nasal pada pria 2-3 kali lebih banyak dibandingkan pada wanita.
Puncak insidens fraktur nasal terjadi pada usia dekade kedua sampai tiga.2
Fraktur hidung sering tidak terdiagnosis dan tidak mendapat penanganan
karena pada beberapa pasien sering tidak menunjukkan gejala klinis. Jenis fraktur
hidung bergantung arah benturan dan pukulan yang mengenai hidung. Fraktur
hidung pada orang dewasa banyak ditemukan pada kasus trauma akibat olahraga,
jatuh, perkelahian, kekerasan, kecelakaan lalu lintas, dan kecelakaan bekerja.3
Fraktur nasal jarang menimbulkan komplikasi yang berat, tetapi apabila
dalam menegakkan diagnosis dan penanganannya tidak adekuat maka dalam
jangka panjang dapat menimbulkan masalah yang serius. Komplikasi jangka
panjang dapat berupa deformitas hidung, obstruksi hidung, perforasi septum dan
komplikasi lain seperti sinusitis kronis. Hal tersebut dapat menetap atau makin
memburuk dalam beberapa bulan atau tahun setelah terjadinya trauma. 2
Penatalaksanaan fraktur os nasal dapat dilakukan dengan reposisi tertutup dan
reposisi terbuka. Indikasi operasi untuk fraktur os nasal adalah karena adanya
kelainan fungsi dan kosmetik.4
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat macam-macam bentuk
hidung yang terdiri dari leptorrhine (menyempit), mesorrhine (berhidung sedang)
1
atau platyrrhine (berhidung lebar). Jenis hidung leptorrhine, mesorrhine dan
platyrrhine umumnya terkait dengan ras kaukasia, asia dan afrika.5
2
BAB II
ANATOMI
A. ANATOMI HIDUNG
1) Kerangka Hidung
a) Hidung luar
- Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dan bibir
atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu : Kubah
tulang, yaitu bagian paling atas yang tidak dapat digerakkan.
- Kubah kartilago, bagian di tengah, yaitu bagian yang dapat sedikit
digerakkan.
- Lobulus hidung, bagian paling bawah, merupakan bagian yang paling
mudah digerakkan.
3
septum mengapit kedua lubang hidung luar. Bagian hidung yang
berhubungan dengan luar disebut nares anterior, dan bagian yang
berhubungan dengan belakang disebut nares posterior. Ukuran nares
posterior lebih besar dari pada nares anterior, yaitu : tinggi 2,5 cm dan
lebar 1,25 cm. Hubungan antara dorsum dengan puncak hidung
menentukan bentuk hidung luar, bila bentuk lurus disebut tipe Grecian
nose, yang membentuk sudut disebut tipe Roman nose, dan yang
melekuk/pesek dinamakan tipe Pug nose. Variasi dari tipe hidung ini
bersifat individual dan familial. Sedangkan perbandingan lebar kedua ala
dengan panjang hidung, kemudian dikalikan 100 disebut Nasal Indeks.
Bila < 47 disebut hidung sempit (lephtorhine), biasanya pada ras kulit
putih. Bila nasal indek > 35 disebut Platyrhine, biasanya pada ras kulit
hitam dan diantara keduanya disebut Messorrhine (intermediate), yang
terdapat pada ras kulit kuning. Pada kulit hidung dijumpai kelenjar lemak
(glandula sebasea) dan kelenjar keringat (glandula sudorifera), ke arah tip
kulit lebih tebal dan banyak mengandung kelenjar lemak serta lebih erat
berhubungan dengan kartulago hidung bila dibandingkan dengan kulit
diatasnya. Pada daerah rhinnion, kulit diatasnya lebih tipis.
Beberapa istilah yang berhubungan dengan hidung luar :
- Rhinion adalah ujung bawah dari sutura diantara os nasal
- Nasion titik pertemuan sutura frontonasalis
- Supra tip adalah daerah pada dorsum nasi antara rhinion dan tip.
- Filtrum adalah cekungan dangkal hidung dan bibir atas yang
memanjang.
4
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), dan tepi
anterior kartilago septum.7
5
Gambar 4. Kerangka tulang dan kartilago septum Nasi.7
2) Cavum nasi
Cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 7
1. Vestibulum
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi
oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-
rambut panjang yang disebut vibrissae.7 Bagian paling depan rongga
hidung adalah vestibulum yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng
berkeratin. Di dalam vestibulum, terdapat kelenjar keringat, kelenjar
sebasea, dan bulu-bulu hidung yang disebut vibrissae. Vibrissae ini
berperan dalam penyaringan pertikel-partikel yang berukuran besar
pada udara inspirasi.5
2. Dinding Lateral
Dinding lateral kavitas nasi tidak rata karena adanya tiga tonjolan
yang berbentuk seperti gulungan, yakni konka nasalis. Konka nasalis
superior, konka nasalis media dan konka nasalis inferior membagi rongga
hidung menjadi empat lorong : meatus nasalis superior, meatus nasalis
media, meatus nasalis inferior dan hiatus seminularis.7
6
a Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ;
celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di
sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang
didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka
suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os
etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maksila bagian superior dan palatum.5
b Meatus Superior
Meatus superior sebuah lorong yang sempit antara konka nasalis
superior dan konka nasalis media dan merupakan tempat bermuaranya
sinus etmoidalis superior. Meatus nasi media berukuran lebih panjang dan
lebih luas daripada yang atas. Bagian antero superiornya berhubungan
dengan sebuah lubang yang berbentuk corong, yakni infundibulum yang
merupakan jalan pengantar ke sinus frontalis. Hubungan dari masing-
masing sinus frontalis ke infundibulum melalui duktus frontonasalis.
Sinus maksilaris juga bermuara ke meatus nasalis media.7
c Meatus Media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di
balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan
sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus
frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
7
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara
di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara
sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadangkadang duktus
nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.5
d Meatus Inferior
Meatus nasi inferior adalah sebuah lorong horinsontal yang terletak
inferolateral terhadap konka nasalis inferior. Duktus nasolakrimalis
bermuara dibagian anterior meatus nasalis inferior. hiatus seminularis
merupakan sebuah alur yang berbentuk setengah lingkaran dan
merupakan muara sinus frontalis. Bulla ethmoidalis adalah sebuah
tonjolan yang membulat disebelah superior hiatus seminularis dan baru
terlihat setelah konka media disingkarkan.7
3. Dinding medial
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer,
krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah
kartilago septum (lamina kuadrangularis) , kolumela7
Septum nasi terletak pada tulang penyangga yang terdiri dari (ventral ke
dorsal) spina nasal anterior, premaksilla, dan vomer. Pada bagian kaudal, kartilago
septum nasi bebas bergerak dan berhubungan dengan kolumela oleh membran
septum nasi. Pada bagian dorsal bersatu dengan lamina perpendikularis os
ethmoid. Pada bagian Ventral, berhubungan dengan dua kartilago triangularis
(kartilago lateral atas), dan bersama-sama membentuk kartilago vault dan batang
hidung.3,4
8
Gambar 5. Tulang penyusun dan kartilago septum
9
Gambar 7. Dinding lateral cavum nasi kanan
10
Gambar 9. Otot hidung10
11
Gambar 10. Kompleks osteomeatal
4) Vaskularisasi hidung
Bagian anterosuperior septum nasi dan dinding lateral memperoleh
perdarahan dari arteri ethmoidalis anterior dan posterior, sedangkan bagian
posteroinferior septum nasi memperoleh dari arteri sfenopalatina dan arteri
maksilaris interna.3,4
12
Pada bagian kaudal septum nasi terdapat pleksus Kiesselbach yang terletak
tepat di belakang vestibulum. Pleksus ini merupakan anastomosis dari arteri
sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri palatina mayor. Area ini paling
sering menjadi sumber perdarahan atau epistaksis.3,4
Aliran darah balik dari hidung dialirkan melalui pembuluh v. etmoidalis
anterior dan posterior menuju v. sfenopalatina lalu ke pleksus Pterygoideus dalam
fossa infratemporalis yang akhirnya bermuara pada sinus kavernosus.
Karakteristik vena yang tidak memiliki katup merupakan salah satu hal yang dapat
meningkatkan risiko penyebaran infeksi ke intra kranial.3,4
13
atas ujung posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun
dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
6) Bentuk Dan Ukuran Hidung
a. Hidung Orang Latin
umumnya lebih l ebar dan pendek dari pada Kaukasia.
Dorsum nasi cenderung berpunuk, kolumela lebih pendek, ala nasi
lebih tebal, tip hidung yang bulat kulit yang lebih tebal, lubang
hidung yang lebih horizonta
b. Hidung Orang Asia
Antara wanita Korea yang menarik dan wanita Amerika Ut
ara, didapatkan hasil yang hampir sama, dalam hal panj ang hidung,
proyeksi puncak hidung, panjang wajah bawah, lebar pangkal
hidung, ketebalan ala dan sudut nasofasial. Pada orang Cina
perbandingan ala-ala de ngan nasion–pronasion lebih besar, dorsum
nasi yang lurus sedangkan sudut nasomental dan nasofasial hampir
mendekati angka ideal kaukasia. Namu n sudut nasofrontal pada
orang Cina umumnya lebih besar. Hidung oriental lebih lebar pada
dasar tulangnya, sudut nasolabial pada pria Oriental lebih kecil
dibandingkan Kaukasia
c. Hidung Orang Afrika
Pada pengukuran antropometri tampak bahwa be ntuk hidung
kelompok Afrika terpendek dan terlebar, Afro I ndian terpanjang
dan Afrokaukasia di tengahnya. Perbedaan yang pali ng besar antara
pria Afri ka Amerika dan Pria Amerika Utara adalah panjang hidung
yang lebih pendek (n-sn), jarak antara ala yang lebih lebar (al-al),
protusion puncak hidung lebih pendek (sn-prn), pangkal
hidung lebih lebar (mf-mf), kolumela lebih pendek, sudut nasolabial
lebih tajam, dan sudut nasofrontal lebih landai. Disimpulkan bahwa
14
penggunaan standard data analisis pria Kaukasia bagi pria Afrika
Amerika tidak tepat
B. Histologi
Rongga hidung dilapasi oleh mukosa yang secara histologik dan
fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiraktorik) dan
mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel
kolumner berlapis semu yang memeliki silia (cillated pseudostratifiet
collumner epithelium) dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.11
Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Di bawah epitel terdapat lamina proparia yang banyak
mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.11
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi
akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai
daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan
benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi
silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat –
obatan.11
15
Gambar 15. Mukosa respiratorik11
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga atas septum. Mukosannya dilapisi epitel kolumner berlapis semu yang
tidak bersilia (pseudostratified colummer non ciliated ephetlium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penyokong, sel basal, dan sel olfaktorius
neuroepitel. Permukaan apikalis sel olfaktorius mengandung mikrovili non-motil
halus yang terjulur ke dalam mukus yang menutupi epitel, dari basis sel
olfaktorius tidak bermielin atau filia olfaktoria. Saraf olfaktorius meniggalkan
rongga hidung dan masuk ke dalam bulbus olfaktorius di dasar otak.11
16
C. Fisiologi Hidung
Hidung memiliki fungsi fisiologis respirasi (mengatur kondisi udara,
penyaring udara, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal), fungsi penghidu, fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang, fungsi statik dan mekanik unutk meringankan kepala, proteksi terhadap
trauma, dan pelindung panas, serta fungsi refleks nasal.11
a. Fungsi respirasi
Udara insiprasi masuk kehidung menuju sistem respiras melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudia turun
kebawah ke arah nasofaring, aliran udara dihidung ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami
humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara melalui hidung diatur
sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembulu darah dibawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas.11
Pertikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara
akan di saring dihidung oleh: 1) rambut (vibrissae) pada vestibulum, 2)
silia, dan 3) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.11
b. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengna pallut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.11
c. Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi
berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata-kata dibentuk
oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal
17
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk
aliran udara.11
d. Fungsi statistik dan mekanik
Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas
e. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubngan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Iritasi mukosa
hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti.
Rangsangan bau tertentu akan menyababkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.11
BAB III
Fraktur Nasal
A. Definisi
18
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh
rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan
krepitasi disebabkan oleh ruda paksa. Fraktur hidung adalah setiap retakan atau
patah yang terjadi pada bagian tulang hidung.2,4
B. Epidemiologi
Fraktur os nasal merupakan kasus trauma terbanyak pada wajah dan
merupakan merupakan kasus fraktur ketiga terbanyak di seluruh tulang-tulang di
tubuh manusia. Insidens fraktur nasal di Amerika kira-kira 51.200 kasus pertahun,
walapun angka ini dapat lebih tinggi karena banyak pasien tidak datang untuk
berobat dan kasus tidak dilaporkan. Fraktur os nasal banyak terjadi pada usia 15-
40 tahun dan lebih banyak terjadi pada laki-laki. Perbandingan angka kejadian
fraktur os nasal antara laki-laki dan perempuan 2:1. Fraktur os nasal pada dewasa
dilaporkan terjadi karena kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan
berolahraga, dan pertengkaran.4
C. Etiologi
Penyebab fraktur hidung berkaitan dengan trauma langsung pada hidung
atau wajah. Hanya sedikit kekuatan benturan yang diperlukan untuk dapat
menimbulkan fraktur hidung. Fraktur hidung paling sering terjadi pada dewasa, di
daerah perkotaan biasanya terjadi pada perkelahian, olahraga, dan kecelakaan lalu
lintas sedangkan daerah pedesaan biasanya terjadi akibat kecelakaan bekerja.
Kekerasan fisik pada perempuan dapat juga dipertimbangkan.3
D. Patofisiologi
Tipe dan berat-ringannya fraktur nasal tergantung pada kekuatan, arah, jenis
dan mekanisme trauma. Objek yang kecil dengan kecepatan tinggi akan
menimbulkan kerusakan yang hebat dibandingkan dengan objek besar tapi
kecepatan rendah. Tulang hidung dan kartilago rentan untuk mengalami
fraktur karena hidung letaknya menonjol dan merupakan bagian sentral
dari wajah, sehingga kurang kuat menghadapi tekanan dari luar. Pola
fraktur yang diketahui beragam tergantung pada kuatnya objek yang
menghantam dan kerasnya tulang. Seperti dengan fraktur wajah yang lain,
pasien muda cenderung mengalami fraktur kominunitiva septum nasal
19
dibandingkan dengan pasien dewasa yang kebanyakan frakturnya lebih
kompleks.5
Daerah terlemah dari hidung adalah kerangka kartilago dan pertemuan
antara kartilago lateral bagian atas dengan tulang dan kartilago septum
pada krista maksilaris. Daerah terlemah merupakan tempat yang tersering
mengalami fraktur atau dislokasi pada fraktur nasal. 5 Kekuatan yang besar
dari berbagai arah akan menyebabkan tulang hidung remuk yang ditandai
dengan deformitas bentuk C pada septum nasal. Deformitas bentuk C
biasanya dimulai di bagian bawah dorsum nasal dan meluas ke
posterior dan inferior sekitar lamina perpendikularis os ethmoid dan
berakhir di lengkung anterior pada kartilago septum kira-kira 1 cm di atas
krista maksilaris. Kebanyakan deviasi akibat fraktur nasal meliputi juga
fraktur pada kartilago septum nasal.3,5
E. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur nasal sangat penting untuk menentukan rencana
penanganan fraktur nasal. Banyak klasifikasi fraktur nasal yang pernah dibuat
sebelumnya. Murray dkk menjelaskan klasifikasi fraktur nasal berdasarkan
keriteria patologi yang ditimbulkan. Murray juga mengatakan bahwa deviasi nasal
ke lateral lebih dari setengah dari lebar hidung mengindikasikan adanya
keterlibatan cedera pada septum.2
20
Gambar 18. Klasifikasi fraktur nasal berdasarkan Murray
21
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari
tulang hidung tersebut disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga
hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk
diperbaiki atau dorekonstruksi pada saat tindakan.4
G. Diagnosis
Diagnosis fraktur nasal berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dilakukan secara cermat, hal ini penting
karena sangat menentukan dalam menegakan diagnosis fraktur nasal dan
penanganan yang tepat sehingga komplikasi jangka panjang dapat dihindari.
Adanya edema nasal, laserasi, ekimosis periorbital, perlunakan nasal, deformitas
nasal, krepitasi, hematom, obstruksi nasal, kerusakan mukosa dan epistaksis
makin menyokong dugaan terjadinya fraktur nasal.2 Diagnosis dibuat berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologi
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma. Mekanisme terjadinya
cedera harus dipahami dengan benar karena dapat memperkirakan derajat
berat ringannya cedera. Anamnesis yang lengkap meliputi usia penderita,
mekanisme, arah, kekuatan, lokasi, dan waktu terjadinya trauma. Perlu
ditanyakan pula apakah fraktur nasal terjadi karena kecelakaan bermotor,
perkelahian dengan atau tanpa senjata, atau karena terjatuh. Waktu terjadinya
22
cedera, penting untuk ditanyakan. Hal ini berkaitan dengan prosedur
penatalaksanaan dan prognosis hasil pengobatan. Perlu ditanyakan juga
riwayat medis sebelumnya apakah pernah mengalami fraktur sebelumnya atau
pernah menjalani operasi hidung sebelumnya. Keluhan utama fraktur hidung
adalah rasa nyeri di hidung setelah cedera, hidung tersumbat, keluar darah dari
hidung, dan edema atau hematoma di hidung dan sekitarnya.. 2,4
b. Pemeriksaan fisik
Setelah memastikan kondisi pasien stabil, airway bebas dan ventilasi
adekuat maka pemeriksaan fisik dapat dilakukan. Pemeriksaan tidak boleh
terfokus hanya pada hidung saja, terutama apabila penyebab traumanya hebat
seperti pada kecelakaan bermotor. Hal ini disebabkan karena pada trauma
hebat, fraktur nasal sering disertai cedera kepala-leher yang dapat
membahayakan patensi trakea. Pemeriksaan fisik terdiri:
a. Inspeksi :
1. Laserasi mukosa nasal
2. Epitaksis
3. Edema yang terjadi dalam waktu singkat atau beberapa jam setelah
trauma
4. Ekimosis pada jaringan hidung
5. Deformitas hidung
6. Bekuan darah
7. Deformitas septum hidung.
8. Pada pasien dengan hematoma septum tampak area berwarna putih
mengkilat atau ungu yang nampak berubah pada satu atau kedua sisi.3
23
sedangkan deformitas yang terjadi sebelum trauma
sering menyebabkan kekeliruan pada trauma baru.
b. Palpasi :
1. Pada saat dilakukan palpasi terdapat krepitasi pada hidung
2. Teraba lekukan hidung tulang hidung irreguler
3. Pada saat dlkukan palapsi terdapat nyeri tekan pada daerah hidung
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Dalam kasus dengan jumlah perdarahan dengan jumlah yang
signifikan perdarahan atau pasien mungkin memerlukan intervensi
operasi, tes darah berikut harus diperoleh :
a Sel darah lengkap (CBC) : Untuk memeriksa hemoglobin dan platelet
b Pemeriksaan koagulasi (PT/APTT)
c Golongan darah apabila dibutuhkan transfusi darah
2. Radiologi :
24
1) Foto Polos Kepala yang terdiri dari :
a X-ray posisi waters
Posisi water (oksipitomental) mungkin merupakan posisi
terbaik untuk mengamati fraktur fasial secara keseluruhan. Gambar
diambil pada posisi posteroanterior dengan linea canthomeatal pada
sudut membentuk 37 derajat relatif pada permukaan fillm. Dengan
posisi ini dapat dilihat orbita, maksila, arkus zigomatikum, pyramid
dorsalis, dinding lateral nasal, dan septum. Tanda-tanda keelainan yang
dapat dilihat berupa abnormalitas nasal dan arkus adanya deviasi,
perpindahan posisi dengan angulasi tajam dan pembengkakan jaringan
lunak merupakan tanda terjadinya fraktur. Pada posisi waters juga
dapat memperlihatkan simetris atau tidak simetrisnya tulang wajah,
pergeseran dari prosessus frontalis maksila, pergeseran tulang rawan
septal, dan fraktur orbita.3
a baa
25
Gambar 22. Gambar (a) foto polos kepala AP. (b) foto polos
kepala lateral
2) CT-Scan Kepala
Ct scan diindikasikan apabila dicurigai terjadi fraktur NOE (naso orbito
etmoida) untuk menyingkirkan terjadinya trauma intrakranial dan fraktur
periorbital. CT scan juga diindikasikan bila ditemukan CSF rhinorrea,
abnormalitas pergerakan ekstraokular atau maloklusi. Ct scan dapat membantu
dalam karakterisasi deviasi septum khususnya etmoid posterior.3
Saat ini standar pemeriksaan radiografi sebagai penunjang dalam
penegakan diagnosis pada kasus trauma maksilofasial pada bagian tengah
sampai bagian atas adalah pemeriksaan CT-Scan tanpa menggunakan media
kontras.
Penilaian pada pemeriksaan CT-Scan ini dapat dilakukan pada
potongan aksial maupun potongan koronal dari kepala pasien. Pada
pemeriksaan ini, dapat diperoleh berbagai informasi diantaranya cedera tulang
nasal, deviasi septum nasi, dan fraktur pada tulang hidung yang dapat terlihat
dengan jelas. Selain itu luas, dan derajat trauma, serta kondisi dari jaringan di
sekitar daerah cedera dapat dinilai pada pemeriksaan ini.3
26
Gambar 23. CT-Scan kepala potongan koronal axial dan
sagital
I. Penatalaksanaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi
epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi, dan mencegah berulangnya epistaksis. Menghentikan
perdarahan dapat dilakukan dengan penekanan langsung pada
ala nasi, kauterisasi,
pemasangan tampon hidung (anterior dan posterior),
ligasi arteri dan embolisasi. Pencegahan terhadap
terjadinya komplikasi dapat dilakukan dengan:
mengatasi dampak darai perdarahan yang banyak.
Salah satu yang dilakukan adalah; pemberian infus
atau transfusi darah
1. Menghentikan Perdarahan
Penekanan Langsung Pada Ala Nasi
Penanganan pertama dimulai dengan penekanan
langsung ala nasi kiri dan kanan bersamaan selama
27
5 – 30 menit. Setiap 5 – 10 menit sekali dievaluasi
apakah perdarahan telah terkontrol atau belum.
2. Kauterisasi
Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach
dapat ditangani dengan kauteriasi kimia Perak Nitrat
30%, Asam Triklorasetat 30%, atau Polikresulen pada
pembuluh darah yang mengalami perdarahan selama
2 – 3 detik.
3. Tampon Hidung
Tampon hidung dapat digunakan untuk
menangani epistaksis yang tidak responsif terhadap
kauterisasi. Terdapat dua tipe tampon, tampon
anterior dan tampon posterior. Pada keduanya,
dibutuhkan anestesi dan vasokonstriksi yang
adekuat
4. Ligasi Arteri
Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi
bergantung pada lokasi epistaksis. Secara umum,
semakin dekat ligasi ke lokasi perdarahan, maka
kontrol perdarahan semakin efektif. Pembuluh darah
28
yang dipilih antara lain : arteri karotis eksterna, arteri
maksila interna atau arteri etmoidalis.4
5. Embolisasi
Perdarahan yang berasal dari sistem arteri
karotis eksterna dapat diembolisasi. Dilakukan
angiografi preembolisasi untuk mengevaluasi sistem
arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna.
Embolisasi dilakukan pada arteri maxilaris interna
dan externa. Angiografi postembolisasi dapat
digunakan untuk menilai tingkat oklus
6. Mencegah Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari
epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha
penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan
yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam
saluran napas bawah, syok, anemia, dan gagal
ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak
dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia
serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard
sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam
hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus
dilakukan segera
Tujuan dari penatalaksanaan fraktur hidung:
1. Mengembalikan penampilan hidung
2. Mengembalikan patensi jalan nafas
3. Menempatkan septum pada garis tengah
4. Menjaga keutuhan rongga hidung
29
5. Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela,
dan perubahan bentuk pada hidung
Dalam penatalaksanaan trauma tetap memegang prinsip survey primer:
1. Airway (jalan napas) dan kontrol C-Spine
2. Breathing (pernafasan) dan Ventilasi
3. Sirkulasi dan kontrol perdarahan
4. Disabilitas
5. Exposure (paparan)
30
6. Sekulum hidung pendek dan spekulum hidung panjang (Killian)
7. Pinset bayonet.
8. Epinefrine
9. Dispo 10 cc
10. Lidokain 2%
31
Forcep Walsham atau Asch dapat digunakan untuk reposisi fraktur nasal
atau dislokasi septum. Deformitas hidung akibat fraktur direduksi dengan forsep
walsham penggunaanya satu sisi dimasukkan dalam kavum nasi dan sisi lain di
luar hidung diatas kulit yang dilindungi dengan karet. Tindakan manipulasi
dilakukan dengan kontrol palpasi jari. Jika terdapat deviasi piramid hidung karena
dislokasi tulang hidung dengan forsep ash digunakan dengan cara memasukkan
masing-masing bilah ke dalam kedua rongga hidung sambil menekan septum
dengan kedua sisi forsep. Kelemahan dari penggunaan instrumen ini yaitu dapat
merusak mukosa hidung diantara gigi forceps sehingga dapat menimbulkan
hematom.4,5
32
Kemudian pada septum nasi dilakukan reposisi dengan tenaga yang terkontrol
menggunakan forsep Asch agar septum pada posisi anatomi. Forsep walsham
digunakan untuk mengarahkan dan menggerakkan tulang hidung. Sedangkan
forcep ash untuk meluruhkan dorsum hidung dan hidung septum.
5. Setelah dilakukan reduksi dapat dilalukan pemasangan tampon dalam rongga
hidung untuk menghindari terjadinya kolaps setelah reduksi tertutup serta
menunjang struktur yang fraktur secara internal. Tampon dilumuri dengan
salep antibiotika dan dibuka setelah 2-5 hari. Fiksasi luar atau gips dilakukan
dengan menggunakan beberapa lapis gips yag dibentuk seperti huruf “T” dan
dipertahankan hingga 10-14 hari. Sementara itu penderita dapat diberikan
antibiotik dan analgetik oral, pasien dapat rawat jalan. Bidai sepotong pelat
logam lunak berbentuk seperti jam pasir yang dibengkokan sehingga bagian
bawah sesuai dengan bentuk hidung dan bagian atasnya sebagian kecil dari
pelat timah berada pada dahi. Bidai membentuk hidung dan meratakan
tekanan di segala sisi, melawan kekuatan yang timbul pada bagian lateral
hidung pada titik tertentu yang diinginkan, dan tekanan sedang digunakan
untuk imobilisasi fraktur hidung. Bidai hidung ditahan oleh plester adesif
berbentuk huruf “T” yang melintasi dahi di bagian atas dan plester di bagian
bawah menahan hidung. 12 Batang horizontal dari bidai tidak dilapisi oleh
pelat timah tetapi tetap terbuka sebagai persendian yang dapat dibentuk
dengan bebas dan tetap berada diposisinya pada kanan atau kiri garis tengah
hidung. Batang vertikal mencapai bagian bawah dan dilapisi tipis oleh pelat
timah yang berguna untuk melawan tekanan dari samping hidung. Perban
elastis dipasang untuk melawan tekanan dari samping hidung. Tekanan kuat
pada hidung berguna untuk mempertahankan posisi hidung agar berada pada
posisi anatomis. Fiksasi ini bertujuan untuk mempertahankan posisi fraktur
setelah dilakukan reposisi.4,5,15
33
Gambar 26. Reduksi tertutup menggunakan elevator
boies.15
34
Gambar 27. Reduski tertutup menggunakan forceps
Walsham dan forceps Ash
35
Gambar 29. Teknik insisi dengan reduksi terbuka pada fraktur os
nasal.
36
Gambar 30. Operasi septorhinoplasty16
J. Diagnosis Banding
1) Abses septum
Nasal septal abses (NSA) biasanya mengikuti trauma yang cukup
signifikan untuk menyebabkan hematoma septum. Hematoma akhirnya
bisa terinfeksi dan hasilnya menyebabkan abses local. Pada pemeriksaan,
ditemukan pembengkakan fusiform pada rinoskopi anterior yang tampak
bilateral di sepanjang septum, berfluktuasi di kedua sisi, dan
mengakibatkan obliterasi jalan napas hidung
37
2) Vestibulitis Nasal
Vestibulitis merupakan infeksi bakteri akut yang disebabkan oleh
bakteri Staphylococcus aureus. Infeksi kulit pada vestibulum hidung
dikenal sebagai nasal vestibulitis. Bisa bersifat sekunder terjadi akibat
rinore terus - menerus, atau infeksi bakteri dan virus seperti herpes
simpleks dan herpes zoster. Benda asing sering menyebabkan vestibulitis
pada anak-anak berupa discharge purulent.
K. Komplikasi
Hematoma septum merupakan komplikasi awal yang sering dari
trauma hidung, ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang
subperikondrial yang akan menekan kartilago di bawahnya dan
mengakibatkan nekrosis septum. Prosedur yang harus dilakukan adalah
insisi dan drainase segera disertai dengan pemberian antibiotika setelah
drainase. Komplikasi lainnya edema, ekimosis, epistaksis selalu terjadi
spontan, cairan rinorea serebrospinal, deformitas hidung, obstruksi rongga
hidung, gangguan penciuman (hiposmia atau anosmia), kerusakan duktus
nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis frontalis dan saddle nose3,4
K. Prognosis
38
DAFTAR PUSTAKA
39
11. Soepardi, E.A.S., Iskandar, N., Bashiruddin, J., and Restuti, R.D. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Jakarta : Badan Pnerbit FKUI. 2012
12. Soepardi, E.A.S., Iskandar, N., Bashiruddin, J., and Restuti, R.D. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Jakarta : Badan Pnerbit FKUI. 2017
13. R.Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Fraktur Tulang
Hidung. Edisi Ke-4 Volume 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2017
14. Punagi, QA. PenatalaksanaanFraktur Os Nasal. Jurnal Kedokteran
Universitas Hasanudin Makassar: Departemen Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan-Bedah Kepala Leher. 2011
15. David Kriet. Corection of Nasal Fractures. Department of
Otolaryngology–Head and Neck Surgery University of Kansas Medical
Center. 2017
16. Kadakia Sameep, Ducic. Nasal Fractures: The Role of Primary Reduction
and Secondary Revision. Department of Otolaryngology, University of
Rochester Medical Center Rochester New York. 2019
40