Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung.


Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak
dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan primer dan kecil
kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit dan spesialis THT. Epiktasis
diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya dan 6% dari mereka
mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak usia
dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun keatas.
Penyebab terjadinya epiktasis dibagi menjadi dua: secara lokal dan sistemik.
Secara lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi imunologik,
kelainan anatomis hidung, pengunaan nasal spray, benda asing, tumor intranasal, dan
sebagainya. Sedangkan penyebab sistemik terjadinya epistaksis adalah kelainan
vaskuler, keganasan hematologik, blood dyscrasia, alergi, malnutrisi, alcohol,
hipertensi, obat-obatan dan infeksi.
Kebanyakan kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior hidung, yang mana
perdarahan berasal dari anastomosis pembuluh darah arteriol di septum nasi (Pleksus
Kiesselbach). Epiktasis posterior umumnya berasal dari kavum nasal posterior
melalui arteri spenopalatina. Epistaksis anterior secara klinis dapat terlihat jelas.
Sedangkan epistaksis posterior bisa berlangsung asimptomatik atau dapat secara
diam-diam mengakibatkan mual, hematemesis, anemia, hemoptysis atau melena.
Penanganan utama pada epistaksis adalah kompresi pada lubang hidung dan
memasang tahanan pada lubang hidung dengan mengunakan kain kasa atau kapas
yang telah di basahi nasal dekongestan. Penekanan langsung setidaknya di lakukan
terus menerus selama 5 menit dan sampai 20 menit. Memiringkan kepala ke depan
dapat mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring, hal ini mencegah mual
dan obstruksi jalan nafas.

1
Edukasi kepada pasien dapat membantu mencegah terjadinya epitaksis. Diskusi
terarah tentang pentingnya mencegah pasien untuk tidak mengupil, mencegah dari
paparan iritan udara, bulu dan asap, dan pengendalian alergi dapat menurunkan
episode terjadinya epistaksis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi Hidung


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah:
Pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum), puncak hidung (tip), ala nasi,
kolumela, lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus
frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi anterior
kartilago septum
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring.
Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulangnya adalah lamina prependikularis, vomer, krista
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya adalah
kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter.

3
Gambar 1. Anatomi Hidung

Vaskularisasi Hidung
Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis
anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri
sfenopalatina. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior
anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior memperdarahi septum
bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi menjadi arteri nasalis
posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi posterior yang
menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya

4
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Gambar 2. A.Perdarahan pada septum nasi. B.perdarahan pada dinding lateral


nasal.
Fisiologi Hidung
Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang
canggih untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi

5
penyaringan partikel-partikel dan pelembaban udara dari luar oleh epitel bertingkat
torak semu bersilia (pseudostratified ciliated columnar epithelium). Lapisan hidung,
terutama pada konka inferior dan media mengandung lamia propia bervaskuler tinggi.
Arteriol-arteriol konka berjalan melewati tulang konka dan dikelilingi oleh pleksus
vena. Dilatasi arteri yang terjadi dapat memblok aliran balik vena, yang akhirnya
menyebabkan kongesti mukosal.

B. Epistaksis
1. Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain, penyebabnya bisa lokal maupun sistemik. Perdarahan bisa
ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber
perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung

2. Epidemiologi
Frekuensi epistaksis sulit untuk ditentukan karena sebagian besar diselesaikan
dengan pengobatan mandiri dan tidak dilaporkan. Namun, bila beberapa sumber
ulasan yang pernah disinggung, kejadian seumur hidup dari epistaksis pada populasi
umum adalah sekitar 60%, dengan kurang dari 10% mencari perhatian medis.
Distribusi usia bimodal, dengan puncak pada anak-anak (2-10 tahun) dan orang
yang lebih tua (50-80 tahun). Epistaksis tidak biasa terjadi pada bayi karena tidak
adanya koagulopati atau hidung patologi (misalnya atresia koana, neoplasma).
Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) dari pada
perempiuan

3. Etiologi
Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi penyebab lokal (misalnya, trauma,
iritasi mukosa, abnormalitas septum, penyakit inflamasi, tumor), penyebab sistemik
(misalnya, diskrasia darah, arteriosklerosis, keturunan hemorrhagic telangiectasia),

6
dan penyebab idiopatik. Trauma lokal adalah penyebab paling umum, diikuti oleh
trauma wajah, benda asing, hidung atau sinus infeksi, dan inhalasi berkepanjangan
udara kering. Anak-anak biasanya hadir dengan epistaksis karena iritasi lokal atau
baru infeksi saluran pernapasan atas.
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput
mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah
Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian
anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya
anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau
kelainan sistemik.
a) Trauma
Trauma yang disebabkan bisa dari memetik/memencet hidung berulang dapat
menyebabkan septum anterior ulserasi mukosa dan perdarahan. Masalah ini
sering diamati pada anak-anak. Benda asing hidung yang menyebabkan trauma
lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.
Trauma wajah dan hidung akut umumnya mengarah ke epistaksis. Jika
perdarahan berasal dari laserasi mukosa kecil, biasanya terbatas. Namun, jika
trauma luas pada wajah dapat mengakibatkan pendarahan parah membutuhkan
kemasan/ tampon hidung. Pada pasien ini, epistaksis jika tertunda mungkin dapat
menandakan adanya aneurisma traumatis.
Pasien yang menjalani operasi hidung harus diperingatkan potensi terjadinya
epistaksis. Seperti trauma hidung, pendarahan dapat berkisar dari ringan (karena
laserasi mukosa) hingga berat (karena lintang dari vena besar).
b) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis
sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan
oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia
yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga
pembuluh darah gampang pecah.

7
c) Deviasi Septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat
menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta.
Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti
mengosok-gosok hidung.
d) Peradangan
Bakteri, virus, dan alergi rinosinusitis menyebabkan peradangan mukosa dan
dapat menyebabkan epistaksis. Perdarahan pada kasus ini biasanya ringan dan
sering bermanifestasi sebagai coretan darah discharge hidung.
Penyakit granulomatosis seperti sarkoidosis, Wegener granulomatosis,
tuberkulosis, sifilis, dan rhinoscleroma sering menyebabkan krusta dan mukosa
rapuh dan mungkin menjadi penyebab epistaksis berulang.
e) Tumor
Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi sebagai epistaksis. Pasien yang
terkena mungkin juga hadir dengan tanda-tanda dan gejala sumbatan hidung dan
rhinosinusitis, sering unilateral.
Intranasal rhabdomyosarcoma, meskipun jarang, sering dimulai di hidung,
orbital, atau daerah sinus pada anak-anak. Angiofibroma hidung remaja pada laki-
laki remaja dapat menyebabkan hidung pendarahan parah sebagai gejala awal.
f) Diskrasia Darah
Koagulopati bawaan harus dicurigai pada individu dengan riwayat keluarga
yang positif, mudah memar, atau perdarahan berkepanjangan dari trauma ringan
atau operasi. Contoh gangguan perdarahan kongenital termasuk hemofilia dan
penyakit von Willebrand.
Koagulopati diperoleh dapat bersifat primer (karena penyakit) atau sekunder
(karena perawatan mereka). Di antara koagulopati diperoleh lebih umum adalah
trombositopenia dan penyakit hati dengan pengurangan konsekuensial dalam
faktor koagulasi. Bahkan tanpa adanya penyakit hati, alkoholisme juga telah

8
dikaitkan dengan koagulopati dan epistaksis. Antikoagulan oral predisposisi
epistaksis.
g) Kelainan Pembulu Darah
Penyakit pembuluh darah arteriosklerosis dianggap sebagai alasan untuk
prevalensi lebih tinggi dari epistaksis pada orang tua.
Hemoragik herediter telangiectasia (HHT, juga dikenal
sebagai sindrom Osler-Weber-Rendu) adalah penyakit autosomal dominan
berhubungan dengan perdarahan berulang dari anomali vaskular. Kondisi ini
dapat mempengaruhi pembuluh mulai dari kapiler arteri, menyebabkan
pembentukan telangiectasias dan malformasi arteriovenous. Pemeriksaan
patologis dari lesi ini mengungkapkan kurangnya jaringan elastis atau otot di
dinding pembuluh darah. Akibatnya, perdarahan dapat terjadi dengan mudah dari
trauma ringan dan cenderung untuk tidak berhenti secara spontan.
h) Migrain
Anak-anak dengan sakit kepala migraine memiliki insiden yang lebih tinggi
dari epistaksis berulang daripada anak-anak yang tanpa penyakit. Pleksus
kiesselbach, yang merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, telah terlibat
dalam patogenesis migraine
i) Hipertensi

Hubungan antara hipertensi dan epistaksis sering disalahpahami. Pasien


dengan epistaksis sering hadir dengan tekanan darah tinggi. Epistaksis lebih
sering terjadi pada pasien hipertensi, mungkin karena kerapuhan pembuluh darah
dari penyakit lama.
Hipertensi, bagaimanapun, adalah jarang penyebab langsung dari
epistaksis. Lebih umum, epistaksis dan kecemasan terkait menyebabkan
ketinggian akut tekanan darah. Terapi, oleh karena itu, harus difokuskan pada
pengendalian perdarahan dan mengurangi kecemasan sebagai sarana utama
penurunan tekanan darah.

9
j) Obat-obatan
Obat nasal topikal seperti antihistamin dan kortikosteroid dapat menyebabkan
iritasi mukosa. Terutama bila diterapkan langsung ke septum hidung bukannya
dinding lateral, hal ini dapat menyebabkan epistaksis ringan. Obat-obatan seperti
obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) yang juga sering terlibat.

4. Patofisiologi
Perdarahan biasanya terjadi ketika mukosa terkikis dan pembuluh darah terkena
dan kemudian istirahat.
Lebih dari 90% dari perdarahan terjadi anterior septum, terdapat anastomosis dari
arteri spenopalatina, arteri palatina mayor, arteri labialis superior dan arteri etmiodalis
anterior yang membentuk Pleksus KIESSELBACH atau little area. Letak pleksus ini
superficialis sehingga menjadi sumber perdarahan tersering pada epistaksis.
Perdarahan posterior terdapat arteri-arteri yang membentuk Pleksus WOODRUFF
yang terbentuk dari anastomosis dari arteri spenopalatina dan arteri faringeal
ascendens. Sebuah studi menyebutkan bahwa perdarahan posterior mempunyai risiko
yang lebih besar pada saluran nafas, aspirasi darah, dan masalah yang lainnya yaitu
kesulitan mengendalikan sumber perdarahan.

5. Klasifikasi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar
ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian
anterior dan posterior.
 Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach anatomosis dari arteri
spenopalatina, arteri palatina mayor, arteri labialis superior dan arteri etmiodalis
anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan

10
mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi
pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri

Gambar 3. Epistaksis Anterior


 Epistaksis Posterior
Dapat berasal Pleksus WOODRUFF yang terbentuk dari anastomosis dari
arteri spenopalatina dan arteri faringeal ascendens. Perdarahan biasanya lebih
hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan
hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena
pecahnya arteri sfenopalatina.

Gambar 4. Epistaksis Posterior

11
6. Diagnosis
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab
perdarahan. Keadaan umum, tensi, pernafasan dan nadi perlu diperiksa. Alat-alat
yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat
penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu
pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis.
Anamnesis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.
Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan,
frekuensi, lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya.
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh
mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat
pengeringan mukosa hidung berlebihan.
Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang berkaitan
dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga megenai
kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya
riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang
memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan seperti
koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokok
dan minum-minuman keras.
Pemeriksaan Fisik
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum
hidung dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.

12
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua
kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku;
sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat
dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan
kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau
larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam
hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung
yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien
dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a. Rinoskopi Anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari
anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding
lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

Gambar 5. Rinoskopi Anterior


b. Rinoskopi Posterior : Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior
penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik
untuk menyingkirkan neoplasma

13
c. X-ray, Ct-Scan dan MRI : x-ray dan CT-Scan atau MRI penting
menyingkirkan dan mengenali diagnosis neoplasma atau infeksi.

Gambar 6. Gambaran sagital MR pada solitary fibrous tumor dengan masa


tumor dan epistaksis dan Gambaran angiogram angiofibroma juvenil dengan
obstruksi hidung dan epistaksis
d. Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit
lainnya.

Gambar 7. Endoskopi epistaksis posterior

e. Skrining terhadap koagulopati : Tes-tes yang tepat termasuk waktu


protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu
perdarahan.

14
7. Diagnosis Banding
Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir
keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di
basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba
eustachius.

8. Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu: memperbaiki keadaan
umum disertai tekanan darah, denyut nadi, dan pernafasan, mencari sumber
pendarahan, menghentikan pendarahan, mencari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya pendarahan, dan mencegah komplikasi. Tindakan yang dapat dilakukan
antara lain:
1) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
2) Menghentikan perdarahan
a. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian
cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (Metode
Trotter).

Gambar 8. Metode Trotter


b. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang
telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan alat
penghisap untuk membersihkan bekuan darah.

15
Gambar 9. Pemasangan Tampon Anterior
c. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan
jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam
trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan
analgesia topikal terlebih dahulu
d. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang
diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga
dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita
dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar
sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan
tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.

Gambar 10. Kauterisasi Sumber Perdarahan

16
e. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm
dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada
sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior)

Gambar 11. Tampon Bellocq


Untuk memasang tampon Bellocq:

- Dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring


dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut.
- Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada
satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung.
- Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari
telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah
nasofaring.
- Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon
anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat
lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.
- Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui
mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang
ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.
Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.

17
f. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan
balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air.
Teknik sama dengan pemasangan tampon Bellocq.

Gambar 12. Pemasangan Kateter Foley


g. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat
diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus
dirujuk ke rumah sakit.

Medikamentosa
Terapi farmakologi hanya berperan sebagai pengobatan suportif dalam menangani
pasien dengan epistaksis.
1. Vasokonstriktor topikal
Obat tersebut bekerja pada reseptor alfa adrenergik pada mukosa nasal
yang menyebabkan vasokonstriksi.
Oxymetazoline 0.05% (Afrin) dioleskan langsung pada membran mukosa
nasal, dimana akan menstimulasi reseptor alfa adrenergik dan menyebabkan
vasokonstriksi. Dekongesi terjadi tanpa perubahan drastis pada tekanan darah,
distribusi vaskular, atau stimulasi jantung. Oxymetazoline dapat dikombinasi
dengan lidokain 4% untuk memberikan efek anestesi dan vasokonstriksi nasal
yang efektif. Dosis 2 tetes atau semprotan per kavum nasi sebanyak 2 kali

18
sehari, dosis maksimum adalah 2 kali dosis anjuran per 24 jam dan durasi
maksimum adalah 3-5 hari.
2. Anestesi topikal
Ketika obat anestesi diberikan bersamaan dengan obat vasokonstriktor,
maka efek anestesinya akan diperpanjang dan ambang nyeri meningkat.
Lidokain 4% (xylocaine) mengurangi permeabilitas ion natrium di membran
neuronal, sehingga menghambat depolarisasi dan menghambat transmisi
impuls saraf. Dosis 1-3 mL setiap pemberian, dosis maksimum 3 mg/kg, tidak
boleh diberikan dengan interval kurang dari 2 jam.
3. Salep antibiotik
Salep antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi lokal dan
memberikan kelembapan lokal. Salep mupirocin 2% (bactroban nasal)
menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengambat RNA dan sintesis
protein. dioleskan pada area yang terkena tiga kali sehari.

9. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai
akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat pemasangan tampon anterior dapat
timbul rinosinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody
tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis,
septikemia, toxic shock syndrome, sinekia, dan gangguan fungsi tuba eustachius.
Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, hematotimpanum,
disfagia, sinekia, toxic shock syndrome, gangguan fungsi tuba, disfagia, hipoventilasi,
mati mendadak, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang
dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.

19
10. Prognosis
90% kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi
dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk.

20
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Sp.THT, Prof. Dr. Efiaty Arsyad, Prof. Dr. Nurbaiti Iskandar,
Sp.THT, Prof. Dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT, and DR. Dr. Ratna Dwi Restuti,
Sp.THT. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
2. Nguyen, Q.A. 2015. Epistaxis. California: Departement of Otolaryngology-
Head and Neck Surgery, University of California. Diakses (13 Juli 2019).
http://emedicine.medscape.com/article/863220-overview
3. Budiman B.J, Hafiz A.l, 2012. Jurnal Hubungan Epistaksis dengan Hipertensi.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
4. Punangi A.Q, 2017. Epistaksis Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini. Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. Penerbit Digi Pustaka. Cetakan pertama.
Makassar.
5. Suryowati E. 2014, Epistaksis. Medical Study Club FKUII [diunduh 13 Juli
2019]:http://fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php?attId=2175&page=L
EM%20FK%20UII
6. Anias CR. 2014. Epistaxis. Otorrhinolaryngology (diunduh 13 Juli 2019)
Available from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
7. Limen, M.P., Palandeng, O., Tumbel, R. 2013. Epistaksis di poliklinik THT-KL
Blu RSUP Prof. DR. R.D. Kandou mando periode januari 2010-desember 2012.
Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm 478-483.
8. Schlosser RJ. 2011. Epistaxis. New England Journal Of Medicine Available
from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
9. Traboulsi H, Alam E, Hadi U, 2015. Changing Trends in the managemant of
epistaxis. International journal of otolaryngology. Hindawi publishing
Corporation. Volume 2015.
10. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2012
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment

21

Anda mungkin juga menyukai