Disusun Oleh
Nama : Reza Pitaloka
NIM : 17111024110097
Kelas : 6B
B. Etiologi
1. Penyebab lokal :
a. Trauma misalnya karna mengorek hidung, terjatuh, terpukul, benda asing di
hidung, trauma pembedahan, atau iritasi gas yang merangsang.
b. Infeksi hidung atau sinus paranasal,seperti rinitis,sinusitis,serta granuloma
spesifik seperti lepra dan sifilis.
c. Tumor,baik jinak maupun ganas pada hidung,sinus paranasal dan nasoparing.
d. Pengaruh lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak, seperti
pada penerbang maupun penyelam(penyakit Caisson), atau lingkungan yang
udaranya sangat dingin.
e. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksisringan disertai ingus
berbau busuk.
f. Idiopatik, biasanya merupakan epistaksis yang ringan dan berulangpada anak
dan remaja.
2. Penyebab sistemik :
a. Penyakit Kardiovaskular, seperti hipertensi dan kelainan pembuluh darah.
b. Kelainan darah, seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukimia.
c. Infeksi sistemik, Seperti demam berdarah dengue, Influenza, Morbiliatau
demam tifoid.
d. Gangguan endokrin, Seperti pada kehamilan, menars, dan menopous.
e. Kelainan kongenital, seperti penyakit Osler (hereditary hemorrhagic
telangiectasia).
C. Patofisiologi
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman
pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga
terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain
dari arteri sphenopalatina.
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris
(maksila=rahang atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit) mayor dan
arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis
(fasial=muka). Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-
cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (little’s area). Jika pembuluh
darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua jalan, yaitu
lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang).
Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal
perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal
dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina. Epistaksis anterior
menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung.
Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti
mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior
melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti
spontan.
D. Manifestasi Klinis
Perdarahan dari hidung, gejala yang lain sesuai dengan etiologi yang
bersangkutan. Epitaksis berat, walaupun jarang merupakan kegawatdaruratan yang
dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal jika tidak
cepat ditolong. Sumber perdarahan dapat berasal dari depan hidung maupun belakang
hidung. Epitaksis anterior (depan) dapat berasal dari pleksus kiesselbach atau dari a.
etmoid anterior. Pleksus kieselbach ini sering menjadi sumber epitaksis terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat sembuh sendiri. Epitaksis posterior (belakang) dapat
berasal dari a. sfenopalatina dan a etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan
jarang berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit jantung.
F. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Gawat Darurat
a. Pengkajian Airway
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
2) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
3) Adanya snoring atau gurgling
4) Stridor atau suara napas tidak normal
5) Agitasi (hipoksia)
6) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
7) Sianosis
b. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
1) Muntahan
2) Perdarahan
3) Gigi lepas atau hilang
4) Gigi palsu
5) Trauma wajah
6) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
7) Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
c. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
1) Chin lift / jaw thrust
2) Lakukan suction (jika tersedia)
3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
4) Lakukan intubasi
d. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open
chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
1) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
2) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
3) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk
diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
4) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
5) Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
6) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
7) Penilaian kembali status mental pasien.
8) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
9) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
10) Pemberian terapi oksigen
11) Bag-Valve Masker
12) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar),
jika diindikasikan
13) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures\Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya
dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
e. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis
shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin.
Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan
yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab
lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax,
cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan
eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara
memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000). Langkah-langkah
dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
1) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
3) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
4) Palpasi nadi radial jika diperlukan:
5) Menentukan ada atau tidaknya
a) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
b) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
c) Regularity
6) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
7) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi.
g. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
1) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
2) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
3) P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
4) U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun
stimulus verbal.
h. Expose, Examine dan Evaluate
1) Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung
pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien
adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
2) Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
a) Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien.
b) Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil
atau kritis (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009).
3. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
b. Nyeri akut
c. Perfusi perifer tidak efektif
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakam Manajemen jalan nafas
bersihan jalan nafas keperawatan selama ... x 24 (L.01001)
(D.0001) jam diharapkan masalah 1.1 Motinor pola nafas
bersihan jalan napas tidak (frekuensi, kedalaman,
efektif dapat teratasi dengan usaha nafas)
kriteria hasil : 1.2 Posisikan semi fowler
Bersihan Jalan Nafas atau fowler
(L.01001) 1.3 Anjurkan asupan cairan
1. Dispne dipertahan dari 2000ml/hari
skala 5 ditingkatkan ke 1.4 Berikan oksigen
skala 1 tambahan, jika perlu
keterangan skala :
1. Meningkat
2. Cukup meningkat
3. Sedang
4. Cukup menurun
5. Menurun
2. Frekuensi napas
dipertahankan dari skala 1
ditingkatkan ke skala 5
3. Pola napas dipertahankan
dari skala 1 ditingkatkan
ke skala 5
keterangan skala :
1. Memburuk
2. Cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup membaik
5. Membaik
keterangan skala :
1. meningkat
2. cukup meningkat
3. sedang
4. cukup menurun
5. menurun
Keterangan skala :
1. Memburuk
2. Cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup membaik
5. Membaik
DAFTAR PUSTAKA
Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease AproblemOriented
Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 – 9. 2.
Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam:
Buku ajar ilmu penyakit telinga. hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit
FK UI, 1998: 127 – 31.