Anda di halaman 1dari 16

Manifestasi klinis Epistaksis Posterior et cause Hipertensi

Anna Karmila Sari (102016218)


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat 11510
Email : annasambas10@gmail.com

Pendahuluan

Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah. Penanganan
epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman Hipokrates. Cave Michael
(1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach merupakan ahli-ahli yang pertama kali
mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh darah yang berada di bagian anterior septum nasi
sebagai sumber epistaksis.1 Pada epistaksis, dimana darah keluar dari hidung secara tiba-tiba
dalam jumlah yang cukup banyak sehingga sangat mengganggu pasien ditambah lagi dengan
perdarahannya tidak bisa berhenti sendiri.1,2

Skenario 3
Seorang laki-laki berusia 50 tahun dating ke Instalasi gawat darurat dengan keluhan mimisan

Pada anamnesis didapatkan informasi bahwa tidak ada riwayat trauma, pasien memiliki riwayat
hipertensi, darah mengalir melalui mulut, tidak ada keluhan pilek, batuk.

pada pemeriksaan fisik, tekanan darah 160/100 mmHG, speculum hidung terdapat darah di cavum
nasi kanan dan kiri.

Anamnesis

Anamnesis yang diketahui pada kasus ini adalah keluhat utama, riwayat penyakit sekarang,
dan riwayat penyakit dahulu.3
Epistaksis atau yang lebih dikenal oleh orang awam adalah mimisan, berarti pendarahan
dari dalam hidung. Biasanya darah berasal dari hidung sendiri kendati pula dapat mengalir dari
sinus paranasalis atau nasofaring. Biasanya riwayat medis yang disampaikan oleh pasien cukup
dapat menunjukan lokasi asal pendarahan. Walaupun demikian, pada pasien yang berada adalam
posisi berbaring atau yang pendarahannya berasal dari struktur posterior, mungkin darahnya tidak
mengalir lewat lubang hidung, tetapi mengalir ke dalam tenggorok. Kita harus mengidentifikasi
sumber pendarahannya, apakah darah itu dari hidung ataukah darah yang dibatukan atau
dimuntahkan keluar? Lakukan pemeriksaan untuk mengetahui lokasi pendarahan, keparahannya
dan gejala lain yang menyertai. Apakah epistaksis ini merupakan permasalahan yang terjadi berali-
kali? Apakah terdapat pula gejala mudah memar atau mudah berdarah di bagian tubuh yang lain?4
Selain itu perlu ditanyakan juga;
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari
hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi
8. Diabetes melitus
9. Penyakit hati
10. Penggunaan antikoagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan, mis., aspirin, fenilbutazon (Butazolidin)2

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan fisik THT pada umumnya, seperti:

1. Tanda vital (waktu di IGD)


2. Pemeriksaan Telinga
a. Inspeksi telinga
b. Otoskopi
c. Pemerikaan Pendengaran
3. Pemeriksaan Hidung
a. Rhinoskopi anterior
- Cavum : Lapang atau ada bekuan darah
- Chonca : Edema/hiperemis
- Septum : Deviasi
b. Rhinoskopi posterior
4. Pemeriksaan Tenggorokan
Inspeksi
- Tonsil
- Dinding faring post.
- Uvula
5. Pemeriksaan Leher
- Kelenjar limfe
- Kelenjar tiroid
- Nodul
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan rinoskopi anterior dilakukan dengan menggunakan spekulum hidung yg
dimasukkan kedalam kavum nasi. Kemudian struktur kavum nasi dilihat dengan menundukkan
dan menegakkan posisi kepala penerita.
Yang dilihat adalah :
1. Konka inferior nasi
2. Vestibulum
3. Meatus inferior
4. Meatus Media
5. Konka media
6. Septum nasi dan
7. Apakah ada tumor atau tanda-tanda radang
Gambar. Rhinoskopi Anterior7
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.7
Menggunakan kaca reflektor dan lampu kepala. Dengan menggunakan spatel, lidah ditekan
kebawah. Pada saat memasukkan kaca reflektor, penderita diminta bernafas dari mulut, tetapi
setelah kaca masuk penderita diminta bernafas dari hidung.
Yang perlu diperhatikan adalah :
1. Bagaimana keadaan koana
2. Septum nasi
3. Konka nasalis media dan superior
4. Adakah sekret atau postnasal drip
5. Adakah masa tumor
6. Bagaimana keadaan fossa Rossenmuller
7. Bagaimana keadaan muara tuba eustachi dan
8. Pada anak kecil perhatikan keadaan adenoidnya.

c) Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi
dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.7
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.4,5
e) Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah
platelet dan waktu perdarahan.6
Anatomi Hidung dan Perdarahan Rongga Hidung
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan karotis eksterna
(AKE). Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua menjadi arteri
ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang posterior dan
pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari
septum nasi dan dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris
interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior.4 Arteri
maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina, arteri nasalis
posterior dan arteri palatina mayor.

Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi
daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung. Pada bagian anterior septum, anastomosis dari
arteri sfenopalatina, palatina mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri
fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area. Pada posterior dinding lateral hidung,
bagian akhir dari konka media terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri
sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens. Epistaksis anterior sering mengenai daerah
plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga
mudah diatasi dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis anterior
dan epistaksis posterior adalah ostium sinus maksilaris.4,6,7

Gambar. Vaskularisasi hidung


Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang perdarahannya bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir
keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii
yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius. Selain itu perlu di
eksplor sumber perdarahan dari anterior atau posterior.

Working diagnosis (Epistaksis posterior e.c Hipertensi)

Epistaksis

Epistaksis atau perdarahan dari hidung merupakan suatu tanda atau keluhan bukan suatu penyakit.
Terdapat 2 jenis epistaksis yaitu epistaksis anterior yang berasal dari Pleksus Kiesselbach ataupun
dari arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis posterior berasal dari arteri sphenopalatina
dan arteri ethmoidalis posterior.

1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber


perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior.
Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana.(3,5,6)

Gambar. Epistaksis anterior(6)

2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid


posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular.(3,5,6)

Gambar. Epistaksis posterior(6)

Hipertensi

Berikut klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC-7:6

Etiologi

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.3-6
1) Lokal
a. Trauma
b. Infeksi lokal
c. Neoplasma
d. Kelainan kongenital
e. Pengaruh lingkungan
f. Deviasi septum
2) Sistemik
a. Kelainan darah
b. Penyakit kardiovaskuler (Hipertensi, aterosklerosis, DM, sirosis hepatis)
c. Infeksi akut terutama DBD
3) Gangguan hormonal (peingkatan estrogen dan progresteron) terutama saat hamil
4) Alkoholisme
5) Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi
epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan menginhibisi produksi
tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-molekul trombosit untuk
membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan
peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu,
aspirin dapat menyebabkan epistaksis.

Pada kasus diperkirakan etiologi dari epistaksis pasien ini adalah gangguan sistemik yaitu hipertensi.
Pemeriksaan tanda vital saat di IGD ditemukan TD 160/100 mmHg.

Epidemiologi
Epitaksis anterior banyak didapati pada anak-anak umur 2-10 tahun, sedangkan epitaksis posterior
biasanya pada usia lanjut dengan range 50-80 tahun dan biasanya disertai riwayat hipertensi dan
arteriosklerosis.
Angka kejadian epistaksis tertinggi terjadi pada tekanan darah diastolik 100 mmHg yaitu 10 orang dari
72 orang pasien (13,9%). Sedangkan Herkner dkk22, mendapatkan ada 33 pasien dari 213 kunjungan
ke unit gawat darurat yang mengalami epistaksis disertai dengan peningkatan tekanan darahnya.

Patofisiologi
Pengaruh Hipertensi Pada Sistem Vaskularisasi
hipertensi disebabkan oleh gangguan hemostasis pengaturan level hormon di sirkulasi dan
aktivitas sistem saraf simpatis. Dalam hal ini secara konseptual, pembuluh darah sebagai sistem
penerima pasif aksi sistemik faktor neuroendokrin. Sebuah konsep yang telah berkembang dalam
patofisiologi hipertensi adalah kontribusi perubahan struktur vaskuler (remodelling vaskuler).
Sekarang telah diketahui tonus dapat berubah melalui proses akut dan pembuluh darah dapat
merubah strukturnya melalui proses kronik sebagai respon terhadap kondisi tertentu.9,10
Remodelling vaskuler adalah suatu proses adaptif sebagai respon terhadap perubahan kronik pada
kondisi hemodinamik atau faktor hormonal. Substansi vasoaktif dapat meregulasi homeostasis
vaskuler melalui efek jangka pendek pada tonus vaskuler dan efek jangka panjang pada struktur
vaskuler. Ketidakseimbangan kedua hal inilah yang menimbulkan vasokonstriksi dan hipertrofi
vaskuler sehingga timbul hipertensi.
Perubahan dalam migrasi sel dan proliferasi, perubahan matriks adalah kunci terjadinya
remodelling vaskuler. Pada hipertensi, perubahan struktur pembuluh darah adalah yang mungkin
bertanggung jawab atas peningkatan tekanan dan aliran darah, ketidakseimbangan substansi
vasoaktif dan disfungsi endotel. Pada tahap awal hipertensi primer curah jantung meningkat dan
tekanan perifer normal, hal ini disebabkan oleh peningkatan aktifitas saraf simpatik. Tahap
selanjutnya curah jantung dan tekanan perifer meningkat karena efek antiregulasi (mekanisme
tubuh untuk mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal). Pada hipertensi terjadi
perubahan struktur pembuluh darah, sebagai tanggapan terhadap peningkatan tekanan arterial.
Dengan perubahan struktur pembuluh darah demikian maka perbandingan lebar lumen meningkat
baik karena peningkatan massa otot atau karena pengaturan unsur-unsur seluler dan bukan seluler.
Kerusakan vaskuler akibat hipertensi terlihat pada seluruh pembuluh darah perifer.11

Contoh-contoh klinis bentuk remodelling vaskuler meliputi:


1) Pelebaran pembuluh darah yang berkaitan dengan kecepatan aliran darah yang tinggi.
Dapat terbentuk fistula arteriovena; 2) Hilangnya sel atau proteolisis matriks pembuluh darah
akibat pembentukan aneurisma; 3) Pengurangan massa dan ukuran pembuluh darah terjadi karena
pengurangan aliran darah jangka panjang; 4) Mikrosirkulasi yang jarang atau hilangnya area
kapiler yang menyebabkan meningkatnya kejadian hipertensi dan iskemia jaringan; 5) Arsitektur
dinding pembuluh darah juga berubah yang meliputi trombosis, migrasi dan proliferasi selsel
vaskuler, produksi matriks dan infiltrasi sel-sel inflamasi.

Hubungan Epistaksis Dengan Hipertensi


Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis dapat terjadi
pada pasien-pasien dengan hipertensi.3

1. Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang kronis. Hal
ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang abnormal.
2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang pada
bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu bagian pertengahan posterior
dan bagian diantara konka media dan konka inferior.

Tatalaksana

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan,
menghentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.1
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta
tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dulu misalnya dengan memasang infus. Jalan
napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.1
Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:
a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita
sangat lemah atau keadaaan syok.
b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara
duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama
beberapa menit (metode Trotter).7

Gambar. Metode Trotter7


c) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan
adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan
darah. (3,4,6)
d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik
dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter.
Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.(4,5,7)
e) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan
tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat
antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.
Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-
2 hari. 5,7,8

Gambar. Tampon anterior6

f) Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat
dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu
sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior). Setiap
pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.(6,7,9-11)
Gambar. Tampon Bellocque.7
a) Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon diletakkan
di nasofaring dan dikembangkan dengan air. (7)

Gambar. Tampon posterior dengan Kateter Foley.7

b) Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi ada yang
berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.7,11,12
c) Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.7,12
Pada kasus, keadaan umum pasien segera diperbaiki dengan rehidrasi cairan melalui infus
NaCl untuk menghindari pasien jatuh dalam keadaan syok akibat perdarahan yang banyak. Pasien
disuruh memencet cuping hidung (metode Trotter) untuk mencoba menghentikan darah tapi tidak
berhasil. Perdarahan berhenti ketika pasien dipasang tampon anterior. Walaupun sumber
perdarahan berasal dari posterior, namun tanpa terpasang tampon posterior (tampon Bellocq) atau
kateter foley, perdarahan hidung pada pasien dapat berhenti. Hal ini mungkin karena hipertensi
yang menjadi penyebab dasarnya, telah teratasi (pemberian Nifedipin 10 mg) dan akibat efek obat
hemostatic (asam traneksamat 500 mg) sehingga cukup dengan pemasangan tampon anterior
gejala teratasi. Pasien juga diberi terapi antibiotic profilaksis (ceftriaxone 1 gr) sebagai profilaksis
terjadinya infeksi yang mungkin dapat disebabkan karena turunya kondisi pasien dan pemasangan
tampon beberapa hari.
Terapi pada pasien ini yaitu Pemberian tampon posterior, debridement, bed rest, Maintenance
cairan : ivfd RL 20 gtt/menit, Pemberian obat oral pilihan lainnya yaitu Amlodipin 10 mg tab 1x1
dan Paracetamol 500 mg tab 3x1. Diberikan juga injeksi Asam tranexamat 160mg 3x1.

Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya. Akibat
pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang
berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan
septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum,
serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu
kencang ditarik.1-3,6,10
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun
mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya
kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.11-13

Prognosis
90% kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa
arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk. Pada kasus,
epistaksis terjadi karena hipertensi, akan sering timbul jika hipertensinya tak terkontrol.6
Kesimpulan
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung merupakan suatu tanda atau keluhan bukan suatu
penyakit. Terdapat 2 jenis epistaksis yaitu epistaksis anterior yang berasal dari Pleksus Kiesselbach
ataupun dari arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis posterior berasal dari arteri
sphenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior dan sering disebabkan oleh hipertensi. Jenis
perdarahan lainnya adalah dari berbagai sebab seperti obat-obatan, infeksi, dll. Prinsip
penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, menghentikan
perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. Terapi pada pasien ini
yaitu Pemberian tampon posterior, debridement, bed rest, Maintenance cairan : ivfd RL 20
gtt/menit, Pemberian obat oral pilihan.

Daftar Pustaka

1. Bestari J Budiman, Al Hafiz. Epistaksis dan Hipertensi : Adakah Hubungannya?. Jurnal


Kesehatan Andalas. 2012; 1(2). FK Unand.
2. Vina Zulfiani, Mukhlis Imanto, Rizqa Atina. Pria Usia 66 Tahun Dengan Epistaksis Posterior
Et causa Hipertensi Derajat II. Medula, Volume7; No.4. November 2017.
FakultasKedokteran, Universitas Lampung
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. h. 155-
9
4. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2013. h. 223-6.
5. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku saku. Edisi
ke-5. Jakarta: EGC; 2008. h.1-9.
6. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8. Jakarta:
EGC; 2009. h. 142-3, 162-3.
7. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. h. 7-11, 17-20.
8. Nagel P, Gurkov R. Dasar-dasar ilmu THT. Jakarta: EGC; 2012. H. 34-7, 50-1.
9. Epitaxis, diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/863220-overview#a0156,
15-11-2017.
10. Thompson, Sharon W. Epsitaksis in Emergency Care of Children. Boston : Jones and
Barlett Publisher, 1990. h. 190-1.
11. Soudheiner, Judith M. The Nose & Paranasal Sinuses in Hay, Wiiliam W. et.al. Current
Pediatric Diagnose and Treatment. 6th Ed. USA : The Mc. Groww Hill Companies Inc,
2003. h. 479.
12. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: An Update on Current Management. Postgrad Med J
2005; 81: 309-14.
13. Lubianca JF, Fuchs FD, Facco Sr et al. Is Epistaxis Evidence of End Organ Damage in

Anda mungkin juga menyukai