Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

FRAKTUR OS
NASAL

Disusun oleh :
Fitri Syawalia Anzali 112021235

Pembimbing :
dr. Asnominanda, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN
ANTARIKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 15 MEI – 17 JUNI 2023
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur os nasal merupakan fraktur yang paling sering terjadi pada fraktur
kepala leher dan merupakan urutan ketiga dari seluruh fraktur tubuh manusia.
Umumnya fraktur os nasal tidak mengancam jiwa. Jika penanganan fraktur os nasal
tidak tepat maka dapat menimbulkan gangguan fungsi hidung dan kosmetik. Fraktur
os nasal yang sering terjadi adalah fraktur sederhana yang komunitif dan dapat
disertai dengan luka terbuka pada luar hidung.1,2
Fraktur os nasal sering terjadi karena hidung merupakan bagian yang
menonjol sehingga cenderung mudah untuk mengalami cedera. Fraktur os nasal
merupakan 40% dari seluruh kejadian fraktur di bagian wajah dan lebih dari 50%
fraktur os nasal yang tidak ditangani secara adekuat atau terlambat di dalam
penanganannya akan memerlukan tindakan rinoplasti atau septorinoplasti. Insidens
fraktur os nasal tertinggi pada usia 15-30 tahun dan laki-laki lebih sering
mengalaminya. Penilaian diagnosis didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Gejala dan tanda fraktur os nasal adalah depresi atau pergeseran tulang-tulang
hidung, terasa lembut saat menyentuh hidung, pembengkakan pada hidung atau muka,
nyeri pada hidung, memar pada hidung atau dibawah kelopak mata (black eye),
deformitas hidung, episktasis, dan krepitasi saat palpasi hidung.1-3
Tujuan dari penatalaksanaan fraktur os nasal adalah mengembalikan fragmen
fraktur kembali ke posisi anatomis semaksimal mungkin dan menghindari komplikasi
jangka panjang sehingga dapat mengembalikan patensi jalan napas, integritas katup
nasal, penampilan memuaskan, septum pada garis tengah, mencegah komplikasi
pasca operasi seperti stenosis, perforasi septum, retraksi kolumela, dan deformitas
penala atau persistent. Tatalaksana pada fraktur os nasal dapat dengan reduksi
tertutup atau reduksi terbuka dengan mempertimbangkan jenis dan beratnya fraktur.
Umumnya, semakin cepat fraktur os nasal ditangani maka semakin baik juga
penyembuhannya karena belum terbentuk edema jaringan yang signifikan.1-4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI
Tulang hidung terdiri dari beberapa tulang yang berpasangan dan berbentuk
seperti piramid. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang hidung terdiri dari tulang hidung
(os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alaris mayor, beberapa pasang
kartilago alaris minor dan tepi anterior kartilago septum di bagian tengah. Prosesus
frontalis os maksila di bagian lateral saling berartikulasi satu sama lain pada bagian
tengah. Bagian superior tulang hidung lebih tebal dibanding bagian inferior dan
melekat pada prosesus frontalis os maksila sehingga bagian tersebut lebih tahan
terhadap cedera. Bagian inferior lebih tipis dan lebih luas serta melekat pada kartilago
nasalis lateralis superior. Fraktur os nasal sering terjadi pada daerah transisi kedua
bagian ini yang disebut area keystone. Namun pada beberapa kasus, fraktur os nasal
melibatkan struktur proksimal dari tulang hidung seperti os. frontal sampai lamina
kribrosa. Fraktur ini biasa disebut fraktur nasoorbitoetmoid dan umumnya lebih
banyak menimbulkan komplikasi, dan luka patologi sehingga memerlukan perhatian
yang lebih serius.5-7

3
Gambar 1. Anatomi hidung.6
Kartilago nasalis lateralis superior yang berpasangan berfungsi menjaga
kartilago quadrangularis tetap pada posisi garis tengah. Kartilago nasalis lateralis
inferior berfungsi sebagai kontur hidung. Secara umum fraktur kartilago sangat jarang
terjadi dikarenakan struktur kartilago yang lentur sehingga butuh tenaga yang lebih
besar untuk menimbulkan cedera dan kerusakan pada kartilago dibandingkan pada
tulang hidung/ septum.7
Dinding medial hidung adalah septum nasi yang merupakan elemen terpenting
dari seluruh struktur hidung. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian
tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid di bagian posterior, vomer di bagian
inferior yang berbentuk seperti kapak, dan krista nasalis os maksila serta kristaa
nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago quadrangularis dan
kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi juga oleh mukosa
hidung. Pada anak, septum ikut berkontribusi memberikan bentuk pada wajah dan
sebagai pusat pertumbuhan sampai usia 12-13 tahun sehingga trauma septum pada
anak yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan gangguan perkembangan
pada bentuk wajah.5,7
Vaskularisasi hidung berasal dari cabang a. karotis interna dan eksterna.
Distribusi vaskularisasi nasal penting untuk evaluasi dan penanganan bila terjadi
perdarahan. A. optalmika merupakan cabang a. karotis interna yang memberikan

4
vaskularisasi pada bagian superior intranasal termasuk a. etmoidale anterior dan
posterior. Pada hidung luar melalui a. dorsalis nasal dan a eksternal nasal. A. karotis
eksterna memberikan vaskularisasi ekstranasal melalui a infraorbital cabang a.
maksilaris interna; a. labialis superior; a. angularis cabang a. fasialis. A. karotis
eksterna memvaskularisasi intranasal bagian posterio inferior melalui a.
sphenopalatina hingga konka media dan a. palatina mayor. A. sphenopalatina ini
kemudian bercabang menjadi dua yaitu a. posterolateral nasal dan septal. Cabang
septal kemudian beranastomosis dengan a. etmoidal anterior. Anastomosis ini penting
untuk menghubungkan sistem arteri intranasal dan ekstranasal.5,6
Drainase vena berjalan sesuai aliran arteri dan mengalir melalui v. fasialis dan
pleksus pterigoid ke dalam v. jugularis interna dan/atau v. oftalmika bermuara ke
dalam sinus kavernosus. Pada intranasal drainase vena dari os etmoid masuk ke
dalam cavum orbita dan berhubungan dengan v. oftalmika, sinus kavernosus dan
sistem v. duramater. Pada bagian posterior drainase vena mengikuti v. sfenopalatina
kedalam fossa dan pleksus pterigopalatina yang berhubungan dengan sistem vena
duramater. Drainase vena posterosuperior hidung ini berpotensi dapat menyebabkan
infeksi ekstrakranial menyebar kedalam intrakranial.5,6
Inervasi intranasal dilakukan oleh n. etmoidale; n. spenoidale; dan n.
nasopalatina. Hidung bagian luar diinervasi oleh n. etmoidale anterior; n.
infraorbitalis;
n. infratroklearis; dan n. supratroklearis. N. supratroklearis dan n. infratroklearis
merupakan cabang n. optalmikus memberikan inervasi sensorik kulit bagian
proksimal dan lateral dorsum nasi. N. etmoidale anterior memberikan inervasi kulit
bagian distal dorsum nasi dan apeks nasi. Nervus ini muncul diantara sisi kaudal os
nasal dan kartilago nasalis lateralis superior. Cedera pada nervus tersebut saat insisi
dapat menyebabkan parese. Ganglion sphenopalatina yang berasal dari ujung konka
media memberikan inervasi di bagian posterior kavum nasi. Cabang interna n
etmoidale anterior dan posterior serta n nasopalatina saling menyilang pada bagian
superior dan posterior intranasal untuk memberikan sensorik pada sebagian besar
septum nasi.5,6

5
Gambar 2. Vaskularisasi dan inervasi hidung.6

PATOFISIOLOGI
Tipe dan tingkat keparahan fraktur os nasal tergantung pada kekuatan, arah,
jenis, dan mekanisme trauma. Objek yang kecil dengan kecepatan tinggi akan
menimbulkan kerusakan yang hebat dibandingkan objek besar dengan kecepatan
rendah. Pada anak cenderung terjadi fraktur greenstick, remaja lebih cenderung untuk
mengalami dislokasi, dan dewasa cenderung terjadi fraktur komunitif. Fraktur
greenstick pada anak terjadi karena tulang hidung anak masih terdapat banyak tulang
rawan dan beresiko terjadi hematoma septum.4,6
Avulsi dan dislokasi kartilago nasalis lateralis superior os nasal dan septum
menyebabkan cekungan pada pertengahan dorsum nasi dimana dapat mengakibatkan
robekan arteri yang keluar antara os nasal dan kartilago sehingga dapat terjadi
hematoma dorsum nasi. Fraktur os nasal sering disertai cedera septum berupa fraktur
sederhana, dislokasi, atau fraktur komunitif yang dapat menyebabkan deformitas dan
disfungsi hidung berupa obstruksi jalan napas. Bagian tipis septum yaitu kartilago
quadrangularis dan lamina perpendikularis os etmoid merupakan bagian yang
cenderung mudah terjadi fraktur. Fraktur inkomplit pada septum menyebabkan
lepasnya artikulasi kartilago sehingga dapat menimbulkan gangguan pada pusat
pertumbuhan dan menyebabkan deformitas.4,6

6
Trauma lateral menyebabkan fraktur depresi ipsilateral, deformitas dorsum
nasi bentuk C atau S, fraktur dinding medial os maksila dan deformitas septum.
Trauma anterior menyebabkan fraktur apeks nasi, dorsum nasi menjadi rata dan
melebar (saddle nose) dan deformitas septum. Saddle nose diklasifikasikan atas dua
yaitu anterior, bila yang terlibat adalah bagian kartilago, posterior bula yang terkena
bagian tulang. Karakteristik saddle nose adalah berkurangnya tinggi dorsum nasi,
disebut juga sebagai pug nose atau boxer nose. Saddle nose menyebabkan berbagai
derajat sumbatan hidung. Trauma inferior menyebabkan pola fraktur yang lebih
kompleks disertai fraktur dan dislokasi septum. Tipe fraktur os nasal antara lain
berupa tipe fraktur depresi yaitu apabila kekuatan trauma dari frontal cukup besar
sehingga menyebabkan open book fracture dimana septum menjadi kolaps dan os
nasal melebar. Bahkan pada kekuatan trauma yang lebih kuat dapat menyebabkan
fraktur komunitif os nasal dan prosesus frontalis os maksila menjadi rata dan dorsum
nasi menjadi lebar, tipe fraktur angulasi atau fraktur bilateral merupakan tipe trauma
dari arah lateral yang dapat menyebabkan fraktur depresi unilateral sisi trauma atau
dapat juga pada kedua sisi os nasal dan deviasi septum serta fraktur greenstick yang
banyak terjadi pada anak.4,6

Gambar 3. Pola fraktur os nasal.6

7
KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur os nasal dapat membantu untuk menentukan rencana
penanganan fraktur os nasal. Klasifikasi fraktur os nasal berdasarkan kriteria patologi
yang ditimbulkan sebagai berikut:7
1. Type I : Injury restricted to soft tissue
2. Type IIa : Simple, unilateral nondisplaced fracture
3. Type IIb : Simple, bilateral nondisplaced fracture
4. Type III : Simple, displaced fracture
5. Type IV : Closed comminuted fracture
6. Type V : Open comminuted fracture/ complicated fracture

EPIDEMIOLOGI
Fraktur os nasal merupakan fraktur yang paling sering terjadi pada fraktur
kepala leher dan merupakan urutan ketiga dari seluruh fraktur tubuh manusia. Fraktur
os nasal sering terjadi karena hidung merupakan bagian yang menonjol sehingga
cenderung mudah untuk mengalami cedera. Fraktur os nasal merupakan 40% dari
seluruh kejadian fraktur di bagian wajah dan lebih dari 50% fraktur os nasal yang
tidak ditangani secara adekuat atau terlambat di dalam penanganannya akan
memerlukan tindakan rinoplasti atau septorinoplasti. Insidens fraktur os nasal
tertinggi pada usia 15- 30 tahun dan laki-laki lebih sering mengalaminya. Hal ini
dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi dari kekerasan interpersonal antara laki-
laki.1,2

DIAGNOSIS
Anamnesis
Diagnosis fraktur os nasal bedasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis harus dilakukan secara lengkap dan cermat. Gejala dan tanda fraktur os
nasal adalah depresi atau pergeseran tulang-tulang hidung, terasa lembut saat
menyentuh hidung, pembengkakan pada hidung atau muka, nyeri pada hidung,
memar pada hidung atau dibawah kelopak mata (black eye), deformitas hidung,

8
episktasis, dan

9
krepitasi saat palpasi hidung. Pada anamnesis ditanyakan apakah ada riwayat trauma
tumpul pada wajah. Mekanisme terjadinya cedera juga harus dicermati secara lengkap
untuk memperkirakan derajat ringan-beratnya cedera. Selain itu perlu juga ditanyakan
arah, kekuatan, lokasi, dan onset terjadinya trauma. Perlu juga ditanyakan apakah
fraktur os nasal ditimbulkan oleh trauma lainnya seperti kecelakaan bermotor,
perkelahian dengan atau tanpa senjata, atau terjatuh. Objek trauma juga perlu
dicermati karna dapat menimbulkan efek cedera yang berbeda. Misalnya pukulan
akibat perkelahian umumnya dari arah lateral dengan energi rendah sehingga dapat
menyebabkan fraktur depresi pada dinding ipsilateral, out fracture pada sisi
kontralateral dan sering menyebabkan deformitas septum. Arah trauma dari frontal
yang disebabkan oleh kecelakaan bermotor umumnya melibatkan kekutan energi
tinggi sehingga menyebabkan cedera yang lebih berat berupa fraktur komunitif dan
deformitas septum.6,7
Waktu terjadinya cedera penting untuk ditanyakan karena berkaitan dengan
prosedur penatalaksanaan dan prognosis pengobatan. Bila cedera baru saja terjadi
maka edema masih belum banyak sehingga pemeriksaan fisik dan manipulasi mudah
untuk dikerjakan, dimana menggunakan teknik reduksi tertutup karena merupakan
prosedur yang paling ideal untuk dikerjakan. Sedangkan bila datang terlambat
dimana sudah terjadi edema maka pemeriksaan fisik akan terbatas sehingga
reposisi sebaiknya ditunda 3-5 hari sampai edema berkurang sehingga evaluasi
dapat dilakukan secara lebih detail. Riwayat penyakit dahulu juga penting untuk
ditanyakan apakah pernah mengalami fraktur sebelumnya atau operasi hidung.
Riwayat konsumsi alkohol dan obat-obatan khusus seperti pengencer darah juga
penting untuk ditanyakan.6,7 Pemeriksaan Fisik
Setelah memastikan tanda-tanda kegawatdaruratan tidak ada maka dapat
dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik paling baik dilakukan sebelum
terjadinya edema, yaitu kurang lebih 2-3 jam setelah cedera. Pemeriksaan fisik tidak
boleh hanya berfokus pada hidung saja, harus tetap memperhatikan penyebab
traumanya dan kemungkinan cedera lain yang diakibatkan oleh trauma tersebut.6

10
Airway dan ventilasi harus diperiksa secara adekuat sebelum dilakukan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi dan harus
dilakukan secara hati-hati. Pemeriksaan dapat dimulai dari distal ke proksimal. fraktur
os nasal dapat disertai epistaksis, nyeri, edema, buntu hidung dan perdarahan
subkonjungtiva, sedangkan tanda yang lebih spesifik adalah ditemukannya krepitasi,
laserasi mukosa hidung, fraktur atau dislokasi septum. Inspeksi untuk melihat adakah
laserasi mukosa nasal, apakah kartilago atau tulang yang terekspos, edema dan
deformitas hidung, perubahan patologis warna kulit, posisi septum nasi dan mencari
adakah hematoma septum, kesimetrisan dan gerakan bola mata. Bentuk hidung
sebelum cedera dapat membantu memperkirakan seberapa berat cedera yang terjadi.
Foto nasal sebelum cedera dapat diperoleh dari kartu identitas atau kartu izin
mengemudi pasien. Dokumentasi pada fraktur os nasal sangat penting dengan tujuan
untuk legalitas hukum dan untuk menilai hasil pengobatan. Palpasi untuk mencari
iregularitas tulang, mati rasa, dan pergerakan fragmen fraktur atau krepitasi. Adanya
krepitasi pada jaringan lunak menunjukan bahwa cedera lebih berat, sedangkan
adanya mati rasa menunjukan telah terjadi cedera pada n. infraorbitalis. Trauma pada
midface kemungkinan dapat juga disertai dengan fraktur struktur hidung lainnya
seperti mandibula, arkus zigoma, dan gigi. Pada trauma hebat seperti pada kecelakaan
bermotor, fraktur os nasal sering disertai cedera kepala-leher yang dapat
membahayakan patensi trakea.4,6

Gambar 4. Hematoma pada hidung.7


Apabila setelah cedera, penderita mengeluh buntu hidung berat atau total,
maka hal tersebut kemungkinan dapat disebabkan karena adanya hematoma
septum.

11
Hematoma septum ini sering dikaitkan dengan cedera septum nasi walaupun tidak
selalu. Adanya hematoma septum tampak pada inspeksi yaitu daerah yang fluktuatif
berwarna sedikit kemerahan atau keunguan sepanjang salah satu atau kedua dinding
septum. Hematoma septum menyebabkan terpisahnya perikondrium dari kartilago
septum, tetapi tidak menimbulkan robekan mukosa. Ruang potensial tersebut berisi
darah dari robekan vena kecil yang mensuplai perikondrium.6-8
Pemeriksaan intranasal dapat dilakukan dengan rinoskopi anterior apabila
tidak mempunyai endoskopi. Pemeriksaan intranasal memerlukan beberapa peralatan
antara lain suction, nasal spray sebagai anestesi dan vasokontriksi, spekulum hidung,
dan lampu kepala. Sebelum melakukan pemeriksaan intranasal dilakukan anestesi dan
vasokontriksi dekongestan. Obat topikal dapat berupa solusio kokain 5-10% yang
sangat efektif sebagai anestesi dan vasokontriksi kuat, alternatif lain dapat berupa
lidokain, bupivacaine dan pantokaine spray. Vasokontriksi topikal seperti
oxymetazoline dan phenylephrine hydrochloride dapat berfungsi juga untuk
mengontrol perdarahan dan mengurangi edema intranasal. Campuran antara
oxymetazoline atau phenylephrine dan lidokain 4% dengan perbandingan 1:1
mempunyai efek yang sama efektifnya dengan kokain. Penderita diperiksa dalam
posisi duduk senyaman mungkin. Hidung diposisikan seoptimal mungkin sehingga
dapat terlihat cavum nasi dari segala sudut. Kelainan yang didapat harus dicatat dan
bila terjadi epistaksis dan seberapa banyak harus dicatat juga. Adanya rinorea CSF
dapat merupakan indikasi trauma intra kranial, dan fraktur sudah meluas sampai
lamina kribosa, sinus frontalis, dan komplek nasoethmoid.3,4,6
Pemeriksaan Penunjang
Penggunaan foto polos nasal untuk menegakan diagnosis fraktur os nasal
masih merupakan perdebatan karena banyaknya salah persepsi antara garis sutura
yang normal dengan garis fraktur, selain itu foto polos nasal juga tidak dapat
mendeteksi adanya cedera tulang rawan yang banyak terjadi pada anak.1,4
CT Scan memiliki sensitifitas dan spesifitas lebih besar untuk diagnosis
fraktur os nasal. Namun biayanya relatif lebih mahal, mempunyai efek samping
radiasi yang

12
lebih besar dan tidak begitu besar perannya dalam penatalaksanaan fraktur os nasal.
Untuk fraktur os nasal saja, penggunaan CT Scan tidak dianjurkan kecuali ada
kecurigaan fraktur maksilofasial. CT Scan digunakan untuk menilai sejauh mana
cedera tulang yang terjadi. Potongan CT Scan yang paling tepat untuk mengevaluasi
midfacial, orbital, dan sinus frontalis adalah potongan koronal dan aksial. Untuk
cedera yang lebih luas yang melibatkan nasoorbitoetmoid kombinasi potongan
koronal dan aksial serta penggunaan CT Scan tiga dimensi sangat direkomendasikan
untuk mengetahui lokasi fraktur dan pergeseran fragmen fraktur.1,4

DIAGNOSIS BANDING
Fraktur os nasal sederhana tanpa komplikasi adalah fraktur yang paling sering
terjadi diantara semua fraktur tulang wajah, tetapi tetap harus dibedakan dengan
fraktur maksilofasial dan fraktur nasoethmoid. Fraktur nasoetmoid adalah fraktur
yang terjadi pada kompleks nasoethmoid yang sering menyebabkan robeknya
duramater dan terjadi rinorea CSF. Fraktur zigoma umumnya menyebabkan
deformitas berbentuk V dengan tiga bagian yang terpisah pada arkus zigoma. Pada
pemeriksaan fisik terjadi trismus otot temporalis dalam berbagai derajat. Tripod atau
fraktur zigomatikomaksilaris umumnya disebabkan karena benturan keras pada pipi
melibatkan satu atau lebih sendi yang menghubungkan antara zigoma, os nasal, dan
maksila dengan lantai dasar orbita. Kadang juga dijumpai parestesia ipsilateral
sepanjang n infraorbita dan cabang n. fasialis. Benturan keras pada inferior maksila
dapat menyebabkan fraktur alveolar yang ditemukan pada daerah batas superior gigi
sehingga menyebabkan gigi lepas atau ekimosis gingiva.1

TATALAKSANA
Sebelum dilakukan tindakan, penting halnya untuk memberikan informed
consent berupa penjelasan tentang prosedur teknik operasi yang akan dipilih, risiko
operasi, termasuk kemungkinan cacat persisten. Pada pasien anak juga harus di
jelaskan tentang risiko dari cederanya atau risiko pembedahan yang dapat
mengganggu

13
pertumbuhan dan perkembangan normal hidung. Tujuan dari penatalaksanaan fraktur
os nasal adalah mengembalikan fragmen fraktur kembali ke posisi anatomis
semaksimal mungkin dan menghindari komplikasi jangka panjang sehingga dapat
mengembalikan patensi jalan napas, integritas katup nasal, penampilan memuaskan,
septum pada garis tengah, mencegah komplikasi pasca operasi seperti stenosis,
perforasi septum, retraksi kolumela, dan deformitas penala atau persistent. Terapi
fraktur os nasal sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain usia pasien, waktu
terjadinya cedera, waktu reposisi, pilihan anestesi dan teknik reposisi. Diperlukan
kehati hatian dalam menentukan klasifikasi fraktur os nasal karena untuk menentukan
prosedur teknik yang nantinya akan dipilih.2-4,7

Gambar 5. Prosedur penatalaksanaan fraktur os nasal.7


Fraktur sederhana tanpa perpindahan fraktur tidak memerlukan penanganan
khusus, sedangkan pada kasus lain mungkin diperlukan reposisi baik tertutup atau
terbuka. Pemilihan prosedur teknik operasi berdasarkan permasalahan yang terjadi
pada masing-masing individu dan tidak ada satupun prosedur teknik yang dapat
memuaskan semua pasien. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengontrol
perdarahan bila terjadi epistaksis. Laserasi atau luka terbuka harus dibersihkan dan
dilakukan debridement atau bila perlu dilakukan penjahitan. Bila pada saat evaluasi
tidak ditemukan deformitas sebaiknya tidak dilakukan manipulasi terlalu jauh dan
tidak

14
perlu di gips. Sebaliknya bila ditemukan deformitas maka reposisi harus segera
dilakukan.2-4,7
Reposisi nasal pada anak atau orang tua perlu mendapat perhatian khusus. Hal
ini disebabkan karena pada orang tua tulang hidung cenderung lebih rapuh, lebih
pendek, dan proses penyembuhannya memakan waktu lebih lama. Oleh karena itu
perlu ditekankan kepada penderita usia tua akan hasil akhir yang dicapai dan sering
penanganan hanya berupa konservatif. Rinoplasti pada penderita anak harus
dikerjakan dengan penuh ketelitian mengingat variasi anatomi pada anak berbeda
dengan dewasa. Harus dihindari kerusakan pada daerah pusat pertumbuhan nasal
karena dapat menyebabkan deformitas wajah. Pembedahan septum pada anak
dilakukan setelah anak tersebut berusia 13-14 tahun karena dianggap pada usia
tersebut pertumbuhan septum sudah lengkap.2-4,7
Waktu terbaik untuk melakukan reposisi adalah segera setelah cedera atau 1-3
jam pertama setelah cedera. Hal ini disebabkan karena belum banyak timbul edema
sehingga mudah dalam melakukan evaluasi dan manipulasi. Pada penderita fraktur os
nasal tanpa komplikasi yang kooperatif dan datang saat awal cedera dapat segera
dilakukan reposisi tertutup. Namun pada apabila penderita datang setelah timbul
edema maka pemeriksaan dan reposisi ditunda dulu. Untuk sementara penderita dapat
diberikan analgesik dan berobat jalan sambil diinstruksikan agar beristirahat, kompres
es dan menjaga elevasi kepala. Follow-up, evaluasi, dan penanganan baru dapat
dilakukan setelah edema berkurang, umumnya terjadi dalam 3-5 hari. Pada dewasa
reposisi tertutup harus dilakukan 5-10 hari setelah cedera sebelum terbentuk kalus.
Reposisi nasal 2-3 minggu setelah cedera menjadi lebih sulit lagi karena deformitas
menjadi permanen. Pada anak proses tersebut berlangsung lebih cepat sehingga
fraktur os nasal pada anak harus segera ditangani dengan benar. Karena apabila tidak
seringkali memerlukan tindakan osteotomi dan rekonstruksi tulang. Bila reposisi
tidak memungkinkan dalam 10 hari pertama, maka fragmen fraktur mulai terbentuk
kalus dan setelah lebih dari 2 minggu fraktur menjadi tidak lagi mudah digerakan
sehingga

15
manipulasi menjadi lebih sulit lagi. Penyembuhan sempurna harus ditunda beberapa
bulan sebelum dapat dikerjakan rinoplasti korektif.2-4,7
Pertimbangan pemilihan anestesi pada tindakan reposisi fraktur os nasal
adalah dengan melihat ringan beratnya cedera dan kenyamanan penderita. General
anestesi mungkin diperlukan pada trauma berat yang memerlukan intervensi
pembedahan. Pada kasus fraktur os nasal sederhana anestesi lokal dengan atau tanpa
sedasi menjadi pilihan utama. Anestesi lokal dirasa lebih aman, lebih efektif dan lebih
adekuat dibandingkan dengan general anestesi. Namun pada penderita anak yang
tidak kooperatif dapat dipertimbangkan pemilihan general anestesi. Apabila terjadi
hematoma septum harus segera ditangani. Dilakukan aspirasi atau insisi pada bagian
dasar hematom dengan bantuan lokal anestesi. Kemudian evakuasi bekuan darah,
untuk mencegah re- akumulasi kembali darah, dapat dilakukan pemasangan drain
steril pada tempat hematoma. Antibiotik profilaksis dapat diberikan untuk mencegah
terjadinya abses septum. Tampon anterior dapat juga diaplikasikan pada kedua sisi
septum untuk menyangga dan memberikan tekanan pada septum. Pasien diberikan
pengertian akan kemungkinan terjadi deformitas saddle nose yang disebabkan oleh
karena nekrosis septum.2-4,7

Gambar 6. Penanganan hematoma septum.7


Penanganan fraktur os nasal pada anak berbeda dengan dewasa dimana pada
anak perlu perhatian lebih khusus pada daerah septum nasi dan maksila anterior.
Karena pada daerah tersebut terdapat pusat pertumbuhan yang masih terus
berkembang

16
sampai anak berusia 13-14 tahun sehingga sebisa mungkin hindari kerusakan pada
daerah tersebut. Pada kasus fraktur os nasal sederhana mungkin dapat terjadi
penyembuhan secara spontan dengan hanya dilakukan fiksasi eksterna dengan gips
pada bagian dorsum nasi. Teknik reduksi tertutup dengan manipulasi harus dilakukan
dengan hati-hati dan dipastikan dengan benar sehingga tidak ada tindakan yang dapat
menyebabkan kerusakan pada pusat pertumbuhan. Reseksi berlebihan harus dihindari
dan mungkin diperlukan septorinoplasti untuk mengembalikan bentuk dan fungsi
hidung yang terganggu saat remaja.2-4,7
Reposisi Tertutup
Pada umumnya fraktur os nasal baik itu fraktur depresi atau deviasi septum
dapat direposisi dengan reposisi tertutup. Reposisi tertutup ini dapat dikerjakan dalam
waktu 3 jam pertama setelah cedera sebelum timbul edema atau antara 3-10 hari
sesudah edema berkurang dan sebelum terbentuk kalus. Reposisi tertutup
menggunakan beberapa instrumen sederhana terdiri dari elevator Boies, forcep
Walsham dan forcep Asch yang dapat digunakan untuk fraktur depresi septum dan os
2-4,7-8
nasal.

Gambar 7. Instrumen reposisi tertutup.3


Forcep Walsham atau Asch dapat digunakan untuk reposisi fraktur os nasal
atau dislokasi septum. Kelemahan dari penggunaan instrumen ini yaitu dapat merusak
mukosa hidung diantara gigi forcep sehingga dapat menimbulkan hematoma.
Reposisi tertutup adalah cara yang paling ideal untuk diterapkan pada jenis fraktur os
nasal tip atau fraktur os nasal depresi pada satu sisi. Anestesi lokal dapat dilakukan
dengan cara
17
memberikan pasta kokain atau melalui tampon yang telah diberikan campuran
lidokain dan phenylephrine untuk mengurangi perdarahan. Selain itu dapat juga
dengan cara menyuntikan lidokain epinephrine 1-2% di sepanjang daerah yang
diinervasi n. infraorbita dan n. supratroklear serta pada dasar anterior septum nasi.
Setelah di anestesi, elevator Boies dimasukan lebih dalam ke lubang hidung sampai di
bawah fragmen fraktur depres sekitar 1 cm sudut nasofrontal. Kemudian elevator
Boies dengan tuntunan ibu jari di bagian luar secara perlahan mencoba menaikan
fraktur yang mengalami fraktur depresi dan mendorong ke sisi kontralateral sehingga
fraktur kembali ke posisi anatomi. Tindakan manipulasi ini harus dilakukan dengan
hati-hati dan mengutamakan kenyamanan pasien. Jika manipulasi ini sulit dilakukan
berarti fraktur sudah terbentuk kalus. Reduksi tertutup yang adekuat pada nasal
piramid dapat menyebabkan reduksi spontan dislokasi septum. Namun apabila hal ini
tidak terjadi maka dapat digunakan forcep Asch untuk elevasi dorsum nasi dan
mengembalikan septum ke posisi anatomi.2-4,7-8

Gambar 8. Reposisi tertutup dengan forcep walsham (A) dan elevator boies
(B).6
Setelah dilakukan reposisi nasal, dilakukan fiksasi dengan penggunaan gips
sebagai fiksasi eksterna dan tampon antibiotik sebagai fiksasi interna. Fiksasi ini
bertujuan untuk mempertahankan posisi fraktur setelah dilakukan reposisi. Gips
dipertahankan selama 7-14 hari sedangkan tampon antibiotik dipertahankan selama 3-
7 hari. Sementara itu penderita dapat diberikan antibiotik dan analgetik oral, pasien
dapat rawat jalan.

18
Reposisi Terbuka
Reposisi terbuka untuk fraktur os nasal sederhana jarang dilakukan. Reposisi
terbuka hanya dilakukan apabila reposisi tertutup mengalami kegagalan atau terjadi
reposisi yang tidak sempurna. Pada beberapa kasus, reposisi terbuka digunakan untuk
kasus fraktur third plane, Fraktur yang melibatkan orbita, maksila atau fraktur Le fort
pada daerah midface paling sering dilakukan pendekatan teknik endonasal rinoplasti.
Pendekatan ini memberikan hasil kosmetik yang memuaskan karena memungkinkan
untuk dapat langsung melakukan manipulasi fragmen fraktur dengan minimal invasif.
Pada kasus yang melibatkan orbita dan sinus frontal pendekatan eksterna dilakukan
dengan cara melakukan insisi bawah hidung dan pada kasus fraktur yang lebih
kompleks mungkin diperlukan teknik degloving, pendekatan koronal atau bahkan
rinotomi lateral. Pada fraktur os nasal dan kartilago septum yang sudah mengalami
kalsifikasi, reposisi terbuka diawali dengan melakukan insisi hemitransfixion septum
nasi sisi yang mengalami dislokasi. Akses lebih lanjut ke garis fraktur diperoleh
melalui insisi yang dibuat antara kartilago nasalis lateralis superior sehingga
memungkinkan elevasi dorsum nasi, kartilago, dan periosteum nasal. Garis fraktur
dapat di akses melalui insisi pada apertura piriformis. Umumnya sering ditemukan
dislokasi kartilago quadrangularis atau deformitas bentuk C. Adakalanya segmen
kartilago yang dekat dengan fraktur harus direseksi. Reseksi secara radikal pada
kartilago atau tulang sebaiknya dihindari untuk mengurangi timbulnya fibrosis dan
kontraktur. Elevator Cottle digunakan untuk melepas kartilago septum dari
selubungnya sehingga memungkinkan septum nasi kembali spontan pada garis

2-4,7-8
tengah.

Pada deformitas septum bentuk C dilakukan pemisahan kartilago nasalis


lateralis superior dari dorsal septum. Setelah itu dilakukan jahitan pada periosteum os
nasal sebelah anterior dan kartilago septum bagian inferior. Fragmen fraktur yang
tidak stabil seperti pada fraktur komunitif dapat difiksasi dengan fine interosseous
wire atau miniplate dan mini drill nomor delapan, hindari penggunaan plate. Wire
tidak boleh teraba di bawah kulit. Tampon intranasal jarang diperlukan. Diberikan
antibiotik
19
selama minimal 5 hari. Cedera septum mungkin diperlukan pemasangan gips.
Cangkok tulang mungkin diperlukan pada kasus fraktur komunitif yang berat.
Kompres dingin dianjurkan selama 24 jam sampai 48 jam untuk mengurangi
timbulnya edema.2-4,7-8

PROGNOSIS
Secara umum prognosis fraktur os nasal sederhana tanpa komplikasi adalah
baik dan dapat sembuh dalam waktu 2 sampai 3 minggu dengan memberikan hasil
kosmetik dan fungsi hidung yang cukup baik. Komplikasi kosmetik jangka panjang
dapat terjadi sesudah reposisi tertutup atau terbuka. Komplikasi kosmetik ini juga
dapat disebabkan karena hematoma septum yang tidak ditangani dengan baik.
Apabila terjadi malunion atau deformitas dapat dilakukan reduksi atau rekonstruksi
lebih lanjut tergantung pada ringan beratnya cedera dan faktor kesulitannya.
Septorinoplasti merupakan prosedur standar yang dilakukan pada kasus reposisi
fraktur os nasal yang gagal atau yang terlambat ditangani.2-4,7-8

KOMPLIKASI
Emergensi pada fraktur os nasal antara lain perdarahan hebat, sumbatan
hidung pada pasien neonatus, hematoma septum pada pasien anak, rinorea CSF, dan
gangguan penglihatan. Emergensi fraktur os nasal harus segera ditangani.2-4,7-8
Tabel 1. Emergensi fraktur os nasal dan tatalaksana emergensi.3

20
Fraktur os nasal memiliki komplikasi segera dan komplikasi lambat.
Komplikasi segera berupa cedera pada ligamen kantus medius, cedera duktus
lakrimalis, nyeri hidung, hematoma septum yang bila tidak ditangani dapat
menyebabkan deformitas saddle nose, fraktur lamina kribriformis yang menyebabkan
rinorea CSF dan anosmia, epistaksis persisten dan obstruksi jalan napas. Komplikasi
lambatnya adalah deformitas hidung, perforasi dan nekrosis septum saddle nose,
kontraktur karena jaringan parut dan nyeri hidung yang terus menerus. Pada anak
dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan menjadi faktor
predisposisi terjadinya deformitas atau cacat pada wajah.2-4,7-8
Jika pasien fraktur os nasal datang terlambat dalam hitungan bulan atau
bahkan tahunan setelah cedera maka manipulasi sudah tidak memungkinkan lagi
sehingga diperlukan rinoplasti atau septorinoplasti. Dilakukan elevasi kulit dari
rangka hidung dan mobilisasi os nasal dengan memotong di bagian lateral
kemudian dilakukan reposisi ke posisi anatomi. Prosedur tersebut sangat sulit
dilakukan, sehingga penanganan fraktur os nasal secara dini dan adekuat lebih
penting.2-4,7-8

21
BAB III
KESIMPULAN

Fraktur os nasal adalah fraktur yang paling sering terjadi pada daerah kepala-
leher dan menempati posisi ketiga fraktur yang terjadi pada seluruh tubuh. Diagnosis
fraktur os nasal berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik sedangkan pemeriksaan
radiologi masih menjadi perdebatan atau tidak dianjurkan kecuali fraktur melibatkan
daerah maksilofasial. Tanda dan gejala fraktur os nasal antara lain deformitas,
epistaksis, edema, perlunakan, krepitasi, dan obstruksi hidung. Diagnosis dini dan
penatalaksanaan yang tepat akan menghindari terjadinya komplikasi jangka panjang
yaitu terjadinya kecacatan kosmetik dan gangguan fungsi hidung. Adanya hematoma
septum harus segera dideteksi dan diatasi karena untuk mencegah terjadinya nekrosis
septum sehingga dapat mengakibatkan deformitas saddle nose. Banyak kasus fraktur
os nasal dapat ditangani dengan pendekatan reposisi tertutup. Namun pada fraktur
yang lebih kompleks dengan deviasi hidung lebih dari setengah lebar nasal bridge
sering memerlukan pendekatan reposisi terbuka. Penanganan dan rekonstruksi fraktur
os nasal dengan keterlambatan penanganan adalah prosedur yang sulit dilakukan dan
mungkin hanya bisa dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. Oleh karena itu
penanganan fraktur os nasal secara dini dan tepat adalah lebih penting.

22
Daftar Pustaka
1. Klinginsmith M, Katrib Z. Nasal septal fracture. StatPearls Publishing; 2022.
2. Yusmawan W, Haryono A. Serial kasus penatalaksanaan fraktur os nasal.
Media Medika Muda. 2016;1(3):209- 16
3. Sniegel JH. Nasal trauma. In: Lalwani AK, ed. Current diagnosis & treatment
otolaryngology head and neck surgery. Ed 3. New York: The McGraw-Hill;
2011. hal 265-78.
4. Huriyati E, Fitria H. Penatalaksanaan fraktur os nasal lama dengan komplikasi
saddle nose. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012;1:1-8.
5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FK
UI; 2007. hal 119-22.
6. Narayan D. Nasal fracture surgery. Trauma resource center 2012;4:1-5.
7. Kelley BP, Downey CR, Stal S. Evaluation and reduction of nasal trauma. In:
Hollier LH,ed. Facial trauma. New York: Thieme Medical Publisher Inc;
2010.p.339-47.
8. Thiagarajan B, Ulaganathan V. Fracture nasal bones. Otolaryngology online
journal 2013; 3: 1-15.

23

Anda mungkin juga menyukai